Game MOBA Pokemon Unite Sedang Digarap untuk Android, iOS dan Nintendo Switch

Sungguh menarik mengikuti perkembangan genre MOBA. Genre yang dipopulerkan oleh mod Warcraft III ini awalnya cuma menarik perhatian sekelompok kecil gamer akibat learning curve yang terbilang tinggi. Namun sekarang, MOBA sudah menjadi salah satu genre terpopuler berkat sederet game yang bermunculan di platform mobile.

Bahkan franchise kenamaan seperti Marvel Comics pun juga disulap menjadi MOBA, dan itu pada akhirnya memunculkan pertanyaan: franchise apa lagi yang punya banyak karakter yang sekiranya menarik untuk dijadikan MOBA? Kalau Anda menjawab Pokemon, jawaban Anda tidak salah.

The Pokemon Company baru saja mengumumkan Pokemon Unite, sebuah game MOBA 5 lawan 5 yang akan dirilis di Android, iOS, dan Nintendo Switch. Dalam siaran persnya, game free-to-play ini dikategorikan sebagai judul cross-platform, yang artinya pengguna perangkat mobile dan handheld console tersebut bisa saling bertemu.

Gameplay-nya sudah pasti mirip dengan Mobile Legends maupun MOBA lain di platform mobile, dan itu bisa kita nilai sendiri dari trailer-nya. Pokemon Unite digarap oleh TiMi Studios, anak perusahaan Tencent Games yang portofolionya meliputi judul-judul populer macam Honor of Kings, Arena of Valor, serta Call of Duty: Mobile.

Jujur saya sedikit penasaran bagaimana mekanisme evolusi Pokemon bakal diterapkan dalam game ini. Apakah pemain yang pada awalnya memilih Charmander atau Squirtle nantinya bisa memainkan Charizard atau Blastoise seiring karakternya menginjak level tertentu? Atau malah evolusi dijadikan salah satu skill ultimate pada Pokemon tertentu seperti Magikarp?

Tidakkah curang kalau pemain bisa memakai Pokemon sekuat Gyarados dari awal match? Atau malah itu bakal dijadikan salah satu item premium yang harus ditebus dengan rupiah seiring bertambah maraknya praktik pay-to-win?

Detail lengkapnya masih harus menunggu mengingat game ini masih dalam tahap pengembangan, dan jadwal rilisnya juga belum ada. Map-nya sendiri kelihatan memiliki dua jalur yang berbeda, lalu siaran persnya juga sempat menyinggung soal sistem poin yang dijadikan objektif permainan – mungkin salah satu mode alternatif di samping adu cepat menghancurkan markas lawan seperti biasanya?

Via: Eurogamer.

The Outer Worlds Tunjukkan Bahwa Tidak Semua Game Harus Di-port ke Nintendo Switch

Dilihat dari sisi teknis, Nintendo Switch memang lebih inferior ketimbang Xbox One maupun PlayStation 4. Namun popularitas dan keunikannya (bisa dimainkan secara handheld atau terhubung ke TV seperti console biasa) pada akhirnya memicu perhatian khusus dari kalangan developer.

Satu demi satu game AAA mulai di-port ke Switch. Dari The Witcher 3, Overwatch sampai Crysis, semuanya ada di Switch terlepas dari performanya yang sebenarnya tidak jauh lebih superior ketimbang smartphone. Berhubung performa Switch terbilang lemah, developer sering kali harus mengoptimalkan game-nya, dan tidak jarang hasil akhirnya adalah kualitas grafik yang cukup buruk pada versi Switch-nya.

Kalau perlu bukti, silakan baca laporan mendetail tim Digital Foundry terkait performa Overwatch di Nintendo Switch. Entah dalam posisi docked atau tidak, performa Overwatch di console handheld itu terbilang buruk. Grafiknya terlihat kabur dan kehilangan banyak detail, dan di saat yang sama, frame rate-nya juga mentok di 30 fps.

Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah semua game harus di-port ke Switch? Kalau melihat salah satu game blockbuster terbaru yang berhasil di-port ke Switch, yakni The Outer Worlds, saya rasa jawabannya tidak.

Tampilan The Outer Worlds di Nintendo Switch / Digital Foundry
Tampilan The Outer Worlds di Nintendo Switch / Digital Foundry

Analisis yang dilakukan Digital Foundry menunjukkan bahwa game yang digarap menggunakan Unreal Engine 4 itu berjalan jauh dari kata optimal di Switch. Resolusinya rendah, tekstur terlihat sama sekali tidak tajam, detail grafik sangat minim, dan yang paling parah, permainan terkadang akan terhenti karena aset-aset grafiknya belum selesai dimuat (ibarat menonton YouTube dengan koneksi internet yang lambat).

Saya pribadi sudah menamatkan The Outer Worlds sebanyak dua kali di PC, dan jujur kualitas visual memang bukan aspek terpenting dalam game ini. Yang juara sebenarnya adalah narasi sekaligus cerita di balik masing-masing karakternya, jadi sebenarnya saya tidak terlalu masalah seandainya harus memainkan game ini dengan kualitas grafik yang rendah di Switch dan terkunci di 30 fps, apalagi mengingat permainan RPG seperti ini (atau The Witcher 3) memang cocok dibawa santai.

Namun kalau harus melihat game terhenti demi memuat aset grafik dari waktu ke waktu, mungkin saya akan berhenti bermain dalam tempo dua jam pertama. Lebih parah lagi, waktu loading saat berpindah map-nya juga luar biasa lama (bisa sampai 30 detik sendiri), padahal di game ini kita akan banyak berpindah dari satu planet ke yang lainnya.

Nintendo boleh berbangga banyak developer yang berminat menghadirkan game-nya di Switch. Namun kalau versi porting-nya sejelek ini, saya sebagai konsumen mungkin akan memilih untuk melewatkannya daripada memaksa membeli dan berujung frustrasi.

Via: TweakTown.

Profil Nintendo: Perusahaan Berumur 130 Tahun yang Dekat di Hati Setiap Generasi

Pada 2020, nilai industri game diperkirakan akan mencapai lebih dari US$159 miliar. Jadi, jangan heran jika muncul banyak perusahaan raksasa di industri game. Salah satunya adalah Nintendo. Selain umurnya — Nintendo akan merayakan ulang tahunnya yang ke-131 pada September 2020 — perusahaan Jepang ini juga memiliki beberapa keistimewaan.

Bagi saya, Nintendo spesial karena produk merekalah yang pertama kali memperkenalkan saya pada dunia gaming. Saya mendapatkan konsol pertama, Super Nintendo, sebagai hadiah saat saya berulang tahun ke-6. Sejak saat itu, bermain game jadi salah satu hobi saya (walau sekarang saya lebih sering menulis tentang game daripada bermain game).

Sementara bagi sebagian orang, keunikan Nintendo adalah karena mereka tidak menganggap diri mereka sebagai perusahaan game namun perusahaan pembuat mainan. Karena itulah, Nintendo sering muncul dengan produk yang unik, seperti Nintendo Labo dan Wii. Saat membuat konsol pun, daya komputasi bukan menjadi prioritas utama Nintendo. Lihat saja Switch. Jika dibandingkan dengan PlayStation 4, daya komputasi Switch jelas lebih rendah. Meskipun begitu, Switch memiliki keunikan sendiri, yang justru membuatnya tampil beda dari para pesaingnya.

Lalu, bagaimana Nintendo bisa menjadi perusahaan raksasa seperti sekarang?

Sejarah Nintendo

Nintendo didirikan oleh seniman dan pengusaha Fusajiro Yamauchi pada 23 September 1889. Yamauchi menjadikan Kyoto — yang ketika itu merupakan ibu kota Jepang — sebagai markas Nintendo. Produk pertama Nintendo adalah kartu permainan yang disebut Hanafuda — secara harfiah berarti kartu bunga. Kartu Hanafuda buatan Yamauchi laris manis. Dia pun merekrut staf untuk membantunya membuat kartu tersebut.

Kartu Hanafuda buatan Nintendo.
Kartu Hanafuda buatan Nintendo. | Sumber: BBC

Selama 70 tahun ke depan, bisnis Nintendo adalah membuat kartu Hanafuda. Dan memang, kartu buatan Nintendo populer di Jepang. Sayangnya, lama-lama permainan kartu Hanafuda menjadi identik dengan judi dan Yakuza, mafia Jepang. Para anggota Yakuza bahkan punya tato yang terinspirasi dari ilustrasi kartu buatan Nintendo. Nintendo berhenti membuat kartu Hanafuda pada sekitar tahun 1960-an, ketika permainan Hanafuda mendapatkan stigma buruk dari masyarakat.

Saat itu, Nintendo dimpimpin oleh Hiroshi Yamauchi, cicit dari Fusajira Yamauchi. Dia mengambil alih tampuk kepemimpinan Nintendo pada 1950, saat dia masih berumur 22 tahun. Sebagai pemimpin, dia dikenal dengan keberaniannya walau juga terkadang ditakuti. Namun, dia punya semangat membara dan pemikiran yang inovatif. Dia memiliki impian untuk melakukan ekspansi sehingga Nintendo tidak hanya bergelut dalam membuat kartu Hanafuda, tapi juga membuat mainan serta arcade.

Arcade. | Sumber: Wikimedia Commons
Game-game arcade. | Sumber: Wikimedia Commons

Menariknya, Hiroshi sendiri tidak terlalu suka bermain game. Dia hanya memainkan satu game sepanjang hidupnya. Keputusan Hiroshi untuk membuat game elektronik berbuah manis: Nintendo mendapatkan untung besar. Pada sekitar 1970-an, video game mulai populer. Tren ini justru mendorong Nintendo menjadi perusahaan internasional. Namun, Nintendo bukan satu-satunya perusahaan yang tertarik dengan video game. Selain Nintendo, saat itu, perusahaan seperti Atari, Mattel (perusahaan pembuat Barbie), dan Taito juga mulai mencoba memasuki pasar video game.

Nintendo memulai proses pembuatan video game pertama mereka pada 1975. Tiga tahun kemudian, jadilah game pertama mereka yang merupakan bentuk video game dari permain klasik Othello. Hal tersebut menjadi awal dari kesuksesan Nintendo sebagai perusahaan game. Pada 1980, artist Nintendo, Shigeru Miyamoto membuat game Donkey Kong, yang laku keras. Penjahat dalam game tersebut adalah gorila raksasa yang menggunakan tong sebagai senjatanya. Sementara jagoannya adalah seorang pria bertopi merah yang saat itu dinamai Jumpman. Karakter tersebut akan menjadi salah satu karakter paling ikonik dari Nintendo dan juga sepanjang sejarah video game secara luas.

Dalam Donkey Kong, Anda akan bermain sebagai Jumpan. | Sumber: BBC
Dalam Donkey Kong, Anda akan bermain sebagai Jumpan. | Sumber: BBC

Sebagai game arcade, Donkey Kong begitu cepat meraih popularitas. Nama Jumpman pun diganti menjadi Mario. Nintendo mendapatkan inspirasi dari nama pemilik gedung yang menjadi markas Nintendo di Amerika Serikat, Mario Segale. Setelah itu, Nintendo membuat beberapa game baru, termasuk Donkey Kong Jr, The Legend of Zelda, dan Super Mario Bros.

Konsol-Konsol Buatan Nintendo

Setelah sukses dengan video game, Nintendo mulai tertarik untuk membuat konsol. Nintendo meluncurkan konsol game pertamanya, Famicom, pada Juli 1983 di Jepang. Dua tahun kemudian, pada 1983, Nintendo meluncurkan konsol tersebut di Amerika Serikat dengan nama Nintendo Entertainment System alias NES. Sementara konsol handheld pertama dari Nintendo, Game Boy, diluncurkan pada 1989. Game Boy bukanlah konsol handheld pertama di dunia. Konsol handheld pertama diluncurkan 10 tahun sebelum peluncuran Game Boy. Hanya saja, Game Boy jauh lebih populer. Alasannya, Game Boy memiliki desain yang unik dan baterai yang awet.

Konsol berikutnya dari Nintendo adalah Super Nintendo Entertainment System (SNES). Di Jepang, konsol tersebut dirilis dengan nama Super Famicom pada November 1990. Konsol ini dirilis pada Agustus 1991 di Amerika Utara dan April-Juni 1992 di Eropa. Total penjualan SNES yang mencapai 61,91 juta unit menjadikannya sebagai konsol Nintendo paling laris nomor dua sepanjang sejarah. Di masanya, penjualan SNES juga mengalahkan pesaingnnya, Mega Drive dari SEGA. Sampai saat ini, SNES dikenang berkat sejumlah game favorit, seperti seperti Super Metroid, Yoshi’s Island, Earthbound, dan Final Fantasy 6.

Prototipe SNES dengan CD-ROM. | Sumber: The Verge
Prototipe SNES dengan CD-ROM. | Sumber: The Verge

Beberapa tahun sebelum peluncran SNES, tepatnya di 1988, Nintendo menandatangani kerja sama dengan Sony. Melalui kerja sama ini, Sony akan membuat aksesori CD-ROM untuk SNES. Dengan aksesori itu, SNES juga bisa digunakan untuk memainkan game dalam bentuk Super Disc dan tidak hanya dalam bentuk cartridge. Hanya saja, Sony tetap memegang hak atas format Super Disc. Itu artinya, sebagian besar kendali atas lisensi game konsol SNES dipegang oleh Sony dan bukannya Nintendo. Tak hanya itu, keuntungan yang didapat dari lisensi film dan musik terkait game SNES akan jatuh ke tangan Sony sepenuhnya. Hal inilah awal dari ketidaksukaan Nintendo akan Sony. Jadi Nintendo memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan Philips, yang merupakan pesaing Sony.

Pada Juni 1991 di ajang Consumer Electronic Show (CES), Sony mengumumkan konsol SNES yang kompatibel dengan CD, dinamai “PlayStation”. Namun, keesokan harinya, Nintendo mengumumkan kerja samanya dengan Philips, mengejutkan para penonton dan Sony. Keputusan Nintendo merusak hubungannya dengan Sony. Pada 1992, Sony mendapatkan hak untuk membuat hardware yang kompatibel dengan SNES. Namun keuntungan dan kendali atas game yang bisa dimainkan di perangkat itu tetap jatuh ke tangan Nintendo. Pada akhirnya, Sony memutuskan untuk berhenti mengembangkan hardware terkait SNES dan mulai membuat konsol mereka sendiri, yaitu PlayStation, yang justru akan menjadi pesaing berat Nintendo.

Pada 1995, Nintendo meluncurkan Virtual Boy, sebagai usaha untuk membuat headset Virtual Reality. Sayangnya, produk buatan Nintendo itu dianggap gagal total. Jumlah penjualan Virtual Boy hanya mencapai 770 ribu. Sementara Nintendo sendiri tampaknya lebih fokus untuk mengembangkan konsol mereka berikutnya, yaitu Nintendo 64.

Nintendo 64. | Sumber: Wikimedia Commons
Nintendo 64. | Sumber: Wikimedia Commons

Saat ini, Nintendo 64 dianggap sebagai salah satu konsol terbaik Nintendo. Hanya saja, ketika ia pertama kali diluncurkan, Nintendo mengalami berbagai masalah. Peluncuran Nintendo 64 sempat tertunda selama 6 bulan. Jadi, saat Nintendo 64 baru muncul, PlayStation buatan Sony telah beredar di pasar selama 1 tahun. Keputusan Nintendo untuk bertahan menggunakan cartridge juga menimbulkan kontroversi. Pasalnya, hal tersebut menyulitkan developer pihak ketiga untuk membuat game Nintendo 64. Padahal, mereka sudah keberatan dengan biaya lisensi yang dikenakan oleh Nintendo. Penggunaan cartridge juga membuat harga game Nintendo 64 menjadi mahal. Para developer game lalu berpindah mendukung Sony. Namun, harus diakui, Nintendo 64 memang memiliki daya komputasi yang mumpuni. Konsol ini juga memiliki game-game populer sepreti Legend of Zelda: Ocarina of Time dan Super Mario 64.

Pada 2001, Nintendo meluncurkan Game Boy Advanced. Kali ini, mereka bermain aman. Tidak heran, mengingat saat itu, mereka masih menguasai pasar konsol handheld. GBA menawarkan komputasi yang lebih baik dari pendahulunya dengan harga yang oke. Hanya saja, konsol ini tidak memiliki fitur baru yang khusus. GBA juga memiliki banyak game buatan developer pihak ketiga yang legendaris seperti Golden Sun, Metroid Fusion, The Legend of Zelda: A Link to the Past and Four Sword, Mario & Luigi: Superstar Saga, ataupun Fire Emblem.

Pada tahun yang sama, Nintendo meluncurkan GameCube. Secara total, konsol ini terjual sebanyak 22 juta unit. Namun, GameCube dianggap sebagai kegagalan lain bagi Nintendo. Alasannya, saat konsol ini diluncurkan, Sony telah mendominasi dengan PlayStation 2. GameCube juga dianggap sebagai konsol untuk anak-anak karena ia hadir dengan warna ungu.

Tiga tahun kemudian, pada 2004, Nintendo meluncurkan DS. Konsol ini adalah konsol pertama yang diluncurkan di bawah kepemimpinan Presiden Satoru Iwata. Karena itulah, peluncuran DS menarik perhatian banyak orang karena mereka ingin tahu apakah haluan Nintendo sebagai perusahaan akan berubah di bawah kepemimpinan presiden baru. Sebelum peluncurannya, DS banyak mendapatkan ejekan, khususnya soal dua layar pada konsol ini. Selain itu, konsumen juga tidak bisa membayangkan menggunakan touchscreen untuk bermain game. Namun, pada akhirnya. DS menjadi salah satu produk Nintendo yang paling laku. Secara total, DS terjual sebanyak 154 juta unit.

Nintendo meluncurkan Wii pada 2006. Lagi-lagi, mereka mendapatkan ejekan karena nama Wii yang dianggap konyol. Hal lain yang dipermasalahkan adalah controller Wii yang mirip dengan remote control TV. Namun, Nintendo berhasil kembali membuktikan dirinya. Wii menjadi konsol Nintendo yang paling laris sepanjang sejarah. Dengan total penjualan mencapai 101 juta unit, Wii berhasil mengalahkan Xbox 360 dan PlayStation 3. Walau tak populer di kalangan gamer, Wii berhasil memenangkan hati anak-anak dan non-gamer yang senang bermain Wii Sports.

Nintendo DS. | Sumber: Wikimedia Commons
Nintendo DS. | Sumber: Wikimedia Commons

Nintendo meluncurkan konsol handheld baru, 3DS, pada 2011. Konsol ini cukup sukses dan berhasil terjual sebanyak 65 juta unit. Meskipun begitu, ada masalah pada awal peluncurannya. Salah satunya adalah terkait harga. Harga 3DS dianggap terlalu mahal. Nintendo menghargai 3DS US$200, sama seperti home console. Beberapa bulan kemudian, harga 3DS dipotong. Smartphone menjadi masalah lain yang harus dihadapi oleh Nintendo. Untungnya, 3DS memiliki beberapa game eksklusif, seperti Pokemon dan Monster Hunter dari Capcom. Pada akhir 2012, Nintendo meluncurkan Wii U. Terjual hanya 13 juta unit, Wii U dianggap sebagai salah satu produk gagal Nintendo. Karena itu, peredaran Wii U di pasar terbilang sebentar.

Konsol terbaru dari Nintendo saat ini adalah Switch, yang menawarkan konsep unik 2-in-1. Switch memiliki docking yang memungkinkan Anda untuk memainkannya layaknya home console lain seperti PlayStation dan Xbox. Namun, Switch juga bisa dimainkan layaknya konsol handheld. Keunikan ini membuat Switch laku keras. Pada laporan keuangan terbarunya, Nintendo mengungkap bahwa total penjualan Switch — termasuk Switch Lite dan Pro — mencapai 55,8 juta unit sejak diluncurkan pada Maret 2017. Dengan ini, Switch menjadi konsol Nintendo dengan penjualan terbanyak ketiga setelah Wii dan NES.

Keputusan Nintendo untuk Masuk ke Pasar Smartphone

Tahun demi tahun, smartphone menjadi semakin mumpuni dan harganya juga semakin terjangkau. Bagi Nintendo, popularitas smartphone justru menjadi batu sandungan. Pasalnya, awalnya Nintendo berkeras untuk tidak merilis mobile game. Namun, pada 2016, Nintendo akhirnya memutuskan untuk berdamai dan merambah ke perangkat mobile dengan meluncurkan Miitomo.

Miitomo adalah aplikasi jejaring sosial yang memungkinkan penggunanya untuk saling berkomunikasi dengan satu sama lain menggunakan avatar. Dalam waktu satu bulan sejak Miitomo diluncurkan, aplikasi ini telah diunduh sebanyak lebih dari 10 juta kali. Namun, Nintendo akhirnya memutuskan untuk menutup Miitomo pada Mei 2018.

Miitomo adalah aplikas mobile pertama dari Nintendo. | Sumber: PCMag
Miitomo adalah aplikas mobile pertama dari Nintendo. | Sumber: PCMag

Super Mario Run menjadi mobile game pertama dari Nintendo. Game itu diluncurkan pada Desember 2016 untuk iOS dan Maret 2017 untuk Android. Hanya saja, ketimbang menggunakan model freemium yang banyak digunakan oleh mobile game, Nintendo memutuskan untuk menjadikan Super Mario Run sebagai game berbayar.

Memang, Anda bisa mengunduh Super Mario Run secara gratis dan memainkan beberapa stage-nya. Namun, jika Anda ingin memainkan game ini sepenuhnya, Anda harus membayar Rp149 ribu, yang dianggap mahal oleh pengguna smartphone. Sebenarnya, Super Mario Run cukup sukses. Buktinya, game itu diunduh sebanyak lebih dari 200 juta kali pada 2018. Hanya saja, pendapatan dari Super Mario Run tak terlalu besar. Pada 2018, game itu hanya memberikan kontribusi sebesar US$7 juta (sekitar 2,4 persen) dari total pemasukan Nintendo pada 2018.

Nintendo lalu meluncurkan Fire Emblem Heroes pada Februari 2017. Kali ini, Nintendo menggunakan model free-to-play dengan in-game purchase dalam bentuk Orbs. Orbs tersebut bisa Anda gunakan untuk men-summon karakter secara random. Formula ini terbukti sukses. Sepanjang 2018, Fire Emblem Heroes memang hanya dunduh sebanyak lebih dari 10 juta kali. Namun, game itu memberikan kontribusi sekitar US$200 juta atau dua per tiga dari total pemasukan Nintendo pada tahun 2018. Ketika pendapatan Nintendo dari mobile game menembus US$1 miliar, Fire Emblem Heroes juga menjadi game dengan kontribusi terbesar.

Fire Emblem Heroes. | Sumber: Sensor Tower
Fire Emblem Heroes. | Sumber: Sensor Tower

Pendapatan Nintendo

Dalam laporan keuangan terbarunya, Nintendo mengumumkan, sepanjang tahun fiskal yang berakhir pada 31 Maret 2020, pemasukan mereka mencapai US$12,31 miliar, naik 9 persen dari US$11,3 miliar pada tahun sebelumnya. Dalam satu tahun, keuntungan operasional mereka naik 41 persen, dari US$2,34 miliar menjadi US$3,31 miliar. Sementara laba bersih naik dari US$1,82 mliiar tahun lalu menjadi US$2,43 miliar. Franchise Pokemon dan Animal Crossing menjadi salah satu faktor di balik kesukesan Nintendo pada tahun lalu.

Memang, Nintendo sempat mengalami masalah dengan proses produksi dan pengiriman Switch. Konsol Switch bahkan sempat menjadi barang langka sebelum Nintendo memutuskan untuk menambah jumlah produksi konsol tersebut. Tak hanya dalam penjualan hardware, Nintendo juga sukses dalam penjualan game. Salah satu game terbaru dari Nintendo, Animal Crossings: New Horizon bahkan memecahkan rekor penjualan digital game konsol.

Kesimpulan

Perjalanan Nintendo mengajarkan saya bahwa memegang teguh tradisi memang penting. Namun, beradaptasi dengan kemajuan zaman juga sama pentingnya. Walau Nintendo sukses dengan konsol buatan mereka, mereka tetap memutuskan untuk masuk ke industri mobile game. Dan keputusan mereka ini membuat mereka menjadi kian sukses. Hal lain yang saya pelajari dari sejarah Nintendo adalah untuk tidak sembarangan mencari musuh. Keputusan Nintendo untuk bekerja sama dengan Philips — merusak hubungannya dengan Sony — justru membuat Sony menjadi salah satu pesaing terberat mereka.

Jika Anda merasakan dorongan untuk menghina orang lain — yang mungkin terlihat seperti bukan siapa-siapa — sebaiknya Anda mengurungkan niat tersebut. Siapa tahu, hinaan Anda justru menjadi motivasi bagi orang tersebut untuk jadi lebih sukses.

Sumber: BBC, Eurogamer, Nintendo Life, Newzoo, VentureBeat

Sumber header: GoNintendo

Q1 2020, Total Belanja Game AS Capai Rp162 Triliun

Total belanja konsumen di Amerika Serikat untuk video game pada Q1 2020 mencapai hampir US$10,9 miliar (sekitar Rp162 triliun), naik 9 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Ini adalah total belanja game paling tinggi di AS dalam satu kuartal. Menurut laporan The NPD Group, yang berjudul Q1 2020 Games Market Dynamics: US, sebagian besar spending tersebut digunakan untuk membeli game. Secara total, total belanja untuk game mencapai US$9,58 miliar (sekitar Rp142,5 triliun), naik 11 persen dari tahun lalu.

“Di tengah masa sulit seperti sekarang, game memberi kenyamanan pada masyarakat dan memungkinkan mereka untuk saling terhubung dengan satu sama lain,” kata Analis The NPD Group, Mat Piscatella, seperti dikutip dari Games Industry. “Karena masyarakat telah lama harus diam di rumah, mereka menjadikan game sebagai pelarian dan hiburan. Selain itu, game menjadi alat bagi mereka untuk tetap terhubung dengan teman dan keluarga mereka. Baik game di konsol atau mobile, PC atau virtual reality, penjualan game pada kuartal satu naik.”

total belanja game AS
Animal Crossing jadi salah satu game terpopuler di AS.

Beberapa game yang populer di kalangan konsumen Amerika Serikat antara lain Animal Crossing: New Horizons, Call of Duty: Modern Warfare, DOOM Eternal, Dragon Ball Z: Kakarot, Fortnite, Grand Theft Auto V, Minecraft, MLB The Show 20 dan NBA 2K20.

Selain penjualan game, penjualan hardware dan aksesori serta program berlangganan layanan game juga mengalami kenaikan. Penjualan hardware pada Q1 2020 naik 2 persen dari tahun lalu menjadi US$773 juta (sekitar Rp11,5 triliun). Menariknya, penjualan semua konsol kecuali Nintendo Switch mengalami penurunan. Sementara itu, penjualan aksesori gaming mencapai US$503 juta (sekitar Rp7,5 triliun), naik 1 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Tak hanya di Amerika Serikat, di Tiongkok, total belanja game juga mengalami kenaikan. Alasannya, para gamer menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermain game selama karantina akibat pandemi virus corona. Ini membuat mereka menghabiskan uang lebih banyak dalam game. Selama pandemi, game shooter menjadi salah satu genre paling populer. Menurut Newzoo, nilai industri game pada 2020 akan naik 9,3 persen dari tahun lalu, menjadi US$159,3 miliar (sekitar Rp2.370 triliun).

Nintendo Switch dan PlayStation 4, Mana yang Lebih Populer di Indonesia?

Maret lalu, penjualan Nintendo Switch di Amerika Serikat naik lebih dari dua kali lipat dibanding Maret 2019 berdasarkan riset yang dilakukan NPD Group. Alasannya ada dua. Yang pertama tentu saja adalah pandemi COVID-19 dan kebijakan lockdown. Yang kedua adalah game berjudul Animal Crossing: New Horizons yang memecahkan rekor penjualan.

Begitu besarnya permintaan terhadap Switch, stoknya sampai menipis dan mendorong Nintendo untuk meningkatkan jumlah produksi. Per 31 Maret 2020, Nintendo tercatat sudah menjual 55,8 juta unit Switch. Pertanyaannya, seberapa banyak angka penjualan yang berasal dari Indonesia?

Well, pertanyaan tersebut sungguh sulit dijawab mengingat Nintendo Switch belum tersedia secara resmi di tanah air. Berbeda dengan PlayStation 4 yang sudah resmi dipasarkan sendiri oleh Sony sejak lama di Indonesia. Fakta ini setidaknya bisa menjadi salah satu faktor mengapa PS4 masih lebih populer ketimbang Switch di Nusantara.

Tidak tersedia secara resmi berarti tidak ada garansi resmi, dan umumnya Switch yang dijual di Indonesia hanya disertai garansi dari toko penjual selama beberapa hari. Sudah menjadi rahasia umum kalau konsumen Indonesia sangat mementingkan garansi dalam membeli produk, terutama produk elektronik. Jadi wajar kalau akhirnya lebih banyak yang memilih PS4.

Riset iPrice soal popularitas gaming console di Asia Tenggara selama pandemi

Riset yang dilakukan iPrice baru-baru ini pun menunjukkan kesimpulan yang serupa. Di platform belanja online di Indonesia, PS4 masih lebih banyak dicari ketimbang Nintendo Switch. Berbeda dengan di negara-negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia, di mana Nintendo Switch justru lebih populer daripada PS4.

PS4 boleh lebih populer daripada Switch di Indonesia, akan tetapi itu tidak mencegah ketertarikan developer game lokal terhadap Switch, sebab yang disasar memang bukan cuma konsumen tanah air saja.

Dari perspektif pribadi, saya juga melihat lebih banyak teman yang membicarakan tentang Final Fantasy VII Remake – yang sejauh ini cuma tersedia di PS4 – ketimbang Animal Crossing di lingkaran media sosial saya. Saya sendiri tidak termasuk di kubu mana pun mengingat saya cuma punya PC 🙂

Tidak kalah menarik adalah bagaimana PS3 yang sudah sangat uzur dan PS Vita yang sudah di-discontinue masih cukup banyak dicari di Indonesia dan sejumlah negara lainnya, bahkan melebihi angka pencarian terhadap Xbox One (yang juga tidak tersedia secara resmi di sini). Negara kita rupanya merupakan rumah yang sangat nyaman buat platform PlayStation.

Riset iPrice soal popularitas gaming console di Asia Tenggara selama pandemi

Dari 7 negara yang termasuk dalam riset iPrice – Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Hong Kong – cuma di Indonesia dan Vietnam saja PS4 lebih populer, sedangkan sisanya lebih didominasi oleh Switch. 5 dari 7 negara memilih Switch, dan dari pertengahan Maret hingga pertengahan April, minat terhadap Switch di platform belanja online di wilayah ini juga naik sampai 245%.

Sebagai perbandingan, minat terhadap PS4 hanya meningkat sebesar 135%. Total permintaan untuk Switch sekarang sekitar 1,6 kali lebih tinggi dari permintaan untuk PS4.

Selama masa pandemi, pencarian untuk semua gaming console di 7 negara tadi meningkat hingga 115% secara keseluruhan dibandingkan di periode sebelumnya. Di Indonesia sendiri, pencarian seputar gaming console naik sekitar 204%, sedangkan di Vietnam angkanya malah melonjak sampai 432%.

Besarnya peningkatan di Vietnam ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah setempat yang menutup semua warnet dan gaming center, yang jumlahnya begitu banyak di sana. Berhubung tidak ada opsi lain untuk bermain, banyak gamer di Vietnam pada akhirnya memutuskan untuk membeli perangkat gaming-nya sendiri untuk dimainkan di kediaman masing-masing.

“Di rumah saja dan main game,” kira-kira seperti itu motto para gamer di Vietnam, dan kita semestinya juga perlu menerapkan komitmen yang sama sebagai bentuk kontribusi kita terhadap penekanan angka penyebaran COVID-19.

Natsume Umumkan Harvest Moon: One World untuk Nintendo Switch

Pemilik Nintendo Switch, bersiaplah menyambut game Harvest Moon baru tahun ini. Berjudul resmi Harvest Moon: One World, game ini digarap oleh Rising Star Games, yang sebelumnya dipercaya Natsume untuk mengerjakan Harvest Moon: Mad Dash.

One World mengangkat kisah yang cukup unik, di mana buah dan sayur tak lagi eksis di dunia. Entah bagaimana game ini akan menyisipkan elemen berkebun dan bertani di kondisi dunia yang seperti itu, namun yang pasti One World juga akan menitikberatkan pada elemen eksplorasi dengan mengajak pemain menelusuri beragam lokasi, bukan cuma kota terdekat dari kediaman sang lakon.

Developer-nya tak lupa menyinggung soal engine baru yang dipakai untuk mengembangkan One World. Sayang sejauh ini belum ada screenshot maupun video trailer yang dirilis, sehingga kita belum bisa mendapat gambaran grafiknya bakal sebagus apa.

Buat yang penasaran mengapa game ini hanya akan dirilis di Nintendo Switch – apalagi mengingat game sebelumnya, Harvest Moon: Light of Hope, tersedia di seluruh platform – kemungkinan Natsume dan Rising Star terinspirasi oleh kesuksesan Animal Crossing: New Horizons belum lama ini. Gaya bermain pengguna Switch yang cenderung santai tentunya sangat cocok disasar oleh game simulasi semacam ini.

Hype terhadap seri Harvest Moon memang sudah tidak sebesar dulu lagi. Seperti yang kita tahu, franchise ini sudah lama ditinggalkan oleh kreator aslinya, Yasuhiro Wada. Beliau kini punya studio game-nya sendiri, dan di tahun 2018 lalu, merilis game berjudul Little Dragons Cafe yang tak kalah menarik dari seri Harvest Moon maupun Story of Seasons.

Sumber: Rising Star Games via IGN.

Nintendo Telah Jual 55,8 Juta Unit Switch

Nintendo mendapatkan pemasukan sebesar 1,3 triliun yen (sekitar Rp183 triliun) pada tahun fiskal 2020 yang berakhir di 31 Maret. Pemasukan Nintendo pada 2020 naik 9 persen jika dibandingkan dengan tahun fiskal 2019. Sementara keuntungan yang didapatkan oleh Nintendo mencapai 259 miliar yen (sekitar Rp36,5 triliun), naik 33 persen dari tahun sebelumnya.

Pada tahun fiskal 2020, penjualan Switch juga mengalami kenaikan meski Nintendo sempat mengalami masalah suplai. Perusahaan Jepang itu kesulitan untuk memenuhi tingginya permintaan konsumen akan Switch sebelum memutuskan untuk menambah jumlah produksi. Sepanjang tahun fiskal 2020, jumlah unit Switch yang terjual mencapai 21 juta, naik 24 persen dari tahun fiskal sebelumnya. Dari total penjualan konsol Switch, sebanyak 6,2 juta unit merupakan Nintendo Switch Lite.

Dengan ini, total penjualan Nintendo Switch sejak konsol tersebut diluncurkan pada 2017 telah menembus 55,8 juta unit. Peluncuran game Animal Crossing terbaru menjadi salah satu pendorong angka penjualan Switch. Sementara itu, bagi developer Indonesia, popularitas konsol buatan Nintendo ini menunjukkan bahwa gamer Switch adalah pasar yang pantas disasar.

total penjualan switch
Animal Crossing: New Horizons laku keras di pasar. | Sumber: VG247

Selain konsol, game-game buatan Nintendo juga laku keras di pasar. Pada akhir Maret 2020, Pokemon Sword dan Shield telah terjual sebanyak 17,37 juta unit. Sementara Animal Crossing: New Horizons terjual 11,77 juta unit walau game itu baru diluncurkan 11 hari sebelum tutup buku. Sampai saat ini, New Horizons masih sangat diminati. Dalam waktu 6 minggu, game itu telah terjual sebanyak 13,4 juta unit. Tak hanya Pokemon dan Animal Crossing, Luigi’s Mansion 3 dan Super Mario Maker 2 juga mendapatkan sambutan hangat. Faktanya, ada 27 game Switch yang angka penjualannya mencapai 1 juta unit.

Secara total, Nintendo menjual 169 juta unit game Switch pada tahun fiskal 2020. Jika dibandingkan dengan angka penjualan game pada tahun fiskal 2019, penjualan pada 2020 naik 42 persen. Nintendo mengatakan, dari total pemasukan yang mereka dapatkan dari penjualan game, sebanyak 34 persen berasal dari penjualan digital. Angka ini menunjukkan kenaikan 24 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Sayangnya, divisi mobile Nintendo memiliki performa yang biasa saja. Meskipun pada tahun fiskal 2020 Nintendo meluncurkan Mario Kart Tour untuk perangkat mobile, divisi mobile mereka hanya mendapatkan 51,2 miliar yen (sekitar Rp7,2 triliun).

Sumber header: PCMag

Menakar Peluang Bagi Developer Game Lokal di Nintendo Switch

Nintendo meluncurkan Switch pada 2017. Salah satu keunikan Switch adalah, selain bisa dimainkan seperti konsol kebanyakan, ia juga bisa menjadi handheld console. Keunikannya membuat Switch laku keras. Dalam laporan finansial pada Januari 2020, Nintendo mengungkap bahwa mereka telah menjual sekitar 52 juta unit Switch di dunia. Dengan begitu, total penjualan Switch telah melampaui Super Nintendo Entertainment System (SNES) dan bahkan hampir mencapai empat kali lipat dari total penjualan Wii U. Sebagai perbandingan, Sony meluncurkan PlayStation 4 pada 2013. Per Maret 2020, telah terjual 108 juta unit PlayStation 4 di dunia.

Keunikan Switch dan Perilaku Para Penggunanya

Jika dibandingkan dengan konsol PlayStation dan Xbox atau PC, Switch itu unik. Untuk bermain Switch, Anda tak melulu harus duduk di depan televisi. Sama seperti smartphone, Anda bisa memainkannya hampir kapan saja dan di mana saja. Karena itu, jangan heran jika perilaku gamer Switch juga agak berbeda dari para pemain PlayStation atau PC. Menurut Cipto Adiguna, VP of Consumer Games, Agate Studio, pemain Switch biasanya adalah orang-orang yang tidak punya banyak waktu luang untuk bermain.

“Banyak pemain Switch yang bermain untuk mengisi waktu luang. Bukannya menyempatkan diri, menyediakan waktu kosong untuk bermain game,” ujar Cipto ketika dihubungi melalui telepon. Dia lalu membagi para pemain Switch ke dalam 3 kategori. Pertama, pemain yang memainkan Switch sebagai handheld console dan juga menggunakan docking. Tipe kedua adalah pemain yang hanya memainkan Switch sebagai handheld. Kategori terakhir adalah pemain yang justru tidak pernah memainkan Switch sebagai handheld dan selalu meletakannya di docking. Cipto memperkirakan, ada 50 persen pengguna Switch yang masuk kategori pertama, sementara 2 kelompok sisanya masing-masing memiliki 25 persen.

Nintendo Switch juga punya docking. | Sumber: The Verge
Nintendo Switch juga punya docking. | Sumber: The Verge

Jadi, idealnya, game untuk Switch cukup kasual untuk bisa dimainkan kapan saja, tapi juga memiliki bobot sehingga bisa dimainkan dengan serius. Cipto mengaku, membuat game yang ideal memang tidak mudah. Meskipun begitu, dia berkata bahwa hal ini bukannya mustahil untuk dicapai. Sementara itu, Kris Antoni, pendiri Toge Productions mengatakan, pemain Switch biasanya lebih senang dengan game kasual.

“Nintendo selalu mengedepankan inovasi dalam interaksi bermain dan produk-produk mereka cenderung lebih family friendly. Jadi perilaku pemain Nintendo sedikit lebih kasual dan mencari pengalaman bermain yang fun dan inovatif, mereka tidak mengejar kualitas grafis semata,” kata Kris saat dihubungi melalui pesan singkat. Sementara terkait genre yang populer di kalangan pemain Switch, dia menjawab, “User Switch menggemari genre platformer dan action adventure.”

Apa Pertimbangan Developer Sebelum Merilis Game untuk Switch?

Saat ini, tidak banyak developer Indonesia yang membuat game untuk Switch. Agate Studio adalah salah satu dari segelintir developer lokal yang melakukan itu. Game yang mereka rilis ke Switch adalah Valthirian Arc: Hero School Story. Saat mengobrol dengan Cipto melalui telepon, dia bercerita, pada awalnya, Agate tidak berencana untuk meluncurkan Valthirian Arc di Switch.

“Saat kita pertama kali mengembangkan Valthirian Arc, Switch masih sangat baru. Jadi, kami nggak berencana membuat game untuk Switch,” aku Cipto. Namun, Agate melihat betapa tingginya hype akan Switch ketika Nintendo meluncurkan konsol tersebut. Mereka menganggap hal ini sebagai kesempatan. Dan keputusan mereka memang tepat. Cipto mengatakan, dari total penjualan Valthirian Arc, sebesar 40-50 persen berasal dari pengguna Switch.

Pada awalnya, Agate tak berencana merilis Valthirian Arc ke Switch. | Sumber: Steam
Pada awalnya, Agate tak berencana merilis Valthirian Arc ke Switch. | Sumber: Steam

Menurut Cipto, ada beberapa alasan mengapa Valthirian Arc populer di kalangan pengguna Switch. Pertama, popularitas Switch itu sendiri. Kedua, mobilitas Switch yang tinggi. Anda bisa memainkan Switch di mana saja dan kapan saja. “Pemain Switch cenderung tidak se-hardcore gamer PC atau PlayStation, yang harus duduk di depan layar untuk bermain,” katanya. “Kalau bermain di Switch, Anda bisa cuma bermain 15 menit, saat menunggu di mobil misalnya. Jadi, tidak perlu mendedikasikan waktu terlalu banyak.” Menurutnya, ini sesuai dengan gameplay Valthirian Arc yang memang tidak terlalu serius.

Popularitas Switch bukan satu-satunya hal yang Agate pertimbangkan sebelum memutuskan untuk membawa game buatan mereka ke konsol Nintendo itu. Ada beberapa faktor lain yang masuk dalam pertimbangan. “Pertama, seberapa mudah mendapatkan Development Kit-nya. Kedua, kita melakukan visibility study tentang apa saja yang harus kita optimasi,” jelas Cipto. Agate merasa perlu melakukan visibility study karena jika dibandingkan dengan PlayStation 4 atau PC gaming, hardware Nintendo Switch memang memiliki daya komputasi yang lebih rendah (baca: lebih cupu). Alhasil, jika Agate ingin merilis Valthirian Arc — yang pada awalnya tidak dibuat untuk PC dan PlayStation 4 — ke Switch, maka mereka harus melakukan banyak optimasi untuk memastikan game bisa berjalan dengan lancar.

Ultra Space Battle Brawl juga tersedia di Switch. | Sumber: Steam
Ultra Space Battle Brawl juga tersedia di Switch. | Sumber: Steam

Selain Agate, Toge Productions merupakan studio game lain yang juga merilis game ke Switch. Mereka menjadi publisher dari Ultra Space Battle Brawl buatan Mojiken Studio. Ketika ditanya mengapa Toge memutuskan untuk merilis game tersebut ke Switch, Kris menjawab, “Kami merasa Switch adalah konsol yang cocok untuk game local multiplayer atau party game seperti Ultra Space Battle Brawl. Dan Switch termasuk konsol baru dengan penyebaran yang cukup tinggi.”

Kesulitan Dalam Membuat Game untuk Switch?

Tentu saja, membuat game untuk Switch tidak semudah membalik tangan. Ada berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh para developer. Cipto dan Kris setuju bahwa salah satu tantangan teresar dalam membuat game untuk Switch adalah sulitnya mendapatkan Development Kit. “Untuk mendapatkan DevKit Switch tidak mudah, terutama bagi game developer Indonesia,” aku Kris. “Salah satu alasannya adalah karena tingginya pembajakan di Indonesia dan birokrasi yang berbelit.” Memang, pembajakan konten digital masih menjadi masalah di Indonesia. Masih ada orang-orang yang dapat membeli PC gaming, tapi tak mau membeli game resmi.

Cipto menceritakan hal yang sama. Dia menjelaskan, demi mendapatkan Development Kit untuk Switch, Agate bahkan harus rela pergi keluar negeri. Masalah tidak berhenti sampai di situ, DevKit tersebut juga tidak boleh dibawa ke Indonesia, menyulitkan proses pengujian game. Untungnya, setelah beberapa lama, mereka akhirnya bisa membawa DevKit tersebut ke Indonesia. Selain DevKit yang sulit untuk didapat, masalah lain yang developer hadapi saat hendak membuat game untuk Switch adalah keterbatasan dari konsol itu sendiri. Jika dibandingkan dengan PlayStation atau Xbox, Switch memiliki bodi yang jauh lebih kecil karena harus bisa dibawa kemana-mana. Tapi, bodi mungil ini menawarkan masalah tersendiri.

“Switch kecil, jadi punya limitasi di thermal. Jangan sampai mesin menjadi terlalu panas. Memori nggak boleh terlalu besar. Kemampuan CPU juga tidak terlalu mumpuni,” ujar Cipto. Karena keterbatasan inilah, developer harus dapat melakukan optimasi game saat membuat game untuk Switch. Dia bercerita, saat membuat game untuk PlayStation atau PC, salah satu fokus utama developer adalah memberikan tampilan yang menawan. “Asetnya high-definition, animasinya banyak, gerakannya bervariasi,” kata Cipto. Sayangnya, developer tidak bisa terlalu fokus pada grafik dan animasi saat membuat game untuk Switch. “Begitu membuat game untuk Switch, kita nggak mungkin load banyak aset sekaligus.”

Nintendo Switch saat dimainkan sebagai handheld. | Sumber: BGR
Nintendo Switch saat dimainkan sebagai handheld. | Sumber: BGR

Optimasi juga harus diperhitungkan ketika developer melakukan porting dari platform lain — misalnya PC atau PlayStation — ke Switch. Ingat, kemampuan komputasi Switch lebih rendah dari konsol lain dan PC. Selain optimasi game, developer juga harus mempertimbangkan antarmuka game. Switch bisa dimainkan tanpa televisi karena ia memiliki layar sendiri. Hanya saja, layar tersebut jauh lebih kecil daripada televisi atau monitor yang digunakan untuk bermain PlayStation atau PC. Jadi, Cipto menyarankan, sebaiknya hindari memberikan informasi terlalu banyak di satu layar untuk pemain.

Tentang proses porting dari platform lain ke Switch, Kris memiliki pandangan yang sama dengan Cipto. Developer harus mempertimbangkan keterbatasan hardware Switch ketika melakukan porting game untuk konsol itu. Dia menjelaskan, “Limitasi hardware seperti kapasitas memory dan processor perlu diperhatikan agar game berjalan lancar dan tidak nge-lag. Ukuran layar, UI layout dan skema controller juga perlu diperhatikan. Apalagi jika game aslinya menggunakan keyboard dan mouse.”

Potensi Pasar Game untuk Switch

Bagi Agate Studio, pasar Switch sangat potensial. Salah satu alasannya, karena tidak banyak developer lokal yang membuat game untuk Switch. Memang, membuat atau melakukan porting game ke Switch bukan hal yang mudah. Namun, Cipto merasa, kerja keras tim Agate untuk membuat atau melakukan porting ke Switch tidak sia-sia.

Faktanya, saat membuat kelanjutan Valthirian Arc, Agate berencana untuk langsung membuatnya ke Switch. Kemudian, mereka baru akan melakukan porting ke platform lain, seperti konsol next-gen misalnya. Alasan Agate sederhana. Jika dibandingkan dengan PC atau konsol lain, Switch memiliki hardware yang paling lemah. Jadi, jika sebuah game bisa berjalan dengan lancar di Switch, maka ia seharusnya bisa dimainkan tanpa masalah di platform lain.

Konsol next-gen — PlayStation 5 dan Xbox Series X — diperkirakan akan diluncurkan tahun ini atau tahun depan. Namun, Cipto juga percaya, itu tidak akan membuat Nintendo Switch kehilangan keunikannya. “Karena Switch memiliki unique value proposition yang jelas. Switch bisa memenuhi kebutuhan orang-orang yang ingin bisa bermain sambil jalan atau di rumah. Selain itu, karena controller-nya ada dua, jadi kemana-kemana Anda tetap bisa bermain berdua,” ujarnya. Sambil bercanda dia membandingkannya dengan PlayStation, “Kalau mau bawa PlayStation, berarti harus bawa televisinya juga dong.”

Sementara itu, menurut Kris, potensi pasar game untuk Nintendo Switch sama seperti PC atau konsol lainnya. Tentu saja, potensi pasar juga tergantung pada jenis game yang hendak dibuat atau tipe gamer yang ditargetkan sang developer. “Tapi, dengan melakukan porting (ke Switch), kita bisa memperluas market game kita,” ujarnya. Dia juga mengungkap, di pasar internasional, game buatan Indonesia mendapat sambutan yang hangat.

“Ada sejumlah game yang diterima dengan sangat baik di global, baik yang sudah rilis seperti Coffee Talk, Infectonator, DreadOut, dan yang belum rilis seperti A Space for the Unbound, When the Past Was Aroound dan lain sebagainya,” ungkap kris. Untuk memasarkan game-game Indonesia, Toge bekerja sama dengan publisher asing, seperti publisher asal Jepang dan Eropa.

A Space for the Unbound mendapatkan sambutan hangat. | Sumber: Steam
A Space for the Unbound mendapatkan sambutan hangat. | Sumber: Steam

Meskipun pasar game Swich disebut berpotensi, tidak banyak developer yang membuat game untuk konsol buatan Nintendo tersebut. Sebagai Ketua AGI (Asosiasi Game Indonesia), Cipto mengatakan bahwa ada dua masalah yang menyebabkan hal ini. “Pertama, walau market-nya oke, tapi developer kesulitan untuk mendapatkan DevKit. Kedua, kesulitan dalam melakukan optimasi,” ujarnya. Lebih lanjut dia menjelaskan, saat mengembangkan game, developer biasanya lebih fokus pada grafik yang cantik atau gameplay yang unik. “Mereka belum memikirkan sampai optimasi,” kata Cipto.

Menyadari masalah ini, Agate menawarkan untuk membantu developer yang kesulitan untuk mendapatkan akses ke DevKit Switch atau dalam mengoptimasi game-nya. Alasan Agate mau membantu developer lain — yang seharusnya merupakan saingan mereka — adalah karena pasar game begitu besar sehingga para developer lokal tidak perlu khawatir untuk saling menganibal satu sama lain. Dengan saling membantu, Agate justru berharap akan ada semakin banyak developer Indonesia yang dikenal di mancanegara. Ini akan memudahkan developer lokal untuk mencari perusahaan asing sebagai rekan dan bisa memenangkan kepercayaan penyedia platform seperti Nintendo. Sementara itu, AGI bersama pemerintah juga berusaha untuk mejadikan Indonesia sebagai negara yang dapat menerima DevKit dengan mudah.

Kesimpulan

Keunikan Nintendo Switch menjadi daya tarik tersendiri bagi para gamer, membuatnya menjadi populer. Di mana ada gula, di situ ada semut. Konsol yang populer tentu menarik bagi developer untuk membuat game di konsol tersebut. Bagi developer lokal, Switch memang menawarkan pasar yang cukup menarik.

Sayangnya, mendapatkan Development Kit untuk Switch bukan perkara gampang. Dan Anda tidak bisa membuat game tanpa DevKit. Selain itu, developer juga harus bisa mengakali limitasi hardware pada Switch. Namun, jika berhasil mengatasi masalah-masalah itu, mungkin Anda akan bisa mendapatkan untung sebagai developer. After all, nothing worth doing is easy.

Sumber header: CNN

Switch Langka, Nintendo Mau Naikkan Jumlah Produksi

Nintendo berencana untuk meningkatkan jumlah produksi Switch, menurut laporan Nikkei Asian Review. Perusahaan asal Jepang itu dikabarkan akan menaikkan total produksi Switch hingga 10 persen pada 2020.

Memang, sejak Februari 2020, Nintendo Switch mulai langka dan konsumen mulai kesulitan untuk membeli konsol tersebut. Alasannya, semakin banyak pemerintah dari negara-negara Asia Tenggara dan Tiongkok yang menetapkan lockdown atau menyarankan warganya untuk melakukan karantina. Ini tidak hanya memengaruhi jaringan suplai Nintendo Switch, tapi juga membuat semakin banyak orang tertarik untuk membeli Switch. Pada Maret 2020, permintaan akan Switch masih terus berkat diluncurkannya Animal Crossing: New Horizon.

“Kami harap, para perusahaan penyuplai akan dapat meningkatkan jumlah produksi. Namun, ada beberapa komponen yang masih sulit didapatkan. Jadi, kami tidak bisa memberikan perkiraan berapa banyak unit Switch yang dapat kami sediakan,” kata Nintendo, seperti dikutip dari Games Industry. Sebelum ini, Nintendo memperkirakan, penjualan Switch dan Switch Lite akan mencapai 19,5 juta untuk tahun fiskal yang berakhir pada 31 Maret. Namun, masih belum diketahui apakah Nintendo telah sukses mencapai target tersebut.

Nintendo Switch langka
Peluncuran Animal Crossing pada Maret membuat Nintendo Switch menjadi langka.

Selain virus corona, alasan lain yang membuat Nintendo Switch langka adalah karena ada banyak reseller yang menggunakan bot untuk membeli konsol tersebut. Motherboard berhasil mengungkap komunitas reseller yang mengunakan software open-source untuk memindai situs e-commerce yang menjual Switch. Software tersebut akan secara otomatis membeli Switch ketika konsol itu tersedia. Menggunakan software itu, reseller tak perlu khawatir akan kehabisan stok karena terlambat membeli.

Tool yang digunakan untuk membuat bot tersebut adalah Bird Bot. Namun, juga ada bot lain bernama Scottbot, Swift, dan Phantom. Juru bicara Phamtom berkata bahwa software mereka telah digunakan untuk membeli lebih dari 500 Switch dalam waktu 24 jam pertama. Reseller yang membeli Switch dengan bantuan bot kemudian menjual kembali Switch yang mereka dapatkan. Inilah yang menyebabkan mengapa harga Switch menjadi meroket.

Di tengah karantina karena pandemik COVID-19, game memang menjadi salah satu hiburan utama. Selain bermain game, semakin banyak orang yang menghabiskan waktunya untuk menonton konten esports. Tidak heran, mengingat ada cukup banyak kompetisi olahraga tradisional yang beralih ke esports karena pertandingan harus dibatalkan.

Crysis Remastered Diumumkan, Bakal Tersedia di PC, PS4, Xbox One, dan Nintendo Switch

Gamer PC lawas semestinya tahu, salah satu game paling berat yang pernah PC mereka jalankan adalah Crysis. Bukan yang kedua atau ketiga, melainkan Crysis yang pertama, yang dirilis di tahun 2007.

Begitu menuntutnya Crysis, GPU paling top kala itu, Radeon HD 3870 dan GeForce 8800 GTX, bahkan tidak mampu menjalankannya dengan pengaturan grafis mentok kanan. Beberapa tahun sejak dirilis, Crysis bahkan masih cukup sering dipakai untuk menguji performa suatu GPU, dan tentu saja kita tak boleh lupa dengan meme “But Can It Run Crysis?”

Hampir 13 tahun berselang, game first-person shooter bertema sci-fi itu rupanya sedang bersiap untuk menyapa kembali para gamer. Lewat sebuah video teaser, Crytek selaku developer-nya mengumumkan Crysis Remastered. Platform yang dituju kali ini bukan cuma PC saja, tapi juga PlayStation 4, Xbox One, dan Nintendo Switch.

Ya, Nintendo Switch, meski saya yakin kualitas grafiknya tidak akan sebagus di platform lainnya, seperti kasusnya pada game seperti The Witcher 3. Terlepas dari itu, Crysis Remastered menjanjikan peningkatan kualitas grafik yang signifikan dibanding versi orisinalnya; mencakup tekstur beresolusi tinggi, temporal anti-aliasing, parallax occlusion mapping, dan masih banyak lagi istilah teknis lain.

Sesuai dugaan, Crysis Remastered juga bakal menawarkan ray tracing, tapi menariknya, ray tracing di sini adalah yang berbasis software (API). Apakah ini berarti pemain tidak wajib menggunakan GPU Nvidia seri RTX untuk bisa menikmati pencahayaan yang lebih realistis? Bisa jadi begitu, tapi kita tunggu saja penjelasan lebih mendetail dari Crytek menjelang perilisannya.

Kapan? Belum tahu, Crytek cuma bilang “coming soon“. Video teaser-nya pun belum menunjukkan kualitas grafiknya secara lengkap. Semoga saja benar-benar segera.

Sumber: Eurogamer.