Semua Tentang Game Porting: Apakah Semuanya Hanya Soal Uang dan Keuntungan?

Setiap platform gaming punya pasar sendiri-sendiri. Karena, setiap gamer punya platform favorit masing-masing. Sebagian orang sudah puas dengan mobile game dan sebagian yang lain lebih memilih untuk bermain di konsol. Selain itu, juga ada gamers yang menjadi penganut “PC Master Race”. Jadi, salah satu cara bagi developer untuk memperluas target market mereka adalah dengan meluncurkan game di banyak platform.

Hanya saja, membuat game di banyak platform sekaligus bukanlah hal yang mudah. Jika tidak hati-hati, hal ini justru bisa jadi bumerang bagi developer. Contohnya, ketika CD Projekt Red memaksakan untuk meluncurkan Cyberpunk 2077 di konsol last-gen — PlayStation 4 dan Xbox One — mereka diprotes para gamers karena game itu tidak bisa berjalan lancar di kedua konsol itu. Mereka bahkan sempat harus menarik Cyberpunk 2077 dari PlayStation Store.

Namun, jika developer sukses membuat porting game ke platform lain, hal ini akan menjadi sumber pemasukan baru bagi developer. Developer yang sukses melakukan porting game ke banyak platform adalah Rockstar Games dengan Grand Theft Auto V. Pada awalnya, game itu diluncurkan untuk PlayStation 3 dan Xbox 360. Setelah itu, mereka merilis game itu untuk PS4, Xbox One, dan PC. Sekarang, mereka berencana untuk membawa game tersebut ke PS5 dan Xbox Series X.

Serba-Serbi Porting di Game

Sebelum membahas tentang keuntungan dan tantangan dalam melakukan porting game, mari kita bahas definisi dari proses porting itu sendiri. Sederhananya, porting adalah proses untuk menyesuaikan software — dalam kasus ini, game — sehingga ia bisa dijalankan di platform yang berbeda dari platform orisinal ketika game itu dibuat.

Salah satu alasan mengapa developer memutuskan untuk melakukan porting dari game mereka adalah untuk menjangkau audiens baru. Karena, masing-masing platform punya pasarnya sendiri. Secara total, angka penjualan PS3 mencapai 87,4 juta unit dan Xbox 360 84 juta unit. Jadi, ketika Rockstar merilis GTA V untuk PS3 dan Xbox 360, maka target pasar mereka terbatas pada 171,4 juta orang yang memiliki konsol itu. Dengan meluncurkan GTA V ke PS4, Xbox One, dan PC, maka Rockstar juga akan bisa menjangkau gamers dari ketiga platform tersebut.

Grand Theft Auto V pada awalnya hanya tersedia untuk PS3 dan Xbox 360.

Dengan memperluas target pasar sebuah game, developer bisa menggenjot pemasukan mereka. Terlepas dari model bisnis yang developer terapkan pada game yang mereka buat — baik model premiun, subscription, ataupun in-app purchase — semakin banyak orang yang memainkan game mereka, semakin besar pula pemasukan yang developer bisa dapatkan, seperti yang disebutkan oleh Know Techie.

Selain itu, jika dibandingkan dengan membuat game yang sama sekali baru, melakukan porting ke platform lain lebih mudah untuk dilakukan. Ketika melakukan porting game, developer juga tidak perlu lagi melakukan validasi pasar. Karena, mereka sudah tahu bahwa game yang hendak mereka porting sudah punya fanbase. Meskipun begitu, melakukan porting game dari satu platform ke platform lain bukanlah perkara gampang.

Miguel Angel Horna, Co-founder dan Lead Programmer dari Blitworks menjelaskan langkah-langkah dalam proses porting. BlitWorks adalah perusahaan asal Spanyol yang dikenal karena telah melakukan porting dari sejumlah game ternama, seperti Fez, Sonic CD, Jet Set Radio, Bastion, Spelunky, dan Don’t Starve. Perusahaan yang didirikan pada 2012 itu telah melakukan porting game ke berbagai platform, mulai dari PS3, PS4, PS5, PS Vita, Xbox 360, Xbox One, Xbos Series X, Steam, Nintendo Switch, sampai iOS dan Android.

“Biasanya, proses porting game terdiri beberapa langkah. Masing-masing langkah itu punya tantangan tersendiri,” kata Horna pada Game Developer. “Langkah pertama adalah membuat game yang hendak kita porting bisa dijalankan di platform yang menjadi target porting. Proses ini kompleks. Masalah yang timbul di bagian ini juga biasanya paling sulit untuk diatasi karena ketergantungan pada libraries atau middleware khusus.”

Spelunky 2 adalah salah satu hasil kerja BlitWorks.

Horna mengungkap, salah satu hal yang berpotensi memunculkan masalah adalah ketika developer menggunakan closed-source tools untuk membuat game mereka. Artinya, source code dari tools itu tidak bisa diakses oleh sembarang orang. Masalah akan semakin rumit jika tools yang developer gunakan tidak mendukung platform target porting. Dalam kasus ini, developer yang hendak melakukan porting harus membuat ulang game yang ingin mereka porting. “Terkadang, kami harus membuat game dalam bahasa programming baru yang mendukung platform target,” katanya.

Setelah game yang hendak di-porting bisa berjalan di platform tujuan, langkah berikutnya, jelas Horna, adalah untuk menyediakan graphics support yang sesuai. Dia menyebutkan, jika sejak awal pengembangan game developer sudah mempertimbangkan untuk melakukan porting ke platform lain, biasanya mereka akan memisahkan bagian graphics calls dari kode utama. Hanya saja, terkadang, kode graphic calls tercampur dengna kode utama. “Jadi, kami harus memisahkan graphic calls ke library lain, sebelum mengimplementasikannya ke graphics API dari platform tujuan,” katanya.

Tahap berikutnya adalah menyempurnakan game. Karena, di tahap ini, walau game sudah bisa dijalankan di platform tujuan dan grafik game sudah disesuaikan, masih ada bugs dalam game. Menurut Horna, bugs yang muncul dalam game biasanya sulit untuk diduga. Karena itu, penting bagi developer yang hendak melakukan porting untuk memahami cara kerja hardware dari masing-masing platform gaming. Dengan begitu, mereka bisa mengetahui penyebab dari masalah yang muncul dan mencari solusi yang tepat.

“Akhirnya, setelah game berjalan dengan lancar, Anda harus berurusan dengan banyak detail kecil yang memakan banyak waktu,” ujar Horna. “Anda harus mengubah control game agar sesuai dengan platform tujuan porting. Anda juga harus menyesuaikan antarmuka dengan ukuran layar dan resolusi dari platform tujuan.”

Ketika melakukan porting, control game harus disesuaikan karena setiap platform punya metode input yang berbeda-beda. Misalnya, smartphone memiliki touchscreen sementara konsol menggunakan controller. Dan gamers PC biasanya menggunakan mouse dan keyboard, walau mereka juga bisa memasang controller. Dan ketika resolusi game diubah, Horna mengungkap, mereka harus memastikan bahwa semua teks dalam game tidak hanya sesuai dengan resolusi dari platform tujuan, tapi juga bisa dibaca dengan jelas.

Melakukan Porting Game Lama “Lebih Aman” Bagi Developer

Game memang industri yang besar. Dan demokratisasi alat untuk membuat game — seperti game engine — memudahkan orang-orang yang ingin terjun ke dunia game development. Masalahnya, membuat game adalah bisnis yang membutuhkan model besar di awal. Dan jika game yang sudah diluncurkan tidak laku, maka developer harus siap menelan rugi. Karena itu, penting bagi developer untuk melakukan riset dan validasi pasar sebelum mereka membuat sebuah game.

Dalam sebuah video Asosiasi Game Indonesia (AGI), CEO Toge Productions, Kris Antoni Hadiputra menjelaskan bahwa ketika developer hendak menentukan game yang mereka mau buat, ada dua pendekatan yang bisa mereka gunakan: market-oriented approach dan product-oriented approach.

Ketika developer menggunakan pendekatan market-oriented, maka sejak awal, mereka memang sudah mencari tahu tentang tren di industri game. Mereka kemudian membuat game berdasarkan tren tersebut. Sebagai contoh, ketika genre battle royale tengah booming, ada banyak developer yang ikut membuat game dengan genre itu.

Sementara itu, dalam pendekatan product-oriented, developer akan menentukan game yang hendak mereka buat terlebih dulu, sebelum melakukan validasi pasar. Kris menyebutkan, saat developer menggunakan pendekatan ini, kesalahan yang biasa terjadi adalah developer terlalu sibuk untuk membuat game yang mereka inginkan, lalu lupa untuk mencari tahu apakah ada orang-orang yang juga mau memainkan game tersebut.

Karena validasi pasar penting, melakukan porting game menawarkan risiko yang lebih kecil daripada membuat game baru. Karena, game yang hendak di-porting pasti sudah memiliki fanbase sendiri. Hal ini juga jadi alasan mengapa belakangan, ada banyak developer yang memutuskan untuk membuat versi remastered atau remake dari game-game mereka.

Alasan lain mengapa melakukan porting game bisa meminimalisir risiko kerugian adalah karena membuat game lama bisa dimainkan di platform baru, hal ini bisa membuat pemain merasakan nostalgia. Dan nostalgia bisa mendorong seseorang untuk mengeluarkan uang; dalam kasus ini, untuk membeli game.

Efek perasaan nostalgia pada kecenderungan seseorang untuk membeli sesuatu dibahas dalam studi berjudul Nostalgia Weakens the Desire for Money. Dalam jurnal itu tertulis, konsumen punya kecenderungan lebih besar untuk menghabiskan uang ketika mereka merasakan nostalgia. Misalnya, ketika Anda melihat sesuatu yang membuat Anda teringat akan masa kecil bahagia Anda bersama teman dan keluarga, Anda akan punya kemungkinan lebih besar untuk terdorong membeli barang tersebut. Contoh lainnya, saya membeli Stardew Valley karena saya punya kenangan manis saat memainkan Harvest Moon.

Nostalgia bisa jadi salah satu cara untuk melakukan marketing game. | Sumber: Steam

“Kami ingin tahu, kenapa nostalgia sering digunakan dalam marketing,” tulis Jannine D. Lasaleta, Constantine Sedikides, dan Kathleen D. Vohs — penulis jurnal Nostalgia Weakens the Desire for Money. “Ternyata, salah satu alasannya adalah karena nostalgia melemahkan kendali seseorang akan uang. Dengan kata lain, seseorang punya kesempatan lebih besar untuk membeli sesuatu yang membuat mereka merasakan nostalgia.”

Ketiga penulis itu juga menyebutkan, di masa resesi, konsumen biasanya sangat hati-hati dalam menghabiskan uang mereka. Nostalgia bisa digunakan untuk mendorong konsumen berbelanja, dan pada akhirnya, menstimulasi ekonomi, seperti disebutkan oleh Science Daily.

Membuat porting dari game yang sudah ada tidak hanya “lebih aman” dari segi bisnis, tapi juga dari segi kreatif. Ketika developer berhasil membuat game yang sangat keren, fans akan punya ekspektasi tinggi akan game yang dibuat oleh developer tersebut. Sebagai contoh, berkat kesuksesan The Witcher 3: Wild Hunt, orang-orang punya ekspektasi tinggi akan Cyberpunk 2077, game baru dari CD Projekt. Banyak gamers yang mengira dan berharap, Cyberpunk 2077 akan punya kualitas yang sama, atau bahkan lebih baik dari The Witcher 3. Sebagian orang bahkan menyebut Cyberpunk 2077 sebagai “penerus” dari The Witcher 3. Sayangnya, Cyberpunk 2077 gagal untuk memenuhi ekspektasi fans.

Dari segi bisnis, Cyberpunk 2077 memang terbilang sukses. Buktinya, dalam laporan perkiraan keuangan CD Projekt untuk 2020, total pemasukan perusahaan diperkirakan mencapai US$562 juta, 4 kali lipat dari pemasukan mereka pada 2019, seperti yang disebutkan oleh GamesIndustry. Tak hanya itu,  total pemasukan itu juga 2,5 lipat lebih besar dari pemasukan CD Projekt pada 2015 — tahun ketika The Witcher 3 diluncurkan. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, banyak fans yang merasa kecewa dengan CD Projekt karena gagal memenuhi janji-janji yang mereka buat sebelum Cyberpunk 2077 diluncurkan. Misalnya, janji tentang AI dan NPC di Cyberpunk 2077 yang jauh lebih baik dari kebanyakan game.

Cyberpunk 2077 sempat diharapkan akan menjadi “penerus” The Witcher 3.

Jadi, dengan membuat porting game, tim kreatif sebuah developer tidak terlalu dipusingkan dengan apakah game terbaru mereka akan memiliki kualitas yang tidak kalah dari “masterpiece” mereka sebelumnya. Karena itu, jangan heran jika Rockstar memutuskan untuk membawa Grand Theft Auto V ke PS5 dan Xbox Series X. Saat ini, game tersebut telah terjual sebanyak 155 juta unit, menjadikannya sebagai game dengan total penjualan terbesar ke-2 setelah Minecraft.

Hambatan untuk Membuat Porting?

Membuat porting game dari satu platform ke platform lain memang relatif lebih mudah daripada membuat game dari nol. Namun, hal itu bukan berarti proses porting tidak menawarkan tantangan tersendiri, khususnya ketika developer melakukan porting game ke PC. Berbeda dengan konsol — yang memiliki spesifikasi yang sama — PC punya spesifikasi yang berbeda-beda. Ketika Anda membeli PS5, Anda tahu bahwa konsol itu akan menggunakan AMD Zen 2-based CPU, memiliki custom RDNA 2 sebagai GPU, dengan internal storage berupa SSD custom 825GB, dan memori 16GB GDDR6.

Sementara PC hadir dalam berbagai spesifikasi. Di satu sisi, para sultan bisa membeli PC gaming terbaik, tak peduli berapa banyak uang yang harus mereka habiskan. Yang penting, mereka bisa memainkan game dengan setting rata kanan. Di sisi lain, tidak sedikit gamers yang hanya memiliki laptop/PC kentang.  Bagi developer yang hendak melakukan porting game ke PC, keberagaman spesifikasi PC ini jadi momok tersendiri.

PC hadir dalam spesifikasi yang sangat beragam.

“Bayangkan, ada berapa banyak komponen dalam sebuah PC? Masing-masing komponen itu memiliki drivers sendiri-sendiri. Sebagian gamers mungkin sudah memasang update itu, tapi sebagian yang lain belum. Dan masing-masing komponen itu akan saling berinteraksi dengan satu sama lain,” jelas Jason Stark, Co-founder Disparity Games pada PC GAMER. “Membawa game ke konsol memang tidak mudah. Tapi, setidaknya, ketika Anda membuat game untuk konsol, Anda akan tahu bahwa ketika Anda menemukan masalah di Xbox One yang Anda gunakan, masalah itu akan muncul di semua Xbox One lain.”

Melakukan porting game PC dari konsol last-gen juga berpotensi menimbulkan masalahh tersendiri, seperti dalam resolusi dan framerate. Game yang dibuat untuk dijalankan pada 30 fps tidak akan mendadak bisa dijalankan pada 60 fps. Selain itu, sebuah game lawas tidak akan mendadak terlihat seperti baru ketika developer meningkatkan resolusi grafiknya, menjadi 4K. Stark bercerita, terkadang, developer harus mengutak-atik kode dasar sebuah game untuk membuat game bisa dijalankan pada resolusi dan framerate yang lebih tinggi. Dan jika salah, hal ini bisa menyebabkan bug yang mengacaukan gameplay.

Misalnya, dalam game Vanquish, ketika developer membuat game bisa berjalan pada 60 fps, muncul bug yang membuat pemain mendapatkan damage 2 kali lipat dari ketika game dijalankan pada 30 fps. Walau terkesan sederhana, bug ini bisa membutuhkan waktu lama untuk diperbaiki. Sebagai contoh, di Dark Souls II, ada bug yang membuat senjata pemain rusak lebih cepat. Waktu yang diperlukan untuk memperbaiki bug tersebut adalah satu tahun.

Selain menyesuaikan bagian grafik, Stark bercerita, terkadang, developer harus “membuat ulang” sebuah game menggunakan engine baru ketika mereka hendak melakukan porting ke platform baru. Bahkan, jika game yang hendak di-porting memang sudah sangat lawas, developer mungkin harus mempertimbangkan untuk merombak game itu sama sekali, termasuk bagian gameplay dari game.

Mari kita bandingkan Final Fantasy 7 Remake dengan Grand Theft Auto V. Ketika Rockstar membawa GTA V ke PS4, Xbox One, dan PC, mereka tidak merombak gameplay dari game tersebut. Mereka hanya perlu memastikan, GTA V bisa berjalan di ketiga platform tersebut. Lain halnya dengan FF7 Remake.

Ketika Square Enix memutuskan untuk membuat ulang FF7, mereka tidak bisa serta-merta meluncurkan game itu ke PlayStation 4. Pasalnya, FF7 adalah game lawas, diluncurkan pertama kali pada 1997. Square Enix tidak hanya harus memperbarui grafik dari FF7 ketika mereka membuat versi Remake, tapi juga mengubah gameplay dari game itu. Karena, gameplay FF7 orisinal kurang relevan di era modern.

Tak terbatas pada aspek teknis, ketika developer hendak melakukan porting game ke platform lain, mereka juga harus mempertimbangkan sisi marketing. Nicole Stark dari Disparity Games mengatakan, ketika sebuah game diluncurkan untuk platform baru, maka developer juga harus siap melakukan kampanye marketing baru, seperti menghubungi YouTubers baru atau mengurus fanbase baru.

Kesimpulan

Nilai industri game mencapai lebih dari US$100 miliar. Ironisnya, tidak sedikit developer game — khususnya developer indie — yang justru menjadi starving artists. Misalnya, di Indonesia, pengembangan When the Past Was Around hampir dihentikan karena Mojiken Studio mengalami masalah finansial. Karena itu, penting bagi developer untuk meminimalisir risiko game yang mereka buat gagal. Dan membuat porting game merupakan salah satu cara untuk melakukan hal itu.

Ke depan, proses porting game tampaknya juga menjadi semakin penting. Karena, menurut laporan App Annie dan IDC, cross-play adalah salah satu fitur yang membuat sebuah game menjadi semakin populer. Belum lama ini, Sony juga menyebutkan bahwa mereka akan meluncurkan lebih banyak game di PC. Bahkan, saat ini, bisnis porting game sudah cukup lukratif sehingga ada developer yang memang mengkhususkan diri untuk melakukan porting.

Zynga Rilis FarmVille 3 untuk iOS dan Android, Pemasukan Wild Rift Tembus US$150 Juta

Zynga meluncurkan FarmVille 3 untuk iOS dan Android pada minggu lalu. Sementara itu, Sensor Tower mengungkap, Harry Potter: Magic Awakened berhasil mendapatkan US$228 juta hanya dalam waktu 2 bulan sejak dirilis. Dalam laporan keuangan terbarunya, Nintendo menyebutkan bahwa mereka berhasil menjual 8,3 juta Switch dalam 6 bulan. Namun, mereka menurunkan perkiraan penjualan Switch di masa depan.

Zynga Rilis FarmVille 3 untuk iOS dan Android

Zynga baru saja meluncurkan FarmVille 3 untuk iOS dan Android. Salah satu fitur dalam game tersebut adalah animal husbandry. Melalui fitur itu, para pemain akan bisa mengawinkan binatang ternak. Selain itu, Marie — yang menjadi pekerja ladang di FarmVille 2 — juga akan hadir kembali di FarmVille 3. Zynga mengatakan, selain Marie, pemain akan menemukan beberapa pekerja ladang lain. Masing-masing pekerja ladang akan memiliki skills dan cerita yang berbeda-beda. Beberapa fitur lain yang ada di FarmVille 3 antara lain kendali cuaca, ladang yang bisa dikustomisasi, serta fitur co-op untuk bertukar hasil bercocok tanam, lapor VentureBeat.

2 Bulan Setelah Rilis, Harry Potter: Magic Awakened Dapatkan $228 Juta

Total pemasukan Harry Potter: Magic Awakened dari App Store dan Play Store telah menembus US$228 juta, menurut data dari Sensor Tower. Padahal, game itu baru diluncurkan dua bulan lalu. Mobile game tersebut diluncurkan oleh NetEase pada 9 September 2021 di beberapa negara Asia, termasuk Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, dan Macau. Sekarang, game itu telah menjadi mobile game dari franchise Harry Potter dengan pemasukan terbesar kedua, menurut laporan GamesIndustry.

Harry Potter: Magic Awakened jadi game Harry Potter terlaris kedua.

Sebagai perbandingan, mobile game Harry Potter dengan pemasukan tertinggi adalah Hogwarts Mystery dari Jam City. Sejak diluncurkan pada April 2018, game tersebut telah mendapatkan US$342 juta. Sementara itu, mobile game Harry Potter yang punya pemasukan terbesar ketiga adalah Harry Potter: Puzzle & Spells dari Zynga. Diluncurkan pada September 2020, pemasukan game itu kini mencapai US$135 juta.

Dalam 6 Bulan, Nintendo Jual 8,3 Juta Switch

Nintendo berhasil menjual 8,3 juta Switch dalam kurun waktu 6 bulan, yaitu sejak Maret hingga September 2021. Dalam laporan keuangan terbarunya, perusahaan Jepang itu mengungkap, total pemasukan mereka mencapai US$6,73 miliar, naik dari US$5,46 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Sementara keuntungan perusahaan naik dari US$1,5 miliar menjadi US$1,86 miliar.

Walau pemasukan mereka naik, Nintendo memutuskan untuk menurunkan estimasi penjualan Switch untuk tahun fiskal ini, yang berakhir pada 31 Maret 2022. Sebelum ini, mereka memperkirakan bahwa angka penjualan Switch  akan mencapai 25,5 juta unit. Sekarang, angka itu turun menjadi 24 juta unit, lapor VentureBeat.

Niantic Bakal Tutup Harry Potter: Wizards Unite di 2022

Developer Niantic mengumumkan bahwa mereka akan menutup Harry Potter: Wizards Unite pada Januari 2022. Dalam sebuah blog post, mereka menyebutkan, game AR tersebut akan dihapus dari App Store, Play Store, dan Galaxy Store per 6 Desember 2021. Namun, game itu masih akan bisa dimainkan hingga 31 Januari 2022, lapor GamesIndustry. Selain itu, Niantic juga berencana untuk menutup game lain, yaitu Catan: World Explorers.

Niantic justru memutuskan untuk menutup Harry Potter: Wizards Unite.

“Tidak semua game harus beroperasi selamanya,” tulis Niantic. “Tujuan kami membuat Harry Potter: Wizards Unite adalah untuk menampilkan sihir dari dunia Harry Potter pada jutaan orang ketika mereka keluar dari rumah dan menjelajah lingkungan mereka. Kami berhasil merealisasikan hal tersebut: kami menampilkan cerita yang telah berlangsung selama dua tahun. Dan sebentar lagi, cerita itu akan berakhir.”

Pemasukan League of Legends: Wild Rift Tembus US$150 Juta

Sejak diluncurkan pada Oktober 2020, League of Legends: Wild Rift dari Riot Games telah mendapatkan pemasukan sebesar lebih dari US$150 juta, berdasarkan data dari App Annie. Dua negara yang memberikan kontribusi terbesar pada pemasukan Wild Rift adalah Amerika Serikat dan Brasil.

Wild Rift berhasil mendapatkan US$150 juta dalam waktu 370 hari. Sebagai perbandingan, Honor of Kings dari Tencent mencapai pencapaian tersebut dalam waktu 249 hari, sementara Arena of Valor 543 hari. Mobile MOBA lain, Mobile Legends: Bang Bang membutuhkan 670 hari untuk mendapatkan pencapaian itu, menurut laporan GamesIndustry.

Stock Pesanan dan Analisa Performa Valve Steam Deck

Gebrakan yang dilakukan oleh Valve terhadap pasar konsol genggam sekaligus PC ini memang menjadi perhatian utama banyak gamer di seluruh dunia. Bahkan konsol yang masih dalam tahap pemesanan ini telah terjual habis.

Hal ini dilaporkan oleh banyak gamer lewat postingan media sosialnya dan juga di forum Reddit. Steam Deck baru diperkenalkan oleh Valve hanya sehari yang lalu (16 Juli 2021). Dan saat Valve membuka slot pemesanan, semuanya habis dipesan kurang dari satu jam saja.

Mayoritas calon pembeli ini mengalami eror pada website pemesanannya saat akan melakukan pembayaran. Bahkan beberapa kostumer mengatakan bahwa mereka terkunci untuk bertransaksi di Steam karena terlalu banyak menekan tombol pembelian.

Steam Deck memang menjadi gebrakan baru yang memungkinkan gamer untuk merasakan memainkan game-game PC kesayangan mereka secara portabel. Kehadiran Steam Deck ini sebelumnya telah ditebak sebelumnya lewat project rahasia Valve yang menggunakan kode nama SteamPal.

Meskipun diklaim mampu memainkan game-game yang ada di Steam Library para pemain, Steam Deck sayangnya belum menunjukkan performa lapangannya secara nyata. Padahal dalam video perkenalannya, Steam Deck diperlihatkan dapat memainkan game AAA terbaru seperti Star Wars: Jedi Fallen Order dan bahkan Control.

Seperti yang dibahas oleh Digital Foundry dalam video terbarunya, masalah performa dan kompatibilitas masih menjadi perhatian utama dari PC portabel ini. Mereka membandingkan Steam Deck dengan konsol next-gen paling terjangkau saat ini yaitu Xbox Series S.

Secara performa Steam Deck memang lebih lemah daripada Series X namun masih jauh lebih superior dari apa yang ditawarkan Nintendo Switch. Selain spesifikasi, sistem operasi yang diusung juga menjadi kekhawatiran banyak gamer.

Valve memang mengatakan bahwa pengguna mampu menginstal Windows ke dalam Steam Deck namun sistem operasi bawaannya adalah Steam OS yang berbasis Linux. Dan para game mengkhawatirkan masalah kompatibilitas yang akan mereka hadapi saat memainkan game nantinya.

Image credit: Valve

Solusi yang dipersiapkan Valve adalah teknologi mereka bernama “Proton”. Teknologi ini nantinya memungkinkan Steam Deck untuk menerjemahkan kode game Windows untuk dapat berjalan di Linux. Meskipun tentu tidak semua game dapat berjalan sempurna menggunakan teknologi ini.

Dan terakhir adalah masalah daya tahan, sebagai konsol genggam Steam Deck tentu akan terbentur dengan kapasitas baterai yang dimiliki. Meskipun secara tertulis baterai dari Steam Deck adalah 40 Whr, lebih dari dua kali lipat dari baterai yang dimiliki Nintendo Switch yaitu 16 Whr. Namun variasi game yang akan dimainkan tentu akan mempengaruhi daya tahan baterainya.

Valve dikabarkan akan mulai mengirimkan konsol Steam Deck pada Desember tahun ini. Dan pemesanan tahap kedua baru akan dibuka pada kuartal kedua 2022 mendatang. Jadi kelihatannya para gamer harus ekstra bersabar hingga tahun depan bila ingin memesan konsol ini.

10 Aksesoris Nintendo Switch Terbaik yang Wajib Dimiliki

Kehadiran Nintendo Switch ke dalam pasar gaming memang membawa banyak perubahan. Pasalnya, ia bisa berfungsi sebagai konsol genggam (handheld) ataupun dimainkan di TV atau monitor layaknya konsol pada umumnya.

Konsol milik Nintendo ini kini tengah berumur 3 tahun, sehingga pilihan aksesoris untuk konsol ini telah banyak di pasaran. Bila Anda adalah salah satu pengguna ataupun berminat membeli Switch, kami telah merangkum beberapa aksesoris dari Nintendo Switch yang wajib dimiliki.

1. Anti gores / tempered Glass

Harga: Rp50.000 – Rp150.000

Meskipun Nintendo Switch mayoritas dimainkan menggunakan kontroler namun konsol ini mengusung layar sentuh kapasitif yang tidak terlindungi.

Sehingga, ada baiknya pelindung layar menjadi salah satu prioritas untuk dibeli agar layar Switch Anda tidak lecet atau bahkan pecah — khususnya bagi Anda yang memiliki kebiasaan meletakkan barang sembarangan.

2. Memory SDXC 128GB

Harga: Rp300.000-Rp500.000

Keterbatasan ruang penyimpanan tentu menjadi masalah di semua perangkat gaming. Switch juga menghadapi masalah yang sama terutama karena kapasitas penyimpanan internalnya hanya 32 GB.

Dengan semakin banyaknya game-game bagus yang dirilis di Switch, maka ada baiknya Anda segera membeli Micro SDXC agar ruang penyimpanan konsolnya semakin lega. Apalagi bila Anda langsung membeli 128 GB, kapasitas tersebut cukup lega untuk beberapa tahun ke depan.

3. Protective Case

Harga: Rp50.000-Rp300.000

Melanjutkan poin pertama, bila Anda merasa membutuhkan perlindungan lebih untuk konsol Switch Anda maka tidak ada salahnya untuk membeli protective case untuk memberikan perlindungan bukan hanya pada layar, namun seluruh bagian dari konsol Switch dari resiko saat terjatuh.

Layaknya smartphone, pilihan case untuk Switch sangat beragam mulai dari soft case hingga hard case dengan tampilan yang tentunya dapat disesuaikan dengan selera Anda. Pastikan saja case yang Anda beli sesuai dengan versi Switch yang Anda miliki.

4. Nintendo Switch Pro Controller

Harga:Rp850.000-Rp1.200.000

Karena selama pandemi ini kemungkinan besar Anda menghabiskan waktu bermain Switch di rumah, tidak ada salahnya untuk membeli Pro Controller untuk menambah kenyamanan saat bermain.

Apalagi kontroler bawaan Switch memang terasa terlalu kecil dan kurang nyaman saat digunakan dalam waktu yang lama. Bila Anda memang memiliki anggaran, Switch Pro Controller adalah pilihan yang tepat.

5. Switch Grips

Harga: Rp150.000-Rp500.000

Bagi yang lebih menyukai untuk menggenggam langsung konsol Switch saat memainkannya, setidaknya grips ini mampu membuat posisi menggenggam lebih nyaman.

Tambahan tumpuan diagonal di sisi kanan dan kiri Switch membuat posisi telapak tangan lebih natural dan tidak cepat lelah. Fitur tadi memang terlihat remeh, namun efeknya akan terasa untuk pemakaian dalam jangka waktu lama.

6. Ring Con – Leg Strap

Rp1.100.000-Rp1.300.000

Bagi yang ingin berolahraga di rumah dengan game, Anda bisa juga mempertimbangkan untuk membeli Ring Con dan Leg strap untuk memainkan (atau berolahraga) dengan Ring Fit Adventure.

Meskipun harganya cukup lumayan, aksesoris ini memiliki manfaat lebih karena bisa tetap membuat Anda bugar selama berada di rumah dan tetap menyenangkan karena Anda berolahraga dengan game.

7. Joy-Con Controller Set

Rp1.000.000-Rp1.300.000

Kami paham bahwa Switch sudah dilengkapi dengan sepasang Joy-con namun tidak ada salahnya untuk membeli satu set tambahan sebagai cadangan. Apalagi kasus “drifting” yang dialami oleh analog Joy-con masih ada. Sehingga, memiliki joy-con cadangan terasa masuk akal daripada harus kebingungan ketika tiba-tiba hal tersebut terjadi.

Selain itu, ekstra Joy-Con tersebut bisa berguna saat Anda ingin bermain lebih dari dua orang di saat bersamaan. Terutama bila Anda di rumah bersama keluarga dan ingin menghabiskan waktu bersama-sama bermain game.

8. Joy-Con Charging Dock

Rp100.000-Rp475.000

Bila Anda telah membeli Joy-Con tambahan, maka ada baiknya untuk membeli charging dock-nya juga sehingga Anda tidak perlu bingung dan khawatir untuk mengisi daya dari Joy-Con baru tadi.

Selain untuk mengisi daya, dock ini juga bisa menjadi tempat Anda menyimpan Joy-Con sehingga tidak tergeletak sembarangan. Sehingga, selain mengisi daya, kontroler Anda juga akan tertata rapi dan juga enak dilihat ketika tidak digunakan.

9. Compact Play Stand

Rp100.000-Rp300.000

Nintendo Switch memang telah dilengkapi dengan stand untuk membuatnya bisa berdiri, namun stand-nya sangat ringkih, tidak dapat diatur kemiringannya, dan juga membuat lubang port charger-nya tertutup.

Solusinya adalah membeli stand terpisah yang bisa membuat konsol Switch berdiri tegak dan dapat diatur sudut kemiringannya. Plus letaknya yang lebih tinggi memungkinkan untuk menggunakan Nintendo Switch tersebut sembari diisi daya.

10. Pouch Travel case

Rp100.000-Rp350.000

Produk yang satu ini sebenarnya sangat berguna bagi Anda yang sering membawa Nintendo Switch beraktivitas di luar rumah. Namun karena adanya pandemi tentu tidak disarankan untuk keluar rumah hanya untuk bermain Switch.

Meski begitu, tidak ada salahnya untuk membeli tas pelindung ini yang biasanya juga dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan cartridge game. Ada banyak model dan warna yang bisa Anda pilih sehingga bisa disesuaikan dengan selera.

Penutup

Itu tadi 10 aksesoris Nintendo Switch yang sekiranya wajib dimiliki. Kami yakin masih banyak aksesoris lain dengan beragam fungsi yang belum masuk ke dalam daftar ini.

Namun setidaknya 10 aksesoris di atas bisa menjadi rekomendasi untuk Anda yang tengah mencari barang untuk menambah pengalaman kenyamanan bermain Switch. Apalagi dengan kondisi pandemi seperti saat ini, memang lebih baik untuk tetap berada di rumah kecuali untuk keperluan penting.

Valve Dikabarkan Tengah Mengerjakan Konsol Handheld Baru

Dominasi Nintendo dalam hal konsol genggam (handheld) memang masih belum bisa disaingi oleh siapapun. Smartphone mungkin kini menjadi solusi bermain game portabel bagi mayoritas orang, namun tentunya ia tidak dapat menawarkan pengalaman bermain game sebaik handheld Nintendo seperti Switch, Game Boy, dll.

Namun ketenangan Nintendo di pasar konsol genggam kelihatannya akan segera terusik karena menurut laporan terbaru yang dilansir dari Ars Technica, Valve dilaporkan tengah mengembangkan sebuah konsol portabel ala Switch yang digunakan untuk memainkan game dari Steam.

Dari informasi yang ada, proyek konsol misterius ini memiliki kode nama SteamPal. Nama ini sendiri belum resmi dan kemungkinan akan diganti saat konsolnya benar-benar dirilis nanti. Kode nama SteamPal ini pertama kali ditemukan di dalam launcher terbaru Steam. Yang menarik SteamPal direferensikan untuk dirilis pada akhir tahun 2021 ini.

Steam Remote Play yang memungkinkan memainkan game Steam di smartphone secara streaming (Image credit: Steam)

Mengenai konsol portabelnya tersebut, dilaporkan bahwa SteamPal akan memiliki kontroler dan juga dukungan layar sentuh. Dan mirip seperti Switch konsol ini juga disebut-sebut akan memiliki fungsi dock untuk memainkannya di layar/TV. Perbedaannya adalah SteamPal tidak akan memiliki fitur joystick yang bisa dicabut-pasang namun akan memiliki sambungan kabel USB biasa bila dock-nya tidak ada.

Untuk hardware-nya, SteamPal dikabarkan akan menggunakan APU baik dari AMD maupun Intel dan akan memiliki basis sistem Linux. Meskipun disebutkan juga bahwa sistem konsolnya tetap mampu menjalankan game-game berbasis Windows.

Steam Machine dari Alienware (Image credit: Valve)

Belum ada pernyataan resmi dari Valve mengenai SteamPal ini, tetapi beberapa sumber menyebutkan bahwa Valve memang tengah mengerjakan konsol gaming portabel dan ternyata sudah dikembangkan selama beberapa waktu lalu.

Yang seharusnya masih membuka jendela kemungkinan bagi Valve untuk memperkenalkan SteamPal ini sebelum tahun 2021 berakhir nanti. Bos dari Valve, Gabe Newell memang sempat memberikan sinyal bahwa dirinya tertarik untuk membawa Steam ke konsol dan mungkin SteamPal akan jadi langkah besar bagi Steam untuk memberikan pengalaman bermain baru bagi pemainnya.

Sayangnya, perlu diperhatikan bahwa ini bukanlah kali pertama Valve mencoba terjun ke dunia hardware. Karena sebelumnya mereka telah mencoba merilis Steam Machine yang diposisikan sebagai pesaing konsol, namun ternyata kurang berhasil di pasaran. Apakah akhrinya Valve bisa berhasil dengan SteamPal ini nantinya?

Nintendo akan Produksi 30 Juta Unit Switch untuk Penuhi Permintaan

Menjadi konsol yang paling ideal untuk menghadapi masa-masa di rumah saja selama pandemi ini memang membuat permintaan terhadap Nintendo Switch tetap tinggi. Kehadiran konsol next-gen Playstation 5 dan Xbox Series X pun tidak membuat posisi Nintendo menjadi terancam.

Menghadirkan game-game yang ringan dan dapat dinikmati oleh berbagai kalangan, plus kemampuannya untuk berubah dari konsol rumahan menjadi konsol genggam masih menjadi nilai jual tinggi dari Switch. Bahkan, konsol ini beserta game-nya sempat mengalami lonjakan harga karena keterbatasan stok di awal-awal pandemi.

Sumber gambar: Depositphotos.com

Karena masih tingginya permintaan, menurut laporan terbaru dari Nikkei Asia, Nintendo siap untuk produksi Switch-nya hingga 30 juta unit untuk memenuhi permintaan dari seluruh dunia.

Nintendo dikabarkan sudah mendekati beberapa suplier part untuk dapat mempercepat proses produksinya. Dan, apabila Nintendo nantinya berhasil memenuhi atau bahkan melebihi target penjualan 30 juta unit, mereka akan memecahkan rekor penjualan total dari konsol mereka sebelumnya – Nintendo Wii.

Nikkei Asia sendiri juga menyinggung bahwa Nintendo tengah mempersiapkan model baru Switch yang mampu mendukung kualitas grafis yang lebih baik. Meskipun tidak dijelaskan lebih lanjut tentang model yang digadang-gadang akan bernama Nintendo Switch Pro ini.

2 tahun ke belakang memang merupakan tahun terbaik bagi Nintendo, karena mereka berhasil memecahkan rekor keuntungan tertinggi pada tahun 2020 lalu. Selain dari penjualan konsol, keuntungan Nintendo berasal dari layanan berlangganan berbayar Nintendo Switch Online yang mencapai dua kali lipat pada tahun lalu.

Kehadiran konsol next-gen serta naiknya popularitas mobile game dan juga cloud gaming memang memberikan tantangan bagi konsol Switch. Namun Nintendo masih berhasil membuatnya tetap kompetitif dan bahkan meningkat di tahun ke-5 dari Switch ini.

Nintendo Kabarnya Sedang Siapkan Switch Model Baru dengan Layar OLED yang Lebih Besar

Tidak terasa sudah empat tahun berlalu semenjak Nintendo Switch pertama kali dirilis. Selama itu, Switch belum pernah mendapatkan pembaruan yang berarti kecuali update minor yang meningkatkan efisiensi dayanya di tahun 2019. Namun itu bisa saja berubah tahun ini.

Berdasarkan laporan terbaru yang dipublikasikan Bloomberg, Nintendo sudah punya rencana untuk merilis model anyar Switch yang mengemas layar berukuran lebih besar tahun ini. Mereka kabarnya tengah menunggu kiriman suplai panel dari Samsung. Panel yang dimaksud sendiri adalah panel OLED 7 inci dengan resolusi 720p.

Namun sebelum Anda memutuskan untuk menunda membeli Switch dalam waktu dekat ini, perlu dicatat bahwa perilisan Switch model anyar ini kemungkinan besar masih lama. Menurut Bloomberg, Samsung baru akan mulai memproduksi panel OLED tersebut paling cepat di bulan Juni. Targetnya tentu adalah supaya Switch baru ini bisa mulai dijual memasuki musim liburan 2021.

Bentang diagonal 7 inci jelas merupakan peningkatan yang signifikan dibanding layar 6,2 inci milik Switch. Apakah itu berarti dimensi fisik Switch baru ini bakal membesar? Bisa jadi begitu, tapi tidak menutup kemungkinan juga ukurannya bisa dipertahankan dengan cara menyusutkan bezel layarnya.

Dari segi kualitas, OLED jelas punya banyak keunggulan dibanding LCD. Selain tingkat kontras yang lebih baik, OLED juga bisa membantu meningkatkan daya tahan baterai perangkat. Tentunya ini merupakan faktor sangat krusial untuk handheld console seperti Nintendo Switch.

Sumber gambar: Depositphotos.com
Sumber gambar: Depositphotos.com

Yang mungkin terdengar agak mengecewakan adalah resolusinya. Di saat yang sama, laporan Bloomberg juga mengatakan bahwa Switch model anyar ini mampu mendukung resolusi 4K ketika disambungkan ke TV via unit docking-nya. Kedengarannya memang menguntungkan buat konsumen, tapi bisa jadi memusingkan bagi kalangan developer karena mereka harus mengakomodasi gap resolusi yang bahkan lebih lebar lagi daripada sebelumnya.

Tidak seperti Sony ataupun Microsoft, Nintendo memang tidak pernah menitikberatkan soal spesifikasi ketika memperkenalkan console baru. Mereka lebih berfokus pada pengalaman keseluruhan yang bisa dinikmati oleh konsumen, dan keberadaan layar OLED tentu saja bisa berkontribusi besar terhadap hal ini.

Tentu saja tidak akan ada yang menolak seandainya Switch model anyar ini juga menghadirkan peningkatan dari sisi performa, terutama jika melihat deretan game yang dijadwalkan meluncur tahun depan macam Splatoon 3 maupun Pokemon Legends: Arceus.

Sumber: Bloomberg. Gambar header: Depositphotos.com.

7 Hal Mudah untuk Mengupgrade Keyboard Mekanikal Anda

Beberapa bulan belakangan, saya memiliki kebiasaan buruk baru yaitu belanja impulsif untuk gaming peripheral — mulai dari earcups headset, mousepad, mouse, sampai keyboard mekanikal dan komponennya (keycaps dkk.). Kebiasaan buruk ini bahkan sampai membuat tagihan kartu kredit saya membengkak… Wkwkwkw… 

Daripada hanya berujung pada penyesalan, saya pun memutuskan untuk berbagi pengalaman saya yang siapa tahu berguna bagi Anda juga.

Jadi, tanpa panjang lebar lagi, inilah beberapa upgrade yang bisa dilakukan untuk membuat keyboard mekanikal Anda lebih nyaman digunakan. Beberapa informasi/upgrade yang saya tuliskan di sini juga bisa Anda jadikan pertimbangan baru jika ingin membeli keyboard baru seutuhnya.

 

Mengganti Keycaps

Dokumentasi: Hybrid
Pudding keycaps. Dokumentasi: Hybrid

Mengganti keycaps memang kedengarannya sederhana namun hal ini punya beberapa dampak yang sangat signifikan dengan usaha yang minimal. Pertama, keycaps akan berpengaruh besar pada kenyamanan Anda mengetik ataupun bermain game. Kedua, keycaps juga akan mempengaruhi suara mekanikal keyboard Anda saat digunakan (khususnya saat bottoming out). Ketiga, tak kalah penting juga, keycaps sangat berpengaruh atas tampilan keyboard Anda. Mari kita bahas satu per satu.

Keycaps adalah komponen keyboard yang paling sering bersentuhan dengan jari Anda. Bahan (PBT, ABS, dkk.) keycaps akan terasa berbeda di jari-jari Anda. Kecuali Anda ikut Group Buy untuk keycaps eksklusif atau limited edition, saran saya, carilah keycaps dengan bahan PBT. Selain terasa lebih solid saat dipencet, finishing yang digunakan di PBT keycaps juga biasanya lebih enak untuk jari-jari Anda. 

Selain lebih nyaman di jari Anda, bahan PBT juga akan memberikan suara yang lebih tebal saat Anda bottoming out. Ingat, semakin tipis dinding rongga suara, semakin nyaring juga suara yang akan dihasilkan. Maka dari itu, keycaps ABS biasanya akan memberikan suara yang lebih kopong (hollow). Anda juga bisa bereksperimen dengan keycaps berbahan karet ataupun logam namun, bagi saya, keycaps PBT adalah yang paling ideal dari sisi harga, akses, dan kenyamanan penggunaan. 

Berbagai macam profile keycaps
Berbagai macam profile keycaps

Tahukah Anda bahwa keycaps sebenarnya punya tinggi dan bentuk yang berbeda-beda. Bentuk dan tinggi keycaps itu biasanya menggunakan istilah ‘profile’. Profile OEM adalah yang paling sering digunakan di semua keyboard produk massal. Ada juga Cherry profile yang lebih pendek namun masih angled/sculpted. Jika Anda mencari yang lebih tinggi dari profile OEM dan masih angled, profile SA bisa jadi pilihan Anda. Terakhir, ada profile XDA yang lebih pendek dan rata. 

Selain 4 profile tadi, masih ada varian lainnya lagi sebenarnya (seperti DSA, DCS, ataupun yang lainnya) namun; dari pengalaman saya cuci mata di online marketplace lokal, 4 profile yang saya sebutkan pertama adalah yang paling mudah ditemukan (meski profile SA tidak semudah 3 profile lainnya dan profile OEM adalah yang paling mudah dan paling murah).

Profile keycaps ini juga penting untuk diperhatikan karena akan memberikan kenyamanan dan suara yang berbeda. Untuk urusan kenyamanan penggunaan, tinggi keycaps akan sangat berpengaruh terhadap orientasi letak tombol (asumsinya Anda sudah tak melihat keyboard lagi saat menggunakannya) dan seberapa kuat tenaga yang dibutuhkan untuk bottoming out. Sedangkan untuk suaranya, semakin tinggi rongga suara, semakin nyaring juga bunyi yang dihasilkan oleh keycaps saat bottoming out. 

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Saran saya, cherry profile adalah yang paling ideal untuk Anda cari — jika ingin berganti dari OEM dan sebelum mencoba profile lainnya. Cherry profile lebih enak digunakan dari OEM karena lebih pendek sehingga kemungkinan Anda bottoming out juga akan lebih jarang — kecuali Anda terlalu brutal saat menggunakan keyboard. Berhubung lebih pendek juga, rongga suara yang dimiliki cherry profile pun jadi lebih sempit yang akan membuat keyboard Anda lebih padat juga suaranya.

Sayangnya, ada beberapa kekurangan besar dari cherry profile dibandingkan OEM. Pertama, keycaps ini biasanya dibanderol dengan harga yang lebih mahal. Kedua, varian keycapsnya pun juga jauh lebih terbatas. Anda akan jauh lebih sulit mencari keycaps cherry profile yang hurufnya tembus backlight ketimbang profile OEM. Setahu saya, tidak ada juga pudding keycaps yang menggunakan cherry profile. 

Meski demikian, dua kekurangan tadi bukan jadi masalah mengingat kenyamanan dan suara yang dihasilkan jauh lebih penting bagi saya.

Oh iya, sebelum mengganti keycaps, penting juga diperhatikan soal ukuran dan stem keycaps dari keyboard yang saat ini Anda gunakan. Tidak sedikit gaming keyboard yang tidak memiliki standard bottom row. Kebanyakan keyboard Corsair, misalnya, tidak memiliki bottom row yang standar (kecuali K100). Logitech G Pro juga tidak memiliki standard bottom row. Ukuran bottom row yang standar adalah 6.25u untuk spacebar dan 1.25u untuk sisa tombol lainnya (CTRL, Win key, ALT, dkk.). Untuk lebih lengkapnya, Anda lihat di gambar di bawah ini. 

Ukuran standar dari masing-masing keycaps
Ukuran standar dari masing-masing keycaps

Stem yang digunakan juga penting diperhatikan karena Anda tidak bisa memasangkan keycaps jika dudukannya berbeda. Saat ini, ada 2 switch yang saya ingat tidak cocok dengan Cherry MX stem, yaitu Logitech Romer-G dan ASUS ROG RX switch.

 

Memasang O-rings

Setelah mengganti keycaps, cara lain yang sangat mudah dilakukan adalah menambahkan O-rings ke keycaps Anda. Gara-gara Blackwidow V3 yang suaranya kopong, saya sebenarnya jadi terpaksa mencari tahu cara-cara apa saja yang bisa dilakukan untuk mengurangi suara keyboard yang terlalu berisik. 

O-rings benar-benar efektif dalam menghilangkan suara bottoming out dan instalasinya pun sangat mudah. Anda hanya perlu memasangkan ring-ring karet ke keycapsnya. Hasilnya pun efektif karena benar-benar bisa menghilangkan suara bottoming out — kadang ada yang butuh 2-3 ring, kadang hanya butuh satu ring, tergantung posisi lajur/row keycapsnya. Meski memang, idealnya, saya lebih suka jika tetap ada suara bottoming out tapi tidak terlalu nyaring/kopong juga.

Selain bisa menghilangkan suara bottoming out, O-rings juga bisa memperpendek jarak bottoming out. Namun fungsi ini subjektif tergantung selera Anda. Ada yang suka jarak bottoming out jauh dan ada yang suka jarak yang pendek. Selain jarak bottoming out yang berubah, satu lagi yang juga subjektif dari penggunaan O-rings adalah feel saat bottoming out

O-rings saat sudah terpasang di keycaps. Via: MechanicalKeyboards.com
O-rings saat sudah terpasang di keycaps. Via: MechanicalKeyboards.com

Meski kata-kata tak bisa sepenuhnya menggambarkan rasa, namun Anda bisa membayangkan rasanya dengan dan tanpa menggunakan O-rings lewat penjelasan berikut. Jika tanpa O-rings, feel yang Anda dapatkan saat bottoming out adalah plastik ketemu plastik (lapisan keras ketemu keras). Sedangkan dengan O-rings, feel yang Anda dapatkan adalah karet ketemu plastik — permukaan yang lunak ketemu yang keras.

Beberapa orang memang tidak suka feel yang berubah ketika menggunakan O-rings namun saya sendiri tidak terganggu, meski saya bisa membedakannya. Plus, memasang O-rings adalah solusi paling murah dan paling mudah jika Anda terganggu dengan suara bottoming out keyboard Anda sekarang.

Oh iya, O-rings sendiri juga punya varian ketebalan dan warna. Saran saya ambil yang warna transparan — siapa tahu warna lainnya akan mengganggu cahaya LED backlight dan ambil yang lebih tebal karena jadi tidak terlalu boros kalau 1 O-rings saja belum cukup buat keycaps tertentu.

O-rings berwarna transparan dengan tebal 3mm. Via: MechanicalKeyboards.co.id
O-rings berwarna transparan dengan tebal 3mm. Via: MechanicalKeyboards.co.id

 

Menggunakan Mousepad yang Panjang

Anda mungkin heran kenapa jadi menggunakan mousepad untuk keyboard. Sebelumnya, saya juga tidak merasa perlu. Namun setelah saya menggunakan mousepad yang seukuran taplak meja di bawah keyboard (saya menggunakan Ducky Flipper Extra R — 800x350x3mm), saya merasa mousepad tersebut sedikit membantu dalam meredam getaran keyboard. 

Seperti soal peredam suara yang akan saya bahas di bagian selanjutnya, meja Anda biasanya punya permukaan keras (kayu, kaca, logam) yang tidak mampu menahan getaran. Sedangkan mousepad punya permukaan yang lebih lunak — asal jangan yang hard surface. Dengan begitu, keyboard saya jadi tak bersentuhan langsung dengan permukaan meja saya yang pakai kaca dan getaran antara kedua permukaan keras tadi jadi bisa direduksi.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Selain soal meredam getaran dengan meja, saya merasa mousepad yang panjang ini juga bisa mengurangi jarak antara mouse dan keyboard. Pasalnya, jika Anda menggunakan mousepad hanya untuk mouse, Anda tidak mungkin meletakkan keyboard di atas sebagian mousepad saja karena keyboard Anda jadi tidak rata.

Namun demikian, signifikansi menggunakan mousepad untuk keyboard Anda tidak sebesar penggunaan O-rings yang bisa meredam habis suara bottoming out. Namun demikian, menggunakan mousepad di bawah keyboard, bagi saya, cukup terasa mengurangi suara dan juga tidak merepotkan — Anda tinggal beli mousepad yang ukurannya panjang saja dan menaruhnya di bawah mouse dan keyboard.

 

Menambahkan Wrist Rest

Jika Anda seperti saya yang bisa menghabiskan 6-10 jam berada di depan komputer per harinya (baik itu bekerja, main game, ataupun nonton bok… eh…), mungkin saja Anda sering merasa pegal-pegal pergelangan tangannya. Idealnya, Anda memang harus berdiri dan bergerak secara berkala dan tidak terus menerus duduk. Namun demikian, saya tahu hidup itu seringnya jauh dari kata ideal… Wwakwkak

Via: Ergonomic Trends
Credits: Ergonomic Trends

Sebelumnya, saya juga seringkali merasa sakit pergelangan tangannya ketika terlalu lama mengetik atau bermain game — karena pergelangan tangan saya langsung bersentuhan dengan permukaan meja yang keras. Saya tahu, posisi tersebut sebenarnya juga tidak ideal. Idealnya, menurut ahli ergonomi, pergelangan tangan Anda tidak diletakkan di atas meja namun di posisi melayang saat mengetik. Anda bisa melihat tautan di atas untuk mencari tahu lebih banyak soal posisi badan dan tangan yang baik saat menggunakan keyboard.

Namun masalah pergelangan tangan saya yang pegal karena posisi keyboard yang terlalu tinggi dan sakit karena terlalu lama ditekan ke permukaan keras, jadi jauh berkurang saat saya mulai menggunakan wrist rest. Katanya, menggunakan wrist rest pun sebenarnya masih kurang ideal jika posisinya tidak benar juga. Namun demikian saya sendiri merasa dengan hanya menggunakan wrist rest yang nyaman mampu memperpanjang durasi saya mengetik dan tidak cepat pegal ataupun sakit.

Saat ini, saya punya 3 jenis wrist rest. Wrist rest pertama bawaan paket dari SteelSeries Apex 7 yang bahannya keras namun dilapisi dengan permukaan karet. Sedangkan yang kedua saya dapat dari paket penjualan Razer Blackwidow V3 yang berbahan plastik. Wrist rest ketiga, besutan Tecware, saya beli terpisah yang berisikan busa dilapisi dengan kain.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Dari ketiga wrist rest yang saya miliki tadi, wrist rest dari Blackwidow V3 yang paling tidak enak digunakan. Pasalnya, wrist rest tersebut tetap punya permukaan yang plastik keras yang tetap sakit saat digunakan berlama-lama.

Wrist rest kedua yang lebih nyaman adalah yang disertakan dalam paket penjualan Apex 7, yang berbahan keras namun dilapisi karet. Sebenarnya, jika hanya dari bahan dan permukaannya, saya lebih suka wrist rest ini ketimbang yang berisikan busa — karena busa pasti akan kempes seiring digunakan. Karena permukaannya juga bukan kain, wrist rest dengan lapisan permukaan karet juga lebih tidak mudah kotor — karena lebih mudah dibersihkan. Sayangnya, wrist rest Apex 7, karena memang didesain spesifik untuk keyboard tersebut, posisinya jadi aneh saat digunakan dengan keyboard lainnya. Dan saya sudah tak lagi menggunakan keyboard itu gara-gara salah satu switch-nya sudah aus meski belum setahun digunakan.

Apex 7 yang dilengkapi dengan wrist rest pada paket penjualannya. Credit: SteelSeries.
Apex 7 yang dilengkapi dengan wrist rest pada paket penjualannya. Credit: SteelSeries

Wrist rest yang sekarang saya gunakan adalah yang berbahan busa dan dilapisi kain. Dari yang saya rasakan, menggunakan wrist rest (baik yang dari SteelSeries ataupun Tecware) bisa membantu saya lebih nyaman saat mengetik karena ada dua alasan. Pertama, pergelangan tangan saya tidak lagi harus ditekan/diletakkan di atas meja yang permukaannya keras. Kedua, wrist rest juga membuat posisi pergelangan tangan Anda jadi lebih tinggi sehingga lebih sejajar juga dengan keyboard.

Meski menggunakan wrist rest akan membuat Anda merasa lebih nyaman dan tidak cepat pegal, saya tetap menyarankan Anda untuk mencoba mengetik dengan posisi yang ideal dan tetap bergerak secara berkala (misalnya setiap satu jam sekali).

 

Memasang Lapisan Peredam Suara

Meski lebih repot ketimbang 4 hal di atas tadi, memasang peredam suara di (bottom) case juga mudah dilakukan dan akan membuat suara keyboard Anda lebih sunyi. Biasanya, case keyboard Anda berbahan plastik yang mudah memantulkan getaran suara. Dengan menambahkan lapisan yang lebih lembut, material tersebut dapat membantu menyerap getaran. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat Anda ingin menambahkan peredam suara untuk keyboard Anda.

Hal penting pertama adalah bahan. Peredam suara yang paling mudah didapat adalah lapisan busa tipis yang biasanya digunakan saat mengirimkan paket. Anda juga bisa menggunakan EVA foam yang murah. Anda juga bisa menggunakan busa lain yang biasa digunakan untuk keperluan lainnya (yang biasanya warna kuning). Jika Anda punya dana lebih dan sabar, ada yang bilang bahan sorbothane atau neoprene juga lebih baik untuk meredam suara — namun jujur saya malas repot dan beli lagi (wakwakawk) sehingga saya cari bahan yang sudah ada di rumah saya. 

Plus, dari pengalaman saya, busa tipis pembungkus, EVA foam, ataupun busa kuning itu juga sudah cukup untuk mengurangi suara nyaring keyboard Anda. Lagipula, menurut saya, ada faktor lain yang lebih signifikan dalam mengurangi suara keyboard yang terlalu berisik — seperti keycaps, o-rings, switch, ataupun case-nya.

Hal kedua yang penting diperhatikan adalah ketebalan dari lapisan busa tadi. Jangan seperti saya yang menjejalkan busa terlalu tebal karena bisa merusak dudukan case keyboard dan membuatnya setengah mati susahnya saat dirakit kembali.

 

Mengganti Switch dan Stabilizer

Hal selanjutnya yang bisa dilakukan (relatif) cukup mudah adalah mengganti switch dan stabilizer. Seperti yang saya tuliskan tadi, mengganti switch keyboard memberikan dampak yang lebih besar ke suara ketimbang memasang foam. Ditambah lagi, mengganti switch akan memberikan perbedaan kenyamanan mengetik yang jauh lebih signifikan.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Saat ini, saya sudah merasakan beberapa switch keyboard seperti Cherry MX Blue, Cherry MX Red, Cherry MX Brown, Cherry MX Black, SteelSeries Blue, Gateron Yellow, Gateron Red, Razer Green, dan Durock L2. Dari semuanya tadi, Durock L2 memberikan kenyamanan paling istimewa. Switchnya sungguh smooth dan suaranya pun tidak bising.

Jika saya harus memberikan saran, Durock L2 adalah switch yang harus Anda jadikan pilihan utama — jika Anda suka dengan switch linear (bukan tactile ataupun clicky). Harganya memang lebih mahal (terakhir saya beli Rp8800 per switch) tapi kenyamanan yang diberikan sungguh sepadan dengan harga yang harus dibayarkan. Durock switch juga sudah pre-lubed dari pabrikannya sehingga cocok juga jika Anda seperti saya yang malas. Jika anggaran Anda lebih terbatas, Gateron Yellow adalah opsi kedua yang saya sarankan. Saya bahkan sebelumnya lebih lebih suka switch clicky (Cherry MX Blue) namun, setelah impulsif belanja 2 bulan ini, saya jadi pindah ‘agama’ ke linear.

Selain switch, keycap stabilizer juga penting untuk kenyamanan dan suara keyboard. Stabilizer seperti milik Razer Blackwidow V3, misalnya, sungguh menyedihkan dan membuat suaranya sangat mengganggu saat digunakan. Jika Anda tak ingin repot, Anda bisa memilih beberapa keyboard yang sudah memberikan pelumas di stabilizer-nya seperti yang saya temukan di Tecware Phantom Elite ataupun Dareu EK840. Bagi saya, stabilizer yang pre-lubed semacam itu sudah cukup juga karena saya malas untuk membeli dan mengaplikasikan lube sendiri.


View this post on Instagram

A post shared by Yabes Elia (@elia.yabes)

Untuk mengganti switch dan stabilizer, Anda mungkin akan protes kenapa ditaruh di sini jika judulnya adalah upgrade yang ‘mudah’. Well, saya sekarang sudah menggunakan PCB yang hotswap di 3 keyboard saya. Jadi mengganti switch keyboard juga sudah semudah mengganti keycaps. Bahkan, seperti yang saya tuliskan beberapa waktu lalu, hotswap PCB harusnya jadi standar baru buat semua gaming keyboard — saya sudah tidak mau beli keyboard jika PCB nya tidak hotswap sekarang. Selain membuat upgrade switch semakin mudah, Anda tak perlu lagi pusing dan mengganti keyboard seutuhnya saat ada satu switch yang bermasalah — seperti yang saya rasakan dengan SteelSeries Apex 7 saya. 

Di sisi lain, jika Anda tidak ingin membeli keyboard baru (yang hotswap PCB-nya), belajar skill soldering dan desoldering juga sebenarnya sangat berguna asalkan tidak malas dan sabar. Meski saya pribadi memilih untuk menggunakan waktu luang saya untuk bermain game… Wkwawkakwa… Makanya, sekali lagi, fitur hotswap PCB jadi faktor yang sangat krusial.

Untuk lubing switch, saya juga malas sih (baik untuk membeli peralatannya ataupun proses lubing-nya) kwakawkaw… Makanya saya tidak akan bahas di sini. Namun jika Anda sabar, lubing switch juga akan membuat suara dan rasanya lebih halus. Meski begitu, saya pribadi merasa pre-lubed switch seperti Durock juga sudah ideal karena karena saya tak perlu keluar waktu dan tambahan dana lagi.  

Oh iya, jika Anda sudah menggunakan keyboard dengan hotswap PCB, penting juga untuk mencari tahu pin yang didukung oleh PCB tersebut. Ada 2 tipe pin switch, yaitu 3 dan 5 pin. Durock L2 tadi menggunakan 5 pin. Switch dengan 5 pin biasanya disebut PCB mount. Sedangkan switch dengan 3 pin biasanya disebut juga plate mount. Anda memang bisa memotong 2 kaki/pin plastik dari switch 5 pin untuk dipasangkan di hotswap PCB yang hanya mendukung 3 pin. Namun, sekali lagi, karena judul artikel ini adalah upgrade mudah dan saya itu pemalas (kawoakwokaw), PCB hotswap yang sudah mendukung 5 pin (biasanya ditulis support 3/5 pin) memberikan Anda kebebasan lebih dalam menentukan switch. 

 

Mengganti Case

Saat ini, saya punya 5 keyboard dengan 3 ukuran berbeda: 3 full size, 1 60% (61 keys), dan 1 68% (73 keys). Dari pengalaman saya menjejalkan peredam, mengganti switch, ataupun keycaps, ukuran case (keyboard) menjadi faktor yang lebih signifikan dalam menentukan suara keyboard. 

Logikanya, kembali ke teori rongga suara. Semakin besar rongga suara yang ada, semakin nyaring pula suara yang akan dihasilkan. Keyboard dengan ukuran mini (60-68%) tentunya jadi memiliki ruang yang lebih padat di dalam case-nya ketimbang keyboard TKL apalagi full size. 

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Saya sudah mencoba beberapa cara untuk mengurangi suara Blackwidow V3 seperti mengganti keycaps, memasang O-rings, dan menjejalkan busa (bahkan yang terlalu tebal sekalipun). Tecware Phantom Elite ataupun Dareu EK840 yang memang suara aslinya tak seburuk Blackwidow V3 tadi pun masih lebih nyaring dan tipis ketimbang suara yang dihasilkan oleh 2 keyboard saya yang berukuran 60 dan 68% meski dengan usaha minimalis. Resonansi suaranya jadi sangat pendek dan suaranya juga lebih tebal di keyboard yang berukuran imut.

Sayangnya, mengganti case itu memang tak semudah mengganti keycaps, memasang peredam, ataupun O-rings. Makanya saya taruh di bagian terakhir.  

Ada alasan lain juga kenapa saya bahas soal case dan ukuran keyboard di sini, meski usahanya tidak semudah 5 cara lain di atas. Sebelumnya, saya juga bingung kenapa keyboard full-size saya benar-benar punya warna/jenis suara yang berbeda jauh dengan suara keyboard yang saya dengar di video YouTuber yang menyasar pengguna keyboard mekanikal enthusiast (bukan cuma spesifik ke gamer). Jujur saya juga baru sadar setelah menggunakan sendiri keyboard yang berukuran compact. Mungkin memang ada caranya untuk membuat keyboard TKL ataupun full-sized agar suaranya mirip dengan yang berukuran mini (60-65%) namun antara caranya yang terlalu repot dan saya yang terlalu malas (seperti lubing switch, ingat jika full-sized berarti Anda harus melumas 104 switch) atau saya belum menemukan cara lainnya yang lebih mudah dan cepat. 

Selain berguna dalam mengubah warna suara keyboard Anda, tampilan keyboard pun juga bisa berubah saat Anda mengganti case. Apalagi jika misalnya Anda menggantinya dengan case berbahan acrylic (baik itu yang transparan ataupun frosted), Anda bisa membuat LED RGB keyboard terlihat lebih genjreng — seperti keyboard besutan Gamakay/Womier, K61 ataupun K87.

Gamakay K87. Via: Minimalistik on YouTube
Gamakay K87. Via: Minimalistik on YouTube

Melepas case keyboardnya sendiri memang mudah sebenarnya namun case penggantinya yang tidak mudah dicari — bahkan tidak ada keyboard pre-built dari brand mainstream yang dijual terpisah case-nya. Namun begitu, Anda bisa menemukan beberapa pengrajin atau penyedia jasa di ecommerce yang sudah biasa membuatkan custom case keyboard.

Sayangnya, kebanyakan bahan yang digunakan untuk custom case dari penyedia jasa tadi adalah acrylic. Mungkin memang bahan acrylic tidak jelek juga sebenarnya namun jadi terbatas saja pilihan Anda. Namun demikian, jika Anda kenal/tahu pengrajin kayu ataupun logam, Anda sebenarnya bisa juga membayar jasa mereka untuk membuatkan custom case dari bahan selain acrylic.

Jika Anda berniat untuk membuatkan custom case, yang perlu Anda ingat adalah soal ukuran rongga suara di case keyboard yang ingin dibuat. Jika ingin suara yang lebih tebal dan bulat, buat ruang kosong di case yang sesempit mungkin — asal jangan sampai mengganggu komponen dan PCB keyboard. Harusnya, bahan case juga berpengaruh terhadap suara namun, berhubung saya belum banyak bereksperimen dengan bahan case keyboard, saya tak bisa memberikan komentar lebih jauh.

Salah satu penyedia jasa pembuatan custom case. Via: Tokopedia.
Salah satu penyedia jasa pembuatan custom case. Via: Tokopedia.

 

Penutup

Itulah tadi 7 hal yang (relatif) mudah dilakukan untuk membuat keyboard Anda lebih nyaman digunakan (termasuk soal suaranya karena saya tidak nyaman juga dengan keyboard yang terlalu bising).

Untuk bagian switch, seperti yang saya bilang tadi, jika Anda sudah menggunakan PCB hotswap — mengganti switch jadi semudah mengganti keycaps. Saya kembali mengatakan hal ini karena juga berharap kita bersama-sama menuntut brand gaming mainstream untuk menerapkan standar hotswap; ketimbang fitur-fitur yang sekadar gimmick macam 4k polling rate atau analog switch.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Sedangkan untuk case, meski memang repot juga kalau Anda harus mencari pengrajin baru — jika sebelumnya belum ada kenalan. Namun, membuat custom case bisa Anda jadikan solusi terakhir jika cara-cara lain yang lebih mudah masih belum bisa menghantarkan Anda ke suara ataupun tampilan keyboard yang Anda dambakan. 

Setelah artikel ini, saya juga ingin berbagi soal pengalaman saya menggunakan keyboard dengan ukuran dan layout yang berbeda-beda. Jadi, jangan lupa kunjungi Hybrid setiap hari yak!

Doom Eternal Akan Segera Tersedia di Nintendo Switch

Doom Eternal akan tersedia di Nintendo Switch mulai 8 Desember mendatang. Dirilis di PC dan console pada bulan Maret lalu, game first-person shooter garapan id Software itu rupanya tidak butuh waktu lama untuk mampir ke handheld console Nintendo.

Tentunya yang selalu menjadi pertanyaan ketika ada game AAA yang di-port ke Switch adalah seputar performanya. Doom Eternal, buat yang tidak tahu, adalah game dengan kualitas grafik yang sangat bagus, dan tentunya ini bakal menjadi tantangan tersendiri bagi developer yang diberi tanggung jawab membuatkan versi Switch-nya.

Namun seandainya eksistensi Doom yang pertama di Switch bisa menjadi indikasi – yang menuai banyak pujian berkat performanya yang mulus – semestinya performa Doom Eternal di Switch bakal memuaskan. Pasalnya, developer yang mengerjakan versi Switch-nya adalah Panic Button, developer yang sama yang mengerjakan porting Doom sebelumnya, dan yang terbukti sangat bisa diandalkan untuk urusan porting.

Kasusnya berbeda jauh dari porting The Outer Worlds di Switch, yang bisa dibilang kurang layak dimainkan karena game akan terhenti dari waktu ke waktu untuk memuat aset grafik. Penurunan kualitas visual tentunya bukan masalah besar, tapi kalau sampai menghambat gameplay, pengalamannya jelas sama sekali tidak mengenakkan.

Faktor lain yang juga berpengaruh kalau menurut saya adalah engine yang digunakan oleh masing-masing game. Doom Eternal menggunakan engine id Tech 7, dan kalau berdasarkan pengalaman pribadi, engine ini cukup ramah terhadap hardware dengan spesifikasi rendah. Saya sempat memainkan Doom Eternal di PC lama saya yang masih menggunakan GPU Nvidia GeForce GTX 960 yang sudah berusia lima tahun, dan permainan masih bisa berjalan mulus di 50-60 fps, meski memang sebagian besar setting grafiknya saya buat low.

Berdasarkan laman FAQ resmi dari Bethesda, Doom Eternal versi Switch nantinya hanya akan tersedia dalam versi digital saja, dan instalasinya diperkirakan membutuhkan storage sebesar 18,8 GB. Doom Eternal versi Switch juga akan hadir membawa mode multiplayer yang cukup menarik, yang menempatkan dua pemain sebagai demon dan satu sebagai Doom Slayer untuk beradu.

Membasmi iblis menggunakan shotgun semestinya bisa menjadi aktivitas sampingan yang fresh bagi mereka yang mungkin sudah bosan dengan ketenteraman di Animal Crossing.

Sumber: Polygon.

The Operator “Branding” Wear Off Through Digital-Based Prepaid Service

Amid the stagnant industrial growth, telco operators continue to seek new breakthroughs through their products/services. Experienced in failing to develop a digital business, operators are getting serious to enter the application-based prepaid card service since last year.

In Indonesia, this service is considered new by the way it works very differently from ordinary prepaid cards. All activities from card ordering, number selection, registration, and data purchases are made through the application.

This service was first launched in Indonesia by Telkomsel in October 2019 under the brand by.U. A few months later, a similar service Switch Mobile was launched on the market. Switch Mobile is the latest Smartfren prepaid product.

In addition to the two operators, XL Axiata (XL) will dive into digital-based prepaid services in the near future. Based on DailySocial’s data, XL will soon join the club with Live.On.

The Live.On application is available on Google Play, but is not yet run officially. In our observation, XL opened Live.On official shop in Shopee to purchase the starter packs.

XL did not comment on this matter. Although, our sources say XL has partnered with Circles.Life to build Live.On. The Live.On app link on Google Play is similar to Circles.Life.

Circles Life is a digital telco startup (MVNO) available in Singapore, Australia, and Taiwan. Circles Life has indeed planned expansion to Indonesia since last year. It is not clear what kind of partnership between XL and Circles Life.

Provide young generations with “refreshment”

The initiative to develop a digital prepaid business indicates cellular operators to seriously targeting young people through branding and business models which is different from the previous cellular products.

Operators strive to present products to be personalized by user demands. This product is considered suitable for young people who tend to choose specific services.

Previously, former Telkomsel’s Managing Director Emma Sri Hartini had mentioned that Telkomsel had been established for 25 years and was seen as an old brand. The launch of by.U is considered to be a “refreshment” step to embrace generation Z without cannibalizing its existing products, such as simPATI, AS, and Loop.

“Gen Z does not want to have boundaries in terms of products, they are not product-driven. In contrast to all this time products that have been driven by the operator. Well, this by.U can be customized according to user demands,” Emma said.

Contacted separately, Smartfren’s President Director Merza Fachys said similar things. He said he wanted this cellular brand [Switch Mobile] to be known as a new product on the market without the need to be associated with the existing Smartfren brand.

“To date, our customers are mostly in class C and D. With this switch product, we aim at higher markets in B and C classes,” Merza said.

Enough with the price war

Furthermore, Merza, who is also the Deputy Chairperson of the Association of Indonesian Telecommunications Providers (ATSI), acknowledged that the telecommunications industry is starting to move towards digital prepaid services. The market awaits whether Indosat and Tri Indonesia to enter similar services.

In fact, prepaid products are actually common. Each operator has more than one cellular product targeting different market segments. However, digital-based prepaid products can be a new strategy for operators to get out of the long-standing price war.

Digital prepaid services promote brand and product novelty without being associated with telecommunications companies. According to Merza, this service can open up opportunities to compete in two market segments, which are affordable and premium markets.

After the failure era of e-commerce, e-wallet, and OTT, operators are still trying to find the right business model to become a digital telco (digico) operator. However, it is yet to find whether this strategy can have a positive impact on the growth of the telecommunications industry. Moreover, the growth space for cellular customers in Indonesia is increasingly difficult.

“To play on existing products, operators can no longer raise prices, customers will started to leave,” he explained.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian