Tak Harus Putih, Cover PS5 Kini Dapat Diganti dengan 5 Warna Lain Berkat Aksesori Resmi dari Sony

Saat pertama kali diungkap, PlayStation 5 langsung menuai banyak kontroversi terkait desainnya. Lalu ketika Sony sudah mulai memasarkannya, tidak sedikit konsumen yang terkejut melihat ukuran fisik PS5 yang tergolong bongsor. Singkat cerita, desain PS5 bukan untuk semua orang, dan Sony tampaknya sadar akan hal itu.

Namun tentu saja merombak desainnya secara drastis sekarang terdengar kurang rasional — mungkin ini bisa jadi salah satu ekspektasi kita untuk PlayStation 5 Pro nanti, seandainya ada. Yang bisa Sony lakukan sekarang setidaknya adalah memberikan opsi personalisasi warna kepada para pengguna PS5.

Ya, PS5 sekarang tidak harus berwarna putih. Sony baru saja menyingkap aksesori PS5 Console Cover dalam lima pilihan warna yang berbeda: Cosmic Red, Galactic Purple, Midnight Black, Starlight Blue, dan Galactic Purple. Cara pemasangannya mudah kalau menurut Sony sendiri; cukup lepas cover putih bawaan PS5, lalu ganti dengan yang baru ini. Selain untuk versi standarnya, aksesori ini juga tersedia buat PS5 Digital Edition, jadi jangan sampai Anda salah beli.

Supaya klop, Sony tidak lupa menyediakan controller DualSense dalam lima opsi warna yang sama persis, meski dua di antaranya (Cosmic Red dan Midnight Black) sebenarnya sudah tersedia selama beberapa bulan. Dari sisi fungsionalitas, controller baru ini sama persis seperti versi putih yang disertakan dalam paket penjualan PS5.

Di Indonesia, PS5 Console Cover bakal dijual secara resmi dengan harga Rp939.000, sedangkan controller DualSense dalam tiga warna barunya dibanderol Rp1.359.000. Sejauh ini belum ada informasi apakah ke depannya Sony bakal menjual konsol PS5 dalam warna-warna baru ini. Untuk sekarang, warna-warna baru ini sifatnya sebatas add-on yang opsional.

Untuk PS5 Console Cover varian Cosmic Red dan Midnight Black, pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai 21 Januari 2022. Sementara tiga varian warna sisanya diperkirakan bakal menyusul tidak lewat dari babak pertama 2022. Controller-nya sendiri akan lebih dulu dijual mulai 14 Januari 2022.

Di luar sana, sebenarnya sudah eksis sejumlah opsi cover untuk PS5 dari sejumlah produsen pihak ketiga — yang akhirnya memicu perseteruan hukum antara Sony dan produsen-produsen tersebut, sekaligus mendorong Sony untuk mematenkan desain cover PS5.

Sumber: Sony.

8 Detail Teknis Steam Deck yang Perlu Anda Ketahui

$400 untuk sebuah konsol genggam yang jauh lebih perkasa ketimbang Nintendo Switch merupakan premis yang sangat menggiurkan, belum lagi fakta bahwa konsol tersebut juga bisa berfungsi layaknya PC tradisional ketika dibutuhkan. Tidak heran kalau kemudian Steam Deck terus menjadi buah bibir meski peluncurannya harus ditunda dua bulan.

Sambil menunggu, Valve rupanya ingin berbagi lebih banyak mengenai konsol genggamnya tersebut. Lewat sebuah live stream yang ditujukan untuk kalangan developer, Valve menyingkap banyak detail baru terkait Steam Deck, khususnya dari sudut pandang teknis. Berikut rangkuman poin-poin yang paling menarik dari presentasi Valve.

1. Aerith SoC

Penggemar Final Fantasy VII mungkin bakal tersenyum mendengar ini: chip bikinan AMD yang mengotaki Steam Deck dinamai Aerith. Sebagai pengingat, chip ini merupakan sebuah APU yang menggabungkan 4-core dan 8-thread CPU Zen 2 dengan 8 compute unit (CU) RDNA 2.

CPU-nya mampu berjalan di kecepatan 2,4-3,5 GHz, sementara GPU-nya di 1-1,6 GHz. Sepintas terkesan pelan, dan chip-nya pun tidak dibekali teknologi turbo boost sama sekali. Menurut Valve, rancangan seperti ini disengaja guna memastikan performa Steam Deck bisa konsisten di segala skenario.

“Performa game Anda dalam sepuluh detik pertama kemungkinan besar bakal sama dengan performanya dua jam dari sekarang, atau seterusnya jika perangkat dicolok ke listrik,” terang Yazan Aldehayyat selaku Hardware Engineer Valve.

2. TDP 15 W

Aerith secara spesifik dirancang untuk beroperasi seefisien mungkin, dengan rentang thermal design power (TDP) sebesar 4-15 W. Namun sekali lagi, supaya kinerjanya bisa konsisten, baik dalam posisi handheld atau docked, Valve tidak membatasi seberapa besar daya yang bisa dikonsumsi oleh Aerith.

Kendati demikian, Valve tetap menerapkan sejumlah optimasi, semisal fitur global frame rate limiter (30 fps atau 60 fps) untuk game apapun sehingga masing-masing pengguna bebas menentukan apakah mereka lebih mementingkan performa atau daya tahan baterai.

Tidak kalah menarik adalah bagaimana Steam Deck dirancang agar membatasi kecepatan charging, kecepatan download, atau bandwith SSD-nya ketika suhu perangkat terdeteksi cukup tinggi. Tujuannya supaya kinerja optimal GPU-nya tetap bisa dipertahankan dalam kondisi yang kurang ideal, seperti ketika sedang bermain di bawah terik matahari misalnya.

3. RAM 16 GB

Aerith ditandemkan dengan RAM LPDDR5 berkapasitas 16 GB dan VRAM 1 GB. Valve menjelaskan bahwa mayoritas game modern sebenarnya tidak membutuhkan memori lebih dari 8 GB atau 12 GB, dan angka 16 GB ini murni Valve maksudkan untuk keperluan future-proofing.

Kok VRAM-nya kecil sekali? Ya, tapi kita juga tidak boleh lupa bahwa memorinya bersifat unified. Ini berarti GPU-nya bisa memanfaatkan kapasitas ekstra (hingga 8 GB) seandainya VRAM 1 GB tersebut terbukti kurang. Secara total, Steam Deck punya bandwith memori sebesar 88 GB/detik.

4. Performa mengalahi mini PC seharga $670

Pada laman dokumentasi untuk developer, Valve membandingkan Steam Deck dengan mini PC seharga $670 yang mengemas prosesor Ryzen 7 3750H, GPU Radeon RX Vega 10, dan RAM DDR4 16 GB. Menurut Valve, CPU-nya memang sedikit lebih perkasa ketimbang milik Steam Deck, akan tetapi GPU-nya lebih lemah dan bandwith memorinya lebih kecil, sehingga secara keseluruhan Steam Deck masih lebih superior.

5. eMMC vs SSD NVMe

Seperti yang kita tahu, Steam Deck hadir dalam tiga varian storage: 64 GB, 256 GB, dan 512 GB. Khusus untuk varian 64 GB, tipe storage yang digunakan adalah eMMC, sementara dua varian sisanya menggunakan SSD NVMe. Sudah bukan rahasia kalau NVMe punya kinerja yang lebih gegas dibanding eMMC. Namun yang jadi pertanyaan adalah, seberapa jauh selisihnya?

Di atas kertas, selisihnya rupanya tidak terlalu jauh kalau berdasarkan penjelasan Valve. Untuk loading game, varian 64 GB dengan eMMC cuma sekitar 12% lebih lambat dari varian 512 GB dengan NVMe, sedangkan untuk booting awal, selisihnya berkisar 25%. Waktu loading yang paling lama adalah jika game disimpan di kartu microSD, yakni sekitar 18% lebih lambat.

6. FSR untuk semua game

Secara teknis, port USB-C milik Steam Deck bisa mengakomodasi hingga dua monitor 4K 60 Hz sekaligus. Tentu saja itu konteksnya bukan bermain, sebab Steam Deck jelas bakal sangat kewalahan menjalankan game di resolusi setinggi itu.

Kabar baiknya, Steam Deck sepenuhnya kompatibel dengan teknologi upscaling FidelityFX Super Resolution (FSR) besutan AMD, yang tentunya bisa membantu meningkatkan performa ketika dipaksa menjalankan game di atas resolusi bawaannya (1200 x 800).

Memang tidak semua game, melainkan hanya judul-judul yang sejauh ini sudah mendukung FSR itu sendiri. Kendati demikian, Valve sudah punya rencana untuk merilis update sehingga Steam Deck bisa mendukung FSR di level sistem operasi, sehingga FSR dapat diaplikasikan ke game apapun.

7. Steam Remote Play

Berbekal Wi-Fi AC (Wi-Fi 5), Steam Deck diyakini mampu memberikan pengalaman Remote Play yang optimal — game dijalankan di PC, lalu di-stream oleh Steam Deck via Wi-Fi. Kenapa harus streaming kalau perangkatnya sanggup menjalankan game secara mandiri? Well, Valve bilang baterai Steam Deck bisa bertahan lebih lama saat dipakai streaming daripada saat menjalankan game-nya sendiri.

8. Quick suspend/resume

Sebagai sebuah konsol genggam, sudah sewajarnya apabila Steam Deck mendukung fitur quick suspend/resume. Tekan tombol power, maka perangkat masuk ke sleep mode. Tekan kembali, maka pengguna bisa langsung melanjutkan sesi bermain terakhirnya. Tidak dinyala-matikan seperti PC atau laptop.

Agar fitur ini bisa bekerja, Valve harus mengubah cara kerja sistem cloud save yang Steam tawarkan. Kalau sekarang sinkronisasinya cuma berlangsung ketika pengguna keluar dari game, nantinya sinkronisasi bakal berlangsung di background ketika fitur suspend tadi aktif.

Teorinya, ini berarti pengguna dapat berpindah dari Steam Deck ke PC secara cepat, ataupun sebaliknya. Tinggal pause game-nya, maka progresnya bisa langsung dilanjutkan di perangkat yang lain. Praktis dan sangat membantu.

Sumber: The Verge.

Harga Diri Gamers: Jadi Alasan untuk Lakukan Gatekeeping?

Dulu, jumlah gamers tidak sebanyak sekarang. Bermain game menjadi hobi bagi segelintir orang saja. Selain itu, dulu, gamers juga punya konotasi negatif. Sekarang, memang masih ada stigma buruk yang melekat pada game, tapi, semakin banyak orang yang sadar bahwa game tidak melulu membawa efek negatif. Game telah tumbuh menjadi industri yang nilainya mengalahkan industri perfilman dan musik. Industri game bahkan mendorong munculnya industri baru, seperti streaming game dan juga esports.

Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah gamers, muncul segregasi. Biasanya, gamers dikelompokkan berdasarkan platform yang mereka gunakan — PC, konsol, atau mobile — atau berdasarkan dedikasi mereka saat mereka bermain game — kasual atau hardcore. Mengelompokkan gamers berdasarkan preferensi mereka sebenarnya bukan masalah. Hanya saja, ketika sebagian gamers mulai membatasi sebagian orang untuk bergabung dengan komunitas game, hal inilah yang menjadi masalah.

Gatekeeping: Definisi dan Penyebab

Mencegah seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan akses akan sesuatu, begitulah pengertian gatekeeping secara sederhana. Sebenarnya, gatekeeping tidak hanya terjadi di industri game. Namun, karena Hybrid.co.id adalah media yang membahas soal game dan esports, artikel ini hanya akan membahas tentang fenomena gatekeeping di dunia game.

Lalu, bagaimana cara seorang gatekeeper mencegah orang lain untuk masuk ke dunia game? Memang, siapapun bisa membeli game dan memainkannya. Namun, gatekeepers punya cara untuk mencegah seseorang atau sekelompok orang untuk masuk ke dunia game.

Salah satu caranya adalah harassment. Misalnya, stereotipe gamers adalah laki-laki muda. Jadi, orang-orang yang tidak masuk dalam kategori ini bisa jadi korban dari harassment. Gangguan itu bisa membuat seseorang berhenti main game atau enggan untuk ikut aktif dalam komunitas.Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Reach3 Insights dan Lenovo, 59% perempuan merahasiakan gender mereka untuk menghindari harassment. Gender tidak selalu menjadi pemicu dari harassment. Terkadang, pemicunya adalah ras dan warna kulit.

Contoh harassment yang ditujukan pada perempuan. | Sumber: HuffPost

Menurut IGN, biasanya gatekeepers punya alasan kenapa mereka mencegah kelompok tertentu untuk masuk ke komunitasnya. Salah satu alsaannya adalah karena mereka menganggap komunitas gaming sebagai “safe space” mereka. Dan ketika ada orang lain di luar kelompoknya — alias outsider — mencoba untuk masuk, mereka menganggap hal itu sebagai ancaman akan ruang yang dia miliki. Apalagi karena dulu, gamers sering mendapat cap buruk.

Sementara itu, menurut Kotaku, harga diri bisa jadi awal dari gatekeeping. Banyak gamers yang merasa bangga menjadi gamers. Dengan mengklaim diri sebagai gamers, mereka ingin agar orang lain tahu akan kecintaan mereka pada game dan menghargai identitas mereka sebagai gamers. Masalah muncul ketika gamers mengelompokkan orang-orang berdasarkan apakah mereka bermain game atau tidak, yang menciptakan pertikaian antara “kita” dan “mereka”.

Di satu sisi, membuat komunitas eksklusif untuk gamers ini bisa mempererat hubungan antara para gamers. Karena, mereka akan merasa seolah-olah mereka ada di komunitas yang memiliki pemikiran yang serupa. Di sisi lain, pengelompokkan gamers dan non-gamers ini bisa membuat gamers secara otomatis mengasingkan orang-orang yang dianggap bukan bagian dari kelompok mereka.

Masalah menjadi semakin keruh ketika industri game tumbuh pesat dan jumlah gamers meroket. Orang-orang tidak lagi dikelompokkan berdasarkan apakah mereka bermain game atau tidak, tapi juga berdasarkan platform yang mereka gunakan atau genre yang mereka mainkan. Sebagian gamers akan dianggap “gamers sejati”, sementara yang lain tidak. Sebagian akan menjadi bagian dari kelompok, dan sebagian lagi tidak. Dan orang-orang yang bukan bagian dari kelompok akan diasingkan — atau didiskriminasi.

Dampak Gatekeeping

Salah satu masalah yang muncul karena gatekeeping adalah diskriminasi. Pada awalnya, game merupakan media hiburan yang ditujukan untuk laki-laki. Hal ini bisa terlihat dari tipe-tipe game yang muncul pada awal industri game. Namun, sekarang, jumlah gamers tidak hanya bertambah pesat, tapi juga menjadi semakin beragam. Di Asia, sekitar 38% gamers merupakan perempuan. Sayangnya, meningkatnya jumlah gamers perempuan tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan diperlakukan dengan baik. Banyak gamers perempuan yang mengalami diskrimasi berdasarkan gender.

Selain diskriminasi, masalah lain yang mungkin muncul karena gatekeeping adalah ableism. Masalah ini muncul ketika sekelompok gamers memandang rendah orang-orang yang bermain game dengan mode easy. Memang, tidak semua game harus punya easy mode. Beberapa game memang didesain untuk menawarkan tantangan, seperti Dark Souls. Meskipun begitu, hal itu bukan berarti bahwa para gamers yang memainkan game kasual atau bermain game di easy mode pantas untuk dihina dan direndahkan.

Kabar baiknya, sekarang, developer mulai memperhatikan masalah accessibility dari game mereka. Sehingga, penyandang disabilitas pun tetap bisa memainkan game tersebut. Salah satu contoh fitur accessibility yang ada pada game adalah fitur text-to-speech atau pengaturan warna bagi penyandang buta warna, lapor TechRadar. Difficulty settings juga merupakan bagian dari fitur accessibility dalam sebuah game, karena keberadaannya membuat semakin banyak orang bisa memainkan game itu.

Terakhir, masalah terbesar yang bisa muncul akibat gatekeeping adalah mematikan kreativitas pelaku industri game. Tujuan utama dari gatekeeping adalah mencegah sekelompok orang memasuki dunia game. Jadi, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa ikut aktif dalam komunitas game. Pada akhirnya,  komunitas game menjadi homogen, karena hanya terdiri dari orang-orang yang berasal satu kelompok saja. Padahal, keberagaman justru bisa menguntungkan ekosistem game. Seperti yang disebutkan oleh Kotaku, tanpa ide baru yang berbeda di dunia game, maka game sebagai media hiburan akan menjadi stagnan dan akhirnya, mati.

Sumber header: InvenGlobal

Versi Revisi Pertama PlayStation 5 Punya Sistem Pendingin yang Lebih Inferior

Belum lama ini, beredar kabar bahwa Sony mulai memasarkan PlayStation 5 versi revisi pertamanya di Australia. Versi tersebut tampak identik dengan yang pertama diluncurkan, akan tetapi desain dudukannya sedikit berbeda, dan bobotnya hampir 300 gram lebih ringan.

Tidak seperti sebelumnya, dudukan baru itu mengandalkan thumbscrew ketimbang sekrup biasa, sehingga konsumen bisa memasang atau melepasnya tanpa memerlukan bantuan obeng. Namun yang mencurigakan tentu adalah perbedaan bobotnya, sebab 300 gram itu sangatlah signifikan, dan semestinya dapat kita rasakan perbedaannya dengan mudah.

Daripada sekadar berasumsi, saya ingin mengajak Anda menonton video unggahan YouTuber Austin Evans. Di video tersebut, Austin membandingkan unit PS5 Digital Edition yang pertama dirilis dengan unit revisinya (yang sejauh ini baru dijual di Australia, Jepang, dan Amerika Serikat). Benar saja, angka di timbangannya menunjukkan selisih berat 287 gram antara versi lama dan barunya.

Untuk mengetahui apa yang berubah, Austin lanjut membongkar jeroan kedua unit PS5 tersebut (karena sekali lagi, tampilan luarnya sama sekali tidak ada yang berubah). Usut punya usut, Sony rupanya telah mengganti komponen heatsink di PS5 versi revisi ini. Bentuknya lebih ringkas daripada milik versi orisinalnya, dan ukuran pelat tembaganya pun juga tidak sebesar sebelumnya.

Namun yang lebih penting untuk disoroti adalah, perubahan desain heatsink ini juga berdampak pada performa termal PS5. Pengujian yang Austin lakukan menunjukkan bahwa versi revisinya mencatatkan suhu sekitar 3° sampai 5° C lebih panas daripada versi orisinal. Meski demikian, dampaknya ke performa CPU dan GPU masih belum bisa diketahui.

Heatsink PS5 versi orisinal (kiri) dan versi revisi (kanan) / Austin Evans

Kesimpulannya, PS5 versi revisi mengemas sistem pendingin yang lebih inferior ketimbang versi aslinya. Namun sejauh ini tidak diketahui apakah hal yang sama juga berlaku untuk PS5 standar yang dilengkapi disc drive.

Kenapa Sony menerapkan pembaruan yang ternyata malah berpengaruh negatif? Salah satu jawabannya mungkin adalah untuk menekan ongkos produksi. Kebetulan, Bloomberg belum lama ini melaporkan bahwa Sony sekarang sudah mulai mencetak laba dari penjualan PS5 standar.

Sumber: The Verge. Gambar header: Charles Sims via Unsplash.

App Annie & IDC: A Year after the Pandemic Started, Gamers Still Love Spending Money

The COVID-19 pandemic has highly benefited the growth of the gaming industry. In addition to the boost in sales of games, consoles, and gaming hardware, the pandemic has also increased the average playing time of most gamers. Although citizens of some countries have been freed from the COVID-19 calamity and went back to living life normally, the trends that emerged due to the pandemic — such as playing more games and watching more gaming streams — are surprisingly persisting.

The Driving Force of the Game Industry’s Growth: Mobile Gaming

Currently, mobile gaming seems to have the largest contribution in terms of consumer spending growth in digital games. According to the report published by App Annie and IDC, the total expenditure of mobile gamers around the world was over $120 billion USD, 2.9 times as much as the total spending of PC gamers, which only reached $41 billion USD. Console and handheld console players, on the other hand, had a total expenditure of $39 billion USD and $4 billion USD, respectively.

In the case of mobile gaming, Asia Pacific is still the region with the largest contribution to gamer’s total spendings, 50% to be exact. Interestingly, this figure actually plateaued throughout the pandemic. Instead, gamers in other regions, like NA and Western Europe, experienced an increase in gaming expenditure. Although the Asia Pacific region had massive spending in mobile games, expenses from PC/Mac gamers in the region declined marginally by 4%. This trend can be explained perhaps by the unfortunate closing of many internet cafes in the pandemic.

Gamers’ Spending in each platform. | Source: App Annie

On the other hand, the total worldwide expenditure in the realm of console gaming is expected to rise due to the launch of PlayStation 5 and Xbox Series X/S at the end of 2020. App Annie and IDC also mentioned that the console gaming audience has the potential to grow exponentially in the Asia Pacific region. With the recent launch of Xbox Series X in China on June 10, 2021, and PlayStation 5 on May 15, 2021, we should expect to see a surge in the console player population in Asia. In terms of handheld consoles, Nintendo Switch Lite is currently the only console that incentivizes consumption growth. As of September 2020, Nintendo has discontinued the production of the 3DS. Fortunately, the e-shop of the 3DS is still accessible.

In the United States, console sales increased rapidly in April 2020 after the US government announced the country’s lockdown. As console sales increase, more and more people subsequently download companion apps — such as Steam, PlayStation App, Nintendo Switch, and Xbox — that allow their PC/console game accounts to be accessible through their smartphones. Additionally, these companion apps also has chatting features so users can interact with their friends. Some apps also offer cloud gaming features that allows gamers to play their console games via smartphones.

Cross-Platform Games

One of the gaming trends that persisted after the COVID-19 pandemic is the rate of mobile game downloads. In the first quarter of 2021, there were over 1 billion mobile game downloads globally. This figure is 30% greater compared to Q4 of 2019. Expenditures on mobile games also increased in the same period. In Q1 2021, the total spending of mobile gamers around the world reached $1.7 billion USD per week, an astounding increase of 40% from the pre-pandemic period. Many game publishers, as a result, began placing their interest in launching games on the mobile platform.

Global weekly game downloads and consumer spendings. | Source: App Annie

Just like the mobile game segment, PC gaming also experienced some degree of growth during the pandemic. We can find this trend in the rise of Steam’s concurrent users and players. From October 2019 to April 2020, the number of daily concurrent users on Steam increased by 46% to a staggering 24.5 million users. Steam’s daily concurrent players also surged by 61% to 8.2 million. However, if we extend the period to March 2021, Steam’s daily users and player numbers reached 26.85 million (46% increase) and 7.4 million (60% increase), respectively. As we see from the statistics above, Steam’s player and user count did not decline but, instead, persisted after the pandemic.

What makes games so popular in the pandemic? According to App Annie and IDC, online real-time features — such as PvP — are highly common in today’s popular games, regardless of the gaming platform. In other words, most gamers want to play and interact with each other. After all, games can help cope with the loneliness of the pandemic isolation by providing a medium to connect with friends. Another feature that is rising in popularity is cross-play: a feature that allows gamers to play one game on multiple platforms. For example, players can start a game on PC and continue playing it on mobile or vice versa.

Steam’s daily concurrent users and players. | Source: IDC

An example of a game that, by far, has implemented the best cross-play feature is Genshin Impact. Since its launch in September 2020, miHoYo (the game dev of Genshin Impact) immediately released the game on several platforms at once: PC, console, and mobile. miHoYo’s decision to prioritize cross-play features — such as cross-save and co-op modes across platforms — is one of the reasons why Genshin Impact has successfully become a phenomenon in the gaming world.

Another popular cross-platform game is Among Us. In the span of just a few months in 2020, the player count of Among Us skyrocketed. In January 2020, the number of concurrent players in Among Us was less than a thousand. However, in September 2020, over 400 thousand people around the world were playing the game. Among Us is also incredibly popular on the mobile platform. At some point, Among Us download numbers in mobile were able to peak in the US, UK, and South Korea.

Gaming Stream Watch Times

The pandemic has also increased the amount of time people spend watching gaming content broadcasts. Up until April 2021, user engagement rates from Twitch and Discord continue to rise. In China, the watch times of game streaming platforms such as bilibili, Huya, and DouyuTV, have also gone up. The largest increase, uncoincidentally, occurred in the first half of 2020, which is when the COVID-19 pandemic started to emerge and forced people into quarantining in their homes.

 

The average time users spend watching gaming streams per month in different streaming platforms. | Source: App Annie

Viewers also become less hesitant in spending money on these platforms as they become more invested in them. Recently, there has been a steady rise in the total expenditure of Twitch and Discord users. In Q4 2020, Twitch managed to enter the list of 10 non-gaming applications with the largest total revenue. Twitch even climbed to 8th place on the list during the first quarter of 2021.

Featured Image: Unsplash. Translated by: Ananto Joyoadikusumo.

Nintendo Switch OLED Resmi Dirilis, Usung Layar yang Lebih Besar Sekaligus Lebih Superior

Kabar mengenai Nintendo Switch baru santer dibicarakan dalam beberapa bulan terakhir, dan rumor tersebut rupanya tidak meleset. Nintendo baru saja mengumumkan Switch OLED, penerus langsung Switch orisinal yang membawa sejumlah peningkatan.

Seperti yang sudah bisa kita tebak dari namanya, peningkatan yang paling utama terdapat pada layar sentuhnya. Switch OLED mengemas panel OLED 7 inci dengan resolusi 720p. Resolusinya memang sama persis, akan tetapi kekayaan warna, kontras, maupun tingkat kecerahannya sudah pasti lebih superior daripada Switch lama yang masih menggunakan panel LCD.

Ukuran layarnya juga agak membesar dari 6,2 inci menjadi 7 inci. Namun berkat bezel layar yang menipis secara drastis, panjang bodinya pun tidak berbeda terlalu jauh dibanding Switch orisinal. Tanpa Joy-Con, bobotnya berada di kisaran 322 gram, sedikit lebih berat daripada Switch lama yang memiliki bobot sekitar 299 gram.

Bicara soal Joy-Con, Nintendo rupanya sama sekali tidak mengubah controller yang bisa dilepas-pasang ini. Joy-Con milik Switch OLED sama persis seperti milik Switch lama. Yang berbeda hanyalah pilihan warnanya saja.

Satu perubahan yang terkesan sepele namun sangat besar dampaknya adalah desain adjustable kickstand yang terpasang di sisi belakang console. Kalau di Switch lama bentuknya cuma berupa plastik kecil yang terkesan ringkih, di Switch OLED bentuknya memanjang dari ujung kiri sampai ke kanan dan terkesan jauh lebih kokoh. Nintendo juga bilang bahwa Switch OLED menawarkan kualitas audio yang lebih baik dari sebelumnya.

Terkait performa, Switch OLED rupanya tidak menjanjikan peningkatan sama sekali. Kepada The Verge, Nintendo mengonfirmasi bahwa prosesor maupun memory yang tertanam di Switch OLED identik dengan milik Switch lama. Satu-satunya perbedaan adalah kapasitas penyimpanan internal Switch OLED yang dua kali lebih lega, yakni 64 GB.

Ketika dipasangkan pada dock-nya, display output yang dihasilkan Switch OLED juga tetap 1080p, bukan 4K seperti yang banyak dirumorkan selama ini. Dock yang disertakan dengan Switch OLED mempunyai desain yang agak berbeda. Selain kelihatan lebih sleek, dock baru ini juga lebih fungsional berkat kehadiran port LAN yang terintegrasi. Sebelum ini, pengguna Switch lama harus membeli adaptor LAN terpisah untuk dock-nya.

Selebihnya, Switch OLED terkesan sangat mirip dengan Switch lama. Dalam sekali pengisian, Switch OLED dapat dipakai bermain selama 4,5 sampai 9 jam nonstop, sama seperti versi revisi Switch orisinal yang mulai dijual di tahun 2019.

Di Amerika Serikat, Nintendo Switch OLED rencananya bakal dipasarkan mulai tanggal 8 Oktober dengan banderol $350. Switch lama yang dihargai $300 masih akan tetap dijual, tapi tidak ada yang tahu sampai kapan. Kalau ingin menghemat lebih banyak lagi, tentu saja masih ada Switch Lite.

Sumber: The Verge dan Business Wire.

Evercade VS Adalah Console Retro untuk Semua Kalangan Konsumen

Ada banyak cara untuk bisa memainkan deretan video game lawas. Namun bagaimanapun juga, kesan nostalgia yang terbaik baru bisa didapat apabila kita memainkannya menggunakan hardware aslinya, atau setidaknya menggunakan hardware baru yang secara spesifik diciptakan untuk retro gaming.

Kira-kira seperti itulah premis yang ditawarkan Evercade VS, game console baru buatan sebuah perusahaan bernama Blaze Entertainment. Sepintas, konsepnya mungkin terdengar mirip seperti Analogue Nt Mini, akan tetapi cara kerja kedua console benar-benar berbeda. Kalau Nt Mini punya slot untuk ditancapi kaset NES orisinal, VS justru menggunakan jenis kaset proprietary rancangan pengembangnya sendiri.

Alhasil, konsumen yang tidak pernah mencicipi permainan NES pun bisa ikut menikmati produk ini. Anda tidak perlu punya koleksi kaset game lawas untuk bisa menjadi konsumen Evercade VS, sebab semua kaset kompilasinya dapat dibeli langsung dari pengembangnya. Sejauh ini, pengembangnya sudah mengamankan lisensi dari 260 judul game agar dapat mereka kemas menjadi kaset untuk VS.

Bentuk kasetnya kecil dan langsung mengingatkan saya pada kaset GameBoy. VS dapat menampung hingga dua kaset sekaligus, dan tampilan antarmuka software-nya telah dioptimalkan supaya mudah untuk dinavigasikan. VS mengandalkan teknologi emulasi berkualitas tinggi, dan output 1080p yang dikirimkan ke TV via HDMI dipastikan akan selalu “pixel perfect“.

Pada kenyataannya, teknologi emulasinya sudah sangat terbukti karena VS bukanlah console retro pertama besutan Blaze. Sebelumnya, Blaze sudah lebih dulu merilis Evercade Handheld, yang pada dasarnya mengusung konsep retro gaming yang serupa dan dengan jenis kaset yang sama pula, hanya saja dalam kemasan yang portabel. Menurut analisis yang dilakukan Digital Foundry, kualitas emulasi yang ditawarkan Evercade Handheld sangatlah tinggi, dan itu semestinya bisa menjadi jaminan atas kinerja Evercade VS.

Teknologi emulasi dan jenis kaset yang digunakan Evercade VS sama persis dengan yang dipakai Evercade Handheld / Blaze Entertainment

Di bawah kompartemen kaset VS, ada empat colokan USB untuk controller. Selain menggunakan controller bawaannya yang juga kelihatan sangat retro, pengguna juga bisa menyambungkan beragam controller lain yang memang memanfaatkan sambungan USB. Bagi para pemilik Evercade Handheld, mereka bahkan juga bisa menggunakan console handheld tersebut sebagai controller untuk VS dengan bantuan sebuah kabel tambahan.

Rencananya, Evercade VS akan mulai dipasarkan pada bulan November 2021. Di Amerika Serikat, harganya dipatok $100, sedangkan kasetnya dijual seharga $20 per unit (satu kaset bisa berisikan beberapa judul game lawas sekaligus).

Sumber: The Verge.

Evo Bergabung dengan Keluarga PlayStation

Dimulai dari tahun 1996, Evo memang berawal dari sebuah turnamen komunitas berskala kecil yang sebelumnya bernama “Battle by the Bay” — turnamen untuk seri Street Fighter yang juga punya cerita panjang. Namun seiring waktu, Evolution Championship Series (Evo) pun berevolusi dan bahkan menjadi salah satu pilar terkuat atas perkembangan esports game fighting sepanjang sejarah. 

19 Maret 2021, Evo pun mengawali sebuah babak baru bersama dengan keluarga PlayStation. Sony Interactive Entertainment bekerja sama dengan RTS mengakuisisi Evo lewat sebuah joint venture partnership. Dengan berbekal pengalaman dalam esports event management, konsultan brand dan developer, serta talent management RTS adalah sebuah usaha baru yang dipimpin oleh CEO Stuart Saw dan didukung sejumlah investor, termasuk perusahaan hiburan, olahraga, dan konten, Endeavor.

Dua Co-Founders Evo, Tom dan Tony Cannon masih akan terlibat langsung dalam kapasitasnya sebagai penasehat untuk memastikan Evo terus mendukung komunitas game fighting dan pertumbuhannya.

Credit: Evo
Credit: Evo

Misi dari bergabungnya beberapa entitas tadi adalah mempertahankan autentisitas dari Evo untuk komunitas game fighting dan menemukan cara-cara kreatif, bersama dengan fans, untuk mengembangkan turnamen dan membuat event serta siarannya lebih menyenangkan, mengundang partisipasi, dan lebih mudah diakses oleh banyak orang.

Dengan dukungan berbagai publisher kelas dunia, Evo akan kembali digelar tahun ini (meski sebelumnya sempat absen di 2020). Kompetisi yang sepenuhnya online tersebut akan digelar pada tanggal 6-8 Agustus 2021 dan 13-15 Agustus 2021. Turnamen ini terbuka gratis buat para peserta dari Amerika, Eropa, dan Asia.

Menurut blog resmi dari PlayStation, ada beberapa game yang akan dipertandingkan di Evo tahun ini yaitu Tekken 7, Street Fighter V: Champion Edition, Mortal Kombat 11 Ultimate, dan Guilty Gear -Strive-.

Sumber: EVO
Sumber: EVO

Dengan masuknya Evo ke dalam PlayStation, apakah hal ini berarti Nintendo akan semakin tertinggal dalam hal esports? Sebelum ini, Nintendo sendiri memang nampaknya tidak terlalu tertarik untuk mengucurkan resource lebih untuk esports game mereka seperti Super Smash Bros.

Apakah akuisisi ini berarti esports game fighting bisa lebih populer lagi sebelumnya sehingga bisa sejajar dengan genre lain yang sudah lebih dulu populer seperti MOBA, FPS, ataupun Battle Royale? Apakah PlayStation bisa menjadi faktor kunci perkembangan itu? Apa saja kah yang sebenarnya membuat beberapa game esports lebih populer ketimbang game-game lainnya?

Nintendo Kabarnya Sedang Siapkan Switch Model Baru dengan Layar OLED yang Lebih Besar

Tidak terasa sudah empat tahun berlalu semenjak Nintendo Switch pertama kali dirilis. Selama itu, Switch belum pernah mendapatkan pembaruan yang berarti kecuali update minor yang meningkatkan efisiensi dayanya di tahun 2019. Namun itu bisa saja berubah tahun ini.

Berdasarkan laporan terbaru yang dipublikasikan Bloomberg, Nintendo sudah punya rencana untuk merilis model anyar Switch yang mengemas layar berukuran lebih besar tahun ini. Mereka kabarnya tengah menunggu kiriman suplai panel dari Samsung. Panel yang dimaksud sendiri adalah panel OLED 7 inci dengan resolusi 720p.

Namun sebelum Anda memutuskan untuk menunda membeli Switch dalam waktu dekat ini, perlu dicatat bahwa perilisan Switch model anyar ini kemungkinan besar masih lama. Menurut Bloomberg, Samsung baru akan mulai memproduksi panel OLED tersebut paling cepat di bulan Juni. Targetnya tentu adalah supaya Switch baru ini bisa mulai dijual memasuki musim liburan 2021.

Bentang diagonal 7 inci jelas merupakan peningkatan yang signifikan dibanding layar 6,2 inci milik Switch. Apakah itu berarti dimensi fisik Switch baru ini bakal membesar? Bisa jadi begitu, tapi tidak menutup kemungkinan juga ukurannya bisa dipertahankan dengan cara menyusutkan bezel layarnya.

Dari segi kualitas, OLED jelas punya banyak keunggulan dibanding LCD. Selain tingkat kontras yang lebih baik, OLED juga bisa membantu meningkatkan daya tahan baterai perangkat. Tentunya ini merupakan faktor sangat krusial untuk handheld console seperti Nintendo Switch.

Sumber gambar: Depositphotos.com
Sumber gambar: Depositphotos.com

Yang mungkin terdengar agak mengecewakan adalah resolusinya. Di saat yang sama, laporan Bloomberg juga mengatakan bahwa Switch model anyar ini mampu mendukung resolusi 4K ketika disambungkan ke TV via unit docking-nya. Kedengarannya memang menguntungkan buat konsumen, tapi bisa jadi memusingkan bagi kalangan developer karena mereka harus mengakomodasi gap resolusi yang bahkan lebih lebar lagi daripada sebelumnya.

Tidak seperti Sony ataupun Microsoft, Nintendo memang tidak pernah menitikberatkan soal spesifikasi ketika memperkenalkan console baru. Mereka lebih berfokus pada pengalaman keseluruhan yang bisa dinikmati oleh konsumen, dan keberadaan layar OLED tentu saja bisa berkontribusi besar terhadap hal ini.

Tentu saja tidak akan ada yang menolak seandainya Switch model anyar ini juga menghadirkan peningkatan dari sisi performa, terutama jika melihat deretan game yang dijadwalkan meluncur tahun depan macam Splatoon 3 maupun Pokemon Legends: Arceus.

Sumber: Bloomberg. Gambar header: Depositphotos.com.

Sony Tarik Cyberpunk 2077 dari PlayStation Store

Kontroversi seputar peluncuran Cyberpunk 2077 masih belum berakhir. Baru-baru ini, Sony mengumumkan bahwa mereka bakal memberikan refund kepada seluruh konsumennya yang membeli Cyberpunk 2077 via PlayStation Store. Bersamaan dengan itu, Sony juga memutuskan untuk menarik Cyberpunk 2077 sepenuhnya dari PlayStation Store hingga batas waktu yang belum ditentukan.

Kabar ini datang hanya beberapa hari setelah developer CD Projekt Red (CDPR) mengumumkan permintaan maafnya terkait seabrek kendala teknis yang melanda Cyberpunk 2077 di console last-gen (PlayStation 4 dan Xbox One). Mereka berjanji untuk merilis dua patch besar pada bulan Januari dan Februari, dengan harapan kendala teknisnya dapat teratasi dan konsumen bisa memainkannya dengan lancar di console last-gen.

Dalam pengumuman tersebut, CDPR juga menyinggung soal kesempatan bagi konsumen untuk melakukan refund apabila tidak bersedia menunggu. Sony sepertinya tidak mau menunggu terlalu lama dan langsung mengambil alih demi meminimalkan amarah konsumen. Saya tidak akan terkejut seandainya Microsoft akan segera menyusul dengan langkah yang serupa setelah ini.

Buat yang tidak tahu, Cyberpunk 2077 memang diwarnai banyak sekali problem teknis, terlepas dari kesuksesannya secara komersial. Saya pribadi sudah memainkannya selama sekitar 30 jam di PC, dan baru-baru ini saya stuck tidak bisa melanjutkan karena game selalu crash di titik progres yang sama. Spesifikasi PC yang saya gunakan memang jauh dari kata high-end, tapi di saat yang sama juga jauh lebih superior daripada PS4 maupun Xbox One.

Kotaku sempat melaporkan secara cukup merinci mengenai performa Cyberpunk 2077 di PS4 dan Xbox One, dan Digital Foundry belum lama ini juga membuat analisis yang mendetail mengenai hal yang sama. Kesimpulannya, Cyberpunk 2077 hampir tidak bisa dimainkan di console last-gen. Game benar-benar mengalami banyak crash, dan kalaupun tidak crash, pemain harus tabah melihat game-nya berjalan patah-patah di frame rate 15-20 fps.

Di PS4 Pro atau Xbox One X, performanya masih cukup lumayan, tapi tetap saja tidak sepenuhnya aman dari kendala teknis. Saya juga sama sekali belum menyinggung soal buruknya kualitas visual Cyberpunk 2077 di console last-gen. Kalau melihat game lain seperti Red Dead Redemption 2 misalnya, perbandingan kualitas visualnya di console last-gen dan PC tidak sedrastis Cyberpunk 2077 ini.

Semua itu pada akhirnya berujung pada keputusan bijak Sony tadi. Jika Anda sempat membeli Cyberpunk 2077 di PlayStation Store, silakan mengajukan refund jika tidak betah dengan keadaannya sekarang.

Via: GamesRadar.