XL Axiata dan Smartfren Bakal Merger, Membentuk Entitas Baru “MergeCo”

Axiata Group Berhad (induk XL Axiata) bersama dengan Sinar Mas (induk Smarfren), telah menandatangani nota kesepahaman tidak mengikat. Kesepakatan ini bertujuan untuk menjajaki kemungkinan penggabungan antara XL Axiata dan Smartfren, yang diharapkan dapat menciptakan entitas baru yang lebih kuat bernama MergeCo.

Nama MergeCo bukan yang pertama dipakai Axiata, sebelumnya saat mereka melakukan merger dengan Malaysian Communications and Multimedia Commission (MCMC) pada Juni 2022 lalu juga menggunakan nama merek tersebut.

Proses penjajakan ini masih berada pada tahap awal. Kedua perusahaan berharap dapat tetap menjadi pemegang saham pengendali dalam MergeCo. Saat ini, belum ada kesepakatan yang mengikat tercapai, dan kedua belah pihak sedang dalam proses validasi, uji tuntas, dan pembuatan rencana bisnis bersama.

Jika penggabungan ini berhasil, diharapkan dapat menciptakan sinergi yang signifikan melalui kombinasi skala usaha, keahlian, dan pemahaman pasar lokal yang dimiliki oleh kedua perusahaan. Ini tidak hanya akan memperkuat posisi kedua perusahaan di pasar telekomunikasi Indonesia tetapi juga diharapkan dapat menghasilkan pengalaman yang lebih baik bagi konsumen.

Axiata, sebagai pemain utama dalam sektor digital dan teknologi di Indonesia, memiliki visi jangka panjang untuk mendukung masa depan digital di negara ini. Melalui inisiatif ini, Axiata ingin memperkuat komitmennya sebagai pemimpin pasar di Indonesia, yang merupakan pasar kunci bagi perusahaan.

MergeCo diharapkan tidak hanya memenuhi tuntutan pasar yang semakin meningkat tetapi juga menciptakan nilai tambah bagi pemegang saham melalui operasi yang efisien dan pemanfaatan teknologi terkini. Ke depannya, jika penggabungan terlaksana, transaksi tersebut akan tunduk pada peraturan yang berlaku dan memerlukan persetujuan dari pemegang saham serta regulator.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

XL Axiata dan Smartfren Dilaporkan Menuju Kesepakatan Merger

Sinyal merger antara PT XL Axiata Tbk dan PT Smartfren Telecom Tbk mulai menuju titik terang. Berdasarkan laporan Bloomberg, Axiata Group Bhd dan PT Sinar Mas Group, tengah melakukan non-binding agreement untuk mencapai kesepakatan senilai $3,5 miliar (sekitar Rp56,6 triliun).

Menurut sumber internal, kedua induk usaha operator mobile ini sedang berdiskusi lebih lanjut terkait struktur dan transaksi yang mencakup kombinasi tunai dan saham. Apabila dikonsolidasikan menjadi satu badan usaha, aksi korporasi ini bakal menggabungkan pelanggan dengan total akumulasi sebesar 100 juta.

“Klausul perjanjian tak mengikat ini diperkirakan mencapai titik temu kesepakatan pada bulan berikutnya. Dengan begitu, kedua belah pihak bisa lanjut bernegosiasi dan melanjutkan due diligence,” ujar sumber tersebut.

Adapun, perwakilan XL Axiata mengungkap bahwa konsolidasi ini akan menguntungkan industri, dan pihaknya terbuka untuk mengeksplorasi berbagai opsi. Sementara, Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys, juga enggan berkomentar saat dimintai tanggapan.

Rumor merger XL dan Smartfren sebetulnya telah lama beredar. Dalam laporan awal Bloomberg pada September 2023, diskusi keduanya berjalan alot dan tidak mencapai kesepakatan. Adapun, diskusi tersebut mencakup konsolidasi jaringan dan kemitraan.

Apabila aksi korporasi tersebut terealisasi, ini akan menjadi merger XL Axiata untuk kedua kalinya. Sebelumnya, XL Axiata mencaplok operator PT Axis Telekom (Axis) senilai $865 juta atau sekitar Rp10 triliun pada 2014 silam.

Sejak lama, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mendorong industri telekomunikasi untuk berkonsolidasi. Selain karena saat itu terlalu banyak operator di dalam negeri, konsolidasi ini akan membuat industri menjadi lebih efisien di tengah gempuran OTT asing dan beban biaya jaringan yang tinggi.

Diolah kembali oleh DailySocial

Kominfo menyebut bahwa idealnya jumlah operator seluler cukup empat pemain saja. Ini berarti menyisakan Telkomsel yang saat ini menguasai lebih dari 50% pangsa pasar mobile di Indonesia, diikuti Indosat Ooredoo yang sudah melebur dengan Hutchison 3 Indonesia (Tri) pada 2022, XL Axiata, dan Smartfren.

Operator diketahui telah melakukan restrukturisasi portofolio bisnisnya seperti melepas aset menara dan data center, agar dapat fokus ke bisnis inti dan mencari sumber pendapatan baru. Salah satunya masuk ke bisnis digital.

Cara Registrasi Kartu XL, Mudah dan Cepat 2023

Sejak tahun 2018 lalu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mewajibkan registrasi kartu SIM menggunakan nomor identitas diri. Registrasi ini dilakukan dengan tujuan untuk melindungi pelanggan jasa telekomunikasi terhadap tindakan kejahatan dan aksi penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Diharapkan dengan registrasi ini, berbagai tindak kejahatan baik aksi terorisme hingga modus penipuan online dapat diminalisir. Selain itu, registrasi ini juga bertujuan untuk memudahkan pemerintah dalam penyaluran dana bantuan kepada pelanggan.

Nah, kali ini DailySocialid akan memberikan beberapa cara registrasi kartu XL secara mudah dan cepat.

Syarat Registrasi Kartu XL

Sebelum melakukan registrasi, kamu perlu menyiapkan beberapa persyaratan yang berhubungan data dirimu.

Syarat registrasi kartu XL bagi Warga Negara Indonesia (WNI):

  1. Nomor Induk Kependudukan (NIK)
  2. Kartu Keluarga

Syarat registrasi kartu XL bagi Warga Negara Asing (WNA):

  1. Paspor
  2. Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP)

Cara Registrasi Kartu XL

Cara Registrasi Kartu XL bagi Pengguna Baru via SMS

Bagi pengguna baru, berikut adalah beberapa langkah untuk registrasi kartu XL.

  1. Buka menu SMS di handphone-mu.
  2. Ketik DAFTAR#(NIK)#(Nomor Kartu Keluarga)#.
  3. Kirim ke 4444.
  4. Datamu akan divalidasi dan tunggu hingga proses registrasi selesai.

Cara Registrasi Kartu XL via Website

Selain via SMS, kamu juga bisa melakukan registrasi via website. Caranya adalah sebagai berikut.

  1. Buka situs www.xlaxiata.co.id/registrasi di browser-mu.
  2. Klik Pilih pada menu Menggunakan OTP.
  3. Masukkan nomor XL, NIK, dan KK.
  4. Klik Dapatkan Kode.
  5. Tunggu hingga XL Axiata mengirimkan kode OTP untukmu, lalu masukkan kode tersebut.
  6. Ceklis opsi Saya Bukan Robot.
  7. Klik Daftar.
  8. Tunggu hingga validasi data dan proses registrasimu selesai.

Selain cara di atas, kamu juga bisa melakukan registrasi kartu dengan menggunakan nomor PUK yang terletak di kartu SIM-mu. Caranya hampir sama dengan cara di atas, namun kamu perlu memilih opsi Menggunakan Nomor PUK dan masukkan 8 digit nomor terakhir PUK dari kartu SIM-mu.

Cara Registrasi Kartu XL bagi Pelanggan Lama

Untuk pelanggan lama, berikut adalah langkah-langkah registrasi kartu XL-mu.

  1. Buka menu SMS di handphone-mu.
  2. Ketik ULANG#(NIK)#(Nomor Kartu Keluarga)#.
  3. Kirim ke 4444.
  4. Tunggu hingga proses validasi data dan registrasi selesai.

Nah, itulah beberapa cara regitrasi kartu XL yang dapat kamu lakukan, baik untuk pelanggan baru maupun pelanggan lama. Selamat mencoba!

Resmi Tutup Platform Marketplace, Elevenia Mulai Eksplorasi Layanan B2B

Selesai sudah perjalanan Elevenia mengisi pasar online marketplace di Indonesia setelah hampir satu dekade lamanya. Per 1 Desember 2022 kemarin, Elevenia mengumumkan penghentian layanan dan operasional melalui situs resminya.

DailySocial.id telah mencoba menghubungi perwakilan Elevenia mengenai penutupan layanan ini dan langkah selanjutnya. Namun, belum ada tanggapan hingga berita ini diturunkan.

Selain marketplace, Elevenia juga memiliki lini bisnis yang membidik segmen B2B, yakni Elevenia Biz dan Enterprise Digital Technology Services (EDTS). Salah satu inisiatif yang telah hadirkan adalah platform E-Nusantara melalui kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta.

Inisiatif baru yang disiapkan Elevenia / Sumber: Elevenia

Berdasarkan keterangan di situs resminya, E-Nusantara disebutkan sebagai perusahaan trading yang memiliki misi untuk memberdayakan UMKM melalui digitalisasi untuk mendorong keberlanjutan sektor agrikultur dan UMKM. Platform ini membantu pemilik bisnis lokal menentukan komoditas lokal bahan baku dan memperluas penjualan ke pasar domestik dan global.

E-commerce milik operator

Kilas balik, XL Axiata dan SK Planet berinisiatif masuk ke e-commerce dengan membentuk usaha patungan (joint venture) pada 2013. XL merupakan operator seluler, sedangkan SK Planet anak perusahaan telekomunikasi asal Korea Selatan, SK Telecom. Masing-masing mengenggam kepemilikan sebesar 50%.

Layanan ini meluncur dengan nama Elevenia satu tahun setelahnya. Di tahun pertamanya, Elevenia mengantongi 1 juta pengguna dan mencetak pendapatan sebesar Rp250 miliar. Di 2016, Elevenia tercatat menawarkan lebih dari 4 juta produk dari 40.000 seller.

Ketatnya kompetisi dan sulitnya monetisasi memaksa XL dan SK Planet untuk hengkang dari bisnis ini, dan melepas kepemilikan ke Salim Group pada 2015. Saham keduanya diserahkan ke PT Jaya Kencana Mulia Lestari dan Superb Premium Pte. Ltd. melalui mekanisme Perjanjian Jual Beli Bersyarat (CSPA).

Pasca-divestasi tersebut, Elevenia sempat mencoba strategi baru dengan berfokus pada peningkatan kinerja keuangan yang lebih sehat melalui pengurangan diskon dan selektif terhadap subsidi.

Sebelum XL, layanan e-commerce milik operator, yakni Cipika.com (Indosat Ooredoo) lebih dulu tutup di 2017, sedangkan Blanja.com (JV milik Telkom dan eBay) menyusul tiga tahun berselang. Bagi operator telekomunikasi yang sektornya padat investasi dan berorientasi pada keuntungan, model bisnis e-commerce terbilang sulit sustain dalam jangka panjang.

Pasar e-commerce Indonesia

E-commerce merupakan motor penggerak utama ekonomi digital di Indonesia. Lebih dari satu dekade, ada banyak pelaku e-commerce hadir di Indonesia hingga akhirnya menyisakan beberapa pemain saja.

Saat ini, e-commerce Indonesia dikuasai oleh Tokopedia, Shopee, dan Lazada. Laporan Statista mencatat trafik bulanan di kuartal II 2022 dipimpin oleh Tokopedia dengan 158,35 juta kunjungan, Shopee dengan 131,3 juta kunjungan, dan Lazada sekitar 26,64 juta.

Meskipun ekosistemnya terbilang paling matang dibandingkan vertikal lain, pelaku e-commerce masih berupaya mencari model monetisasi yang dapat memberikan dampak signifikan terhadap profitabilitas. Pemain e-commerce masih menggelontorkan subsidi pada biaya logistik dan promosi.

Tokopedia, misalnya, akhirnya memperkenalkan paket berlangganan “Plus by GoTo” sebagai bentuk monetisasi baru induk usahanya, GoTo. Sementara, Bukalapak memilih untuk fokus ke lini bisnis “Mitra” UMKM sejak beberapa tahun terakhir.

Dalam laporan DSResearch bertajuk “The Power of E-commerce Spectrums”, faktor logistik dan distribusi masih menjadi tantangan utama pelaku e-commerce Indonesia.

Menurut GM Corporate Development MDI Ventures Alvin Evander, ekosistem turunan e-commerce, seperti logistik, tetap menjadi target investasi menarik di masa depan. Pasalnya, inovasi-inovasi di sub sektor ini dinilai dapat meningkatkan efisiensi serta  mengurangi biaya logistik.

LinkNet Resmi Dicaplok XL Axiata

PT Link Net Tbk (IDX: LINK) resmi dicaplok oleh PT XL Axiata Tbk (IDX: EXCL) dan Axiata Berhad. Perusahaan melepas 1,81 miliar saham dengan nilai sebesar Rp8,72 triliun.

Dalam keterangan resminya, Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady mengungkap divestasi saham ini menjadi salah satu strategi transformasi untuk memperkuat neraca dan mengumpulkan dana segar guna investasi lain di masa depan.

Saat ini, saham LinkNet dikuasai oeh Asia Link Dewa Pte Ltd dan Lippo Group melalui anak usahanya PT First Media Tbk (IDX: KBLV). Jumlah saham yang dilepas sebesar 1,81 miliar saham atau mewakili 66,03% dari jumlah saham disetor dan modal ditempatkan.

“LinkNet memiliki prospek cerah. Terlebih lagi, perusahaan mencatatkan kinerja keuangan sehat meskipun di momen pandemi Covid-19, tercermin dari nihilnya utang. Namun, perusahaan butuh strategi ekspansi lebih jauh dan signifikan untuk garap pasar digital di Indonesia,” tuturnya.

LinkNet akan memperkuat layanan konektivitas berbasis fiber optic dan VSAT berkecepatan tinggi, solusi TIK untuk memenuhi kebutuhan bisnis pelanggan, seperti cloud dan data center, dan perangkat penunjang berbasis teknologi lainnya.

Memperkuat bisnis fiber optic

Sebagaimana diketahui, XL Axiata memang tengah menggenjot pembangunan jaringan fiber optic di Indonesia untuk dapat memenuhi kebutuhan jaringan segmen B2B. Ini menjadi strategi diversifikasi bisnis XL Axiata ke jaringan tetap (fixed connectivity).

“Tujuan pengambilalihan saham ini adalah untuk mengembangkan dan memperluas jaringan usaha, serta memperkuat posisi XL dan induk usaha di bidang jasa telekomunikasi,” ungkap Sekretaris Perusahaan XL Axiata Ranty Astari Rachman seperti dikutip dari keterbukaan informasi BEI.

Saat ini XL menyediakan layanan broadband berbasis fiber optic melalui produk XL Home dan XL Satu Fiber. Pada produk XL Satu Fiber, layanan ini merupakan gabungan antara layanan fiber optic dan seluler yang dapat dipakai secara bersamaan.

Perusahaan menyebut jumlah rumah yang telah dilewati jaringan fiber optic-nya telah mencapai sebanyak 650.000 rumah di Indonesia. Hingga kuartal III 2921, XL telah membangun 153 ribu jaringan BTS, termasuk di antaranya adalah 69,9 ribu jaringan BTS 4G.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Ririek Adriansyah memproyeksikan pertumbuhan pendapatan industri telekomunikasi keseluruhan sebesar 3% secara tahunan. Rinciannya, bisnis konektivitas diestimasi tumbuh 4%, bisnis Teknologi, Informasi, Komunikasi (TIK) 8%, dan bisnis digital sebesar 12% pada periode 2020-2024.

[Kaleidoskop 2021] Catatan Penting Menyambut Babak Baru Industri Telekomunikasi

Investasi ke startup decacorn, konsolidasi antar-operator, hingga akuisisi perusahaan internet, merupakan tiga dari sekian banyak aksi korporasi yang menarik perhatian industri telekomunikasi Indonesia di sepanjang 2021.

Industri telekomunikasi juga menatap optimismenya di 2022 dengan proyeksi pertumbuhan 4% di bisnis konektivitas, 8% di TIK, dan digital sebesar 12%, meski operator sempat kesulitan meraup pendapatan di masa awal pandemi Covid-19.

DailySocial merangkum beberapa aksi korporasi besar di 2021, proyeksi pertumbuhan, hingga insight yang dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang masa depan industri telekomunikasi Indonesia selanjutnya.

Kaleidoskop telekomunikasi 2021

Pertama, Telkomsel menyuntik investasi tambahan ke Gojek senilai $300 juta atau sekitar Rp4,3 triliun pada Mei 2021. Investasi pertamanya dikucurkan pada November 2020 sebesar $ 150 juta atau Rp2,1 miliar.

Dalam laporan Info Memo Telkom di kuartal III 2021, Telkomsel disebut telah menikmati valuation benefit dari investasi ini. Adapun, Telkom dan Telkomsel akan melanjutkan kemitraan strategis dengan Gojek untuk mendigitalisasi UMKM dan mengakuisisi pengguna baru melalui ekosistem Gojek, mendorong mitra UMKM Gojek menjadi mitra reseller Telkomsel, dan meningkatkan akses outlet Telkomsel melalui layanan GoShop.

Kedua, industri telekomunikasi di Tanah Air mendapat angin segar dari pengumuman merger dan akuisisi (M&A) oleh Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia. Keduanya sepakat untuk menggabungkan bisnisnya menjadi “Indosat Ooredoo Hutchison” dengan nilai Rp85,6 triliun.

Managing Director of Ooredoo Group Aziz Aluthman Fakhroo mengungkap bahwa konsolidasi ini dapat membawa Indosat Ooredoo Hutchison sebagai operator telekomunikasi kedua terbesar di Indonesia dengan proyeksi pendapatan tahunan hingga $3 miliar atau sekitar Rp42,7 triliun. Asumsinya, pendapatan ini diperoleh dari penggabungan jaringan, frekuensi, keuangan, skala bisnis, dan SDM.

Sebelumnya, aksi M&A sudah lebih dulu dilakukan oleh PT Mobile-8 Tbk (FREN) mencaplok PT Smart Telecom dan melebur menjadi Smartfren. Kemudian aksi ini diikuti oleh PT XL Axiata Tbk (EXCL) yang mengakuisisi Axis senilai Rp8,6 triliun.

M&A, Investasi Nilai/Saham Keterangan
Telkomsel tambah investasi ke Gojek Rp4,3 triliun Suntikan investasi pertama senilai Rp2,1 triliun di 2020
Indosat Ooredoo akuisisi Hutchison 3 Indonesia (Tri) Rp85,6 triliun Efektif 4 Januari 2022
XL Axiata akuisisi LinkNet 66,03% saham LinkNet Tahap negosiasi Perjanjian Jual Beli (PJB)

Aksi korporasi 2021/Sumber: DailySocial, Bisnis Indonesia

Sementara, XL Axiata tengah melakukan negosiasi perjanjian jual beli (PJB) akuisisi saham PT Link Net Tbk (IDX: LINK) sebesar 66,03%. Rencana pengambilalihan saham ini terungkap lewat keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia pada 25 November 2021.

Mengutip CNN, aksi korporasi ini dilakukan sebagai strategi diversifikasi bisnis XL Axiata ke jaringan tetap (fixed connectivity). Adapun, XL tengah menggenjot pembangunan jaringan serat optik untuk mendorong bisnis jaringan dari segmen B2B.

Pemerintah sendiri melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menerbitkan peta jalan Indonesia Digital 2021-2024, yang mana di antaranya mencakup peningkatan infrastruktur digital, pemberdayaan masyarakat untuk mengembangan digital, dan mendorong Indonesia sebagai produsen teknologi.

Sumber: Kementerian Komunikasi dan Informatika

Sebagai informasi, pembangunan infrastruktur digital terdiri dari infrastruktur fisik; pembangunan internet di pedesaan, peningkatan kapasitas 4G dab 5G, jaringan serat optik, kabel laut, satelit, BTS, dan ponsel, serta infrastruktur non-fisik; cloud dan aplikasi, untuk mendukung kegiatan ekonomi digital.

Proyeksi telekomunikasi 2022

Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Ririek Adriansyah melihat industri telekomunikasi di dunia, termasuk Indonesia, sudah mulai menunjukkan tren positif dibandingkan ketika pertama kali menghadapi pandemi Covid-19. Ia memproyeksi tren ini terus berlanjut hingga tahun depan.

Dalam paparan “Outlook Industri Telekomunikasi 2022” oleh Indotelko, pertumbuhan pendapatan industri secara keseluruhan diestimasi mencapai 3% (YoY). Apabila dirinci, bisnis konektivitas diestimasi tumbuh 4%, Teknologi, Informasi, Komunikasi (TIK) 8%, dan bisnis digital sebesar 12% pada periode 2020-2024.

Proyeksi tersebut telah memperhitungkan tren pergeseran perilaku masyarakat yang mulai terbiasa beraktivitas secara digital, yang mana menurut Ririek sebanyak 90% masyarakat Indonesia diprediksi terus mempertahankan perilaku digital ini apabila pandemi selesai.

“Lini bisnis seluler, SMS dan voice call, diprediksi menurun karena orang semakin jarang menggunakannya. Sementara, layanan mobile data akan terus naik, tetapi unit price akan turun karena tingginya konsumsi,” ungkap Ririek beberapa waktu lalu.

Dengan proyeksi pertumbuhan tersebut, lanjut Ririek, hal ini dapat menjadi tantangan besar bagi operator karena mereka dituntut untuk berinvestasi di jaringan.

Kendati begitu, konsolidasi antara Indosat Ooredoo dan Tri Indonesia dinilai membawa angin segar bagi industri telekomunikasi di masa depan mengingat jumlah operator semakin menyusut, menyisakan pemain aktif: Telkomsel, Indosat Ooredoo Hutchison (branding usai merger), XL Axiata, dan Smartfren. Ditambah lagi, beberapa operator mulai merestrukturisasi portofolio bisnis telekomunikasi demi efisiensi, seperti melepas aset menara dan data center.

Ia juga memproyeksi pembangunan jaringan 5G beserta use case-nya akan terus berlanjut di Indonesia. Demikian juga dengan langkah digitasi dan digitalisasi operator telekomunikasi sejalan dengan upaya mereka mencari sumber pendapatan baru.

Yang perlu diantisipasi

Berdasarkan proyeksi dari lini bisnis digital, peluang operator telekomunikasi untuk mengeksplorasi produk/layanan digital baru masih besar. Operator belajar dari pengalaman dan kegagalan terdahulu ketika mengembangkan layanan digital, seperti uang elektronik dan marketplace. Ditambah, ekosistem digital di Indonesia semakin mapan sejalan dengan meningkatnya adopsi.

Pengamat Telekomunikasi ITB Ian Josef Matheus menilai sampai saat ini operator belum bisa membuat aplikasi yang dapat menyentuh masyarakat, dan punya ekosistem layanan lengkap yang dapat mengakomodasi berbagai keperluan, seperti Gojek dan OVO. Istilahnya, operator belum punya killer app yang relevan bagi basis penggunannya.

“Apabila operator bisa mencari tambahan [pendapatan] dari produk digital ataupun memiliki aplikasi sendiri, tentu hal ini akan membuat kualitas [jaringan] dan efesiensi menjadi besar. Atau misalnya, produk cloud dan konten tidak perlu dikerjakan atau dikembangkan semua oleh operator, tetapi bisa kolaborasi untuk mendorong peningkatan ARPU,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Pendapatan Telkomsel Indosat XL Axiata
9M21 Rp65,14 triliun (+0%) Rp23,1 triliun (+12%) Rp19,8 triliun (+0,7%)
9M20 Rp65,13 triliun Rp20,6 triliun Rp19,6 triliun
EBITDA Telkomsel Indosat XL Axiata
9M21 Rp39,4 triliun (+1,9%) Rp10,4 triliun (+22,7%) Rp9,9 triliun (+0,1%)
9M20 Rp38,4 triliun Rp8,5 triliun  Rp9,8 triliun
Pelanggan Telkomsel Indosat XL Axiata
9M21 173,5 juta (+1,9%) 62,3 juta (+3,2%) 57,9 juta (+1,9%)
9M20 170,1 juta 60,4 juta 56,8 juta

Sumber: Info Memo Telkom, Indosat Ooredoo, XL Axiata Kuartal III 2021

Terlepas dari pertumbuhan ekosistem digital Indonesia yang semakin mapan, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Muhammad Ridwan Effendi menilai tidak semua operator memiliki kebebasan atau kemampuan untuk bisa fokus mengembangkan bisnis digital.

Alasannya, infrastruktur jaringan merupakan bisnis inti operator seluler. Memang tren ke depan tidak lagi mengandalkan bisnis dasar dari infrastruktur, seperti voice call dan SMS, sehingga perlu adanya sumber pendapatan baru. Akan tetapi bisnis digital perlu ditopang oleh infrastruktur yang andal, jadi mau tidak mau operator kembali lagi ke bisnis akarnya.

“Saat ini, jika melihat jumlah base transceiver station (BTS) keseluruhan, jelas Telkomsel lebih unggul dibanding operator lain, dan ditunjang oleh jaringan optik milik Telkom. Sementara, operator yang lain masih terkendala [dalam pembangunan jaringan]. Makanya, tidak masalah [Telkom dan Telkomsel] agresif di bisnis digital,” ungkapnya dihubungi DailySocial.

Di samping eksplorasi bisnis digital, Ridwan juga mengantisipasi dampak dari merger Indosat Ooredoo terhadap Tri terhadap industri. Peleburan Tri akan meningkatkan jumlah frekuensi yang dimiliki Indosat, dan kondisi ini akan memampukan perusahaan untuk meningkatkan kapabilitas jaringan dan layanan.

“Juga, yang paling dinantikan di tahun depan adalah operator harus siap-siap mengeluarkan kocek untuk lelang frekuensi 5G setelah Analog Switch Off dimulai. Mereka perlu menyiapkan aplikasi yang menunjang untuk Industri 4.0.”

5G hingga eksplorasi bisnis digital

Dari kacamata penulis, sesungguhnya saya sempat ragu menantikan gebrakan baru di industri telekomunikasi Indonesia. Apalagi jika melihat realisasi pertumbuhan bisnis yang sempat stagnan. Operator juga tampak masih kesulitan mencari model yang tepat untuk mengeksplorasi lini digital sebagai sumber pendapatan baru selama beberapa tahun terakhir.

Namun, jika melihat sejumlah aksi korporasi operator di sepanjang 2021 dan ke belakang, saya cukup excited mengantisipasi apa yang akan terjadi di industri ini tahun depan.

Saya menyoroti sejumlah hal penting. Pertama, merger antara Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia otomatis merampingkan jumlah operator di Indonesia, membuat kompetisi antar-pemain semakin sehat tanpa perlu perang harga. Operator dapat fokus memenuhi pembangunan jaringan secara nasional.

Bisa jadi dalam 1-2 tahun ke depan, kita akan kembali mendengar aksi konsolidasi serupa. Skenario paling memungkinkan antara XL Axiata dan Smartfren. Selama satu dekade ini, Smartfren belum pernah mengecap keuntungan. Plus, keduanya santer dikabarkan akan merger. Jika ini direalisasikan, XL dan Smartfren bakal sama-sama mengalami aksi M&A kedua kalinya. Sebelumnya, XL mencaplok Axis, dan Mobile-8 melakukan merger dengan Smart Telecom.

Kedua, harapannya operator mulai mempersiapkan pengembangan use case layanan 5G sejalan dengan upaya pemerintah melakukan Analog Switch Off (ASO) dalam tiga tahap di 2022 untuk mempercepat implementasi 5G di frekuensi emas.

5G memang dikatakan sebagai game changer, tetapi semua itu tidak akan ada artinya tanpa ekosistem layanan dan perangkat, baik itu ponsel maupun perangkat-perangkat lain yang dapat terhubung di masa depan. Toh saat ini 5G belum digelar secara nasional karena keterbatasan spektrum. Masih ada waktu untuk mempersiapkan ekosistem pendukungnya.

Ketiga, saya cukup menantikan eksplorasi model bisnis digital lainnya dari operator telekomunikasi. Sejak dua tahun terakhir, operator telah mencoba melakukan berbagai gebrakan demi meningkatkan nilai tambah layanan dan mencari sumber pendapatan baru.

Salah satu gebrakan ini adalah layanan prabayar digital berbasis aplikasi yang dikeluarkan oleh Telkomsel, Indosat, XL, dan Smartfren. Operator seluler menggunakan pendekatan berbeda agar lebih luwes mengakuisisi pengguna baru tanpa embel-embel branding operator.

Pendekatan tanpa branding operator juga dipakai untuk masuk ke bisnis digital non-telekomunikasi. Telkomsel berani masuk ke layanan edtech (Kuncie) dan healthtech (Fita), dua vertikal yang mungkin belum pernah menjadi diversifikasi layanan digital operator di Indonesia. Selama ini, operator telekomunikasi mengembangkan layanan digital yang masih relevan dengan bisnis utama mereka, seperti IoT, big data, dan hiburan (musik, video, games) baik dikembangkan sendiri maupun lewat skema investasi atau kemitraan strategis.

Berdasarkan wawancara DailySocial dengan petinggi Kuncie dan Fita, Telkomsel menggunakan pendekatan berbeda pula pada pengelolaan bisnisnya, yakni keleluasaan mengembangkan produk dengan growth mentality ala startup. Jika keduanya memberikan performa baik, Kuncie dan Fita berpotensi di-spin off agar bisa akselerasi lebih cepat. Saat ini, Kuncie mengantongi satu juta unduhan, sedangkan Fita lebih dari 500 ribu unduhan aplikasi di Google Play Store.

Berkaca dari perjalanan produk unggulan digital Telkomsel, Tcash baru bisa mengecap pertumbuhan pemakaian besar ketika di-spin off dan di-rebranding menjadi LinkAja. Sebelum rebranding, Tcash hanya punya 20 juta pengguna. Usai lepas dari Telkomsel, pengguna LinkAja melesat menjadi 70 juta per Juni 2021.

Indosat juga cukup agresif mengembangkan ekosistem layanan digital yang lengkap meski masih memiliki asosiasi kuat dengan branding-nya. Di tahun ini, anak usaha Ooredoo Group ini meluncurkan platform gaya hidup IMove dengan konsep gamifikasi dan platform IM Gaming yang menyediakan berbagai layanan bagi para gamer, mulai dari bermain dan berkompetisi, menonton game, dan membeli item dalam permainan.

Sebagai kesimpulan, pengembangan bisnis digital memang identik dengan investasi besar, dinamika tren, dan akselerasi produk yang cepat. Kriteria ini sulit dipenuhi oleh nature bisnis operator. Namun, dengan perkembangan ekonomi digital dan ekosistem yang makin mapan, operator telekomunikasi kini memiliki peluang dan opsi yang beragam untuk meningkatkan value added dan mencari sumber pendapatan baru.

Digital Prepaid Strives to Become Consumers’ Alternative Service

Over the past decade, telecommunication operators have been experimenting to find the right formula to improve its business performance. Since the emergence of over-the-top (OTT) services in Indonesia, operators have developed various service models to bring in new customers and increase ARPU.

A series of operators have tried e-commerce and digital money businesses. They failed to develop a sustainable business. From two years ago, the operator is finally back with a new strategy. This time, it’s not creating digital services. Instead, they provide services that remains in the corridor of its core business, but with a different approach.

Operators introduce digital-based prepaid services. It is said as various user transaction activities are carried out entirely through the application. In this case, the operator offers a unique value proposition to accommodate market demand that likes to try new ways.

For example, consumers can customize the SIM card, or in other words, select a ‘special number’ through the application. Likewise the purchase and registration of cards. This method is definitely different from what we usually do; buy starter packs and top up data at the counters.

Currently, consumers have three choices of digital prepaid brands, by.U, Live.On, and MPWR. There used to be four, but Switch Mobile decided to discontinue its service in early 2021.

The question is, will digital prepaid services be able to survive the hustle and bustle of the telecommunications industry which is getting saturated? DailySocial, through this writings, has compiled various perspectives regarding the digital prepaid phenomenon and its projections in the future.

Changing operator’s branding

As previously said, telecommunications services are identical to conventional methods. In fact, the idea of ​​digitizing this process has been achieved considering that operators have its own applications that serve to provide data or credit package purchases. However, this is not the goal.

According to Telkomsel’s former President Director, Emma Sri Hartini, by.U could bring “refreshment” to the telecommunications industry that was more familiar with the presence of the old card brand. She considered by.U to be able to embrace the younger generation without having to be closely associated with Telkomsel, which has often been associated with expensive cellular cards.

Another reason is that today’s young generation tends not to want to be dictated to the service needs, aka product-driven. Digital prepaid cards offer service customization that is considered to be able to meet the needs of users in this segment.

Smartfren’s President Director, Merza Fachys previously said the same thing. This digital cellular brand can be positioned as a completely new product without the need to be associated with the existing parent brand.

Big job on increasing awareness

Based on its timestamp, by.U is the first digital prepaid product launched in Indonesia (October 2019). Then, followed by Switch Mobile (March 2020), Live.On (October 2020), and MPWR (December 2020). Almost two years later, are these products able to disrupt the existence of cards that have been circulating in the market for a long time? Can the new approach brands steal consumers’ attention?

The hypothesis above can easily be broken considering the Switch Mobile’s sudden discontinuation within only a year. Switch did not specify the reason behind this closure. We can assume this service is a failure in the market. It may also be because consumers are not used to enjoying cellular services in a new way. Otherwise, it could be a lack of awareness due to the Covid-19 pandemic situation which makes it difficult for service providers to market its products offline.

Another assumption is that the cellular market is already saturated, making it difficult to gain significant traction. Moreover, it is targeting certain segments, not the mass market.

Quoting Katadata, the Central Statistics Agency (BPS) noted that cellular card users reached 341.28 million in 2019, down from 435.1 million in 2017. Its penetration exceeded the total population of 269.6 million in 2019.

Platform Provider Rating
by.U Telkomsel 4.5 (5M+ downloads)
Live On XL Axiata 3.7 (100K+ downloads)
MPWR Indosat Ooredoo 2.7 (1M+ downloads)
Switch Mobile Smartfren Terminated

We tried to validate this with every digital prepaid service provider, but most were reluctant to share the data. Telkomsel isthe only provider willing to reveal a little information. by.U’s Principal Growth Lead, Riko Ringgoanto said its users reached 2.5 million after two years of launching. This means that by.U only contributed 1.4% of the total 169.2 million Telkomsel subscribers in the first semester of 2021.

Riko added, this achievement has exceeded the prior expectations. This target even consider the Covid-19 factor where consumers tend to reduce their spending. With the current total user and engagement, he said that by.U is already product-market fit.

“Awareness is still our big homework for the past two years. Due to Covid-19, it has become difficult for us to market advertisements and offline events. However, we continue to intensively do digital placements, enter youth communities in the region, and hold webinars. As by.U is a digital-only prepaid, it seems that it is becoming less chaotic. Indeed, offline channels still number one promotion in Indonesia. When the situation improves, we are prepared to promote in offline locations, such as MRT and KRL,” he explained.

Meanwhile, XL Axiata’s Head of External Communications, Henry Wijayanto agred on this. Although marketing activities have become limited, his team sees a positive impact where people are now getting used to doing digital activities.

“Similar challenges faced by all digital telco brands on how to increase awareness and credibility. Moreover, as a new brand, these things will often appear. We will continue to increase sustainable partnerships to encourage consumer needs to go digital,” Henry said to DailySocial.

Is it enough for disruption?

Secretary General of the ITB Telecommunication Policy and Regulatory Study Center Muhammad Ridwan Effendi said that the emergence of digital prepaid will be difficult to disrupt prepaid brands that have been around for a long time. In addition to today’s prepaid products, Indonesians seem to prefer products with more simple feature and easier to remember. Therefore, the new products emergence is considered to be difficult to survive.

“In some countries, digital operators such as the MVNO model enter with a community approach. However, it is still less successful here. There are [prepaid] products entering the youth community segment, eventually disbanding. Maybe we need to try to enter a wider community, such as religion, motorcycles, or music. This concept has been successful in several countries,” he explained.

Currently, Indonesia has at least more than ten brands of cellular cards, both prepaid and postpaid cards. In order to boost efficiency with today’s competitive cellular market, several operators have started to streamline its service brands.

Citing Liputan6.com, Telkomsel finally merged the prepaid brands from SimPATI, Loop, and Kartu AS into Telkomsel Prepaid. According to internal research conducted over the past year, Telkomsel sees customer segmentation as less relevant in the digital era. It is now more focused on presenting packages according to customer needs and interests.

Meanwhile, Telecommunications Observer from ITB, Ian Josef Matheus actually present a different perspective. Instead of coming up with new brands and approaches, operators should give consumers more understanding that postpaid and prepaid costs are eventually the same.

“Prepaid is indeed the biggest contributor to cellular operator income. However, prepaid cards should only be made in one brand and indeed what the community really needs. It is to avoide confusion for customers or potential customers with the combined advantages,” he told DailySocial.

In addition, operators can actually develop more innovations for postpaid because their ARPU is considered to guarantee more income. For example, providing volume-based or time-based on-demand payments for digital applications developed by mobile operators.

“Unfortunately, operators are yet to have a killer product which popularity can match WhatsApp, Zoom, or Telegram. In fact, self-owned applications can reduce outgoing traffic and streamline spending costs. Even if they cannot develop internally, at least operators can collaborate with the digital ecosystem to encourage increasing ARPU,” he added.

Respondent’s perspective

DailySocial had the opportunity to conduct a mini survey from the user’s point of view. As a disclaimer, this survey does not fully reflect the facts and problems in the field. This survey was conducted to show users’ perspectives regarding the use of digital prepaid services, as well as our efforts to validate it with related service providers.

The survey shows that most respondents use digital prepaid as a secondary number for their mobile data or internet needs. Respondents also admitted that they did not plan to make it their main number.

Some respondents admitted that they did not want to use it for some reasons, including not keen to install the application, not being interested, its complicated, and too many numbers. As many as 40% of respondents said they were not interested in trying digital prepaid in the future, 40% said they were interested, and 20% answered maybe.

Sumber: Mini Survey DailySocial
Source: DailySocial’s mini survey

“Before it was launched, we were aware that by.U would be used as a secondary number, and from the start we did not try to make by.U the main number. According to our internal research, the most spending was on secondary numbers. That’s why we tried to present rewards, free quotas, and additional features (music, podcasts, etc.) to increase user engagement. Therefore, they don’t just do mere transaction,” Riko said.

(+) (-)
Choose your own number Speed issue
SIM Card is being delivered SIM Card took a long time to arrive
Additional quota for certain app Delivery charge
Unlimited active period Application running slow
App-based SIM registration Customer service is difficult to reach
Unlimited data without FUP Unlimited data up to 2Mbps
SIM Card available through e-commerce Data package is often changing
Affordable data cost May not work in remote area

Various user perspectives regarding digital prepaid services / DailySocial Mini Survey

We also spoke with two anonymous sources regarding the use of Live.On and MPWR. Each has the same concern with user experience even though the issues are different.

According to Live.On users, the internet speed is fairly good as the signal and capacity in the area are strong. He said, the package is relatively affordable, not more expensive than Telkomsel, but not much cheaper than its parent operator XL. However, the Live On user experience from the payment side is considered less than optimal.

“I use Live.On for secondary numbers on different devices. When making payments, it becomes complicated because all e-wallet applications are already installed on the main device. Inevitably it has to be done on the same device because it requires synchronization. It should be just e-wallet number for it can be directly arranged,” said one user.

Meanwhile, MPWR users also claimed to have no problems with signal and internet. However, he considered the MPWR application to be less responsive and seamless. The appearance is also considered a bit different from most applications which usually come with up and down scroll modes.

“The MPWR looks sideways so it doesn’t feel good. In my opinion, the myIM3 application is actually better than MPWR. How come it loses to the parent application, even though the [MPWR] tagline is digital.” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Perjuangan Layanan Prabayar Digital Menjadi Pilihan Konsumen

Selama satu dekade terakhir, operator telekomunikasi bereksperimen mencari formula yang tepat untuk meningkatkan kinerja bisnisnya. Sejak kemunculan layanan over-the-top (OTT) di Indonesia, operator mengembangkan berbagai model layanan demi mendatangkan pelanggan baru dan peningkatan ARPU.

Sejumlah operator pernah menjajal bisnis e-commerce dan uang digital. Mereka gagal mengembangkan bisnis yang sustainable. Sejak dua tahun lalu, operator kembali hadir dengan strategi baru. Kali ini bukan menciptakan layanan digital. Mereka justru menghadirkan layanan yang masih di koridor core business-nya, tetapi dengan pendekatan berbeda.

Operator memperkenalkan layanan prabayar berbasis digital. Dikatakan demikian karena berbagai aktivitas transaksi pengguna dilakukan sepenuhnya melalui aplikasi. Di sini, operator menawarkan proposisi nilai yang unik untuk dapat mengakomodasi kebutuhan pasar yang suka mencoba cara-cara baru.

Misalnya saja, konsumen bisa mengkustomisasi kartu SIM, atau istilahnya pilih ‘nomor cantik’ melalui aplikasi. Demikian juga pembelian dan registrasi kartu. Cara ini sudah pasti berbeda dengan yang biasa kita lakukan; membeli starter pack dan pulsa di counter-counter.

Saat ini, konsumen punya tiga pilihan brand prabayar digital, yakni by.U, Live.On, dan MPWR. Tadinya ada empat, tetapi Switch Mobile memutuskan untuk menyetop layanannya sejak awal 2021.

Pertanyaannya, apakah layanan prabayar digital mampu bertahan dengan hiruk-pikuk industri telekomunikasi yang semakin jenuh? Pada laporan ini, DailySocial menghimpun berbagai perspektif terkait fenomena prabayar digital dan proyeksinya di masa depan.

Mengubah branding operator

Sebagaimana dikatakan di atas, layanan telekomunikasi identik dengan metode konvensional. Sebetulnya, ide-ide mendigitalisasi proses ini sudah tercapai mengingat operator punya aplikasi masing-masing yang berfungsi untuk menyediakan pembelian paket data atau pulsa. Tetapi, ini bukan ini tujuannya.

Menurut mantan Direktur Utama Telkomsel Emma Sri Hartini saat itu, by.U dapat membawa “penyegaran” bagi industri telekomunikasi yang lebih familiar dengan kehadiran merek kartu lama. Ia menilai by.U dapat merangkul generasi anak muda tanpa perlu dikaitkan erat dengan Telkomsel yang selama ini sering diasosiasikan sebagai kartu seluler mahal.

Alasan lainnya adalah generasi anak muda masa kini cenderung tidak ingin didikte kebutuhan layanannya alias product-driven. Kartu prabayar digital menawarkan kustomisasi layanan yang dinilai dapat memenuhi kebutuhan pengguna di segmen tersebut.

Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys sebelumnya sempat mengatakan hal senada. Merek seluler digital ini dapat diposisikan sebagai produk yang betul-betul baru tanpa perlu dikaitkan dengan merek existing induknya.

PR besar meningkatkan awareness

Jika dirunut berdasarkan stempel waktunya, by.U menjadi produk prabayar digital pertama yang diluncurkan di Indonesia (Oktober 2019). Kemudian disusul oleh Switch Mobile (Maret 2020), Live.On (Oktober 2020), dan MPWR (Desember 2020). Hampir dua tahun berselang, apakah produk-produk tersebut mampu mendisrupsi keberadaan kartu-kartu yang sudah lama beredar di pasaran? Apakah branding dan pendekatan baru dapat mencuri perhatian konsumen?

Hipotesis di atas sebetulnya dapat dipatahkan dengan mudah mengingat layanan Switch Mobile keburu dihentikan di usia yang belum genap setahun. Pihak Switch tidak merinci alasan di balik penutupan ini. Kita bisa saja berasumsi layanan ini gagal di pasaran. Mungkin juga diakibatkan konsumen tidak terbiasa menikmati layanan seluler dengan cara baru. Atau bisa saja kurangnya awareness akibat situasi pandemi Covid-19 yang menyulitkan penyedia layanan memasasarkan produk secara offline.

Asumsi lainnya, pasar seluler memang sudah jenuh sehingga sulit untuk memperoleh traction secara signifikan. Ditambah lagi, target pasarnya saja segmented, bukan mass market.

Mengutip Katadata, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pengguna kartu seluler mencapai 341,28 juta di 2019, turun dari 435,1 juta di 2017. Penetrasinya melampaui jumlah penduduk dengan 269,6 juta jiwa di 2019.

Platform Provider Rating
by.U Telkomsel 4.5 (5M+ downloads)
Live On XL Axiata 3.7 (100K+ downloads)
MPWR Indosat Ooredoo 2.7 (1M+ downloads)
Switch Mobile Smartfren Terminated

Kami mencoba memvalidasi hal ini ke setiap penyedia layanan prabayar digital, tetapi sebagian besar enggan membagikan datanya. Hanya Telkomsel yang mau mengungkap sedikit informasinya. Disampaikan by.U Principal Growth Lead Riko Ringgoanto, pengguna by.U mencapai 2,5 juta setelah dua tahun meluncur. Artinya, by.U baru berkontribusi 1,4% dari total 169,2 juta pelanggan Telkomsel di semester I 2021.

Menurut Riko, pencapaian itu sudah melebihi ekspektasi awal. Target ini bahkan sudah memperhitungkan faktor Covid-19 di mana konsumen cenderung mengurangi pengeluarannya. Dengan capaian jumlah dan engagement pengguna saat ini, ia menyebut by.U sudah product-market fit.

Awareness masih menjadi PR besar kami selama dua tahun ini. Karena Covid-19, kami jadi sulit untuk memasarkan iklan dan event offline. Tetapi, kami terus gencar lakukan digital placement, masuk ke komunitas anak muda di daerah, dan mengadakan webinar. Karena by.U digital only, kelihatannya jadi kurang wara-wiri. Memang promoting lewat kanal offline tetap tidak tergantikan di Indonesia. Jika situasi membaik, kami bersiap promoting di lokasi offline, seperti MRT dan KRL,” paparnya.

Sementara, Head of External Communications XL Axiata Henry Wijayanto  mengakui hal serupa. Meski kegiatan pemasaran menjadi terbatas, pihaknya melihat ada dampak positif di mana masyarakat kini mulai terbiasa beraktivitas secara digital.

“Tantangan serupa dihadapi semua digital telco brand, yaitu bagaimana meningkatkan awareness dan kredibilitas. Apalagi masuk sebagai merek baru, hal-hal ini akan kerap muncul. Kami akan terus meningkatkan kemitraan berkelanjutan untuk mendorong kebutuhan konsumen beraktivitas secara digital,” ujar Henry kepada DailySocial.

Mampukah mendisrupsi?

Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Muhammad Ridwan Effendi menilai kemunculan prabayar digital akan sulit mendisrupsi merek prabayar yang sudah lebih lama muncul. Selain terlalu banyaknya produk prabayar saat ini, mayoritas masyarakat Indonesia tampakya lebih menginginkan produk yang lebih sederhana dan mudah diingat. Maka itu, kemunculan produk baru dinilai akan sulit bertahan.

“Di beberapa negara, operator digital seperti model MVNO masuk dengan pendekatan komunitas. Tetapi di sini masih kurang berhasil. Ada produk [prabayar] yang masuk ke segmen komunitas anak muda, akhirnya bubar. Mungkin perlu dicoba untuk masuk ke komunitas yang lebih luas, seperti keagamaan, pemotor, atau musik. Konsep ini pernah berhasil di beberapa negara,” paparnya.

Saat ini setidaknya Indonesia punya lebih dari sepuluh merek kartu seluler, baik kartu prabayar maupun pascabayar. Demi mendorong efisiensi dengan persaingan pasar seluler saat ini, beberapa operator pun mulai merampingkan merek layanannya.

Mengutip Liputan6.com, Telkomsel akhirnya menggabungkan merek prabayar dari SimPATI, Loop, dan Kartu AS menjadi Telkomsel Prabayar. Menurut riset internal yang dilakukan selama setahun terakhir, Telkomsel melihat segmentasi pelanggan menjadi kurang relevan di era digital. Pihaknya kini lebih fokus menghadirkan paket sesuai kebutuhan dan minat pelanggan.

Sementara itu, Pengamat Telekomunikasi dari ITB Ian Josef Matheus justru memberikan perspektif berbeda. Alih-alih hadir dengan merek dan pendekatan baru, operator sebaiknya memberikan pemahaman lebih kepada konsumen bahwa biaya dikeluarkan pascabayar dan prabayar akan sama saja.

“Prabayar memang berkontribusi terbesar terhadap pemasukan operator seluler. Namun, kartu prabayar sebaiknya dibuat dalam satu brand saja dan memang yang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Ini agar tidak menimbulkan kebingungan bagi pelanggan atau calon pelanggan dengan kelebihan yang digabungkan,” katanya kepada DailySocial.

Selain itu, operator sebetulnya bisa mengembangkan inovasi lebih bagi pascabayar karena ARPU-nya dinilai lebih menjamin pendapatan operator. Misalnya, menyediakan pembayaran on-demand baik volume-based atau time-based untuk aplikasi digital yang dikembangkan operator seluler.

“Sayangnya, operator belum punya killer product yang popularitasnya bisa menyamai WhatsApp, Zoom, atau Telegram. Padahal, aplikasi milik sendiri bisa menekan trafik keluar dan mengefisiensikan biaya pengeluaran. Kalaupun tidak bisa mengembangkan sendiri, setiknya operator dapat berkolaborasi dengan ekosistem digital untuk mendorong peningkatan ARPU,” tambahnya.

Perspektif responden

DailySocial kembali berkesempatan melakukan mini survey dari sudut pandang pengguna. Sebagai disclaimer, survei ini tidak sepenuhnya mencerminkan fakta dan permasalahan yang ada di lapangan. Survei ini dilakukan untuk menampilkan perspektif pengguna terkait pemakaian layanan prabayar digital, serta upaya kami memvalidasinya ke penyedia layanan terkait.

Survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden menggunakan prabayar digital sebagai nomor sekunder untuk kebutuhan mobile data atau internet. Responden juga mengaku tidak berencana untuk menjadikannya sebagai nomor utama.

Beberapa responden mengaku belum mau menggunakannya karena sejumlah alasan antara lain, malas instal aplikasi, tidak tertarik, ribet, dan terlalu banyak nomor. Sebanyak 40% responden mengaku tidak berminat mencoba prabayar digital di masa depan, sebanyak 40% menjawab berminat, dan 20% menjawab mungkin saja.

Sumber: Mini Survey DailySocial
Sumber: Mini Survey DailySocial

“Sebelum diluncurkan, kami sadar by.U bakal digunakan sebagai nomor sekunder, dan sejak awal kami tidak mencoba menjadikan by.U sebagai nomor utama. Menurut riset internal kami, spending paling banyak justru di nomor sekunder. Makanya, kami coba menghadirkan reward, free kuota, dan fitur-fitur tambahan (musik, podcast, dan lain-lain) untuk meningkatkan engagement pengguna. Jadi, mereka tidak cuma sekadar bertransaksi saja,” papar Riko.

(+) (-)
Bisa pilih nomor sendiri Kecepatan internet tak sesuai yang dijanjikan
Kartu SIM bisa dikirim ke rumah Pengiriman kartu SIM lama
Beli kuota tambahan untuk aplikasi tertentu Pengiriman kartu SIM dikenai biaya ongkir
Masa aktif selamanya Aplikasi sering bekerja lambat
Registrasi SIM melalui aplikasi Sulit menghubungi customer service
Paket data unlimited tanpa FUP Kecepatan internet unlimited hanya 2 Mbps
Bisa beli kartu SIM di marketplace Paket data sering berubah
Harga paket data terjangkau Ragu bisa digunakan di remote area

Ragam perspektif pengguna terkait layanan prabayar digital / Mini Survey DailySocial

Kami juga berbincang dengan dua narasumber anonim terkait penggunaan Live.On dan MPWR. Masing-masing memiliki concern yang sama dengan user experience meski isu yang dialaminya berbeda.

Menurut pengguna Live.On, kecepatan internetnya terbilang bagus karena sinyal dan kapasitas di areanya termasuk kuat. Harga paket pun menurutnya cukup relatif terjangkau, tidak lebih mahal dari Telkomsel, tetapi tidak jauh lebih murah juga dari operator induknya XL. Akan tetapi, user experience Live On dari sisi pembayaran dinilai kurang maksimal.

“Saya pakai Live.On untuk nomor sekunder di perangkat berbeda. Ketika melakukan pembayaran, jadinya ribet karena semua aplikasi e-wallet sudah terpasang di perangkat utama. Mau tak mau harus dilakukan di perangkat yang sama karena ada sinkronisasi. Seharusnya, pembayaran itu tinggal memasukkan nomor e-wallet saja sehingga bisa langsung diatur,” ujar seorang pengguna.

Sementara, pengguna MPWR  juga mengaku tidak memiliki masalah pada sinyal dan internet. Namun, ia menilai aplikasi MPWR kurang responsif dan seamless. Tampilannya pun dinilai agak berbeda dengan aplikasi kebanyakan yang biasanya hadir dengan mode scroll ke atas dan bawah.

“Tampilan MPWR malah menyamping jadi rasanya kurang enak. Menurut saya, aplikasi myIM3 justru lebih baik daripada MPWR. Kok malah kalah sama aplikasi induknya, padahal tagline [MPWR] itu kan digital.” Tuturnya.

Strategi ISP Mengatasi Layanan OTT “Rakus Bandwidth”

Kisah Telkom dan Netflix memasuki babak baru. Membuka blokir layanan setelah 4,5 tahun, kali ini akar permasalahannya adalah klaim biaya yang dikeluarkan ISP / operator untuk menyediakan pipa-pipa jaringan yang dianggap tidak sebanding dengan effort yang diberikan layanan OTT asing.

Telkom berharap ada kesepakatan bisnis lebih jauh dengan layanan OTT, agar mereka tidak hanya menjadi dump pipe layanan “rakus bandwidth“. Proposal dari Telkom untuk Netflix adalah terhubung dengan Content Delivery Service (CDN) milik Telkom yang dijalankan anak usahanya, Telin, yang bekerja sama dengan pemain CDN global Akamai.

Skema yang diharapkan muncul adalah kerja sama penawaran produk bersama, misalnya antara Telkomsel dan Disney Plus, atau pembayaran biaya akses premium agar konsumen OTT bisa menikmati bandwidth prioritas.

Netflix sendiri sudah membuat CDN sendiri yang dinamai Open Connect. Program ini memberikan peluang bagi mitra ISP meningkatkan pengalaman Netflix untuk pelanggan mereka dengan melokalkan trafik Netflix dan meminimalkan pengiriman trafik yang dilayani melalui penyedia transit.

Cara ini terbilang efisien karena biaya uplink WAN untuk memberikan pengalaman terbaik kepada pengguna sangat mahal. ISP akan melakukan peer dengan Netflix di lokasi IXP, tetapi untuk mempermudah proses, disediakan OCA (Open Connect Appliance) untuk hosting secara lokal.

Menurut laporan S&P Global, sesungguhnya Netflix termasuk di jajaran layanan OTT yang gencar melakukan kemitraan di berbagai negara Asia Pasifik. Di Singapura, Netflix memiliki paket bundling dengan StarHub dan Singtel. Di Sri Lanka, mereka bekerja sama dengan provider lokal Dialog. Sebelumnya India mereka menggaet kesepakatan dengan Atria Convergence Technologies dan ACT Fibernet.

Di Indonesia sendiri, meskipun menjadi salah satu layanan OTT terpopuler, gerak kemitraan Netflix tergolong lambat. Netflix hingga saat ini belum mengakomodir pembayaran selain kartu debit/kredit. Sementara dengan ISP, mereka pernah melakukan promo bersama XL dan XL Home.

Keluhan Telkom terhadap fenomena layanan rakus bandwidth atau bandwith hog sebenarnya tidak baru dan tidak unik. Menurut laporan “2019 Global Internet Phenomena Report” yang disusun perusahaan peralatan jaringan Sandvine, layanan streaming adalah penyumbang terbesar downstream traffic di seluruh dunia. Netflix dan YouTube dinobatkan sebagai kontributor terbesarnya.

Aplikasi streaming video memakan 60% dari total volume downstream traffic di internet. Netflix mengambil porsi 12,6% dari total volume downstream traffic di seluruh internet dan 11,44% dari semua traffic internet. Hal ini disusul Google sebesar 12% dari keseluruhan traffic internet, yang didorong YouTube, mesin pencari, dan ekosistem Android.

Di negara asalnya, Netflix termasuk salah satu penggagas netralitas jaringan (net-neutrality). Namun di perjalanannya, Netflix membayar biaya premium ke empat pemain ISP dan telekomunikasi terbesar di Amerika Serikat, yaitu Comcast, Time Warner Cable, Verizon, dan AT&T.

Pada Maret ini, Uni Eropa mendesak Netflix menurunkan kualitas video ke format standar untuk mengantisipasi potensi bandwidth overload. Sebagai gambaran, untuk streaming video selama satu jam dengan format standar di Netflix memakan kapasitas 1 GB, sementara format HD naik hingga 3 GB.

Seperti kebanyakan aplikasi streaming lainnya, Netflix menggunakan metode adaptive bit rate (ABR) sebagai standar pengaturannya. Setiap layanan streaming secara otomatis akan menyesuaikan berdasarkan koneksi internet pelanggan pada saat itu, demi memberikan pengalaman terbaik. Pelanggan juga dapat mengatur kualitas video secara manual ke level yang lebih rendah untuk menghemat bandwidth.

Sikap operator

Dalam diskusi virtual yang digelar Sobat Cyber Indonesia Official pada Jumat, (25/9), Direktur Wholesale & International Service Telkom Dian Rachmawan menganggap layanan OTT asing tidak pernah membayar ongkos infrastruktur, bahkan pada saat yang sama menghilangkan pendapatan utama operator, yaitu voice dan messaging.

Di sisi lain, Dian mengklaim regulasi saat ini asimetris. Operator jaringan diatur ketat, sementara pesaing digital tidak memiliki kewajiban regulasi apapun karena sifatnya yang sangat cair dan global.

“OTT menikmati keuntungan yang luar-biasa dalam hal bebas pajak di hampir semua negara, sementara operator tradisional harus membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP), pajak, dan Universal Service Obligation (USO). Saat ini, mereka hanya dikenakan kewajiban memungut pajak PPN yang sebenarnya dibayar oleh pelanggan. Pemerintah belum bisa mendapatkan pajak penghasilan dari kegiatan bisnis di Indonesia,” paparnya.

Karena absennya regulasi layanan OTT, langkah percobaan yang dipilih Telkom untuk menerima keberadaan layanan OTT ada empat cara, yakni memblokir layanan OTT, bundling dengan layanan OTT (membuat paket data khusus), bermitra secara komersial dengan layanan OTT, dan mengembangkan layanan OTT sendiri.

Telkom memilih langkah blokir pada tahun 2016 terhadap Netlix dan mengombinasikan tiga cara lainnya terhadap layanan OTT asing.

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Tiga operator lokal lain saat dihubungi DailySocial memiliki pandangan yang berbeda. Sinergi direct peering disebut menjadi kunci. Di dunia ISP, peering adalah proses dua jaringan internet yang terhubung dan bertukar trafik di IXP (International eXchange Point).

Ini memungkinkan mereka saling terhubung secara langsung untuk menyerahkan lalu lintas di antara pelanggan satu sama lain, tanpa harus membayar pihak ketiga untuk membawa lalu lintas tersebut ke jaringan internet mereka.

Tanpa IXP, menyeberang dari satu jaringan ke jaringan lain akan bergantung pada penyedia transit yang seringkali memiliki dampak kinerja negatif. Dengan IXP, suatu jaringan dapat melakukan peer dengan beberapa jaringan lain melalui satu koneksi dan dapat memberikan trafik tanpa masuknya penyedia transit.

ISP yang terhubung dengan IXP biasanya membuat perjanjian peering dan membayar sebagian dari pemeliharaan infrastruktur fisik di lokasi tersebut.

Indosat Ooredoo, misalnya, menyatakan layanan OTT merupakan salah satu layanan yang diakses pelanggan dengan menggunakan fasilitas internet. Oleh karena itu, perusahaan sudah memiliki kerja sama komersial dengan hampir semua layanan OTT besar yang beroperasi di Indonesia. Tujuannya untuk menjaga agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan baik itu dari sisi pelanggan, operator, maupun penyedia layanan OTT sendiri.

“Tentunya sudah menjadi kewajiban kami sebagai penyedia jasa telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan digital pelanggan dengan berbagai pilihan paket yang bisa dipilih sesuai kebutuhan masing-masing pelanggan,” terang SVP / Head of Corporate Communications Indosat Ooredoo Turina Farouk.

Direct peering dibutuhkan operator karena tujuannya memberikan layanan ke pelanggan yang lebih karena sifatnya yang langsung terhubung ke penyedia konten. Dengan demikian, latensi dan kendala ketidakpastian koneksi melalui “provider transit” dapat dihilangkan.

Dalam praktiknya, Indosat menerapkan direct peering dengan topologi di bawah ini.

Sumber: Indosat Ooredoo
Sumber: Indosat Ooredoo

Sementara itu, Terry Williams, VP Product & Marketing MyRepublic, menjelaskan, di satu sisi layanan OTT asing merupakan kontributor terbesar dari trafik internasional yang secara signifikan lebih mahal ongkosnya daripada trafik lokal.

Namun di sisi lain, OTT asing ini menjadi salah satu pendorong utama di balik akselerasi pertumbuhan bisnis ISP, terutama di masa-masa sulit ini. Solusi yang bisa dilakukan ISP adalah melakukan direct peering dengan pemain OTT dan menempatkan server-nya di seluruh Sumatera dan Jawa agar konsumen mendapat pengalaman streaming terbaik.

“Cara ini juga mampu menurunkan biaya bandwith internasional yang memungkinkan kami menawarkan internet berkecepatan tinggi yang benar-benar tidak terbatas [tanpa fair usage policy] di Indonesia,” kata Williams.

Hanya XL Axiata yang setuju terhadap pernyataan Telkom. Group Head Corporate Communication Tri Wahyuningsih (Ayu) mengatakan, asumsi tersebut bisa dibenarkan karena memang kondisinya saat ini banyak OTT yang belum memiliki infrastruktur lokal di Indonesia.

Alhasil, trafik akan langsung menggunakan bandwith internasional yang cukup besar. Menurutnya, ada dua kondisi yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Pertama, jumlah pelanggan OTT tersebut belum besar sehingga mereka belum merasa perlu untuk membuat infrastruktur di Indonesia.

“Dalam hal ini tentu saja akan ber-impact pada customer experience, apabila ISP tidak memiliki cukup bandwith maka experience pasti terganggu,” kata Ayu.

Kedua, layanan OTT besar yang biasanya melihat experience sebagai value terpenting pasti akan memikirkan untuk mulai membangun infrastruktur lokal untuk meningkatkan pengalaman konsumen.

Sama seperti Indosat dan MyRepublic, XL Axiata melakukan kesepakatan direct peering untuk mengurangi latensi di jaringan dengan memiliki akses langsung ke OTT bersangkutan. Beberapa layanan yang sudah terhubung adalah yang memiliki trafik tinggi, seperti Netflix, YouTube, dan Facebook.

“Secara topologi mudahnya adalah semua pelanggan XL akan memiliki hop routing yang lebih kecil apabila dibandingkan menggunakan open network.”

Ia juga membenarkan bahwa OTT perlu memberikan kontribusi yang lebih banyak, tidak hanya sekadar promosi pemasaran. Pasalnya, investasi membangun infrastruktur jaringan adalah sesuatu yang mahal, terutama di Indonesia yang wilayahnya luas dan terdiri dari banyak kepulauan.

Perusahaan selalu melakukan analisis trafik penggunaan OTT vs jumlah pelanggan untuk mendorong OTT memiliki infrastruktur lokal.

“Hal ini akan cukup membantu bagi kita untuk meningkatkan value dan customer experience. Selain itu, kita selalu mengharapkan OTT juga bisa berkontribusi. Tidak hanya dalam hal promosi marketing, tetapi juga memberikan fair sharing contribution.”

Dia mencontohkan, kontribusi dari sisi infrastruktur pendukung sebagai salah satu cara untuk melakukan balancing terhadap cost infrastruktur dan mengakuisisi pelanggan.

Belanja bandwith internasional mulai turun

Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Jamalul Izza mengatakan, saat ini pengakses internet melalui smartphone mencapai 171 juta orang, naik 317% dari 2015. Dari angka tersebut sebanyak 80% di antaranya adalah pengguna OTT. Di industri perangkat smartphone, banyak layanan OTT yang sudah tertanam sebagai pre-install dari pabrikan karena diyakini dapat memberikan daya saing di mata konsumen.

Layanan OTT mendorong pertumbuhan eksponensial untuk trafik jaringan. Sejak OTT mulai ramai lima tahun lalu, terjadi peningkatan jumlah trafik IIX (Internet Indonesia Internet eXchange) dari 30 Gbps di 2015 menjadi lebih dari 800 Gbps di tahun ini.

“Sekarang trafik lokal sudah naik karena banyak OTT asing yang menaruh CDN ke dalam negeri dan beberapa sudah terkoneksi dengan IIX. Keuntungannya buat kita belanja dollar akhirnya turun dan otomatis trafik internasional semakin menurun,” kata Jamalul.

Beberapa layanan OTT asing telah masuk dalam jaringan IIX, seperti Facebook, Alibaba, dan Akamai. Kondisi tersebut berdampak pada menurunnya defisit transaksi berjalan (current account deficit) karena kebutuhan akan mata uang dollar Amerika Serikat menurun untuk belanja bandwith internasional.

Rekomendasi APJII terhadap OTT asing
Rekomendasi APJII terhadap OTT asing

Masuknya Facebook ke dalam IIX sangat berdampak pada penurunan belanja bandwith internasional. Google dan Facebook adalah raksasa teknologi yang layanannya banyak digunakan di seluruh dunia.

IIX sendiri berfungsi untuk mempercepat akses internet lokal di daerah tersebut. Ia dilalui oleh lalu-lintas internet protocol, baik dari luar maupun domestik, untuk kemudian diarahkan ke pengguna internet, baik individu maupun organisasi.

Saat ini ada 14 IIX yang tersebar di Medan, Pekanbaru, Palembang, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Balikpapan, Sulawesi, Manado, Banten, dan pusatnya ada di Jakarta.

Jamalul melihat layanan OTT asing mulai menyadari bahwa Indonesia adalah pasar yang bagus buat mereka. Menempatkan server ke dalam negeri akan membawa dampak yang bagus saat berinternet. “Sekarang mereka [layanan OTT asing] yang mulai mendekati karena kalau taruh di luar pengalamannya akan jauh berbeda.”

Kenaikan trafik lokal adalah sesungguhnya yang paling dibutuhkan buat industri karena tidak perlu dipungkiri lagi peran layanan OTT asing cukup krusial dan memiliki trafik yang tinggi.

“Ini bentuk kontribusi OTT yang bisa diberikan ke teman-teman APJII yang bangun infrastruktur. Maka dari itu kita perlu regulasi yang jelas terhadap OTT asing yang ada bisnis di Indonesia.”

Tidak hanya menaruh server di dalam negeri, APJII menilai kondisi layanan OTT yang ideal itu mengandung empat unsur, yakni fair revenue distribution, menguntungkan semua pihak, level playing field yang sama, dan kedaulatan data karena data ada di Indonesia dan wajib tersambung dengan IIX.

“Mimpi asosiasi adalah bagaimana Indonesia bisa jadi internet hub di dunia. Sekarang kan ada di Singapura atau enggak Hong Kong. Untuk itu, sekarang yang kita kerjakan bagaimana meningkatkan trafik lokal agar jangan semua trafik lari ke luar,” tutupnya.

Pefindo Biro Kredit Launches “IdTelcoScore”, Credit Scoring Analysis Based on XL Axiata’s Cellular Data

Pefindo Credit Bureau released the latest alternative scoring based on non-credit data “IdTelcoScore”, utilizing the cellular number of XL Axiata users to analyze debtors’ creditworthiness. Cellular telecommunication data is considered to be one of the important alternative data due to its significant growth and massive amount.

In the online launching today (18/8), President Director of Pefindo Credit Bureau, Yohanes Arts Abimanyu, explained that IdTelcoScore will support and facilitate financial institutions to analyze credit applications for prospective debtors with nothing or short credit history as a basis for decision making.

“As part of our mission to increase financial inclusion, especially access to finance for underbanked and unbanked people, where the potential is quite large. It is possible through telco data with wide coverage,” he said.

Pefindo Credit Bureau created this product from the calculation of the score modeling algorithm using various data variables and indicators that produce predictive information on the character and ability to fulfill future debtor obligations.

IdTelcoScore utilizes big data analysis from the use of telecommunication company services. Whether it’s data subscription (subscription), data usage (usage), and billing & payment (billing & payment). These data will be combined with available credit data, therefore, it can be used as a measurement for an individual’s ability to pay their obligations in the future.

“Following the results of the Telco Score modeling that KS and Gini Ratio have positive results, it can be concluded that the telco model provides predictive results and is suitable to be used to adjust the ‘risk appetite’ of each financial institution.”

Yohanes also ensured that all cellular number data accessed through IdTelcoScore would not leave the operator’s system. What comes out of the system is only the telco score calculation. “We always prioritize data protection and security by using information security standards.”

He also said, in the midst of a pandemic, financial institutions must optimally utilize all types of data, both credit and non-credit to obtain a complete, accurate, and predictive picture regarding the character and risk profile of the debtor. The goal is to ensure that the credit portfolio and NPL level are well maintained.

Big data institution sources

Furthermore, Pefindo Credit Bureau will continue to increase collaboration with other big data companies, therefore, data sources are getting richer. Not only with XL Axiata, but also with other telecommunication operators.

Yohanes said that currently there are plans for collaboration or exploration with companies that manage other big data such as utilities and e-commerce. “In fact, I can’t mention the name of the company. In terms of social media, we are yet to use it as alternative data.”

In its journey of developing alternative scoring data, Pefindo collaborates with many non-technology companies such as DGT for tax identity data, APPI for write-off status, Taspen, and BPJS Ketenagakerjaan. All of these companies have big data that can serve as alternative data for analyzing debtor creditworthiness.

Meanwhile, Pefindo Credit Bureau currently has more than 300 corporate users who come from various financial institutions, fintech, to non-financial institutions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian