Riset Nielsen Tunjukkan Pergeseran Penikmat Media ke Ranah Online

Sebuah data hasil riset dari Nielsen Company yang dirilis paruh pertama tahun 2017 menunjukkan beberapa tren menarik dalam industri digital dan media. Total sampel yang diikutsertakan dalam riset kali ini sebanyak 1107 dengan dominasi responden di usia antara 16-34 tahun dari 11 kota besar di Indonesia, mewakili sekurangnya 54,8 juta penduduk.

Bab pertama temuan survei membahas tentang penetrasi media. Tercatat bahwa TV masih berada di peringkat pertama dengan 96 persen responden masih menikmatinya, disusul oleh media berjenis static outdoor (53 persen), kemudian internet (44 persen – setara dengan 24,2 juta penikmat), radio (37 persen), koran (7 persen), dan majalah (3 persen). Penetrasi internet menjadi yang cukup signifikan, meningkat 26 persen sejak lima tahun silam.

Demografi menjadi salah satu hal menarik dalam media, hal ini menjadi kebutuhan bagi para brand untuk menargetkan pangsa pasar yang tepat. Dari konsumsi media didasarkan pada generasi tersaji sebuah grafik menarik berikut. Millennials dan generasi X yang kini menjadi pangsa pasar mayoritas brand terpantau lebih menyukai media internet dan bioskop dalam aktivitas mendapatkan konten.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Kemudian jika menilik proposisi media berdasarkan Social-Economic Class (SEC), terdapat temuan masyarakat kelas 1 (berpenghasilan di atas rata-rata) mendominasi penggunaan TV berlangganan. Sedangkan untuk kelas menengah masih mengisi semua porsi, dengan persentase tertinggi ada pada TV konvensional, internet dan majalah.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Perangkat tablet kurang dinikmati pengguna di Indonesia

Internet menjadi saluran media paling bertumbuh, hal tersebut tak lain dipengaruhi karena aksesiblitas yang makin terjangkau. Mengenai alat akses sendiri, dari hasil survei Nielsen terungkap bahwa ponsel pintar masih berada pada di tingkat teratas, pun demikian dengan pertumbuhannya. Persentase menarik lainnya justru penetrasi perangkat tablet kian menurut. Pada grafik di bawah membandingkan antara penggunaan perangkat di tahun 2015 (ungu tua) dan tahun 2017 (ungu muda).

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Menjadi sebuah temuan menarik, pasalnya justru angka yang masih besar berada pada perangkat laptop dan PC. Faktor kenyamanan dinilai menjadi yang paling mempengaruhi mengapa tablet pada akhirnya kurang diterima di kalangan masyarakat yang menjadi responden.

Tentang penetrasi konten video internet

Tentang media hiburan juga bergeser, kendati sambungan TV masih memiliki porsi tertinggi, ada peningkatan yang cukup signifikan untuk konten video internet. Dalam grafik di bawah ini, varian konten video internet persentasenya tersaji pada grafik batang berwarna kuning. Frekuensinya aksesnya cukup beragam, sedangkan kategori usia menjadi salah satu yang mempengaruhi.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Sedangkan untuk kanal video populer, YouTube masih mendominasi di pasar. Pun saat dibandingkan dengan penyedia konten viral lokal. Persentasenya berselisih sangat jauh. Tentu dapat dipahami, bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi angka tersebut. Selain dari kuantitas dan kategori video yang tersedia, kemudahan fitur pada kanal platform juga menjadi salah satu faktor keberpihakan pengguna dengan portal video milik Google tersebut.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Nielsen juga mencoba menelisik lebih dalam terhadap persentase masyarakat yang belum menikmati konten berbasis internet. Terdapat tiga alasan fundamental, yakni terkait dengan ketersediaan infrastruktur, pengetahuan teknologi yang rendah, serta kenyamanan dengan konten yang telah disediakan oleh TV konvensional.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Efektivitas media internet dengan kebutuhan pemasaran produk

Dalam risetnya Nielsen juga menanyakan apakah ketika responden melihat sebuah tayangan brand di konten yang ia temui internet mereka akan mencari tahu lebih lanjut. Selain responden berusia 50 tahun ke atas, kebanyakan dari responden (lebih dari 60 persen) mengaku selalu berminat mencari tahu lebih lanjut. Karena pada umumnya iklan yang ia lihat di media online mengerucut kepada produk atau brand yang cocok untuk mereka. Hal tersebut tentunya berpengaruh pada digital advertising yang kian maju, mampu menargetkan secara spesifik kepada demografi pengguna yang diincarnya.

Ada beberapa jenis tindakan yang coba dipetakan ketika pengguna mencari tahu lebih lanjut tentang produk yang mereka temui di konten online. Mulai dari menilik lapak online yang diinformasikan, melakukan pembelian secara langsung, menghubungi penyaji brand terkait, atau membeli secara online. Persentase tertinggi ialah melakukan pembelian secara online.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Sehingga dapat menjadi sebuah simpulan bahwa akses media online tidak terpaku pada sebuah platform media saja, namun sifatnya kait-mengait satu dengan yang lainnya. Misalnya antara media online dengan iklan digital, antara iklan digital dan toko online, dan lain sebagainya.

Targetkan Demografi Muda, Nonton.com Siap Produksi Konten Video Online Berkualitas

Resah dengan kualitas konten di kanal stasiun televisi yang tidak kian membaik, CEO Nonton.com Nucky Djatmiko berambisi membawa industri konten video secara online dengan peningkatan kualitas yang jauh lebih baik. Awalnya mengusung konsep user-generated content (UGC), kini Nonton.com memutuskan untuk menggandeng TV dan para produser berbakat, serta memutuskan untuk membuat beberapa program unik produksi dapur sendiri.

“Pada tahun 2013, Nonton.com mulai mengudara. Saat itu kami masih mencari model bisnis dengan UGC, tapi lambat laun semakin banyak konten yang tidak jelas dan cenderung kurang informatif. Akhirnya tujuh bulan lalu, kami memutuskan untuk menurunkan semua video lantas memproduksi dan berkolaborasi bersama para content producer,” imbuh Nucky ketika ditemui DailySocial beberapa hari yang lalu.

Nucky memaparkan semangatnya untuk membuat ekosistem yang jauh lebih baik. Nonton.com yang digawanginya kini berfokus pada kualitasnya, bukan hanya permasalahan copyright (yang awalnya cenderung sulit dikontrol karena konsep UGC) saja. Kini Nonton.com membuka kesempatan bagi tak hanya content producer berskala besar, tetapi juga tiap individu yang memiliki ide kreatif dan sanggup menciptakan konten layak tampil untuk berkolaborasi, tentunya dengan tuntunan profesionalitas.

“Kami ingin main di market di mana kontennya unik, milik pemain itu sendiri. Itulah alasannya menggandeng content producer. Kompetitor langsung secara legal belum ada, tapi ada beberapa pemain besar dari luar negeri yang akan segera masuk,” katanya Nucky.

Nonton.com sendiri juga bisa diakses melalui platform mobile, baik Android maupun iOS.

Perihal persaingan ini Nucky sendiri mengakui kedigdayaan kompetitor terbesarnya, yakni Netflix, sebagai yang sulit disaingi. Tak hanya tentang modal dana yang dimiliki, serta teknologi dan aspek lain. Namun pendekatannya bukan menyerang langsung, tapi merangkul komunitas dan para content producer untuk berkolaborasi yang mendongkrak kualitas konten video nasional menjadi jauh lebih baik secara umum.

“Tujuannya adalah meningkatkan kualitas konten. Saya bermimpi, setidaknya, menyamai konten-konten dari Korea. Banyak orang-orang kreatif dengan ide gila, namun hambatannya termasuk proses produksi,” tambahnya.

Nonton.com yang memiliki demografi penonton di sekitar usia 15 hingga 25 tahun ini mengklaim memiliki 80 ribu pengguna terdaftar dalam layanannya, dengan unique visitor mencapai 25 ribu per hari. Demografi yang cenderung belia ini akan dimanfaatkan Nucky untuk meluncurkan program-program dengan target pasar yang lebih spesifik.

“Kami akan buat original series. Seperti program The Remix yang bermitra dengan .NET TV, kami mungkin akan mengembangkan model konten yang seperti itu di tahun 2016 nanti,” tutupnya.

DailyMotion : CFO Baru, Mari Cari Uang

Situs video online DailyMotion yang berbasis di Perancis telah lama mengekor YouTube sambil mencoba melakukan manuver-manuver bisnis untuk bisa mengalahkan YouTube di luar Amerika Serikat. Tahun 2007 lalu DailyMotion mampu mencairkan dana 34 Juta dollar AS dari para investor, namun demikian masih belum mendapatkan pemasukan yang seimbang yaitu sejumlah 16.5 Juta dollar pada akhir 2008. Tentu saja revenue sejumlah ini tidaklah cukup untuk membiayai server, bandwith, gaji karyawan, dll.

Saat ini dilaporkan DailyMotion telah merekrut Ian Brotherston, mantan pegawai AOL sebagai Chief Finance Executive, dimana Ian akan menggantikan Mark Zaleski yang meskipun digeser namun tetap berada di barisan Chairman non-Executive.

Tahun 2008 kemarin YouTube memang dikabarkan sedang merajalela, termasuk di luar AS bahkan di Perancis. Hal ini tentu saja membuat DailyMotion harus selalu berusaha keras untuk menang paling tidak di kandang sendiri sebelum mampu menaklukan eropa. Dan mengingat kesulitan serupa yang dihadapi YouTube, sangatlah mungkin untuk memenangkan pasar online video dengan strategi yang tepat sasaran (which is the hard part).

Sedikit Cerita Dari Revver.com

Semalam saya menghadiri undangan makan malam dari US Embassy (via Ong Hock Chuan) di Samarra Cafe, Kebon Sirih. Yang menarik adalah tamu undangan yang dihadirkan di acara tersebut, yaitu Steven Starr. Steven adalah seorang businessman/entrepreneur, Founder dan Former CEO of Revver.com, sebuah online video publishing platform. Steven sebenarnya sedang dalam sebuah perjalanan ke Bali dalam rangka program kampanye non-profit untuk sebuah film dokumenter berjudul Flow. Namun ditengah perjalanannya itu, Kedubes AS di Jakarta memutuskan untuk mengundang Steven untuk makan malam bersama dengan para blogger dari Indonesia, mengingat Kedubes AS merupakan salah satu sponsor di acara tahunan Pesta Blogger.

Steven yang hobi diving ini bercerita banyak mengenai pengalamannya membangun Revver, dan dia memiliki ide yang solid ketika membangun revver, he knows exactly what he’s going to do with Revver. Pengalaman 10 tahun bekerja dengan video publisher membuat Steven yakin benar bahwa online video akan maju pesat dan bahwa memfokuskan Revver kepada entitas publisher, karena Steven yakin Publisher harus diberi reward untuk karya-karyanya. Ketika Steven menjadi CEO dan mulai membangun Revver di tahun 2005, teknologi online video sendiri belum terlalu bagus dan teknologi terbaik saat itu adalah teknologi milik Quicktime (sebelum akhirnya disempurnakan oleh Macromedia Flash di tahun 2006) dan akhirnya Revver mengimplementasikan teknologi video streaming milik Quicktime di Revver dengan biaya investasi yang cukup besar, sebuah strategi yang akhirnya disesali oleh Steven. Strike 1.

Namun 2 bulan sebelum Revver di-launch, muncul sebuah startup lain yang ternyata juga mengusung konsep online video streaming, startup itu bernama YouTube. Disinilah kesalahan yang dilakukan oleh Revver, dimana momentum untuk menjadi pemimpin (early adopter) di bidang online video stream sudah direnggut oleh YouTube. Strike 2.

Tak ingin mengalah begitu saja, Revver terus berinovasi dan menjaring partners dari kalangan televisi seperti CBS dan juga mampu menggalang dana dari Venture Capital. Meskipun berada di bawah bayang-bayang YouTube yang lebih dulu launch, Revver tetap optimis karena merasa bahwa YouTube dan Revver mengincar pasar yang berbeda. YouTube mengincar pasar komunitas (bulk upload) dan Revver mengincar para publisher yang memang membuat video mereka sendiri untuk dimonetize. Ya, Revver adalah pelopor untuk layanan publishing video dimana para pencipta video bisa mengupload video buatan mereka dan mendapatkan sponsor dari para partner Revver, bahkan Revver juga mampu menerbitkan para video publisher ini ke layar kaca dengan bekerjasama dengan CBS. They’re the first company to pay video publisher for their video content! Pioneer!

Revver juga mengadopsi teknologi FreeNet, sebuah platform P2P network yang dikembangkan di Inggris untuk mengatasi permasalahan bandwith video streaming yang sangat besar. Metode ini sangat efektif mengatasi permasalah bandwith, dan benar-benar mengurangi cost operasional untuk Revver. Namun pada saat itu juga isu pembajakan dan copyright infringement sedang panas dan para pengembang aplikasi P2P mulai bergidik oleh tuntutan dari para copyright owner. Salah satu alasan mengapa Revver dibawah pimpinan Steven menolak bulk upload, adalah karena isu ini, dan para investor dan board of director menganjurkan Steven untuk tetap berada di jalur publisher.

Kira-kira setahun setelah “perang” dengan YouTube, akhirnya pada Oktober 2006 Steven menerima kabar bahwa Google membeli YouTube senilai 1.65 Miliar dollar AS. Strike 3, You’re out! Skakmat untuk Steven. Kenapa? Karena Steven langsung mengerti bahwa YouTube telah mampu mengatasi masalah copyright infringement yang selama ini menghambat peerkembangan Revver dan pastinya YouTube akan menjadi lebih besar dan lebih cepat berinovasi dibawah komando Google. Steven menyerah dan akhirnya meninggalkan Revver, begitu pula dengan beberapa rekannya. Namun untungnya pada awal tahun 2008 kemarin, LiveUniverse tertarik untuk membeli Revver seharga 5 Juta dollar AS. Sebuah angka yang tidak besar, namun setidaknya mampu mengembalikan dana para investor. Not exactly a win-win solution, but it’s enough.

Ada beberapa hal yang disesali oleh Steven, adalah ketika dia memutuskan untuk meninggalkan Revver, para investornya membujuk Steven untuk berinvestasi ke sebuah perusahaan kecil di Inggris bernama Skype. Steven sudah pernah mendengar mengenai para founder Skype yang sebelumnya juga founder dari aplikasi P2P Kazaa. Namun (sayangnya) Steven menolak. Bayangkan kalau dia berinvestasi di Skype, sudah betapa kaya dirinya sekarang.

Dari pembicaraan sambil makan malam itu Steven juga berbagi sedikit tips membangun sebuah startup, dan dia masih agak bingung dengan kondisi tech-startup di Indonesia yang sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah pengguna internet. Trust me Steven, i am as confused as you are. Tapi satu hal yang pasti, jumlah tech-startup di Indonesia makin banyak dan bertumbuh dengan ide-ide yang segar dan unik.

Steven berkata dia optimis dengan pasar internet di Indonesia, pertumbuhannya sangat cepat dan sudah mulai banyak vendor luar yang melirik Indonesia sebagai pasar potensial. Tentunya kita tidak akan membuang-buang kesempatan ini bukan?

another post from Toni on the same subject ( Great summary )

Thanks the guys at US Embassy for inviting me to this event, thank you very much. And of course to Steven for sharing a lot to us, valuable knowlegde straight from the CEO himself. Hope you’re enjoying Indonesia and i hope i can see you at pestaBlogger 09.