Tak Dapat Dana dari Blizzard, Dua Tim Overwatch World Cup Merapat ke Razer

Mendekati akhir tahun, bukan hanya PUBG atau Street Fighter saja yang mempersiapkan ajang esports pamungkas. Activision Blizzard dengan game andalan mereka, Overwatch, juga melakukan hal yang sama. Mereka menggelar kompetisi tingkat dunia, Overwatch World Cup 2019, pada tanggal 31 Oktober – 2 November. Ajang ini sekaligus merupakan bagian dari festival gaming yang digelar Blizzard tiap tahunnya, yaitu BlizzCon.

Sesuai namanya, Overwatch World Cup bukanlah pertandingan antar tim melainkan antar negara. Para pemain dari Overwatch League, Overwatch Path to Pro, dan Competitive Play akan melupakan sejenak perbedaan mereka untuk bersatu mengharumkan nama bangsa. Puluhan timnas ikut berpartisipasi dalam kompetisi ini, termasuk tim dari Korea Selatan, Tiongkok, Belanda, Rusia, Swedia, Perancis, Amerika Serikat, dan lain-lain.

Overwatch World Cup 2019 - Team India
Tim India di Overwatch World Cup 2019 | Sumber: Global Esports

Untuk tampil di ajang Overwatch World Cup, timnas yang terdaftar tentu harus terbang ke Anaheim Convention Center, California. Akan tetapi tidak semua biaya transportasi ini ditanggung oleh Blizzard. Dilansir dari Esports Insider, Blizzard hanya memberi bantuan finansial kepada tim peraih 10 besar di ajang Overwatch World Cup tahun lalu. Sementara sisanya harus mencari pendanaan sendiri.

Gara-gara kebijakan tersebut, sebanyak 13 dari 46 tim akhirnya mengundurkan diri dari turnamen. Sebagian di antaranya memang memiliki masalah lain, misalnya kendala visa, akan tetapi kebanyakan ditengarai memang drop out karena masalah dana. Timnas Swiss, Brasil, Malaysia, dan Bulgaria termasuk dalam tim yang mundur tersebut.

Tim India sebetulnya juga terancam drop out, tapi untungnya Global Esports tidak tinggal diam. Startup asal India yang baru-baru ini mendapat pendanaan itu hadir untuk menanggung biaya tim negara mereka ke Overwatch World Cup. Tidak hanya itu, Global Esports juga menggandeng Razer untuk ikut berkolaborasi. Kini Razer menjadi official gaming equipment sponsor untuk tim India dan tim Singapura di Overwatch World Cup.

https://twitter.com/TeamSingaporeOW/status/1188840271812804616

“Kami selalu memiliki tujuan untuk mengembangkan esports di wilayah ini (Singapura dan India). Melalui kerja sama ini, kami berharap bisa memberikan dukungan yang dibutuhkan para gamer dan memastikan tim-tim tersebut dilengkapi dengan perlengkapan terbaik serta pengalaman kompetisi yang luar biasa,” ujar David Tse, Global Esports Director di Razer, dalam sebuah siaran pers.

Menurut laporan media game India, GuruGamer.com, biaya yang diperlukan untuk melakukan perjalanan serta bertanding di Overwatch World Cup 2019 berkisar antara US$12.000 sampai US$15.000, atau sekitar Rp168 juta sampai Rp210 juta. Untuk beberapa negara, dana sedemikian tergolong sangat besar. Lebih menyulitkan lagi karena tim-tim yang bertanding di Overwatch World Cup tidak membawa nama organisasi atau perusahaan. Jelas akan sulit mencari sponsor, kecuali bila mungkin semua pemainnya adalah atlet esports yang sudah sangat terkenal.

Karena itulah langkah Global Esports dan Razer ini bisa dipandang sebagai kontribusi yang mulia. Bila benar-benar ingin mengembangkan ekosistem esports di negara kecil atau negara berkembang, pemilik brand harus siap mengambil risiko seperti ini sesekali. Jika tidak ada yang mau memulai gerakan, perkembangan esports akan seperti dilema ayam dan telur, dan pada akhirnya jadi angan-angan belaka.

Sumber: Esports InsiderGuruGamer.com, The Overwatch League, The Esports Observer

[Rumor] Overwatch 2 Akan Hadir di BlizzCon 2019, Fokus pada Mode PvE?

Para penggemar Blizzard Entertainment pasti sudah tak asing dengan BlizzCon, festival gaming tahunan yang biasa digelar Blizzard untuk mengumumkan berita-berita terbaru seputar game mereka. Tahun 2018 kemarin acara tersebut sempat menimbulkan kontroversi karena menjadi ajang diungkapnya Diablo Immortal untuk mobile. Lalu bagaimana dengan tahun ini?

BlizzCon 2019 akan digelar pada tanggal 1 – 2 November di Anaheim Convention Center, California. Para penggemar tampaknya punya alasan untuk menyambut acara ini dengan antusias, sebab baru saja ada kabar beredar bahwa Blizzard akan mengumumkan Overwatch 2 di dalamnya. Kabar tersebut datang dari Rod “Slasher” Breslau, konsultan esports ternama yang juga merupakan penulis untuk situs ESPN.

Sumber: Dexerto
Suasana BlizzCon | Sumber: Trending All Day

Slasher berkata bahwa kabar tersebut datang dari sumber terpercaya, dan sejalan dengan laporan Kotaku di tengah tahun bahwa Blizzard memang sedang mengembangkan Overwatch 2. Saat itu Kotaku mengabarkan bahwa Blizzard telah membatalkan sebuah proyek first person shooter bertema StarCraft lalu mengalihkan sumber daya mereka untuk mengembangkan dua game, yaitu Overwatch 2 dan Diablo IV. Namun tentu saja Blizzard belum memberikan konfirmasi resmi.

Slasher juga melaporkan bahwa Overwatch 2 akan memiliki fokus pada elemen PvE (player versus enemy), berbeda dari Overwatch pertama yang sepenuhnya PvP (player versus player). Akan tetapi belum jelas sebesar apa perbedaan porsi PvE tersebut dibandingkan PvP di dalamnya. Mode PvE ini akan memiliki fitur talent dan in-game item, dan bisa dimainkan bersama oleh 4 pemain sekaligus. Rasanya terdengar seperti seri Borderlands, tapi jelasnya kita tunggu saja pengumuman resminya nanti.

Di samping Overwatch 2 yang fokus pada PvE, Overwatch juga akan memperoleh mode baru yang disebut Push. Selama ini Overwatch hanya memiliki empat mode permainan, yaitu Assault, Control, Escort, dan Hybrid. Push akan menjadi mode baru pertama sejak Overwatch dirilis di tahun 2015, dan akan menggunakan map baru dengan basis kota Toronto, Kanada.

Blizzard juga digosipkan akan merilis satu hero baru bernama Echo. Bocoran lain dari seorang pengguna Twitter bernama WeakAuras juga menyebutkan bahwa Blizzard akan mengungkap Diablo IV serta ekspansi baru World of Warcraft berjudul Shadowlands.

Satu hal yang agak membingungkan adalah apakah Overwatch 2 ini akan menjadi game yang benar-benar terpisah ataukah merupakan ekspansi dari Overwatch orisinal. Bukan hal baru bila ada game yang bersifat live service meluncurkan perombakan besar kemudian menyebutnya sebagai sebuah “sekuel”. Dulu Valve pernah melakukannya dengan Dota 2 Reborn, begitu juga Epic Games dengan Fortnite Chapter 2 baru-baru ini. Capcom juga sudah melakukan hal serupa ketika meluncurkan Street Fighter V: Arcade Edition.

Yang jelas, sudah banyak penggemar Overwatch yang menyuarakan perlunya perombakan besar di game ini. Meta yang stagnan, ditambah viewership Overwatch League yang kurang berkembang, adalah beberapa alasan mengapa sebagian orang menganggap bahwa Overwatch sedang “sekarat”. Semoga saja proyek Overwatch 2 ini bisa kembali membuat komunitas bergairah dan mengangkat pamor game tersebut.

Buat Anda yang ingin menonton langsung Live Streaming Blizzcon 2019, HYBRID bekerja sama dengan AKG Games mengadakan giveaway 4 virtual ticket Blizzcon 2019 yang aturan mainnya bisa dilihat di postingan Instagram berikut ini:

Sumber: ESPN, Slasher, Nmia Gaming

Mengapa Investasi Esports tak Akan Balik Modal Dalam Waktu Dekat?

Industri esports diperkirakan akan bernilai US$3 miliar pada 2022, menurut laporan Goldman Sachs dan Newzoo. Memang, industri esports kini tengah berkembang pesat. Salah satu indikasinya adalah besar gaji para pemain esports profesional. Sejak 2010, gaji pemain esports telah naik dua kali lipat setiap dua atau tiga tahun. Total hadiah yang ditawarkan oleh turnamen esports kini juga tak kalah dengan kompetisi olahraga tradisional. Apa yang membuat esports bisa tumbuh dengan cepat?

Salah satu hal yang mendorong pertumbuhan industri esports adalah jumlah penonton. Semakin banyak orang yang menonton turnamen esports, semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor, baik sponsor liga esports atau sponsor tim profesional. Memang, sponsorship masih menjadi sumber pemasukan utama di industri esports dengan kontribusi sebesar 38 persen. Pada tahun lalu, ada sekitar 167 juta orang yang menonton esports setiap bulannya. Diperkirakan, pada 2022, angka itu akan naik menjadi 276 juta. Hal lain yang menarik minat perusahaan untuk masuk ke dunia esports adalah umur penonton yang relatif muda. Sebanyak 79 persen penonton esports berumur di bawah 35 tahun. Dengan menjadi sponsor pelaku esports, perusahaan bisa mendekatkan diri dengan generasi milenial dan gen Z. Inilah yang dilakukan oleh Honda ketika mereka mensponsori liga League of Legends.

Sumber: Goldman Sachs
Sumber: Goldman Sachs

Sayangnya, jumlah penonton yang banyak tak menjamin keuntungan bagi para pelaku industri esports. Masih ada berbagai masalah yang harus mereka hadapi, seperti rendahnya pengetahuan masyarakat akan esports. Para pelaku industri esports masih harus sering melakukan kegiatan edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan menghilangkan sentimen negatif terkait esports. Selain itu, tak semua orang bisa menikmati pertandingan esports, terutama game dengan pace cepat seperti Overwatch. Saat ini, biasanya, konten yang dilihat penonton adalah apa yang dilihat oleh para pemain. Jadi, penonton awam menggantungkan diri pada komentator untuk mengerti jalannya pertandingan. Orangtua dari pemain esports profesional sekalipun mengaku mengalami masalah ini. Karena itulah, Activision Blizzard berusaha untuk memberikan pengalaman menonton yang lebih baik.

The Motley Fool melaporkan, dalam laporan keuangan Q2 2019, CFO Activision Blizzard, Dennis Durkin berkata, “Pengalaman menonton esports masih bisa dibuat menjadi lebih baik lagi. Ini adalah fokus kami karena kami percaya, membuat siaran esports tak hanya menarik tapi juga mudah dimengerti oleh masyarakat awam adalah hal yang penting.” Sejauh ini, Activision Blizzard telah mengadakan penyesuaian. Hanya saja, perubahan ini masih bersifat trial-and-error.

Kontribusi esports ke pendapatan Activision Blizzard

Salah satu turnamen esports yang terbilang sukses adalah Overwatch League milik Activision Blizzard. Liga tersebut menggunakan model franchise, yang berarti, tim yang hendak ikut serta harus membayar sejumlah uang untuk bisa ikut serta. Saat pertama kali diluncurkan pada Januari 2018, liga tersebut hanya memiliki 12 tim. Sekarang, ada 20 tim yang bertanding di liga itu. Satu hal yang menarik tentang Overwatch League adalah tim yang bertanding mewakili kota asalnya, layaknya liga sepak bola. Selain itu, Activision Blizzard juga menetapkan model kandang-tandang mulai tahun depan. Semua ini dilakukan dengan tujuan agar tim esports akan bisa mengembangkan fanbase mereka. Jika tim esports berhasil mengembangkan fanbase mereka, mereka akan bisa mendapatkan pendapatan dari penjualan merchandise.

Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard
Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard

Salah satu hal yang membuat Overwatch League dianggap sukses adalah karena ia berhasil menarik berbagai perusahaan besar seperti Coca-Cola. Percaya diri dengan format liga yang mereka gunakan, Activision Blizzard juga akan mengadakan Call of Duty League mulai tahun depan dengan format yang sama. Meskipun begitu, esports belum memberikan kontribusi nyata pada total pendapatan perusahaan. Faktanya, pada semester pertama 2019, pendapatan dari divisi Blizzard — yang menyertakan pendapatan dari Overwatch League — justru mengalami penurunan. Ini menunjukkan, meskipun Overwatch League dapat menarik berbagai sponsor besar, turnamen itu belum dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan.

Itu bukan berarti perusahaan harus berhenti menyokong industri esports. Satu hal yang harus diingat, esports adalah industri yang masih sangat baru jika dibandingkan dengan olahraga tradisional sudah ada sejak lama. Jadi, jangan heran jika para pemilik tim esports membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat menemukan formau yang tepat sehingga bisnis mereka bisa menjadi menguntungkan. Selain sponsorship, indsutri esports juga bisa mendapatkan pemasukan dengan menjual tiket turnamen, iklan, hak siar media, dan merchandise. Satu hal yang pasti, tim dan liga esports harus bisa mendapatkan fanbase yang cukup besar terlebih dulu. Dan hal ini bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dalam waktu singkat.

Bagaimana Rasanya Jadi Orangtua dari Gamer Profesional?

Game masih menjadi momok bagi orangtua. Tak sedikit orangtua yang percaya, game bisa menyebabkan kecanduan dan membuat anak menjadi lebih agresif. Di negara maju sekalipun, seperti Amerika Serikat, game masih sering dijadikan kambing hitam akan tragedi penembakan massal. Padahal, menurut Rachel Kowert, peneliti game online dan penulis buku “A Parent’s Guide to Video Games”, dugaan bahwa game menyebabkan kecanduan atau membuat pemain menjadi lebih agresif telah terbantahkan. “Jika Anda membaca ribuan studi tentang efek game pada sesuatu, baik positif atau negatif, hasil studi biasanya netral,” kata Kowert yang telah meneliti hubungan game dengan kecanduan dan perilaku agresif selama lebih dari 20 tahun, lapor The Washington Post. “Game tidak memberikan dampak apa-apa, atau terkadang, game memberi dampak positif walau tak signifikan.”

Manusia biasanya menakuti apa yang mereka tidak mengerti. Bagi orangtua yang tidak paham, tak heran jika game dan esports terlihat seperti sesuatu yang menakutkan. “Jika Anda tidak tahu tentang teknologi atau apa yang anak Anda lakukan, tentu saja itu membuat Anda merasa takut,” kata Kowert. “Itu bisa dimengerti. Tapi, semakin Anda memahami dan membiasakan diri Anda, rasa takut itu akan terkikis.” Inilah alasan mengapa Christine Yankel, ibu dari seorang pemain profesional Overwatch League, mencoba untuk mengerti pekerjaan anaknya, Ethan “Stratus” Yankel. Christine menjelaskan, Ethan mengungkap rencananya untuk menjadi gamer profesional dua tahun lalu, ketika dia masih berumur 16 tahun. Christine memberikan izin dengan beberapa syarat. Salah satunya, Ethan harus menyelesaikan SMA terlebih dulu. Selain itu, saat latihan di malam hari bersama tim semi-profesionalnya, Ethan juga diawasi.

Sumber: The Washington Post / Ian Cunningham
Ethan “Stratus” Yankel. Sumber: The Washington Post / Ian Cunningham

“Rasanya sulit untuk dipercaya,” kata Christine pada The Washington Post. “Anda sering dengar tentang gamer profesional dan bagi kami, menjadi pemain profesional seperti mimpi yang tak mungkin jadi nyata, seperti jika anak Anda menjadi pemain sepak bola profesional. Rasanya seperti itu.” Sekarang, Ethan telah berumur 18 tahun. Dia merupakan bagian dari tim Washington Justice, salah satu dari 20 tim yang bertanding di Overwatch League.

Christine mengaku, pada awalnya, banyak orangtua yang tidak paham dengan keputusan Ethan untuk berkarir sebagai pemain profesional. Namun, belakangan, sentimen akan gamer profesional mulai menjadi positif. “Dua tahun lalu, ketika Ethan pertama kali bermain, ada banyak sentimen negatif tentang esports,” ujar Christine. “Sekarang, anggapan orang-orang telah menjadi lebih positif karena esports adalah industri yang tengah berkembang dan masyarakat akhirnya mengenal orang-orang di balik tim-tim besar.”

Christine berkata, gaming adalah bagian dari budaya keluarga Yankel. Ini memudahkannya untuk memahami esports. Christine sendiri memainkan Clash Royale dan game mobile lainnya, sementara nenek Ethan, Kay Yankel memainkan Candy Crush. Ethan dan kakaknya pernah memainkan Counter-Strike: Global Offensive sebelum Ethan memutuskan untuk bermain Overwatch. Untuk memahami pekerjaan Ethan, Christine bahkan mencari nasehat dari para pengacara, ahli industri esports, dan orangtua dari pemain esports lainnya. Dia juga mencoba untuk mengerti gameplay dari Overwatch. “Awalnya, sulit untuk mengerti siapa yang bermain dengna baik dan siapa yang mati,” akunya. “Saya perlu waktu agak lama, tapi saya mulai mengerti sekarang.”

Sumber: overwatchleague.com
Sumber: overwatchleague.com

Bagi Christine, momen yang membuka matanya tentang esports adalah ketika dia menghadiri turnamen esports di Montreal. Ketika itu, dia menyadari besarnya industri game dan esports serta potensi dari karir Ethan sebagai gamer profesional. “Saat kami melihat para fans di sana, kami melihat panggung yang disediakan, kami melihat para profesional di balik tim esports, itu semua membuat esports terasa semakin nyata bagi kami,” kata Christine. “Tak lama setelah itu, Ethan mendapatkan kontrak untuk masuk dalam tim profesional. Para pengacara turun tangan. Dan pemain profesional menjadi karir yang masuk akal.”

Walau gaming merupakan bagian dari budaya keluarga Yankel, Ethan dan Christine mengerti bahwa karir sebagai gamer profesional tak berlangsung lama. Menurut CNBC, rata-rata pemain esports mengundurkan diri pada akhir 20-an atau awal 30-an. Bagi pemain esports yang telah mengundurkan diri, salah satu opsi karir yang bisa mereka ambil adalah menjadi streamer.

Namun, Ethan mengatakan, dia mempertimbangkan untuk kembali berkuliah setelah dia mengundurkan diri sebagai pemain profesional. Alasannya, karena semakin banyak universitas yang menawarkan beasiswa bagi pemain esports. “Saudara saya berkata, Carnegie Mellon University telah memulai jurusan Overwatch,” kata Ethan. “Jika saya bisa masuk ke universitas itu dengan beasiswa, saya akan melakukan itu. Tergantung pada kesempatan apa yang ada untuk saya.”

Sumber header: The Washington Post / Ian Cunningham

Overwatch Untuk Switch Hadir Lengkap Dengan Event Halloween Terror

Kehadiran Overwatch untuk konsol Nintendo Switch terbilang sudah cukup diantisipasi oleh para penggemarnya. September 2019 lalu Overwatch diumumkan akan hadir pada konsol Nintendo Switch dalam gelaran Nintendo Direct. Pada 15 Oktober 2019 lalu, Overwatch untuk Nintendo Switch akhirnya hadir dengan nama Overwatch: Legendary Edition.

Untuk versi porting, Blizzard memercayakan pengembangannya kepada Iron Galaxy, yang juga mengembangkan Diablo III untuk Switch. Overwatch versi Switch, walau sama persis dengan versi PC ataupun konsol PS4/Xbox One, tapi punya beberapa fitur tambahan. Salah satunya adalah kemampuan menggunakan sensor gyroscope pada Joy-Con untuk mengendalikan hal-hal seperti: Ultimate milik Junkrat, Rip-Tire, atau pergerakan Hammond si Wrecking Ball saat dalam mode berguling.

Walaupun ini adalah versi porting, namun Anda para penggemar tetap dapat menikmati Overwatch secara penuh di Nintendo Switch. Anda tetap bisa memainkan semua 31 hero dan 28 map dengan berbagai mode serta mendapat 15 skin bonus yang jadi favorit para penggemar, seperti: Police Officer D.Va, Blackwatch Reyes Reaper, ataupun Valkyrie Mercy.

Anda juga tak perlu khawatir untuk bermain secara online, karena pembelian Overwatch: Legendary Edition sudah lengkap dengan keanggotaan Nintendo Switch Online selama tiga bulan untuk perorangan.

Berhubung dirilis pada bulan Oktober, Overwatch: Legendary Edition juga hadir dengan in-game event yang bertajuk Halloween Terror. Event yang satu ini akan hadir mulai dari tanggal 16 Oktober sampai 5 November 2019 mendatang. Anda dapat login setiap harinya dan melakukan berbagai challenge untuk mendapatkan berbagai hadiah skin.

Weekly Challenges pada event Halloween Terror juga terbilang cukup sederhana. Anda cukup main dan menangkan beberapa game untuk mendapatkan berbagai in-game item. Menang 3 game memberikan Anda Player Icon, menang 6 game memberi anda Spray, menang 9 game akan memberi Anda Skin.

Tapi pastikan Anda menyelesaikannya dengan cepat! Berhubung tajuknya adalah Weekly Challenges maka hadiah yang diberikan berubah setiap pekannya, walau misi yang diberikan tetap sama. Week 1 (15-21 Oktober) hadiahnya adalah skin Inferno Junkrat, Week 2 (22-28 Oktober) hadiahnya adalah skin Vampire Baptiste, Week 3 (29 Oktober – 4 November) hadiahnya adalah Demon Hunter Sombra.

Tak hanya itu, Anda juga bisa menikmati custom game khusus Halloween yang bernamakan Junkenstein’s Revenge. Dalam custom game ini sepanjang permainan, Junkenstein mengutus semua monster, semua pasukannya untuk mengalahkan Anda. Sementara Anda sendiri akan bergabung dengan tiga pemain lainnya untuk mempertahankan Adlersbrunn dari semua serangan Junkenstein tersebut.

Untuk informasi lebih lanjutnya Anda bisa pergi ke laman resmi Overwatch berikut ini. Bagaimana? Sudah siap untuk keseruan Overwatch kapanpun dan di manapun?

Jumlah Rata-Rata Penonton Overwatch League Naik 16 Persen

Pada awal bulan lalu, Activision Blizzard mengumumkan kerja samanya dengan Nielsen. Tujuannya adalah untuk memberikan data yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan pada sponsor dan rekan mereka. Dengan data dari Activision Blizzard, Nielsen akan menyajikan data dalam bentuk Average Minute Audience (AMA) alias jumlah rata-rata penonton pada setiap menit selama siaran berlangsung. AMA dihitung dengan cara membagi total menit ditonton dengan total durasi siaran. Metrik ini telah digunakan oleh industri olahraga tradisional sejak lama. Dengan menggunakan metrik ini, Activision Blizzard berharap, Overwatch League bisa dibandingkan dengan turnamen olahraga konvensional.

Data Nielsen menunjukkan, babak final dari Overwatch League yang diadakan pada akhir September lalu mendapatkan 1,12 juta AMA, naik 16 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Seluruh pertandingan Overwatch League disiarkan melalui Twitch setelah Activision Blizzard membuat perjanjian eksklusif dengan platform streaming itu pada 2018. Selain disiarkan melalui Twitch, babak final Overwatch League juga disiarkan melalui ABC. Hanya saja, ABC tidak menyiarkan semua pertandingan di Overwatch League. Mereka hanya menyiarkan babak playoff, semi-final, dan final. Dexerto menyebutkan, keputusan Activision Blizzard untuk memindahkan saluran siaran dari ESPN menjadi ABC, yang memiliki jangkauan lebih luas, merupakan salah satu alasan kenaikan jumlah penonton rata-rata dari Overwatch League.

Dalam Overwatch League kali ini, ada lebih banyak tim yang berasal dari luar Amerika Serikat. Tampaknya, inilah salah satu alasan mengapa durasi menonton liga Overwatch mengalami kenaikan di tingkat global. Keberadaan tiga tim asal Tiongkok di liga itu juga memberikan dampak positif pada jumlah penonton. Karena, pada tahun ini, Overwatch League juga disiarkan di Bilibili, layanan streaming di Tiongkok. “Tiga tahun sejak game Overwatch dibuat, dan dua tahun sejak liga dimulai, kami telah bisa bersaing dengan liga olahraga besar yang membutuhkan waktu 60 atau 70 tahun untuk sampai di titik ini,” kata CMO Activision Blizzard Esports, Daniel Cherry, seperti dikutip dari Dexerto.

Nielsen juga memberikan data yang lebih detail terkait Overwatch League. Di Amerika Serikat, jumlah rata-rata penonton babak final Overwatch League mencapai 472 ribu, naik 41 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Sementara pada demografi 18-34 tahun, AMA di Amerika Serikat adalah 182 ribu, naik 13 persen dari tahun lalu. Activision Blizzard mengaku puas dengan pencapaian Overwatch League, terutama jika dibandingkan dengan olahraga tradisional. Mereka mengklaim, liga Overwatch adalah satu-satunya liga yang jumlah penonton di rentang umur 18-34 tahun mengalami kenaikan. Memang, menurut laporan Kepiosesports populer di kalangan anak muda pada umur 16-24 tahun. Pada demografi itu, jumlah orang yang tertarik untuk menonton turnamen esports sedikit lebih tinggi dengan jumlah orang yang tertarik menonton pertandingan olahraga tradisional.

Sumber; Dexerto
Sumber; Dexerto

Selain untuk memudahkan sponsor dan potensial sponsor untuk memahami data dari esports, alasan lain Activision Blizzard mulai menggunakan AMA sebagai metrik adalah untuk meyakinkan sponsor, rekan, dan masyarakat bahwa data yang mereka berikan tidak dimanipulasi sedemikian rupa agar terlihat lebih besar dari yang sebenarnya. Misalnya dengan memasang video Twitch sebagai iklan di situs-situs besar seperti The Verge dan Eater. Strategy and Analytics Lead, Activision Blizzard Esports, mengatakan, memasang video Twitch di situs besar memang memengaruhi beberapa metrik data seperti viewership dan unique viewer. Kedua metrik itu akan naik bahkan jika seseorang hanya menonton untuk satu menit. Meskipun begitu, ini tidak akan memberikan dampak besar pada AMA karena AMA dihitung berdasarkan total durasi siaran ditonton. “Salah satu hal penting bagi kami adalah kami ingin  memiliki metrik viewership murni,” kata Cherry, menurut laporan Variety. “Kami ingin menghitung jumlah fans yang memang serius menonton Overwatch League.”

Sumber header: overwatchleague.com

All-Star eSports League Mau Adakan Liga Esports Gratis untuk Siswa SMA

Esports kini semakin diakui sebagai olahraga. Pada Desember lalu, esports diumumkan sebagai salah satu cabang resmi SEA Games 2019. Sama seperti olahraga tradisional, regenerasi adalah hal yang sangat penting di esports. Para atlet esports berbakat tak serta-merta muncul begitu saja. Di Indonesia, ada High School League (HSL) yang ditujukan untuk siswa SMA dan setingkat serta Indonesia eSports League (IEL) untuk tingkat mahasiswa. Jordan Zietz melihat perkembangan esports sebagai kesempatan untuk berbisnis. Dia membuat All-Star eSports League, yang bertujuan untuk mengadakan turnamen esports di tingkat SMA di Amerika Serikat. Liga ini menawarkan tiga game, yaitu Fortnite, Overwatch, dan Super Smash Bros. Ultimate.

Zietz baru saja mendapatkan kucuran dana dari Eric Bensussen, President PowerA, perusahaan pembuat game controller. Meski tidak disebutkan berapa jumlah investasi itu, menurut laporan VentureBeat, dana investasi tersebut mencapai jutaan dollar. Dana itu akan digunakan untuk mempublikasikan keberadaan liga SMA ini dan juga meningkatkan jumlah partisipan. Selain itu, dana ini juga akan digunakan untuk menambah total hadiah yang ditawarkan All-Star eSports League. Zietz mengatakan, total hadiah liga tersebut mencapai US$1 juta dalam bentuk beasiswa, komputer, perangkat gaming, dan hadiah lainnya.

“Banyak sekolah yang bertanya tentang cara untuk mendorong siswa mereka terlibat dalam esports, terutama siswa yang saat ini tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apapun,” kata Zietz, dikutip dari VentureBeat. “Sebagian orang yang tak terlalu kuat secara fisik tak bisa sukses di olahraga. Dulu, saya sering mengalami cedera di SMA. Saya mencoba untuk bermain american football, lacrosse, dan saya juga mencoba mendayung. Dengkul, mata kaki, dan punggung saya pernah patah. Saya pernah mengalami berbagai cedera. Jadi, pada akhirnya saya memutuskan bahwa olahraga tidak cocok untuk saya.” Beberapa awktu lalu, Extreme Networks dan eCampus News membuat laporan yang menyebutkan, keberadaan program esports di sekolah mendorong para siswa untuk lebih rajin ke sekolah.

Sumber: All-Star eSports League via VentureBeat
CEO Jordan Zietz. Sumber: All-Star eSports League via VentureBeat

Zietz berkata, All-Star eSports League tumbuh dengan cepat dalam waktu enam bulan belakangan. Saat ini, dia menyebutkan, telah ada 5.000 tim yang ikut serta dalam platform buatannya. “Tujuan utama saya sekarang adalah menjangkau sekolah sebanyak-banyaknya,” ujarnya. Keluarga Zietz memang terbiasa berwirausaha. Sang kakak, Rachel Zietz, membuat perusahaan pertamanya ketika dia berumur 13 tahun. Sementara Jordan Zietz membuat perusahaan pertamanya, sebuah perusahaan persewaan game, saat dia berumur 12 tahun. Dia juga sempat untuk membuat perusahaan virtual reality sebelum dia memutuskan untuk fokus di esports.

“Saya selalu tertarik dengan olahraga dan gaming, tapi saya senang bisa bekerja sama dengan Jordan karena dia membawa semangat ini ke tingkat yang lebih serius. Dia benar-benar peduli dengan apa yang dia lakukan, dan saya pikir, inilah yang membuat perusahaan terus sukses,” kata Bensussen.

Zietz bukan satu-satunya orang yang tertarik untuk menyelenggarakan liga esports di tingkat SMA. Ialah Delane Parnell, yang membuat platform PlayVS. Belum lama ini, PlayVS mengumumkan bahwa mereka juga telah mendapatkan kucuran dana. Namun, Zietz mengatakan, platform-nya berbeda dengan PlayVS, yang mengharuskan para peserta membayar untuk bisa bertanding. All-Star eSports League milik Zietz gratis. “Mereka meminta bayaran pada para peserta, sementara kami tidak. Karena kami percaya, hal ini membuat pemain berbakat tidak bisa menunjukkan kemampuan mereka,” kata Zietz. “Sebagai siswa dan gamer, saya percaya, semua orang harus bisa berpartisipasi dan sistem PlayVS itu diskriminatif.”

Lúcio dari Overwatch Jadi Sumber Inspirasi Razer Dalam Merancang Headset Edisi Spesial Ini

Demi memikat konsumen, kerja sama antara produsen hardware dan developer game tidak terelakkan. Dari sejak bertahun-tahun silam, Razer sudah sering menggandeng sejumlah raksasa gaming untuk memproduksi periferal edisi spesial. Beberapa franchise permainan yang sempat berkolaborasi bersama Razer meliputi Mass Effect, Destiny, Street Fighter, Call of Duty, dan tentu saja Overwatch.

Bahkan beberapa b ulan sebelum Overwatch resmi meluncur, Razer sudah gencar mempromosikan mouse, keyboard dan mousepad berlisensi resmi permainan shooter multiplayer populer Blizzard Entertainment itu. Dan lima tahun berselang, Razer telah menyediakan delapan (jika saya tidak salah hitung) pilihan gaming gear bertema Overwatch, dan dua produk anyarnya sengaja didedikasikan pada karakter DJ sekaligus hero support Lúcio.

Razer Nari Ultimate Overwatch Lúcio Edition 2

Tema Lúcio diterapkan pada mouse mat Goliathus dan headphone Nari Ultimate. llustrasi Lúcio pada Goliathus memang membuat mousepad ini tampil atraktif, namun yang istimewa ialah ketika desain khas Lúcio diimplementasikan pada headset. Dominasi warna hitam pada Razer Nari Ultimate kini digantikan oleh kombinasi warna yang jadi identitas sang hero support, membuatnya meriah tanpa terlihat berlebihan.

Razer Nari Ultimate Overwatch Lúcio Edition 4

Razer Nari Ultimate Overwatch Lúcio Edition memiliki tubuh berwarna kuning, dipadu biru di bagian housing, serta beberapa zona hijau – di headband serta pelat bundar di sisi terluar. Kemudian, logo Razer digantikan oleh logo katak Lúcio. Namun selain itu, produk edisi spesial ini memiliki fitur dan kelengkapan layanya Nari Ultimate, termasuk penggunaan struktur tubuh kombinasi logam dan plastik, headband auto-adjustable sekunder, serta earcup berukuran besar yang bisa bebas bergerak mengikuti bentuk kepala.

Razer Nari Ultimate Overwatch Lúcio Edition 3

Selain itu, headphone mengusung segala teknologi yang dimiliki varian Nari Ultimate, di antaranya bantalan empuk dengan gel pendingin, THX Spatial Audio sehingga kita bisa mendengar suara di ruang lingkup 360 derajat, sistem pencahayaan Chroma, dukungan konektivitas wireless 2,4GHz bebas lag dan tentu saja terdapat Hypersense Intelligent Haptics. Sistem unik ini dirancang agar mampu mendeteksi frekuensi dan ‘bentuk’ suara untuk kemudian diubah jadi efek haptic berupa getaran – secara akurat dengan intensitas berbeda.

Razer Nari Ultimate Overwatch Lúcio Edition 1

“Sebagai hero support, Lúcio sangat mahir dalam menjaga kawan-kawannya tetap prima di sesi pertempuran yang panjang,” tutur Razer. “Dan seperti Lúcio, headset ini diramu agar Anda selalu berada di kondisi terbaik saat bermaraton Overwatch.

Razer Nari Ultimate Overwatch Lúcio Edition sudah mulai dipasarkan dan pemesanan bisa dilakukan di situr Razer. Perlu Anda ketahui bahwa produk edisi spesial ini dibanderol US$ 30 lebih mahal dari Nari Ultimate standar, yaitu US$ 330.

Via DualShockers.

Bersama AKG Games, Blizzard Entertainment Turun Tangan Kembangkan Komunitas di Indonesia

Tahun 2019 sepertinya menjadi momentum terbesar bagi esports di Indonesia. Salah satu momentum tersebut adalah meledaknya esports untuk perangkat bergerak, yang segera menyedot perhatian para pelaku bisnis di Indonesia. Tak ragu, kini para pelaku bisnis di Indonesia pun memulai ekspansinya membesarkan industri game dan esports di Indonesia. Setelah beberapa hari lalu ada Supercell hadir di Indonesia dengan kolaborasi bersama LINE, kini ada Blizzard yang hadir di Indonesia lewat kolaborasinya dengan AKG Games.

AKG Games sendiri merupakan games publisher yang berada di bawah naungan dari Salim Group, perusahaan konglomerat yang menaungi perusahaan seperti Indofood di bidang FMCG, Indomaret untuk sektor ritel, dan lain sebagainya. Dalam sebuah sesi konfrensi pers yang diselenggarakan di CGV Grand Indonesia pada 12 September 2019 ini, kedua belah pihak menjelaskan bahwa mereka sedang mempersiapkan berbagai aktivitas dan kegiatan berskala nasional baik secara online ataupun offline.

Sumber: Rilis Resmi
Sumber: Press Release

Dalam sesi talk show, Blizzard yang diwakili oleh Paul Chen, Managing Director regional Taiwan/SEA dan AKG Games yang diwakili oleh Adrian Lim, selaku Director AKG Games membahas soal ini. Game yang menjadi fokus dalam kerjasama ini adalah Overwatch dan Hearthstone.

Terkait strategi, baik Adrian ataupun Paul keduanya menjelaskan bahwa strateginya adalah dengan fokus kepada komunitas terlebih dahulu. “Saat ini sendiri 40 juta pemain Overwatch dan 100 juta pemain Hearthstone secara global. Lewat kerjasama ini kami ingin mengembangkan komunitas di Indonesia, meningkatkan pengalaman bermain mereka, dan membangun perkembangannya mulai dari tingkat grassroot.” Paul Chen menjelaskan.

Dalam hal membangun perkembangan komunitas suatu game, Blizzard sendiri sebenarnya punya strategi menarik yang diterapkan di Korea Selatan sana. Jadi alih-alih harus membeli game-nya, gamers di Korea Selatan bisa memainkan Overwatch secara gratis hanya dengan membayar “billing” iCafe saja.

Mengingat iCafe di Indonesia yang masih jadi salah satu cara gamers mengakses game di PC, ini tentu bisa jadi strategi menarik untuk diterapkan di Indonesia juga bukan? Terkait hal ini Adrian menyatakan komentarnya.

“Beberapa hari belakangan kami (AKG dan Blizzard) juga mendiskusikan soal cara terbaik bekerja sama dengan iCafe. Apalagi mengingat kebanyakan iCafe sekarang sudah punya spesifikasi yang tinggi, dan komunitas yang sangat passionate.” Ujar Adrian membahas soal komunitas iCafe di Indonesia.

“Kami tentunya akan menggunakan hal tersebut sebagai salah satu cara untuk membangun kecintaan pemain terhadap game-game milik Blizzard. Namun untuk menuju hal tersebut, kami masih mencari strategi win-win benefit bagi pemilik iCafe, dan juga benefit yang bisa diterima oleh para pemain. Kami juga sedang membangun sebuah program untuk menikmati hal tersebut. Jadi siap-siap saja, ini akan segera hadir di iCafe terdekat dari Anda.” Adrian menjelaskan lebih lanjut.

Sumber: Rilis Resmi
Adrian Lim, Director AKG Games. Sumber: Rilis Resmi

Tetapi tidak terbatas pada itu saja, integrasi program esports global milik Blizzard juga akan menjadi salah satu hal yang dicanangkan dalam kerjasama ini. Kalau mungkin Anda belum tahu, Overwatch punya satu program esports global yang bertajuk Overwatch League.

Membawa sistem franchise, Overwatch bisa dibilang sebagai pionir liga esports yang membawa fanatisme kedaerahan. Dalam liga ini, nama kota menjadi bagian dari nama tim, jadi Anda dapat melihat tim dengan nama seperti London Spitfire, Shanghai Dragons, dan lain sebagainya.

Dengan kerja sama ini, tentunya kita semua menantikan sesuatu hal yang menarik, baik dari sisi esports maupun pengembangan komunitas dari tingkat grassroot. Siapa yang tahu, mungkin kerja sama ini akan membuahkan Overwatch League Indonesia? Kemungkinan tentu akan selalu ada.

 

Zipchair Gaming Jadi Sponsor Overwatch League, Coca-Cola Dukung Tespa

Mulai tahun depan, Overwach League akan menetapkan sistem kandang-tandang. Itu berarti, semua tim esports yang ikut dalam liga tersebut akan memiliki markas sendiri untuk menjamu tim lawan yang datang.

Salah satu masalah yang muncul dengan menggunakan sistem ini adalah penyelenggara harus menggunakan kursi yang berbeda untuk setiap tim. Untungnya, Zipchair Gaming dari DreamSeat memutuskan untuk bekerja sama dengan Overwatch League dan menjadi penyedia kursi gaming dalam turnamen tersebut. Kursi yang digunakan adalah Zipchair Gaming Xpression. Seperti namanya, kursi gaming ini memiliki zipper atau ritsleting, sehingga bagian bagian logo pada kursi bisa dilepas dan diganti. Ini akan memudahkan pihak penyelenggara, sehingga mereka tidak perlu menyiapkan kursi yang berbeda untuk setiap tim. Sebagai gantinya, mereka cukup mengganti logo yang ada pada kursi.

“Bekerja sama dengan DreamSeat memungkinkan kami menyesuaikan kursi untuk setiap tim di panggung tanpa harus menggunakan kursi yang berbeda,” kata Activision Blizzard, Esports Director of Global Partnerships, Anthony Theoharis, sepreti dikutip dari The Esports Observer. “Kami senang bisa bekerja sama dengan perusahaan yang juga peduli dengan olahraga profesional dan Overwatch League. Kami juga senang karena para fans kami akan bisa membeli kursi yang sama persis yang digunakan oleh para atlet profesional Overwatch League.”

Tampilan Zipchair Gaming Xpressoin | Sumber: The Esports Observer
Tampilan Zipchair Gaming Xpressoin | Sumber: The Esports Observer

Memang, melalui kerja sama ini, selain mendapatkan kursi untuk para pemain, Overwatch League juga memiliki lisensi untuk menjual dan mendistribusikan kursi gaming dengan logo para tim peserta liga. Sebelum ini, Activision Blizzard, developer game Overwatch, mengumumkan kerja sama dengan Kellogg Company. Salah satu bentuk kerja sama itu adalah program marketing bersama antara Overwatch League dengan dua merek di bawah Kellogg Company, Cheez-It dan Pringles.

Coca-Cola menjadi rekan Tespa

Tespa, operator esports tingkat kampus asal Amerika Utara, mengumumkan bahwa Coca-Cola kini menjadi rekan resmi mereka. Menurut situs resmi Tespa, sekarang mereka memiliki lebih dari 270 Chapter yang tersebar di Amerika Serikat dan Kanada. Chapter adalah klub gaming siswa yang diakui oleh Tespa. Para pemimpin Chapter bertanggung jawab untuk mengadakan acara dan membantu para anggotanya untuk mengasah kemampuan.

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Dengan kerja sama dengan Coca-Cola, Chapter akan mendapatkan produk dan merchandise dari Coca-Cola yang bisa dibagikan dengna para pemain. Selain itu, para anggota Tespa juga bisa ikut serta dalam Coca-Cola Loot Drop. Merek minuman itu juga akan menjadi mensponsori berbagai kegiatan Tespa, mulai dari workshop sampai acara perekrutan anggota.

Sejauh ini, Tespa pernah mengadakan turnamen seperti ESPN Collegiate Esports Championship, Overwatch Collegiate Championship, dan Heartstone Collegiate Championship. Secara total, Tespa telah memberikan hadiah dan beasiswa senilai US$3,3 juta. Beberapa rekan Tespa sebelum Coca-Cola antara lain Twitch, Blizzard Entertainment, dan ASUS Republic of Gamers.

Sumber: The Esports Observer, Esports Insider

Sumber header: Esports Insider