Pemerintah Siap Pajaki Perdagangan Elektronik Tahun 2020 untuk Capai Target Penerimaan Negara

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan akan mengejar pungutan pajak dari para pelaku usaha perdagangan elektronik (e-commerce) tahun 2020 mendatang. Upaya tersebut dilakukan demi mengamankan target penerimaan negara yang total mencapai Rp2.221,5 triliun. Hal tersebut disampaikan dalam Rapat Pembukaan Masa Sidang 1 2019-2020 beberapa waktu lalu.

“Pemerintah akan menempuh kebijakan penyetaraan playing field bagi pelaku usaha konvensional maupun e-commerce untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan di era digital,” ujar Jokowi.

Ia menerangkan bahwa penghimpunan pajak ini perlu dilakukan mengingat selama ini para pelaku e-commerce, khususnya yang melalui social commerce, masih banyak yang belum menyetor pajak kepada negara. Meningkatnya target penerimaan negara sebesar 3,68% (Rp79 triliun) menjadi alasan mengapa pajak e-commerce dikejar.

Selanjutnya pemerintah juga berupaya untuk melanjutkan reformasi perpajakan. Hal ini hadir dalam bentuk perbaikan administrasi, peningkatan kepatuhan, dan juga penguatan basis data dan sistem informasi perpajakan. Sementara untuk mendukung peningkatan daya saing dan investasi, pemerintah akan memberikan insentif perpajakan melalui beberapa instrumen.

“Yaitu perluasan tax holiday, perubahan tax allowance, insentif investment allowance, insentif super deduction untuk pengembangan kegiatan vokasi dan litbang serta industri padat karya,” ujar Jokowi. “Untuk industri padat karya, memperoleh juga fasilitas pembebasan bea masuk dan subsidi pajak,” sambungnya seperti dikutip dari Kompas.

Kabar mengenai pajak e-commerce beberapa tahun belakangan ini memang rutin menyeruak.Mengejar pajak e-commerce jelas bukan perkara yang sederhana. Kesiapan regulasi mengenai perpajakan kerap menjadi hambatan penerapan aturan. Teknologi yang terus berinovasi tampak meninggalkan aturan dan regulasi di belakang. Untuk kasus pajak e-commerce ini setidaknya pemerintah harus sudah siap, setidaknya soal skenario dan infrastruktur penarikan pajak yang sesuai.

Dampak Pembatalan “Pajak E-Commerce” Bagi Industri

Hari ini Menteri Keuangan Sri Mulyani resmi membatalkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 210 Tahun 2018, lebih dikenal sebagai “Pajak E-Commerce”, yang seharusnya resmi diberlakukan mulai 1 April 2019 mendatang. Menurut keterangan resmi yang disampaikan Kementerian Keuangan, ada kebutuhan koordinasi antar lembaga dan kementerian untuk memastikan pengaturan e-comemerce tetap sasaran, berkeadilan, efisien, dan mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi digital.

Dengan ditariknya PMK ini, merchant tidak lagi memiliki kewajiban melaporkan NPWP ke penyedia layanan marketplace, sementara pihak marketplace tidak perlu mengembangkan sistem untuk memungut, menyetor, melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan.

Yang tetap berlaku adalah kewajiban perpajakan untuk UKM, berupa pajak final 0,5%, bagi mereka yang memiliki omzet di bawah 4,8 miliar Rupiah per tahun.

Dampak bagi industri

Kehadiran Pajak E-Commerce sempat dianggap momok bagi para pelaku industri. Di saat usianya yang masih sangat balita, tambahan pajak yang diberlakukan di platform marketplace akan mengurangi tingkat kompetitif merchant di pasar yang sangat sensitif soal harga ini. Belum lagi kewajiban pelaporan NPWP yang dianggap merepotkan.

Di awal Januari, ketika peraturan tersebut disahkan, pihak asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) langsung mengajukan penangguhan. idEA, melalui Ketua Umumnya Ignatius Untung, beralasan saat ini jumlah merchant yang hadir di marketplace masih minoritas jika dibandingkan mereka yang berjualan bebas di media sosial. Jika yang minoritas ini diperberat dengan berbagai syarat dan perpajakan, ditakutkan industri yang baru dibangun ini malah “bubar jalan”.

Sri Mulyani sendiri langsung merespon dengan menyebutkan peniadaan kewajiban pelaporan NPWP oleh merchant.

Batalnya pemberlakuan Pajak E-Commerce ini menjadi “kado” insentif bagi pemain industri yang sedang giat-giatnya menarik UKM untuk berjualan secara online. Di sisi lain, marketplace — setidaknya saat ini — tidak perlu berinvestasi untuk membangun sistem perpajakan.

idEA sendiri menyebutkan pihaknya tengah melakukan kajian mengenai dampak pungutan pajak terhadap penjual, marketplace, dan ekonomi negara. Studi ini bakal melibatkan lintas institusi dan Untung memprediksi dibutuhkan setidaknya sekitar satu tahun untuk memberikan rekomendasi bagaimana seharusnya penerapan perpajakan untuk e-commerce.

Contoh di Amerika Serikat

Di negara maju seperti Amerika Serikat, perpajakan e-commerce juga termasuk hal pelik. Acuan keputusan Mahkamah Agung tahun 1992 tentang peniadaan kewajiban pajak penjualan tanpa kehadiran operasional bisnis secara fisik (saat itu masih berupa katalog) mendorong pertumbuhan industri e-commerce yang sangat pesat, bak jamur di musim hujan.

Setelah 26 tahun, di tahun 2018, muncul keputusan Mahkamah Agung baru yang mulai mengatur soal pajak penjualan untuk layanan online. Di masa ini nilai e-commerce Amerika Serikat mencapai lebih dari $500 miliar.

Menurut data Google-Temasek, nilai e-commerce Indonesia tahun 2018 diperkirakan baru sekitar $12 miliar. Angka itu masih jauh dari ideal dan dibutuhkan insentif lebih banyak untuk mendorongnya mencapai batas psikologis $50 miliar di tahun 2025. Kehadiran wacana pajak tambahan di awal bisa membuyarkan target-target tersebut.

Penutup

Penarikan Pajak E-Commerce sangat diapresiasi untuk mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi digital. Menurut hemat kami, insentif supply chain, logistik, dan perpajakan dari Pemerintah menjadi hal krusial untuk mendorong pemerataan distribusi ketika e-commerce memudahkan konsumsi dari Sabang sampai Merauke.

Soal Pajak E-Commerce, Pemerintah Sepakat Tak Wajibkan Pedagang Online Punya NPWP

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyetujui untuk tidak mewajibkan pedagang online memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Keputusan ini merupakan salah satu hasil kesepakatan dengan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) yang diadakan siang tadi, (16/1).

Sri Mulyani menjelaskan keputusan ini diambil setelah memperhatikan bahwa banyak pedagang di platform marketplace yang memiliki penghasilan di bawah batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau di bawah Rp54 juta per tahunnya. Dengan alasan itu, maka kewajiban NPWP tidak masuk dalam kebijakan tersebut.

“Kami sudah diskusi banyak dengan pelaku bahwa yang disampaikan idEA banyak pedagang dari mahasiswa, ibu rumah tangga yang ingin memulai bisnis lewat platform marketplace. Mereka tidak perlu dihalangi dengan menyerahkan NPWP maupun NIK,” terangnya dikutip dari Katadata.

Sri Mulyani menyebut aturan tersebut lebih detil akan diterbitkan oleh Dirjen Pajak. Akan tetapi dia menegaskan bahwa PMK 210 tidak ada yang diubah isinya. Semangat pemerintah yang dituangkan dalam beleid ini bukan melulu keinginan untuk menarik pajak saja. Justru pemerintah ingin mendorong industri yang baru tumbuh dengan aturan-aturan agar lebih tertib.

“Bahwa PMK ini bukan PMK yang memungut pajak online, melainkan tata cara di dalamnya yang menimbulkan reaksi seperti adanya keharusan membuat NPWP atau NIK. Kita sampaikan bahwa tidak ada keharusan untuk sampaikan NPWP atau NIK. Nanti diatur dalam Perdirjen.”

Keputusan kedua yang akan ditindaklanjuti adalah komitmen untuk terus menjaga level of playing field antara penyedia platform marketplace dengan media sosial. Sri Mulyani memahami ketakutan tersebut dan memberikan komitmen untuk terus berdiskusi secara intensif dengan para pelaku usaha demi menjaga bentuk ekosistemnya.

Terakhir adalah memberi kemudahan untuk sisi pelaporan buat penyedia platform marketplace. Secara ketentuan, marketplace memang sudah menginformasikan beberapa data kepada Kemkominfo, BPS, dan BI.

Pemerintah tetap mengupayakan skema penyampaian informasi dari marketplace sesederhana mungkin. Bila perlu, skemanya dibuat seamless atau sudah ada di model bisnisnya sehingga tidak memerlukan upaya khusus.

“Sehingga mereka [platform marketplace] tidak perlu merasa direpotkan harus mendatangi kembali satu per satu instansi. Mereka tidak perlu effort khusus untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan tiap instansi karena dari kami yang akan koordinasikan,” pungkas Sri Mulyani.

Dalam kesempatan yang sama, turut hadir Ketua idEA Ignatius Untung. Dia mengapresiasi respons Sri Mulyani atas masukan yang sudah mereka berikan.

“Kami dari idEA mengucapkan terima kasih. Semangatnya sama, ini bukan untuk membuat orang buat usaha jadi takut justru sebaliknya. Kita [e-commerce] paling comply dengan aturan dan Menkeu dukung model bisnis lain agar tumbuh playing field yang sama,” kata Untung.

Sebelumnya, idEA menunjukkan keberatannya kepada pemerintah pasca diterbitkannya PMK 210 pada Senin lalu (14/1).

Kisruh Pajak E-Commerce, idEA Minta Penangguhan

Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PML.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Pemerintah menyebut peraturan ini hanya mempertegas tata laksananya saja.

Dalam pasal 2 PMK ini, menjelaskan sistem perpajakan di platform e-commerce meliputi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Penghasilan (PPn).

“Ini bukan hal baru, tapi yang kami atur adalah tata laksananya,” jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani dikutip dari CNN Indonesia.

Tata caranya juga terbilang serupa dengan badan usaha lain, yakni wajib memiliki NPWP, mau memungut PPN dan PPh terkait penjualan barang, dan penyediaan layanan platform marketplace, dan wajib melakukan rekapitulasi transaksi setiap periodenya.

Sri Mulyani juga menyatakan bahwa skema pajak yang diterapkan di platform e-commerce ini bertujuan untuk menjaga iklim investasi makanya disusun dengan sangat hati-hati. Meskipun demikian, dia mengaku masalah perpajakan ini memang sesuatu yang masih sensitif.

“Saya selaku Menteri Keuangan juga harus menjaga iklim investasi. Masalah perpajakan itu bukanlah hal mudah.”

Tak hanya mengatur platform e-commerce, beleid ini juga menyentuh pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan perdagangan barang dan jasa melalui online ritel, classified ads, daily deals, dan media sosial. Keseluruhannya wajib mematuhi ketentuan terkait PPN, PPnBM, dan PPh sesuai aturan yang berlaku.

idEA minta penangguhan

Pasca aturan ini terbit, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) langsung meminta kepada pemerintah untuk segera menangguhkan pelaksanaannya yang sudah ditetapkan pada 1 April 2019 mendatang. Keputusan yang diambil asosiasi tentunya secara tidak langsung demi kepentingan anggotanya dan pihak terkait.

Dalam konferensi pers yang diadakan idEA pada hari ini (14/1), Ketua Umum idEA Ignatius Untung mengkhawatirkan terjadinya perpindahan para pengusaha mikro yang sudah memanfaatkan platform e-commerce ke media sosial.

Pasalnya menurut hasil studi internal idEA, 95% pelaku UKM masih berjualan di platform media sosial dan hanya 19% yang sudah menggunakan marketplace.

“Seharusnya yang dikejar adalah yang 95% [yang berjualan di media sosial,” katanya.

Seperti yang disebutkan, aturan baru memang sudah menyentuh perpajakan di media sosial dan platform sejenis. Akan tetapi, masih sulit untuk pemerintah pungut pajaknya karena belum ada kajian konkret mengenai tata cara memajaki penjual yang memanfaatkan media sosial untuk berjualan. Apalagi, baik individu maupun pelaku usaha belum banyak yang sudah memiliki NPWP.

Hal lain yang menjadi perhatian adalah infrastruktur penyedia marketplace untuk memungut pajak atau memverifikasi NPWP. Hingga kini belum ada integrasi dengan sistem Ditjen Pajak atau Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).

“Kesiapan infrastruktur itu enggak akan kekejar sampai 1 April karena ini butuh koneksi dengan antar bagian pemerintah. Kalau NPWP-nya palsu bagaimana? kan verifikasinya repot.”

Dengan berbagai alasan inilah yang memutuskan untuk meminta penundaan implementasi PMK 210 hingga ada kajian lebih lanjut. Adapun saat ini idEA tengah melakukan kajian mengenai dampak pungutan pajak terhadap penjual, marketplace dan ekonomi negara. Karena studi ini bakal melibatkan lintas institusi, dia memprediksi hitungan kasar yang dibutuhkan sekitar satu tahun.

“Studinya enggak mungkin selesai dalam tiga bulan. Kami meminta untuk ditangguhkan penerapan pada 1 April ini sampai studi selesai. Dugaan kami harusnya tidak [selesai] di 2019 paling cepat di 2020, dengan catatan semua prosesnya lancar.”

“Kami sudah kirim surat untuk audiensi dengan Kemenkeu,” tutup Untung.

Penangguhan kurang beralasan

Pengamat Informasi Teknologi (IT) dan Siber dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Kun Arief Cahyantoro mengatakan pendapat idEA kurang beralasan. Menurutnya, di Pasal 3 Ayat 9 dan 10 telah menjelaskan bagaimana aturan terkait pedagang mikro tersebut (pada PMK-10 disebut sebagai pedagang kecil) bahwa pedagang mikro yang belum melewati batasan pengusaha kecil “dapat tidak dikukuhkan” sebagai PKP.

“Sehingga poin penting dalam PMK ini terkait pajak pedagang mikro bahwa pedagang mikro akan “sangat diuntungkan” karena mereka tidak akan dibebani pajak sama sekali,” terangnya kepada DailySocial.

Di sisi lain, sambungnya, sesuai PMK-10 Pasal 6, seluruh pedagang dan penyedia jasa “wajib memiliki NPWP” menjadi poinpenting yang menguntungkan pedagang mikro. Karena dengan aturan ini para pedagang akan dijamin usahanya terutama menghadapi persaingan usaha dengan pedagang-pedagang yang berasal dari luar negeri.

Lagipula, tujuan utama dari setiap pedagang punya NPWP adalah jaminan keamanan ekonomi bukan hanya lokal bahkan nasional. Ketiadaan data pedagang yang terdaftar, menjadi potensi pencucian uang seperti kejadian beberapa tahun lalu yang terjadi pada bisnis pulsa elektronik seluler. Di mana uang dicuci melalui pelapak-pelapak kecil dari penjual pulsa.

“Masalah shifting ke platform media sosial, PMK-10 pasal 3 ayat 1 (b) menjelaskan bahwa media sosial adalah salah satu platform yang juga menjadi pengawasan pajak,” tandasnya.

Silang Sengkarut Pajak E-Commerce di Indonesia

Ibarat kalimat, pajak e-commerce menjadi isu yang sepertinya akan selalu ada koma di dalamnya. Antara pemerintah dengan pelaku marketplace saling mengemukakan pendapatnya masing-masing, membuat isu ini jadi semakin sengkarut karena dorongan pelaku, yang ingin pemerintah lebih transparan dan terbuka dalam membuat aturan, belum memperoleh respon sejauh ini.

Secara makro, riset yang dilakukan Google dan Temasek memperkirakan nilai pasar e-commerce Asia Tenggara tahun 2017 ini mencapai sekitar $11 miliar dan bakal menjadi $88 miliar di tahun 2025. Indonesia menyumbang lebih dari 50% pangsa pasar tersebut.

Namun potensi tersebut menjadi pisau bermata dua, lantaran perkembangan teknologi yang pesat belum dibarengi regulasi yang memadai. Ada peluang sekaligus tantangan. Tak heran terjadi gonjang ganjing ketika membicarakan soal perpajakan di sektor e-commerce.

Gegar budaya

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyebut kejadian ini sebagai gegar budaya. Pemerintah belum mampu menyesuaikan diri secara cepat dengan perubahan yang terjadi. Aturan lama yang dulu dianggap sudah pas, ternyata kini jadi usang.

Menurutnya, masih banyak pihak yang keliru soal pemahaman soal cara berdagang online itu belum dipajaki. Kesalahpahaman ini sebenarnya masih di permukaan, belum menyentuh masalah mendasar. Yustinus berpendapat, sejatinya yang menjadi masalah dalam pajak e-commerce adalah bukan aktivitas mereka, melainkan cara memajaki dengan opsi yang paling efektif.

Dalam prakteknya, dunia e-commerce tidak sesimpel yang dipikirkan, tak sekadar berdagang secara fisik dan non fisik. Bisnis e-commerce itu sendiri ada berbagai jenis, ada yang berbentuk ritel online, marketplace, B2B, B2C, C2C, hingga kombinasinya. Ada juga yang berjualan di platform media sosial dan layanan OTT (over the top).

Usulan baru di rancangan peraturan pajak untuk layanan e-commerce / DailySocial
Usulan baru di rancangan peraturan pajak untuk layanan e-commerce / DailySocial

Kemudian soal cakupan layanannya, ada yang domestik dan lintas batas (cross border). Untuk domestik, aspek perpajakannya sama persis dengan berdagang konvensional: terutang PPN dan PPh sepanjang memenuhi syarat, tidak ada pengecualian. Ini yang kerap disalahpahami. Belum lagi wacana pemerintah yang ingin menjadikan pemain marketplace sebagai agen penyetor pajak.

Ketika pedagang menjual barang, jika omzetnya belum melebihi Rp4,8 miliar setahun (dianggap UKM), hanya bayar PPh Final 1%, di atas itu berlaku tarif umum (PPh 10%) yang dikenakan atas laba kena pajak. Pemerintah sendiri berencana menurunkan tarif PPh Final UKM tersebut menjadi 0,5%. Pihak pemain e-commerce, yang diwakili idEA, mendukung wacana ini.

Marketplace sebagai agen setor pajak

Agen penyetor pajak adalah perpanjangan tangan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengumpulkan, mendata, dan menyetor data pajak kepada pemerintah. Pemain marketplace sejauh ini masih menolak mentah-mentah bila amanat itu diberlakukan.

Isu tersebut dikhawatirkan membuat kenaikan biaya kepatuhan sebab marketplace harus menyiapkan sejumlah infrastruktur dan biaya tambahan yang relatif besar. Beban tersebut, menurut pihak idEA, tidak sebanding dengan platform media sosial yang tidak dibebani apapun.

“Makanya menurut saya masalahnya bukan dari siapa [obyek wajib pajak], melainkan bagaimana [memungut pajaknya]. Kan sekarang ributnya di siapa-nya. Si pemilik platform disuruh mungut [pajak], itu yang menurut saya wajar terjadi penolakan,” terang Yustinus kepada DailySocial.

Asosiasi melihat perlakuan yang berbeda mengenai kewajiban memiliki NPWP Virtual berpotensi membuat pelaku usaha meninggalkan model marketplace dan beralih ke media sosial sebagai lapak jualannya.

“Kita apresiasi untuk rencana menurunkan besaran persetase tarif PPh Final jadi 0,5% dari 1%. Namun untuk isu jadi agen penyetor pajak katanya mau ditugaskan ke perusahaan marketplace, jujur kita agak keberatan di situ karena semua beban jadi ada di kita padahal itu tugas DJP,” kata Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, Infrastruktur idEA Bima Laga kepada DailySocial.

Belum semua taat pajak

DailySocial mencoba untuk mewawancarai dua pedagang UKM yang mengembangkan bisnis berbeda dan keduanya memanfaatkan platform marketplace untuk usahanya.

Febby selama kurang lebih tiga tahun mulai usaha berdagang hijab. Awalnya dia iseng-iseng memasarkan produknya tersebut lewat Instagram. Kemudian mulai mencoba memanfaatkan marketplace Shopee sejak setahun belakangan.

Secara skala bisnis, usaha kecil-kecilannya tersebut belum bisa dikatakan besar, kadang naik dan turun. Dia pun masih mengerjakannya sendirian, kadang minta bantuan temannya untuk jadi model peraga. Dari penjelasannya, meski tidak disebutkan secara rinci, usaha Febby tergolong UKM beromzet setahun di bawah Rp4,8 miliar.

Febby mengaku belum pernah membayarkan pajak dari penghasilan yang ia dapat selama ini. Dia merasa usaha yang ia jalankan tersebut adalah sampingan, sekadar mengisi kegiatan di rumah. Lagipula, menurut dia pendapatannya tersebut tidak seberapa.

Kedua, Aziz (nama disamarkan), adalah karyawan perusahaan skala awal yang bergerak sebagai distributor barang elektronik. Perusahaan yang menaunginya tersebut memanfaatkan berbagai platform marketplace untuk menjual barang-barang, mulai dari Bukalapak, Tokopedia, Blibli, Blanja, Shopee, dan Elevenia.

Aziz membuka akun di seluruh platform tersebut atas nama perusahaannya. Ia sengaja membuka akun resmi agar mendapat kelebihan yang ditawarkan masing-masing platform dibanding akun non resmi.

Dia ambil contoh, waktu itu saat mendaftar akun resmi di Tokopedia ada sejumlah dokumen yang wajib disertakan. Mulai dari NPWP perusahaan, SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), harus berbadan hukum, akte perusahaan, domisili, KTP pemilik usaha, dan TDP (Tanda Daftar Perusahaan).

“Karena perusahaan kami adalah distributor, Tokopedia juga minta dokumen resmi dari prinsipal yang menunjukkan bahwa kami itu hanya menyediakan barang resmi,” terang Aziz.

Karena akun perusahaan Aziz adalah toko resmi, maka perusahaan memberikan komisi dari setiap transaksi yang berhasil terjadi di dalam Tokopedia. Adapun soal perpajakan, dia mengaku setiap barang yang dijual sudah mengandung unsur pajak lantaran harga yang didapat dari prinsipal merupakan Suggested Retail Price (SRP). Setiap tahunnya pun, perusahaan rutin melaporkan hasil pendapatannya ke kantor pajak.

Edukasi itu penting

Dari kedua contoh kontras di atas bisa disimpulkan bahwa pemerintah masih memiliki jalan panjang untuk mengedukasi masyarakat sadar pajak. Di luar sana, ada banyak Febby-Febby lainnya yang berpikiran sama dan belum tentu semua perusahaan mengambil langkah serupa seperti yang dipilih perusahaan Aziz.

Oleh karenanya, pemerintah butuh solusi alternatif dengan mengubah fokus. Bukan pada apakah UKM yang memanfaatkan platform e-commerce adalah terutang pajak, melainkan cara paling efektif memajakinya.

“Cuma ada dua kemungkinan, enggak tahu dan enggak mau. Ini sama masalahnya dengan yang offline, belum tentu di situ rutin bayar pajaknya. Bisa jadi kemungkinannya mereka enggak tahu [kalau harus bayar pajak], ada juga yang tahu tapi enggak mau [bayar pajak]. Artinya behavior-nya sama saja, lalu apa yang membedakan [antara pedagang offline dengan online],” tutur Yustinus.

Lalu bagaimana cara untuk menjamin semua pedagang bayar pajak? Menurutnya, masalahnya terletak di proses registrasi NPWP. Solusi ini bisa pemerintah manfaatkan marketplace untuk mensyaratkan pendaftaran akun pedagang harus mencantumkan NPWP.

Cara tersebut sebenarnya sama saja ketika pemerintah pada saat mulai edukasi tahap awal untuk mendorong warga memiliki NPWP dan tercatat sebagai wajib pajak. Saat itu, pemerintah harus satu per satu datang ke rumah warga untuk mendaftarkan diri.

Bahkan proses edukasi masih terus dilakukan hingga kini. Bedanya, sekarang proses pendaftaran NPWP bisa dilakukan secara online, tidak perlu dengan kertas manual lagi.

“Sebenarnya enggak rumit. Pemerintah saja yang buat rumit. Sebaiknya pelaporan pajak dilakukan secara self assessment dulu mengingat proses administrasi dan infrastruktur kalau dilakukan online belum memadai. Terpenting adalah mulai dari kesadaran untuk registrasi NPWP, baru setelahnya mulai pikirkan cara memungutnya.”

Solusi berikutnya

Pemerintah selanjutnya perlu memikirkan pemecahan masalah tentang bagaimana cara memajaki yang paling efektif. Ada berbagai kasus studi yang ditempuh Korea Selatan dan Tiongkok dalam menghadapi masalah yang sama dengan Indonesia.

Korea Selatan misalnya, memungut pajak e-commerce lewat PPN dengan memanfaatkan gerbang pembayaran terintegrasi (payment gateway). Dari sana, setiap transaksi akan terekam dan pemerintah dapat lebih mudah memantaunya karena sumber pemasukan negara berasal dari sana.

Beda halnya pendekatan yang dilakukan Tiongkok. Negara tersebut memiliki rentang waktu untuk pengenaan PPN buat beberapa jenis barang yang dijual di e-commerce. Ambil contoh, barang X dikenakan pajak 2 persen selama sekian tahun, sedangkan barang XYZ dibebankan pajak sedikit lebih besar. Secara perlahan, barang-barang tersebut nilai PPN-nya jadi rata 10 persen.

Contoh PPh terhadap industri e-commerce di Korea Selatan dan Tiongkok / DailySocial
Contoh PPh terhadap industri e-commerce di Korea Selatan dan Tiongkok / DailySocial

“Yang terpenting adalah otomatisasi sistem adalah hal yang mutlak, sebab berhubungan dengan infrastruktur. Ketika orang belum teredukasi [soal pajak], tapi sudah disuruh bayar pajak, ya terang saja pada nolak semua.”

Yustinus berpendapat, kedua negara di atas memanfaatkan PPN untuk memungut pajak e-commerce karena mekanisme ini adalah solusi termudah. Memungkinkan dapat dipungut secara efektif dengan jumlah signifikan dibandingkan PPh. Maka dari itu, menurutnya pemerintah perlu pikirkan pengenaan PPN yang efektif dan bisa menarik wajib pajak baru.

Beberapa negara ASEAN memanfaatkan skema PPN final dengan tarif lebih rendah dari normal. Misalnya, India sebesar 1% (tarif normal 12,5%-15%), Thailand 4% (tarif normal 7%).

Kemudian, Vietnam tarif khusus 1% untuk individu yang menyelenggarakan bisnis e-commerce (di luar itu dikenakan tarif normal 10%), Filipina memungut 3% apabila omzet masih di bawah US$37.647 (tarif normal 12% akan diterapkan apabila omzet melebihi threshold).

Untuk pedagang di platform media sosial, menurut Yustinus, juga sebaiknya diperlakukan sama seperti marketplace. Menjadikan mereka sebagai gerbang untuk mendisiplinkan pedagang agar registrasi NPWP. Tidak bisa menjadikan platform media sosial sebagai agen penyetor pajak pula.

“Masalahnya adalah edukasi dan awareness. Kita ini mau instan, ada peluang mau diambil dan dipajaki. Ini bisa jadi kontraproduktif. Kalau sosmed sudah dipajaki, lari lagi pasti [pedagang] ke e-commerce luar negeri. Itu bisa lebih repot lagi,” tutupnya.

Asosiasi Minta Pemerintah Adil Mengutip Pajak E-Commerce

Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) meminta Kementerian Keuangan untuk berlaku adil terhadap pelaku e-commerce terkait mengutip pajak yang akan segera diterapkan. Hal ini diharapkan berlaku juga untuk platform media sosial dan platform teknologi lain yang berasal dari perusahaan asing.

Ketua Umum idEA Aulia E Marinto menuturkan perlakuan adil ini perlu didetilkan oleh pemerintah, termasuk untuk platform media sosial dan platform asal luar negeri lainnya yang bahkan kehadirannya tidak nyata ada di Indonesia.

Kedua platform tersebut memperoleh penghasilan dari Indonesia dan sampai saat ini tidak dibebani kewajiban pajak apapun. Dikhawatirkan perlakukan yang berbeda ini membuat pelaku UKM meninggalkan model marketplace dan beralih ke media sosial.

“Peraturan yang sama itu mutlak dijalankan supaya terjadi keseimbangan,” ujar Aulia, Selasa (30/1).

Aulia mengaku, diskusi mengenai RPMK Pajak E-commerce sudah beberapa kali diadakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sejak November tahun lalu.

Namun diskusi tersebut baru berupa sosialisasi konsep pengenaan pajak pada layanan e-commerce yang berbisnis di model marketplace, bukan berupa draft PMK yang dimaksud. Hingga kini, asosiasi mengaku belum menerima draft soal isi RPMK tersebut.

“Yang kita dengar RPMK [Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tata Cara Perpajakan Pelaku Usaha Perdagangan Berbasis Elektronik] ini mau keluar, tapi sampai sekarang kita belum terima draftnya. Kalau kami sudah terima [draft], kami bisa beri masukan lebih lanjut.”

Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, dan Infrastruktur idEA Bima Laga menambahkan pihaknya mendengar isu PMK pajak e-commerce akan diterbitkan pada akhir bulan ini atau awal Februari 2018.

“Katanya [PMK] akan terbit 31 Januari atau 1 Februari 2018. Makanya kami minta diuji publik, dengan mengadakan ini [konferensi pers],” terang Bima.

Bima melanjutkan, pihaknya juga meminta jaminan pemerintah untuk menjaga level playing of field (perlakuan sama), tak hanya antar pelaku UKM online dan offline, tapi juga antar marketplace informal (media sosial) dan marketplace formal (sudah berbadan hukum).

Disebutkan marketplace mendapat tugas agar turut berperan dalam memfasilitasi dan membantu DJP dalam meningkatkan jumlah wajib pajak baru, termasuk di dalamnya menyetorkan pajak dan memberikan data transaksi secara online ke Badan Pusat Statistik (BPS).

“Mereka sendiri mengaku masih mencari cara [mengutip pajak dari media sosial]. Kalau memang belum menemukan cara, kami siap beri masukan. Daripada aturan diterbitkan jadi memberatkan sepihak, harga yang harus dibayar terlalu mahal dikorbankan,” pungkas Bima.

Ditunjuk jadi agen penyetor pajak

Selain itu, dalam aturan terbaru ini nantinya pemerintah akan mewajibkan model marketplace sebagai agen penyetor pajak karena dinilai memiliki implikasi meningkatkan compliance cost atau biaya kepatuhan. Menurut Bima, kebijakan ini akan menempatkan marketplace pada posisi dibebani kewajiban untuk memotong, menyetor dan melaporkan PPh final.

Peningkatan biaya kepatuhan perlu mendapat perhatian pemerintah karena dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak jadi naik relatif signifikan. Lantaran untuk melaksanakan kewajiban tersebut marketplace harus menyiapkan sejumlah infrastruktur dan biaya tambahan.

Bila diilustrasikan, ada transaksi dari penjual UKM dari marketplace X senilai Rp10 ribu. Jika dia bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP), artinya dipotong dulu PPh 0,5%. Kemudian dilaporkan dan dihitung oleh perusahaan marketplace. Sementara ada isu kalau terjadi retur dan lain sebagainya?.

Dalam hal ini yang menanggung semuanya adalah pelaku UKM dari marketplace itu sendiri. Kalau marketplace sebagai korporasinya, tidak ada isu pajak. Justru akan kasihan ke penjual UKM.

“Wacana awalnya marketplace dijadikan sebagai wapu (wajib pungut) kemudian akhirnya jadi agen penyetor pajak. Jadi kita yang sekarang collect data, fungsi DJP dibebankan ke kita. Ada banyak sekali aturan teknis yang terjadi saat kami menjadi agen penyetor pajak, yang kasihan adalah penjual UKM,” pungkas Bima.

Paket Kebijakan Ekonomi 14 akan Banyak Mengatur tentang E-commerce

Pemerintah Indonesia tengah berusaha untuk meningkatkan perekonomian nasional. Salah atau langkah yang ditempuh adalah dengan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi. Kabarnya di paket kebijakan ekonomi yang ke 14 pemerintah juga akan mengatur bisnis e-commerce. Salah satunya adalah mengatur tentang perpajakan di bisnis e-commerce.

Diberitakan di beberapa media, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sempat memberikan bocoran bahwa paket kebijakan selanjutnya akan lebih banyak berbicara tentang e-commerce. Terutama mengenai roadmap pajak e-commerce.

Seperti kita ketahui bersama sejauh ini pemerintah telah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi sebanyak 13 buah, dan untuk yang ke-14 pemerintah menyasar sektor e-commerce. Jika dilihat dari apa yang dilakukan pemerintah belakangan ini industri e-commerce dan beberapa bisnis digital di Indonesia mulai dilirik pemerintah untuk diambil pajaknya. Hal ini dalam rangka menaikkan pendapatan negara, seperti kasus pemerintah yang sedang mengejar pajak dari raksasa OTT Google.

Berbeda dengan Google, meski pasar e-commerce memiliki potensi yang tinggi, banyak pemain di dalamnya yang tergolong “hijau”, artinya masih dalam tahapan perkembangan dan kemungkinan akan semakin susah untuk berkembang jika dikenai banyak pajak. Belum lagi risikonya yang tergolong cukup besar. Sadar mengenai hal ini Darmin menjelaskan bahwa untuk sektor e-commerce mungkin pemerintah akan mengenakan pajak secara umum, misalnya pajak final untuk bisnis e-commerce dengan omzet di bawah 4,5 miliar Rupiah.

“Kita tidak meminta kebijakan pajak secara khusus, paling-paling pajak secara umum, misalnya kalau di bawah 4,5 miliar omzet perdagangan, pajaknya final,” ujar Darmin.

Sementara itu, untuk kasus pajak Google yang masih belum terselesaikan, pihaknya masih dalam proses negosiasi dan belum sampai pada sebuah kesepakatan. Kesepakatan mungkin baru bisa terjadi kalau Google memutuskan untuk membuat semacam Bentuk Usaha Tetap atau Badan Hukum di Indonesia.

Pemerintah Segera Buka Peluang 100% Kepemilikan Asing di Layanan E-Commerce

Peta jalan (roadmap) e-commerce, yang juga mengatur ketentuan perpajakan e-commerce, telah disepakati pemerintah dalam Rapat Koordinasi yang berlangsung kemarin malam di Jakarta. Setidaknya ada 31 inisiatif yang diusulkan untuk produk e-commerce. Pemerintah juga mengindikasikan akan membuka peluang pihak asing untuk 100% memiliki sebuah perusahaan e-commerce, tanpa perlu bermitra dengan partner lokal.

Dikutip dari Metro TV news, Menkominfo Rudiantara menyampaikan, “Ada 31 usulan inisiatif produk e-commerce. Dari sisi investasi, nanti membuka DNI [Daftar Investasi Negatif] buat e-commerce. Sekarang kan gak boleh [kepemilikan oleh asing]. Nanti [setelah DNI dibuka] boleh asing, sejalan dengan FDI [Foreign Direct Investment]. Tapi tidak di UMKM karena harus diproteksi, yang besar, yang marketplace kita harapkan [kepemilikan] 100 persen.”

Meski pintu investasi asing telah dibuka, namun pemerintah juga menjanjikan untuk melindungi pemain lokal yang masih kecil. Kepemilikan 100 persen untuk platform marketplace oleh asing hanya terbuka bila aset marketplace yang bersangkutan bernilai di atas Rp 10 miliar.

Berkaitan dengan pajak, pemerintah juga akan meregulasi pemain e-commerce besar untuk membayar pajak lebih tinggi dibanding dengan yang kecil, tapi, ketentuan pajaknya hingga saat ini masih dihitung. Rencananya aturan baru tersebut akan diumumkan bersamaan dengan revisi DNI.

Rudiantara mengatakan, “Pajak ada aturan yang bisa dipakai final satu persen [untuk UMKM]. UMKM e-commerce masuk aturan yang ada. Yang besar nanti kami lihat lagi, yang penting harus bayar pajak. Orang berbisnis harus diberi kemudahan.”

Rudiantara juga menyebutkan roadmap tersebut direncanakan dapat berjalan tahun ini. Bila dapat diterapkan sesuai rencana dan disiplin, menurut Rudiantara, nilai e-commerce Indonesia bisa mencapai $130 miliar di tahun 2020 mendatang.

Menkominfo Tangguhkan Rencana Pajak E-Commerce

Rudiantara Tunda Penerapan Pajak E-Commerce / Shutterstock

Beberapa waktu lalu tersiar kabar bahwa pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak akan memberlakukan pajak kepada setiap transaksi e-commerce. Setelah mendapatkan sejumlah masukan dari berbagai pihak mengenai roadmap industri e-commerce di tanah air Rudiantara selaku Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) mengemukakan akan menangguhkan penerapan kebijakan terkait pajak di bisnis e-commerce.

Continue reading Menkominfo Tangguhkan Rencana Pajak E-Commerce

Pelaku Industri E-Commerce Pertanyakan Pajak Apalagi yang Ingin Dikenakan Pemerintah

Ilustrasi Pebisnis yang Kaget Mendapatkan Tagihan Perpajakan / Shutterstock

Rencana pemerintah untuk memberlakukan kewajiban pajak pada pemain e-commerce rupanya tidak main-main. Pemerintah saat ini tengah mematangkan rencana tersebut dengan berkomunikasi dengan berbagai pihak terkait. Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika, mengatakan pihaknya telah berdiskusi dengan Kementerian Keuangan perihal rencana aturan tersebut. Bahkan menurutnya, tidak hanya e-commerce, tetapi juga pemain over the top (OTT) yang memiliki transaksi juga akan dikenai pajak.

Continue reading Pelaku Industri E-Commerce Pertanyakan Pajak Apalagi yang Ingin Dikenakan Pemerintah