idEA: TikTok Shop Bukan Satu-satunya Penyebab Tanah Abang Sepi

Pemerintah resmi melarang TikTok memfasilitasi transaksi jual beli di Indonesia. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) pun menggelar focus group discussion (FGD) bersama Kementerian Perdagangan dan asosiasi UMKM, dengan tema “Pro dan Kontra S-Commerce pada Ekonomi Digital” yang digelar pada awal pekan ini (25/9).

Wakil Ketua Umum idEA Budi Primawan menyampaikan, asosiasi berusaha memfasilitasi komunikasi dan ruang untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan lengkap dari berbagai pihak, seperti pemangku kebijakan, pelaku industri digital, pelaku usaha. “Sehingga seluruh peserta dapat mendengar dan memahami secara menyeluruh terkait isu social commerce ini,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Ketua Bidang Business & Development idEA Mohammad Rosihan menilai sepinya penjualan di pasar offline bukan semata lantaran peralihan perilaku konsumen ke digital, melainkan menurunnya pembelian dari pelaku usaha di daerah yang menyangkut turunnya daya beli. Ini menurut pendapatnya yang juga pelaku usaha.

“Kami tidak lagi banyak yang membeli ke Tanah Abang, karena penjualan di daerah juga sepi. Mungkin ini juga menyangkut turunnya daya beli,” ujarnya.

Pendapat Rosihan didukung dengan testimoni dari salah satu pelaku usaha yang menggunakan semua kanal digital, Andre. Ia mengaku memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan social commerce. “Dengan sistem algoritma yang diberlakukan, penjualan bisa terdongkrak,” kata dia.

Produk yang Andre jual merupakan hasil kerja sama dengan konveksi lokal. Jadi pihaknya juga membantu mendorong penjualan produk dalam negeri. Pada akhirnya, ia dapat menjualnya dengan harga dan keuntungan yang tidak terlalu besar, tapi penjualannya bisa banyak. “Memang ada insentif diskon dari platform tersebut, namun kuotanya terbatas.”

Pengumpulan dan transfer data yang diduga terjadi dinilai menjadi salah satu penyebab tingginya penjualan di social commerce. Hal tersebut disinyalir pada berseliwerannya produk impor, baik legal maupun illegal, dengan harga yang tidak masuk akal karena sangat murah.

Terkait soal itu, Peneliti industri digital Ignatius Untung menyampaikan pro-kontra sebenarnya tidak perlu. Menurutnya, transfer data ini dilakukan oleh semua platform digital untuk relevansi pencarian yang juga membantu konsumen. “Pemilik Google, e-commerce, media sosial berbeda, tapi melakukan yang sama,” kata Untung.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Harris Sofyan juga khawatir dengan pelaku usaha besar yang mampu mengikuti perkembangan dengan ikut program afiliator. “Pemain besar mungkin bisa mendorong tayangnya produk, banting harga, dan lainnya,” kata Harris.

Di satu sisi, banyak pelaku UMKM yang mengeluh mau mencoba bertransformasi tapi kurang literasi. Misalnya sudah live di TikTok Shop, tapi secara penjualan belum maksimal. “Oleh karena itu, perlu pelatihan dan program literasi digital utamanya untuk UMKM di daerah supaya mereka mendapatkan manfaat yang optimal dari social commerce.”

Menanti aturan social commerce

Di lain pihak, revisi Peraturan Menteri perdagangan RI (Permendag) No. 50 sangat dinanti untuk kejelasan aturan operasional social commerce. Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan Rifan Ardianto mengatakan aturan tersebut sudah siap untuk diajukan ke Kemenkumham setelah melewati harmonisasi dan mendapat surat persetujuan dari presiden.

“Kami berupaya tidak ada bisnis yang menguasai dari hulu ke hilir. Kami berusaha membuat definisi yang clear terkait retail online, marketplace, social-commerce.”

Ia juga menjelaskan akan ada tindak lanjut revisi Permendag tersebut melalui komunikasi dengan Kemenkominfo terkait strategi mengidentifikasi platform media sosial dan lainnya. Kominfo nantinya akan berfokus pada penguatan ekosistem e-commerce-nya. Mengatur hardware, software, tata kelola, dan orang.

“Kementerian lain pada penguatan sektoralnya,” tambah Direktur Ekonomi Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika I Nyoman Adhiarna.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum idEA Hilmi Adrianto berharap masih ada ruang diskusi terkait penerapan Revisi Permendag No. 50 tersebut. Ia menegaskan pelaku industri digital siap untuk duduk bersama pemangku kebijakan untuk mencari cara terbaik dan tepat untuk menerapkan aturan yang bisa mendorong lajunya pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.

“Dan untuk bisa menindaklanjuti penerapannya, kami berharap untuk bisa mendapatkan peraturan ini secara lengkap. Kami akan mengkaji apa saja yang perlu dilakukan nantinya,” pungkasnya.

idEA Under a New Successor, to Strengthen the Digital Economy Ecosystem

The Indonesian E-commerce Association (idEA) appointed Bima Laga as the new Chairman for the 2020-2022 management period, replacing the last one, Ignatius Untung. Bima currently serves as AVP of Public Policy and Government Relations at Bukalapak.

While at the association, he has joined the two previous management. First, as the Head of Tax, Cybersecurity, Infrastructure. Second, as Chair of Indonesia’s Digital Economy. Armed with his previous experiences, he wants to strengthen the digital economy and keep it as the focus of idEA’s work during his realm.

In a virtual interview with a limited number of media last week (4/9), Bima said that he wanted to achieve the mission to maintain the existence of idEA as an association in the digital economy, as a partner of the government and regions in the planning of regulations in the creation of Indonesian business climate.

Next, expand the opportunities for micro, small, and medium businesses to take advantage of the digital platform by facilitating onboarding activities and digital sales training. Another mission is to make idEA an independent and open association as a space for all lines of digital economy business.

“In the short term, we want to help make it easier for MSMEs onboarding to digital platforms, that’s one of them. For the long term, we want the marketplace to compete at the international level, therefore, exports will be much easier,” he explained.

In order to harmonize these missions, Bima arranged the management of idEA under 10 working groups (pokja). Each will represent issues and solutions to problems in the digital economy. The 10 working groups are a.l. trade and export sector, data and cybersecurity sector, consumer protection sector, MSME empowerment sector and creative economy, research, and development sector.

Next, the field of taxation and financial technology, the field of logistics and transportation, the field of manpower and human resources, the field of local government relations, and the field of public communication.

Basically the working group was much more detailed and specific than the previous management under Untung. At that time, Untung divided it into four, government relations, external relations, internal relations, and business development & supporting services.

Moreover, the preparation of this work program on these two management offices is a form of the widening focus of idEA’s work which is no longer just an association for e-commerce players, but for the digital economy. The membership contains not only by e-commerce players but also by verticals in other technology industries.

Bima will continue several programs that have been implemented during his previous management to support the plans he has made. One of them is the idEA Works job fair program to attract more digital talents in vocational schools who are ready to work and in accordance with industry needs.

In this regard, he continued, the association is in discussion with the edtech players to collaborate in order to support the mission of preparing new talents. Especially during this pandemic, the entire process of absorbing new workers has shifted to a digital platform. Therefore, talents must be prepared from the start.

“During the pandemic, according to BPS, the still-growing industries are pharmaceuticals and technology. The rest is minus, it means that the technology industry is promising and there is momentum for a rebound. ”

In terms of strengthening regulations such as PP Number 80 of 2019 concerning Trade Through Electronic Systems (PP PMSE), Bima said that his team would continue to oversee its implementation and participate in delivering more effective input. Cyber ​​issues and consumer data protection have recently become sensitive issues and need to be addressed immediately.

During this pandemic, associations played a role in encouraging MSMEs to go digital. You do this by actively holding online workshops that provide beneficial education and mobilizing the National Proud Movement of Indonesia (Gernas BBI). On this occasion, during the May-August 2020 period, it was said that there were 1.6 million new entrepreneurs who joined.

“This is a program of economic recovery by shopping. If people buy local products, then we can move the economy, regardless of what products they buy. The hope is that this will become a sustainable activity and become a roadmap for the country’s economic recovery in the future,” Bima concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

idEA di Bawah Pimpinan Baru, Kembali Lanjutkan Penguatan Ekosistem Ekonomi Digital

Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) menunjuk Bima Laga sebagai Ketua Umum baru untuk kepengurusan periode 2020-2022, menggantikan Ignatius Untung yang telah berakhir. Bima saat ini menjabat sebagai AVP of Public Policy and Government Relation di Bukalapak.

Sementara di asosiasi, dia sudah bergabung dalam dua kepengurusan sebelumnya. Pertama, sebagai Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, Infrastruktur. Kedua, sebagai Ketua Bidang Ekonomi Digital Indonesia. Berbekal dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, ia ingin menuangkan penguatan ekonomi digital sebagai fokus kerja idEA selama masa kepemimpinannya.

Dalam wawancara terbatas secara virtual bersama sejumlah media pada pekan lalu (4/9), Bima mengatakan misi yang ingin dicapai adalah mempertahankan eksistensi idEA sebagai asosiasi di bidang ekonomi digital sebagai mitra pemerintah dan daerah dalam perumusan regulasi dan pembentukan iklim usaha di Indonesia.

Lalu, memperluas peluang usaha mikro, kecil, dan menengah untuk memanfaatkan platform digital dengan memfasilitasi kegiatan onboarding dan pelatihan penjualan secara digital. Misi lainnya adalah menjadikan idEA sebagai asosiasi yang independen dan terbuka sebagai bernaungnya semua lini bisnis ekonomi digital.

“Untuk jangka pendeknya, kami ingin bantu permudah UMKM onboarding ke platform digital, itu salah satunya. Kalau untuk jangka panjang, kami ingin marketplace bisa bersaing di tingkat internasional, sehingga ekspor jauh lebih mudah,” terangnya.

Untuk menyelaraskan misi-misinya tersebut, Bima menyusun kepengurusan idEA di bawah 10 kelompok kerja (pokja). Masing-masingnya akan mewakili isu-isu dan pemecahan masalahnya di dalam ekonomi digital. 10 pokja tersebut a.l. bidang perdagangan dan ekspor, bidang data dan keamanan siber, bidang perlindungan konsumen, bidang pemberdayaan UMKM dan ekonomi kreatif, bidang riset dan pengembangan.

Berikutnya, bidang perpajakan dan teknologi finansial, bidang logistik dan perhubungan, bidang ketenagakerjaan dan SDM, bidang hubungan pemerintah daerah, dan bidang komunikasi publik.

Pada dasarnya pokja tersebut jauh lebih rinci dan spesifik dari kepengurusan sebelumnya di bawah Untung. Pada waktu itu, Untung membaginya jadi empat, yakni government relation, external relation, internal relation, dan business development & supporting service.

Terlebih itu, penyusunan program kerja ini pada dua kepengurusan ini adalah bentuk dari meluasnya fokus kerja idEA yang tak lagi sekadar asosiasi untuk pemain e-commerce saja, melainkan untuk ekonomi digital. Pasalnya dalam keanggotaannya juga tidak hanya diisi oleh pemain e-commerce tapi juga vertikal di industri teknologi lainnya.

Bima akan melanjutkan beberapa program yang sudah dijalankan semasa kepengurusan sebelumnya untuk mendukung rencana-rencana yang sudah ia buat. Salah satunya adalah program job fair idEA Works untuk menjaring lebih banyak talenta digital di SMK yang siap kerja dan sesuai dengan kebutuhan industri.

Berkaitan dengan itu, sambungnya, asosiasi sedang berdiskusi dengan pemain edtech untuk berkolaborasi dalam rangka mendukung misi persiapan talenta baru. Terlebih dalam masa pandemi ini, seluruh proses penyerapan tenaga kerja baru mengalami pergeseran ke platform digital. Oleh karenanya, talenta harus dipersiapkan sedari awal.

“Selama masa pandemi, menurut BPS, industri yang masih tumbuh adalah farmasi dan teknologi. Selebihnya minus, artinya industri teknologi ini menjanjikan dan ada momentum untuk rebound.”

Dari segi penguatan regulasi seperti PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE), Bima menyebutkan pihaknya akan terus mengawal implementasinya dan turut berpartisipasi dalam menyampaikan masukan yang lebih efektif. Isu siber dan perlindungan data konsumen belakangan ini menjadi isu yang sensitif dan perlu penanganan segera.

Selama pandemi ini, asosiasi turut berperan dalam mendorong UMKM untuk go digital. Caranya dengan aktif menggelar workshop online yang memberi edukasi manfaat dan menggerakkan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI). Dalam kesempatan tersebut, selama periode Mei-Agustus 2020 dikatakan ada 1,6 juta pengusaha baru yang bergabung.

“Ini adalah program pemulihan ekonomi dengan berbelanja. Bila masyarakat beli produk lokal, maka kita bisa menggerakkan ekonomi, terlepas dari apapun produk yang dibeli. Harapannya ini akan jadi kegiatan berkelanjutan dan jadi roadmap untuk pemulihan ekonomi negara ke depannya,” tutup Bima.

Harapan Lahirnya Gebrakan di Sistem Manajemen Rantai Pasokan

Pertumbuhan bisnis yang mengesankan, dibarengi dengan pengembangan teknologi berkelanjutan menjadikan Amazon sebagai salah satu kiblat inovasi di sektor e-commerce. Menyadur data terakhir perusahaan, pertumbuhan bisnis dari tahun 2018 ke 2019 telah mencapai 30%. Sementara 13% keuntungan didapat dari transaksi global, termasuk di kawasan Asia Pasifik.

Secara lebih mendetail, banyak hal yang bisa dipelajari dari kesuksesan perusahaan yang dinakhodai Jeff Bezos tersebut. Manajemen rantai pasokan (supply-chain management) jadi salah satunya, memungkinkan Amazon mengakomodasi ekspektasi pelanggan terkait pengiriman barang yang dilakukan cepat. Salah satu realisasinya dalam fitur “same day delivery”.

Robot pengiriman yang tengah diuji coba oleh Amazon / Amazon
Robot pengiriman yang tengah diuji coba oleh Amazon / Amazon

Dewasa ini konsep serupa masif diterapkan oleh pemain e-commerce di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Transformasi besar-besaran dilakukan agar memungkinkan jalur distribusi barang menjadi lebih efisien. Untuk beberapa pengiriman ke kota besar, khususnya wilayah Jabodetabek, platform seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak dan sebagainya sudah mungkinkan pengiriman sehari, manfaatkan kerja sama dengan aplikasi ride-sharing.

Mengapa rantai pasokan jadi aspek penting?

Proses rantai pasokan (supply chain) telah berubah dari masa ke masa. Di era sebelum e-commerce, prosesnya hanya melibatkan pembeli dan pemilik toko, karena transaksi terjadi secara langsung di tempat. Di era jual-beli online, aktivitasnya menjadi lebih panjang. Pada setiap aspek rantai pasokan terdapat berbagai aktivitas pertukaran informasi, transaksi dana, pengelolaan barang, manajemen logistik, hingga proses pelaporan.

Kemitraan strategis dengan pihak ketiga dijadikan solusi agar alurnya efisien. Masing-masing perusahaan dengan kompetensinya melakukan pengelolaan di masing-masing bidang. Misalnya, platform e-commerce fokus menyediakan kanal, perusahaan logistik konsentrasi pada distribusi produk dan perusahaan rantai pasokan sediakan gudang.

Di titik sekarang ini, fragmentasi layanan e-commerce justru menghadirkan permasalahan baru. Dengan ekspektasi sama soal pengiriman cepat, sistem logistik sering terseok-seok hadapi traksi pesanan yang membludak. Hal ini rutin terjadi di momen-momen khusus, misalnya perayaan hari belanja atau mendekati hari raya.

Tak mau pasrah dengan keadaan, beberapa perusahaan e-commerce mulai bangun infrastruktur secara mandiri. Seperti yang dilakukan Tokopedia melalui visinya untuk menjadi “Insftrastruktur as a Services” di sektor ritel. Mereka membangun layanan pemenuhan (fullfilment) TokoCabang untuk memperlancar proses distribusi produk.

Head of Fulfillment Tokopedia Erwin Dwi Saputra kepada DailySocial menceritakan cara kerjanya. “TokoCabang memungkinkan penjual menitipkan stok produk di gudang Tokopedia di berbagai daerah, terutama di wilayah di mana permintaan produk cenderung tinggi. Dengan layanan pemenuhan yang efisien, penjual kini tidak perlu lagi mempertimbangkan isu operasional pemenuhan pesanan, terutama ketika usaha penjual mulai berkembang pesat.”

Selanjutnya barang-barang tersebut dikelola pengirimannya oleh 12 mitra logsitik yang telah bekerja sama dengan Tokopedia. Selain lebih cepat, memungkinkan perusahaan memberikan ongkos kirim yang lebih terjangkau. Tokopedia menyebut fitur tersebut sebagai “instant delivery”.

Di fase awalnya, layanan TokoCabang tersedia di daerah Jakarta, Bandung dan Surabaya, kemudian akan terus bertambah hingga menjangkau seluruh penjuru di Indonesia di waktu mendatang.

Inovasi lain soal logistik

Visi penguatan logistik turut digaungkan oleh perusahaan lain. JD.id salah satunya, disampaikan President & CEO Zhang Li prioritas mereka saat ini mengupayakan layanan “same day delivery”, dimulai dari seluruh wilayah Jabodetabek. Layanan yang dimaksud memungkinkan pesanan dikirim ke pelanggan pada hari yang sama jika pemesanan dilakukan sebelum pukul 10.00 WIB.

Zhang mengklaim 85% pesanan di Jabodetabek telah memakai same day delivery. Angka tersebut turut menjadi pendorong memperkuat infrastruktur logistik, karena saat ini kecepatan tersebut jadi layanan unggulan. Untuk perluasan, pihaknya sudah bangun 11 gudang yang tersebar di berbagai kota, termasuk Medan, Makassar, Surabaya, Semarang dan Pontianak.

Praktiknya lebih kompleks dibandingkan di negara lain, pun bagi platform logistik JD.id yang terlebih dulu diaplikasikan di negara asalnya Tiongkok. Indonesia secara geografis miliki wilayah berpulau-pulau. Minimal logistik diakomodasi dengan dua moda transportasi, darat-laut atau darat-udara untuk menyeberang, diambil mana yang lebih efisien secara muatan, waktu dan biaya.

Melihat kondisi tersebut, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung menyampaikan bahwa pengelolaan yang berbasis data menjadi penting.Menurutnya, di satu titik semua perusahaan membutuhkan pendekatan yang lebih end-to-end untuk memaksimalkan kebutuhan konsumen. Manajemen rantai pasokan juga masih menjadi fokus diskusi antar-anggota asosiasi.

Pendekatan berbasis data tadi memang jadi acuan penting. Soal logistik, sistem butuh algoritma tepat untuk menghasilkan analisis tentang jalur distribusi yang efisien. Termasuk untuk menentukan titik-titik gudang menampung produk.

Pendekatan berbeda dilakukan Bukalapak. Sembari menyempurnakan infrastruktur, mereka mencoba meningkatkan efektivitas pengiriman dengan menghadirkan platform terintegrasi. Mereka menyadari, bahwa bisnis logistik di Indonesia saat ini sangat banyak, terutama saat berbicara tentang pemain-pemain di tingkat daerah. Ada bisnis logistik yang punya spesialisasi kirimkan barang bermuatan besar, antar pulau melalui jalur laut hingga bisnis logistik yang menjangkau kawasan pelosok.

Fitur BukaPengiriman fokus membantu mitra penjual mengelola proses pengiriman. Mitra logistik ditempatkan dalam satu kanal terintegrasi, termasuk menawarkan layanan penjemputan agar pesanan dapat diproses secepatnya. Lagi-lagi prioritasnya untuk memenuhi tuntutan konsumen agar mendapatkan barang yang diinginkan dalam waktu yang cepat.

Butuh gebrakan manajemen rantai pasokan

Lengan robot pintar di jaringan pergudangan Alibaba
Lengan robot pintar di jaringan pergudangan Alibaba / Alibaba

Raksasa e-commerce seperti Amazon, Alibaba atau JD.com mulai merilis perangkat logistik manfaatkan kemajuan teknologi. Sebut saja pengiriman barang dengan pesawat nirawak (drone) atau mobil tanpa supir (driverless car). Misinya menghadirkan automasi dalam proses distribusi. Bahkan di gudang-gudang mereka, bantuan “lengan robot” juga sudah diterapkan untuk pangaturan barang yang lebih cermat.

Dengan kondisi yang ada di Indonesia, meninjau dari sisi infrastruktur publik dan tatanan sosio-ekonomi, pemain lokal juga terus dituntut untuk hadirkan gebrakan baru dalam sektor logistik. Harapan besar untuk 2020 dan tahun-tahun mendatang agar sistem rantai distribusi bisnis ritel di tanah air semakin membaik.

Memahami Strategi Platform Fashion Commerce Membangun Toko-Toko Ritel

Kehadiran layanan e-commerce yang sempat menjamur sepanjang dua tahun terakhir cukup mengguncang industri ritel (offline). Bisnis brick and mortar, istilah yang banyak digunakan untuk toko offline, dituntut mengubah model bisnis mereka dengan melakukan pendekatan secara online dan memanfaatkan media sosial untuk menjalin hubungan dengan pengunjung.

Besarnya pengeluaran yang harus disisihkan, menurut data Aprindo ritel besar memberikan kontribusi pajak yang signifikan, tidak dibarengi dengan pemasukan yang seimbang.

Laporan keuangan emiten yang dipublikasikan dan diolah Katadata menunjukkan 10 emiten sektor ritel pada 2017 perlambatan pertumbuhan pendapatan dibanding pada 2013. Total penjualan 10 emiten ritel (Matahari Putra Prima, Ramayana, Supra Boga, Midi Utama, Electronic City, Hero, Matahari Department Store, Sumber Alfaria Trijaya, Mitra Adiperkasa, dan Ace Hardware) pada 2017 hanya tumbuh 6,41% dari tahun sebelumnya, padahal pada 2013 mampu mencatat pertumbuhan lebih dari 21% dibanding tahun sebelumnya.

Gaya hidup dan kebiasaan konsumen sudah mengalami pergeseran, seiring dengan makin maraknya penjualan secara online yang sediakan platform e-commerce.

Mulai buka toko offline

Tidak dapat dipungkiri, untuk sejumlah variasi produk tertentu, seperti fesyen, gadget, dan grocery, masyarakat masih menyukai pengalaman berbelanja langsung di toko. Melihat kebutuhan tersebut, sejumlah layanan e-commerce kemudian menerapkan skema online-to-offline dengan mendirikan toko offline di kota-kota besar.

Menurut VP of Corporate Relations GK-Plug and Play Indonesia Mercy Setiawan, O2O akan menjadi suatu konsep yang mencolok karena teknologi merupakan hal yang tidak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari. Tingginya kebutuhan untuk kenyamanan merupakan fenomena yang besar di masa mendatang.

“O2O e-commerce adalah bisnis strategi yang dirancang untuk membawa online customer ke lokasi offline store, serta menciptakan pengalaman digital yang seamless baik sebelum transaksi, pada masa pembelian, serta setelah transaksi berakhir.”

DailySocial mencatat setidaknya dua layanan fashion commerce yang cukup rutin mendirikan toko offline di kota-kota besar di Indonesia. Mereka adalah Berrybenka dan Hijup. Keduanya menyasar kalangan perempuan, termasuk busana muslim.

Berrybenka telah mendirikan 25 toko offline di berbagai kota-kota besar di Indonesia. Melalui Hijabenka, Berrybenka juga meresmikan toko offline pertamanya yang menyasar busana muslim di Mall Kota Kasablanka Jakarta.

“Kami mencatat perkembangan Hijabenka yang cukup signifikan, yakni hampir 150% dari tahun ke tahun. Hijabenka, yang sebelumnya mendompleng berjualan di dalam toko offline Berrybenka sejak awal tahun 2016, saat ini dirasa cukup mapan untuk dapat berdiri sendiri di pasar retail,” kata CEO Berrybenka Jason Lamuda.

Jason menambahkan, sejak kuartal keempat 2018, Hijabenka tak lagi menjual pakaian muslim yang berasal dari brand lain. Hijabenka fokus mengembangkan pakaian yang didesain desainer lokal dengan brand Hijabenka.

Melihat animo masyarakat terhadap strategi omni-channel yang telah dijalankan Berrybenka, Jason yakin strategi ini akan sukses diterapkan Hijabenka. Secara online, selain melalui platform-nya sendiri, Berrybenka dan Hijabenka juga sudah hadir di beberapa marketplace besar, seperti Zalora dan Shopee.

Serupa dengan Berrybenka, Hijup aktif menjangkau kota-kota besar di Indonesia dan telah memiliki 12 offline store di Indonesia dan 1 offline store di Malaysia. Menurut CEO Hijup Diajeng Lestari, hadirnya Hijup Store di berbagai kota besar di Indonesia mempengaruhi pertumbuhan bisnis Hijup secara keseluruhan hingga tiga kali lipat.

“Seiring dengan semangat Hijup untuk memberikan berbagai kemudahan bagi muslimah untuk menjadi versi terbaik dari dirinya, Hijup Store ini diharapkan dapat melengkapi hari seseorang sehingga bisa berpenampilan baik, merasa nyaman, dan berkegiatan produktif serta menyebarkan kebaikan.”

Layanan e-commerce lain yang juga mendirikan toko ritel offline adalah Muslimarket. Melalui brand Suqma yang diluncurkan pada tahun 2017 lalu, Suqma hadir sebagai modest fashion brand dengan menyediakan berbagai modest attire hasil karya desainer muslim Indonesia. Saat ini Suqma sudah membuka tiga gerainya di pusat perbelanjaan Indonesia, dua di Jakarta dan satu di Surabaya.

“Jadi offline tersebut masih merupakan satu distribusi channel yang harus kita miliki. Saya pribadi melihat offline masih menjadi kesempatan yang besar di Indonesia, dikarenakan kultur masyarakat yang masih sangat offline walaupun kehadiran online sudah sangat berkembang,” kata CEO Muslimarket Riel Tasmaya.

Antusiasme masyarakat yang tinggi terhadap kehadiran pop-up store dan bazaar menjadi pemicu tambahan dari para pemain online store untuk membuka sedikitnya satu offline flagship store agar para pembeli lebih dapat mengenal brand positioning dan kualitas produk mereka.

“Pada saat ini, seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan pasar Indonesia mulai teredukasi. Merasa lebih nyaman serta percaya untuk langsung membeli langsung secara online karena adanya refund, tukar size, hingga COD,” kata Mercy.

Tren masa depan

Menurut Ketua Umum idEA Ignatius Untung, usaha pemain online yang membangun offline store bertujuan menjemput bola konsumen yang belum terjangkau media online. Kalkulasi bisnisnya tidak bisa disamakan dengan acquisition cost melalui channel online.

“Semakin banyak player yang membangun offline channel akan makin memperkuat consumer based dan share of mind mereka di benak konsumen. Kami sebagai asosiasi (idEA) tidak ingin mencampuri terlalu jauh karena ini masuk ke ranah bisnis dan sepanjang tidak menyalahi aturan, sah-sah saja untuk dilakukan,” kata Untung.

Brand umumnya mengambil kesempatan untuk mengkombinasikan antara online dan offline ke dalam suatu pengalaman berbelanja yang seamless dan menyenangkan untuk para pembeli.

Untk mereka yang masih di tahap awal, level of engagement dengan para pembeli mereka lebih personal dan belum terlalu membutuhkan offline store.

“Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana online brand dapat memastikan bahwa keberadaan offline mereka adalah finalisasi 100% dari pembelian. Offline store juga harus memperhatikan ketersediaan stock yang ada, jangan sampai produk ada di online tapi tidak tersedia di toko offline,” kata Mercy.

Kemkominfo: Mencetak Talenta Digital Dimulai dari Kurikulum yang “Disruptif”

Indonesia saat ini memiliki empat startup unicorn, yaitu Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Menkominfo Rudiantara sempat memprediksi setidaknya ada dua unicorn baru dalam 2-3 tahun ke depan.

Hal ini menandakan bahwa Indonesia memiliki peluang sangat besar dalam mencetak unicorn baru. Dalam skala besar, Indonesia dapat mengembangkan potensi di bidang ekonomi digital, terutama menghadapi industri 4.0. Namun Indonesia masih terbentur pada kurangnya talenta digital.

“Kita punya potensi ekonomi digital yang besar. Bagaimana unleash-nya? Kita kebanyakan potensi, tetapi kapan jadinya?” ungkap Staf Khusus Menkominfo Lis Sutjiati di Pembukaan idEA Works Pro, Kamis (11/4).

Menurutnya, hal ini dapat terjawab apabila Indonesia telah siap dalam mencetak talenta digital baru yang saat ini dinilai masih minim. Saat ini talenta-talenta terbaik kini menjadi rebutan sejumlah startup atau perusahaan besar.

Menurut riset McKinsey, lanjut Lis, Indonesia diprediksi memiliki 180 juta populasi di usia produktif sebagai penggerak ekonomi, dengan sembilan juta harus melakukan shifting profesi dan dua juta profesi bakal tidak relevan lagi di 2030.

Indonesia juga diperkirakan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2030 berdasarkan metode Purchasing Power Parity (PPP) atau keseimbangan kemampuan berbelanja.

“Nah, 180 juta ini mau kerja apa? Ini yang menjadi tantangan terbesar kita. Indonesia butuh sembilan juta talenta di bidang digital untuk bisa unleash semua sektor potensial kita. Tidak hanya e-commerce dan fintech, tetapi juga kesehatan, agrikultur, dan pendidikan,” paparnya.

Memulai dari kurikulum pendidikan

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghadapi era ekonomi digital di masa depan adalah mencetak talenta-talenta baru melalui sejumlah program. Salah satunya ada Indonesia Digital Talent Scholarship yang menggaet sejumlah mitra global dalam penyediaan kurikulum, seperti IBM dan Cisco.

Namun hal itu saja belum cukup untuk menyelesaikan masalah kekurangan talenta di masa depan. Menurutnya, kemampuan non-teknis dan akademis atau soft skill dan hard skill seseorang dapat diasah melalui kurikulum pendidikan sejak sekolah dasar.

“Kita tidak bisa pakai kurikulum konvensional [untuk menambah talenta baru]. Kurikulumnya harus disruptif. Begitu juga industri [harus kasih kurikulum] supaya bisa match juga dengan industri,” ungkap Lis.

Kemampuan hard skill, seperti coding sudah bisa diperkenalkan sebagai mata pelajaran di sekolah. Demikian juga kemampuan soft skill, seperti critical thinking dan creative thinking. “Ini sama pentingnya juga karena creative thinking tidak bisa mengandalkan engine,” katanya.

Ketua Umum idEA Ignatius Untung menilai bahwa soft skill juga sama pentingnya dengan hard skill. Kemampuan ini sebetulnya yang wajib dimiliki generasi selanjutnya di masa depan.

“Diakui ada gap antara kampus dan industri masih besar. Ketika lulus mereka tidak siap untuk bekerja. Penting untuk memikirkan profesi di era ekonomi digital,” ujar Untung.

Dampak Pembatalan “Pajak E-Commerce” Bagi Industri

Hari ini Menteri Keuangan Sri Mulyani resmi membatalkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 210 Tahun 2018, lebih dikenal sebagai “Pajak E-Commerce”, yang seharusnya resmi diberlakukan mulai 1 April 2019 mendatang. Menurut keterangan resmi yang disampaikan Kementerian Keuangan, ada kebutuhan koordinasi antar lembaga dan kementerian untuk memastikan pengaturan e-comemerce tetap sasaran, berkeadilan, efisien, dan mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi digital.

Dengan ditariknya PMK ini, merchant tidak lagi memiliki kewajiban melaporkan NPWP ke penyedia layanan marketplace, sementara pihak marketplace tidak perlu mengembangkan sistem untuk memungut, menyetor, melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan.

Yang tetap berlaku adalah kewajiban perpajakan untuk UKM, berupa pajak final 0,5%, bagi mereka yang memiliki omzet di bawah 4,8 miliar Rupiah per tahun.

Dampak bagi industri

Kehadiran Pajak E-Commerce sempat dianggap momok bagi para pelaku industri. Di saat usianya yang masih sangat balita, tambahan pajak yang diberlakukan di platform marketplace akan mengurangi tingkat kompetitif merchant di pasar yang sangat sensitif soal harga ini. Belum lagi kewajiban pelaporan NPWP yang dianggap merepotkan.

Di awal Januari, ketika peraturan tersebut disahkan, pihak asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) langsung mengajukan penangguhan. idEA, melalui Ketua Umumnya Ignatius Untung, beralasan saat ini jumlah merchant yang hadir di marketplace masih minoritas jika dibandingkan mereka yang berjualan bebas di media sosial. Jika yang minoritas ini diperberat dengan berbagai syarat dan perpajakan, ditakutkan industri yang baru dibangun ini malah “bubar jalan”.

Sri Mulyani sendiri langsung merespon dengan menyebutkan peniadaan kewajiban pelaporan NPWP oleh merchant.

Batalnya pemberlakuan Pajak E-Commerce ini menjadi “kado” insentif bagi pemain industri yang sedang giat-giatnya menarik UKM untuk berjualan secara online. Di sisi lain, marketplace — setidaknya saat ini — tidak perlu berinvestasi untuk membangun sistem perpajakan.

idEA sendiri menyebutkan pihaknya tengah melakukan kajian mengenai dampak pungutan pajak terhadap penjual, marketplace, dan ekonomi negara. Studi ini bakal melibatkan lintas institusi dan Untung memprediksi dibutuhkan setidaknya sekitar satu tahun untuk memberikan rekomendasi bagaimana seharusnya penerapan perpajakan untuk e-commerce.

Contoh di Amerika Serikat

Di negara maju seperti Amerika Serikat, perpajakan e-commerce juga termasuk hal pelik. Acuan keputusan Mahkamah Agung tahun 1992 tentang peniadaan kewajiban pajak penjualan tanpa kehadiran operasional bisnis secara fisik (saat itu masih berupa katalog) mendorong pertumbuhan industri e-commerce yang sangat pesat, bak jamur di musim hujan.

Setelah 26 tahun, di tahun 2018, muncul keputusan Mahkamah Agung baru yang mulai mengatur soal pajak penjualan untuk layanan online. Di masa ini nilai e-commerce Amerika Serikat mencapai lebih dari $500 miliar.

Menurut data Google-Temasek, nilai e-commerce Indonesia tahun 2018 diperkirakan baru sekitar $12 miliar. Angka itu masih jauh dari ideal dan dibutuhkan insentif lebih banyak untuk mendorongnya mencapai batas psikologis $50 miliar di tahun 2025. Kehadiran wacana pajak tambahan di awal bisa membuyarkan target-target tersebut.

Penutup

Penarikan Pajak E-Commerce sangat diapresiasi untuk mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi digital. Menurut hemat kami, insentif supply chain, logistik, dan perpajakan dari Pemerintah menjadi hal krusial untuk mendorong pemerataan distribusi ketika e-commerce memudahkan konsumsi dari Sabang sampai Merauke.

idEA Sampaikan Tiga Fokus Utama untuk Tahun Ini

Sebagai asosiasi yang menaungi industri e-commerce di Indonesia, idEA memiliki sejumlah rencana dan target yang ingin dicapai. Kepada DailySocial, Ketua Umum idEA Ignatius Untung mengungkapkan, fokus utama idEA tahun ini bakal lebih meluas. Tidak hanya industri e-commerce, tetapi juga elemen pendukung yang dinilai relevan.

Salah satu target tentu saja membina hubungan baik dengan regulator, dalam hal ini pemerintah, terutama mereka yang kerap bersinggungan dengan industri. Hal ini termasuk membahas dan berdiskusi soal “perang harga” yang saat ini masih banyak terjadi di antara layanan e-commerce di Indonesia.

Fokus lain yang menjadi perhatian idEA adalah mencari solusi dan mengatasi masalah tenaga kerja digital serta menjadikan asosiasi sebagai wadah seluruh industri digital Indonesia. Terdapat sejumlah action plan untuk meningkatkan kemampuan talenta digital di Indonesia, termasuk melakukan startup mentoring dan perhitungan ideal gaji para pegawai atau salary benchmark.

Perluasan fokus ini adalah upaya idEA memfasilitasi semua bisnis ekonomi digital, bahkan di luar layanan e-commerce, termasuk sharing economy, on demand service, health technology, agriculture, internet of things, game, dan content.

Perubahan tersebut dianggap relevan dilakukan idEA untuk kebutuhan yang akan datang. Di kepengurusan kali ini, Asosiasi E-Commerce Indonesia memiliki visi mengakselerasi keberpihakan terhadap industri ekonomi digital.

Fokus yang terakhir adalah mengumpulkan data semua layanan e-commerce di Indonesia. Data tersebut nantinya bisa dimanfaatkan tidak hanya pihak asosiasi, tetapi juga pemerintah.

“Untuk rencana tersebut saat ini masih dalam proses. Dalam hal ini kami dari idEA dan dedicated resource dari pemerintah masih dalam tahap pembicaraan,” kata Untung yang baru saja mengundurkan dari posisi Country Manager rumah123.

Gelombang ketiga

Menurut riset yang dilakukan idEA, industri e-commerce di Indonesia saat ini sudah mulai memasuki gelombang ketiga atau third wave. Transisi ini sebelumnya sudah mulai terlihat sejak tahun 2016. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan sejak gelombang pertama (sekitar tahun 2006-2012) dan gelombang kedua (sekitar tahun 2012-2016).

“Saat gelombang kedua isu e-commerce yang banyak dibicarakan adalah unicorn. Periode ini adalah periode di mana gampang sekali bikin startup. Kasarnya, almost any idea akan dapat pendanaan,” kata Untung.

Gelombang ketiga yang masih berjalan ini, menurut Untung, akan terlihat lebih sulit. Penyebabnya adalah perolehan funding yang lebih sulit, investor yang lebih teliti dalam memilih, hingga munculnya startup baru yang muncul dengan kategori lebih spesifik.

“Untuk itu isu yang harus diperhatikan adalah sustainability, karena mulai ada startup yang tutup, pivot, merger dan diakuisisi,” katanya.

Menteri Perindustrian Berharap Muncul Startup Unicorn Baru di Sektor Pendidikan dan “Virtual Reality”

Pertumbuhan bisnis rintisan teknologi atau startup di Indonesia memang cukup signifikan. Saat ini dari 7 startup di Asia Tenggara yang menyandang predikat unicorn atau yang memiliki valuasi lebih dari $1 miliar. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam sebuah kesempatan memprediksi akan ada dua unicorn baru dari Indonesia, masing-masing berasal dari sektor pendidikan dan virtual reality.

Dikutip dari beberapa sumber, Airlangga menyebutkan bahwa dua startup yang diprediksi akan menjadi unicorn tersebut sudah memiliki akses ke Silicon Valley, kiblat industri teknologi dunia. Dua startup ini, meski tidak disebutkan secara gamblang namanya, juga banyak dijadikan tujuan studi banding bagi negara-negara lain.

“Dua-duanya sudah punya akses ke Sillicon Valley dan banyak menteri dari negara-negara lain datang untuk belajar ke dua perusahaan ini,” terang Airlangga.

Airlangga meyakini bahwa unicorn baru di Indonesia akan mampu membawa efek berantai bagi pertumbuhan industri dan berpeluang untuk menyerap tenaga kerja lebih banyak. Unicorn juga disebut akan mampu menjadi open platform untuk jutaan usaha kecil dan menengah di Indonesia.

Menurutnya pemerintah juga tengah memacu pengembangan infraastruktur dan teknologi digital yang mendukung implementasi industri 4.0. Sarana penunjang ini meliputi Internet of Things (IoT), big data, cloud computing, artificial intelligence (AI), maupun virtual & augmented reality.

Startup pendidikan dan VR di Indonesia

Saat ini ada empat startup asal Indonesia yang masuk kategori unicorn. Mereka adalah Tokopedia, Bukalapak, Go-Jek, dan juga Traveloka. Dua dari industri e-commerce (Bukalapak dan Tokopedia), satu dari on demand service (Go-Jek), dan OTA (Traveloka).

Di sektor pendidikan, nama-nama seperti RuangGuru, Zenius, Kelase, dan HarukaEdu tengah menggodok inovasi paling mutakhir dan solutif untuk pendidikan di Indonesia.

Sementara itu di sektor virtual reality, Indonesia memiliki beberapa startup potensial, seperti Octagon Studio, Shinta VR, Slingshot, OmniVR, ARnCO, dan Primetech. Startup-startup ini mencoba menggali lebih dalam pemanfaatan teknologi virtual reality, mulai dari untuk kepentingan game, pendidikan, dan lain-lain.

Terlepas dari prediksi Menperin tersebut, DailySocial mencatat belum ada startup di kedua sektor tersebut yang memiliki valuasi mendekati level unicorn.

Prediksi ketua idEA

Prediksi mirip diungkapkan Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung, meskipun sektor yang diunggulkannya berbeda. Ia mengungkapkan Indonesia akan berpeluang melahirkan unicorn baru, tetapi sektornya adalah e-commerce, dompet digital, dan jasa pembelian tiket atau OTA  yang telah berhasil membuktikan diri memiliki frekuensi transaksi, volume transaksi, dan coverage yang cukup besar.

Marketplace bisa menjadi unicorn, cuma saya melihat yang jadi unicorn itu yang existing player, bukan yang baru. Kalau benar-benar baru dari nol, terus jadi unicorn, itu harus melewati yang 10 [marketplace] ini dulu, yang 10 ini saja baru dua yang jadi unicorn,” terang Untung.

Maria Herawati Manik Jadi Country Manager Rumah123 yang Baru

Setelah menjabat sebagai Country Manager Rumah123 selama hampir empat tahun, Ignatius Untung mengumumkan pengunduran dirinya dari jajaran manajemen Rumah123 hari ini (22/02). Kepada DailySocial, Untung mengungkapkan, alasan dirinya keluar dari Rumah123 yaitu untuk merealisasikan rencana baru yang masih enggan dijelaskan lebih lanjut. Untung juga merupakan Ketua Umum idEA.

“Untuk waktu 2-3 bulan ini saya mau bantu teman membangun startup dulu sebelum bergabung ke tempat baru yang saya belum bisa sebutkan nama perusahaannya. Nanti saya update lagi kalau saya sudah bisa share nama perusahaannya.”

Selama menjabat sebagai Country Manager Rumah123, Untung bertanggung jawab untuk memperluas bisnis Rumah123 di Indonesia, termasuk mengembangkan teknologi dan mempercepat pertumbuhan bisnis.

Country Manager baru

Rumah123, yang merupakan anak perusahaan REA Group, langsung mengumumkan Maria Herawati Manik sebagai Country Manager Rumah123 yang baru. Maria telah bergabung dengan Rumah123 sejak 2017 sebagai GM Sales dan memiliki pengalaman lebih dari 18 tahun di bidang Sales dan Marketing.

Kepada DailySocial, Maria mengungkapkan beberapa fokus Rumah123 di bawah kepemimpinannya, termasuk tetap fokus meningkatkan consumer experience dalam pencarian properti dengan inovasi-inovasi baru yang juga akan membantu pelaku industri properti di Indonesia. Disinggung apakah ada perubahan di manajemen Rumah123, Maria menegaskan tidak ada perubahan yang signifikan.

“Saat ini fokus kami masih ingin menjadi situs properti nomor satu di Indonesia dengan memiliki lebih dari satu juta listing secondary maupun primary listing yang dihadirkan bagi para pencari rumah. Di tahun 2019 ini kami juga akan mengeluarkan inovasi terbaru di situs kami untuk mempermudah para konsumen dalam pencarian rumah,” kata Maria.

Maria akan menjadi bagian dari REA Group International Leadership Team yang bertanggung jawab langsung ke Henry Ruiz, CEO REA Group Asia.

“Maria memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai industri properti di Indonesia, dan juga memiliki hubungan yang kuat dengan customer kami. Sejak bergabung di tahun 2017, Maria memegang peranan penting dalam membesarkan Rumah123 sebagai portal pilihan terbaik dalam bisnis properti. Saya sangat senang dapat menunjuk seseorang yang memiliki kapabilitas yang tinggi untuk membawahi tim Rumah123,” kata CEO REA Group Asia Henry Ruiz.

Application Information Will Show Up Here