Hijup Maintains a Decade Growth, Fueling Its Three Main Business Pillars

After operating the business since 2011, the fashion commerce service Hijup claims to continue to experience positive business growth. Even though there were several obstacles during the pandemic, the company was able to survive and continue to present new innovations. Hijup’s Founder & CEO, Diajeng Lestari revealed to DailySocial that Hijup has currently developed three main pillars.

“Previously, Hijup only focused on the marketplace, Hijup now has a new revenue stream in the form of a social media agency and Hijup Growth Fund.”

To date, Hijup claims to have nearly 400 thousand registered users with a total of nearly 400 partners. Meanwhile, its social media followers also experienced positive growth up to 1.2 million. The company’s next target is to become the main goal of the Indonesian people for an ecosystem-based end-to-end solution for modest Muslim marketplaces.

“We believe our focus on transformation will put Hijup at a stronger position in the minds of the Indonesian people, both in terms of creative producers and the market,” Diajeng said.

Hijup Growth Fund

Hijup has also launched the Hijup Growth Fund. This is a business financing program up to a maximum of Rp100 billion, aimed at business players in the local Muslim and modest fashion industry. One of the reasons to generate this program is the trust from Hijup’s board of shareholders with their continuous support.

“Especially due to several innovations that we continue to present to develop business capital. Hijup Growth Fund is one of Hijup’s proud innovations,” Diajeng said.

In addition to capital for business scale-up, this program also provides direct assistance from Hijup in business, branding and marketing aspects. In the future, Hijup will also offer a repayment scheme through sales and loan profit sharing up to 0%. The funding scheme will be adjusted to the characteristics and conditions of each brand.

In order to participate in the program, you must first become a tenant and sell products on the Hijup website. The brand will further go through several stages before getting funded. For example, starting from the submission stage, verification, approval, disbursement, to the stage of the refund agreement.

Moslem fashion industry

According to a report by Thomson Reuters and DinarStandard in 2018, Muslim consumers spent around $270 billion on modest clothing in 2017. The report also projects 4.8 percent year-on-year growth for the sector and estimates that sales will reach $402 billion by 2024. .

Fashion brands have taken note of this growing trend, and many of them are starting to tap into this industry to catch up with the growing demand.

According to the Islamic Fashion & Design Council, Turkey still led the modest fashion consumption with more than $25 billion per year, followed by Iran, Indonesia, Egypt, Saudi Arabia, and then Pakistan.

The report also shows that food and beverage is the largest revenue sector for the halal market. According to a report from DinarStandard, Muslims have spent about $2.2 trillion on the halal and Islamic lifestyle sector, 10% of which is accredited to the modest fashion sector.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Satu Dekade dan Terus Bertumbuh, Hijup Kokohkan Tiga Pilar Utama Bisnis

Setelah menjalankan bisnis sejak tahun 2011 lalu, layanan fashion commerce Hijup mengklaim terus mengalami pertumbuhan bisnis positif. Meskipun saat pandemi sempat mengalami beberapa kendala, namun perusahaan mampu bertahan dan tetap menghadirkan inovasi baru. Kepada DailySocial.id, Founder & CEO Hijup Diajeng Lestari mengungkapkan, saat ini Hijup telah mengembangkan tiga pilar utama.

“Jika sebelumnya hanya fokus kepada marketplace saja, saat ini Hijup telah memiliki revenue stream baru berupa social media agency dan Hijup Growth Fund.”

Hingga saat ini Hijup mengklaim telah memiliki sekitar hampir 400 ribu pengguna yang terdaftar dengan total hampir 400 mitra. Sementara jumlah pengikut mereka di media sosial juga mengalami pertumbuhan yang positif hingga 1,2 juta. Target perusahaan selanjutnya adalah menjadi tujuan utama masyarakat Indonesia untuk end-to-end solution muslim modest marketplace berbasis ekosistem.

“Kami percaya fokus kami untuk bertransformasi akan membuat Hijup memiliki positioning yang lebih kuat ya di benak masyarakat Indonesia, baik pada sisi produsen kreatif maupun pasar,” kata Diajeng.

Hijup Growth Fund

Hijup juga telah meluncurkan Hijup Growth Fund. Ini merupakan program pembiayaan bisnis hingga maksimal sebesar Rp100 miliar, ditujukan kepada para pelaku usaha di industri fesyen muslim dan modest lokal. Diluncurkannya program ini oleh Hijup salah satu alasannya adalah kepercayaan dari board of shareholder Hijup yang terus memberi dukungan.

“Terutama dikarenakan beberapa inovasi yang terus kami hadirkan untuk terus mengembangkan modal bisnis. Hijup Growth Fund menjadi salah satu inovasi kebanggaan Hijup,” kata Diajeng.

Selain modal yang bisa dikantongi untuk scale up bisnis, program ini juga memberikan pendampingan langsung dari Hijup dalam aspek bisnis, branding dan pemasaran. Nantinya Hijup juga menawarkan skema pelunasan melalui penjualan dan bagi hasil pinjaman hingga 0%. Skema pendanaannya nantinya akan disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi brand masing-masing.

Untuk mengikuti program tersebut, sebelumnya harus menjadi tenant dan menjual produknya di situs Hijup. Brand tersebut kemudian akan melewati beberapa tahapan sebelum mendapatkan pendanaan. Misalnya mulai dari tahap pengajuan, verifikasi, persetujuan, pencairan, hingga tahap kesepakatan pengembalian dana.

Pertumbuhan industri fesyen muslim

Menurut laporan 2018 oleh Thomson Reuters dan DinarStandard, $270 miliar dihabiskan oleh konsumen muslim untuk busana sederhana pada tahun 2017. Laporan tersebut turut memproyeksikan 4,8 persen pertumbuhan year-on-year untuk sektor ini dan memperkirakan bahwa penjualan akan mencapai $402 miliar pada tahun 2024.

Brand fesyen telah mencatat tren yang berkembang ini, dan banyak dari mereka yang mulai menyasar ke industri ini untuk memenuhi permintaan yang makin bertambah jumlahnya.

Menurut Islamic Fashion & Design Council, konsumsi mode sederhana hingga saat ini masih dipimpin oleh Turki dengan lebih dari $25 miliar per tahun, diikuti oleh Iran, Indonesia, Mesir, Arab Saudi, dan kemudian Pakistan.

Laporan tersebut juga mencatat makanan dan minuman merupakan sektor pendapatan terbesar untuk pasar halal. Menurut sebuah laporan dari DinarStandard, kalangan muslim telah menghabiskan sekitar $2,2 triliun untuk sektor gaya hidup halal dan Islami, 10% di antaranya terakreditasi untuk sektor mode sederhana.

Application Information Will Show Up Here

Menyiasati Transformasi Digital yang Tepat di Tengah Pandemi

Lebih dari tiga bulan lamanya, semua bisnis terhantam oleh pandemi Covid-19. Berbeda dengan krisis sebelumnya, kini ada teknologi digital yang dapat dimanfaatkan agar bisnis tetap bertahan. Karena pertimbangan ini, akhirnya korporasi besar mantap untuk terjun ke digital setelah sebelumnya baru sampai evaluasi.

Pun demikian untuk startup rintisan, go digital menjadi suatu dorongan yang harus dilakukan segera. Pasalnya, dibantu oleh ekosistem digital yang mulai terbentuk, transformasi digital akan jauh lebih cepat prosesnya. Kelebihan lainnya adalah bisnis jadi lebih efisien dan operasional bisnisnya jauh efektif.

Dalam membahas topik di atas, #SelasaStartup kali ini mengundang para pembicara yang pakar dibidangnya masing-masing untuk memberikan kiat-kiatnya untuk transformasi digital bagi startup yang baru dirintis. Ada Founder & CEO HijUp Diajeng Lestari, Country Marketing Lead of Dell Indonesia Aji Jayaloka, dan Digital Content Creator Ario Pratomo. Berikut rangkumannya:

Lebih cerdik mengemas produk

Diajeng menuturkan, pandemi ini membuat para pemilik bisnis harus kembali melihat jumlah karyawan. Menurutnya ukuran kesuksesan buat perusahaan, bukan dari jumlah karyawan. Apalagi saat pandemi ini, pemilik bisnis harus lebih hati-hati karena semua industri punya tantangan masing-masing, terutama yang bergerak di kebutuhan sekunder dan tersier.

Lalu agar produk yang dijual menonjol, cara membungkusnya dengan membentuk karakter dan keunikan untuk memperlihatkan kualitas. Apalagi buat produk yang semakin umum, value-nya akan semakin kecil, konsep ini bisa dilakukan. Bila bersaing harga, saingannya akan terlalu banyak karena lawannya adalah penjual di marketplace C2C.

“Kuncinya ada di produk itu sendiri harus diceritakan seperti apa value-nya. Kalau kita investasi ke kualitas, bisa story telling bagaimana menyajikan produk dengan baik, kita bisa tetap bersaing sekalipun jualan produk yang sangat common,” kata Diajeng.

Karena harus meminimalkan budget pengeluaran, maka startup bisa memanfaatkan platform yang sudah ada. Bisa mulai dari berjualan di platform marketplace yang sudah terkenal, daripada harus bangun situs sendiri dari awal yang lebih makan waktu dan biaya.

Setelah itu, pebisnis mulai fokus menjalankan strateginya untuk menarik pembeli bukan penetrasi strategi dengan pasang iklan di mana-mana. “Bagaimana produk kita bisa atraktif ya caranya dengan story telling.”

Menyesuaikan cerita dengan target pengguna

Menyambung dari pernyataan Diajeng, Ario menambahkan cara ia dalam membuat konten ke dalam berbagai platform online, sejatinya juga dapat diaplikasikan untuk berjualan produk. Biasanya cara yang ia lakukan adalah membuat topik besar yang ia tuangkan ke dalam platform YouTube atau audiens podcast.

Kemudian ia meneruskan konten tersebut ke platform lainnya seperti Instagram, TikTok, Twitter yang dikemas ulang agar sesuai dengan audiensnya. “Konten harus informatif, tapi jangan lupa untuk entertaining dengan caranya sendiri. Strategi hardsale itu sekarang sudah tidak begitu kerja, sudah bukan zamannya lagi,” terang Ario.

Diajeng menambahkan dalam implementasi story telling di Hijup, ia terapkan saat pertama kali merintis usahanya tersebut. Pada saat itu, produk pertama Hijup adalah jilbab, maka dari situlah ia bercerita dengan menyesuaikan target konsumennya.

“Saya sempat buat buku untuk menceritakan soal jilbab itu sendiri. Kontennya diambil dari berbagai pertanyaan orang-orang yang saya dapatkan. Strategi ini sesuai karena target konsumen kita adalah 24-35 tahun, usia kerja, sudah berkeluarga, dan ada yang sudah punya anak. Pengembangan konten berikutnya tinggal disesuaikan dari situ.”

Menyiapkan perlengkapan yang mumpuni

Aji melanjutkan, sebelum terjadi pandemi transformasi digital di mata korporasi adalah bagian dari investasi. Akan tetapi, sekarang sudah menjadi bagian dari bisnis. Untuk mulai go digital, maka pebisnis harus cek kebutuhannya, lihat kompetensi diri sendiri agar tahu cara mengembangkan produk.

“Itu sudah masuk ke dalam komponen proses transformasi digital. Tujuannya agar kita jadi lebih kreatif, bisa dengan kolaborasi dengan konten kreator,” tutur Aji.

Dalam mencari celah model bisnis digital yang tepat guna, menurutnya dapat dimulai dari pengadaan hardware untuk penunjang kerja. Minimal harus tahu spesifikasi laptop yang tahan banting dan mumpuni dipakai sehari-hari, pun untuk quality control dan after sales-nya seperti apa.

Dari sekian banyak teknologi yang dapat dimanfaatkan, bila sesuai dengan kebutuhan pasti akan membawa manfaat. Misalnya suatu startup yang ingin tumbuh, agar dapat mencolok dibandingkan kompetitornya, bisa menggunakan AI atau machine learning yang mampu memberikan insight mendalam untuk strategi bisnis ke depannya.

“Tapi sekali lagi harus jeli karena sekarang cash is the king. Harus tahu aspek digital transformation mana yang kita tuju,” tutupnya.

*Disclosure: #SelasaStartup edisi ini didukung oleh Dell dan McAfee

Cerita Bisnis HijUp: Pelajaran Berharga bagi Komunitas Startup

Saya memulai HijUp pada 2011. Pada bulan pertama HiJup diluncurkan, bisnis ini sangat menguntungkan. Perusahaan ini saya kelola bersama dua asisten. Berbekal kamar 4×4, kami mencoba menjalankan perusahaan. Saat itu, kami berhasil menghasilkan keuntungan senilai $20.000 dari pendapatan di bulan pertama hasil jerih payah bertiga. Tak pelak, ini adalah bisnis yang sangat menguntungkan.

Pada pertengahan 2019, setelah 8 tahun berdiri, kami berhasil mengumpulkan dana senilai $5 juta. Bisnis tumbuh lebih dari 20x lipat sejak saat itu. Namun, masih belum mencapai profit. Tak terhitung berapa banyak dana yang sudah “dibakar”, dan terkadang kami panik ketika ada pertanyaan tentang berapa lama ini akan berlangsung. Saya sendiri tidak bisa tidur nyenyak. Saya menyadari pada waktu itu bahwa memiliki banyak uang tidak berarti semua baik-baik saja. Kami kaya, kami punya banyak uang dari pendanaan (sebagai sebuah bisnis yang sangat menguntungkan). Kami berpikir akan mendapatkan dana yang lebih besar lagi tahun depan. Lalu, kami menggunakan strategi “bakar uang” untuk mencapai pertumbuhan. Beberapa orang mengatakan kepada saya bahwa jika kita tumbuh lebih cepat, investor akan terus datang. Mereka meyakinkan untuk “tidak usah khawatir masalah uang”. Sayang sekali, kenyataannya tidak seperti itu. Investor tidak datang. Saya mulai tidak percaya pada aturan main ini lagi. Kita harus punya cara sendiri untuk bertahan hidup. Kita harus bisa mengendalikan takdir.

Kami memiliki waktu selama 6 bulan. Saya membuat analisis tentang bagaimana bisa kita kehabisan uang. Mengapa begitu berbeda dari masa-masa awal yang bisa meraup banyak untung. Jadi, berikut adalah beberapa temuan yang kemudian menjadi dasar dari keputusan-keputusan saya.

Jumlah Pegawai

Banyak founder yang merasa bangga dengan jumlah tim yang mereka miliki di perusahaan. Saya adalah salah satu dari mereka. Namun, ini menjadi pola pikir yang salah. Hal ini lebih kepada sisi emosional dan ego seorang founder. Saya menyadari hal ini ketika menganalisis tim yang ada. Saat itu ada sekitar 160 pegawai. Pendapatan per orang berkurang setiap kali saya menambah jumlah pegawai. Tentu saja, jumlah pegawai yang banyak membuat saya merasa lebih baik, tetapi dari jumlah itu, perusahaan tidak terlihat lebih baik. Lebih buruk lagi, banyaknya pegawai menjadi salah satu pendorong utama dari biaya besar lainnya seperti gedung, listrik, administrasi, dll. Setiap satu orang yang saya tambahkan akan menghabiskan setengah atas gaji mereka. Sesuatu yang tidak saya sadari.

Saya berbicara dengan tim SDM serta mengusulkan untuk merumahkan sebanyak mungkin orang, dengan memastikan operasi HijUp tetap berjalan dengan baik. Mereka mengusulkan untuk mengurangi 100 pegawai. Mereka mengatakan HijUp akan tetap berjalan dengan baik walaupun dengan pengurangan 70% stafnya. Saya terkejut, setelah bertahun-tahun, kami baru menyadari hal ini. Kami dibutakan oleh uang yang kami miliki. Ini adalah pelajaran yang sangat mahal bagi saya sebagai pendiri dan CEO.

Diajeng Lestari, HijUp's Founder and CEO
HijUp’s Founder and CEO, Diajeng Lestari

Bagi saya, memecat orang bukanlah hal yang mudah. Itu adalah keputusan yang sangat sulit dan sangat pribadi. Saya menaruh rasa percaya pada tim yang sudah ada. Mereka adalah orang-orang hebat. Jauh di lubuk hati saya, rasa bersalah menyelimuti. Saya terus menuding diri sendiri sebagai seorang CEO yang tidak kredibel. Kesadaran saya dipertanyakan, saya terlalu emosional. Ada perasaan campur aduk dalam diri saya dan saya pun kehilangan kepercayaan diri. Pada akhirnya, saya mengumumkan kepada semua tim bahwa keputusan besar telah diambil, untuk mengurangi 70% jumlah staf.

Dengan perampingan ini, kami berhasil memotong 80% tingkat pembakaran uang. Waktu kami semakin lama. Namun, itu saja tidak cukup. Saya ingin kembali ke masa-masa keemasan awal HijUp, masa kebebasan di mana kami jadi bisnis yang sangat menguntungkan.

Menyederhanakan teknologi dan operasional

Biaya teknologi menjadi salah satu perhatian. Memang benar, saya bukan pendiri dengan latar belakang teknologi. Hal ini benar-benar menjadi tantangan besar, sebuah titik buta bagi saya. Lalu, saya kemudian bertanya kepada suami, Achmad Zaky, yang merupakan pendiri dengan bakat teknologi yang lebih besar. Dia mengatakan bahwa kami seharusnya bisa memotong 80% teknologi yang tidak perlu. Menurutnya, teknologi yang kami bangun terlalu rumit, terlalu canggih untuk startup kecil seperti HijUp. “Ya Tuhan,” kataku.

Saya menelepon tim teknologi saya dan meminta mereka untuk memotong 80% dari biaya teknologi yang tidak perlu. Kami akhirnya berhasil memotong biaya yang cukup berarti. Proyek ini memotong setengah dari laju pembakaran yang ada. Menambah waktu kami lebih lama.

Kami juga menemukan banyak proses yang sebenarnya tidak perlu. Beberapa proses juga ikut disederhanakan. Ini hanya sebagian kecil dari laju pembakaran kami. Tetapi dampak pada produktivitas dan kebahagiaan bagi staf banyak, mereka dapat membuat dampak yang sama dengan sedikit usaha.

Fokus pada pelanggan dan partner yang membawa profit

Temuan saya berikutnya terletak pada mitra atau penyewa. Kami memiliki banyak penyewa dan kami menemukan bahwa setiap penyewa tidak sama dalam hal keuntungan. Seseorang dapat menghasilkan banyak keuntungan, sedangkan yang lain “membakar uang” menggunakan sumber daya yang sama. Jadi, kami mengusulkan untuk memangkas para penyewa yang tidak menghasilkan profit.

Kami menggandakan usaha dan investasi kami hanya kepada penyewa yang menguntungkan. Hasilnya luar biasa. Para penyewa juga menaruh lebih banyak sumber daya di dalam bisnis kami. Jadi, profit kian menanjak.

Kami mulai menuai profit 6 bulan setelah semua proyek ini dimulai. Di era Covid-19 ini, saya merasa bersyukur bahwa kami membuat keputusan ini. Kami merasa siap sekarang. Kami sangat gesit dan siap menghadapi lingkungan Covid-19 ini.

Dari pengalaman ini, saya menyadari bahwa penting bagi pendiri dan CEO untuk menjadi sadar dan selalu rasional. Apakah kita benar-benar membutuhkan satu dan lain hal. Kita juga harus berpikir bahwa pendanaan adalah uang kita sendiri, bukan uang investor. Dengan memiliki pola pikir seperti itu, kita akan membelanjakan dengan bijak, karena uang tidak akan datang dua kali.

Saya juga menyadari bahwa tidak semua startup sama. Mungkin sebuah unicorn bisa mengikuti alur pertumbuhan. Namun, startup seperti HijUp tidak bisa memberlakukan hal itu. Model bisnis dan faktor skala berbeda. Semuanya harus mengarah pada profit serta pertumbuhan yang stabil.

Semoga pengalaman yang saya bagikan bisa berguna bagi banyak founder di manapun berada.


Artikel ini adalah artikel tamu yang ditulis oleh Diajeng Lestari. Ia adalah Founder dan CEO HijUp.

A Story of HijUp Turnaround: Lesson Learned for Startup Community

I started HijUp in 2011. The first month I launched HijUp, it was a very profitable business. I managed the company with two of my assistants. We occupied a 4×4 room to run the company. We generated $20,000 of revenue in the first month of our launch with only 3 of us. And yes, it was a very profitable business.

In mid of 2019, 8 years after it was founded, we have been raising $5 million so far. The business grew more than 20x since then. But, it was not profitable. We burned a lot of money, and sometimes we panicked when asking questions about how long our runaway was. I myself could not sleep well enough. I realized at that time that having too much money was not necessarily good. We were rich, we had a lot of money from funding (because we were a very profitable business). We thought we would get bigger funding again next coming year. So, we burned money to grow. Some people told me that if we grow faster, the investor will keep coming. They said “don’t worry about money”. But, the reality is not like that. They were not coming. I started to not believe in this rule of game anymore. We have to survive in our own way. We should define our own destiny.

We had a 6 months runaway. I made an analysis why we still lose money. What made it different from the early days that were very profitable. So, here are some of my findings and I made a decision based on these findings.

Number of People

Many founders are really proud about the number of teams that they have in the company. I was one of them. But, this is the wrong mindset. This is more emotional and the ego of a founder. I realized when I analyzed my team. I had 160 people back then. The revenue per people was decreasing every time I added more people. Of course, I felt better with many people, but from the number, the company did not look better. Even worse, people were actually the key driver of the other big costs like building, electricity, administration, etc. Every one person I added, cost half of their salary on top of their salary. Something that I was not aware of.

I talked to my HR team and proposed to cut as many as people but still make sure HijUp operations still went well. They came up to me and proposed to cut 100 people. They said HijUp would be still running well even if it cuts 70% of its staff. I was surprised, after many years, we didn’t realize this. We were blinded by the money that we had. This is a very expensive lesson for me as a founder and a CEO.

Diajeng Lestari, HijUp's Founder and CEO
Diajeng Lestari, Founder and CEO of HijUp

For me, cutting people is not my thing. It was a very hard and personal decision to me. I always believe in the team that I have already hired. They are great people. Deep in my heart, I felt very guilty. I kept telling myself it looked like I was a very bad CEO. I was not aware, I was too emotional. I had mixed feelings about myself and I lost my confidence. In the end, I announced to all the team that we would take this big decision, cutting 70% of the people.

By cutting the people, we cut 80% of the burn rate. Our runaway was getting longer. But it was not enough. I want to go back to the early days of HijUp feeling, freedom because we were so profitable.

Simplify tech & operation

I also looked up at our tech cost. I know, I’m not a tech founder. This part is really a big hole for me, my blind spot. So, I managed to ask my husband, Achmad Zaky, who is a more tech founder. He said that we actually can cut 80% of unnecessary tech. He said the tech that we built was too complicated, too advanced for a small startup like HijUp. “Oh my God,” I said.

I called my tech team and asked them to cut 80% of unnecessary tech costs. We finally managed to cut quite a meaningful cost. This project cut the existing burn rate by half. Make our runaway even longer.

We also found that we had a lot of unnecessary processes. We simplify that process too. This was only a small part of our burn rate. But the impact on productivity and happiness to the staff is a lot, they can make the same impact with less effort.

Focus on profitable customer and partner

My next finding was on partners or tenants. We had a lot of tenants and we found that each tenant is not the same in terms of profitability. One can generate a lot of profit, and one can generate a lot of money burn with the same resource. So, we proposed to cut the unprofitable tenants.

We double down our effort and investment to the profitable tenants only. The result was amazing. The tenants also put more resources in us. So the profitability is increasing too.

We started being profitable 6 months after all of this project started. In this Covid-19 era, I feel grateful that we made these decisions. We feel prepared now. We are very agile and ready to face this Covid-19 environment.

From these experiences, I realized that it is important for the founder and CEO to be aware and always being rational. Do we really need this and that. We also have to think that funding money is our own money, not investor money. By having that kind of mindset, we will spend wisely, because money will not come twice.

I also realized that not all startups are the same. Maybe a unicorn can follow the growth path. But startups like HijUp can not follow the growth path. The business model and scale factor is different. It has to follow a profitable path, but steady growth.

Hopefully this sharing will be insightful for many founder throughout the world.


Disclosure: this guest post is written by Diajeng Lestari, CEO and Founder of HijUp

Memahami Strategi Platform Fashion Commerce Membangun Toko-Toko Ritel

Kehadiran layanan e-commerce yang sempat menjamur sepanjang dua tahun terakhir cukup mengguncang industri ritel (offline). Bisnis brick and mortar, istilah yang banyak digunakan untuk toko offline, dituntut mengubah model bisnis mereka dengan melakukan pendekatan secara online dan memanfaatkan media sosial untuk menjalin hubungan dengan pengunjung.

Besarnya pengeluaran yang harus disisihkan, menurut data Aprindo ritel besar memberikan kontribusi pajak yang signifikan, tidak dibarengi dengan pemasukan yang seimbang.

Laporan keuangan emiten yang dipublikasikan dan diolah Katadata menunjukkan 10 emiten sektor ritel pada 2017 perlambatan pertumbuhan pendapatan dibanding pada 2013. Total penjualan 10 emiten ritel (Matahari Putra Prima, Ramayana, Supra Boga, Midi Utama, Electronic City, Hero, Matahari Department Store, Sumber Alfaria Trijaya, Mitra Adiperkasa, dan Ace Hardware) pada 2017 hanya tumbuh 6,41% dari tahun sebelumnya, padahal pada 2013 mampu mencatat pertumbuhan lebih dari 21% dibanding tahun sebelumnya.

Gaya hidup dan kebiasaan konsumen sudah mengalami pergeseran, seiring dengan makin maraknya penjualan secara online yang sediakan platform e-commerce.

Mulai buka toko offline

Tidak dapat dipungkiri, untuk sejumlah variasi produk tertentu, seperti fesyen, gadget, dan grocery, masyarakat masih menyukai pengalaman berbelanja langsung di toko. Melihat kebutuhan tersebut, sejumlah layanan e-commerce kemudian menerapkan skema online-to-offline dengan mendirikan toko offline di kota-kota besar.

Menurut VP of Corporate Relations GK-Plug and Play Indonesia Mercy Setiawan, O2O akan menjadi suatu konsep yang mencolok karena teknologi merupakan hal yang tidak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari. Tingginya kebutuhan untuk kenyamanan merupakan fenomena yang besar di masa mendatang.

“O2O e-commerce adalah bisnis strategi yang dirancang untuk membawa online customer ke lokasi offline store, serta menciptakan pengalaman digital yang seamless baik sebelum transaksi, pada masa pembelian, serta setelah transaksi berakhir.”

DailySocial mencatat setidaknya dua layanan fashion commerce yang cukup rutin mendirikan toko offline di kota-kota besar di Indonesia. Mereka adalah Berrybenka dan Hijup. Keduanya menyasar kalangan perempuan, termasuk busana muslim.

Berrybenka telah mendirikan 25 toko offline di berbagai kota-kota besar di Indonesia. Melalui Hijabenka, Berrybenka juga meresmikan toko offline pertamanya yang menyasar busana muslim di Mall Kota Kasablanka Jakarta.

“Kami mencatat perkembangan Hijabenka yang cukup signifikan, yakni hampir 150% dari tahun ke tahun. Hijabenka, yang sebelumnya mendompleng berjualan di dalam toko offline Berrybenka sejak awal tahun 2016, saat ini dirasa cukup mapan untuk dapat berdiri sendiri di pasar retail,” kata CEO Berrybenka Jason Lamuda.

Jason menambahkan, sejak kuartal keempat 2018, Hijabenka tak lagi menjual pakaian muslim yang berasal dari brand lain. Hijabenka fokus mengembangkan pakaian yang didesain desainer lokal dengan brand Hijabenka.

Melihat animo masyarakat terhadap strategi omni-channel yang telah dijalankan Berrybenka, Jason yakin strategi ini akan sukses diterapkan Hijabenka. Secara online, selain melalui platform-nya sendiri, Berrybenka dan Hijabenka juga sudah hadir di beberapa marketplace besar, seperti Zalora dan Shopee.

Serupa dengan Berrybenka, Hijup aktif menjangkau kota-kota besar di Indonesia dan telah memiliki 12 offline store di Indonesia dan 1 offline store di Malaysia. Menurut CEO Hijup Diajeng Lestari, hadirnya Hijup Store di berbagai kota besar di Indonesia mempengaruhi pertumbuhan bisnis Hijup secara keseluruhan hingga tiga kali lipat.

“Seiring dengan semangat Hijup untuk memberikan berbagai kemudahan bagi muslimah untuk menjadi versi terbaik dari dirinya, Hijup Store ini diharapkan dapat melengkapi hari seseorang sehingga bisa berpenampilan baik, merasa nyaman, dan berkegiatan produktif serta menyebarkan kebaikan.”

Layanan e-commerce lain yang juga mendirikan toko ritel offline adalah Muslimarket. Melalui brand Suqma yang diluncurkan pada tahun 2017 lalu, Suqma hadir sebagai modest fashion brand dengan menyediakan berbagai modest attire hasil karya desainer muslim Indonesia. Saat ini Suqma sudah membuka tiga gerainya di pusat perbelanjaan Indonesia, dua di Jakarta dan satu di Surabaya.

“Jadi offline tersebut masih merupakan satu distribusi channel yang harus kita miliki. Saya pribadi melihat offline masih menjadi kesempatan yang besar di Indonesia, dikarenakan kultur masyarakat yang masih sangat offline walaupun kehadiran online sudah sangat berkembang,” kata CEO Muslimarket Riel Tasmaya.

Antusiasme masyarakat yang tinggi terhadap kehadiran pop-up store dan bazaar menjadi pemicu tambahan dari para pemain online store untuk membuka sedikitnya satu offline flagship store agar para pembeli lebih dapat mengenal brand positioning dan kualitas produk mereka.

“Pada saat ini, seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan pasar Indonesia mulai teredukasi. Merasa lebih nyaman serta percaya untuk langsung membeli langsung secara online karena adanya refund, tukar size, hingga COD,” kata Mercy.

Tren masa depan

Menurut Ketua Umum idEA Ignatius Untung, usaha pemain online yang membangun offline store bertujuan menjemput bola konsumen yang belum terjangkau media online. Kalkulasi bisnisnya tidak bisa disamakan dengan acquisition cost melalui channel online.

“Semakin banyak player yang membangun offline channel akan makin memperkuat consumer based dan share of mind mereka di benak konsumen. Kami sebagai asosiasi (idEA) tidak ingin mencampuri terlalu jauh karena ini masuk ke ranah bisnis dan sepanjang tidak menyalahi aturan, sah-sah saja untuk dilakukan,” kata Untung.

Brand umumnya mengambil kesempatan untuk mengkombinasikan antara online dan offline ke dalam suatu pengalaman berbelanja yang seamless dan menyenangkan untuk para pembeli.

Untk mereka yang masih di tahap awal, level of engagement dengan para pembeli mereka lebih personal dan belum terlalu membutuhkan offline store.

“Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana online brand dapat memastikan bahwa keberadaan offline mereka adalah finalisasi 100% dari pembelian. Offline store juga harus memperhatikan ketersediaan stock yang ada, jangan sampai produk ada di online tapi tidak tersedia di toko offline,” kata Mercy.

HIJUP Kembangkan Ekosistem “Halal ​Value Chain”​ Berbasis Digital

Layanan fesyen commerce busana muslim, HIJUP, menandatangani kesepakatan bersama pembentukan ​task force implementasi  ekosistem halal ​value chain berbasis digital bersama Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI). Kemitraan ini diinisiasi dan difasilitasi  Bank Indonesia (BI).

Nantinya program business matching HIJUP dengan teknologi finansial (tekfin) syariah akan mengembangkan kolaborasi produksi dengan para tenant HIJUP menggunakan sistem syariah murabahah. Pola pembiayaan ini menggunakan sistem dengan pembelian modal aset produksi.

Kemitraan ini diharapkan bisa membantu mendorong Indonesia menjadi sepuluh besar negara pengekspor busana muslim di dunia dan industri fashion muslim dapat terus menjadi penyumbang dan pendukung ekosistem perekonomian syariah di Indonesia.

“Sebagai katalisator dan roda penggerak pertumbuhan industri fashion muslim, HIJUP mendukung inisiasi BI mengembangkan ekosistem halal value chain berbasis digital dan berkomitmen untuk memperkuat perekonomian syariah Indonesia melalui sektor fashion muslim. Komitmen kerja sama ini sejalan pula dengan latar belakang berdirinya HIJUP, kami hadir untuk menjadi pemain di pasar muslim, tidak hanya sebagai pasar yang konsumtif,” kata CEO Hijup Diajeng Lestari.

Sebagai salah salah satu layanan fesyen commerce pertama yang mengusung konsep busana muslim, HIJUP yang didirikan pada tahun 2011 telah menerapkan skema O2O, melakukan ekspansi di Malaysia dan Inggris, juga memberikan pilihan pembayaran beragam. Salah satunya adalah pembayaran melalui GO-PAY. Pilihan pembayaran ini sudah bisa dinikmati oleh pelanggan sejak bulan Juni 2018.

Hingga kini terdapat sekitar 200 desainer atau merek yang telah bergabung menjadi tenant HIJUP.

Application Information Will Show Up Here

Terapkan Skema O2O, Platform Marketplace Fesyen Muslim HIJUP Segera Hadirkan “Offline Store” di London

Sejak tahun 2017, marketplace fesyen khusus busana muslim, HIJUP, melancarkan skema O2O (online to offline) dengan membuka gerai offline pertama di Pejaten, Jakarta Selatan. Tahun ini Hijup menggencarkan pembukaan toko offline di berbagai daerah, total sudah memiliki 8 toko, dan berniat membuka toko pertamanya di London, Inggris.

“Banyak pelanggan yang sudah melihat produk secara online, tetapi tidak berani beli karena mungkin ada ketakutan dengan ukuran dan sebagainya. Sekarang, mereka bisa langsung mengunjungi HIJUP Warehouse Store di Jakarta atau store di daerah masing-masing. Sebaliknya, jika sudah pernah melihat dan mencoba barang di HIJUP store dan belum sempat beli bisa langsung membeli melalui situs atau aplikasi HIJUP di smartphone,” kata CEO HIJUP Diajeng Lestari.

Rencana menghadirkan offline store di London

Berangkat dari HIJUP warehouse store di Pejaten Jakarta Selatan yang hadir untuk memenuhi permintaan pelanggan untuk membeli, melihat, dan merasakan langsung produk HIJUP yang tersedia di situs, HIJUP mencatat ternyata minat belanja offline masih cukup besar, khususnya di daerah.

Melalui offline store ini, HIJUP berupaya untuk menciptakan keseimbangan pelayanan antara online dengan offline. Fungsinya mengikuti pola belanja masyarakat yang belum sepenuhnya online.

Saat ini Hijup telah memiliki 8 offline store di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Padang, Lombok, Palembang, Makassar, Bandung, Pekanbaru). HIJUP Store Samarinda merupakan offline store HIJUP terbaru yang menghadirkan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan selera masyarakat di Samarinda dan sekitarnya. HIJUP sudah hadir di Malaysia dan menyusul rencana pendirian offline store di London, Inggris.

Awal tahun ini HIJUP telah mengakuisisi Haute-Elan, platform marketplace terbesar Inggris Raya untuk modest fashion, dengan nilai yang tidak disebutkan. Pasca akuisisi ini, mereka meluncurkan Hijup UK Limited yang menjadi langkah pertama Hijup go global.Hiju

“Pengadaan HIJUP Store sendiri kita masih mengikuti permintaan pasar. Sampai saat ini HIJUP Store telah hadir di 8 kota besar di Indonesia, satu HIJUP Store Malaysia dan menyusul HIJUP Store London,” kata Diajeng.

Application Information Will Show Up Here

Hijup Acquired U.K.’s Largest Modest Fashion Marketplace Haute-Elan

Moslem fashion marketplace Hijup announced a surprising move while attending London Modest Fashion Week 2018. The company has acquired Haute-Elan, the biggest modest fashion marketplace platform in United Kingdom with undisclosed value. They will launch Hijup UK Limited as the first step to go global.

Hijup was on media hiatus since the last funding acquisition in 2015. Founded by Diajeng Lestari, it made news in the early of 2018 by its acquisition of Haute-
Elan. The transaction is said to be facilitated by Aidijuma Colors Group, which is based in Malaysia. The three companies are established by women Founders.

We have yet to receive comment from Hijup on why United Kingdom and Haute-Elan as acquisition target.

Haute-Elan will obtain logistics, operation, technical, strategic advice, and best practice support on how Hijup successfully operates and exists in Indonesia. They target global Islamic and modest fashion marketplace that is estimated to be worth $230 billion.

Romanna Bint-Abubaker, Chief Executive Officer and Founder of Haute-Elan
commented, “Working together is the only way we can truly achieve the vision of
each of us in order to become the biggest online marketplace on earth and create
a legacy of opportunity and change. I’m excited about the future that we will create it with our respective experience, skills, and resources’.”

Diajeng Lestari, Chief Executive Officer and Co-founder of HIJUP, added, “The rise
of HIJAB fashion is a phenomenon of the rise of moslem women’s identity.
Hopefully with this big step, we will give a positive impact to the society. We
aim to not only bring the ‘look good” fashion, but also bring the “feel good”
atmosphere towards Islamic identity and to give our contribution by “do good” for the world.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Hijup Akuisisi Marketplace “Modest Fashion” Terbesar Inggris Haute-Elan

Marketplace fesyen Muslim Hijup mengumumkan langkah mengejutkan di sela-sela pagelaran London Modest Fashion Week 2018. Pihaknya telah mengakuisisi Haute-Elan, platform marketplace terbesar di Inggris Raya untuk modest fashion, dengan nilai yang tidak disebutkan. Pasca akuisisi ini, mereka akan meluncurkan Hijup UK Limited yang menjadi langkah pertama Hijup go global.

Sudah cukup lama Hijup tidak menunjukkan pembaruannya di media, pasca perolehan pendanaan di tahun 2015. Layanan yang didirikan oleh Diajeng Lestari ini menggebrak di awal tahun 2018 dengan langkah akuisisi terhadap Haute-Elan. Disebutkan transaksi ini difasilitasi Aidijuma Colors Group yang berbasis di Malaysia. Ketiga perusahaan ini didirikan oleh Founder perempuan.

Kami masih belum mendapat komentar dari pihak Hijup mengapa memilih Inggris Raya dan Haute-Elan sebagai sasaran akuisisinya.

Haute-Elan akan mendapatkan dukungan logistik, operasional, teknis, advis strategis, dan best practice dari bagaimana Hijup sukses beroperasi dan bertahan di Indonesia. Mereka akan menyasar pasar fesyen modest dan Islami global yang diperkirakan bernilai $230 miliar.

Pendiri dan CEO Haute-Elan Romanna Binti Abubaker dalam rilisnya mengatakan, “Bekerja sama adalah satu-satunya cara bagi kami untuk mencapai visi bersama untuk menjadi marketplace online terbesar di dunia dan menciptakan peluang dan perubahan. Saya sangat bersemangat dengan masa depan yang akan kami ciptakan dengan sumberdaya, skill, dan pengalaman kami masing-masing.”

Co-Founder dan CEO Hijup Diajeng Lestari menambahkan, “Kebangkitan fesyen hijab adalah fenomena bangkitkan identitas muslim perempuan. Diharapkan dengan langkah besar ini kami bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat. Kami berharap tidak hanya membawa fashion yang ‘terlihat baik’, tapi juga atmosfer yang ‘terasa baik’ tentang identitas Islam dan memberikan kontribusi dengan ‘melakukan kebaikan’ untuk dunia.”