Indra Utoyo: Integrasi Awal Allo Bank Sasar Ekosistem Ritel dan “Supply Chain” CT Corp (Bagian II)

Ini adalah bagian II dari dua tulisan. Bagian I menyajikan gagasan, sudut pandang, dan kilas balik Indra Utoyo yang sukses membangun karier dari industri telekomunikasi dan perbankan.

Mengapa Anda memutuskan mengambil pinangan CT untuk pimpin Allo Bank?

Jawab: Banyak tawaran datang, beberapa dari non-bank yang bukan background saya. Karena saya sudah 60 tahun, belajar hal baru tidak sejalan dengan apa yang saya lakukan selama ini. Kecuali saat saya masih muda, mungkin tawaran itu saya ambil.

Ketika ada tawaran dari Pak CT, saya lihat ini sejalan dengan apa yang saya pikirkan ke depan. Apalagi Pak CT sudah lama menyiapkan Allo Bank. Karena arah pengembangan bank digital adalah ekosistem, saya pikir masuk ke ekosistem CT Corp merupakan kombinasi yang pas.

Platform bank berbasis aplikasi dipadukan jaringan bisnis yang memiliki interaksi fisik. Ini menarik karena CT dan pemilik saham Allo Bank sama-sama memiliki ekosistem luas. Bukalapak salah satunya. Engagement nasabah akan semakin baik dalam memanfaatkan Allo Bank untuk utilitas kehidupan, seperti nama Allo yang berarti “All in One”.

Ada banyak ruang eksplorasi Allo Bank di O2O. Kehadiran fisik dan digital sama-sama punya peran kuat. Sebagai ekosistem, [CT Corp] sudah punya trust, tinggal ditambah bank digital saja.

Memang digitalisasi berdampak positif pada kecepatan maupun efisiensi. Tapi, aspek human touch juga penting karena masyarakat masih membutuhkannya. Bagaimana memadukan dua hal ini? Perlu hybrid model untuk kombinasikan aspek konvensional dan digital. Istilahnya ‘phygital‘ atau physical-digital. Model ini akan jauh lebih engage dengan konsumen.

Kalau fully digital, pasti [pengembangannya] akan mentok. Dalam buku saya (“Hybrid Company Model: Cara Menang di Era Digital yang Disruptif“), saya katakan bahwa digital tidak bisa menggantikan trust, brand, dan service. Namun, tanpa digital, kita tidak akan dapat mendapatkan ketiganya.

Apa fokus tahap awal Allo Bank tahun ini?

J: Kami akan mulai [integrasi] dari B2C di sektor ritel dan B2B di supply chain. Saya rasa dalam dua sampai tiga bulan pertama akan banyak [kolaborasi/integrasi] di kategori brick and mortar. Sambil Allo Bank terus memperbaiki platform, operasional, dan pengolahan data, kami akan integrasi ke ekosistem digital CT Corp yang sudah siap, seperti AlloFresh. Juga nanti ke Bukalapak, Grab, atau Traveloka.

Dengan membesarkan ekosistem yang terhubung dengan Allo Bank, kami dapat mendorong jumlah nasabah dan transaksi. Kami akan tambahkan fitur atau produk lain, seperti paylater atau instant cash. Semakin sering dipakai, kita bisa memahami konsumen dan memaksimalkan produk perbankan yang berkualitas dengan customer yang tepat.

Sumber: CT Corp

Allo Bank masih baru dan perjalanannya masih panjang. ‘”All in One”, ini menjadi semacam mantra ya, satu untuk semua dan semua untuk satu. Semua dapat terakomodasi melalui ekosistem CT Corp.

Bagaimana posisi Allo Bank dibandingkan kompetitornya?

J: Allo Bank bermain di mass market, volume transaksinya kecil-kecil tapi sering dipakai. Terkait produk bank, sama seperti yang ditawarkan bank-bank lain. Ada simpanan/deposit, transfer, dan kredit, hanya saja konteks model bisnisnya yang akan membedakan.

Allo Bank akan memadukan jaringan bisnis milik CT dan partner strategis, baik yang memiliki saham maupun bagi partner-partner baru nanti. Dengan [strategi] ini, Allo Bank akan punya posisi untuk tumbuh.

Dari sisi tim, kami akan menggabungkan mana yang dikerjakan sendiri, mana yang dikerjakan bersama partner. Dalam hal teknologi, Allo Bank bekerja sama dengan bank digital terbesar dunia, WeBank. Kami mengikuti disiplin pada pengembangan produk WeBank. Kedua, salah satu direksi Allo Bank merupakan eks petinggi Paytm (Sajal Bathnagar), platform pembayaran digital besar di India.

Kami belajar dengan pendekatan ini, belajar dari yang hebat sambil kami terus menambah core talent. Kalau memikirkan semua sendiri, kami bisa tersasar. Jadi kami belajar dan nurture SDM lokal dengan baik.

Apakah ada rencana meneruskan venturing ekosistem digital dengan membentuk VC?

J: Saya belum bisa bilang soal ini karena ini berada di ranah pusat. Pasti ada agenda itu karena kita akan mencari partner-partner baru. Tak lama lagi, Allo Bank akan tambah fitur atau produk, mulai dari asuransi, investasi. Tentu ini akan [bermitra] dengan startup yang sudah punya basis pengguna dan akan dihubungkan ke Allo Bank.

Bagaimana Anda melihat dinamika bank digital di Indonesia?

J: Ada tiga hal untuk bisa thriving sebagai bank digital, yaitu teknologi, ekosistem, dan talent. Dalam beberapa tahun terakhir, bank digital muncul sebagai sebuah model [bisnis]. Bank deliver layanannya melalui aplikasi. Dulu di awal ada Jenius, kemudian terakhir ada Jago, Neo Commerce, hingga Seabank yang bermain dengan ekosistem.

Bank digital memadukan ekosistem untuk mendapat nasabah berkualitas, karena bank bicara soal trust dan manajemen risiko. [Ekosistem] punya trust dan branding sehingga memiliki basis pelanggan yang berkualitas. Jika tidak [memadukan ekosistem], bank digital sulit tumbuh secara organik dan mendapat pelanggan berkualitas. Jadi mereka create value bersama.

Game field selanjutnya adalah bank digital mendorong masyarakat untuk semakin terliterasi terhadap keuangan, dapat menyentuh masyarakat lebih luas. Jika kita lihat, bank digital tidak lagi bicara sebagai bank, tetapi lebih banyak pada aspek kehidupan.

Maka itu, bank digital cocoknya di ritel sampai SME, bermain di volume besar. Dengan teknologi yang efisien, bank digital bisa memiliki cost per acquisition yang rendah sekali. Bank dapat menawarkan layanan yang menyasar kebutuhan sehari-hari. Kalau di atas itu, bank digital tidak terlalu main ke sana. Bank konvensional kan biasanya main di segmen korporasi dengan nilai transaksi besar.

Sementara, jika melihat [fenomena] fintech masuk ke bisnis bank, ini menjadi ujung dari perjalanan mereka. Bank dapat marjin dari pembiayaan, kalau dari payment saja tidak ada. Makanya fintech harus bergeser ke bank supaya bisa menawarkan layanan keuangan lain.

Fintech Startup dan Tugasnya Membawa Perubahan

Game changer adalah istilah dalam bahasa Inggris yang mengacu pada situasi atau ide yang mendobrak dan mengubah cara berpikir masyarakat akan sebuah tatanan. Mereka yang masuk kategori game changer biasanya bukan cuma mendapat eureka moment saja, tetapi juga sadar bahwa inovasinya akan membawa perubahan bagi orang banyak dan juga dapat membumikannya. Mengingat banyak tokoh inventor yang ada di dalamnya, dunia teknologi tampaknya sudah tidak asing lagi dengan istilah game changer, apalagi bila meninjau geliat startup yang unjuk gigi di industri.

Di pasar mancanegara, perusahaan-perusahaan teknologi game changer hadir di berbagai ranah, termasuk yang cukup signifikan untuk disoroti adalah lingkup financial technology (fintech). Mengapa? Sebab, keuangan adalah denyut nadi dari sebuah sistem organisasi, entah itu dalam skala keluarga, komunitas, korporasi, maupun pemerintahan.

PayPal, Alipay, dan Paytm adalah tiga dari sekian banyak bisnis fintech internasional yang menghantam dinding budaya masyarakat terkait cara bertransaksi dan mengelola keuangan, dengan model bisnisnya masing-masing. Ryu Kawano, CEO Midtrans, menceritakan bagaimana ketiga perusahaan ini begitu menginspirasi.

“PayPal didirikan pada tahun 1998, bermula dari sistem pembayaran default di eBay, kini menjadi payment method yang mengubah cara berpikir orang-orang dalam melakukan pembayaran,” ujar Ryu.

Alipay juga memiliki caranya sendiri dalam menjalankan bisnisnya di Tiongkok. Platform pembayaran online yang didirikan pada tahun 2004 ini melihat adanya trust issue antara penjual dan pembeli. “Maka, Alipay membuat escrow service, dan membuat rasio NPL (non-performing low) Tiongkok menurun tajam, yang awalnya berada di angka lebih dari 25%,” kisah Ryu.

Lain lagi dengan Paytm yang juga dikagumi Ryu. Awal terciptanya e-wallet asal Negeri Barata ini adalah dari kesadaran bahwa, di India, mesin ATM tidak dapat digunakan untuk membeli pulsa. Padahal di sisi lain, rider Uber mulai bermunculan. Akhirnya, Paytm memberikan solusi tersebut, khususnya bagi rider Uber India yang tidak memiliki kartu kredit.

“Kesamaan dari setiap perusahaan tadi adalah solusi yang mereka tawarkan di masing-masing tempat mereka berada,” ujar Ryu. Ya, tiga perusahaan fintech tadi telah membawa solusi dan gebrakan di daerahnya. Bagaimana dengan Indonesia?

Menurut Ryu, yang perlu difokuskan adalah masalah yang terjadi di Indonesia, bukan terlalu terpaku pada fitur yang dimiliki PayPal, Paytm, atau Alipay. Berpegangan pada prinsip tersebut, Ryu mengawali bisnis payment gateway-nya dengan perusahaan bernama Veritrans yang membantu masyarakat Indonesia dalam pembayaran online pada tahun 2011. “Kami memproses transaksi yang bernilai miliaran rupiah setiap hari,” aku Ryu.

Seiring dengan pertumbuhan volume transaksi, ternyata Ryu dan timnya tidak hanya menghadapi permasalahan cara pembayaran online saja; mereka juga mendapati pola fraud yang semakin hari semakin rumit dan dapat menghilangkan ribuan dolar hanya dalam hitungan menit.

Ryu kemudian mengubah Veritrans menjadi Midtrans. Bagi Ryu, hal ini tentu bukan hanya soal perubahan nama, namun Midtrans hadir untuk bertransformasi menjadi solusi untuk menjangkau perubahan pasar yang cepat melalui inovasinya yang lebih dari payment gateway, salah satunya adalah Aegis.

“Aegis awalnya dikembangkan untuk mengisi kebutuhan terhadap Fraud Detection System yang melonjak,” kisah Ryu. Pertama-tama, Midtrans mengembangkan Rule Engine-based Fraud Detection System, yang mana ternyata fraud di ranah e-commerce berkembang semakin kompleks saja seiring waktu. “Contohnya, konsumen yang ingin menyalahgunakan promotional discount seringkali memperlihatkan gerak-gerik yang sama dengan konsumen yang memang betul-betul secara identitas jelas,” tambah Ryu.

Midtrans lantas menambahkan kemampuan dari Aegis seperti scoring, augmented intelligence, dan visualisasi untuk mendeteksi pola-pola canggih dari para fraudster.

Melalui Aegis, Midtrans berupaya menjawab keresahan dari para pelaku industri jual-beli elektronik. Cerita sukses PayPal, Alipay, dan Paytm tadi terbukti mendorong Midtrans untuk terus membawa solusi di masyarakat, hingga disadari atau tidak, mereka pun menjadi game changer dalam ekosistem fintech Indonesia. “Yang menarik dari inovasi mereka adalah bukan tentang mengubah sistem pembayaran, namun memperbaikinya,” tutur Ryu mengacu pada keberhasilan tiga perusahaan tersebut.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh Midtrans.