4 Hal Seputar Membangun Bisnis Furnitur Melalui Platform Digital

Perkembangan e-commerce di Indonesia berhasil membentuk ekosistem yang matang bagi pelaku startup lain yang ingin menjajal bisnis baru. Jika e-commerce sempat didominasi oleh marketplace di kategori produk fashion, kini semakin banyak startup yang bermain di vertikal bisnis yang berbeda.

Salah satunya adalah platform jual-beli produk furnitur. Pemainnya terus bertambah dan bisnisnya kian bertumbuh dalam beberapa tahun terakhir. Ini menandakan adanya antusiasme pasar terhadap pembelian furnitur dengan cara yang tidak lagi konvensional.

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial membahas seputar membangun bisnis furnitur yang sustain melalui platform digital. Simak selengkapnya sharing menarik dari Co-founder dan CEO Fabelio Marshall Tegar Utoyo.

Tantangan bisnis furnitur via platform digital

Bagi Marshall, bisnis akan selalu berkembang, demikian juga masalah yang akan dihadapi kemudian. Dalam membangun furnitur dengan brand Fabelio dan memasarkannya lewat platform digital, ia mengaku bahwa standarisasi produk yang akan dijual menjadi salah satu tantangan terbesar. Ia harus memastikan mitranya dapat memproduksi furnitur dengan kualitas konsisten.

Tantangan lainnya adalah persoalan logistik untuk memudahkan pengiriman dan penerimaan barang. “As we grow, kami sadar bahwa furnitur itu barang besar. Pengirimannya tidak bisa begitu saja menggunakan kurir instan dan ditinggal di lobi. Di sini kami berupaya untuk memudahkan proses pengiriman hingga penerimaan barang bagi customer,” tuturnya.

Adopsi teknologi yang punya impact bagi pembeli

Dukungan teknologi canggih sering diklaim dapat meningkatkan sebuah layanan. Implementasi Artificial Intelligence (AI) atau Virtual Reality (VR) banyak disebut dapat meningkatkan customer experience, terutama pada produk retail besar, seperti furnitur.

Marshall menilai hal tersebut bisa saja benar, dengan catatan teknologi tersebut dapat memberikan dampak terhadap customer. Menurutnya, apabila sebuah teknologi punya high impact ke customer, proses switch-nya bakal lebih mudah. Ambil contoh, teknologi AI dapat menganalisis apakah customer memiliki high intent/low intent saat browsing barang.

“Kami tidak ingin membebankan customer dengan jargon semacam itu agar terlihat smart. Bagi kami yang terpenting adalah menghadirkan platform yang nyaman untuk bertransaksi. Ini kenapa kebanyakan inovasi kami tidak monumental, seperti AI atau VR,” ungkap Marshall.

Menurutnya, adopsi teknologi dapat dikatakan memberikan impact apabila dapat memberikan hasil secara organik dari transaksi. Pada kasus Fabelio, pihaknya selalu melakukan upgrade berkala pada website-nya agar customer nyaman browsing produk sebelum berinteraksi dengan virtual assistant buying.

Strategi mendongkrak repeat purchase

Seperti disebutkan sebelumnya, business nature produk furnitur cukup berbeda dengan produk-produk yang biasa kita temui di e-commerce. Hal ini karena furnitur merupakan produk berukuran besar.

Demikian juga dengan customer behavior-nya. Menurut Marshall, produk furnitur cenderung dibeli dari hasil browsing, bukan searching. Nilai pembeliannya juga besar untuk satu barang.

Lalu, bagaimana strategi untuk menjaga repeat purchase agar tetap tinggi? Menurut Marshall, sebetulnya average order value bisa saja dikurangi, tetapi harus ada ekspansi kategori produk sehingga memperluas segmen pasar. Alhasil, konsumen bisa melakukan pembelian lebih sering.

“Ini sebetulnya soal permainan product management. Dalam capital business, ini bisa dilakukan jika ada modal. Bagi kami, saat ini Fabelio ingin manage supaya customer ada high purchase. [Jika ingin ekspansi kategori], ini bisa kolaborasi dengan mitra supply chain lain, seperti produsen gelas. Mereka lebih jago dibandingkan jika kami harus produksi sendiri,” jelasnya.

Bisnis furnitur di masa Covid-19 dan new-normal

Di masa pandemi ini, Marshall mengaku ada banyak penyesuaian dilakukan untuk menjaga agar bisnis tetap berjalan. Apalagi, bagi bisnis ritel yang utamanya bergantung pada engagement di toko fisik.

Pada kasus Fabelio yang juga memiliki offline, Marshall menyebutkan bahwa pihaknya terpaksa harus menutup sekitar 20 tokonya selama masa pandemi ini. Akan tetapi, pihaknya melakukan inovasi dengan mengembangkan virtual assistant buying atau check agent untuk meningkatkan customer experience tanpa harus tatap mukaInovasi lain yang dapat dilakukan pada bisnis ini adalah menyediakan protokol khusus pada pengiriman dan penerimaan barang.

“Di situasi sekarang, tidak mungkin kita linger lama-lama di toko. Kami harus tahu apa yang nyaman bagi customer. Makanya, pengiriman barang pun harus disesuaikan dengan kondisi tertentu, seperti waktu instal furnitur dan memastikan situasi rumah tidak dalam keadaan ramai. Harusnya, strategi ini bisa berhasil untuk semua brand retail,” ungkapnya.

Semua Film Animasi Karya Studio Ghibli Bakal Bisa Dibeli Lewat iTunes, Google Play dan Sejumlah Platform Digital Lainnya

Studio Ghibli merupakan salah satu nama terbesar di industri film animasi. Begitu tersohornya perusahaan yang didirikan di Jepang pada tahun 1985 itu, saya yang bukan seorang penggemar anime pun cukup hafal dengan judul karya-karyanya; mulai dari “Nausicaä of the Valley of the Wind” yang merupakan film pertamanya, “Spirited Away” yang memenangkan piala Oscar, sampai “My Neighbor Totoro” yang karakternya dijadikan maskot perusahaan.

Meski sangat terkenal, rupanya selama ini belum ada satu pun film animasi dari seluruh katalog Studio Ghibli yang dapat dibeli di platform digital. Namun semua itu akan berubah per 17 Desember mendatang berkat upaya yang dilancarkan sebuah distributor film asal Amerika Serikat, GKIDS.

Jadi mulai tanggal tersebut, semua film animasi karya Studio Ghibli dapat dibeli di Amerika Serikat dan Kanada melalui platform seperti iTunes, Google Play, Amazon Prime Video, dan masih banyak lagi. Harga per filmnya dipatok $20, dan konsumen juga bisa membeli bundel berisi enam film terpopuler Studio Ghibli seharga $100.

Spirited Away / Studio Ghibli
Spirited Away / Studio Ghibli

Kabar menggembirakan ini datang tidak lama setelah berita mengejutkan lainnya, yakni ketersediaan katalog Studio Ghibli untuk pertama kalinya di platform streaming mulai musim semi tahun depan, spesifiknya platform HBO Max yang baru akan menjalani debutnya mulai Mei 2020. Mengejutkan karena selama ini Studio Ghibli sudah beberapa kali menyampaikan ketidaktertarikannya dengan metode distribusi secara digital.

Kecil kemungkinan HBO Max akan tersedia buat konsumen Indonesia di hari peluncurannya. Yang lebih mungkin menurut saya adalah ekspansi penjualan katalog Studio Ghibli secara digital ke negara selain Amerika Serikat dan Kanada. Semoga saja tahun depan kita sudah bisa membeli film-filmnya melalui iTunes atau Google Play.

Sumber: Variety dan GKIDS.

Kongregate Siap Luncurkan Platform Pesaing Steam di Tengah Tahun Ini, Kartridge

Dibuka buat publik sejak Desember 2006, Kongregate ialah portal yang menjadi rumah bagi lebih dari 110 ribu game. Ia sempat dimiliki GameStop, kemudian dibeli oleh perusahaan hiburan Swedia, Modern Times Group di tahun 2017 senilai US$ 55 juta. Saat itu, Kongregate mendapatkan arahan baru. Kini selain jadi wadah permainan third-party, tim juga difokuskan ke ranah pengembangan konten.

Dan di bulan Maret 2018 ini, sang publisher independen itu mengumumkan agenda untuk meluncurkan platform download permainan yang diharapkan dapat bersaing dengan Steam. Kongregate menamai layanan baru tersebut Kartridge. Platform ini rencananya akan tersedia dalam waktu dekat, menyuguhkan developer ‘kendali penuh’ atas produk-produknya, termasuk mempersilakan mereka menentukan sendiri model monetisasi konten.

Seperti platform distribusi digital terpopuler di Bumi itu, Kartridge menyajikan judul-judul premium serta free-to-play. Layanan juga memungkinkan developer mengintegrasikan iklan, atau memanfaatkan metode ‘bayar semau Anda’ dalam menawarkan permainan. Menariknya lagi, berbeda dari Steam Direct, para pencipta game tidak dikenakan biaya saat mengunggah karya mereka di Kartridge.

Dari sisi pengguna, Kartridge tak lupa dibekali berbagai fitur komunitas krusial yang umumnya ditemukan di platform sejenis. Di sana akan ada achievement, forum, fungsi chat hingga reward berdasarkan progres dalam permainan. Kongregate turut membubuhkan fitur kurasi plus algoritma pintar sehingga pemain bisa segera menemukan game-game yang ia sukai – sekaligus mempertemukan mereka dengan developer di belakangnya.

Kongregate mengakui keunggulan Steam di segmen distribusi digital. Namun masalah utama yang diakibatkan oleh terlalu banyaknya jumlah konten mereka adalah, seringkali permainan itu tidak sampai pada konsumen target. Di sinilah solusi yang Kongregate coba tawarkan: Kartridge menjanjikan kemudahan pencarian game sesuai minat user.

Pada Games Industry, CEO Emily Greer mengungkapkan kepercayaan diri timnya, mengingat Kongregate memiliki pengalaman mengelola komunitas gaming selama lebih dari satu dekade.

Sang publisher juga menekankan bahwa Kartridge diposisikan sebagai evolusi dari store Kongregate, dan bukan penggantinya. Walaupun nanti Kartridge sudah tersedia, marketplace Kongregate akan terus beroperasi.

Kartridge kabarnya akan siap diakses di’musim panas’ tahun ini.

Peralihan dari Steam Greenlight ke Steam Direct sendiri didorong oleh keinginan Valve menyuguhkan konten lebih berkualitas dengan menyisihkan game-game yang tidak ditunjang data memadai dan mendapatkan laporan buruk dari pengguna. Dari pengamatan saya, Kongregate akan membutuhkan metode filter dengan tujuan serupa jika publisher ingin level mutu Kartridge bisa menyamai Steam.

Sumber: Games Industry.