Tinggalkan Fase Beta, Valorant Resmi Diluncurkan 2 Juni

Valorant, game FPS kompetitif persembahan Riot Games, sudah menjalani fase pengujian closed beta sejak 7 April kemarin. Namun belum dua bulan berselang, Riot rupanya sudah tidak sabar untuk merilis Valorant secara resmi.

28 Mei nanti, fase pengujian Valorant akan berakhir, dan Riot bakal menghapus semua akun pemain yang ada. Lalu tanpa harus menunggu lama, kita semua dipersilakan untuk memainkan game free-to-play ini mulai tanggal 2 Juni.

Valorant

Sekadar mengingatkan, Valorant boleh dibilang merupakan hasil perkawinan antara Overwatch dan CS:GO. Ada beberapa hero – Agent kalau dalam kamus Valorant, dan sejauh ini jumlahnya sudah ada 10 – yang bisa dipilih yang menawarkan beragam skill uniknya masing-masing, akan tetapi variasi senjatanya sama untuk setiap karakter.

Entah kebetulan atau tidak, karakteristik senjata Valorant sangat mirip seperti di CS:GO, dan ini tentunya merupakan kabar gembira bagi para pemain profesional CS:GO yang pindah haluan ke Valorant. Di saat yang sama, pemain Overwatch mungkin memerlukan waktu ekstra buat beradaptasi, namun itu tidak mencegah salah satu bintang terbesarnya untuk banting setir.

Valorant

Terkait gameplay, Riot kabarnya sudah menyiapkan mode baru yang akan tersedia bersamaan dengan peluncuran resmi Valorant. Mode utamanya sendiri adalah mode yang sudah tidak asing lagi buat siapapun yang pernah memainkan Counter-Strike; satu tim bertugas menanam bom di titik yang ditentukan, sedangkan tim lainnya harus mencegah aksi teror tersebut (5 vs 5).

Timing peluncuran resmi Valorant ini hanya terpaut beberapa hari setelah Crucible, hero shooter besutan Amazon yang sudah lebih dulu hadir di Steam. Meski begitu, kedua game sebenarnya sangat berbeda. Bahkan dari segi tampilan saja sudah kelihatan perbedaannya, mengingat Crucible menyajikan permainan dari sudut pandang orang ketiga seperti Fortnite.

Sumber: Riot Games via VentureBeat.

Riot Adakan League of Legends Mid-Season Cup, Tawarkan Hadiah Rp9 Miliar

Riot Games Korea akan menyelenggarakan turnamen Mid-Season Cup (MSC) sebagai pengganti dari Mid-Season Invitational yang harus dibatalkan akibat pandemi virus corona. Kompetisi tersebut akan diadakan selama 4 hari, dimulai pada 28 Mei 2020 sampai 31 Mei 2020. Total hadiah yang ditawarkan mencapai US$600 ribu (sekitar Rp9 miliar).

MSC akan mempertemukan 4 tim terbaik di League of Legends Champions Korea dengan 4 tim teratas di League of Legends Pro League di Tiongkok. Empat tim yang mewakili Korea Selatan adalah T1, Gen.G, DragonX, dan DAMWON Gaming. Sementara 4 tim asal Tiongkok adalah JD Gaming, yang baru saja keluar sebagai juara dari LPL, Top Esports, Invictus Gaming, dan FunPlus Phoenix, yang memenangkan League of Legends World Championship pada tahun lalu.

Mid-season cup
T1 menjadi salah satu perwakilan Korea Selatan di Mid-Season Cup. | Sumber: Inven Global

Mengingat pandemi virus corona masih belum berakhir, MSC akan diadakan dengan format online. Turnamen akan diselnggarakan di server Korea. Riot akan mengusahakan agar ping dari server tidak lebih dari 30-40 m/s. Untuk mencapai hal ini, mereka menggunakan tool dari pihak ketiga.

Riot Games Korea telah memberikan tool yang diperlukan untuk tim-tim Korea Selatan yang akan berlaga di MSC. Tujuannya, agar para pemain bisa menyesuaikan diri dengan kondisi ping 30-40 m/s karena biasanya, mereka bertanding dengan ping yang lebih rendah. Selain masalah teknis, Riot Games juga berusaha untuk mengantisipasi masalah lain yang muncul, seperti kecurangan. Riot mengatakan, mereka akan memastikan tidak ada pemain yang berbuat curang untuk menjaga integritas pertandingan dalam MSC.

“MSC adalah kompetisi penting yang mempertaruhkan hadiah dalam jumlah besar. Kami akan berusaha keras untuk menjaga integritas dari kompetisi tersebut,” kata perwakilan dari Riot Games pada Inven Global. “Karena kami menaikkan ping server secara artifisial, tidak tertutup kemungkinan akan ada masalah yang muncul pada server. Jika ada masalah yang muncul, kemungkinan, penyelenggaraan turnamen akan terhambat. Dalam kasus terburuk, turnamen akan dibatalkan. Namun, kami akan bekerja keras untuk memastikan para fans esports League of Legends bisa menonton pertandingan yang menarik. Karena itu, kini kami melakukan berbagai tes untuk menguji MSC.”

Banyak Pemain Pro dan Semi-Pro CS:GO Pindah ke Valorant, Kenapa?

Saat ini, Valorant belum resmi diluncurkan. Meskipun begitu, organisasi-organisasi esports ternama telah mulai merekrut pemain untuk membuat tim Valorant, seperti Gen.G, T1, dan G2 Esports. Dari segi pemain, ada cukup banyak pemain profesional atau semi-profesional Counter-Strike: Global Offensive yang memutuskan banting setir dan memainkan Valorant. Salah satu alasannya adalah karena scene esports Valorant diduga akan berkembang. Pasalnya, Valorant dibuat oleh Riot Games, yang sukses dalam membangun ekosistem esports League of Legends.

Sejumlah pemain profesional atau mantan pemain profesional CS:GO yang telah memutuskan untuk pindah haluan ke Valorant antara lain Shahzeeb “ShahZaM” Khan, Hunter “SicK” Mims, Jacob “pyth” Mourujärvi, Victor “food” Wong, Jordan “Zellsis” Montemurro, Austin “crashies” Roberts, dan Ryan “freakazoid” Abadir. Semua pemain ini memiliki satu kesamaan, yaitu mereka tidak dipayungi oleh organisasi esports. Memang, mereka pernah bermain untuk organisasi esports besar seperti Cloud9, Ninjas in Pyjamas, Complexity, dan lain sebagainya. Sayangnya, mereka gagal mempertahankan posisi mereka di organisasi tersebut.

Meskipun begitu, para pemain CS:GO tersebut masih memiliki peran penting dalam memastikan kualitas ekosistem Tier 2 CS:GO tidak jauh tertinggal dari para pemain di Tier 1. Selain itu, mereka juga bisa membantu para pemain berakat muda dengan berbagi pengalaman mereka. Hanya saja, tidak banyak organisasi esports yang mendukung pemain di Tier 2.

“Dengan keberadaan dua liga baru, ini membuat scene CS:GO di Amerika Utara menjadi aneh,” kata ShahZaM pada VP Esports. “ESL Pro League kini hanya memiliki 2 tim dari NA. Sementara untuk masuk ke Flashpoint, Anda perlu modal yang besar. Dulu, Anda bisa membuat tim bersama dan berlatih keras agar bisa masuk ke turnamen dan menjadi juara. Tapi sekarang, hal ini tidak mungkin lagi.” Apa yang dia ungkapkan kurang lebih mewakili pendapat dari pemain-pemain CS:GO lainya.

“Saya tidak membenci sistem baru ini. Saya mengerti kalau organisasi-organisasi esports mencoba untuk memastikan keberlanjutan ekosistem CS:GO. Namun, kesempatan yang ada kini menjadi semakin terbatas. Dan saya yakin, di masa depan, akan muncul usaha untuk mengembangkan ekosistem Tier 2 di Amerika Utara lagi,” ujar ShahZaM.

Penyelenggara turnamen seperti ESL, Flashpoint, DreamHack, dan lain sebagainya tampaknya harus mulai membuat rencana yang lebih baik untuk mendukung scene Tier 2 dan Tier 3. Jika tidak, semakin banyak pemain profesional atau semi-profesional CS:GO yang akan memutuskan untuk pindah ke game lain.

Review Legends of Runeterra: Game Kartu Digital yang Nyaris Sempurna?

Jelang akhir 2019, Riot Games memamerkan jajaran game terbaru yang akan mereka rilis seraya merayakan ulang tahunnya yang ke-10. Setelah sepuluh tahun hanya mengembangkan satu game saja, pengembang yang berbasis di Los Angeles tersebut akhirnya melebarkan sayap, menciptakan game untuk genre lain.

Ada beberapa game yang mereka pamerkan ketika itu, FPS bernama project A yang kini dikenal dengan Valorant, game kartu Legends of Runetera, iterasi LoL di Mobile bernama Wild Rift, Teamfight Tactics untuk mobile, dan sebuah proyek game fighting. Setelah beberapa waktu berlalu, game kartu digital Legends of Runeterra yang rilis pada 1 Mei 2020 kemarin, mungkin jadi game pertama dari jajaran tersebut yang rilis secara penuh.

Walau memiliki genre Collectible Card Games (CCG) yang cenderung niche, tapi game ini ternyata mendapat antusiasme yang cukup baik dari para gamers, dengan total download mencapai 1 juta lebih di Play Store saat artikel ini ditulis. Mungkin Anda saat ini sudah terpincut untuk memainkannya, namun masih urung karena satu dan lain hal.

Mungkin Anda urung main karena belum pernah main CCG sebelumnya dan takut dihadapkan dengan permainan strategi yang ruwet? Atau urung main karena takut dihadapkan skema permainan pay-to-win yang mengharuskan Anda gacha sampai lemas demi mendapat kartu yang diidam-idamkan?

Tetapi, apakah Legends of Runeterra merupakan game kartu digital yang seperti itu? Game kartu yang akan mengintimidasi calon pemain baru karena mekanik yang rumit atau gacha kartu yang tidak ada habisnya?

Untuk memutuskan apakah Anda akan mulai menginvestasikan waktu (dan uang) terhadap game ini, mari kita berkenalan terlebih dahulu dengan game kartu digital besutan Riot ini. Simak review Legends of Runeterra berikut ini.

CCG Dengan Rasa MOBA

Legends of Runeterra (setelahnya disebut Runeterra) merupakan game kartu yang berbasis kepada cerita salah satu game MOBA terpopuler di dunia. Jika Anda pemain League of Legends sudah pasti Anda akan melihat wajah familiar di dalam game ini, seperti Ashe, Garen, ataupun Lux .

Jika Anda melihat trailer pertama dari Runeterra, Anda juga sudah dapat melihat bagaimana karakter Champion League of Legends berubah menjadi kartu-kartu di dalam permainan, yang disebut sebagai kartu terkuat di dalam Runeterra.

Hal ini juga yang membuat saya mengatakan bahwa game kartu Runeterra memiliki rasa MOBA di dalam mekanik permainannya. Bukan, ini bukan sekadar karena ada Champion League of Legends di dalam Runeterra, tetapi juga karena cara kerja kartu Champion di dalam game ini.

Kalau Anda juga bermain MOBA League of Legends, Anda tentu paham tugas Anda di MOBA adalah menaikkan level Champion agar punya skill yang lebih kuat, sembari mengumpulkan gold agar mendapatkan item untuk memperkuat serangan fisik atau magic. Menariknya, Runeterra juga punya mekanik permainan seperti MOBA, yaitu menaikkan level untuk membuat kartu Champion menjadi lebih kuat.

Tapi bedanya, menaikkan level Champion di Runeterra tidak sesederhana memukul Minion. Masing-masing Champion punya syarat yang berbeda agar dapat naik level. Misal, Garen harus menyerang sebanyak dua kali atau Braum bisa naik level jika sudah menahan serangan musuh. Champion yang sudah naik level akan memberi damage ataupun efek yang lebih mematikan.

Hal lain yang membuat game kartu Runeterra semakin terasa seperti MOBA adalah dari cara pemain mendapatkan kemenangan. Dalam MOBA, setelah karakter Anda jadi kuat, tugas berikutnya adalah terus menerjang, hancurkan Turret demi Turret hingga mencapai bangunan inti yang harus dihancurkan, Nexus.

Begitu juga dalam Runeterra. Masing-masing pemain punya tujuan untuk menghancurkan Nexus musuh dan ada sejumlah cara yang bisa dilakukan. Cara paling sederhana adalah dengan memanggil atau summon atau meletakkan kartu Anda di meja atau field. Lalu perintahkan kartu untuk menyerang ke arah Nexus. Hit Point (HP) Nexus ada 20, yang lebih dulu habis akan kalah.

Bagiamana mudah bukan?

Mudah atau tidak akan kita bahas pada bagian selanjutnya. Tetapi secara umum, menghancurkan Nexus di Runeterra sebenarnya tidak sesederhana itu, karena ada tiga jenis kartu dalam game ini, yaitu Champion, Follower, dan Spells.

Champion dan Follower punya power di kiri bawah kartu yang menandakan kekuatan serang, dan HP di kanan bawah kartu yang menandakan kekuatan bertahan. Dua kartu itu akan tetap berada di meja selama masih punya HP. Jika HP habis, maka kartunya akan hilang dari permainan; kecuali dipanggil lagi dengan efek khusus. Sementara di sisi lain Spell biasanya hanya bisa diaktifkan satu kali, lalu akan hilang setelah diaktifkan.

Ini adalah contoh bentuk kartu Champion, dengan power yang menandakan kekuatan serang di bawah kiri dan HP yang menandakan kekuatan bertahan di bawah kanan.
Ini adalah contoh bentuk kartu Champion, dengan power yang menandakan kekuatan serang di bawah kiri dan HP yang menandakan kekuatan bertahan di bawah kanan. Sumber: Tangkapan layar pribadi.

Tugas Anda sebagai pemain di sini adalah memanfaatkan ketiga jenis kartu tersebut dengan maksimal agar bisa menghancurkan Nexus musuh. Champion dan Follower punya fungsi yang paling sederhana, yaitu menyerang Nexus.

Sementara fungsi Spell lebih Variatif karena ada yang bisa langsung memberi damage ke Nexus, memberi damage ke Champion atau Follower, atau memberi efek mengganggu musuh.

Secara umum, cara main Runeterra kurang lebih mirip seperti game kartu TCG Yu-Gi-Oh. Anda panggil kartu ke meja, lalu suruh monster tersebut menyerang. Kalau tidak ada monster di meja musuh, Anda bisa menyerang langsung (kalau dalam Runeterra ke arah Nexus). Anda bisa panggil Spell Card untuk menyerang atau membantu membuat kartu Anda jadi lebih kuat.

Lalu kalau di Yu-Gi-Oh ada Trap Card, bagaimana dengan di Runeterra? Hal menarik lain di Runeterra, yang juga membuatnya terasa seperti pertarungan MOBA, adalah urutan jalan yang terus berganti-gantian.

Dalam setiap turn, pemain secara bergantian memegang Attack Token sebagai tanda bahwa Anda punya hak jalan pertama dan menyerang. Lalu, setiap kali Anda melakukan sesuatu (memanggil Champion/Follower atau mengaktifkan Spell) musuh mendapat giliran untuk merespon dengan apapun yang mereka punya.

Jika menggunakan analogi Yu-Gi-Oh, maka bisa dibilang Spell di Runeterra berfungsi layaknya gabungan Trap dan Magic Card. Karena berjalan secara bergantian secara terus menerus, Spell jadi bisa diaktifkan kapan saja. Maka dari itu, Runeterra punya tiga tingkat kecepatan Spell yaitu Slow, Fast, dan Burst.

Slow Spell hanya dapat diaktifkan di luar fase pertarungan. Ketika diaktifkan, musuh dapat merespon dengan Spell yang mereka miliki. Fast Spell dapat diaktifkan sebelum ataupun pada fase pertarungan, musuh juga bisa merespon terhadap Spell ini. Terakhir Burst Spell, bisa diaktifkan kapanpun, langsung aktif saat itu juga, dan tidak dapat direspon oleh musuh.

Tindakan saling merespon tersebut berhenti ketika pemilik Attack Token memajukan pasukan (Champion/Follower) dan memasuki fase bertarung. Pada fase bertarung, pemain bertahan tidak bisa lagi memanggil pasukan apapun, hanya bisa melakukan Block dengan pasukan yang sudah ada di field, atau merespon dengan Fast Spell.

Kartu Spell punya bentuk yang lebih sederhana. Hanya berisi properti kecepan Spell dan deskripsi kegunaanya.
Kartu Spell punya bentuk yang lebih sederhana. Hanya berisi properti kecepan Spell dan deskripsi kegunaanya. Sumber: Tangkapan layar pribadi.

Setelah pemain bertahan mengaktifkan Spell, memilih pasukan musuh yang ingin ditahan serangannya, pemilik Attack Token lalu menyerang, jumlah damage dihitung, lalu pemilik Attack Token memiliki kesempatan terakhir untuk melakukan satu aksi lagi, yang juga masih dapat direspon oleh musuh.

Pada saat menyerang, Legends of Runeterra juga menghadirkan fitur menarik bernama Oracle Eye. Fitur ini bisa berada di tengah antara dua Nexus pada fase menyerang.

Fitur ini memungkinkan Anda melihat ke masa depan, hasil dari semua pertarungan pasukan dan Spell yang diaktifkan. Jika Anda kurang pandai menghitung atau tidak yakin bagaimana efek dari Spell yang akan Anda gunakan, fitur ini sangat membantu Anda memahami hasil dari jalannya pertempuran.

Semua tindakan memanggil pasukan dan mengaktifkan Spell akan menggunakan Mana. Permainan dimulai dengan 1 Mana, dan terus bertambah 1 mana pada setiap ronde. Jika Anda tidak melakukan apapun, Mana akan tersimpan sebagai tambahan untuk mengaktifkan Spell nantinya.

Attack Token baru berpindah tangan setelah sang pemilik memilih untuk End Round atau kehabisan Mana yang membuat dirinya jadi tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

Mekanik giliran permainan yang berganti-gantian ini juga menurut saya membuat Runeterra jadi terasa seperti pertarungan MOBA. Karena dalam MOBA Anda harus lihai dalam mengelola sumber daya yang Anda miliki, Skill ataupun Mana, begitupun seperti dalam Runeterra.

Apakah Runeterra Ramah Bagi Pemula?

Soal ini jadi penting dalam pembahasan sebuah game, terutama game CCG seperti Runeterra. Kerumitan permainan biasanya akan membuat pemain jadi mengurungkan niat mencoba. Apalagi genre CCG kerap dicap sebagai “game mikir”, yang membuat banyak pemain sudah malas di awal karena tidak ingin berpikir ketika main game.

Setelah membaca penjelasan saya di atas soal mekanik umum permainan, apakah Anda sudah pusing? Oh tenang, itu belum semuanya, karena semakin lama Anda bermain, semakin Anda harus menerima kenyataan bahwa Runeterra akan membawa Anda menyelam ke dalam mekanik yang rumit nan seru.

Walau game ini rumit, tapi saya masih bisa bilang bahwa Runeterra itu ramah bagi pemula. Salah satu alasannya karena usaha Riot Games menjelaskan cara main Runeterra lewat sajian satu set tutorial yang intensif.

Challenges yang membantu Anda mengenal berbagai macam efek Keywords di Runeterra.
Challenges yang membantu Anda mengenal berbagai macam efek Keywords di Runeterra. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Semua yang saya bahas di awal artikel akan diajarkan ketika Anda pertama kali login ke dalam game. Anda akan diajarkan apa itu Nexus, bagaimana cara menyerang dan bertahan, cara kerja Champion, Attack Token, apa itu Mana Point, serta cara mengaktifkan dan klasifikasi Spell.

Walau demikian, Runeterra mungkin tetap kurang menarik bagi gamers Indonesia, karena semua tutorial menggunakan bahasa Inggris (Riot pls, tambahkan opsi bahasa Indonesia jika ingin lebih banyak yang bermain Runeterra), dan mengharuskan pemain menyimak dengan seksama cara kerja permainan Runeterra.

Tetapi salut untuk Riot Games yang berusaha keras untuk mengajarkan mekanisme permainan Runeterra kepada pemainnya. Ketika Anda sudah masuk ke dalam permainan, pada menu Play, Anda bisa memilih menu Challenges yang berisikan satu kursus intensif untuk memahami cara kerja ragam kartu di Runeterra.

Pada bagian tersebut Anda akan diajari cara kerja berbagai Keywords, alias kata kunci dari efek kartu di dalam game. Misal, Challenge berjudul Overwhelming Force mengajarkan Anda cara kerja, dan efektivitas menggunakan kartu dengan kata kunci Overwhelm. Kartu dengan Overwhelm (Champion Darius contohnya) bisa memberi damage yang menembus ke arah Nexus jika punya selisih angka Power kartu penyerang dengan HP kartu bertahan.

Riot juga mendorong pemain untuk melakukan Challenge karena kita akan menerima hadiah XP untuk menaikkan progress rewards, yang nanti akan saya jelaskan pada bagian soal skema monetisasi Legends of Runeterra. Challenge baru juga akan selalu hadir, ketika Runeterra mengenalkan Keywords baru.

Contohnya pada saat update Rising Tides hadir saat perilisan resmi Runeterra mengenalkan region Bilgewater, Riot segera menghadirkan 4 Challenges baru: The Deep Dive untuk mengenalkan efek Keywords Deep, Plunder Pays untuk efek Keywords Plunder, Easy Pickings untuk mengenalkan Keywords Vulnerable, dan Barrel to Victory yang mengenalkan cara kerja mekanisme Powder Keg.

Jangan khawatir, apa yang ada di Challenges hanyalah permukaan dari keseluruhan ragam Keywords di dalam Runeterra. Karena hingga saat ini, kurang lebih ada sekitar 40 lebih Keywords di dalam Runeterra yang harus Anda pahami dan pelajari.

Sudah pening? Sama saya juga. Tapi tak usah khawatir, pada awal permainan Anda diberikan “Starter Deck” dari 6 region awal di Runeterra, untuk belajar cara main dan mengoptimalkan kartu-kartu dasar.

Mungkin satu yang kurang dari Challenges adalah ia tidak mengajarkan karakteristik dan interaksi antar-Region. Mekanisme Region merupakan cara game kartu Runeterra menceritakan dunia League of Legends. Hingga saat ini, ada 7 Region di dalam game kartu Runeterra, ada Bilgewater, Demacia, Freljord, Ionia, Noxus, dan Shadow Isle.

Masing-masing Region punya karakteristik masing-masing yang bisa dikombinasikan dengan Region lain. Contohnya jika Anda ingin buat musuh tak bisa gerak, Anda bisa kombinasikan Region Freljord yang bisa hentikan pergerakan musuh dengan Ionia yang juga punya banyak mekanik yang bikin musuh kelimpungan.

Tapi yang pasti, pengalaman bermain League of Legends juga akan membantu Anda untuk bisa memahami game ini dengan lebih cepat. Sudah bermain League of Legends sejak tahun 2012 lalu, membantu saya memahami gambaran cara kerja Champion. Jadi karena saya tahu bahwa Braum merupakan hero Tank yang hobi menahan serangan, maka saya sudah punya gambaran bagaimana memanfaatkan Braum dengan maksimal di Runeterra.

Hal lain yang membuat saya jadi lebih mudah memahami Runeterra mungkin adalah pengalaman saya main game kartu Yu-Gi-Oh di zaman PlayStation. Minimal, ketika mulai bermain saya bisa segera bergumam, “Oh ternyata game ini mirip Yu-Gi-Oh,” dan tak perlu bingung lagi.

Animasi Ciamik, Artwork Mengagumkan, dan Ragam Visual yang Memanjakan Mata

Oke Anda mungkin sudah cukup kelelahan membaca pembahasan mekanik permainan Runeterra yang awalnya sederhana, tapi menjadi semakin…membingungkan. Sedikit rehat, mari sejenak kita melihat bagaimana Riot menyajikan Legends of Runeterra secara audio dan visual.

Satu yang paling saya suka adalah bagaimana ketika Anda membuka permainan segera permainan dengan gambar Ashe berdiri di atas gunung es dengan matahari terbit di ufuk timur, sembari diiringi lagu dengan biola yang syahdu layaknya musik khas kerajaan elf di film kolosal Lord of the Ring.

Menu utama juga tak kalah nikmat dipandang. Pada satu waktu Anda akan dihadapkan dengan pemandangan Jinx di atap rumah melihat suasana kota Piltover di malam hari yang tenang. Pada waktu lain semangat Anda juga bisa dipicu dengan gambar Darius sedang meneriakkan teriakan perang kepada pasukan Noxus yang bersiap menjajah Region lain di Runeterra.

Menu utama yang kadang bisa membuat tenang tapi juga bersemangat untuk bertarung lewat artwork yang disajikan.
Menu utama yang kadang bisa membuat tenang tapi juga bersemangat untuk bertarung lewat artwork yang disajikan. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Artwork dari masing-masing kartu juga menjadi aspek visual lain di dalam Runeterra yang berhasil memanjakan mata. Jadi mungkin, jika Anda jemu bermain karena terus-terusan kalah, Anda bisa berhenti sejenak, membuka menu Cards, dan melihat Artwork dari masing-masing kartu. Terlebih, Artwork kartu juga dilengkapi dengan cerita yang semakin membawa Anda menyelami dunia Runeterra.

Satu kartu yang paling saya suka secara Artwork dan cerita adalah kartu Cithria of Cloudfield dari Region Demacia. Visual dan penjelasan kartu ini berhasil menyajikan suasana dari cerita seorang anak perempuan yang bercita-cita ingin menjadi pasukan tentara Demacia, karena mendengar cerita heroik sang ibu bertarung di medan perang membela nama kerajaan Demacia.

Sayang, sajian artwork memanjakan mata di Runeterra hanya terbatas pada Champion dan Followers saja. Pada kartu Spell, walau tetap menyajikan deskripsi yang memiliki cerita, namun visual yang disajikan terbilang cukup terbatas karena tidak menyajikan Artwork layar penuh layaknya pada kartu Champion atau Follower.

Artwork kartu disertai deskripsi yang tak hanya menyejukkan mata, tapi juga membantu kita mengenal cerita dunia Runeterra.
Artwork kartu disertai deskripsi yang tak hanya menyejukkan mata, tapi juga membantu kita mengenal cerita dunia Runeterra. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Hal berikut yang menurut saya tak kalah menggugah secara visual adalah animasi ciamik yang disajikan dalam Runeterra. Visual menggugah tersebut sudah juga sudah terasa sejak kita berada di menu utama. Transisi antar menu selalu dihiasi dengan animasi yang sederhana, namun sedap dipandang.

Melaju ke dalam pertarungan, menurut saya setidaknya ada dua hal dari sisi animasi yang membuat Legends of Runeterra jadi menggugah secara visual. Pertama adalah kehadiran Guardian yang interaktif menemani kita di kala duel sedang dilakukan.

Guardian sebetulnya bukan fitur yang mempengaruhi apapun di dalam permainan, melainkan hanya sekadar penyejuk mata yang menghiasi papan Anda. Lucunya, Guardian berisfat interaktif, yang akan beraksi jika Anda melakukan swipe atau tap di atasnya.

Guardian Poro yang dimiliki secara gratis misalnya, akan memberi respon mengambek atau menguap besar jika Anda tap di atas kepalanya secara cepat dan terlalu sering. Walau tidak membantu di dalam permainan, setidaknya Poro bisa menjadi pelipur lara di kala tangan Anda sedang jelek, atau musuh menunjukkan permainan yang mendominasi.

Selain dari Guardian, tambahan visual lain yang tak kalah menarik adalah Sticker dan juga skin untuk Board tempat Anda bermain. Sticker merupakan satu-satunya sarana Anda berkomunikasi dengan musuh. Biasanya ini digunakan untuk bercanda dengan musuh apabila ada momen menggemaskan di dalam permainan.

Skin Jinx's untuk Field
Skin Jinx’s Mayhem untuk Field yang tidak hanya ciamik secara visual, tapi juga diiringi dengan lagu yang menggambarkan karakter Champion Jinx. Sumber: tangakapan layar pribadi.

Skin untuk Board tempat bermain juga jadi visual lain yang memanjakan mata. Skin Board paling dasar adalah Summoner’s Riftt, namun Anda bisa membeli skin untuk Board ini, mulai dari yang bertemakan Region di Runeterra ataupun Champion tertentu. Setiap Board tak hanya memanjakan visual, tapi juga memiliki lagu khas dari masing-masing yang memanjakan telinga.

Sejauh ini Jinx’s Mayhem jadi skin Board favorit saya, karena tidak hanya nyentrik secara visual, tapi juga punya lagu tema bergenre dark-electro yang senada dengan kepribadian dari Champion Jinx.

Pay or Grind to Win?

Banyak yang beranggapan kalau game kartu biasanya pay-to-win. Anda yang sudah beberapa kali main atau punya teman yang main permainan TCG atau CCG mungkin sudah familiar dengan Booster Pack atau Loot Box, kotak gacha yang berisi kartu random. Menariknya Legends of Runeterra justru punya skema monetisasi yang cukup berbeda.

Mungkin Runeterra menjadi game kartu CCG yang tidak menggunakan sistem Booster Pack. Semua kartu di sini bisa dibeli dengan 3 pilihan mata uang, yaitu Wildcard, Shards, atau Coins (mata uang Premium). Wildcard dan Shards bisa didapatkan dengan cara bermain dengan rajin atau grinding.

Sumber utama Wildcard dan Shard datang dari Region Rewards. Region Rewards berfungsi kurang lebih seperti Battle Pass di Dota 2, yang punya banyak level, dan memiliki hadiah menarik setiap level-nya. Level Region Rewards bisa didapatkan dengan terus bermain.

Anda bisa mendapatkan XP saat Anda bermain, entah itu menang atau kalah, melakukan quest harian, atau memainkan Challenge. Namun jumlah XP yang didapatkan dalam satu hari ada batasnya. Jika sudah mencapai batas, Anda hanya akan mendapat sekitar 100 XP saja jika menang, dan tidak mendapat apapun ketika kalah.

Region Rewards yang bisa Anda ganti-ganti sesuai keinginan.
Region Rewards yang bisa Anda ganti-ganti sesuai keinginan. Sumber: tangkapan layar pribadi

Tak hanya itu, masih ada sumber lain yang memudahkan Anda untuk melengkapi koleksi kartu di dalam Runeterra. Ada Daily Login yang sudah menjadi ciri khas dari banyak game mobile, Weekly Vault yang sama-sama dikumpulkan melalui XP, dan terakhir adalah Expedition,

Expedition sendiri bisa dibilang seperti Draft Mode. Mode permainan Expedition bisa diikuti dengan menggunakan Coin, Shards, atau Expedition Token yang didapat dari Weekly Vault. Pada Expedition Mode Anda diminta membuat deck dari beberapa pilihan kartu yang disajikan oleh sistem. Setelah deck selesai, Anda akan diadu oleh pemain lain yang juga mengikuti mode ini. Semakin banyak menang, maka semakin bagus hadiah yang Anda terima. Sebaliknya, jika sudah 4 kali kalah, maka perjalanan Anda akan berhenti dan mendapat hadiah yang sedikit.

Riot Games sepertinya tidak omong kosong saat bicara ingin membuat Runeterra menjadi game kartu yang adil, baik bagi pemain free-to-play ataupun mereka yang investasi membeli kartu. Dengan sistem ini, pemain casual yang sifatnya free-to-play jadi masih punya dapat kesempatan untuk berkompetisi dengan pemain berbayar, asalkan mereka rajin bermain.

Terlebih, menjadi pemain berbayar juga tidak merugikan di dalam Runeterra. Karena pemain tidak perlu dipusingkan karena gacha di hari-hari yang kurang beruntung. Anda bisa dengan bebas membuat deck apapun dan langsung membeli kartu yang Anda butuhkan, tanpa perlu kerepotan mengais Loot Box atau Booster Pack.

Melihat mekanisme ini, sepertinya satu yang membedakan antara pemain gratis dengan pemain berbayar hanyalah waktu. Pemain gratis butuh waktu lebih lama untuk mendapat kartu yang ia inginkan, sementara pemain berbayar cukup satu kali klik (dengan bermodal Rupiah tentunya) untuk mendapat kartu.

Versi 1.0 yang Masih Banyak Kekurangan

Legends of Runeterra memasuki versi 1.0 saat dirilis pada 1 Mei 2020 kemarin. Walau sudah dirilis secara resmi, namun saya masih merasa Legends of Runeterra seperti berada dalam fase open-beta.

Kenapa? Karena memang menurut saya masih banyak fitur-fitur yang sebenarnya penting, namun belum dihadirkan dalam Legends of Runeterra. Beberapa fitur yang sempat jadi perbincangan di komunitas adalah ketidakhadiran match history, replay, statistics, dan spectate friend.

Memang 3 fitur tersebut menjadi sesuatu yang penting, apalagi jika bicara kesiapan Legends of Runeterra sebagai esports. Dalam kompetisi, terutama yang bersifat online, match history jadi satu-satunya bukti untuk melaporkan kemenangan. Walau sudah ada fitur untuk menantang teman yang ada di friend list, namun tanpa Match History kemenangan jadi tidak bisa dibuktikan.

Lalu selain itu, fitur seperti statistik, replay, atau spectate friend juga jadi fitur penting lain untuk menjadikan Runeterra sebagai game yang kompetitif. Statistik dan replay bisa membantu pemain untuk mempelajari permainannya sendiri.

Kapan ia salah langkah? Apa yang bisa diperbaiki dari kekalahan yang ia alami sebelumnya? Kartu apa yang tidak efektif dan harus diganti? Ketiganya menjadi beberapa hal yang bisa pemain lakukan dengan kehadiran fitur statistik dan replay.

Sementara spectate friend merupakan fitur penting untuk membuat pertandingan di Runeterra menjadi bisa ditonton oleh khalayak banyak. Karena jika kita bicara esports, kita tidak hanya bicara soal kompetisi saja, tetapi juga bicara soal bagaimana agar pertandingan tersebut bisa disajikan ke para penonton.

Sejauh ini, dari friend list Anda hanya bisa ngobrol lewat chat dan fitur challenges untuk menantang kawan bermain.
Sejauh ini, dari friend list Anda hanya bisa ngobrol lewat chat dan fitur challenges untuk menantang kawan bermain. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Terakhir, walau mungkin tidak sebegitu penting, namun saya merasa Legends of Runeterra masih kekurangan koleksi barang-barang kosmetik entak audio atau visual yang bisa dinikmati. Salah satu contohnya seperti jenis kosmetik Board, Guardian, dan Card Back yang masih terbilang terbatas. Ini tentunya diharapkan akan semakin bertambah seiring waktu, karena selain membeli kartu, item kosmetik juga jadi hal yang tak kalah penting dalam menambah kesenangan dalam pengalaman bermain.

Hal paling terakhir mungkin adalah soal optimasi grafis. Untuk saat ini sebenarnya optimasi grafis dari Runeterra sudah cukup baik, namun masih ada hal yang sebenarnya bisa lebih diperbaiki lagi. Salah satu contohnya adalah animasi saat Champion naik level.

Pada platform mobile, beberapa kali terjadi frame-drop saat Champion naik level, karena animasinya yang memang terlihat butuh komputasi grafis yang intensif. Hal lain dari optimasi grafis frame-rate untuk platform mobile. Legends of Runeterra sendiri merupakan game yang bersifat cross-platform antara PC dengan Mobile. Namun sayangnya frame-rate 60 fps untuk saat ini hanya tersedia untuk platform PC, sementara frame-rate platform Mobile dikunci pada 30 fps.

Kesimpulan

Pada akhirnya Legends of Runeterra mungkin menjadi satu-satunya CCG yang berhasil menghasut saya untuk mencoba, bahkan jadi ketagihan untuk memainkannya. Saya merasa setidaknya ada beberapa faktor yang membuat Runeterra jadi menarik bagi saya yang sebenarnya lebih suka permainan dengan tempo cepat seperti FPS dan MOBA. Faktor tersebut adalah:

  1. Tema League of Legends yang membuat saya pemain game tersebut jadi penasaran untuk mengetahui cerita dunia Runeterra lebih dalam lagi
  2. Gameplay interaktif bertempo cepat yang memungkinkan Anda untuk tetap melakukan sesuatu meski sedang bertahan
  3. Animasi ciamik dari pertarungan, yang kadang membuat saya lupa bahwa ini adalah game kartu
  4. Sistem Daily Login, Daily Quest, dan Region Rewards yang berhasil membuat saya termotivasi untuk terus main demi mendapat kartu-kartu baru dan memperkuat deck saya.
  5. Fitur Booster Pack dan Loot Box yang dihilangkan membuat pemain berbayar jadi tidak harus dipusingkan dengan Gacha.

Tapi bukan berarti Runeterra adalah game yang tanpa celah. Saya merasa masih ada beberapa kekurangan di dalam game ini, yang meski sedikit, namun cukup terasa. Beberapa di antaranya termasuk:

  1. Pilihan kosmetik yang masih terbatas.
  2. Belum ada pilihan high frame-rate untuk mobile.
  3. Mode Challenge yang kurang menjelaskan interaksi antar Region.
  4. Absennya fitur-fitur untuk kebutuhan esports pada versi 1.0 Legends of Runeterra seperti match history, replay, statistik, ataupun spectate friend.
  5. Kurangnya bahasa yang mungkin akan membuat pemain-pemain di Indonesia jadi enggan mencoba karena kesulitan mempelajari mekanisme permainan Legends of Runeterra yang cukup rumit.
  6. Banyaknya jumlah keywords, yang mungkin akan membuat permainan akan menjadi semakin rumit lagi nantinya.

Jadi apakah Runeterra patut dicoba? Menurut saya ini menjadi game yang sayang sekali untuk dilewatkan, apalagi bagi Anda pecinta League of Legends. Jika tidak main League of Legends sekalipun, game ini tetap patut dicoba karena menawarkan konsep yang cukup segar di dalam game bergenre CCG.

JD Gaming Jadi Juara League of Legends Pro League

JD Gaming berhasil menjadi juara League of Legends Pro League (LPL) setelah mengalahkan Top Esports pada babak final dengan skor 3-2. Baik JD Gaming dan Top Esports baru didirikan pada 2017. Meskipun begitu, keduanya berhasil mengalahkan tim-tim yang pernah memenangkan League of Legends World Championship, yaitu Invictus Gaming dan Funplus Phoenix, di babak semifinal.

Dari lima pertandingan di babak final, JD Gaming berhasil memenangkan pertandingan pertama sebelum kalah pada dua babak berikutnya. Saat itu, Top Esports diperkirakan akan memenangkan LPL dengan skor 3-1. Tapi, JD Gaming berhasil membalikkan keadaan dan meraih gelar juara. Pertandingan terakhir antara JD Gaming dan Top Esports berlangsung dengan ketat. Pada pertengahan game, JD Gaming berhasil memenangkan teamfight melawan Top Esports. Ini memungkinkan mereka mendapatkan gold lebih banyak dan membeli item yang lebih baik.

Pemain support JD Gaming, Zuo “LvMao” Ming-Hao mendapatkan gelar Most Valuable Player di babak final berkat permainannya yang stabil menggunakan empat champion yang berbeda, menurut laporan Dot Esports.

Pada tahun lalu, performa JD Gaming tidak terlalu memuaskan. Di Spring Split, mereka menduduki posisi ke-8. Sementara pada Summer Split, posisi mereka merosot ke peringkat 10. Keputusan mereka untuk mengakuisisi pemain ADC asal Korea Selatan, Lee “LoKeN” Dong-wook berbuah manis. Dengan cepat, LoKeN dapat menyesuaikan diri dengan tim. Ini memungkinkan JD Gaming untuk mengalahkan tim-tim di tier bawah dan memberikan perlawanan yang baik ketika menghadapi tim-tim tier atas di LPL.

Memang, pada awal musim, performa JD Gaming tidak maksimal. Mereka bahkan sempat kalah dalam beberapa pertandingan ketika mereka bermain bersama top laner cadangan mereka. Untungnya, performa mereka membaik ketika mereka kembali bermain bersama top laner utama mereka, Zhang “Zoom” Xing-ran.

Persaingan di LPL tahun ini memang sangat ketat. Hal ini terlihat dari kegagalan Invictus Gaming dan FunPlus Phoenix — dua tim yang pernah memenangkan World Championship — untuk masuk ke babak final. Ini membuat tim-tim asal Tiongkok menjadi tim yang diwaspadai dalam turnamen tingkat internasional. Memang, dua tahun belakangan, World Championship dimenangkan oleh tim asal Tiongkok.

Sayangnya, turnamen Mid-Season Invitational tahun ini harus dibatalkan. Jadi, jika fans ingin melihat pertandingan antara tim-tim League of Legends terbaik, mereka harus menunggu World Championship diselenggarakan.

Legends of Runeterra Resmi Rilis, Hadirkan Ekspansi Rising Tides

Pada ulang tahun ke-10, Riot Games mengembangkan sayap, tidak hanya mengembangkan League of Legends saja. Lewat sebuah acara spesial, Riot mengumumkan semua proyek game yang mereka kembangkan, mulai cari League of Legends: Wild Rift, Teamfight Tactics versi mobile, proyek game fighting, game FPS Valorant, dan card game Legends of Runeterra.

Hari ini, kurang lebih tujuh bulan setelah pengumuman yang dilakukan, Riot Games akhirnya merilis salah satu dari daftar game terbaru yang sedang mereka kembangkan. Dia adalah Legends of Runeterra, collectible card game (CCG) besutan Riot Games.

Bersamaan dengan perilisan ini, Riot Games juga menghadirkan ekspansi pertama yang diberi nama Rising Tides. Ekspansi ini menambahkan region baru ke dalam permainan, Bilgewater, region yang menjadi rumah bagi Champion seperti Graves, Gangplank, Illaoi dan lain sebagainya.

Bilgewater merupakan wilayah kekuasaan sekelompok bajak laut yang tidak pernah melewatkan kesempatan untuk melakukan penjarahan dan monster di kedalaman yang suka melahap kapal tanpa peringatan. Pada Runeterra, masing-masing wilayah atau region punya ciri khas masing-masing. Region Demacia contohnya, dijuluki Magical Might, punya ciri khas berupa banyaknya kartu magic untuk membuat pasukan jadi lebih kuat.

Bilgewater punya julukan Risk and Reward. Seperti nilai hidup para bajak laut, Anda harus rela mengambil resiko besar untuk mendapatkan yang Anda inginkan. Rising Tides hadir dengan lebih dari 120 kartu dan 11 Champion dari semesta League of Legends, termasuk Miss Fortune, Fizz, dan Gangplank. Set kartu Rising Tides juga memperkenalkan enam mekanisme kartu baru, memberi opsi gameplay yang mendalam dan menarik untuk para pemain.

“Kami sangat senang dapat meluncurkan Legends of Runeterra secara resmi di seluruh dunia,” ujar Executive Producer Jeff Jew. “Komitmen kami tetap kuat terhadap gameplay interaktif yang strategis, pembuatan deck yang kaya, serta momen kemenangan yang luar biasa, dan inilah saat yang tepat untuk masuk dan menjelajahi segala yang ada di Runeterra. Sampai bertemu di dalam game!

Sumber: Riot Official Media
Sumber: Riot Official Media

Sebelumnya Riot sempat berbagi pandangannya soal rencana dalam pengembangan komunitas Runeterra di Indonesia. Diwakili Jennifer Poulson selaku Head of Publishing and Product for Southeast Asia, Riot Games mengatakan bahwa komunitas tetap menjadi yang utama, namun untuk sementara waktu mereka hanya menyokong komunitas online terlebih dahulu.

Legends of Runeterra sudah dapat diunduh untuk mobile (Android dan iOS) dan untuk PC. Jika Anda masih penasaran dengan game yang satu ini, Anda dapat mengunjungi laman resmi Legends of Runeterra SEA.

MVP Overwatch League Pindah dan Mulai Karir di Valorant

Pemain bintang Overwatch League, Jay Won (Sinatraa) mengumumkan kepergian yang sangat mengejutkan dari tim yang ia bela selama ini, San Francisco Shock. Ini menjadi cukup menarik, karena Sinatra sendiri merupakan pemain yang berhasil membawa San Francisco Shock menuju kemenangan yang gemilang pada Overwatch League tahun 2019.

Kepergiannya lebih mengejutkan lagi, karena Sinatra meninggalkan San Francisco Shock untuk mengejar karir di game FPS terbaru besutan Riot Games, Valorant. Ini mungkin terdengar seperti langkah yang terburu-buru dari Sinatra, karena Riot Games sendiri sudah mengatakan untuk tidak turun tangan langsung mengembangkan ekosistem esports Valorant dan melepasnya kepada pihak ketiga, pada tahun-tahun awal Valorant.

Namun antusiasme terhadap Valorant memang cukup tinggi, karena ESPN ataupun T1 sudah menyelenggarakan kompetisi, walau game ini masih berada dalam status closed-beta. Lewat sebuah twit, Sinatraa mengungkap alasan ia meninggalkan Overwatch yang dipicu oleh hilangnya rasa passion atas game bergenre Hero Shooter tersebut.

“Gue nggak tahu apa yang jadi pembunuh passion tersebut, tapi mungkin gaya main yang mengharuskan 2 tank 2 dps 2 support di Overwatch, mungkin karena sistem ban, gue tidak yakin. Satu yang gue tahu adalah bahwa berat rasanya hanya untuk log in, bermain, dan gue tidak merasakan sedikitpun kesenangan pada scrims/ranked yang gue lakukan.” Sinatra menjelaskan lebih lanjut soal hilangnya passion yang ia rasakan terhadap Overwatch.

“Ini bukan keputusan yang gue ambil dalam satu hari saja. Selama satu bulan gue nggak tidur karena stres dan terus memikirkan ini secara non-stop setiap hari. Gue tahu ini berat, tapi gue ingin melakukan sesuatu yang benar untuk diri gue sendiri.” Sinatra menjelaskan lebih lanjut.

Kepergian Sinatra menjadi kepergian besar lain di Overwatch League setelah beberapa pada awal Januari lalu, salah satu pionir liga franchise di esports ini ditinggal oleh 5 shoutcaster utama. Kepergian ini juga menjadi lampu kuning bagi OWL, karena pemain dengan karir paling cemerlang seperti Sinatra, bisa dengan mudah pergi dan pindah ke tempat dengan skena kompetitif yang belum terbentuk sempurna.

Pergi dari SF Shock, kini Sinatra berlabuh kepada tim Sentinels untuk bermain Valorant. MVP Overwatch League 2019 ini bermain bersama pemain Apex Legends, Jared Gitlin (Zombs) , Shahzeb Khan (ShahZam), dan Hunter Mims (Sick) yang merupakan mantan pemain CS:GO. Mereka akan bermain untuk mengisi konten dan juga bertanding dalam turnamen esports apapun yang ada dan akan tumbuh nantinya di Valorant.

https://twitter.com/Sentinels/status/1255291066028261377

Rob Moore Founder dan CEO tim Sentinels mengatakan dalam rilis. “Tujuan besar kami sebagai organisasi adalah untuk menghubungkan para penggemar kami dengan game terbesar, paling mengasyikkan di esports, dan merekrut pemain-pemain juara seperti pada divisi Fortnite dan Halo. Perekrutan terhadap Sinatra, Shazam, dan Sick akan menanamkan posisi kami lebih jauh sebagai rumah bagi pemain serta tim kelas dunia.”

Sentinels sendiri merupakan organisasi esports yang masih seumur jagung. Berdiri pada tahun 2019 lalu, namun tim ini menjadi rumah bagi juara dunia Fortnite, Kyle Giersdorf (Bugha).

Melihat keadaan ini sebenarnya memunculkan dua pertanyaan. Bagaimana masa depan Overwatch League nantinya? Akankah Valorant menjadi esports global menyaingi CS:GO dan Overwatch?

Rahasia Di Balik Kesuksesan Riot Games dengan League of Legends

Kebanyakan developer besar biasanya memiliki beberapa game atau bahkan beberapa franchise, seperti Ubisoft dengan Assassin’s Creed atau Electronic Arts dengan FIFA. Namun, tidak begitu dengan Riot Games. Selama bertahun-tahun, Riot hanya memiliki satu game, yaitu League of Legends. Menariknya, game tersebut masih dimainkan oleh jutaan orang, bahkan 10 tahun sejak diluncurkan. Tidak berhenti sampai di situ, Riot juga sukses dalam mengembangkan ekosistem esports dari League of Legends.

Tentu saja, kesuksesan Riot tidak dicapai dalam waktu singkat. Roma tidak dibangun dalam satu hari. Bagaimana perjalanan Riot sehingga ia bisa menjadi seperti sekarang?

Sejarah Riot

Riot Games didirikan pada Agustus 2006 oleh Marc Merrill dan Brandon Beck. Keduanya bukanlah developer game. Faktanya, Merrill dan Beck bertemu ketika mereka masih kuliah di University of Southern California. Mereka menjadi akrab karena mereka senang bermain game, khususnya game multiplayer seperti StarCraft dan EverQuest. Setelah lulus kuliah, Merrill dan Beck menempuh jalannya masing-masing. Beck bekerja di Bain & Company, perusahaan konsultasi ternama, sementara Merrill diterima di US Bank. Meskipun begitu, mereka merasa tidak puas dengan pekerjaan yang mereka tekuni. Tak lama kemudian, keduanya kembali bertemu di Los Angeles.

“Kami tinggal di apartemen kecil di West Hollywood,” kata Beck, dikutip dari Polygon. “Inilah awal mula Riot. Apartemen kami tidak punya banyak furnitur, tidak ada poster di tembok, pigura foto belum dipajang. Tapi, ada dua komputer gaming yang diletakkan di atas dua meja yang membentuk huruf ‘L’.”

Walau telah bekerja, baik Merrill dan Beck masih mencintai game. Mereka menghabiskan banyak waktu mereka bermain game. Tidak hanya itu, mereka juga aktif di forum internet, memberikan kritik atau pujian pada game favorit mereka. Sebagai fans hardcore, terkadang, mereka merasa frustasi ketika developer dari game-game yang mereka sukai tidak mendengarkan pendapat dari para fans. Ini membuat mereka berpikir, salah satu masalah developer game adalah mereka tak terlalu memedulikan game yang telah mereka luncurkan serta komunitas dari game-nya.

Dua pendiri Riot bukan merupakan developer.
Dua pendiri Riot bukan merupakan developer.

“Kami merasa frustasi ketika developer berhenti mendukung komunitas dari game yang kami mainkan,” ujar Beck. “Para developer seolah-olah dikejar untuk mengembangkan sesuatu yang baru. Padahal, kami pikir, mereka tidak perlu melakukan itu dan cukup mempertahankan game yang telah mereka luncurkan. Ada beberapa hal yang bisa mereka perbaiki untuk membuat ekosistem game bertahan lebih lama.” Dua game yang menjadi favorit Merrill dan Beck adalah StarCraft dan Warcraft 3. Memang, Blizzard memberikan dukungan yang cukup lama pada kedua game itu, walau pada akhirnya, fokus mereka pindah ke proyek lain. Uniknya, para fans dari dua game itu tetap aktif, baik dalam bermain ataupun dalam membuat mod. Ada dua mod yang menginspirasi Merrill dan Beck untuk membuat game ber-genre Multiplayer Online Battle Arena, yaitu Aeon of Strife, mod dari StarCraft dan DotA: Allstars, mod dari Warcraft 3.

Ketika Beck dan Merrill memutuskan untuk membuat game sendiri, orang pertama yang mereka rekrut adalah Steve “Guinsoo” Feak, salah satu desainer yang mengembangkan DotA: Allstars. Mereka bertiga lalu merekrut beberapa orang lain yang juga ikut mengembangkan DotA: Allstars. Setelah itu, mereka langsung mencoba membuat gameGame pertama yang Riot buat jauh berbeda dari League of Legends yang ada sekarang. Meskipun begitu, game tersebut sudah memiliki struktur layaknya game MOBA. Ketika itu, Riot menamai game-nya Onslaught.

“Nama game kami sangat jelek,” kata Merrill sambil tertawa. “Kami menjadikan musik metal sebagai background music. Minion terlihat seperti makhluk undead.” Meskipun begitu, Merrill dan tim Riot lainnnya bangga akan game yang mereka buat. Pada 2007, Riot mengikuti Game Developers Conference di San Francisco, membawa demo dari game mereka. Di sana, Merrill dan Beck bertemu dan berdiskusi dengan banyak publisher game. Sayangnya, tidak ada publisher yang mau merilis game buatan Riot.

Co-founders Riot Games. | Sumber: GameSpot
Co-founders Riot Games. | Sumber: GameSpot

Namun, diskusi tersebut membantu Merrill dan Beck memahami siklusi penerbitan game. Mereka sadar bahwa publisher biasanya meluncurkan game baru secara rutin. Dalam diskusi dengan Riot, para publisher membahas tentang bagaimana cara agar mereka bisa merilis kelanjutan dari game Riot secara rutin. Ini berbeda dari apa yang Beck dan Merrill inginkan. Riot tak ingin membuat franchise yang akan menelurkan game baru secara rutin. Mereka ingin membuat satu game multiplayer online dan terus mengembangkannya seiring dengan waktu. Mereka juga ingin membuat game gratis dengan model bisnis microtransaction. Meski sekarang game dengan model bisnis microtransaction sudah banyak, pada 2007, tidak banyak publisher game yang tahu tentang model bisnis tersebut. Karena itu, tidak heran jika para publisher menolak untuk merilis game buatan Riot.

“Pada awalnya, kami hanya ingin menjadi developer game,” ungkap Merrill. “Kami tidak berencana untuk masuk ke bisnis penerbitan game. Tapi, ketika kami bertemu dengan para publisher, kami sadar bahwa kami tidak bisa menyerahkan hidup-mati game kami pada mereka.”

Tim Riot lalu kembali ke Los Angeles. Merrill and Beck mengganti fokus mereka, dari mencari publisher menjadi mencari dana investasi. Pada pertengahan 2007, Riot juga memutuskan untuk mengganti nama game mereka, dari Onslaught menjadi League of Legends: Clash of Fates.

Peluncuran League of Legends

Pada 2008, Riot meluncurkan versi pre-alpha dari game mereka, yang ketika itu dinamai League of Legends: Clash of Fates. Di tahun yang sama, mereka juga menandatangani kerja sama dengan Tencent untuk meluncurkan game mereka di Tiongkok. Tidak banyak developer yang langsung bekerja sama dengan publisher asing ketika mereka belum lama berdiri. Namun, Beck dan Merrill memang mengincar pasar internasional dengan League of Legends. Tencent tampaknya mengerti ambisi Riot tersebut. Beck mengungkap, Tencent memiliki filosofi yang sama dengan Riot.

Seiring dengan bertumbuhnya Riot, Merrill dan Beck terus mencari pekerja baru. Saat mencari pekerja baru, keduanya lebih mementingkan passion daripada pengalaman kerja. Para pekerja Riot — yang disebut Rioters oleh Merrill dan Beck — terus mengembangkan League of Legends. Pada pertengahan 2008, mereka menemui masalah. Mereka ingin mengganti platform backend yang telah gunakan selama bertahun-tahun. Merrill bercerita, Riot mau tidak mau membuat platform baru dengan cepat agar mereka bisa meluncurkan game mereka sesuai target, yaitu pada musim gugur 2009. Proses pembuatan platform yang terburu-buru ini akan menyebabkan lebih banyak masalah untuk Riot di masa depan.

Pada awalnya, Riot menggunakan nama League of Legends: Clash of Fates. | Sumber: Co-optimus
Pada awalnya, Riot menggunakan nama League of Legends: Clash of Fates. | Sumber: Co-optimus

Sebelum meluncurkan League of Legends, Riot memutuskan untuk menghapus subtitle “Clash of Fates”. Pada awalnya, mereka ingin menggunakan subtitle untuk menggambarkan isi update konten di masa depan. Namun, pada akhirnya, mereka memutuskan untuk tidak menggunakan subtitle sama sekali.

Beck mengaku, Riot tidak mengira bahwa akan ada begitu banyak gamer yang tertarik untuk memainkan League of Legends. Alasannya, game tersebut sulit untuk dikuasai. “Seorang pemain harus sangat berdedikasi agar bisa menguasai dan menikmati game kami,” ujar Beck. “Fakta bahwa ada banyak orang yang tertarik untuk memainkan game itu, kami sama sekali tidak menduganya.” Dalam waktu dua bulan sejak diluncurkan, League of Legends meraih pencapaian pertama mereka, yaitu dimainkan oleh 100 ribu pemain secara bersamaan. Para Rioters merayakan hal ini, walau mereka tetap bekerja keras untuk memastikan bahwa game dan server berjalan dengan lancar. Seiring berjalannya waktu, jumlah pemain League of Legends terus bertambah.

Riot pun harus menambah karyawannya. Pada 2009, Riot kembali mencari investor. Salah satu perusahaan yang menjadi investor mereka adalah Tencent. Uang yang mereka dapat dari investor lalu digunakan untuk mempekerjakan pegawai baru, memperbaiki bug dan masalah teknis pada game lainnya, serta membuat konten baru.

Setelah League of Legends diluncurkan, Riot sadar bahwa mereka akan harus memberikan update konten secara berkala. Mereka sempat bingung akan konten baru apa yang para pemain inginkan: apakah mereka harus membuat mode single-player ataukah mereka harus menyediakan peta dan mode baru? Pada akhirnya, Riot sadar bahwa para pemain hanya ingin pendalaman dari core gameplay yang telah ada.

Pada 2010 dan 2011, Riot fokus untuk menemukan ritme dalam menyediakan konten baru. Saat ini, mereka juga mulai menyadari bahwa para gamer League of Legends tidak hanya senang untuk bermain, mereka juga senang menonton orang lain memainkan game tersebut.

Kemunculan Esports League of Legends

Selama bertahun-tahun, Merrill dan Beck bermain StarCraft. Jadi, mereka tidak heran dengan keberadaan turnamen untuk game seperti StarCraft. Sebelum mendirikan Riot, keduanya bahkan sempat mempertimbangkan untuk membuat liga esports sendiri, yang akan dinamai Ultimate Gaming League (UGL). Hanya saja, pada 2011, ekosistem esports belum berkembang sepesat sekarang. Saat Riot pertama kali meluncurkan League of Legends, mereka juga tidak berencana untuk mengadakan turnamen sendiri.

Turnamen League of Legends dimulai oleh para fans. Pada musim panas 2010, ekosistem esports League of Legends telah berkembang sedemikian rupa sehingga Riot tak bisa mengacuhkannya begitu saja. Mereka lalu mengumumkan turnamen League of Legends pertama yang disebut “Season One“. Ketika itu, Season One Championship merupakan bagian dari DreamHack Summer 2011, kegiatan esports yang menyertakan kompetisi Counter-Strike: Global Offensive dan StarCraft 2.

Turnamen pertama League of Legends adalah League of Legends Season One pada 2011. | Sumber: Game Life
Turnamen pertama League of Legends adalah Season One. | Sumber: Game Life

“Saya ingat, kami hanya menyediakan 20 kursi lipat. Kami memutuskan untuk menyiarkan pertandingan walau kami tidak tahu apakah akan ada orang yang tertarik untuk menonton,” kenang Beck tentang Season One Championship. “Kami mendapatkan 100 ribu concurrent viewers, yang sangat mengejutkan bagi kami. Saat itulah kami sadar bahwa para pemain League of Legends senang menonton pertandingan esports dan kami mulai memikirkan esports dengan lebih serius.”

Beck, Merrill, dan tim Riot lalu memutuskan untuk mengadakan turnamen sendiri daripada meminta bantuan pihak ketiga. Itu berarti, mereka harus membuat jadwal turnamen selama setahun dan menyiarkan video pertandingan secara rutin. Untuk mengembangkan ekosistem esports League of Legends, mereka sadar bahwa mereka harus menyiapkan dana besar dan siap dalam menghadapi berbagai tantangan.

Satu tahun kemudian, pada Oktober 2012, Riot mengadakan Season Two World Championship. Mereka memutuskan untuk mengadakan pertandingan group stage di ruang terbuka karena dianggap unik. Selain itu, ini juga bisa menarik orang-orang untuk menonton jalannya pertandingan. Terbukti, cukup banyak orang yang menonton turnamen tersebut. Namun, muncul satu masalah tak terduga. Di tengah pertandingan antara Team WE dari Tiongkok dengan Counter Logic Gaming dari Eropa, koneksi internet terputus.

“Kami tidak menggunakan server lokal,” kata Beck menjelaskan. “Ketika itu, kami belum punya server yang bisa kami bawa kemana pun kami pergi.” Mau tak mau, pertandingan pun harus diulang. Sayangnya, hal serupa kembali terjadi. Pada akhirnya, Riot menyerah dan meminta para penonton untuk pulang tanpa menyelesaikan pertandingan. “Rasa bersalah yang kami rasakan — kami benar-benar merasa bersalah pada semua pemain yang turut serta,” ujarnya. Dari sini, Riot belajar bahwa mereka harus selalu menyiapkan rencana cadangan, menghadapi skenario terburuk yang mungkin terjadi.

Kerja keras Riot berbuah manis. Saat ini, League of Legends adalah salah satu game esports paling populer di dunia. Game tersebut juga dianggap sebagai salah satu game paling berpengaruh ke ekosistem esports. Bahkan sekarang (setidaknya sampai artikel ini ditulis), League of Legends memiliki liga di beberapa kawasan, seperti Amerika Utara, Eropa, Korea Selatan, Tiongkok, Asia Pasifik, dan lain sebagainya.

League of Legends Pro League di Tiongkok. | Sumber: The Rift Herald
League of Legends Pro League di Tiongkok. | Sumber: The Rift Herald

Beberapa liga League of Legends — seperti di Amerika Utara dan Tiongkok — telah menggunakan model franchise. Belum lama ini, Roit mengumumkan rencana mereka untuk menerapkan sistem franchise di League of Legends Champions Korea. Salah satu organisasi esports populer di Korea Selatan, Gen.G, telah memastikan bahwa mereka tertarik untuk ikut dalam liga tersebut.

Apakah ini berarti model franchise akan menjadi masa depan dari esports League of Legends? Dalam email kepada Hybrid.co.id, Chris Tran, Head of Esports, Riot Games, Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan menjelaskan, “Penggunaan model franchise memungkinkan tim-tim yang ikut serta, liga, dan rekan untuk bekerja sama mengejar tujuan yang sama, memberikan pengalaman yang memuaskan pada fans, dan memberikan kepastian pada para tim dan pemain. Agar model franchise bisa digunakan, sebuah liga esports harus sudah memiliki ekosistem dan infrastruktur yang memadai, dan mengembangkan dua hal ini memakan waktu yang tidak sebentar.

“Seiring dengan berkembangnya ekosistem esports League of Legends di kawasan lain, tidak terutup kemungkinan, kami akan menggunakan model franchise di kawasan tersebut,” ujar Chris. “Kami ingin membuat esports menjadi olahraga yang bisa bertahan selama beberapa generasi. Menggunakan model franchise adalah salah satu cara yang memungkinkan kami mencapai tujuan tersebut.” Dia mengungkap, model franchise bukanlah sistem baru. Model serupa telah digunakan di olahraga tradisional, termasuk sepak bola.

Game-Game Baru Riot

Oke, Riot memang sukses dengan League of Legends. Namun, selama bertahun-tahun, mereka dianggap sebagai studio one-hit wonder karena tidak meluncurkan game baru selain League of Legends. Hal ini berubah pada 2019. Tahun lalu, Riot mendadak mengumumkan sejumlah game baru, yaitu Teamfight Tactics, Valorant, Legends of Runeterra, dan League of Legends: Wild Rift.

Justin Hulog, General Manager, Riot Games di Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan mengungkap, Riot sebenarnya telah mengembangkan beberapa game baru selama beberapa tahun belakangan. Tentu saja, mereka juga tidak lupa untuk membangun League of Legends dan properti intelektual mereka. Dia mengungkap, meski Riot memiliki banyak ide untuk game baru tapi hanya sedikit yang akhirnya mereka realisasikan.

“Tujuan kami adalah untuk memberikan sesuatu yang unik pada genre game yang berbeda-beda. Kami harap, hal ini akan membuat game-game kami disukai oleh para gamers. Kami percaya, dengan memberikan gameplay yang menarik dan komunitas yang sehat, kami akan akan sukses. Tapi, bukan itu tujuan kami.”

Riot baru merilis Teamfight Tactics pada tahun lalu. | Sumber: ONE Esports
Riot baru merilis Teamfight Tactics tahun lalu. | Sumber: ONE Esports

Justin mengatakan, ada dua fokus Riot. Pertama, mengembangkan game yang disukai banyak gamer. Kedua, bertahan pada komitmen player-first, yang berarti mereka siap mendengarkan masukan para pemain dan mengembangkan komunitas gamer. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan membuat Dev Diaries. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, dia mengatakan, Riot sangat aktif di Facebook Page dan server Discord SEA.

Sayangnya, itu bukan berarti tidak ada para pemain League of Legends dan fans Riot yang bersikap toxic. Dalam game, Anda masih akan menemukan orang-orang yang merusak kesenangan bermain pemain lain, baik dengan melontarkan komentar berbau rasis atau seksis maupun mencaci-maki pemain lain. Untuk mengatasi hal ini, Justin menyebutkan, Riot menetapkan metode baru, yang dinamai Player Dynamics, pada bulan lalu. Dia menjelaskan, mereka memelajari perilaku para pemain dan menyediakan alat komunikasi dengan tujuan untuk memberikan pengalaman bermain yang lebih baik.

“Ketika kami meluncurkan game multiplayer baru, kami ingin memastikan bahwa kami telah melakukan semua yang kami bisa untuk memberikan pengalaman terbaik bagi para pemain. Kami akan memerhatikan interaksi antar pemain dalam tahap awal pengembangan game. Jadi, ketika kami akhirnya meluncurkan game baru, kami telah tahu cara memastikan para pemain dan komunitas dapat berkembang dengan baik,” ujar Justin.

Ekosistem Esports dari Game Baru Riot

Mellihat kesuksesan scene esports dari League of Legends, tidak heran jika Riot juga tertarik untuk mengembangkan ekosistem esports dari game mereka yang lain. Belum lama ini, mereka mengungkap skema kompetisi global Teamfight Tactics. Dinamai Teamfight Tactics: Galaxies Championship, kompetisi tersebut akan diikuti oleh 16 pemain dari 8 regional dengan total hadiah Rp3,1 miliar.

Tidak hanya itu, Riot juga telah membahas rencana mereka terkait ekosistem esports dari Valorant. Padahal, game tersebut bahkan belum resmi diluncurkan. Riot mengungkap, mereka tidak akan turun tangan langsung dalam mengembangkan ekosistem esports Valorant, lain halnya dengan League of Legends. Menariknya, beberapa organisasi esports profesional bahkan telah mengadakan turnamen sendiri, seperti 100 Thieves dan T1.

Valorant kini masih ada dalam tahap closed beta.
Valorant kini masih ada dalam tahap closed beta.

“Semua developer punya mimpi untuk melihat ekosistem esports dari game mereka mencapai tingkat internasional. Namun, kami juga sadar bahwa esports harus melibatkan komunitas agar ia bisa tumbuh dengan saran dan masukan dari para pemain,” ujar Chris. “Kami tidak mau mendikte para pemain dan organisasi esports profesional tentang apa arti esports. Kami ingin memberikan kesempatan pada mereka, yang merupakan rekan kami, untuk mendefinisikan esports. Kami akan belajar dari pengalaman mereka memainkan game kami dan mencari tahu apa yang mereka butuhkan.”

Chris tidak membantah bahwa Riot memang ingin mengembangkan ekosistem esports Valorant. Namun, mereka juga tidak ingin tergesa-gesa. Dia mengungkap, hype akan scene esports Valorant jauh lebih tinggi dari saat mereka mencoba membangun ekosistem esports untuk League of Legends. Karena itu, mereka ingin dapat bekerja sama dengan pihak ketiga. “Pada akhirnya, kami ingin memberikan esports scene terbaik untuk para pemain kami. Dan kami sedang melihat apakah bekerja sama dengan pihak ketiga memang cara terbaik untuk mencapai tujuan itu,” kata Chris.

Keuangan Riot

Kesuksesan League of Legends tidak hanya karena mekanisme dari game tersebut, tapi juga didukung oleh cara Riot menjalankan bisnis mereka. Pada 2011, League of Legends telah terbukti sebagai game populer. Saat itu, Merrill dan Beck ingin mengurangi jumlah investor mereka. Jadi, kedua pendiri Riot tersebut menjual sebagian besar saham perusahaan mereka pada Tencent.

“Investor finansial biasanya memiliki target waktu kembali investasi yang lebih singkat,” kata Merrill. “Kami merasa, lebih baik jika kami hanya memiliki satu pemegang saham, tapi mereka memiliki visi yang sama dengan kami daripada memiliki banyak investor dengan visi yang berbeda-beda.” Walau sempat mengalami masalah dengan Tencent, Riot bisa beroperasi secara mandiri. Beck bahkan menyebutkan, kebanyakan pekerja Riot tidak pernah bertemu dengan perwakilan Tencent. Dengan ini, Riot bisa fokus untuk mengembangkan League of Legends.

Dalam waktu lama, League of Legends adalah satu-satunya game Riot. Namun, game tersebut terbukti mampu menghasilkan pemasukan yang tidak sedikit. Pada 2019, 10 tahun sejak League of Legends diluncurkan, Riot mendapatkan US$1,5 miliar dari game MOBA itu. Ini menjadikan League of Legends sebagai game gratis dengan pemasukan terbesar kedua setelah Fortnite, yang meraup US$1,8 miliar.

Grafik pendapatan Riot Games selama empat tahun.
Grafik pendapatan Riot Games selama empat tahun.

Pemasukan Riot dari League of Legends pada 2019 naik jika dibandingkan dengan pemasukan pada 2018, yang hanya mencapai US$1,4 miliar. Meskipun begitu, angka itu masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan pendapatan Riot pada 2017 (sebesar US$2,1 miliar) dan 2016 (sebesar US$1,7 miliar), menurut laporan Dot Esports.

Riot di Asia Tenggara

League of Legends mungkin menjadi salah satu game terpopuler di dunia. Meskipun begitu, game tersebut tidak terlalu terdengar gaungnya di Indonesia. Pada sekitar 2015-2016, Riot Games sempat membuka lowongan untuk posisi Country Manager di Indonesia. Meskipun begitu, tidak ada informasi lanjut tentang keputusan Riot untuk berbisnis di Indonesia. Terkait hal ini, Justin Hulog, General Manager, Riot Games di Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan menjelaskan, pada awalnya, Riot memang berencana untuk mencari Country Manager untuk setiap negara di Asia Tenggara. Meskipun begitu, Riot akhirnya memutuskan untuk mengubah strategi mereka dan mengonsolidasi tim mereka di satu tempat.

“Indonesia adalah pasar penting bagi kami. Dalam beberapa tahun ke depan, kami berencana untuk menanamkan investasi dan menumbuhkan bisnis kami di sini, serta memberikan pengalaman bermain game terbaik pada para pemain Indonesia,” ujar Justin. “Sayangnya, itu bukan berarti kami harus membuat tim besar di negara tersebut.”

Justin mengaku, Riot punya rencana yang “ambisius” untuk kawasan Asia Tenggara. Dan saat ini, telah ada banyak Rioters dari seluruh dunia yang mendukung bisnis mereka di SEA, baik dalam bentuk player support, finansial, esports, maupun marketing. “Salah satu fokus utama kami saat ini adalah untuk memberikan game PC dan mobile terbaik untuk gamer Indonesia. Legends of Runeterra adalah salah satu game terbaru kami yang akan diluncurkan pada 1 Mei 2020. Kami harap, para pemain Indonesia akan menyukai game ini,” ujar Justin.

Di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, esports League of Legends juga tidak terlalu populer. Ketika ditanya tentang hal ini, Chris Tran menjelaskan bahwa membangun ekosistem esports memakan waktu yang tidak sebentar. Salah satu bukti komitmen Riot dalam mengembangkan scene esports League of Legends di Asia adalah keberadaan Pacific Championship Series (PCS). Turnamen tersebut merupakan gabungan dari liga League of Legends di kawasan Hong Kong, Taiwan, dan Macau serta liga di kawasan Thailand, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. “Turnamen ini akan menciptakan infrastruktur esports yang berkelanjutan, membuat persaingan antar tim menjadi semkain ketat dan memberikan kestabilan finansial yang lebih baik,” ujar Chris.

Lebih lanjut, Chris menjelaskan, salah satu cara yang Riot lakukan untuk mempopulerkan game mereka adalah dengan menggandeng perusahaan lokal agar para gamer di satu negara dapat mengakses game mereka dengan lebih mudah. Dia berkata, “Misalnya, kami bekerja sama dengan Redd+E untuk mendistribusikan hak siar PCS di seluruh Asia Tenggara.” Dia juga menyebutkan, ada beberapa turnamen League of Legends yang diadakan di kawasan Asia. Misalnya, Mid-Seasonal Invitational 2019 yang diadakan pada Taiwan, Hyperplay pada 2018 di Singapura, serta eksibisi esports League of Legends pada Asian Games 2018 yang diselenggarakan di Jakarta.

Kesimpulan

Meskipun dengan cara yang tidak biasa — fokus pada satu game selama bertahun-tahun — Riot berhasil mencapai sukses. Selain itu, mereka juga dapat mengambil kesempatan untuk mengembangkan esports dengan cepat. Jadi, tidak heran jika ekosistem esports League of Legends sudah sangat mumpuni. Namun, itu bukan berarti Riot puas dengan apa yang sudah dicapai.

Pada tahun 2019, mereka mengumumkan dua game baru, yaitu Teamfight Tactics dan League of Legends: Wild Rift. Sementara pada tahun ini, mereka berencana meluncurkan dua game lain, yaitu Legends of Runneterra dan Valorant. Mereka juga sudah mempertimbangkan cara untuk mengembangkan ekosistem esports dari game-game barunya. Namun demikian, saat ini kondisinya akan berbeda dengan sebelumnya karena mereka harus menangani lebih dari satu game. Apakah mereka masih bisa menanganinya sebaik mereka mengembangkan LoL? Kita tunggu saja…

T1 Juara LCK Spring Playoff 2020, Libas Gen.G 3-0

Akhir pekan lalu adalah puncak dari gelaran League of Legends Champions Korea (LCK) Spring Season 2020. Pada Grand Final babak Playoff, T1 melibas pemuncak klasemen babak Regular Season, Gen.G, 3-0 dengan cukup mudah.

Kemenangan ini menjadi kemenangan ke sembilan kali bagi sosok midlaner senior yang sudah bersama tim ini sejak masih bernama SKT, Lee Sang-Hyeok (Faker). Memang roster T1 musim ini tampil dengan sangat solid, menunjukkan permainan tanpa celah yang membuat Gen.G kelabakan. Bukti dari ini adalah sang Jungler, Moon Woo-chan (Cuzz) yang mendapat gelar MVP berkat rotasi serta permainan apik yang ia tunjukkan.

Tak hanya dari segi permainan, T1 juga menunjukkan drating yang solid sepnajang seri pertandingan. Kim Jeong-soo, pelatih Damwon Gaming yang diambil oleh T1 pada masa off-season menunjukkan pola drafting yang sangat lihai sehingga Gen.G jadi kesulitan.

Sumber: Invenglobal
T1 saat diwawancara oleh awak media setelah memenangkan LCK Spring Playoff 2020. Sumber: Invenglobal

Game pertama diselesaikan oleh T1 dalam durasi 45 menit. First blood didapatkan T1 setelah Cuzz berhasil menangkap Azir milik Gwak Bo-seong (bdd) dari tim Bdd di sungai. Selama fase awal, Sylas dari Kim Chang-dong (Canna) babak belur, namun duet botlane T1 ternyata berhasil mendominasi.

T1 mungkin tidak memimpin perolehan net-worth, tetapi mereka berhasil mengendalikan area objektif dengan sangat baik. Walau Gen.G berhasil bertahan dengan tiga Dragon yang ia dapatkan, tapi gap sudah terlalu jauh membuat mereka terpaksa kalah di game 1.

Game kedua, Gen.G mencoba untuk mengalahkan T1 dengan melakukan ban pada 3 Champion Jungle. Graves masuk daftar karena sangat mengganggu ketika dimainkan oleh Cuzz pada game pertama. T1 menggunakan komposisi hampir mirip, kali ini mengambil Varus untuk melawan Ezreal dari Gen.G.

Sylas dari Canna lagi-lagi dihabisi oleh Ornn milik toplaner tim Gen.G, Kim Kwang-hee (Rascal). Ini segera dimanfaatkan oleh Gen.G untuk menekan bot-lane sehingga berhasil membuuh Varus dan Karma. Sementara dua side-lane dimenangkan, Gen.G lengah membiarkan Corki dari Faker memimpin 3 ribu gold melawan Zilean dari bdd.

Akhirnya dari sini keadaan menjadi seperti bola salju. Gen.G mulai luluh lantah. T1 mengambil Baron membuat mereka bisa amankan lebih banyak kill. Sampai pada akhirnya damage dari Corki dan Varus terlalu besar hingga tak terbendung lagi oleh Nexus tim Gen.G.

Masuk game 3, T1 pindah ke sisi biru. Pertarungan antara Canna melawan Rascal di top-lane kini berbalik. Jayce dari Rascall berkali-kali terbunuh oleh Ornn dari Canna. Walau ada gank dari Sejuani yang dimainkan Kim Tae-min (Clid), namun Gen.G tetap kesulitan untuk mengalahkan dominasi Canna, membuat Jayce semakin ketinggalan.

Zilean dari bdd jadi harapan terakhir bagi Gen.G, tapi sayang harapan itu pupus lagi di hadapan Faker. Pada akhirnya setelah mendapatkan Baron, T1 segera menyerang markas Gen.G, dan memenangkan gelar LCK 2020 Spring Championship.

Soal kemenangannya Faker berkata kepada Invenglobal. “Saya masih tidak percaya bisa memenangkan kejuaraan ini sebanyak 8 kali. Ini rasanya sangat luar biasa bagi kami bisa memenangkan sangat banyak kejuaraan.”

Selamat bagi kemenangan T1. Pada akhirnya Faker masih menunjukkan taringnya sebagai pemain terkuat di skena League of Legends Korea. Akankah Korea Selatan bisa kembali mendominasi skena internasional di musim ini?

G2 Esports Ingin Ekspansi ke Valorant dan Mendominasi Kompetisi

G2 Esports, organisasi esports asal Jerman yang baru saja memenangkan League of Legends European Championship 2020, mengatakan bahwa mereka ingin ekspansi ke Valorant dan mendominasi kompetisi. Hal ini diucap sendiri oleh Carlos Rodriguez Santiago (Ocelote), saat diwawancara oleh outlet media luar, Sky Sports.

Lewat wawancara tersebut Ocelote memberikan pendapatnya soal Valorant, dan juga rencana ekspansi G2 ke ranah FPS besutan Riot Games tersebut. “Game tersebut dirancang dengan sangat baik, berjalan dengan mulus, semua elemen game sangat tepat guna dan tak ada yang tak berguna di sana.” Ucap Ocelote membahas Valorant.

Sumber: Riot Games Official Media
Wajah sumringah Carlos Rodriguez Santiago (Ocelote) founder G2 Esports setelah timnya memenangkan League of Legends European Championship. Sumber: Riot Games Official Media

“Awalnya mungkin akan membuat bingung, tetapi Valorant sebenarnya sangat sederhana. Namun kesederhanaan tersebut malah membuat Valorant menjadi sangat dalam. Game ini memiliki semua yang dibutuhkan, tak berlebihan, tetapi juga tidak kekurangan. Hal itu membuat Anda bisa menjadi pemain yang hebat di Valorant dari berbagai sudut dan berbagai map. Valorant adalah game yang sempurna, saya sangat merasa bahwa ini adalah game yang sangat sempurna.” Ocelote menjelaskan opininya soal Valorant secara lebih lanjut.

G2 Esports saat ini sudah memiliki beberapa konten seputar Valorant. Mereka membuat playlist khusus untuk Valorant dan berencana mengadakan turnamen bertajuk European Brawl yang akan dimulai pada 27 April 2020 mendatang. Mereka juga sudah mempersiapkan diri dengan merekrut dua streamer Twitch yang terkenal dengan nama panggung Lothar dan Orb.

“G2 akan menjadi juara dunia Valorant pada suatu masa nanti. Seiring untuk mencapai hal tersebut, kami juga telah membuat berbagai konten dan turnamen Valorant. Silahkan berharap banyak kepada kami, karena Valorant akan menjadi game utama bagi G2 Esports.” Ocelote memberikan pernyataan berani.

Saat ini G2 Esports memiliki enam tim dari enam esports games yang berbeda. Secara historis, juara dunia memang menjadi tradisi bagi G2 Esports. Mereka menjadi juara dunia di skena Rainbow Six: Siege lewat gelaran Six Invitational 2019. Tak hanya itu, G2 Esports di League of Legends sudah mendapat 7 gelar juara Eropa, walau harus puas hanya menjadi runner-up di tingkat dunia setelah kalah oleh FunPlus Phoenix.

Ini bukan untuk pertama kalinya ada organisasi esports menyatakan ketertarikannya untuk berkompetisi ataupun terjun ke dalam komunitas Valorant. T1 mungkin menjadi yang pertama, saat mereka merekrut Brax, ex-pemain CS:GO untuk menjadi streamer Valorant.

Melihat banyak elemen ekosistem esports yang tertarik, sepertinya tinggal tunggu waktu saja hingga Valorant menjadi game dan esports global setelah rilis musim panas 2020 nanti.