Mengenal Startup Proptech Rukita, Sajikan Layanan Co-Living

Konsep hunian co-living atau komunal memang bukan hal baru di Indonesia. Namun belakangan sejumlah startup mulai menggarap konsep ini sebagai turunan dari sektor proptech yang kian subur. Rukita adalah salah satu pemain yang namanya mencuat sebagai pembesut konsep hunian komunal ini.

Co-living di Rukita memberi penghuni kenyamanan tempat tinggal yang mendukung interaksi sosial dengan ketersediaan ruang-ruang komunal tanpa mengabaikan privasi penghuni yang tetap terjamin dengan kamar tidur pribadi,” ujar CEO & Co-Founder Sabrina Soewatdy dalam pernyataan tertulisnya.

Pada dasarnya Rukita menawarkan kamar berlangganan. Ini artinya Rukita menyediakan semua kebutuhan kamar bagi penghuni, baik itu kamar indekos atau apartemen. Rukita juga membuat program-program komunitas untuk mendorong para penghuninya saling berinteraksi. Program-program ini yang dimaksud oleh Rukita sebagai hunian co-living.

Model bisnis

Kamar yang dikelola Rukita selama setahun beroperasi tersebar di Jadetabek. Total ada 3000 kamar yang mereka kelola. Adapun sistem kerja sama mereka dengan para pemilik properti adalah sistem bagi pendapatan (revenue sharing).

Rukita mengurus dari layanan manajemen properti, renovasi, pemeliharaan, operasional, hingga pemasaran. Dengan kata lain pemilik hunian cukup terima bagi hasilnya saja.

Sabrina mengatakan yang membedakan mereka dengan penyewaan properti daring lainnya adalah pengecekan latar belakang calon penghuni. Ia memberi contoh pasangan yang belum menikah dan penyewaan hunian harian sebagai dua masalah sosial yang kerap muncul dari penyewaan harian.

“Sejalan dengan komitmen untuk membangun bisnis yang berkelanjutan di sektor proptech, kami menargetkan ekspansi layanan di wilayah Jabodetabek dengan berfokus pada jaminan kualitas sebagai prioritas utama kami,” imbuh Sabrina.

Dengan model penyewaan tempat hunian seperti itu, sudah ada beberapa startup yang tawarkan layanan serupa di Indonesia. Salah satunya Mamikos, mereka tidak hanya menampilkan layanan listing indekos dan apartemen, tapi juga bekerja sama dengan pemilik properti untuk pengelolaan.

Segmen pasar

Latar belakang Rukita sendiri berasal dari kebutuhan tempat tinggal bagi kelompok usia milenial yang terus membesar hingga 2035, yang mana sekitar 34% jumlah penduduk berasal dari kelompok usia itu. Potensi masalah muncul karena 69,4% (Millennial Report 2019) dari kelompok kiwari ini belum memiliki rumah. Sementara harga properti di Indonesia, khususnya Jakarta, jauh dari daya beli konsumen.

Sabrina mengatakan konsep hunian mereka cocok untuk kelompok milenial yang tinggal di wilayah urban mulai dari urban, eksekutif muda, dan pekerja asing di Indonesia.

“Kami hadir untuk meningkatkan gaya hidup yang lebih baik bagi kaum milenial, di mana kami percaya bahwa seseorang akan memiliki hidup yang lebih baik saat ia tinggal di hunian yang mendukung kebutuhannya,” ucap Sabrina.

Dari aspek pendanaan, Rukita terakhir mendapat suntikan pendanaan awal yang dipimpin oleh Sequoia Surge pada pertengahan tahun lalu. Sabrina menyebut tahun ini prioritasnya adalah mempertahankan kualitas layanan. Namun ia tak menyangkal bahwa pembicaraan tentang pendanaan masih terus berjalan.

Application Information Will Show Up Here

Tiga Startup Indonesia Terpilih dalam Surge, Program Akselerasi Milik Sequoia

Surge, program akselerator dari Sequoia India, memperkenalkan tiga startup baru asal Indonesia yang menjadi bagian dari program akselerasi mereka pada 2019 ini.

Surge kini telah menjalankan dua gelombang program akselerasi. Gelombang kedua Surge menghadirkan 20 startup asal India dan Asia Tenggara, tiga di antaranya dari Indonesia yakni Storie, Chilibeli, dan Rukita.

Storie sendiri adalah platform yang berisi review produk gaya hidup untuk memberi referensi bagi konsumen. Sementara Chilibeli adalah platform social commerce yang menghubungkan petani dengan agen dalam memasarkan produknya. Sedangkan Rukita merupakan startup proptech yang membuat solusi co-living untuk milenial di perkotaan.

Gelombang sebelumnya yang diikuti 17 startup, Surge juga memilih dua startup asal Indonesia yakni Bobobox dan Qoala.

Dalam program ini Surge menggelontorkan US$1 juta hingga US$2 juta kepada masing-masing startup. Adapun pembekalan yang diberikan meliputi cara melakukan pendanaan, akses ke mentor kelas dunia, pengembangan talenta, hingga studi banding ke pusat-pusat teknologi dunia.

“Program ini membawa startup terpilih untuk belajar ke kota-kota seperti Singapura, Bengaluru, Beijing, hingga Silicon Valley,” ujar Director Surge Rajan Anandan.

Nama Sequoia Capital sebagai venture capital cukup harum di Indonesia karena sejumlah investasi besar yang ia berikan kepada startup ternama seperti Tokopedia, Gojek, atau Traveloka. Kehadiran Surge sebagai akselerator startup berusia dini jadi taring baru Sequoia.

Namun menurut Rajan, Sequoia sudah lama aktif mendukung startup berusia dini. Adapun alasan mereka membentuk Surge adalah besarnya peluang yang tercipta dari startup baru yang kerap diikuti oleh besarnya kendala yang harus dihadapi.

“Memulai sebuah perusahaan sangat sulit, ada begitu banyak tantangan seperti fundraising, hiring, membangun fondasi perusahaan, mencari mentor yang tepat, hingga menggelar pendanaan baru. Pengumpulan dana jauh lebih berat ketika perusahaan masih berstatus seed,” imbuh Rajan.

Selesai dengan gelombang kedua, Surge mengumumkan pendaftaran program gelombang berikutnya sudah bisa diikuti. Surge tidak menargetkan jumlah startup yang akan mereka bina namun menekankan startup ideal adalah founder yang andal dan industri yang masih punya ruang cukup besar untuk dieksplorasi.

Program akselerasi Surge berlangsung selama sepekan dalam empat bulan. Sistem yang mereka gunakan pun bersifat open architecture, artinya investor lain bisa ikut dalam putaran pendaan Surge yang pertama.

Seperti dalam laporan Google & Temasek 2019, Asia Tenggara masih menjadi kawasan seksi bagi para pelaku ekonomi digital. Dalam laporan terbaru itu, ekonomi yang dimotori internet di kawasan Asia Tenggara mencapai US$100 miliar dan angka itu diprediksi terus meroket hingga US$300 miliar pada 2025.

Vietnam dan Indonesia menjadi poros utama pertumbuhan tersebut dengan tingkat pertumbuhan mencapai 40 persen per tahun.