Tesla Solar Roof Adalah Panel Surya yang Menyamar Sebagai Atap Tradisional

Lewat Powerwall dan Powerpack, Tesla perlahan mewujudkan visinya akan sebuah ekosistem energi terbaharukan yang praktis sekaligus ramah lingkungan. Sejak awal mengembangkannya, Elon Musk selaku CEO Tesla sudah punya wacana untuk menyandingkan Powerwall dengan panel surya.

Kebetulan sekali, Elon Musk merupakan direktur dari perusahaan ahli instalasi panel surya bernama SolarCity yang didirikan oleh sepupu beliau, Lyndon Rive. Kemitraan unik ini tidak disia-siakan begitu saja; bersama SolarCity, Tesla mengembangkan produk terbarunya yang dijuluki Tesla Solar Roof.

Solar Roof pada dasarnya merupakan kumpulan panel surya yang menyamar menjadi atap tradisional. Dilihat dari dekat maupun jauh, Anda pasti kesulitan membedakannya dengan atap tradisional. Agar penyamarannya semakin sukses, Tesla pun berencana menawarkan empat gaya yang berbeda, termasuk yang berkontur dan bertekstur.

Di dalam masing-masing bagian Solar Roof, bernaung sel panel surya berefisiensi tinggi yang baru bisa kelihatan jika Anda mengamatinya dari atas. Lapisan terluarnya sendiri merupakan material quartz yang diklaim lebih tangguh ketimbang atap genting.

Tesla Powerwall 2 / Tesla
Tesla Powerwall 2 / Tesla

Mendampingi Solar Roof adalah Powerwall 2 yang memiliki desain baru. Wujudnya kini jauh lebih minimalis dari sebelumnya, tapi masih bisa menyimpan energi listrik sebesar 14 kWh – cukup untuk menyuplai daya rumah empat kamar seharian. Harganya sendiri ditawarkan $5.500 per unit.

Powerwall 2 merupakan pasangan yang pas buat Solar Roof, mengingat ia dapat menyimpan akumulasi sisa energi listrik yang dihasilkan panel surya tersebut di pagi sampai siang hari, untuk kemudian dikonsumsi di kala petang – termasuk untuk mengisi ulang baterai mobil Tesla.

Misi Tesla lewat Solar Roof adalah membuat panel surya jadi semenarik revolusi mobil elektrik yang mereka mulai. Pun demikian, Tesla sejauh ini masih belum berani mengungkapkan harga dan ketersediaan Solar Roof, termasuk detail mengenai proses instalasinya nanti.

Sumber: Wired dan Tesla.

Philips Luncurkan Motion Sensor untuk Bohlam Pintar Philips Hue

Di antara deretan produk bohlam pintar yang ada di pasaran, Philips Hue merupakan salah satu yang paling populer. Di samping kualitas dan fitur yang ditawarkan, alasan lain di balik populernya Philips Hue adalah tersedianya aksesori penambah fungsionalitas, seperti yang baru-baru ini Philips perkenalkan.

Dinamai Philips Hue Motion Sensor, fungsinya juga sesederhana namanya. Ia bertugas untuk mengendalikan bohlam Philips Hue berdasarkan gerakan yang ia deteksi. Salah satu contohnya, saat Anda masuk ke dalam kamar, lampu akan otomatis menyala tanpa perlu melakukan apa-apa.

Philips mengklaim Hue Motion Sensor sangatlah responsif, sanggup bereaksi dalam waktu setengah detik saja setelah gerakan terdeteksi. Selain sensor gerakan, perangkat ini juga dilengkapi sensor cahaya sehingga lampu hanya akan dinyalakan seperlunya saja di siang hari, membantu pengguna menghemat energi.

Philips Hue Motion Sensor bisa diletakkan di atas meja, rak, atau ditempelkan pada kulkas maupun permukaan logam lainnya / Philips
Philips Hue Motion Sensor bisa diletakkan di atas meja, rak, atau ditempelkan pada kulkas maupun permukaan logam lainnya / Philips

Wujudnya yang ringkas membuat Hue Motion Sensor ideal untuk diberdirikan di atas meja, rak buku atau ditempelkan ke permukaan logam mengingat ia juga dibekali magnet. Perangkat ini ditenagai oleh sepasang baterai AAA yang bisa bertahan selama dua sampai tiga tahun.

Selanjutnya, pengguna tinggal menyambungkannya dengan Philips Hue Bridge – maksimal hingga 12 Motion Sensor. Dari situ pengguna bisa mengatur lampu di ruangan mana saja yang akan dikendalikan oleh Motion Sensor, plus pengaturan lain seperti sensitivitasnya melalui aplikasi pendamping Hue di ponsel.

Philips Hue Motion Sensor rencananya akan dipasarkan mulai akhir bulan Oktober mendatang seharga $40 per unit.

Sumber: CNET dan Philips.

Berbekal Integrasi Smart Home, Robot Big-I Siap Temani Anggota Keluarga Anda

Robot sebagai pembantu rumah tangga kedengarannya hanya bisa dipraktekkan di film fiksi ilmiah. Namun perkembangan teknologi machine learning dan artificial intelligence (AI) yang begitu pesat belakangan ini membuatnya mungkin terwujud di dunia nyata. Tidak percaya? Coba Anda temui Big-I.

Big-I sepintas terlihat seperti sebuah tong sampah, akan tetapi ia memiliki ‘mata’ yang akan selalu memperhatikan berbagai hal dan mengenali orang-orang di sekitarnya. Tidak hanya mengenali, Big-I tahu kebutuhan masing-masing anggota keluarga.

Robot ini tidak perlu dikendalikan secara manual, namun ia juga bisa merespon terhadap perintah suara. Anda juga dapat memberikan instruksi ala IFTTT, jadi semisal ada orang asing yang masuk ke rumah saat Anda pergi, Big-I akan langsung mulai mengawasi dan merekam aksi jahilnya.

Yang tak kalah menarik adalah potensi Big-I untuk diintegrasikan dengan berbagai perangkat smart home. Sistem operasinya juga telah dirancang supaya pengguna bisa mendidiknya; misalnya jika pengguna melambaikan tangan saat berada di ruang makan, itu tandanya Big-I diminta untuk mematikan televisi di ruang tamu.

Contoh lain pengaplikasian Big-I yang bergantung situasi adalah: jika Big-I mendeteksi anak Anda tertidur di sofa, maka ia akan segera mengingatkan Anda untuk membawanya ke kamar tidur. Hal ini dimungkinkan berkat teknologi pengenal wajahnya tadi.

Sejauh ini, NXRobo selaku pengembang Big-I masih belum mengungkapkan jadwal pemasaran robot pintarnya tersebut. Kemungkinan besar ia akan hadir dalam versi developer terlebih dulu sehingga ekosistem aplikasi dan integrasinya sudah cukup melimpah saat dipasarkan ke konsumen nantinya.

Sumber: Engadget dan NXRobo.

Memenuhi Standar Smart Home, Robot Vacuum Cleaner Ini Juga Peka Terhadap Sekitarnya

Saat iRobot memperkenalkan Roomba 980 tahun kemarin, banyak yang memujinya sebagai salah satu robot vacuum cleaner tercanggih. Model pertama dari seri 900 tersebut sekaligus menandai debut iRobot dalam merambah ranah smart home berkat teknologi berbasis cloud.

Akan tetapi $900 untuk sebuah mesin penghisap bisa terkesan mahal sekali bagi sebagian besar konsumen. Itulah alasan di balik lahirnya Roomba 960 hampir setahun kemudian. Sang adik ini dihargai lebih terjangkau, namun di saat yang sama masih mempertahankan kepintaran milik kakaknya tersebut.

Perbedaan utama antara Roomba 960 dan 980 terletak pada motor elektrik dan baterainya. Roomba 960 meminjam kedua komponen tersebut dari model lawas – baterainya bisa bertahan selama 75 menit pemakaian, sedangkan Roomba 980 bisa sampai 120 menit. Kendati demikian, daya hisapnya diyakini masih 5x lipat lebih perkasa ketimbang model low-end besutan iRobot.

Teknologi navigasi adaptif milik Roomba 960 memastikan proses bersih-bersih berlangsung seefisien mungkin / iRobot
Teknologi navigasi adaptif milik Roomba 960 memastikan proses bersih-bersih berlangsung seefisien mungkin / iRobot

Selebihnya, Roomba 960 sangat mirip seperti kakaknya. Ia dilengkapi konektivitas Bluetooth dan Wi-Fi, memungkinkan pengguna untuk membuat jadwal terkustomisasi atau sekadar menyala-matikan perangkat dari kejauhan. Semuanya dilakukan dengan bantuan aplikasi pendamping di smartphone, termasuk halnya untuk meng-install update.

Tidak hanya itu, Roomba 960 juga dibekali teknologi visual localization yang memungkinkannya untuk mendeteksi penghalang maupun memetakan ruangan di sekitarnya. Teknologi ini juga yang mendasari fitur Recharge and Resume, dimana perangkat akan bergerak dengan sendirinya menuju ke docking charger ketika baterainya menipis, lalu kembali ke titik terakhir ia membersihkan saat baterainya sudah terisi penuh.

$700 adalah banderol harga yang dipatok untuk iRobot Roomba 960 di Amerika Serikat dan Kanada. iRobot juga berencana memasarkannya di Jepang dan Eropa mulai kuartal ketiga tahun ini.

Sumber: iRobot.

Benci Melipat Baju? Serahkan Saja Pada FoldiMate

Anda benci melipat baju? Saya juga. Melipat adalah tahap yang paling mengesalkan dalam keseluruhan proses mencuci baju. Dan repotnya lagi, hingga kini belum ada mesin khusus yang bisa membantu kita soal ini; mesin cuci dan mesin pengering sudah ada sejak lama, bagaimana dengan mesin pelipat baju?

Well, impian kita ini sebentar lagi akan dikabulkan oleh perangkat unik bernama FoldiMate. Pihak pengembangnya mendefinisikan FoldiMate sebagai “robot pelipat pakaian otomatis”, sehingga ia akan sangat ideal didampingkan dengan mesin cuci dan mesin pengering pakaian.

Ukurannya sendiri cukup besar, tepatnya 71 x 81 x 79 cm, hampir sama seperti mesin cuci. Ia pun dirancang untuk bisa ditumpuk di atas mesin cuci atau mesin pengering, sehingga semuanya bisa ditempatkan di dalam satu ruangan demi kenyamanan pengguna.

Lalu seberapa efektif kinerjanya? Pertama-tama, pengguna diminta untuk menjepitkan 15 – 20 potong pakaian pada bagian depan FoldiMate. Selanjutnya, pakaian-pakaian tersebut akan dibawa ke dalam satu per satu, dimana tangan-tangan robotik milik FoldiMate akan merampungkan tugasnya.

Prosesnya cukup cepat, hanya sekitar 10 detik untuk melipat sepotong pakaian. Hasilnya juga dipastikan akan konsisten dalam ukuran 23 x 28 cm, namun pengguna juga bisa menyesuaikan ukuran ini dengan seleranya.

Pengguna hanya perlu menjepitkan pakaian pada bagian depan, dan serahkan saja sisanya pada FoldiMate / FoldiMate
Pengguna hanya perlu menjepitkan pakaian pada bagian depan, dan serahkan saja sisanya pada FoldiMate / FoldiMate

Satu catatan penting: tidak semua jenis pakaian bisa FoldiMate lipat. Baju, celana, handuk, sarung bantal bisa ia lipat, namun tidak untuk sprei atau malah yang kecil-kecil seperti celana dalam dan kaus kaki.

Setelah melipat pakaian, FoldiMate juga bisa sedikit menghaluskan sekaligus menyemprotkan pewangi dan pelembut pada setiap potong pakaian. Pun begitu, fitur ini memerlukan komponen khusus yang akan dijual terpisah, dan pengguna juga harus ingat bahwa ini tak bisa dijadikan pengganti setrika.

Oke, FoldiMate memang tidak sepenuhnya sempurna, namun ia merupakan solusi terbaik sejauh ini bagi kita yang selalu dibuat frustasi ketika harus melipat pakaian. Sayang masih ada kekecewaan ekstra: FoldiMate baru akan menerima pre-order pada tahun 2017 dengan kisaran harga $700 – $850, dan barangnya baru bisa dikirim paling cepat tahun 2018.

Sumber: Gizmag.

Terinspirasi Film, Engineer Google Ciptakan Perangkat Cermin Pintar

Seandainya Anda seorang engineer Google yang sangat berpengalaman, apa yang Anda lakukan ketika melihat gadget canggih di sebuah film fiksi ilmiah? Mungkin hal pertama yang Anda coba adalah berusaha membuatnya sendiri.

Itulah yang dilakukan oleh seorang engineer Google bernama Max Braun. Terinspirasi oleh suatu adegan di film The 6th Day yang dibintangi Arnold Schwarzenegger, beliau membuat sebuah prototipe cermin pintar yang dapat menampilkan berbagai informasi.

Dijelaskan secara cukup merinci pada blog-nya di Medium, cermin pintar ini dibentuk dari sejumlah komponen yang bisa didapat dengan mudah. Utamanya adalah cermin dua arah, panel display, papan controller dan perangkat sejenis Google Chromecast atau Amazon Fire TV Stick.

Smart Mirror by Max Braun

Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar, informasi yang ditampilkan sejauh ini barulah prakiraan cuaca, waktu dan tanggal, serta sejumlah headline berita terkini. Nantinya, Max berencana menambahkan informasi lain seperti kondisi lalu lintas, reminder, dan sederet info lain yang biasa kita jumpai dalam wujud kartu di Google Now.

Semua informasi ini akan di-update secara otomatis, jadi pengguna sama sekali tak perlu berinteraksi dengan cermin tersebut. Jangan bayangkan cermin pintar ini sebagai layar sentuh raksasa, ia hanyalah sebuah alat bantu berdandan yang mencoba menjadi lebih bermanfaat lagi lewat deretan informasi yang ditampilkannya.

Smart Mirror by Max Braun

Dari luar prototipe cermin pintar ini memang tampak sangat apik. Panel display-nya yang sangat tipis tersembunyi dengan baik di antara panel cermin. Tapi saat Anda buka, Anda bisa melihat sejumlah komponen yang berserakan di bagian belakangnya.

Terlepas dari itu, upaya yang dilakukan Max Braun ini patut mendapat acungan jempol setinggi-tingginya. Dengan modal sejumlah komponen, kreativitas dan ketekunan, ia bisa menyulap sebuah cermin kamar mandi biasa menjadi perangkat terkoneksi yang amat bermanfaat.

Tentunya Max tidak melontarkan rencana untuk menjual cermin pintar ini ke pasaran. Namun paling tidak pabrikan hardware lain bisa terinspirasi dan mencoba mengeksekusi idenya sendiri. Kalau satu orang dengan perlengkapan seadanya saja bisa membuat gadget sekeren ini, bagaimana jadinya satu tim riset dan pengembangan perusahaan.

Sumber: Medium.

Perangkat Ini Bisa Mendeteksi Kebocoran Lalu Mengirim Notifikasi ke Smartphone

Berhadapan dengan mesin cuci yang bocor itu sangatlah menyebalkan. Kalau kita ada di sana saat air mulai menetes, tidak akan jadi masalah. Tapi bagaimana jadinya kalau kebocoran terjadi ketika kita sedang pergi berbelanja dan tidak ada orang sama sekali di rumah? Kemungkinan air bisa meluber ke mana-mana dan merusak berbagai barang yang ada.

Itu masih seputar mesin cuci, padahal masih banyak penyebab kebocoran lainnya. Sederhananya, kita perlu selalu siaga terhadap kebocoran kalau tidak mau menanggung biaya kerusakan yang bisa sangat mahal. Untuk itu, kita perlu perangkat semacam yang diluncurkan Honeywell ini.

Bernama lengkap Honeywell Lyric Water Leak and Freeze Detector, fungsi perangkat ini sudah terpampang jelas pada namanya. Ia merupakan gabungan sejumlah sensor yang dapat mendeteksi ketika ada air meluber tanpa sengaja di suatu ruangan sekaligus memberi peringatan ketika suhu di suatu ruangan mulai turun drastis – kasus yang kedua ini sepertinya mustahil terjadi di Indonesia.

Honeywell Lyric Water Leak and Freeze Detector

Perangkat ini terdiri dari dua komponen. Satu merupakan unit utama yang Anda pasangkan di tembok, sedangkan satu lagi merupakan semacam kabel extension. Unit utamanya mengemas sensor air, kelembaban dan suhu, serta sebuah speaker untuk membunyikan alarm guna memperingatkan pemilik rumah.

Tapi bagaimana jika Anda tidak ada di rumah saat alarmnya berbunyi? Di sinilah konektivitas Wi-Fi mengambil peran. Lyric Water Leak Detector akan mengirimkan notifikasi ke smartphone Anda, menyarankan Anda untuk segera kembali ke rumah guna mengecek dan mencegah kebocoran jadi bertambah parah. Semakin cepat diatasi, tentunya semakin kecil skala kerusakan yang harus ditanggung.

Namun yang tidak kalah menarik adalah bagian kabel extension-nya. Kabel ini pada dasarnya bisa disambung-sambungkan hingga sepanjang 120 meter. Jadi hanya dengan satu unit utama Lyric Water Leak Detector, Anda bisa mendapat peringatan ketika kebocoran terjadi di ruangan yang jauh dari unit utamanya, di garasi misalnya.

Perangkat ini mengambil daya dari tiga baterai AA standar, yang diperkirakan baru akan habis setelah sekitar tiga tahun. Jadi setelah memsangnya, pengguna bisa melupakannya begitu saja. Saat ada air meluber, pengguna akan segera diperingatkan.

Harga yang dipatok Honeywell adalah $80. Kemungkinan besar barangnya tidak dipasarkan di sini. Tapi kalau Anda memang tertarik dan seringkali dibuat frustasi oleh kebocoran, mungkin bisa menitip ke saudara yang tinggal di Amerika Serikat.

Sumber: Reviewed.

Lini Smart TV Samsung Tahun 2016 Bisa Mengontrol Perangkat Smart Home

Sebagai perangkat elektronik utama yang ditempatkan di ruang tamu, televisi sebenarnya punya potensi menjadi semacam pusat kendali atas perangkat-perangkat lain yang ada di rumah, terlebih mengingat sekarang adalah zamannya Internet of Things (IoT).

Sebelum ini, kita sudah melihat rencana LG untuk melengkapi lini smart TV-nya dengan kemampuan mengontrol perangkat smart home. Dan kini giliran Samsung yang mengambil langkah serupa. Dalam mengeksekusinya, Samsung mengajak SmartThings, perusahaan IoT yang mereka akuisisi tahun lalu.

Kerja sama tersebut hadir dalam bentuk integrasi platform SmartThings pada lini smart TV Samsung. Dikatakan bahwa seluruh lini Samsung SUHD TV yang dirilis di tahun 2016 nantinya bisa dijadikan remote control atas lebih dari 200 perangkat smart home yang kompatibel dengan platform SmartThings, mulai dari lampu, kunci pintu, thermostat, kamera pengawas, speaker, dan lain sebagainya.

Namun tentunya software saja tidak cukup guna memberikan integrasi yang sempurna. Kedua pihak nantinya bakal menyediakan aksesori bernama SmartThings Extend untuk ditancapkan ke port USB milik TV. Dengan aksesori tersebut, pengguna bahkan bisa memonitor sekaligus mengontrol perangkat smart home yang memakai protokol ZigBee dan Z-Wave.

Contoh skenario dimana integrasi ini akan terasa sangat bermanfaat adalah ketika pengguna hendak menciptakan suasana ruang menonton yang sempurna. Pengguna hanya perlu mengaktifkan fitur Cinema Mood pada aplikasi SmartThings di televisi, kemudian sistem pencahayaan sekaligus audio akan disesuaikan dengan sendirinya.

Samsung dan SmartThings rencananya akan mendemonstrasikan TV bersenjatakan integrasi smart home ini pada event CES 2016 di awal Januari mendatang.

Sumber: TechCrunch, Samsung dan SmartThings Blog.

MIT Ciptakan Aplikasi untuk Menghubungkan dan Mengontrol Perangkat Pintar

Seperti yang kita tahu, tren Internet of Things (IoT) semakin lama semakin menjamur. Setiap objek yang kita jumpai sehari-harinya perlahan berevolusi menjadi perangkat pintar. Pun demikian, kita masih kesulitan dalam hal mengontrolnya, mengingat masing-masing perangkat biasanya didampingi oleh aplikasinya sendiri-sendiri.

Inilah problem yang ingin dipecahkan divisi riset Fluid Interfaces dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Selama tiga tahun mereka mengembangkan sebuah aplikasi berjuluk Reality Editor, yang pada dasarnya merupakan aplikasi untuk mengontrol perangkat IoT atau smart home berbasiskan teknologi augmented reality (AR).

Reality Editor

Aplikasi ini sepintas tampak terinspirasi oleh film Minority Report yang dibintangi oleh Tom Cruise. Tapi bukan tampilannya semata yang membuatnya menarik, tetapi juga fungsinya. Dengan Reality Editor, pengguna dapat menghubungkan perangkat pintar ke yang lain hanya dengan menarik garis saja.

Jadi, semisal Anda menginginkan lampu kamar tidur bisa mati dengan sendirinya saat TV dimatikan, Anda tinggal menarik garis dari lampu ke TV pada aplikasi. Dari situ Anda tinggal memanipulasi fungsi-fungsi yang ingin diterapkan, semuanya melalui tampilan yang sangat mudah dipahami.

Contoh lain misalnya di dalam mobil. Anda ingin mengutak-atik equalizer sistem audio tapi malas mengakses menu demi menu pada layar. Dengan Reality Editor, Anda bisa menghubungkan sistem audio ke sepasang kenop pada dashboard. Dari situ Anda tinggal memilih fungsi apa yang bisa diatur dengan kenop A dan B, seperti misalnya mengatur bass dan treble.

Reality Editor

Potensi yang dimiliki Reality Editor sangat luas, dan aplikasi ini bukan sekedar konsep belaka. Tim pengembangnya telah merilis Reality Editor untuk perangkat iOS. Hanya saja, perangkat IoT atau smart home yang didukung belum ada – Reality Editor memanfaatkan platform open-source bernama Open Hybrid.

Solusinya sejauh ini adalah dengan jalan DIY. Menurut tim pengembangnya, pengguna bisa membuat adaptor untuk perangkat sehingga bisa dikenali oleh aplikasi Reality Editor. Tapi ke depannya, di saat sudah banyak perangkat yang mengusung kompatibilitas Open Hybrid, aplikasi ini bisa dipastikan akan menjadi cukup tenar.

Sumber: Fast Company.

Konsep Meja Ini Bisa Menyerap Panas untuk Mengisi Baterai Smartphone

Pernahkah Anda membayangkan bisa mengisi ulang baterai smartphone dengan energi panas? Well, khayalan tersebut bisa terkabul kalau saja konsep besutan Ikea ini benar-benar terealisasikan.

Proyek bernama Heat Harvest ini dikembangkan oleh laboratorium riset Space10 yang dijalankan Ikea. Ide di balik kelahirannya adalah, Anda bisa memanfaatkan energi panas yang ada di dalam rumah menjadi energi listrik.

Mengubah energi panas menjadi listrik memang bukanlah hal baru. Tapi bagaimana kalau itu semua bisa disalurkan hanya dengan sebuah meja? Itulah konsep menarik yang ditawarkan oleh Heat Harvest.

Jadi, saat teknologi ini diaplikasikan ke meja, meja tersebut bisa menyerap panas yang berasal dari berbagai sumber: bisa dari teko air panas atau pitcher berisi kopi, bisa juga dari panci berisi sup yang baru dihangatkan di atas kompor. Selanjutnya, tanpa basa-basi, Anda tinggal menempatkan smartphone di atas meja dan proses charging pun akan berlangsung.

Ikea Heat Harvest

Contoh lain yang tidak kalah menarik adalah laptop. Kalau dirata-rata, sebuah laptop yang tengah digunakan akan mengonsumsi sekitar 40 watt daya listrik sekaligus menghasilkan panas dalam jumlah yang kurang lebih sama. Ketika laptop tersebut ditempatkan di atas meja berteknologi Heat Harvest ini, energi panasnya akan diserap, lalu diubah menjadi energi listrik yang bisa disalurkan ke perangkat lain.

Pengaplikasiannya pun tidak harus berupa meja, bisa juga berupa tatakan kecil yang diletakkan di bawah sebuah set-top box atau perangkat lain yang umumnya menghasilkan panas saat menyala.

Dilihat dari sudut lain, ya, ini memang merupakan salah satu bentuk lain dari teknologi wireless charging. Hal itu juga berarti perangkat yang hendak diisi ulang harus mendukung teknologi tersebut. Tapi seperti yang kita tahu, smartphone generasi terkini rata-rata sudah mengemas teknologi wireless charging.

Yang unik dari Heat Harvest adalah dari mana energi listrik yang disalurkan tersebut berasal. Pada dasarnya pengguna bakal mendapatkan pasokan listrik ekstra tanpa harus membayar uang satu sen pun. Semuanya berasal dari energi panas yang dihasilkan perangkat yang sebelumnya tidak ada artinya sama sekali.

Ikea Heat Harvest

Belum lagi dilihat dari aspek kepraktisannya. Bayangkan, sewaktu sarapan, smartphone yang kita letakkan di atas meja juga akan terisi baterainya. Dan pastinya energi listrik yang disalurkan tidak akan masuk ke dalam tagihan bulanan.

Tentu saja, Heat Harvest sejauh ini baru sekedar konsep – atau paling jauh berupa prototipe – sehingga masih membutuhkan waktu pengembangan lebih lanjut. Tapi kalau semuanya sudah siap, kita pasti bakal menjumpai meja berteknologi Heat Harvest maupun dalam wujud perabot lainnya dijual secara massal di Ikea.

Sumber: Digital Trends.