Produk Digital Bisa Jadi Pendukung Ekonomi Syariah di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah memiliki master plan ekonomi syariah 2019-2024. Di dalamnya terdapat gambaran, tantangan, peluang, dan hal lain pendukung pertumbuhan perekonomian syariah. Yang menarik, ekonomi digital dan produk syariah digital masuk dalam kategori yang berpeluang merangsang pertumbuhan.

Pada 2019 silam, Cambridge Institute of Islamic Finance dalam laporan bertajuk Global Islamic Finance Report (GIFR) 2019 menempatkan Indonesia di posisi teratas dalam hal kepemimpinan dan potensinya dalam perbankan dan keuangan islam global. Mengalahkan dominasi Malaysia sejak tahun 2011.

Di laporan State of Global Islamic Economy Report 2019/2020, Indonesia berada di posisi 5 (skor 49) dari total 73 negara. Penilaian laporan ini dihitung dari sejumlah sektor pendukung ekonomi syariah, seperti keuangan syariah, makanan halal, wisata ramah muslim, fesyen, media dan rekreasi, hingga farmasi dan kosmetik.

Keseriusan pemerintah Indonesia juga ditandai dengan adanya Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) dan program-program yang dijalankannya. Lembaga ini ditugasi untuk menjadi katalisator dalam upaya mempercepat, memperluas dan mengembangkan ekonomi syariah.

Posisi digital di ekonomi syariah

Dalam dokumen master plan ekonomi syariah yang dikeluarkan pemerintah industri digital diposisikan sebagai sesuatu yang bisa memberikan dampak positif. E-commerce misalnya, bisa dinilai menjadi satu hal yang mengakselerasi pertumbuhan UKM syariah, baik itu untuk produk halal, wisata halal, fesyen muslim, dan semacamnya.

Termasuk juga produk keuangan syariah, dalam hal ini produk/layanan teknologi finansial. Baik itu produk pinjaman, pembiayaan, atau lainnya.

Fintech syariah di Indonesia menyimpan potensi sendiri di Indonesia. Tentu tidak hanya karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, tetapi sistem atau nilai-nilai yang ditawarkan cukup banyak diminati masyarakat Indonesia.

Berkaca pada produk finansial syariah yang lebih dulu hadir produk syariah bisa diposisikan sebagai pilihan lain dari produk-produk yang ada. Masyarakat bisa dengan bebas menimbang, memperhatikan, dan memilih produk yang dirasa cocok dan sesuai. Produk perbankan misalnya, tidak sedikit yang memilih produk perbankan syariah karena akad, perhitungan, dan sistem yang ada di dalamnya.

Industri fintech dalam lima tahun ke belakang memang terus mengalami pertumbuhan. Selain ditandai dengan banyaknya masyarakat yang mulai akrab dengan layanannya pertumbuhan ini juga ditandai dengan berbagai macam bentuk produk dan layanan yang hadir. Kini tak hanya soal pinjaman dan investasi, tetapi juga merambah sistem pembayaran, e-money, POS system, dan lainnya.

Di Indonesia sendiri sudah Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI). Berdiri sejak tahun 2017 asosiasi ini terdiri dari kalangan startup, institusi, akademisi, dan pakar yang memiliki tujuan mendorong pertumbuhan teknologi keuangan syariah.

Di samping itu produk digital lainnya juga mulai muncul dan semakin siap menggarap peluang. Sebut saja industri travel umroh digital, industri makanan halal, layanan pembayaran, hingga produk gaya hidup. Tercatat beberapa nama yang mulai menghadirkan layanan produk atau layanan syariah antara lain Qazwa, Waqara, Investree, LinkAja, Akulaku, Alami, Duha Syariah, Bsalam, Syarfi, GoHalalGo, Umra, Hijup, PergiUmroh, Hijabenka, dan lainnya.

Langkah pemerintah

Ada tiga langkah quick wins yang disusun pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital, khususnya dalam sumbangsihnya dalam ekonomi digital. Yang pertama adalah mengembangkan online marketplace dan sistem pembayaran halal. Dalam hal ini berupaya untuk mengembangkan marketplace yang secara spesifik menjual produk baik itu barang maupun jasa halal, lengkap dengan transaksi menggunakan sistem pembayaran halal.

Yang kedua, menyediakan panduan usaha digital dan panduan kepatuhan syariah yang da[at diakases oleh publik. Sehingga masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan informasi sebuah produk sekaligus mendorong pengusaha yang ingin mengembangkan produk atau jasa yang mengikuti nilai-nilai syariah.

Yang terakhir adalah meningkatkan literasi digital terkait dengan industri halal  dan halal value chain bagi pelaku ekonomi syariah melalui beberapa kegiatan.

Jika dilihat dari segi peluang bisnis Ini bisa jadi waktu yang tepat bagi startup atau perusahaan teknologi untuk masuk ke pasar syariah dan mengisi peluang yang sudah mulai bermunculan. Industri yang semakin matang, masyarakat mulai terbiasa dengan produk keuangan digital, dan dukungan komunitas atau asosiasi bisa jadi kendaraan untuk bersama-sama mengembangkan industri.

The Rise of Sharia Market, Startups Need to Buckle-up

Sharia economy becomes a topic in Presidential election debate last April. Aside from the representatives’ answers, to bring the topic is one thing, it marks the sharia economy and its derivatives are already taken place in the country’s economy.

Today, after Joko Widodo and Ma’ruf Amin officially Indonesia’s President and Vice President, sharia economy is emerging. It’s represented by some digital companies which counting their luck in this Islamic-based economy.

First indicator is seen as Tokopedia and Shopee visited the office of Vice President Ma’ruf Amin last November. Tokopedia‘s Chief Commissioner Agus Martowardojo and Vice-Chairman Leontinus Alpha Edison arrived first. After two weeks, Shopee also made a similar move by taking its top officials to meet Ma’ruf as the Chairperson of the Indonesian Ulema Council (MUI) and an important figure in the local Islamic financial industry.

The second visit of the e-commerce giant is said to be a new round of their competition in the Islamic market. Tokopedia with the Tokopedia Salam feature, while Shopee with Shopee Barokah.

Another indicator is the entrance of some conventional investors into sharia-based businesses. It can be traced from the investment of Golden Gate Ventures, Agaeti Ventures, and RHL Ventures to Alami, a local sharia-based fintech company. The emerging new startups that focus on providing sharia products or those expanding its coverage into the sharia market showed a high demand for sharia market in Indonesia, such as Qazwa, Waqara, Investree, LinkAja, and Akulaku.

The keen interest of digital companies to enter the sharia market points out at one thing: a great potential ready to be executed. It is clearly not just pocket-sized money, considering Indonesia as a country with the largest Muslim population in the world.

The State of Global Islamic Economy Report 2019/2020 reported Indonesia’s score at 49, placed at 5th position out of 73 countries. The score was determined from several sectors such as Islamic finance, halal food, Muslim-friendly tourism, fashion, media & recreation, also pharmacy & cosmetics. Halal food and Islamic finance are the two biggest sectors contributing to this assessment.

The report shows Indonesia’s overall sharia market has developed quite significantly, from 10th place last year to the 5th place this year. The biggest factor is said to be the country’s blueprint of Islamic economy development and fresh initiatives such as Halal Park which was launched a few months ago.

Of the six sectors in the report, Indonesia has positioned in the top 10 in 3 sectors, namely 5th in the Islamic financial sector, 4th in Muslim-friendly tourism destinations, and 3rd in the fashion sector. Halal or sharia-based product consumption in Indonesia is the largest in almost every sector, especially for halal food. Indonesia is rated as a country with halal food consumption value at US$ 173 billion (Rp2,400 trillion) or the largest in the entire world.

In terms of Islamic financial institutions, Indonesia is likely to be on the right path. Indonesia’s sharia financial asset is projected at the 7th rank with valuation at US$ 86 billion or Rp1,200 trillion. The number is likely to grow along with the implementation of the Sharia Economic Master Plan 2019-2024.

The Players

Some of Indonesia’s startup players have penetrated the Islamic market and halal products. Primarily, they are categorized in two; those providing Muslims products since the beginning and those who expand their services.

However, the number appeared to be not big enough. Some of the players are Ammana, Alami, Syariah Funds, Qazwa, Duha Syariah, Syarfi, Bsalam, GoHalalGo, Waqara, Umra.id, Hijup, and Hijabenka. It’s to be noticed that almost all of these names are divided only into two types of services: Sharia fintech and Umrah marketplace. As for investors, the Financial Services Authority (OJK) noted per October 2019, there were at least 6 registered venture capital companies operating. Ma’ruf himself has claimed 31 fintech sharia in Indonesia, are a bigger number than any other country.

On the other hand, there are some conventional startups entering the sharia business. A few names, such as Bukalapak, Tokopedia, Shopee, LinkAja, and Investree. As an example, Tokopedia through its Tokopedia Salam. The expansion was quite aggressive. Through this feature, they are transformed into a marketplace for Umrah travel agent services to accommodate Muslims. In addition, Tokopedia claims to provide over 21 million halal products on their platforms.

Opportunity’s Wide Open

Referring to the [still] small numbers of Sharia business players, this type of economic clearly has a large opportunity to grow. Based on the State of Global Islamic Economy report above, Indonesia has the opportunity to expand the sharia business in various sectors.

In terms of halal products, for example, there are some sub-sectors to be focused on by local businesses such as halal-certified e-commerce products, halal-concept retail, or halal food technology. Remember, global’s money circulation in the halal food business is to reach US$ 2 trillion or around 28,000 trillion Rupiah by 2024. Instead of listed as the top 10 halal food producers, Indonesia is said to be the largest market in the world.

The same opportunities count in the halal tourism sector, Islamic finance, Islamic fashion, and media & recreation. Specifically, startups can pay more attention at the tourism and finance sectors. Also, the government has been facilitated tourism through the halal tourist area. Meanwhile, sharia-based finance is considered an alternative way of fueling the country’s economic growth. The sharia-based finance sector’s contribution to the national economy is still at 8.73 percent. It determines a greater opportunity to grow and transform into an alternative engine driving economic growth.

Before moving further, Indonesia still had quite a large amount of homework. STIE SEBI’a sharia economic observer, Azis Setiawan, said the blueprint of the sharia economy and halal industry made by the government has yet to meet its objectives.

“I think the current blueprint still needs sharpening up and to translate it is the relevant government institutions’ job,” Setiawan said to DailySocial.

In fact, digital companies engaged in sharia-based economics, said Setiawan, is yet to penetrate the overall market potential in Indonesia. The lack of public knowledge of sharia products and halal industries is one reason, but he also highlighted the fact that Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world.

“Let’s take the example of halal tourism. There are matters like Sharia homestay, halal food, and many others. The perspective must be taken globally because people come from various countries,” he added.

Setiawan believes the government is capable to make the sharia economy an alternative engine to Indonesia’s economic growth. However, he suggested that the government as a full policy-holder must be faster at implementing plans and be responsive to the existing developments like Malaysia if we’re not to be further left behind.

“We might have been left behind with Malaysia for about a decade or two for this Islamic economy,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pasar Syariah Makin Diminati, Waktunya Startup Isi Peluang

Ekonomi syariah adalah salah satu topik dalam debat pilpres terakhir pada April lalu. Terlepas dari jawaban para peserta, dipilihnya topik itu ke dalam debat capres tersebut menandakan ekonomi syariah dan derivasinya makin mendapat tempat di perekonomian negara.

Kini, setelah Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, geliat ekonomi syariah kian terlihat. Salah satunya tercermin dari sejumlah perusahaan digital yang menjajal peruntungan di ekonomi berasas nilai-nilai Islam ini.

Indikator pertama dapat dilihat ketika Tokopedia dan Shopee bertandang ke kantor Wapres Ma’ruf Amin pada November lalu. Komisaris Utama Agus Martowardojo dan Vice Chairman Leontinus Alpha Edison yang mewakili Tokopedia ke kantor Ma’ruf datang lebih dulu. Selang dua pekan kemudian, Shopee melakukan kunjungan serupa dengan memboyong petinggi mereka menemui Ma’ruf yang merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan figur penting industri keuangan syariah dalam negeri.

Kunjungan kedua raksasa e-commerce itu bisa dikatakan ronde baru kompetisi mereka di pasar syariah. Tokopedia dengan fitur Tokopedia Salam, sementara Shopee dengan Shopee Barokah.

Indikator lain adalah masuknya sejumlah investor konvensional ke dalam bisnis berbasis syariah. Ini dapat dilacak dari investasi Golden Gate Ventures, Agaeti Ventures, dan RHL Ventures kepada Alami, startup fintech lokal bernapas syariah. Kemunculan sejumlah startup baru yang fokus menyediakan layanan produk syariah ataupun startup yang memperluas jangkauannya ke pasar syariah turut menandai ramainya minat terhadap pasar syariah di Indonesia, sebut saja seperti Qazwa, Waqara, Investree, LinkAja, dan Akulaku.

Kian besarnya minat perusahaan digital merambah pasar syariah ini menandakan satu hal yang jelas: ada potensi besar yang menunggu digarap. Jumlahnya pun jelas tak kecil mengingat Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.

State of Global Islamic Economy Report 2019/2020 mencatat skor Indonesia di angka 49, bertengger di peringkat ke-5 dari 73 negara. Skor itu dihitung dari sejumlah sektor seperti keuangan syariah, makanan halal, wisata ramah muslim, fesyen, media dan rekreasi, serta farmasi & kosmetik. Makanan halal dan keuangan syariah merupakan dua sektor terbesar yang berkontribusi dalam penilaian ini.

Laporan itu menunjukkan secara keseluruhan pasar syariah di Indonesia berkembang cukup signifikan, dari peringkat 10 pada tahun lalu menjadi peringkat 5 tahun ini. Faktor terbesar disebut karena negara kini punya cetak biru pengembangan ekonomi syariah dan sejumlah inisiatif segar seperti Halal Park yang sudah diresmikan sejak beberapa bulan silam.

Dari keenam sektor dalam laporan itu, Indonesia masuk 10 besar di 3 sektor yakni peringkat ke-5 di sektor keuangan syariah, peringkat ke-4 untuk tujuan wisata ramah muslim, dan nomor 3 dalam sektor fesyen. Konsumsi produk halal atau syariah di Indonesia memang begitu besar hampir di segala sektor, terutama di sektor makanan halal. Indonesia tercatat sebagai negara dengan nilai konsumsi makanan halal sebesar US$173 miliar (Rp2.400 triliun) atau yang terbesar di seluruh dunia.

Sementara di institusi keuangan syariah, Indonesia tampak sudah berada di jalan yang tepat. Aset keuangan syariah Indonesia terpantau berada di peringkat ketujuh dengan nilai US$86 miliar atau Rp1.200 triliun. Angka itu diprediksi akan terus tumbuh seiring penerapan Master Plan Ekonomi Syariah 2019-2024.

Para Pelaku

Ada beberapa pemain startup di Indonesia yang merambah pasar syariah dan produk halal. Pada umumnya mereka terbagi dua yakni mereka yang sedari awal berdiri menyediakan produk yang dibutuhkan muslim serta mereka yang memperluas layanannya.

Kendati begitu jumlah mereka ini ternyata tak begitu banyak. Beberapa dari mereka adalah Ammana, Alami, Dana Syariah, Qazwa, Duha Syariah, Syarfi, Bsalam, GoHalalGo, Waqara, Umra.id, Hijup, dan Hijabenka. Patut dicermati hampir semua nama tersebut hanya terbagi ke dua jenis layanan: fintech syariah dan marketplace umrah. Adapun dari sisi investor, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per Oktober 2019 setidaknya sudah ada 6 perusahaan modal ventura yang terdaftar beroperasi. Ma’ruf sendiri sempat mengklaim fintech syariah di Indonesia mencapai 31 buah, lebih banyak dari negara mana pun.

Di pihak lain ada beberapa startup konvensional yang mencoba peruntungan ke bisnis syariah. Beberapa dari mereka adalah Bukalapak, Tokopedia, Shopee, LinkAja, hingga Investree. Ambil contoh Tokopedia melalui Tokopedia Salam. Ekspansi yang mereka lakukan cukup agresif. Lewat fitur itu mereka menjelma sebagai marketplace bagi agen travel ibadah umrah hingga perlengkapan penunjang ibadah umat Islam lainnya. Selain itu, Tokopedia mengklaim pihaknya menyediakan sekitar 21 juta lebih produk halal di platform mereka.

Kesempatan Masih Luas

Merujuk pada pelaku bisnis syariah yang relatif masih sedikit tersebut, peluang ekonomi jenis ini untuk tumbuh jelas besar. Dengan menyandarkan laporan State of Global Islamic Economy di atas, Indonesia punya kesempatan untuk memperlebar kapasitas bisnis syariah di berbagai sektor.

Dalam produk halal misalnya, ada sejumlah sub-sektor yang dapat menjadi perhatian pelaku usaha lokal seperti produk e-commerce bersertifikat halal, ritel berkonsep halal, atau teknologi makanan yang halal. Jangan lupa, uang yang beredar secara global dalam bisnis makanan halal ini akan mencapai US$2 triliun atau sekitar Rp28.000 triliun pada 2024 nanti. Dan Indonesia tercatat bukan sebagai 10 besar produsen makanan halal, melainkan sebagai pasar terbesar di dunia.

Peluang yang sama juga ada di sektor pariwisata halal, keuangan syariah, busana islami, dan media & rekreasi. Khusus di pariwisata dan keuangan, pelaku startup dapat melirik ini lebih jauh. Pasalnya pariwista sudah difasilitasi pemeritah lewat kawasan wisata halal. Sedangkan keuangan syariah dapat dibilang pemerintah kini sudah menjadikannya sebagai alternatif untuk menyokong pertumbuhan ekonomi negara. Porsi kontribusi keuangan syariah terhadap keuangan perekonomian nasional sendiri masih di angka 8,73 persen. Itu artinya masih ada ruang besar untuk tumbuh dan menjelma menjadi mesin alternatif pendorong pertumbuhan ekonomi.

Sebelum melangkah ke sana, Indonesia masih punya sejumlah pekerjaan rumah yang cukup besar. Pengamat ekonomi syariah STIE SEBI, Azis Setiawan, mengatakan cetak biru ekonomi syariah dan industri halal yang dibuat oleh pemerintah belum terpenuhi tujuannya.

“Saya kira blueprint yang ada harus dipertajam lagi dan yang dapat menerjemahkan itu para lembaga pemerintah terkait,” ucap Azis kepada DailySocial.

Perusahaan digital yang bergerak di ekonomi syariah pun menurut Azis belum benar-benar mengisi potensi pasar di Indonesia. Minimnya pengetahuan publik terhadap produk syariah dan industri halal menjadi satu alasan, namun ia menggarisbawahi bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

“Ambil contoh pariwisata halal. Di sana kan ada soal penginapan syariah, kuliner halal, kebutuhannya banyak. Perspektifnya juga harus secara global karena yang datang kan dari berbagai negara,” imbuhnya.

Azis yakin pemerintah mampu menjadikan ekonomi syariah sebagai alternatif pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hanya saja, ia menyarankan pemerintah sebagai pemegang penuh kebijakan harus lebih cepat mengimplementasi perencanaan dan responsif terhadap perkembangan yang ada seperti halnya Malaysia jika tak ingin tertinggal lagi.

“Mungkin kita sudah ketinggalan dengan Malaysia sekitar satu atau dua dekade untuk ekonomi syariah ini,” pungkasnya.

Online Pawn Service Pinjam to Launch Sharia Business

Pinjam, a startup in the online pawn industry, is soon to launch sharia business for its business diversification. It is to be available in market in Q3 of 2018.

“So, this year’s planning is to launch sharia-based product. It still needs to find a clear DNA product. Later, when it has been launched, it will be faster to apply [compared to conventional sharia business],” said Teguh B Ariwibowo, Pinjam’s CEO and Founder, as quoted by Digination.

For this new business development, the team has made a sharia committee to supervise and created opportunities for partnership with related parties, such as Maal Wat Tamwil Agency (BMT). The CEO also claimed partnership with an app that’s having nearly two million agents.

It must be done to make this fintech service comply with sharia principal and cover customer’s needs.

“We already have had sharia team to supervise, also partners with an app with two million agents. Furthermore, we talk to the community along with BMT.”

Pinjam currently has two main products called “gadai online” (online pawn) and “pinjaman mikro” (microloans). Gadai online’s target is individual, they can apply for loan starting from Rp2 million to Rp5 million. While microloans are specific for entrepreneurs with a maximum loan of Rp100 million.

Recently, p2p lending Investree has also launched its sharia business. The company’s research shows that this business line has disbursed Rp2,7 billion from 313 lenders for 1,340 borrowers.

Investree has become the first fintech company to receive a Recommendation Letter of Sharia Experts Team from National Sharia Council – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). It means Investree becomes a party in designing, providing inputs, and supervising sharia-based products as part of “Fatwa Fintech Syariah” in the near future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian