Ekosistem Candee dari Viddsee Dukung Kreator Mengembangkan Konten Web3

Platform film pendek premium asal Singapura Viddsee memperingati tahun kesepuluh beroperasi dengan meluncurkan Candee, sebuah ekosistem hiburan untuk memberdayakan para storyteller dan membangun cerita dari generasi baru. Platform ini nantinya tidak hanya mendukung pembuatan konten di ekosistem Web2, tetapi juga Web3.

Selama 10 tahun terakhir, Viddsee telah mengidentifikasi kreator dan IP yang berpotensi tinggi untuk mengembangkan, mendistribusikan, dan memonetisasi konten melalui berbagai format seperti film pendek, serial, dan dokumenter. Candee hadir sebagai perusahaan induk dari Viddsee yang menetapkan visi grup untuk memperkuat posisi sebagai ekosistem kreator di kawasan Asia Tenggara.

Dalam wawancara terakhir bersama DailySocial.id, CEO Candee dan Viddsee Ho Jia Jian mengungkapkan bahwa perusahaan telah beralih ke ranah konten kreasi melalui Viddsee Originals. Hingga saat ini, platform telah menghasilkan lebih dari 3 miliar views untuk seluruh kontennya. Selain itu juga memfasilitasi sekitar 5000 komunitas storyteller dan mendukung merek dan bisnis yang digunakan untuk kebutuhan penceritaan mereka.

“Viddsee Labs berkembang secara regional, mengidentifikasi 11 IP lain yang berpotensi tinggi dikembangkan menjadi proyek jangka panjang untuk berbagai mitra hiburan. Di antara batu tulis mencakup enam proyek dari Indonesia seperti Stratagem, In The Middle Of The Blackhole, Antar Ibu Pulang dan lainnya,” tambah Jian.

Belum lama ini, perusahaan juga menawarkan layanan Viddsee for Business sebagai solusi satu atap untuk merek, bisnis, pemasar, dan mitra hiburan untuk terlibat dan berkolaborasi untuk semua kebutuhan penceritaan mereka. Layanan utamanya termasuk studio hiburan Viddsee Studios, inkubator IP Viddsee Labs, serta pasar kreatif global Viddsee Talent Hub.

Viddsee Studios sendiri didirikan pada tahun 2017 dengan fokus pada pengembangan Viddsee Originals, lalu berkembang menjadi pembuatan konten. Storytelling yang otentik telah menjadi pendekatan yang disukai oleh merek dan bisnis untuk mendorong pesan, kampanye, dan proyek mereka.

“Kami berfokus pada distribusi konten tempat kami membantu pembuat konten untuk memonetisasi video pendek mereka film. Kami baru-baru ini bermitra dengan Singapore Airlines untuk menghadirkan Viddsee favorit penonton
Film orisinal untuk hiburan dalam penerbangan dan berbagai saluran TV.”

Perusahaan juga berkolaborasi bersama pembuat film di jaringan storyteller Viddsee dalam mengembangkan serial berdurasi panjang untuk perusahaan hiburan dan penyiaran, termasuk meluncurkan Viddsee Labs yang merupakan IP Inkubator yang mengembangkan IP test-bedded menjadi IP bentuk panjang atau serial.

Tahun lalu, Viddsee Talent Hub diluncurkan untuk menjembatani dan memfasilitasi kolaborasi dengan storyteller regional dalam mengembangkan, mendistribusikan, dan memperkuat konten.

Jian juga mengungkapkan bagaimana Viddsee menjadi platform bagi para kreator untuk memamerkan keterampilan bercerita mereka, mendistribusikan konten, dan menarik penonton dari cerita-cerita unik. Kami ingin terus mengembangkan konten melalui cara-cara kreatif dan inovatif yang akan mengembangkan penceritaan masa depan.

“Web terbuka Web3 memungkinkan lebih banyak kesetaraan bagi kreator dan penggemar untuk berkolaborasi, berbagi pengalaman, dan mengembangkan cerita generasi berikutnya, menantang cara cerita diceritakan dan diingat,” ungkap Jian.

Ekosistem hiburan Candee

Peluncuran Candee juga sekaligus memperkenalkan Candee Labs, sebuah studio IP pertama Web3 di Indonesia. Inovasi baru ini memungkinkan para pembuat konten dan penggemar untuk melakukan monetisasi melalui kepemilikan sambil mendorong pembangunan komunitas dan loyalitas. Grup ini telah bekerja sama dengan proyek Web3 ternama, seperti BBRC x IVY Boys.

Candee adalah ekosistem hiburan yang menjembatani ekosistem Web2 dan Web3. Keberhasilan Viddsee dilihat sebagai peluang untuk memperluas layanan IP perusahaan, serta memanfaatkan dengan lebih baik potensi IP yang sudah ada atau yang baru di ruang Web3.

“Kami percaya pada potensi Web3 dan kami melihat inovasi seputar blockchain, sebagai sebuah game changer untuk pencipta dan penggemar. Kami bercita-cita untuk memberdayakan pencipta dan komunitas penggemar melalui inovasi, pengalaman, dan wawasan data untuk mengembangkan cerita generasi berikutnya,” ungkap Jian dalam wawancara terpisah.

Candee Labs merupakan studio IP pertama Web3 dan merupakan lengan eksplorasi untuk berinteraksi dengan proyek Web3. Solusi ini memungkinkan kreator dan penggemar untuk menghasilkan uang melalui kepemilikan sambil membina relasi dan loyalitas masyarakat. Merek dan bisnis juga dapat terlibat dalam inovasinya memperluas kebutuhan sotrytelling di berbagai teknologi.

Candee saat ini sedang dalam tahap pengembangan untuk konten terkait Web3 serta nilai yang akan ditawarkan. Sejak diluncurkan, segala sesuatunya masih terasa baru dan mereka tengah menyelaraskan peluangnya melalui platform Candee. Web3 dinilai membuka cara baru bagi perusahaan untuk menangani IP serta menciptakan inovasi untuk terlibat dengan komunitas yang berbeda.

Baik itu layanan Web3 atau Web2, perusahaan mengaku tetap setia pada identitasnya sebagai platform kreator yang fokus pada kebutuhan audiens terlebih dahulu. Saat ini perusahaan juga sedang dalam tahap pengembangan awal kolaborasi dengan BBRC x Ivy Boys yang terkenal yang telah terjual habis dengan kehadiran komunitas yang kuat di Web3.

“Intinya, kami ingin menjadi ekosistem hiburan yang benar-benar memberdayakan konten berkreasi dan membuat cerita yang akan terus hidup dan dikenang. Teknologi tetap menjadi inti dari bisnis kami. Melalui teknologi seperti blockchain, kami akan memanfaatkannya untuk mempelopori peluang bagi kreator, penggemar, dan merek untuk memonetisasi IP dan konten. Kita
juga ingin membuat lebih banyak acara hiburan dan IP – apakah itu di Web2 hingga Viddsee atau Web3 melalui Candee Labs,” tutup Jian.

Application Information Will Show Up Here

Aplikasi Kaget! Diluncurkan, Mungkinkan Pengguna Pesan Video Ucapan dari Selebritas

Mengemban misi menyediakan layanan konten untuk perayaan momentum spesial (platform video-gift), aplikasi Kaget! diluncurkan. Secara sederhana, cara kerja aplikasi ini ialah menjembatani pengguna dengan figur publik pilihan, untuk memberikan ucapan dalam bentuk video singkat. Misalnya untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun, kado pernikahan dan sebagainya; direkam oleh selebritas yang dipilih.

Beberapa nama artis yang sudah masuk dalam opsi ada Dira Suganti, Oka Antara, Artika Sari Devi, Dominique Diyose dan sebagainya. Aplikasi ini resmi dirilis oleh 15 Agustus 2019 lalu oleh startup di bawah nama legal PT Tri Lestari Abadi. Agni Pratistha Kuswardono atau dikenal sebagai Puteri Indonesia 2006 adalah salah satu founder-nya.

“Ini merupakan cara baru untuk memberikan kejutan kepada orang yang disayangi, saat ini orang Indonesia harus kreatif mengemas sesuatu yang tidak biasa. Jadi, dalam merayakan momen, harus perlu totalitas agar hal tersebut menjadi kenangan yang indah,” ujar Agni.

Video ucapan yang didapat dari aplikasi Kaget! nantinya dapat diunduh dan disebarkan melalui medium lain –baik media sosial maupun aplikasi pesan. Saat ini perusahaan juga masih terus menjangkau kemitraan dengan para selebriti untuk melengkapi opsi figur di aplikasi. Setiap pembuatan video ucapan akan dikenakan biaya tertentu.

Tampilan aplikasi Kaget!
Tampilan aplikasi Kaget! di platform Android

Sejauh ini memang belum ada aplikasi seperti itu di Indonesia. Harusnya Kaget! mendapatkan momentum di tengah peningkatan pengguna media sosial di Indonesia. Konten video singkat semacam itu memang tengah banyak diminati, khususnya di kalangan muda. Salah satunya berujung pada banyaknya platform media sosial populer merilis fitur Story di aplikasi.

Application Information Will Show Up Here

Ekspansi Bisnis, Developer TikTok Turut Garap Smartphone

Populer berkat minat tinggi Gen Z terhadap video singkat, tim developer TikTok paham betul bagaimana perangkat bergerak sangat sulit dilepaskan dari keseharian mereka. Di konferensi Creators & Content Marketing beberapa minggu lalu, ByteDance mengungkapkan bahwa 98 persen kalangan generasi Z punya smartphone dan mereka tersambung ke internet selama 10 jam dalam sehari.

Boleh jadi, kondisi ini memberikan ByteDance sebuah ide: bagaimana jika mereka turut menyediakan ponsel pintar dengan milik sendiri demi memenuhi permintaan generasi Z? Tak lagi sekadar keinginan, langkah itu betul-betul ByteDance eksekusi. Di hari Senin kemarin, ByteDance mengumumkan kolaborasinya bersama Smartisan Technology untuk menggarap smartphone sebagai langkah mengekspansi bisnis ke luar ranah app dan video.

Buat sekarang, penampakan, spesifikasi serta harga ‘smartphone TikTok’ masih belum diketahui. Kita hanya dapat berasumsi bahwa produk ini ditujukan bagi konsumen berusia muda dan mungkin dibanderol di harga yang terjangkau. Meski demikian, ada sejumlah informasi yang bisa kita ekstrak dari penyingkapan ini, salah satunya: pengembangan smartphone tidak dilakukan ByteDance dari nol.

Dikonfirmasi oleh juru bicara ByteDance, penggarapan smartphone telah lebih dulu dimulai oleh Smartisan sebelum adanya perjanjian antar kedua perusahaan. Mereka setuju untuk bermitra demi melanjutkan agenda Smartisan dalam rangka memuaskan konsumen setianya. Di awal tahun ini, ByteDance sempat mengambil alih sejumlah paten milih Smartisan, bahkan beberapa staf mereka juga ditransfer ke tim TikTok.

Namanya memang kurang familier di Indonesia, tapi menurut keterangan Reuters, Smartisan ialah produsen produk yang tergolong niche di Tiongkok. Perusahaan didirikan oleh pesohor internet Luo Yonghao di tahun 2012, dan seperti brand lain asal negara itu, Smartisan turut mengembangkan OS-nya sendiri yang merupakan modifikasi dari Android. Melengkapi platform mereka, perusahaan juga menyediakan layanan online semisal Smiling Cloud, Store dan App Store.

TikTok sendiri bukanlah nama asing di telinga pengguna smartphone tanah air. Platform khusus video singkat tersebut kini bisa diakses di 150 negara, didukung oleh 75 bahasa dan kantor cabangnya tersebar di 50 lokasi di dunia. Rekor unduhnya berhasil mengalahkan PUBG Mobile, WhatsApp hingga Instagram. Kepopuleran TikTok mendongkrak nama ByteDance sebagai pemain atas di ranah teknologi, pelan-pelan menyusul Baidu serta Tencent.

Beberapa pertanyaan terakhir saya terkait smartphone TikTok: Seperti apa optimalisasi yang diterapkan ByteDance? Apakah perangkat dibekali OS berbasis Android? Lalu apakah implementasinya mirip konsep HTC First dengan Facebook Home-nya?

Sumber: Reuters.

Menggali Strategi dan Teknologi yang Diusung TikTok Dalam Upaya Menggaet Gen Z

Einstein pernah bilang bahwa takaran dari kecerdasan seseorang ialah kemampuan mereka untuk beradaptasi terhadap perubahan. Di ranah teknologi serta internet, perubahan berjalan begitu cepat sembari membawa hal baik dan buruk. Mungkin Anda masih ingat kontroversi yang ditimbulkan oleh TikTok. Pemerintah Indonesia sempat memblokir app ini karena berseliwearannya konten-konten negatif.

Berita gembiranya, TikTok sudah banyak berubah sejak ia meluncur kurang lebih dua tahun silam. Setelah dihantam kritisi terkait masalah privasi, ketergantungan, dan keselamatan (terutama bagi user berusia muda), developer ByteDance pelan-pelan mengimplementasikan sejumlah fitur keamanan. Contohnya: kita bisa membuat batasan akses ke app (dari mulai 40 sampai 120 menit per hari). Jika tenggat waktunya tercapai, kita perlu memasukkan password sebelum bisa kembali membuka app.

TikTok 2

Tentu saja TikTok turut dibekali fungsi pelaporan, pemblokiran, serta ‘mode terbatas’ buat menyaring video-video tertentu. Sebagai bentuk realisasi ByteDance dalam menanggulangi konten-konten negatif – dan supaya TikTok dapat dizinkan lagi beroperasi di Indonesia – mereka menugaskan tim berisi 20 orang untuk melakukan moderasi terhadap segala video yang beredar. Berkat desakan tersebut, developer turut menerapkan sistem pembatasan umur.

TikTok kini tersedia di 150 negara/wilayah, didukung 75 bahasa, dan punya 50 kantor cabang tersebar di dunia. Versi iOS-nya telah diunduh sebanyak lebih dari 104 juta kali di periode paruh pertama tahun 2018. Jumlah ini melampaui rekor yang sempat dipegang oleh PUBG Mobile, YouTube, Facebook, WhatsApp dan Instagram.

Dan di acara 2019 TikTok SEA Creators & Content Marketing Conference, ByteDance berbicara banyak soal tren video singkat dan teknologi yang mereka usung di app populer tersebut.

TikTok 9

 

Karakteristik Gen Z

Saat ini masih ada banyak orang menyiapkan atau mendesain produk mereka untuk kalangan millennial. Sejujurnya, era keemasan Gen Y sudah berakhir dan sekarang adalah waktunya generasi Z buat bersinar. Di presentasinya, Surayot Aimlaor selaku head of marketing TikTok Thailand menyampaikan bahwa rata-rata penduduk Asia Tenggara menghabiskan waktu 3,6 jam sehari untuk bermain smartphone (Indonesia mencapai 3,9 jam), dan persentasenya didominasi oleh pengguna berusia 15 sampai 24 tahun.

TikTok 10

98 persen dari kelompok generasi Z punya smartphone-nya sendiri. Mereka ini tersambung ke internet selama 10 jam sehari dan 1/3 di antaranya menonton video hingga satu jam sehari, serta mengonsumsi rata-rata 68 dalam periode 24 jam. Tapi ada efek samping dari ketersediaan serta kemudahan akses konten bagi kalangan tersebut: umumnya, mereka cuma bisa menghabiskan waktu delapan detik buat memerhatikan satu topik (attention span). Selanjutnya, Gen Z akan mengalihkan fokusnya ke hal lain.

Karakteristik inilah yang dimanfaatkan oleh TikTok. ByteDance menyebut layanan ini sebagai platform short-video nomor satu di dunia – terutama di kawasan Asia dan Amerika. Pengguna dipersilakan untuk membuat video berdurasi 3 sampai 15 detik atau maksimal satu menit. Dari pengakuan sejumlah kreator, salah satunya dancer asal Surabaya Kelly Courtney, video 15 detik ternyata merupakan jenis konten yang lebih disukai dan merangsang lebih banyak komentar.

TikTok 8

Dalam diskusi panel, CEO Kantar China Rana Deepender membahas lebih jauh mengenai karakteristik Gen Z. Banyak orang menyangka, dibanding millennial, kalangan ini mempunyai loyalitas brand yang lebih rendah. Ternyata hal ini keliru. Pengguna generasi Z sangat sadar terhadap merek dan mereka cenderung setia pada nama-nama yang konsisten dalam memegang prinsip atau nilai tertentu.

TikTok 7

Menjawab pertanyaan saya, senior director global marketing Lionel Sim menjelaskan bahwa mereka tidak khawatir jika kepopuleran tren short-video akan menurun di masa depan, atau saat era Gen Z telah berlalu. Perhatian utama mereka bukan sekadar terpusat pada video singkat, tapi bagaimana memudahkan semua orang berkreasi.

TikTok 6

 

Teknologi di balik layanan TikTok

Memang mudah mengesampingkan teknologi dan upaya penggarapannya ketika sebuah layanan menawarkan kesederhanaan pemakaian. TikTok menjadi app favorit kalangan pengguna berusia muda karena kombinasi kayanya fitur serta UI yang intuitif. Di tampilan utama saja, Anda disuguhkan akses ke beragam pilihan musik, filter, serta fungsi untuk men-switch kamera atau mengubah kecepatan video. Tombol upload juga ditempatkan di layer yang sama.

TikTok 4

Namun sisi teknologi TikTok jauh lebih dalam dari itu semua. Beberapa contoh kecil misalnya filter yang bisa mengubah warna rambut, lalu saya juga sempat melihat pemanfaatan sistem augmented reality untuk menempatkan (dinosaurus) Velociraptor virtual dengan latar belakang dunia sesungguhnya. Lalu ada pula fitur stiker ala ‘3D emoji‘ yang dapat menggantikan muka sembari mengikuti raut wajah Anda.

Satu fitur lagi yang berhasil memukau saya ialah stiker dan lensa bertema hujan. Cukup berbekal lambaian tangan, pengguna dapat menghentikan tetesan air sembari mengaktifkan fungsi zoomin/out. Skenario ini sedikit mengingatkan saya adegan di film The Matrix, ketika Neo menyetop peluru. Agar bisa menyajikan hal tersebut, ByteDance menggarap sebuah sistem yang mampu melacak 21 titik di telapak tangan sehingga mampu mendeteksi tak kurang dari 19 tipe gesture dengan keakuratan 99 persen.

TikTok 3

Machine learning (dan kecerdasan buatan, jika saya tak salah dengar) juga dimanfaatkan agar penerapan filter dan stiker lebih akurat. Selain itu, algoritma pintar juga digunakan agar konten bisa sampai pada pengguna yang tepat, dalam rangka mengoptimalkan sistem rekomendasi.

Satu kesimpulan menarik yang saya tangkap dari presentasi panjang ByteDance serta wawancara bersama developer adalah, mereka mau bersusah payah mengembangkan bermacam-macam teknologi yang kompleks, kemudian mengemasnya dalam interface sederhana demi memudahkan semua orang buat jadi kreator.

TikTok 5

Sentimen negatif terhadap TikTok, terutama di Indonesia, memang masih belum sepenuhnya hilang. Tapi saya rasa upaya-upaya ByteDance dalam memoles berbagai aspek di platform short-video itu serta melihat kepatuhan developer mengikuti kebijakan pemerintah tetap mesti diapresiasi.

Perlu Anda ketahui bahwa sejumlah lembaga pemerintah seperti Kominfo dan Kemenpar turut menggunakan TikTok demi menyebarkan informasi serta menjangkau dan berinteraksi dengan masyarakat.

Aplikasi Studio Mobile Musical.ly dan Tik Tok Segera Melebur Jadi Aplikasi Baru

Musical.ly, aplikasi studio mobile asal Amerika Serikat, akan melebur dengan aplikasi sejenis asal Tiongkok, Tik Tok, pasca diakusisi penuh oleh ByteDance, induk usaha Tik Tok, pada akhir tahun lalu. Peleburan diharapkan akan mendongkrak lebih banyak pengguna utama dari kalangan generasi Z menjadi kreator, terutama dari Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara.

Generasi Z adalah golongan usia dimulai dari tahun kelahiran 1996-2010. Diperkirakan jumlahnya di Indonesia mencapai 68 juta atau sekitar 29 persen dari total populasi. Sedangkan di global mencapai 2,5 miliar atau 34 persen dari total populasi seluruh dunia.

“Nanti akan jadi aplikasi baru, sekarang sedang proses. Rencananya tahun ini akan diumumkan,” terang Country Manager Tik Tok dan Musical.ly Teguh Wicaksono, pekan lalu (10/2).

Lewat peleburan ini, ke depannya perusahaan akan lebih fokus mengembangkan fitur-fitur berteknologi kecerdasan buatan (AI) dengan mencampurkan unsur lokalisasi sesuai masing-masing negara.

ByteDance disebut memiliki spesialisasi di bidang tersebut sehingga diharapkan bisa menjadi unsur diferensiasi yang kuat dengan aplikasi sejenis. Penerapan teknologi AI juga bisa dilihat di aplikasi flagship ByteDance yang cukup populer di Tiongkok, yakni Toutiao.

Platform yang baru ini diharapkan lebih mudah digunakan dan efisien untuk mengakomodasi kebutuhan pengguna dalam menciptakan konten. Terlebih, sambung Teguh, fokus perusahaan pada saat ini adalah meningkatkan pengguna, belum terpaku dalam monetisasi.

Untuk menarik pengguna baru, pihaknya merangkul berbagai kerja sama bisnis dengan perusahaan lokal dan global, seperti Ismaya Live, RCTI, Warner Music Indonesia, Universal Indonesia, Sony Music Indonesia, Indosat Ooredoo, Apple Music, Disney, Billboard, dan lainnya.

Perkembangan Musical.ly dan Tik Tok

Musical.ly sendiri hadir pada 2015, sementara Tik Tok hadir tahun lalu. Teguh mengklaim, kedua aplikasi ini tumbuh pesat secara organik setiap tahunnya. Terlihat dari pengguna aktif dan komunitas yang terbentuk dengan sendirinya, sehingga menjadikan Indonesia sebagai pasar terbesar di Asean bagi kedua aplikasi ini.

Musical.ly diungkapkan berhasil menciptakan talenta baru di bidang musik, komedi, dan fesyen. Sedangkan Tik Tok melengkapi kebutuhan kreator dengan teknologi interaktif dan efek khusus yang lebih maju, seperti fitur Gaga Dance, efek hair drying, stiker 3D, dan fitur digital lainnya.

“Kami melihat ke depannya akan ada banyak hal yang bisa dikerjakan bersama dengan ByteDance, makanya setuju [diakusisi]. Lagipula ini win win solution. Musical.ly sudah punya basis pengguna yang besar di pasar global, sementara Tik Tok punya pengguna besar di Tiongkok.”

Secara global, baik Musical.ly dan Tik Tok telah diunduh lebih dari 500 juta kali. Penonton video harian mencapai 10 miliar, serta 150 juta pengguna MAU di seluruh dunia dengan negara kontributor terbesar adalah Amerika Serikat dan Inggris. Tidak dijelaskan secara spesifik berapa kontribusi dari Indonesia secara global.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here