Tangi Adalah Platform Video Pendek Khusus untuk Topik DIY dan Kreativitas

Divisi eksperimental Google, Area 120, kembali menelurkan aplikasi yang cukup unik. Dinamai Tangi, ia sejatinya merupakan platform video pendek ala TikTok (atau Byte), akan tetapi fokusnya hanya tertuju pada topik DIY (do-it-yourself) maupun ragam konten kreatif lainnya.

Tangi sendiri berasal dari kata “tangible” yang berarti “berwujud”, dan di saat yang sama juga merupakan singkatan yang agak memaksa dari “TeAch aNd GIve”. Ya, tujuan dari diciptakannya Tangi memang adalah untuk membantu orang-orang belajar menciptakan banyak hal melalui video-video berdurasi maksimum 1 menit.

Deretan video yang tersaji di halaman utamanya dapat disortir berdasarkan kategori (Art, Cooking, DIY, Fashion & Beauty, Lifestyle). 60 detik jelas terlalu singkat untuk panduan langkah demi langkah yang mendetail, dan konten seperti ini jelas lebih cocok diunggah ke YouTube. Sebaliknya, Tangi lebih ideal menampung video-video macam cooking hack atau sejenisnya.

Tangi

Fokus pada konten DIY dan kreativitas membuat Tangi sepintas terdengar mirip dengan Pinterest. Satu fitur yang cukup unik dari Tangi adalah “Try It”, yang mempersilakan penonton untuk mempraktekkan apa yang mereka tonton, memotret hasilnya lalu mengunggahnya sebagai komentar, memicu interaksi dengan komunitas.

Salah satu kekurangan Tangi adalah, kita tidak bisa seenaknya sendiri mengunggah video. Setidaknya untuk sekarang, kreator diwajibkan mendaftar terlebih dulu supaya bisa menyumbang konten ke platform Tangi. Ini dimaksudkan supaya koleksi videonya tidak ada yang melenceng dari topik DIY dan kreativitas itu tadi.

Tangi saat ini sudah bisa diakses melalui browser ataupun aplikasi iOS. Untuk sekadar menonton video-videonya, kita bahkan tidak perlu login menggunakan akun Google terlebih dulu.

Sumber: Google dan TechCrunch.

Reinkarnasi Platform Video Pendek Vine, Byte, Resmi Diluncurkan

24 Januari 2013, platform video pendek Vine resmi menyapa dunia. 24 Januari 2020, lahir platform video dengan premis serupa bernama Byte. Apakah ini suatu kebetulan? Tentu tidak. Byte merupakan kreasi Dom Hofmann, yang sendirinya dikenal sebagai salah satu pendiri Vine.

Vine, seperti yang kita tahu, sudah ‘dibunuh’ oleh Twitter sejak sekitar tiga tahun lalu. Meski begitu, Dom Hofmann rupanya masih belum mau menyerah. Beberapa kali ia mengungkapkan keinginannya untuk menghidupkan Vine kembali. Hingga akhirnya menjelang akhir 2018, ia mengonfirmasi bahwa reinkarnasi Vine bakal mengusung nama Byte.

Awalnya dijadwalkan meluncur pada musim semi 2019, Byte ternyata agak terlambat. Konsep yang ditawarkannya sama persis seperti Vine, yakni mewadahi beragam video dengan durasi maksimum 6 detik. Video di Byte pun juga akan diputar berulang kali (looping) layaknya di Vine dulu.

Byte app

Yang berbeda justru adalah kondisi pasarnya. Instagram dan TikTok saat ini merupakan pemimpin di ranah social video, dan ini berarti Byte perlu menyuguhkan lebih dari sekadar nuansa nostalgia yang diwariskan Vine. Sajian ekstra itu datang dalam bentuk program monetisasi.

Rencananya, Byte akan segera menguji sejumlah opsi monetisasi bagi para kreator yang sudah cukup tenar di Byte. Pastinya bagaimana belum dirincikan, akan tetapi Byte melihat program monetisasi inilah yang bakal menjadi salah satu faktor pembeda, terutama jika dibandingkan dengan TikTok yang nyaris tidak menyediakan cara bagi komunitas kreatornya untuk mendapatkan uang.

Aplikasi Byte sendiri saat ini sudah tersedia untuk perangkat Android maupun iOS, tapi sayangnya belum di semua negara, termasuk di Indonesia. Sejumlah kreator veteran Vine juga sudah mulai mencicipi Byte, termasuk idola saya @pinot.

Sumber: TechCrunch.

Application Information Will Show Up Here

Menggali Strategi dan Teknologi yang Diusung TikTok Dalam Upaya Menggaet Gen Z

Einstein pernah bilang bahwa takaran dari kecerdasan seseorang ialah kemampuan mereka untuk beradaptasi terhadap perubahan. Di ranah teknologi serta internet, perubahan berjalan begitu cepat sembari membawa hal baik dan buruk. Mungkin Anda masih ingat kontroversi yang ditimbulkan oleh TikTok. Pemerintah Indonesia sempat memblokir app ini karena berseliwearannya konten-konten negatif.

Berita gembiranya, TikTok sudah banyak berubah sejak ia meluncur kurang lebih dua tahun silam. Setelah dihantam kritisi terkait masalah privasi, ketergantungan, dan keselamatan (terutama bagi user berusia muda), developer ByteDance pelan-pelan mengimplementasikan sejumlah fitur keamanan. Contohnya: kita bisa membuat batasan akses ke app (dari mulai 40 sampai 120 menit per hari). Jika tenggat waktunya tercapai, kita perlu memasukkan password sebelum bisa kembali membuka app.

TikTok 2

Tentu saja TikTok turut dibekali fungsi pelaporan, pemblokiran, serta ‘mode terbatas’ buat menyaring video-video tertentu. Sebagai bentuk realisasi ByteDance dalam menanggulangi konten-konten negatif – dan supaya TikTok dapat dizinkan lagi beroperasi di Indonesia – mereka menugaskan tim berisi 20 orang untuk melakukan moderasi terhadap segala video yang beredar. Berkat desakan tersebut, developer turut menerapkan sistem pembatasan umur.

TikTok kini tersedia di 150 negara/wilayah, didukung 75 bahasa, dan punya 50 kantor cabang tersebar di dunia. Versi iOS-nya telah diunduh sebanyak lebih dari 104 juta kali di periode paruh pertama tahun 2018. Jumlah ini melampaui rekor yang sempat dipegang oleh PUBG Mobile, YouTube, Facebook, WhatsApp dan Instagram.

Dan di acara 2019 TikTok SEA Creators & Content Marketing Conference, ByteDance berbicara banyak soal tren video singkat dan teknologi yang mereka usung di app populer tersebut.

TikTok 9

 

Karakteristik Gen Z

Saat ini masih ada banyak orang menyiapkan atau mendesain produk mereka untuk kalangan millennial. Sejujurnya, era keemasan Gen Y sudah berakhir dan sekarang adalah waktunya generasi Z buat bersinar. Di presentasinya, Surayot Aimlaor selaku head of marketing TikTok Thailand menyampaikan bahwa rata-rata penduduk Asia Tenggara menghabiskan waktu 3,6 jam sehari untuk bermain smartphone (Indonesia mencapai 3,9 jam), dan persentasenya didominasi oleh pengguna berusia 15 sampai 24 tahun.

TikTok 10

98 persen dari kelompok generasi Z punya smartphone-nya sendiri. Mereka ini tersambung ke internet selama 10 jam sehari dan 1/3 di antaranya menonton video hingga satu jam sehari, serta mengonsumsi rata-rata 68 dalam periode 24 jam. Tapi ada efek samping dari ketersediaan serta kemudahan akses konten bagi kalangan tersebut: umumnya, mereka cuma bisa menghabiskan waktu delapan detik buat memerhatikan satu topik (attention span). Selanjutnya, Gen Z akan mengalihkan fokusnya ke hal lain.

Karakteristik inilah yang dimanfaatkan oleh TikTok. ByteDance menyebut layanan ini sebagai platform short-video nomor satu di dunia – terutama di kawasan Asia dan Amerika. Pengguna dipersilakan untuk membuat video berdurasi 3 sampai 15 detik atau maksimal satu menit. Dari pengakuan sejumlah kreator, salah satunya dancer asal Surabaya Kelly Courtney, video 15 detik ternyata merupakan jenis konten yang lebih disukai dan merangsang lebih banyak komentar.

TikTok 8

Dalam diskusi panel, CEO Kantar China Rana Deepender membahas lebih jauh mengenai karakteristik Gen Z. Banyak orang menyangka, dibanding millennial, kalangan ini mempunyai loyalitas brand yang lebih rendah. Ternyata hal ini keliru. Pengguna generasi Z sangat sadar terhadap merek dan mereka cenderung setia pada nama-nama yang konsisten dalam memegang prinsip atau nilai tertentu.

TikTok 7

Menjawab pertanyaan saya, senior director global marketing Lionel Sim menjelaskan bahwa mereka tidak khawatir jika kepopuleran tren short-video akan menurun di masa depan, atau saat era Gen Z telah berlalu. Perhatian utama mereka bukan sekadar terpusat pada video singkat, tapi bagaimana memudahkan semua orang berkreasi.

TikTok 6

 

Teknologi di balik layanan TikTok

Memang mudah mengesampingkan teknologi dan upaya penggarapannya ketika sebuah layanan menawarkan kesederhanaan pemakaian. TikTok menjadi app favorit kalangan pengguna berusia muda karena kombinasi kayanya fitur serta UI yang intuitif. Di tampilan utama saja, Anda disuguhkan akses ke beragam pilihan musik, filter, serta fungsi untuk men-switch kamera atau mengubah kecepatan video. Tombol upload juga ditempatkan di layer yang sama.

TikTok 4

Namun sisi teknologi TikTok jauh lebih dalam dari itu semua. Beberapa contoh kecil misalnya filter yang bisa mengubah warna rambut, lalu saya juga sempat melihat pemanfaatan sistem augmented reality untuk menempatkan (dinosaurus) Velociraptor virtual dengan latar belakang dunia sesungguhnya. Lalu ada pula fitur stiker ala ‘3D emoji‘ yang dapat menggantikan muka sembari mengikuti raut wajah Anda.

Satu fitur lagi yang berhasil memukau saya ialah stiker dan lensa bertema hujan. Cukup berbekal lambaian tangan, pengguna dapat menghentikan tetesan air sembari mengaktifkan fungsi zoomin/out. Skenario ini sedikit mengingatkan saya adegan di film The Matrix, ketika Neo menyetop peluru. Agar bisa menyajikan hal tersebut, ByteDance menggarap sebuah sistem yang mampu melacak 21 titik di telapak tangan sehingga mampu mendeteksi tak kurang dari 19 tipe gesture dengan keakuratan 99 persen.

TikTok 3

Machine learning (dan kecerdasan buatan, jika saya tak salah dengar) juga dimanfaatkan agar penerapan filter dan stiker lebih akurat. Selain itu, algoritma pintar juga digunakan agar konten bisa sampai pada pengguna yang tepat, dalam rangka mengoptimalkan sistem rekomendasi.

Satu kesimpulan menarik yang saya tangkap dari presentasi panjang ByteDance serta wawancara bersama developer adalah, mereka mau bersusah payah mengembangkan bermacam-macam teknologi yang kompleks, kemudian mengemasnya dalam interface sederhana demi memudahkan semua orang buat jadi kreator.

TikTok 5

Sentimen negatif terhadap TikTok, terutama di Indonesia, memang masih belum sepenuhnya hilang. Tapi saya rasa upaya-upaya ByteDance dalam memoles berbagai aspek di platform short-video itu serta melihat kepatuhan developer mengikuti kebijakan pemerintah tetap mesti diapresiasi.

Perlu Anda ketahui bahwa sejumlah lembaga pemerintah seperti Kominfo dan Kemenpar turut menggunakan TikTok demi menyebarkan informasi serta menjangkau dan berinteraksi dengan masyarakat.

IGTV Kini Mendukung Video Berformat Landscape

Saat IGTV diluncurkan tahun lalu, salah satu hal yang paling dibanggakan Instagram adalah sifat eksklusif platform tersebut untuk para pengguna smartphone. Hal itu ditunjukkan lewat format video vertikal alias portrait yang didukung IGTV, dan Instagram yakin betul ini merupakan cara paling alami mengonsumsi konten di smartphone.

Namun pada prakteknya, masih banyak kreator yang kurang sreg dengan format vertikal dan memilih mengunggah kontennya ke IGTV dalam format landscape. Alhasil, pengalaman yang didapat para penonton jadi kurang maksimal akibat garis hitam besar di bagian atas dan bawah video.

Beruntung ke depannya tidak harus seperti itu, sebab Instagram baru saja mengumumkan bahwa IGTV kini telah mendukung format landscape. Keputusan ini didasari oleh perbincangan mereka dengan para penonton maupun kreator yang ingin lebih bebas dalam berekspresi.

Instagram pun menyamakan perubahan keputusan ini seperti ketika mereka menghadirkan dukungan format selain square pada platform-nya di tahun 2015. Idealisme itu boleh, tapi ketika praktek di lapangan menunjukkan hasil yang berbeda, beradaptasi merupakan langkah yang lebih bijak.

Kira-kira seperti itu visi yang dipegang teguh oleh Instagram. Mereka bilang bahwa ini baru permulaan, dan mereka berkomitmen untuk terus berevolusi demi pertumbuhan IGTV sekaligus membuka peluang buat para kreator untuk memperoleh penghasilan lewat platform ini.

Sumber: Instagram.

Sistem Ranking Video Facebook Bakal Lebih Prioritaskan Konten yang Bersifat Orisinal

Sebagai sebuah platform video, Facebook memang belum sebesar YouTube, tapi itu tidak mencegah sejumlah kreator mendedikasikan seluruh karyanya buat para pengguna Facebook. Sebaliknya, Facebook juga ingin lebih memanjakan para kreator yang sudah memilih platform-nya dalam berkarya.

Mereka baru saja mengumumkan pembaruan yang bakal diterapkan pada sistem ranking video-video yang tersebar di Facebook. Secara garis besar, Facebook ingin lebih memprioritaskan video-video yang bersifat orisinal, bukan yang sebatas diedit ulang dan ditambahi caption begitu saja.

Singkat cerita, Facebook bakal lebih membatasi ‘pergerakan’ video-video yang tidak orisinal ini. Harapannya tentu saja adalah supaya penonton dapat lebih mudah menemukan konten dari kreator yang benar-benar berdedikasi dalam berkarya.

Dalam beberapa bulan ke depan, sistem ranking video di Facebook bakal lebih mengistimewakan video-video yang tak sekadar banyak dicari, tapi juga mampu membuat kita menontonnya berulang-ulang dari waktu ke waktu.

Perlakuan yang sama juga bakal diterapkan untuk video-video yang berhasil menarik perhatian menonton lebih dari satu menit, khususnya untuk video yang durasinya melebihi angka tiga menit. Intinya, kalau suatu video terbukti mampu membuat penontonnya merasa engaged, maka video itu bakal lebih sering muncul di News Feed, Facebook Watch maupun algoritma rekomendasi “More Videos”.

Selain membenahi sistem ranking, Facebook juga menjabarkan secara detail pedoman buat kreator video di platform-nya, termasuk untuk aspek monetisasinya.

Sumber: Facebook via Engadget.

Giphy Luncurkan Platform Baru Khusus untuk Video Berdurasi Pendek

Giphy kita kenal sebagai situs untuk mencari berbagai macam gambar bergerak dalam format GIF. Yang kita tidak tahu adalah visi mereka untuk berekspansi ke medium lain, yakni video. Bukan, Giphy bukannya berniat menyaingi YouTube. Fokus mereka lebih ke arah video berdurasi pendek.

Baru-baru ini, mereka mengadakan event Giphy Film Fest, mengajak para kreator untuk membuat video yang menarik, tapi dengan durasi maksimum 18 detik saja. Sebanyak 118 finalis telah terpilih, dan karyanya sekarang bisa kita nikmati di platform video Giphy.

Ke depannya, Giphy bakal menaikkan batasan durasi maksimum menjadi 30 detik pada platform videonya. Masih mengusung filosofi GIF, video di platform Giphy juga bisa di-loop alias diputar berulang-ulang.

Platform video Giphy ini pada dasarnya bisa dilihat sebagai penantang baru di segmen yang sebelumnya dikuasai oleh Vine. Vine kita tahu sudah buyar sejak akhir 2016. Kendati demikian, pendiri Vine berencana meluncurkan reinkarnasinya yang bernama Byte mulai tahun depan.

Ini bukan pertama kalinya Giphy mencoba menjadi alternatif Vine. Ketika Vine diumumkan tutup, mereka sempat meluncurkan tool supaya kreator Vine bisa memindahkan kontennya ke Giphy. Memang bukan solusi yang ideal, itulah mengapa platform video barunya ini jauh lebih menarik untuk disoroti.

via GIPHY

Sumber: Engadget.

IGTV Adalah Platform Video Pesaing YouTube dari Instagram

Siapa yang menyangka Instagram bisa jadi sebesar ini, apalagi mengingat pada awalnya ia tak lebih dari sekadar versi yang lebih mobile dan sosial dari Flickr. Namun seiring berjalannya waktu, Instagram terus berevolusi hingga akhirnya menjadi bagian penting dari keseharian banyak orang.

Sebanyak apa memangnya? Tercatat sekitar satu miliar orang mengakses Instagram setiap bulannya. Dengan modal sebesar ini, Instagram pun sudah siap untuk memperluas platform-nya lebih lagi, dan dari situ lahirlah IGTV, yang pada dasarnya bakal menjadi penantang baru YouTube.

Kita semua memang sudah bisa mengunggah video ke Instagram, tapi durasinya tidak bisa lebih dari satu menit. IGTV berbeda, di sini Anda bisa mengunggah video sampai satu jam lamanya, dan ini tidak terbatas untuk kreator-kreator ternama saja, melainkan semua pengguna tanpa terkecuali.

IGTV

Yang membuat IGTV unik adalah bagaimana platform ini dibangun secara spesifik untuk pengguna smartphone. Semua video di IGTV ditampilkan dalam format vertikal (portrait) dan secara full-screen. Kalau Anda rutin mengonsumsi konten dari Instagram Stories, sejatinya tidak ada yang berbeda di IGTV terkecuali durasinya.

Juga unik adalah bagaimana konten IGTV bisa dinikmati melalui aplikasi Instagram maupun aplikasi IGTV tersendiri. Kalau di Instagram, Anda hanya perlu mengklik icon baru di sebelah icon DM untuk mengakses IGTV.

Di aplikasi IGTV yang terpisah, video akan langsung diputar sesaat setelah aplikasi dibuka. Untuk menemukan lebih banyak konten, pengguna tinggal mengusap layar ke atas. Dari situ mereka bisa memilih antara tab “For You”, “Following” dan “Popular”, atau melakukan pencarian secara manual.

IGTV

Tanpa harus menunggu lama, IGTV sudah langsung diluncurkan secara global di Android maupun iOS. Andaikata Anda belum menemukannya di app store masing-masing, coba tunggu beberapa hari mengingat proses peluncurannya bisa memakan waktu sekitar beberapa minggu.

Lalu bagaimana dengan aspek monetisasi, mengingat IGTV punya potensi untuk bersaing dengan YouTube? Untuk sekarang, IGTV masih bebas iklan, akan tetapi ke depannya Instagram bakal menawarkan cara agar para kreator dapat memperoleh pendapatan dari hasil karyanya masing-masing.

Sumber: Instagram dan TechCrunch.

Application Information Will Show Up Here