Google, Amazon dan Apple Berkolaborasi untuk Menciptakan Standar Konektivitas Perangkat Smart Home

Salah satu alasan mengapa tren perangkat smart home terkesan agak terhambat adalah belum adanya satu standar atau protokol yang bisa dijadikan acuan oleh semua produsen. Untuk sekarang, konsumen pada dasarnya diharuskan memilih satu dari sederet ekosistem; Google dengan Nest, Amazon dengan Echo, Apple dengan HomeKit, Samsung dengan SmartThings, dan masih banyak lagi.

Di Amerika Serikat, sebenarnya sudah ada satu protokol yang cukup populer, yakni Zigbee. Namun perusahaan yang memanfaatkannya dan yang tergabung dalam Zigbee Alliance masih belum begitu banyak. Itulah mengapa dinilai perlu ada standar baru yang melibatkan lebih banyak pihak, dan buah inisiatifnya adalah Connected Home over IP.

Di samping Zigbee Alliance, nama-nama besar di industri yang tergabung dalam proyek ini meliputi Google, Amazon, dan Apple. Tujuan dari proyek ini adalah menyederhanakan proses pengembangan di antara para pabrikan, serta meningkatkan kompatibilitas dari sisi konsumen.

Pendekatan yang diambil adalah dengan rute open-source, sehingga hasil akhirnya dapat membuahkan protokol baru yang dapat dimanfaatkan oleh semua produsen perangkat smart home tanpa terkecuali. Buat konsumen, ini berarti ke depannya kita tidak harus ‘terkunci’ dalam satu ekosistem smart home saja.

Masing-masing perusahaan yang tergabung dalam aliansi baru ini akan menyumbangkan sebagian teknologinya untuk diolah lagi menjadi standar konektivitas yang sifatnya universal. Google misalnya, mereka sejauh ini sudah punya dua protokol yang open-source, yakni Weave dan Thread, dan ini nantinya bakal menjadi salah satu fondasi dari standar baru yang ditetapkan.

Sumber: VentureBeat dan Google.

 

YI Smart Home Hadirkan Solusi Pengawasan Rumah Praktis dan Terjangkau

Memasang CCTV memang cukup penting untuk menjaga keamanan rumah, apalagi buat Anda yang sering bepergian dan meninggalkan rumah dalam keadaan kosong. Namun proses pemasangan teknologi keamanan ini biasanya cukup rumit dan harganya juga lumayan mahal.

Kabar baiknya, YI baru-baru ini telah memperkenalkan YI Dome Camera X dan YI Home Camera 3. Kedua perangkat ini merupakan solusi keamanan rumah pintar (smart home) dengan gratis penyimpanan YI Cloud 7 hari berkelanjutan.

Melalui serangkaian produk YI Smart Home, YI ingin mengubah persepsi bahwa kamera keamanan rumah berharga mahal dan membutuhkan pemasangan yang rumit. Produk-produk YI dirancang agar mudah diinstalasi dan terjangkau tanpa mengorbankan fitur dan kualitas.

“Banyak konsumen yang menghindar dari sistem keamanan yang rumit (seperti CCTV) karena biaya dan kerumitan proses instalasi. Dengan kamera smart home yang dapat dipasang sendiri (DIY) oleh pelanggan, kami memberikan solusi untuk kedua permasalahan tersebut,” ujar Sean Da, CEO & Founder of YI Technology.

YI Dome Camera X

PSX_20191030_104856

YI Dome Camera X memiliki resolusi 1080p dengan cakupan 360 derajat untuk menjangkau setiap sudut rumah. Dilengkapi dengan smart alerts berbasis artificial intelligence (AI) dan sensor deteksi gerakan pintar, YI Dome Camera X dapat membedakan antara manusia dan hewan peliharaan dengan objek bergerak lainnya, sehingga mampu menghasilkan sinyal peringatan yang lebih akurat kepada pengguna.

Pendeteksi suara abnormal pada kamera akan memperingatkan pengguna akan suara-suara seperti tangisan bayi, kaca jendela pecah, atau pintu terdobrak. Kini, pengguna dapat memonitor aktivitas yang terjadi di dalam rumah dimanapun dan kapanpun melalui smartphone.

PSX_20191030_104901

Kamera ini dilengkapi dengan penyimpanan online YI Cloud dan Data Protection, menyimpan rekaman dibuat menjadi mudah dan aman. Perlu diingat, Anda dapat memantau keadaan hingga 7 hari yang lalu menggunakan aplikasi Yi Home. Bila ingin lebih lama, misalnya 1 bulan – Anda bisa melakukan upgrade melalui aplikasi.

YI Home Camera 3

PSX_20191030_104847

YI Home Camera 3 adalah generasi terbaru dari lini kamera keamanan rumah terlaris dari YI. Memiliki resolusi 1080P full HD dengan teknologi smart human detection serta algoritma pendeteksi suara yang canggih dalam mengidentifikasi dan serta mengirimkan sinyal peringatan kepada pengguna akan suara-suara yang tidak lazim dalam jarak 5 meter.

Fitur AI pada kamera memungkinkan pengguna untuk mengatur notifikasi pada sistem autopilot dan menikmati manfaat keamanan rumah tanpa kerumitan pengaturan manual. Fitur pencarian YI Smart Cloud Search memungkinkan pengguna untuk mengambil momen-momen penting dalam hitungan detik dengan mengidentifikasi rekaman yang relevan secara otomatis di dalam YI Cloud mereka, dan memungkinkan mereka untuk menonton rekaman secara langsung.

PSX_20191030_104852

Ya, kedua produk ini bisa dipasang sendiri – bahkan bila Anda tidak memiliki konektivitas WiFi di rumah. Anda bisa menggunakan modem atau tethering dari smartphone. Desain yang minimalis dan ringkas juga membuatnya mudah menyatu dengan rumah, fleksibel bisa ditempatkan di mana pun di dalam ruangan.

Bagi yang berminat, YI hadir di Indocomtech 2019 pada 30 Oktober-3 November 2019 di Hall B Stan B9A, Jakarta Convention Center dengan konsep “Smart Home & Smart Drive Immersive Retail Experience”. Konsep yang diusung akan membawa pelanggan Indonesia merasakan bagaimana ekosistem Smart Home dan Smart Drive bekerja, inisiatif ini sejalan dengan visi Indocomtech 2019 yaitu menyediakan teknologi untuk semua orang.

Selain itu, ada penawaran eksklusif untuk pembelian YI Dome Camera X dan YI Home Camera 3 di Indocomtech. Tersedia hanya di stan YI selama acara, paket YI Dome Camera X dipadu dengan SD card 16 GB seharga Rp699.000 (harga retail Rp749.000) dan YI Home Camera 3 dipadu dengan SD card 16 GB seharga Rp499.000 (harga retail Rp529.000).

Produk YI Smart Home tersedia di penjual-penjual resmi YI di seluruh Indonesia dan toko online resmi YI (Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee). Harga produk mulai dari Rp429.000 – Rp949.000 dengan garansi satu tahun dari distributor utama YI.

YI Smart Drive

Selain YI Smart Home, YI juga menghadirkan rangkaian produk YI Smart Drive di Indonesia. Produk yang saat ini tersedia adalah YI Smart Dash Camera. Produk ini dilengkapi dengan Advanced Driver Assistance System (ADAS), sebuah fitur yang dapat mengurangi masalah keamanan dengan memonitor tingkat kelelahan dan gangguan yang dialami konsumen.

Seluruh rekaman video akan dianalisis secara otomatis. Mengemudi dapat menjadi lebih aman karena pengemudi akan diperingatkan kapanpun kendaraan berisiko atau perilaku mengemudi yang membahayakan terdeteksi.

Philips Hue Play HDMI Sync Box Biarkan Lampu-Lampu Pintar Anda Menari Mengikuti Tayangan TV

Berkat kerja sama antara Razer dan Philips tahun lalu, lampu pintar Hue kini dapat ‘menari’ mengikuti jalannya sesi gaming di PC. Jadi yang menyala dalam beragam warna mengikuti apa yang tampil di layar bukan cuma periferal RGB besutan Razer saja, tapi juga deretan lampu Hue yang mengisi ruangan.

Kabar baiknya, level sinkronisasi yang sama kini juga bisa diwujudkan di ruang tamu atau ruang keluarga tempat kita menikmati hiburan bersama. Semuanya berkat perangkat bernama Philips Hue Play HDMI Sync Box yang baru saja diluncurkan.

Philips Hue Play HDMI Sync Box

Sesuai namanya, perangkat ini dirancang untuk mewujudkan sinkronisasi antara lampu Hue dan TV via HDMI. Ia dilengkapi empat port input HDMI, siap disambungkan dengan beragam perangkat, mulai dari set-top box sampai game console. Setelahnya, tinggal sambungkan Sync Box ke TV via output HDMI-nya.

Perangkat ini membutuhkan bantuan Hue Bridge agar bisa berkomunikasi dengan deretan lampu Hue di ruangan. Setelah semuanya siap, lampu-lampu Hue yang tersambung akan berganti-ganti warna dengan sendirinya menyesuaikan dengan apa yang sedang ditayangkan oleh TV. Istimewanya, setiap unit Hue yang tersambung bisa menyala dalam warna yang berbeda, menyesuaikan dengan posisinya masing-masing di sekitar TV.

Philips Hue Play HDMI Sync Box

Sync Box juga hadir bersama aplikasi pendampingnya sendiri. Lewat aplikasi ini, konsumen dapat menyesuaikan beragam parameter, mulai dari kecepatannya berganti warna hingga intensitas efek pencahayaannya.

Yang mungkin agak mengkhawatirkan dari perangkat ini adalah harganya. Philips membanderolnya seharga $230, dan itu sama sekali belum termasuk satu pun unit lampu Hue maupun Hue Bridge. Namun bagi konsumen yang memang sudah ‘terjerumus’ ke dalam ekosistem Hue, Philips Hue Play HDMI Sync Box bisa menjadi tambahan yang menarik buat ruang keluarganya.

Sumber: Signify.

IKEA Kian Serius Mengembangkan Ekosistem Rumah Pintar

Namanya kerap diasosiasikan dengan aksesori dan perabotan rumah siap rakit, sudah lebih dari satu dekade IKEA mengamankan gelar sebagai perusahaan retail furnitur terbesar di dunia. Dan sejak beberapa tahun lalu, brand asal Swedia ini berupaya untuk mengintegrasikan teknologi ke produk serta layanannya, dari mulai virtual maupun augmented reality, 3D printing, hingga melangsungkan kolaborasi bersama Sonos belum lama ini.

Tentu saja ranah smart home juga tidak luput dari perhatian IKEA. Di tahun 2012, mereka memulai proyek pengembangan rumah pintar dengan tujuan untuk membenamkan elemen digital dan teknologi ke solusi serta produk-produknya. Kali ini, perusahaan memutuskan untuk melakukan investasi lebih besar melalui penetapan IKEA Home Smart sebagai unit bisnis mandiri di bawah IKEA Sweden. Lewat langkah tersebut, IKEA ingin menggarap ekosistem smart home secara lebih menyeluruh.

IKEA 1

Lewat rilis pers, Björn Block yang ditunjuk untuk mengepalai divisi IKEA Home Smart menjelaskan bahwa pembentukan unit ini merupakan strategi perusahaan mengeksplorasi solusi melampaui penyediaan perabotan rumah tangga tradisional. Pada akhirnya, arahan tersebut diharapkan dapat memberikan konsumen produk-produk yang membuat kehidupan mereka jadi lebih baik, sembari mengajak pelanggan untuk ‘terus bergerak maju’.

Sejak dicetus, IKEA Home Smart memang punya misi untuk memperkaya segala aspek yang brand tawarkan. Awalnya, sang perusahaan furnitur melakukannya dengan meluncurkan perangkat-perangkat seperti pencahayaan pintar, unit wireless charging, serta sistem audio pintar yang dikerjakan secara kolaboratif bersama Sonos. Selain itu, IKEA juga pernah menciptakan sistem ramah lingkungan serta aplikasi pengaturan lampu pintar (tadinya dinamai  Trådfri seperti bohlam pintar, kemudian diubah jadi IKEA Home smart app).

IKEA 3
Björn Block.

Peter van der Poel selaku manager IKEA Range & Supply menyampaikan, Home Smart merupakan unit bisnis baru terbesar yang mereka dirikan sejak diperkenalkannya IKEA Children. Pembentukan Home Smart juga dianggap sebagai kelanjutan dari kolaborasi IKEA dengan perusahaan-perusahaan teknologi. Ke depannya, IKEA bercita-cita buat membuka kesempatan baru melalui perangkat-perangkat yang saling terhubung dalam satu ekosistem.

Pada akhirnya, Home Smart akan menjadi ujung tombak transformasi digital bagi seluruh lini bisnis IKEA. Ia dipercaya dapat menyempurnakan solusi yang sudah ada serta menciptakan peluang baru, terutama lewat bermacam-macam produk pintar.

IKEA 2

“Dan semua ini hanyalah sebuah permulaan,” kata Björn Block menutup pernyataannya.

Anda mungkin sudah tahu bahwa IKEA bukan satu-satunya perusahaan yang berkomitmen menyeriusi smart home. Sebelumnya, sejumlah raksasa teknologi dan elektronik telah cukup lama mendalami segmen ini, misalnya seperti Apple, Google sampai Xiaomi.

Masuk Dalam Fortune Global 500, Xiaomi Kian Agresif di Ranah Smart Home

Saat mendarat di Indonesia, saya masih ingat bagaimana Xiaomi mencoba menekankan bahwa mereka bukan sekadar produsen smartphone tapi juga perusahaan software. Namun kini kita tahu Xiaomi lebih dari itu. Ada banyak barang elektronik yang mereka sediakan, termasuk produk-produk home appliance. Dan sejak beberapa tahun silam, brand dari Beijing ini juga mulai menapaki ranah smart home.

Tepat di tanggal 29 Juli kemarin, Xiaomi mengumumkan bahwa mereka menjadi perusahaan termuda yang masuk dalam daftar Fortune Global 500 dan mengucapkan terima kasih pada dukungan seluruh pihak di Indonesia. Country head Steven Shi selaku head of Southeast Asia menjelaskan bagaimana Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dan mengungkapkan kembali komitmen perusahaan untuk ‘menyediakan berbagai produk teknologi inovatif’ di sini.

Sedikit mengenai Xiaomi di daftar Fortune Global 500: Perusahaan kabarnya menempati urutan ke-468 dengan pendapatan sebesar US$ 26.443,5 juta, dan Xiaomi hanya butuh waktu sembilan tahun untuk bisa sampai di sana. Segera setelah sambutannya usai, Steven Shi mengarahkan awak media buat menyimak tema besar berikutnya yang ingin Xiaomi angkat: smart home.

Mi 1

 

Smart home

Istilah rumah pintar mengacu pada tempat tinggal yang mengusung sistem automasi. Sistem ini biasanya mengatur pencahayaan, temperatur, aspek hiburan, perabotan elektronik, sampai keamanan. Walaupun sangat tersegmentasi akibat begitu banyaknya vendor, ranah smart home terus berkembang. Kabarnya, pasar home automation mencapai nilai US$ 5,77 miliar di tahun 2013 dan diperkirakan mampu menyentuh US$ 12,81 miliar di 2020.

Mi 12

Terkait smart home, Anda mungkin sudah familier dengan solusi yang Xiaomi tawarkan. Sang produsen sudah lama menawarkan integrasi antara sensor pintu/jendela, smart bulb, alarm, sampai automasi perangkat pemurni udara. Semua hal ini dijelaskan lebih detail di acara media gathering kemarin.

Mi 18

Xiaomi memang belum menghadirkan solusi smart home secara total di Indonesia, namun beberapa perkakas sudah mereka siapkan agar kita bisa mulai membangun sistem automasi. Tapi sebelum memulai semua itu, kita terlebih dulu perlu menentukan apa yang ingin dicapai dengan penerapan smart home: apakah untuk menyederhanakan rutinitas sehari-hari atau buat fungsi pengawasan?

Mi 10

 

Untuk memulainya

Buat membangun sistem automasi di rumah,  pertama-tama Anda membutuhkan set Mi Smart Sensor. Di dalam paketnya terdapat unit control hub, motion sensor, sensor pintu dan jendela serta wireless switch. Mi Control hub bisa diibaratkan sebagai otak dari ekosistem smart home, merupakan pusat dari segala kemampuan pintar yang memungkinkan perangkat bisa saling terhubung serta mempersilakan Anda melakukan berbagai pengaturan.

Mi 11

Selanjutnya via aplikasi Mi Home di perangkat bergerak, kita bisa mengustomisasi warna LED, menentukan ringtone, serta mengakses sensor dan perabotan pintar lain dari jarak jauh.

Mi 14

Rangkaian sensor pintu atau jendela juga punya peranan penting di skema rumah pintar Xiaomi. Misalnya, mereka dapat memberi tahu Anda jika ada pintu/jendela yang terbuka; atau Anda bisa memerintahkan agar unit pemurni udara mati atau beroperasi di mode rendah tenaga begitu pintu/jendela terbuka demi menghemat listrik.

Mi 9

Untuk kebutuhan pengawasan, Xiaomi turut menyertakan Mi Motion Sensor. Perangkat ini memanfaatkan inframerah serta lensa polyolefin buat mendeteksi gerakan orang ataupun peliharaan. Ia dirancang agar bisa diletakkan di mana saja, dapat berkerja jadi alarm serta mengaktifkan suatu perabotan tertentu secara otomatis.

Mi 16

Satu lagi bagian yang tak kalah penting adalah Mi Wireless Switch. Alat mungil ini terdiri dari tombol yang fungsinya dapat disesuaikan dengan kebutuhan – contohnya menyala-matikan semua perangkat pintar di rumah – dan kita bisa menaruhnya di mana saja (jadi jangan sampai hilang). Mi Wireless Switch dapat langsung bekerja tanpa proses setup.

Mi 15

 

Perabotan pintar Mi di Indonesia

Ada beberapa produk pintar Xiaomi yang sudah bisa dibeli secara resmi di Indonesia, di antaranya adalah Mi Bedside Lamp (Rp 700 ribu), Mi LED Desk Lamp (Rp 500 ribu), Mi Induction Heating Rice Cooker (Rp 1,3 juta), Mi Smart Kettle (Rp 560 ribu), Mi LED Smart Bulb (Rp 300 ribu), Mi Home Security Camera 360 (Rp 600 ribu), Mi Robot Vacuum (Rp 4,5 juta), serta tentu saja Mi Smart Sensor Set (Rp 1 juta).

Mi 3

Jantung dari Mi Bedside Lamp ialah pencahayaan berbasis LED RGB. Itu artinya Anda bisa memilih 16 juta warna lebih dan kustomisasinya dapat dilakukan langsung dengan sentuhan jari. ‘Lampu tidur’ ini tersambung via koneksi Bluetooth 4.2 atau Wi-Fi ke smartphone, kemudian ia juga kompatibel ke layanan Amazon Alexa serta Google Assistant.

Mi 4

Mi LED Desk Lamp punya karakteristik yang berbeda dari Bedside Lamp. Anda diperkenankan mengatur temperatur warna dari 2700K ke 5600K – biasanya warna kekuningan lebih bersahabat bagi mata saat membaca. Lampu ini bebas efek flickering, menyuguhkan empat variasi mode, kompatibel ke Alexa dan bisa diakses via Mi Home dan Google Assistant.

Mi 6

Mirip Bedside Lamp, Mi LED Smart Bulb turut menyajikan opsi 16 juta warna lebih serta mempersilakan kita untuk meredupkan cahaya dan mengubah ‘suhunya’. Semua pengaturan bisa dilakukan sepenuhnya via aplikasi Mi Home, dan ia tak memerlukan hub eksternal agar dapat beroperasi.

Mi 8

Mi Smart Kettle mampu menjaga temperatur hingga 12 jam. Di mode warm, Anda bahkan bisa menentukan suhu air secara spesifik. Berbicara aspek teknis, Smart Kettle dibekali lapisan baja anti-karat 304, memanfaatkan desain dua lapis agar tidak mudah melepuh, dan mampu menampung air sebanyak 1,5-liter.

Mi 2

Sesuai namanya, Mi Home Security Camera 360 1080 adalah kamera pengawas dengan poros putaran 360 derajat dan melihat keadaan sekitarnya di resolusi full-HD. Kamera pintar ini mampu memberi tahu Anda ketika mendeteksi gerakan serta efektif saat bekerja di kondisi temaram. Lagi-lagi, pengendalian bisa dilakukan sepenuhnya via app Mi Home di smartphone.

Mi 5

Mi Induction Heating Rice Cooker merupakan satu-satunya perangkat yang tidak disambungkan ke Mi App di sesi demo kemarin karena alasan keamanan. Singkatnya, rise cooker pintar ini mampu menanak nasi untuk jenis/resep masakan berbeda. Dan karena memanfaatkan teknik induksi, distribusi panas jadi lebih merata dan bumbunya jadi lebih menyerap.

Mi 7

Mi Robot Vacuum ialah alternatif yang jauh lebih terjangkau iRobot Roomba atau Dyson 360 Eye dan ia tidak kalah cerdas. Rangkaian sensor yang dimilikinya memungkinkan robot pembersih ini mendeteksi keadaan di sekitarnya dan merencanakan rute, serta otomatis akan kembali ke docking ketika tugasnya beres. Tentu saja Anda dapat mengendalikannya secara manual lewat app.

Kini Dilengkapi Bluetooth, Philips Hue Dapat Dikontrol dari Smartphone Tanpa Perlu Bergantung dengan Unit Hub

Berdasarkan observasi sekaligus pengalaman pribadi, salah satu alasan mengapa konsumen masih enggan menggunakan bohlam pintar di rumahnya adalah karena harganya cukup mahal. Banderol yang tinggi ini sebenarnya juga punya alasan tersendiri: untuk bisa berfungsi secara maksimal, bohlam pintar biasanya perlu bergantung pada sebuah unit hub yang menjadi perantaranya dengan koneksi Wi-Fi di rumah.

Problem itu sudah dipecahkan oleh Philips. Mereka baru saja merilis versi baru Hue, dan keunggulan utamanya adalah bohlam-bohlam ini turut dilengkapi konektivitas Bluetooth. Ini berarti konsumen dapat langsung mengontrolnya dari smartphone (atau via perintah suara menggunakan smart speaker Alexa), tanpa perlu membeli unit hub sebagai perantaranya.

Hilangnya ketergantungan Hue dengan unit hub ini merupakan kabar baik bagi konsumen yang belum pernah merasakan keuntungan memiliki bohlam pintar. Mereka cukup membeli satu atau dua bohlam, mencobanya selama beberapa hari, lalu kalau memang tertarik untuk menambah jumlahnya di kediaman masing-masing, mereka tinggal membeli unit hub-nya saja.

Unit hub ini masih diperlukan sebab kelemahan konektivitas Bluetooth adalah perihal jarak. Hue berkonektivitas Bluetooth ini hanya dapat dioperasikan dari jarak paling jauh 10 meter. Lebih dari itu, atau ketika Anda sudah meninggalkan kediaman dan ternyata lupa mematikan lampu di kamar, Anda pun sudah sepenuhnya kehilangan kendali.

Terlepas dari itu, Hue berbekal Bluetooth ini tetap sangat ideal buat sebagian besar konsumen, terutama mereka yang tinggal di apartemen berukuran tidak terlalu besar. Menurut Philips, unit hub baru dibutuhkan apabila konsumen menggunakan lebih dari 10 bohlam di kediamannya.

Sejauh ini, varian Philips Hue yang sudah kebagian jatah Bluetooth adalah A19 dan BR30. Menariknya, harganya tidak berubah terlalu signifikan: $15 untuk bohlam standar (menyala putih saja), $25 untuk bohlam ambiance (bisa diatur temperatur warnanya dari putih sampai kuning), dan $50 untuk bohlam unggulan yang bisa menyala warna-warni tergantung keinginan.

Sumber: The Verge.

Google Luncurkan Smart Display yang Lebih Besar dan Lebih Canggih: Nest Hub Max

Google mengakuisisi produsen perangkat smart home Nest pada awal tahun 2014. Pasca akuisisi, Nest rupanya masih beroperasi sendiri, hingga akhirnya pada pertengahan tahun lalu, diumumkan bahwa tim Nest resmi dilebur dengan divisi hardware Google yang menangani produk-produk seperti smart speaker Google Home maupun Chromecast.

Namun itu bukan berarti nama Nest sudah tinggal sejarah. Sebaliknya, Google justru baru saja mengumumkan bahwa mereka bakal mulai memasarkan lini produk Google Home di bawah branding Nest. Salah satu contohnya adalah Google Home Hub yang kini telah berganti nama menjadi Nest Hub.

Bersamaan dengan itu, Google turut mengungkap smart display speaker yang lebih gres lagi, yaitu Nest Hub Max. Sesuai namanya, ia merupakan versi lebih bongsor dari Nest Hub. Kalau Nest Hub cuma mengemas layar sentuh 7 inci, Nest Hub Max mengusung layar sentuh 10 inci dengan resolusi 1280 x 800.

Tubuh yang lebih besar juga berarti Hub Max lebih mumpuni perihal performa audio, dan itu diwujudkan lewat sepasang tweeter 18 mm dengan output 10 W, didampingi oleh subwoofer 75 mm dengan output 30 W. Namun ternyata Google tidak menyia-nyiakan ruang ekstra yang dimiliki Hub Max untuk itu saja.

Google Nest Hub Max

Berbeda dari Nest Hub, Hub Max mengemas kamera depan 6,5 megapixel dengan sudut pandang seluas 127 derajat. Video call jelas merupakan salah satu kegunaannya, dan Google pun tak lupa menyertakan fitur auto-framing supaya penggunanya selalu diposisikan di tengah bingkai layar selama percakapan video berlangsung – mirip seperti fitur yang ditawarkan Facebook Portal.

Juga menarik adalah bagaimana kehadiran kamera dapat membuat Hub Max jadi bisa difungsikan sebagai kamera pengawas suatu ruangan ketika penggunanya sedang berada di luar rumah. Seperti halnya kamera pengawas keluaran Nest, semuanya bisa dimonitor secara remote via aplikasi pendamping di smartphone.

Akan tetapi yang paling menarik adalah fitur bernama Face Match. Sebelum ini, Nest Hub sudah lebih dulu menawarkan fitur Voice Match, di mana Google Assistant yang terintegrasi mampu mengenali suara individu yang berbeda dan merespon dengan lebih spesifik. Face Match punya fungsi yang serupa, tapi yang dikenali bukanlah suara, melainkan wajah.

Jadi usai melewati proses pengenalan wajah dan datanya disimpan secara aman di perangkat, pengguna dapat langsung menikmati fitur Face Match. Setiap kali pengguna bergerak menghampiri Hub Max, kameranya bakal mengenalinya, lalu perangkat akan menampilkan informasi yang spesifik buat individu tersebut; entah itu agenda harian, panduan navigasi maupun info lainnya.

Google Nest Hub Max

Di Amerika Serikat, Nest Hub Max bakal dipasarkan mulai musim panas mendatang seharga $229. Google juga berencana membawanya ke lebih banyak negara, sayang Indonesia masih belum termasuk salah satunya (yang paling dekat adalah Singapura).

Dalam kesempatan yang sama, Google juga memperbarui banderol harga tiap-tiap produk dari lini Home-nya. Nest Hub (Google Home Hub) kini dijual seharga $129 saja di Amerika Serikat, sedangkan Google Home dan Google Home Max sekarang dihargai masing-masing $99 dan $299.

Sumber: Google.

Ikea Resmi Pamerkan Wujud Final Speaker Hasil Kolaborasinya dengan Sonos

Belum lama ini, Ikea mengumumkan bahwa speaker hasil kolaborasinya dengan Sonos bakal diluncurkan pada bulan Agustus nanti. Kendati demikian, Ikea sepertinya sudah tidak sabar memamerkan wujud perangkat tersebut ke hadapan publik.

Lewat sebuah siaran pers, Ikea mengumumkan bahwa tujuh produknya berhasil memenangkan gelar Red Dot Awards 2019 di bidang desain, dan salah satunya adalah speaker Symfonisk yang mereka kerjakan bersama Sonos.

Dibandingkan dengan prototipenya, versi final ini tentu tampak jauh lebih terpoles. Selain bisa diberdirikan, perangkat juga bisa ditanamkan ke tembok demi merangkap fungsi sebagai rak. Pada bagian atasnya, kita bisa melihat label kecil bertuliskan “Sonos” berdampingan dengan “Ikea”.

Sayangnya sejauh ini Ikea baru mengungkap wujudnya saja. Rincian spesifikasi maupun fiturnya sepertinya masih harus menunggu sampai jadwal peluncuran resminya di bulan Agustus nanti.

Ikea Symfonisk

Lebih lanjut, tidak ada yang tahu berapa model Symfonisk yang sudah mereka siapkan. Bisa jadi lebih dari satu, hanya saja kebetulan yang memenangkan penghargaan dari Red Dot cuma model yang satu ini.

Namun pada akhirnya hal yang paling dinantikan oleh konsumen dari kolaborasi Sonos dan Ikea ini adalah, bagaimana campur tangan Ikea bisa membuat produk Sonos lebih bersahabat dengan kantong. Anda yang pernah kepincut dengan speakerspeaker besutan Sonos pasti tahu semahal apa banderolnya.

Sebaliknya, Ikea selama ini terkenal dengan produk-produknya yang berharga terjangkau, dan untuk speaker ini, mereka juga sudah berencana untuk memasarkannya dalam harga yang terjangkau pula. Sebagai perbandingan, speaker Sonos termurah saat ini adalah Play:1 yang dijual seharga $149, sehingga semestinya banderol Symfonisk akan berada di bawahnya.

Sumber: The Verge.

Ikuti Tren, Xiaomi Umumkan Smart Display Berukuran Mini

Merasa pernah melihat gambar di atas? Itu karena Anda pernah membaca artikel mengenai Lenovo Smart Clock, yang baru saja diungkap pada bulan Januari kemarin. Bukan, gambar di atas bukanlah perangkat besutan Lenovo tersebut, melainkan smart display terbaru garapan Xiaomi.

Namanya Xiao Ai Touchscreen Speaker Box, dan kemiripannya dengan Lenovo Smart Clock mungkin hanya sebatas kebetulan. Juga seperti Lenovo Smart Clock, ia dilengkapi layar berukuran empat inci. Kebetulan lagi? Mungkin saja, tapi yang pasti layar ini dapat dipakai untuk memutar video maupun konten lainnya, di samping sekadar menjadi penunjuk waktu.

Konten-konten yang dimaksud tentu adalah yang berasal dari layanan-layanan di dataran Tiongkok. Sejauh ini belum ada informasi terkait ketertarikan Xiaomi untuk merilis versi internasionalnya.

Xiao Ai Touchscreen Speaker Box

Juga masih belum jelas adalah software yang menenagainya; apakah Android Things, lalu apakah asisten virtual-nya menggunakan Google Assistant atau bikinan Xiaomi sendiri? Yang sudah dikonfirmasi, perangkat ini dapat digunakan untuk mengontrol beragam perangkat smart home bikinan Xiaomi, termasuk menampilkan apa yang ada di balik kamera sebuah video doorbell.

Detail yang masih minim sebenarnya merupakan hal yang wajar mengingat perangkat ini belum punya jadwal pemasaran. Yang ada baru rencana untuk memulai tahap open beta, yang dijadwalkan berlangsung pada 28 Februari mendatang.

Saya pribadi cukup tertarik dengan perangkat ini, apalagi mengingat harganya sudah pasti sangat terjangkau sebagai sebuah Xiaomi. Semoga saja Xiaomi tergerak untuk merilis versi internasionalnya, dan semoga versi tersebut datang mengusung OS Android Things beserta integrasi Google Assistant.

Sumber: Engadget.

Mengapa Smart Speaker di Indonesia Belum Sepopuler di Amerika Serikat?

“Alexa, I’m leaving.” Seketika itu pula lampu apartemen dipadamkan, tirai jendela diturunkan, dan penghangat ruangan dimatikan. Pulang kerja dan setibanya di rumah, Alexa kembali dipanggil; “Alexa, cooking time,” dan dalam sekejap lampu dapur langsung menyala, disusul oleh alunan musik upbeat yang di-stream via Spotify.

Kira-kira seperti itulah gambaran keseharian manusia modern. Namun kalau Anda jeli, Anda bisa melihat saya menyebut “penghangat ruangan” ketimbang “AC”. Alasannya, skenario ini jauh lebih mudah dicapai apabila kita tinggal di Amerika Serikat daripada di Indonesia.

Apakah negara kita sebegitu tertinggalnya perihal teknologi sampai-sampai tren smart home yang berpusat pada smart speaker dan integrasi voice assistant sulit diwujudkan? Jelas bukan itu masalahnya, tapi lalu mengapa smart speaker di Indonesia belum sepopuler di AS?

Saya melihat setidaknya ada empat poin penting yang menghambat perkembangan tren smart speaker di tanah air, dan saya akan coba membahasnya satu per satu lewat artikel ini.

Soal bahasa

Google Assistant dalam bahasa Indonesia / Google
Google Assistant dalam bahasa Indonesia / Google

Seperti yang kita tahu, voice assistant macam Alexa, Siri maupun Google Assistant diciptakan untuk berinteraksi secara lisan. Dukungan bahasa Indonesia mungkin sudah tersedia – terutama pada Google Assistant – tapi pada prakteknya komunikasi dengan voice assistant masih lebih mudah dijalani menggunakan bahasa Inggris.

Kalau tidak percaya, silakan cari video review Amazon Echo atau Google Home berbahasa Indonesia di YouTube. Videonya memang dalam bahasa Indonesia, akan tetapi bisa saya pastikan hampir semuanya berinteraksi dengan voice assistant menggunakan bahasa Inggris. Untuk yang sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia, kebanyakan adalah mereka yang iseng mencoba keahlian Google Assistant dalam melawak.

Masalah bahasa ini menurut saya hanyalah masalah waktu. Ketika pertama diluncurkan beberapa tahun lalu, Google Assistant juga tidak langsung bisa berbahasa Indonesia, namun sekarang ia sudah fasih dan pandai membuat lelucon dalam bahasa ibu kita. Seiring waktu, dukungan bahasa voice assistant akan semakin lengkap dan sempurna, dan semoga saja di titik itu kita sebagai konsumen juga jadi makin terbiasa berinteraksi menggunakan bahasa Indonesia.

Bagi yang sudah lancar berbahasa Inggris, saya kira Anda tak akan menemukan kesulitan dalam menggunakan smart speaker. Namun mayoritas tidak demikian, sehingga wajar apabila faktor bahasa ini menjadi penghambat perkembangan tren smart speaker di tanah air – setidaknya untuk saat ini.

Soal perbedaan budaya

Google Home Hub / Google
Google Home Hub / Google

Permasalahan bahasa dalam banyak kesempatan akan selalu dikaitkan dengan masalah perbedaan budaya. Yang membedakan di sini adalah, orang Indonesia cenderung tidak verbal ketika bersentuhan dengan teknologi.

Saya pribadi merasakannya. Saya fasih berbahasa Inggris, akan tetapi Siri di iPhone tidak pernah aktif. Pernah saya mencoba mengaktifkannya dengan maksud supaya lebih mudah memasang alarm (tinggal menginstruksikan Siri secara lisan), tapi ternyata saya jauh lebih terbiasa membuka aplikasi alarm secara manual, atau malah meminta tolong istri saya menyetel alarm di ponsel saya seumpama saya sedang disibukkan dengan hal lain dan tiba-tiba teringat harus bangun lebih awal di keesokan harinya.

Oke lah ini semua hanya masalah kebiasaan, tapi kita semua tahu tidak mudah mengubah suatu kebiasaan, apalagi yang sudah terbentuk sejak kecil. Bagi saya pribadi, kebiasaan ini bisa diubah apabila poin selanjutnya juga sudah bisa teratasi.

Soal ekosistem smart home yang belum besar

Ilustrasi aplikasi untuk mengontrol perangkat smart home. Mengontrol beberapa sekaligus dengan satu frasa jelas lebih mudah lagi / Pixabay
Ilustrasi aplikasi untuk mengontrol perangkat smart home. Mengontrol beberapa sekaligus dengan satu frasa jelas lebih mudah lagi / Pixabay

Pada skenario yang saya singgung di awal, perangkat smart home tentu memegang peranan penting dalam mewujudkannya. Lampu, tirai jendela, dan penghangat ruangan di situ semuanya dapat berkomunikasi via jaringan Wi-Fi, dan voice assistant memegang peran sebagai perantara.

Di Amerika Serikat, ekosistem smart home sudah tergolong sangat maju. Contoh yang paling gampang adalah pintu garasi. Di sana, cukup umum menjumpai rumah-rumah dengan pintu garasi yang dapat membuka sendiri ketika pemiliknya terdeteksi sudah dekat. Di Indonesia, saya yakin populasi penjualnya cukup langka, sebab memang pasarnya kurang cocok.

Ketika ekosistem smart home sudah meluas dan konsumen dapat dengan mudah melengkapi kediamannya dengan perabot-perabot pintar, di titik itulah smart speaker beserta voice assistant di dalamnya bisa berperan secara maksimal. Satu frasa singkat seperti di awal tadi sudah cukup untuk mengoperasikan beberapa perangkat sekaligus.

Google Assistant pada Google Home adalah salah satu yang paling bisa berinteraksi secara alami / Google
Google Assistant pada Google Home adalah salah satu yang paling bisa berinteraksi secara alami / Google

Pabrikan biasa menyebut fitur ini dengan istilah “routines“, dan menurut saya pribadi, routines adalah kunci dari sinergi antara smart speaker dan perangkat smart home. Tanpa routines, sebagian besar perangkat smart home akan terasa gimmicky. Namun dengan routines, kita bisa langsung merasakan bedanya beserta kepraktisan yang ditawarkannya.

Tahun lalu, saya mulai melihat banyak iklan-iklan properti yang mencantumkan “gratis perangkat smart home” sebagai salah satu nilai jual utamanya. Ini bisa menjadi pertanda bahwa ekosistem smart home di negara kita tidak stagnan, meski mungkin progress-nya masih tergolong lambat jika dibandingkan dengan di negara lain.

Kesimpulannya, masih ada harapan terkait perluasan ekosistem smart home di tanah air. Lalu ketika itu sudah terwujud, barulah kita bisa melihat peran esensial smart speaker, dan pada akhirnya kebiasaan kita yang kurang verbal perlahan juga bisa diubah saat sudah merasakan faedahnya.

Soal ketersediaan smart speaker yang terbatas

Apple HomePod / Apple
Apple HomePod / Apple

Poin yang terakhir ini adalah yang paling bisa dimaklumi, sebab perangkat elektronik dari kategori lain pun masih banyak yang serba terbatas ketersediaannya di tanah air. Sebagai produk baru dari kategori yang baru pula, wajar apabila pemasaran smart speaker di Indonesia belum gencar.

Sejauh ini yang saya tahu baru JBL yang sudah memasarkan lini speaker Link-nya di Indonesia. Google Home belum tersedia via jalur resmi, demikian pula Amazon Echo. Bahkan HomePod yang semestinya mudah diboyong ke tanah air – karena iBox yang berada di bawah Erajaya Group memegang hak distribusi eksklusif atas produk Apple – juga belum kunjung tersedia.

Tebakan saya, selain karena kategorinya masih baru, alasan lainnya menyambung poin sebelumnya mengenai ekosistem smart home. Karena ekosistemnya belum luas, peran smart speaker belum bisa maksimal, sehingga pada akhirnya pabrikan maupun distributor masih enggan membawa produk smart speaker-nya ke pasar Indonesia.

Kalau kita lihat, keempat masalah ini sebenarnya dapat teratasi dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Itulah mengapa saya mencantumkan kata “belum” pada judul ketimbang “tidak”, sebab memang saatnya masih belum tiba buat smart speaker untuk bersinar di pasar Indonesia.

Saya sama sekali tidak bermaksud mencegah Anda yang tertarik membeli, atau malah menjatuhkan yang sudah terlanjur membeli smart speaker. Beli sekarang atau nanti, smart speaker tetap sangatlah bermanfaat, hanya saja manfaatnya nanti (ketika tantangan-tantangan di atas sudah terlewati) akan lebih terasa lagi daripada sekarang.