Cell Alpha Adalah Speaker Super-Premium Bikinan Desainer Veteran Apple

iPhone merupakan salah satu produk tersukses Apple, dan ini terkadang membuat sebagian dari kita lupa bahwa mereka sebenarnya juga punya pengaruh besar di industri audio. 20 tahun lalu, Apple memperkenalkan iPod, dan mereka juga berjasa memopulerkan tren TWS dalam beberapa tahun terakhir. Itulah mengapa ketika ada seorang mantan karyawan veteran Apple yang menciptakan perangkat audionya sendiri, dunia perlu menaruh perhatian ekstra.

Beliau adalah Christopher Stringer. Namanya memang tidak terdengar familier sama sekali, akan tetapi ia menghabiskan 22 tahun bekerja sebagai desainer di tim Jony Ive, dan namanya tercantum pada sekitar 1.400 paten yang Apple daftarkan. Mulai dari iPod generasi pertama sampai HomePod, Stringer terlibat langsung dalam pengembangannya.

Sekarang, dia merupakan CEO dari Syng, sebuah startup yang ia dirikan di tahun 2017. Produk pertama Syng adalah Cell Alpha, sebuah speaker super-premium yang dibanderol seharga $1.799. Bentuknya yang membulat dengan diameter 30 cm lebih mirip kamera 360 derajat ketimbang perangkat audio, dan entah kenapa saya langsung teringat pada Death Star dari franchise Star Wars.

Bagian pipih di sisi atas dan bawahnya itu masing-masing dihuni oleh sebuah subwoofer dengan konfigurasi “force-balanced” — bukan referensi Star Wars. Kemudian di bagian tengahnya, kita bisa melihat tiga buah mid-range driver yang diposisikan mengelilingi perangkat. Respon frekuensinya tercatat di angka 30 Hz – 20.000 Hz.

Syng mengklasifikan Cell Alpha bukan sebagai speaker stereophonic ataupun surround, melainkan “Triphonic”. Istilah ini pada dasarnya merupakan sebutan fancy dari teknologi spatial audio. Ini berarti Cell Alpha tak hanya mampu mengisi seluruh ruangan dengan suara surround saja, tetapi juga memberikan kesan bahwa tiap-tiap suara atau instrumen tertentu berasal dari titik-titik yang berbeda di dalam ruangan secara sangat akurat.

Untuk mewujudkannya, Cell Alpha juga memanfaatkan tiga buah mikrofon yang berfungsi untuk mengukur geometri ruangan. Dengan mengamati pantulan-pantulan suara, perangkat pada dasarnya sanggup memetakan ruangan tempatnya berdiri. Kedengarannya mirip seperti kemampuan HomePod mendeteksi posisinya di dalam ruangan. Seperti yang saya bilang tadi, Stringer memang terlibat dalam proses pembuatan HomePod, tapi ia juga menghabiskan waktu sekitar tiga tahun untuk menyempurnakan teknologi yang terdapat pada Cell Alpha.

Cell Alpha juga bakal hadir bersama sebuah aplikasi pendamping untuk perangkat Android dan iOS bernama Syng Space. Lewat aplikasi tersebut, pengguna pada dasarnya bisa memanipulasi lebih jauh lagi titik-titik penempatan suara itu tadi. Menurut laporan Financial Times, Syng juga berencana melisensikan teknologi audionya ke produsen-produsen hardware lain.

Perihal konektivitas, Cell Alpha datang membawa dukungan AirPlay 2 maupun Spotify Connect. Selain memutar audio secara nirkabel, perangkat turut dilengkapi dua port USB-C untuk disambungkan ke sumber-sumber audio lain. Cell Alpha pun juga bisa dihubungkan ke TV yang memiliki port HDMI eARC (Enhanced Audio Return Channel), tapi Anda butuh kabel khusus yang harus ditebus secara terpisah seharga $49.

Bluetooth LE sebenarnya juga tercantum di rincian spesifikasi Cell Alpha, tapi itu cuma berguna ketika pengguna hendak menyambungkan unit lainnya. Ya, kalau Anda punya budget-nya, Anda bisa menempatkan lebih dari satu unit Cell Alpha di dalam ruangan. Menurut Syng, pengalaman spatial audio terbaik bisa didapat dengan konfigurasi tiga unit Cell Alpha.

$1.799 bukanlah harga yang murah untuk sebuah speaker wireless, apalagi jika dikali tiga. Banderol tersebut adalah banderol untuk bundel yang disertai sebuah table stand. Syng juga akan menjual Cell Alpha yang dibekali floor stand seharga $1.969. Kendati demikian, harga ini masih tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan speaker besutan Bang & Olufsen.

Syng bukanlah satu-satunya produsen hardware audio yang pendirinya merupakan alumni Apple. Belum lama ini, saya juga sempat menuliskan tentang VZR Model One, sebuah headset gaming yang pada dasarnya juga menawarkan efek spatial audio, tapi yang dicapai melalui teknik manipulasi akustik ketimbang sepenuhnya bergantung pada software. Seperti Syng, VZR juga didirikan oleh bekas karyawan senior Apple.

Sumber: Fast Company.

Bang & Olufsen Beolab 28 Adalah Speaker Nirkabel Kelas Sultan dengan Desain Super-Mewah

Speaker berdesain premium dengan harga selangit adalah tradisi yang sudah sangat melekat dengan Bang & Olufsen, dan hal itu masih terus dipertahankan oleh sang maestro audio asal Denmark sampai sekarang. Buktinya, coba kita tengok speaker nirkabel terbarunya yang bernama Beolab 28 berikut ini.

Wujud Beolab 28 terdiri dari dua bagian: bagian dasar dengan bentuk mengerucut, diikuti oleh silinder memanjang di atasnya. Bagian dasarnya ini bebas diletakkan di atas lantai atau digantungkan ke tembok. Menurut B&O, desainnya secara keseluruhan merupakan bentuk apresiasi terhadap tiga speaker lawas mereka: Beolab Penta, Beolab 6000, dan Beolab 8000.

Saat seseorang mendekat, kontrol sentuh pada permukaan atas silindernya otomatis menyala. Dari situ pengguna bisa langsung mengatur playback, menyesuaikan volume, atau mengakses sejumlah fungsi lain lewat empat tombol preset yang tersedia. Soal konektivitas, speaker ini sudah sepenuhnya mendukung AirPlay 2, Chromecast, maupun Spotify Connect. Sama seperti deretan speaker terbaru B&O, modul streaming milik Beolab 28 dapat dilepas dan diganti dengan yang baru seandainya sudah ketinggalan zaman.

Beolab 28 hadir dalam beberapa variasi finish. Konstruksi utamanya mengandalkan bahan aluminium, lalu keseluruhan grille-nya dibalut oleh material kain premium. Di sepanjang bagian silindernya, masih ada lagi satu lapisan penutup. Untuk bagian terluar yang menyerupai tirai melingkar ini, konsumen bisa memilih antara yang berbahan kain, atau yang berbentuk seperti kisi-kisi kayu di rumah-rumah.

Setiap kali speaker dinyalakan, tirai mekanis itu akan bergerak membuka hingga menjadi tontonan tersendiri. Tirai tersebut juga berfungsi untuk mengatur cara Beolab 28 mendistribusikan suara; bisa terbuka cuma sedikit untuk menyajikan suara secara terfokus dan presisi, atau terbuka lebar untuk menyuguhkan suara yang mampu mengisi seluruh ruangan.

Masing-masing unit speaker-nya terdiri dari tiga full-range driver berdiameter 3 inci, satu tweeter 1 inci, dan woofer 6,5 inci yang menghuni bagian dasarnya. Semua itu ditenagai oleh unit amplifier-nya sendiri-sendiri, dengan total daya sebesar 1.250 watt. B&O tidak lupa menyertakan teknologi Active Room Compensation agar perangkat dapat melakukan kalibrasi akustik berdasarkan posisinya di dalam ruangan.

Namun pertanyaan yang terpenting adalah seberapa mahal biaya yang harus ditebus untuk bisa meminang Beolab 28? $14.750 per pasang, atau $16.500 jika memilih varian yang bertirai kayu. Kabarnya B&O juga berencana untuk menjual Beolab 28 secara satuan, tapi sejauh ini mereka belum merincikan berapa harganya.

Kalau Anda mengira speaker ini harganya keterlaluan, selalu ingat bahwa B&O juga menjual Beolab 50 yang dihargai $40.000 per pasang, atau malah Beolab 90 yang dua kali lipat lebih mahal lagi dari itu.

Sumber: Engadget.

Beosound Emerge Adalah Speaker Nirkabel dengan Desain Menyerupai Buku

Bicara soal speaker, nama Bang & Olufsen selalu muncul sebagai salah satu opsi di kelas high-end bukan hanya karena jaminan kualitas suaranya saja, melainkan juga berkat desain produk-produknya yang amat estetis. Kalau perlu contoh, coba tengok speaker nirkabel terbaru mereka: Beosound Emerge.

Dirancang oleh firma desain asal London, LAYER, wujud Emerge sengaja dibentuk agar dapat langsung mengingatkan kita pada sebuah buku, dengan panel kayu yang membalut layaknya cover depan dan belakang buku. Penempatan logonya pun juga dibuat sedemikian rupa agar kelihatan seperti judul yang biasa kita jumpai di bagian samping buku.

Alternatifnya, bagi yang lebih menyukai desain yang lebih kontemporer, ada varian berwarna serba hitam yang menggunakan panel berbahan polimer. Grille-nya yang terekspos di atas logo Bang & Olufsen juga tidak dibalut oleh kain Kvadrat seperti pada varian warna satunya. Tanpa harus terkejut, perangkat ini pastinya bakal membaur dengan baik di atas sebuah rak buku.

Di balik wujudnya yang ringkas tersebut, Beosound Emerge tetap tidak mau berkompromi soal kualitas suara. B&O menyematkan tiga jenis driver yang berbeda: woofer berdiameter 100 mm, mid-range driver berdiameter 37 mm, dan tweeter berdiameter 14 mm. Masing-masing ditenagai oleh unit amplifier-nya sendiri, dengan total output daya sebesar 120 W.

Konektivitasnya pun juga lengkap dan sesuai ekspektasi konsumen akan sebuah speaker wireless modern. Selain Bluetooth 5.0 dan Wi-Fi, ia turut dilengkapi port untuk kabel Ethernet. Fungsionalitas Chromecast telah terintegrasi langsung, demikian pula dukungan Spotify Connect maupun AirPlay 2.

Emerge bukanlah speaker portable, yang berarti ia hanya bisa beroperasi selagi menerima asupan energi listrik via colokan USB-C. Pengguna bisa menghubungkan dua unit sekaligus untuk menciptakan setup stereo, atau bisa juga dengan melibatkan Emerge pada setup multi-room yang dimilikinya.

Terkait konektivitas ini, B&O memastikan Emerge masih akan tetap relevan dalam beberapa tahun ke depan berkat rancangan modular yang mereka terapkan, persis seperti yang terdapat pada speaker Beosound Level. Katakanlah ada teknologi streaming anyar yang lebih advanced lagi ke depannya, pengguna bakal bisa membeli modul streaming baru untuk Emerge, tidak perlu meminang speaker baru.

Rencananya, B&O bakal memasarkan Beosound Emerge secara global mulai bulan Oktober 2021. Di Amerika Serikat, ia dihargai $699 untuk varian yang berwarna hitam, atau $899 untuk varian yang berwarna emas.

Sumber: The Verge dan B&O.

Sonos Roam Adalah Speaker Terkecil Sekaligus Termurah Sonos Sejauh Ini

Meski sudah menggeluti bidang audio nirkabel sejak lama, Sonos baru meluncurkan speaker portabel pertamanya, Sonos Move, di tahun 2019. Satu hal yang cukup disayangkan adalah, dengan ukuran sebesar 240 x 160 x 126 mm, Sonos Move tidak seportabel kebanyakan speaker Bluetooth lain yang ada di pasaran.

Pernyataan ini tidak berlaku untuk speaker terbarunya, Sonos Roam. Dengan dimensi hanya 168 x 62 x 60 mm (kurang lebih sebesar botol minum), Roam tentu sangat mudah dibawa-bawa, apalagi mengingat bobotnya cuma berada di kisaran 0,43 kg. Kalau perlu membawanya ke samping kolam renang pun juga tidak masalah, sebab Roam telah mengantongi sertifikasi ketahanan air IP67 (sampai kedalaman 1 meter selama 30 menit).

Di dalamnya bernaung sebuah mid-woofer, sebuah tweeter, dan sepasang amplifier Class-H. Yang menarik adalah, Roam tidak mendistribusikan suara ke segala sudut (360°) seperti mayoritas speaker Bluetooth. Namun supaya suara yang dihasilkan tetap optimal dalam berbagai kondisi, Roam tetap dibekali fitur Trueplay yang akan menyesuaikan sendiri karakteristik suaranya secara otomatis berdasarkan posisinya di dalam ruangan.

Roam memanfaatkan unit mikrofon beamforming yang tertanam di dalamnya untuk mewujudkan fitur Trueplay ini. Tentu saja mikrofon yang sama juga berfungsi untuk menangkap suara pengguna, sebab Roam memang mendukung integrasi Google Assistant maupun Amazon Alexa.

Tidak seperti speaker Bluetooth pada umumnya, Roam mengemas konektivitas Bluetooth 5.0 dan Wi-Fi sekaligus. Jadi selagi masih berada di rumah, Roam dapat terhubung ke jaringan Wi-Fi untuk memutar audio langsung dari layanan streaming. Barulah ketika dibawa ke luar, Roam langsung berganti ke mode Bluetooth secara otomatis.

Kehadiran Wi-Fi berarti Roam juga dapat terhubung ke sistem multi-room yang sudah menjadi ciri khas Sonos selama ini. Pengguna juga bisa memperlakukan dua unit Roam sebagai speaker stereo, tapi sayangnya ini cuma berlaku jika perangkat terhubung ke jaringan Wi-Fi saja, bukan Bluetooth.

Dalam satu kali pengisian, Roam diyakini mampu beroperasi hingga 10 jam nonstop. Opsi charging-nya ada dua: menggunakan kabel USB-C, atau menggunakan wireless charger. Yang termasuk dalam paket penjualan memang cuma kabelnya saja, akan tetapi kabar baiknya pengguna tetap bisa menggunakan Qi wireless charger lain yang mereka punyai.

Sebagai speaker terkecil Sonos, Roam jelas merupakan yang paling terjangkau. Di Amerika Serikat, Sonos bakal memasarkannya seharga $169 (± 2,4 jutaan rupiah) mulai tanggal 20 April mendatang. Pilihan warna yang tersedia ada dua, yakni hitam atau putih.

Sumber: Sonos.

Berkat Rancangan Modular, Speaker Beosound Level Bakal Punya Umur Panjang

Satu hal unik yang memisahkan perangkat audio dari produk teknologi lain adalah faktor usia. Speaker atau amplifier dari puluhan tahun silam mungkin masih bisa berfungsi dengan baik sekarang, dan terkadang kualitas suara yang dihasilkan juga bisa mengalahkan perangkat serupa yang lebih modern.

Itulah mengapa bagi sebagian orang perangkat audio ibarat suatu produk investasi. Mereka tidak segan mengucurkan dana ribuan dolar hanya untuk sebuah speaker, sebab mereka tahu perangkat itu masih relevan sampai beberapa dekade lagi. Masalahnya, pemikiran yang sama jarang bisa berlaku untuk perangkat audio modern.

Ambil contoh speaker portabel. Semahal apapun material yang diusung, speaker tersebut masih mengemas baterai rechargeable yang bisa mengalami degradasi kinerja seiring berjalannya waktu. Bisa dibayangkan betapa mengesalkannya membeli speaker portabel seharga $1.000, lalu baterainya tidak lagi berfungsi setelah dua atau tiga tahun dan harus dibawa ke tukang servis.

Solusi yang lebih elegan adalah desain yang modular, yang memungkinkan beberapa komponen speaker untuk ditukar dengan yang baru apabila diperlukan. Itulah filosofi di balik speaker portabel terbaru dari Bang & Olufsen: Beosound Level. Sepintas penampilannya kelihatan seperti speaker kuno, dan itu mungkin disengaja guna menggambarkan bahwa ia punya umur yang panjang seperti perangkat-perangkat dari zaman lawas.

Umur panjang tersebut dimungkinkan berkat modul streaming dan baterai yang bisa dilepas-pasang. Idenya adalah, ketika komponen-komponen tersebut sudah menurun kinerjanya – atau sudah ketinggalan zaman – pengguna bisa melepas dan menggantinya dengan yang baru. Anggap saja ke depannya bakal ada teknologi yang lebih advanced ketimbang Chromecast maupun AirPlay, maka konsumen bisa ikut menikmatinya dengan meng-upgrade modul streaming Beosound Level, tidak harus membeli speaker baru.

Sebagai sebuah speaker portabel, Beosound Level tergolong cukup fleksibel. Ia bisa ditidurkan atau diberdirikan, atau kalau perlu juga bisa digantungkan ke tembok dengan bantuan wall bracket yang dijual terpisah. Dalam posisi yang berbeda-beda itu, perangkat bakal menyesuaikan karakter akustiknya secara otomatis sehingga suara yang dihasilkan tetap optimal di mana pun ia berada.

Di dalamnya bernaung sepasang woofer 4 inci, satu full-range driver 2 inci, dan sepasang tweeter 0,8 inci, masing-masing dengan unit amplifier-nya sendiri-sendiri. Cover depannya bisa dipilih antara yang berbahan kayu atau kain, dan secara keseluruhan perangkat seberat 3,3 kg ini tahan air dengan sertifikasi IP54.

Dalam sekali pengisian, Beosound Level diklaim mampu beroperasi hingga 16 jam nonstop. Charging-nya bisa dengan mengandalkan kabel USB-C, atau bisa juga dengan menancapkan konektor magnetis khusus ke sisi belakangnya. Wi-Fi AC, Bluetooth 5.0, integrasi Chromecast, sampai dukungan AirPlay 2 dan Spotify Connect, semuanya hadir sebagai standar di sini.

Seperti yang sudah bisa ditebak dari produk besutan B&O, harganya jauh dari kata murah. Di Amerika Serikat, Beosound Level saat ini sudah dijual dengan banderol mulai $1.499. Belum diketahui berapa harga yang akan dipatok untuk modul-modul penggantinya, tapi kemungkinan besar juga tidak murah.

Sumber: Trusted Reviews.

Sony Luncurkan Dua Speaker Wireless dengan Teknologi 360 Reality Audio

Sejak tahun 2019, Sony cukup gencar mempromosikan teknologi 360 Reality Audio sebagai cara baru untuk menikmati musik secara lebih immersive. Namun realisasinya baru terlaksana di tahun 2021 ini, spesifiknya berkat kehadiran dua speaker 360 Reality Audio pertama dari mereka, yakni Sony SRS-RA5000 dan Sony SRS-RA3000.

Kelebihan utama kedua speaker wireless ini terletak pada algoritma Immersive Audio Enhancement yang dimilikinya. Algoritma tersebut pada dasarnya berfungsi untuk mengubah file audio stereo apapun yang diputar menjadi format tiga dimensi yang mengisi satu ruangan penuh.

Keduanya turut dilengkapi fitur kalibrasi otomatis, yang akan menyesuaikan sendiri kinerja akustiknya berdasarkan kondisi ruangan tempatnya berada. Bahkan volume setiap lagu yang diputar pun juga akan dioptimalkan satu per satu sehingga pengguna tidak perlu pusing mengecilkan atau membesarkan volume speaker setiap kali lagunya berganti demi mendapatkan pengalaman yang konsisten.

Singkat cerita, soundstage yang disuguhkan kedua speaker ini semestinya bakal sangat istimewa, dengan separasi tiap-tiap instrumen yang sangat jelas dan bisa kita petakan di pikiran. Kalau perlu gambaran yang lebih jelas, silakan dengarkan sendiri demonstrasi teknologinya di situs resmi 360 Reality Audio.

Sony SRS-RA3000 / Sony
Sony SRS-RA3000 / Sony

Kedua speaker ini tentu punya sejumlah perbedaan. RA5000 adalah model yang lebih superior kualitas suaranya, dengan total tujuh unit driver di dalamnya – tiga menghadap ke atas, tiga menghadap ke samping, dan satu buah subwoofer – tidak ketinggalan pula dukungan penuh terhadap format Hi-Res Audio. RA3000 di sisi lain mengemas lima unit driver: dua tweeter, satu full-range driver, dan dua passive radiator.

Soal konektivitas, sudah pasti kedua speaker ini menawarkan paket yang lengkap. Mulai dari Wi-Fi dan Bluetooth, sampai integrasi Chromecast, Spotify Connect, NFC, beserta kompatibilitas dengan Google Assistant dan Amazon Alexa, semuanya tersedia sebagai standar. Buat yang membeli lebih dari satu unit, tentu saja mereka bisa menempatkan RA5000 dan RA3000 dalam sebuah setup multi-room.

Sejauh ini, pemasaran speaker 360 Reality Audio ini bisa dibilang masih cukup terbatas. Konsumen di Amerika Serikat bahkan belum kebagian, dan Sony baru akan memasarkannya di dataran Eropa mulai bulan Februari mendatang. Banderol harganya sendiri dipatok 599 euro (± Rp10,3 jutaan) untuk RA5000, dan 359 euro (± Rp6,2 jutaan) untuk RA3000.

Sumber: Sony dan Pocket-lint.

B&O Kembali Luncurkan Speaker Bluetooth Berwujud Kotak Makan Siang, Kali Ini Dengan Wireless Charging

Pepatah “if it ain’t broke, don’t fix it” cukup sering dilontarkan di dunia teknologi, tapi mungkin yang paling sering datang dari segmen audio. Alasannya sederhana: produk audio terkenal punya umur yang panjang. Tidak seperti TV, speaker warisan orang tua Anda yang sudah berusia puluhan tahun belum tentu suaranya lebih jelek daripada yang Anda beli tahun lalu.

Itulah mengapa pada akhirnya kita cukup sering melihat perangkat-perangkat audio baru yang sebenarnya tidak lebih dari sebatas penyegaran versi lamanya. Bentuk dan suara yang dihasilkannya nyaris tidak berubah, tapi mungkin ada penyempurnaan dari segi konektivitas maupun aspek-aspek pelengkap lainnya.

Salah satu produk audio yang sesuai dengan deskripsi di atas adalah speaker wireless bikinan Bang & Olufsen, yakni Beolit 12 yang dirilis di tahun 2012. Dalam kurun waktu delapan tahun, speaker dengan wujud menyerupai kotak makan siang ini sudah mempunyai tiga suksesor: Beolit 15 di tahun 2015, Beolit 17 di tahun 2017, dan yang terbaru, Beolit 20 di tahun pandemi ini.

Seperti yang bisa Anda lihat, lagi-lagi B&O tidak banyak mengutak-atik desainnya. Beolit 20 masih sangat identik dengan ketiga pendahulunya. Rangkanya yang begitu elegan masih terbuat dari aluminium, dan keempat sisinya masih dikitari grille. Handle-nya yang terbuat dari kulit pun masih ada di posisi yang sama.

Yang berbeda kali ini adalah, permukaan atasnya bisa merangkap fungsi sebagai Qi wireless charger, dengan titik-titik melingkar sebagai indikatornya. Sayang sekali tidak ada magnet di baliknya, yang berarti pengguna tetap harus mengepaskan sendiri posisi perangkat yang diletakkan di atasnya agar charging bisa berjalan normal.

Lima tombol pengoperasian tetap hadir di panel atasnya ini, salah satunya tombol play/pause yang menggantikan tombol multifungsi milik pendahulunya. Kedengarannya memang seperti downgrade, tapi saya yakin sebagian besar konsumen akan lebih senang dengan konfigurasi tombol yang lebih simpel seperti ini.

Hal lain yang berbeda pada Beolit 20 adalah daya tahan baterainya. B&O mengklaim Beolit 20 bisa beroperasi 30 persen lebih lama dari pendahulunya. Persisnya, baterai 3.200 mAh yang tertanam di tubuhnya sanggup bertahan sampai 37 jam kalau musik hanya diputar dalam volume rendah. Di volume standar, daya tahannya turun menjadi 8 jam, dan di volume maksimum tersisa cuma 4 jam. Beruntung perangkat ini sudah mengandalkan USB-C untuk charging-nya.

Di balik bodi Beolit 20 yang berbobot 2,7 kg ini, tertanam sebuah woofer 5,5 inci dan tiga driver full-range dengan diameter masing-masing 1,5 inci. Melengkapi jeroannya adalah sepasang passive radiator 4 inci, sepasang amplifier Class-D dengan daya masing-masing 35 W, serta sebuah tweeter.

Sayang sekali konektivitas yang digunakan masih Bluetooth 4.2, padahal seharusnya efisiensi dayanya bisa lebih ditingkatkan lagi kalau menggunakan Bluetooth 5.0. Kabar baiknya, fitur stereo pairing masih didukung, dan pengguna bisa menggandengkan Beolit 20 dengan Beolit 17 jika mau.

Saat ini Beolit 20 sudah dijual dengan harga $500, alias sama persis seperti harga perdana pendahulunya. Kombinasi warna yang tersedia ada dua: silver dengan aksen beige, dan hitam dengan aksen biru.

Sumber: The Verge.

Marshall Luncurkan Smart Speaker Uxbridge Voice dengan Integrasi Alexa

Zound Industries, produsen perangkat audio di balik brand Marshall Headphones, meluncurkan smart speaker baru bernama Uxbridge Voice. Layaknya Google Home atau Amazon Echo, Marshall Uxbridge punya dimensi yang ringkas, cuma 128 x 168 x 123 mm.

Desainnya tetap khas sang pabrikan amplifier gitar asal Inggris. Wujudnya tetap mirip dengan amplifier gitar, akan tetapi Uxbridge mengandalkan tombol-tombol konvensional ketimbang yang menyerupai kenop-kenop milik amplifier.

Singkat cerita, Uxbridge tampak lebih modern daripada speakerspeaker Marshall sebelumnya, tapi di saat yang sama juga masih terkesan retro. Meski ringkas, bobotnya berkisar 1,39 kg, mengindikasikan performa audionya yang mumpuni.

Marshall Uxbridge Voice

Secara teknis, Uxbridge dibekali amplifier Class D 30 W yang menenagai woofer dan tweeter-nya. Respon frekuensinya berada di kisaran 54 – 20.000 Hz, bukan yang paling detail di frekuensi rendah, tapi setidaknya pengguna dapat mengatur intensitas bass-nya dengan mudah.

Sebagai sebuah smart speaker, Uxbridge ditawarkan dalam dua varian yang berbeda; satu dengan integrasi Amazon Alexa, satu lagi dengan Google Assistant. Mikrofon yang tertanam ada dua, dan produsen tak lupa melengkapinya dengan teknologi noise cancelling supaya suara pengguna bisa ditangkap dengan lebih jelas.

Dari segi konektivitas, Uxbridge mendukung AirPlay 2 dan Spotify Connect di samping mengemas sambungan Bluetooth 5.0. Seperti halnya speaker modern lain, Uxbridge juga bisa dilibatkan dalam setup multi-room.

Marshall Uxbridge Voice bakal dipasarkan mulai 8 April seharga $199, tapi baru varian Alexa saja. Varian Google Assistant-nya baru akan menyusul pada bulan Juni mendatang.

Sumber: New Atlas.

Speaker Portable Ultimate Ears HyperBoom Siap Mengguncang Ruangan Demi Ruangan Selama 24 Jam Nonstop

Ultimate Ears bukanlah nama asing di ranah speaker portable. Anak perusahaan Logitech itu dikenal lewat keluarga speaker Boom besutannya, yang sejauh ini terdiri dari tiga model, urut dari yang paling kecil: WonderBoom, Boom, dan MegaBoom.

Well, mereka baru saja menambahkan anggota terbarunya, yakni HyperBoom. Sesuai dugaan, ia merupakan model yang paling besar, sekaligus paling ekstrem kalau kata UE sendiri. Benar saja; balok setinggi 36,4 cm ini punya bobot 5,9 kg. Sebagai pembanding, UE MegaBoom 3 punya tinggi 22,5 cm dan bobot 925 gram.

Jeroannya terdiri dari sepasang woofer berdiameter 4,5 inci, sepasang tweeter 1 inci, dan sepasang passive radiator (3,5 x 7,5 inci). Tidak main-main, UE mengklaim volume yang dihasilkan HyperBoom bisa tiga kali lebih keras dibanding MegaBoom 3, dan bass-nya malah enam kali lebih intens.

Ultimate Ears HyperBoom

Sepintas, ukuran HyperBoom mungkin membuat kita lupa bahwa ia merupakan sebuah speaker portable. Baterainya diklaim bisa tahan sampai 24 jam pemakaian, dan tentu saja HyperBoom dapat menyumbangkan sebagian kecil suplai dayanya untuk smartphone atau tablet yang tersambung via USB.

Sebagai speaker portable, HyperBoom tentu bakal banyak dipindahkan – dari ruang tamu ke samping kolam renang misalnya (perangkat tahan guyuran air dengan sertifikasi IPX4) – dan UE sudah menyiapkan fitur pintar bernama Adaptive EQ untuk keperluan ini. Menggunakan mikrofon internalnya, HyperBoom akan mencoba mengenali bentuk ruangan di sekitarnya, lalu menyesuaikan sendiri karakter suaranya supaya optimal.

Ultimate Ears HyperBoom

HyperBoom bisa disambungkan ke empat sumber audio sekaligus; dua via Bluetooth, dan sisanya via colokan standar 3,5 mm serta optical. Selesai tersambung semuanya, pengguna bisa mengganti input-nya dengan sangat mudah via tombol fisik di panel atas HyperBoom, atau melalui aplikasi pendampingnya di smartphone.

Satu fitur yang absen dari HyperBoom adalah integrasi voice assistant, sebab ia memang tidak masuk kategori smart speaker. Awal Maret nanti, Ultimate Ears HyperBoom akan mulai dipasarkan seharga $400.

Sumber: Logitech.

Pemilik Speaker Sonos Kini Tak Harus Membayar Biaya Berlangganan Agar Bisa Streaming dari Spotify

Kabar gembira bagi para pengguna speaker bikinan Sonos. Setelah sekian lama dinanti, Sonos akhirnya secara resmi menghadirkan dukungan terhadap Spotify Free. Akses ke layanan streaming musik terbesar itu sebenarnya sudah sejak lama tersedia di platform Sonos, akan tetapi selama ini hanya terbatas untuk mereka yang sudah berlangganan Spotify Premium saja.

Sekarang, pemilik speaker Sonos tidak perlu membayar biaya berlangganan terlebih dulu untuk bisa menikmati suguhan Spotify langsung dari perangkatnya. Katalog musik yang dapat diakses pun lengkap dan tidak dibatasi, namun bedanya, Spotify Free akan memutarnya secara acak (shuffle) dan dengan interupsi iklan.

Anggap saja format Spotify Free mirip seperti radio. Yang dapat diakses secara on-demand hanyalah deretan playlist hasil kurasi otomatis seperti Discover Weekly, Release Radar, atau Daily Mix.

Ikea Symfonisk / Ikea
Ikea Symfonisk / Ikea

Keputusan menghadirkan dukungan Spotify Free ini merupakan langkah yang rasional, apalagi mengingat Sonos sekarang juga punya speaker portable bernama Move. Bukan cuma konsumen Move yang diuntungkan, melainkan juga mereka yang membeli Symfonisk, speaker hasil kerja sama Sonos dan Ikea yang dihargai amat terjangkau, terutama jika dibandingkan dengan portofolio produk Sonos selama ini.

Di sisi lain, keputusan ini juga berarti Sonos punya potensi untuk menggaet 135 juta konsumen baru. Angka tersebut adalah jumlah pengguna aktif Spotify Free dari total 248 juta pengguna setiap bulannya. Jadi wajar apabila Sonos tidak ingin melewatkan kesempatan emas tersebut.

Sumber: Variety.