Studi Universitas Stanford: Robot Tak Akan Membahayakan Manusia

Ada banyak kisah fiksi yang mengangkat tema mengenai efek samping perkembangan kecerdasan buatan: The Matrix, Terminator, sampai Ex Machina. Semuanya membuat kita berpikir, apakah mungkin di satu titik di masa depan, kemajauan teknologi malah berbalik dan membahayakan manusia? Sudah ada beberapa contohnya, tapi menurut Universitas Stanford, kita tak perlu cemas.

Berniat untuk mengulik ranah itu lebih dalam, Stanford menyelenggarakan proyek bertajuk One Hundred Year Study on Artificial Intelligence. Sesuai namanya, ia adalah sebuah proses studi panjang demi menghasilkan data dan laporan lengkap tentang bagaimana kecerdasan buatan akan memengaruhi aspek kehidupan kita – melampaui gambaran AI di film, kekhawatiran para ahli, serta keinginan orang memperoleh asisten pribadi yang super-pintar.

Bagian pertama laporan tersebut sudah dirilis, diberi judul ‘Artificial Intelligence and Life in 2030’. Berisi 28.000 kata, bab pembuka itu merupakan rangkuman dari pengkajian kemajuan AI di sebuah kota di Amerika sepuluh tahun lagi, prosesnya dilakukan selama setahun. Di sana, para ilmuwan menggarisbawahi bahwa hal-hal yang banyak orang takutkan tidak akan terjadi, karena hal itu tidak realistis.

Berdasarkan pemaparan tersebut, AI akan dimanfaatkan di berbagai sektor, seperti transportasi, medis, edukasi hingga ranah pekerjaan. Studi memperlihatkan kesamaan antara pengembangan AI dengan adopsi smartphone modern. Ia memang bukanlah kebutuhan pokok, namun Anda mungkin sulit membayangkan hidup tanpa ditemani perangkat bergerak.

Menurut para peneliti, transportasi merupakan salah satu bidang pertama yang segera mengadopsi kecerdasan buatan. Nantinya, publik akan mulai bertanya-tanya apakah AI dapat diandalkan untuk mengoperasikan kendaraan secara optimal serta menjaga keselamatan para penumpang. Dalam beberapa tahun lagi, kendaraan tanpa pengemudi akan jadi hal yang lumrah. Interaksi antara manusia dan mesin inilah yang memengaruhi persepsi awal publik tentang AI.

Selanjutnya, kecerdasan buatan di ranah medis pelan-pelan akan membantu dokter serta pakar kesehatan mengumpulkan data berjumlah besar. Robot juga bisa mempermudah proses pengiriman pasokan obat, meskipun manusia tetap dibutuhkan buat mendistribusikannya ke lokasi yang spesifik.

Setelah itu, AI dapat digunakan di bidang keamanan publik, walaupun implementasinya terbilang cukup kompleks. Contohnya: dengannya penegak hukum bisa mengawasi keadaaan sosial media atau menganalisis kerumunan massa untuk mengantisipasi terjadinya sebuah event publik berskala besar.

Laporan ini ditutup oleh pernyataan bahwa para peneliti tidak melihat adanya potensi bahaya dari pemanfaatan kecerdasan buatan di waktu dekat.

Sumber: Fast Company. Gambar header: Flickr.

Rovables Ialah Robot Mungil Sekaligus Perangkat Wearable

Di tahun 2004, perusahaan CuteCircuit memperkenalkan pakaian terkoneksi HugShirt, menandai terobosan besar penerapan teknologi wearable di dunia fashion. Istilah perangkat wearable mengacu pada aksesori yang menyimpan kemampuan komputasi, umumnya bersifat statis. Menariknya, kreasi baru para ilmuwan berpotensi menghadirkan inovasi selanjutnya di bidang ini.

Dalam konferensi ACM User Interface Software and Technology Symposium ke-29 di Tokyo, tim peniliti gabungan dari Massachusetts Institute of Technology dan Stanford memamerkan perpaduan antara robot dengan wearable device. Karya unik tersebut mereka namai Rovables, dan berkat kemampuan yang dimilikinya, pemanfaatan robot mini itu sangat luas – hampir menyerupai ide-ide di film-film fiksi ilmiah.

Rovables mempunyai tubuh yang kecil, tak lebih besar dari genggaman tangan Anda. Volumenya memang sengaja dibuat seminimal mungkin demi mendukung kapabilitas utamanya: Rovables didesain untuk berjalan di atas baju Anda, memanfaatkan kombinasi roda dan magnet (diposisikan di bagian dalam kain). Dengan berbekal rangkaian sensor dan kecerdasan buatan, robot rover mini tersebut dapat bekerja secara otomatis.

Para peneliti tentu tak lupa mengungkap sejumlah skenario di mana robot dapat berguna. Pertama, gerombolan Rovables bisa berformasi dan membentuk display di lengan, dan sang pemilik dipersilakan menonton video dalam perjalanan. Robot rover juga dapat jadi medium penyajian notifikasi, misalnya dengan menyentuh bahu Anda saat ada email masuk. Selanjutnya, Rovables bisa membantu kita menggulung lengan baju, menarik syal, dan saat bersepeda, mereka akan membentuk lampu keselamatan di punggung Anda.

Di versi awal ini, Rovables dilengkapi baterai build-in yang mampu menjaganya tetap aktif selama 45 menit – jika bekerja tanpa henti. Pengisian ulang baterai sendiri dilakukan secara wireless. Lalu ketika ia sudah menunaikan tugasnya, Rovables segera kembali masuk ke kantong baju.

Rovables 1

Fungsi canggih tersebut menuntut banyak hal yang perlu disiapkan tim ilmuwan dan menuntut mereka menemukan solusi agar Rovables sanggup menjelajahi bidang tiga dimensi. Dan meskipun para kreator telah memamerkan kapabilitas rover mini itu lewat video, mereka masih belum menciptakan unit micro-controller dengan kemampuan proses mumpuni buat menangani algoritma-algortima kompleks supaya Rovables bisa mengetahui arah.

Untuk sekarang, Rovables baru hadir berupa demo tech, dan belum terdengar adanya rencana buat menghidangkan robot sekaligus device wearable itu sebagai produk konsumen.

Via Recode. Sumber: ACM Digital Library.

Nvidia dan Stanford Berkolaborasi Demi Atasi Masalah Terbesar di Virtual Reality

Sudahkah Anda menjajal headset VR? Menurut Anda, apa kendala terbesar yang masih menghadang teknologi ini untuk bisa diterima sebagai platform hiburan mainstream oleh konsumen? Bagi banyak orang, device virtual reality masih tidak nyaman, menyebabkan mereka merasa mual. Nvidia menyadari hal ini, dan memutuskan buat mengambil langkah konkret demi mengatasinya.

Sang perusahaan spesialis bidang grafis pimpinan Jen-Hsun Huang itu dilaporkan menggandeng Stanford University untuk masuk ke ranah virtual reality. Misi mereka adalah menyingkirkan problem motion sickness dan fokus yang masih menodai head-mounted display, melalui sebuah teknik bernama light field stereoscope. Kabarnya teknologi ini terbilang futuristis, baru bisa diimplementasikan ke headset VR dalam tiga sampai lima tahun lagi.

Dikutip dari Fortune, senior director of research Nvidia David P. Luebke, Ph.D. sempat memberikan pernyataan, “Hampir semua setup VR terasa tidak nyaman ketika perangkat berada di jangkauan tangan karena faktor kedalaman stereo dan akomodasi mata. Hal ini disebabkan konflik vergence-accommodation [gerakan refleks kedua mata ke arah berlawanan untuk mendapatkan visi binokular], di mana lensa harus berubah supaya penglihatan jadi fokus.”

Nvidia Stanford VR 02

Menurut kedua tim, jawaban masalah itu ialah light field stereoscope, sedang dikembangkan Universitas Stanford. Mereka menjanjikan pengalaman visual yang lebih natural dan kaya dibanding headset konvensional. Gordon Wetzstein selaku asisten profesor di Departemen Teknik Elektrik menjelaskan bahwa teknologi ini berpotensi besar mengurangi kelelahan pada mata, rasa mual, meningkatkan aspek kenyamanan secara umum.

Light field stereoscope memanfaatkan dua lapis display, dengan panel LCD yang dipisahkan sejauh 5-milimeter di satu headset. Kemudian perangkat garapan Nvidia dan Stanford mengirimkan medan cahaya 4D dari gambar-gambar tersebut, sehingga tiap bola mata dapat menyebarluaskan/beralih fokus antara objek dekat dan jauh. Unit prototype turut dibekali fitur head-tracking, dan user bisa melihat tangan mereka di alam VR.

Wetzstein tampak optimis melihat masa depan virtual reality. Pelan-pelan, produsen dan peneliti mulai membereskan hambatan seperti mengusung display beresolusi tinggi, menggunakan field of view yang luas, serta mengadopsi teknologi tracking rendah latency. Ia yakin kolaborasi Nvidia dan Stanford akan memberi dampak besar terhadap produk VR kelas konsumen di masa depan.

Buat sekarang, cuma tim Stanford dan Nvidia yang mengetahui seperti apa wujud headset tersebut.

Via Gamasutra.

Ilmuwan Ciptakan Baterai Aluminium-Ion yang Bisa Di-Charge dalam Satu Menit

Belakangan ini, cukup banyak pabrikan smartphone yang menawarkan fitur fast-charging pada produknya. Fitur ini dirancang untuk mengurangi waktu yang diperlukan guna mengisi baterai milik perangkat, yang biasanya bisa berlangsung hingga 2 jam atau lebih. Continue reading Ilmuwan Ciptakan Baterai Aluminium-Ion yang Bisa Di-Charge dalam Satu Menit

Ilmuwan Stanford Kembangkan Software Untuk Simulasikan Organisme Hidup

Ilmuwan di Universitas Stanford California bekerjasama dengan J. Craig Venter Instite telah mengembangkan perangkat lunak (software) pertama yang mampu mensimulasikan organisme hidup secara lengkap dari sel tunggal.

Software simulasi ini dijalankan di gabungan 128 komputer untuk menjamin kecepatan proses data untuk mensimulasikan jangka hidup sebuah sel tunggal sampai ke tingkat molekul. Ilmuwan Stanford mempresentasikan software ini untuk Jurnal Cell dan mensimulasikan kehidupan patogen Mycoplasma genitalium.

Software simulasi ini merupakan terobosan penting terutama di dunia kesehatan yang biasanya memakan waktu yang sangat lama untuk bereksperimen dengan sel manusia. Software ini mampu menggantikan proses tersebut dengan proses terkomputerisasi yang lebih efisien dan pastinya dalam waktu yang jauh lebih singkat, menjamin akan adanya banyak terobosan baru di bidang kesehatan dalam waktu dekat.

sumber: New York Times