Logistik Pintar Menjadi Sektor Ekonomi Digital yang Tengah Bersinar di Indonesia

Walaupun logistik adalah tulang punggung perdagangan nasional dan internasional, sektor ini mengalami banyak sekali tantangan di Indonesia, seperti infrastruktur yang tidak memadai, serta kurangnya jaringan komunikasi dan teknologi informasi yang dapat diandalkan.

Menurut Mordor Intelligence, biaya logistik sangat bervariasi antara 25% dan 30% dari PDB Indonesia, dibandingkan dengan ekonomi berkembang, setara 5%. Hal ini berarti pengiriman barang dari satu kota ke kota lain di Indonesia bisa menjadi mahal dan menantang.

Seiring berkembangnya industri e-commerce, teknologi logistik digadang-gadang menjadi industri yang akan naik mengikuti perluasan ekonomi digital Indonesia. Beberapa tantangan dalam industri ini telah menarik banyak investasi untuk para startup yang akan masuk, kebanyakan menggalang dana dengan jumlah yang besar tahun ini.

Menurut Sebastian Togelang, e-commerce masih dalam masa pertumbuhan di Asia Tenggara dan akan semakin meluas lebih dari lima kali lipat dalam beberapa tahun ke depan. Sementara itu di Indonesia, sebagai pasar serta ekonomi yang paling besar di kawasan ini, sektor logistik menyimpan potensi yang sangat besar.

Sebagai seorang investor, Togelang memiliki banyak kepercayaan dalam industri ini. Awal tahun ini, Barito Teknologi dan Kejora InterVest Growth Fund memimpin investasi US$50 juta untuk mendukung startup logistik SiCepat Ekspres.

Menurutnya, logistik adalah kunci utama ekonomi internet, dengan memainkan peran kunci untuk memastikan pergerakan barang dari pedagang ke konsumen. Selain itu, sampai batas tertentu, hal ini juga melibatkan pembayaran antar pihak. Oleh karena itu, sektor ini memiliki potensi menikmati peningkatan yang cukup besar, berdasarkan perkembangan umum ekonomi dan ekonomi internet. Hal ini sangat menarik minat investor.

“Ketika kita berbicara tentang seluruh spektrum logistik, ukuran pasar Asia Tenggara adalah sekitar US$600 miliar, tergantung pada laporan mana yang Anda baca. Tetapi pendapat saya adala, di belahan dunia manapun, logistik adalah garis keturunan langsung dari ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, saya ingin melihat sektor teknologi logistik memimpin gelombang ekonomi kawasan yang berkembang pesat,” lanjut Togelang.

Togelang percaya bahwa e-commerce masih dalam masa pertumbuhan di Asia Tenggara dan sektor ini akan terus berkembang melebihi lima kali lipat dalam beberapa tahun mendatang. Melihat fakta bahwa Indonesia sebagai pasar dan ekonomi terbesar di kawasan ini, logistik akan memiliki banyak peluang di negara ini.

Faktor ini membuat Togelang dan timnya di Kejora yakin dengan investasi mereka pada SiCepat Ekspres, yang dianggap sebagai salah satu investasi Seri A terbesar di kawasan ini. Selain itu, para pendiri juga memiliki rekam jejak yang terbukti dalam perdagangan dan logistik. Selama ini, SiCepat Ekspres telah menunjukkan perkembangan yang menjanjikan, pendapatannya telah tumbuh lebih dari 15 kali lipat sejak Kejora pertama kali mendanai putaran awal di dua tahun lalu, menurut Togelang.

“Mengingat tingkat pertumbuhan pasar yang kuat, mengembangkan perusahaan logistik bukanlah perkara sulit. Namun, tantangan sebenarnya adalah untuk membuatnya profitable. Kami, sangat menyayangkan, melihat beberapa pemain logistik lainnya masih mendewakan strategi ‘bakar uang’. Karena itu, ketika mempertimbangkan perkembangan pesat dari SiCepat dengan tetap mempertahankan inti bisnis yang kuat, kami merasa percaya diri untuk berinvestasi di perusahaan ini,” ujarnya.

Photo by Marcin Jozwiak on Unsplash
Photo by Marcin Jozwiak on Unsplash

Mengincar Efisiensi

Seluruh proses rantai pasok logistik adalah penggabungan dari berbagai fungsi, seperti transportasi, pergudangan, pengemasan, distribusi, penyimpanan, dan sebagainya. Menurut laporan PwC berjudul Shifting Patterns: Future of The Logistics Industry, kurangnya “budaya digital” dan pelatihan adalah tantangan terbesar bagi perusahaan transportasi dan logistik konvensional.

Hal ini memungkinkan startup teknologi pendatang baru untuk mengisi celah dan menangkap peluang bisnis. Mereka dapat mendigitalisasi kegiatan operasional inti untuk menciptakan sistem logistik yang cerdas.

Beberapa teknologi utama yang digunakan oleh startup logistik termasuk identifikasi frekuensi radio (RFID), GPS, komputasi awan, dan analisis data. Logistik yang cerdas diharapkan bisa meningkatkan proses pengangkutan barang, manajemen inventaris, menemukan dan mengelola gudang, mengisi kembali stok, serta pengalaman ritel secara keseluruhan.

Tiger Fang, salah satu pendiri dan CEO Kargo Technologies, menyadari bahwa ada permintaan dan peluang yang tinggi di sektor ini. Fang adalah mantan eksekutif Uber yang berada dibalik peluncuran operasi perusahaan AS tersebut di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Ia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan lamanya untuk membangun startup teknologi logistik pada tahun 2018.

“Saya pikir digitalisasi truk dan logistik bukan tentang “bagaimana”, tetapi “kapan”. Pada saat Uber melakukan merger dengan Grab, kami beroperasi pada skala yang cukup signifikan, terdapat jutaan perjalanan setiap minggu di 40 kota di Indonesia, ”kata Fang kepada KrASIA. “Uber berada di bidang logistik untuk mobilitas populasi, sedangkan Kargo dalam bidang logistik untuk pengiriman barang,” lanjutnya.

Fang mengatakan bahwa sekitar 75% perusahaan truk di Indonesia memiliki kurang dari 20 truk. Oleh karena itu Kargo menawarkan mereka digital gateway untuk mendapatkan pekerjaan lebih cepat, dibayar lebih cepat, dan memperluas bisnis.

“Logistik mencakup hampir seperempat dari PDB Indonesia yang bernilai US$1 triliun, namun tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai serta diliputi berbagai inefisiensi,” kata Fang. Ia menjelaskan bahwa truk yang mengantarkan barang dari pusat-pusat produksi perkotaan seringkali pulang tanpa muatan, untuk mendapatkan pekerjaan sehari-hari pengemudi truk hanya mengandalkan beberapa panggilan telepon dan grup WhatsApp, kontrak masih ditulis tangan, dan pembayaran terkadang dilakukan berbulan-bulan setelah Sopir menyelesaikan pengiriman.

Mengamati kondisi ini, Fang beserta tim Kargo mengembangkan aplikasi driver dan dasbor perusahaan yang menawarkan pelacakan lokasi real-time, pilihan pekerjaan, pembuatan faktur, bukti pengiriman digital, juga pembayaran yang terintegrasi secara mulus dengan semua sistem.

“Sementara itu, di sisi pengirim, mereka dapat melacak aset mereka secara real-time dan memiliki akses ke jaringan truk terbesar sehingga mereka dapat fokus pada bisnis inti mereka. Hal ini akan menumpas segala kekhawatiran tentang bagaimana menemukan truk dan membayar lebih banyak untuk broker, ”lanjutnya.

Kargo Technologies menyederhanakan rantai pasok pengiriman barang dengan layanan mereka, menjadikannya jauh lebih efisien serta menguntungkan kedua belah pihak baik perusahaan pengirim maupun perusahaan angkutan.

Selain pengiriman barang, cabang logistik lain yang saat ini sedang mengalami disrupsi inovasi digital adalah pergudangan. Awal tahun ini, perusahaan e-commerce terbesar di Indonesia, Tokopedia, meluncurkan layanan pengadaan yang disebut TokoCabang, memanfaatkan jaringan gudang pintar yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Melalui TokoCabang, penjual Tokopedia dapat menyimpan produk mereka di jaringan gudang. Perusahaan juga memberikan dukungan mencakup penanganan pesanan masuk, pengemasan, dan penyerahan paket kepada kurir pengiriman.

Pemain lain di industri pergudangan ini adalah startup mikro-pergudangan Crewdible dan pengadaan e-commerce lintas wilayah AllSome. Yang terakhir adalah startup Malaysia yang saat ini sedang bersiap untuk masuk ke Indonesia.

Layanan manajemen gudang ini biasanya ditujukan untuk usaha kecil dan menengah (UKM) yang memiliki bisnis dan inventaris yang meluas tetapi tidak mampu menyewa ruang penyimpanan besar untuk bisnis  mereka sendiri.

“Salah satu misi Crewdible adalah untuk mendukung penjual individu kecil untuk menciptakan bisnis yang mapan. Dengan menangani tugas paling sulit dan biasa dari bisnis e-commerce, Crewdible bertujuan untuk membebaskan waktu penjual sehingga mereka dapat fokus pada pengembangan bisnis, menambahkan lebih banyak produk, dan melakukan lebih banyak pemasaran,” jelas CEO Crewdible Dhana Galindra kepada KrASIA.

Crewdible juga memungkinkan ruang kosong yang tak terhuni dan mengubahnya menjadi bisnis, memberikan manfaat yang sama bagi pedagang e-commerce dan pemilik ruang.

Photo by Ruchindra Gunasekara on Unsplash
Photo by Ruchindra Gunasekara on Unsplash

Bisnis yang menjanjikan

Menemukan model yang tepat dan berkelanjutan adalah tantangan besar bagi semua bisnis, termasuk startup teknologi logistik. Karena industri tidak memiliki pemain dominan, para pemula perlu banyak eksperimen untuk menemukan cara-cara yang tepat dalam menjalankan bisnis. Namun, beberapa pemain industri percaya bahwa bisnis di industri ini sangatlah menjanjikan dan mereka mampu menghasilkan arus kas positif bahkan dalam periode yang relatif singkat.

“Ada banyak cara untuk menghasilkan uang. Kami telah berhasil menguji coba model berlangganan dengan ratusan orang yang mau membayar. Ketika kami mempertemukan pengirim dengan pengangkut, terciptalah tingkat pengambilan yang baik dalam industri, validasi model bisnis, serta beberapa unit ekonomi terkait. Saat ini, kami fokus untuk membangun likuiditas dan jaringan, jadi kami berinvestasi dengan cara ekspansi ke pelanggan korporasi dan secara geografi. Pialang tradisional biasanya mengenakan komisi hingga 20% untuk setiap pengiriman, ”kata Fang.

Ia mengungkapkan, Kargo Technologies telah memenangkan klien tenda dan kontrak dan sekarang jaringan truk terbesar di Indonesia hanya dalam enam bulan operasi. Perusahaan sejak awal telah memiliki unit ekonomi positif dan sudah berada di jalur menuju profitabilitas, Fang menambahkan.

Rooling Njotosetiadi, salah satu pendiri dan CEO startup pengiriman barang yang baru didirikan Logisly, juga memiliki optimisme yang sama. Platform Logisly diluncurkan pada Januari 2019, dan perusahaan telah melihat arus kas positif dalam waktu kurang dari setahun. “Kami menuai margin positif dari transaksi dengan membantu pengirim dan perusahaan angkutan truk menjadi lebih efisien dalam mengirimkan barang,” ungkap Njotosetiadi.

“Sementara sistem mempertemukan pengirim dengan truk yang kosong, kami menawarkan kesepakatan yang lebih baik bagi kedua pelanggan. Sebagai contoh, untuk sebuah truk yang sudah membawa muatan dari Surabaya ke Jakarta, daripada pulang dengan muatan kosong, perusahaan truk berharap untuk memuat sesuatu dalam perjalanan pulang dengan harga yang lebih rendah. Kita bisa mendapat margin dari itu, ”lanjutnya.

Model bisnis ini terlihat tanpa cacat. Meskipun perusahaan terhitung muda, Logisly telah bermitra dengan lebih dari 200 perusahaan angkutan truk dan telah bekerja dengan sekitar 100 pengirim barang dari berbagai sektor.

Crewdible juga menerapkan strategi yang sama. Galindra mengatakan bahwa logistik, terutama pergudangan, tidak memerlukan strategi bakar uang karena mereka menawarkan layanan terfokus untuk pasar yang memiliki segmen khusus.

“Mungkin dalam hal naik kendaraan, pengguna akan memilih platform yang lebih murah karena operator naik kendaraan cenderung menawarkan layanan yang sama: membawa penumpang dari titik A ke titik B. Namun, di pergudangan, kami menawarkan nilai dan layanan seperti jaminan kualitas, keamanan penyimpanan, kecepatan respons, dan banyak lagi. Sebuah bisnis tidak akan keberatan membayar sedikit lebih banyak selama layanan bisa memenuhi kebutuhan mereka, “katanya.

Untuk penjual online, Crewdible mengenakan biaya 3,5% untuk setiap faktur atau maksimum Rp 10.000 (US$0,71). Biaya ini kemudian dibagi — 80% untuk pemilik gudang dan sisanya untuk Crewdible, kata Galindra. Ia menyampaikan bahwa dengan model bisnis yang jelas, Crewdible telah menunjukkan perkembangan positif. Perusahaan belum lama ini membukukan US$1,5 juta dari Global Founders Capital dan bertujuan untuk mencapai profitabilitas 13 bulan dari sekarang.

Kompetisi terbuka lebar

Menurut Mordor Intelligence, sektor logistik Indonesia tidak memiliki tingkat konsentrasi industri yang tinggi. Pemain internasional bertanggung jawab atas sekitar 30% dari ukuran pasar sementara 70% sisanya terdiri dari pemain lokal.

Lapangan masih terbuka lebar untuk startup teknologi logistik karena saat ini tidak ada pemain tunggal yang mendominasi sektor ini.

“Jika kita melihat perkembangan pasar negara-negara lain, logistik bukanlah sektor dimana pemenang-mengambil-semua. Kami berharap akan ada dua hingga lima pemain terkemuka di setiap vertikal. Khusus untuk pengiriman jarak jauh, lima pemain teratas akan terus bersaing untuk mendapatkan posisi terdepan. Namun, kami percaya kompetisi ini lebih mirip lari maraton daripada lari cepat. Oleh karena itu, pemain yang mampu memecahkan unit ekonomi dan profitabilitas sejak hari pertama akan lebih berkelanjutan dalam jangka panjang, ”kata Togelang.

Sebagai pendatang baru di industri ini, Njotosetiadi percaya bahwa logistik dan semua vertikalnya memiliki pasar yang besar di Indonesia. Ada kesempatan untuk setiap pemain dan karena itu, dia tidak terlalu khawatir mengenai kompetisi.

Investasi terus mengalir

KrASIA mencatat bahwa setidaknya delapan startup logistik mendapatkan investasi baru tahun ini. Mengingat industri ini membengkak dengan cepat, bukanlah hal yang mengejutkan jika lebih banyak investor menargetkan pasar logistik tahun depan.

Menurut Bhima Yudhistira, seorang analis ekonomi digital di Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF), logistik adalah sektor yang akan berkembang dan menarik banyak investasi tahun depan.

“Sektor logistik sangat menarik karena memiliki banyak vertikal dan kami melihat bahwa banyak pemain baru menawarkan inovasi seperti gudang pintar di luar area metro. Para pemain ini juga bekerja sama dengan platform e-commerce, yang membantu mereka tumbuh cepat. Lingkup logistik Indonesia sangat besar, jadi saya pikir kita akan melihat transformasi yang lebih besar dalam bidang ini dalam waktu dekat,” ungkapnya pada KrASIA.

Togelang dari Kejora Ventures mengatakan bahwa teknologi logistik di Asia Tenggara bahkan belum menyentuh permukaan. Kejora berharap bisa melihat jauh lebih banyak kemajuan dalam sektor ini di masa depan serta perusahaan-perusahaan untuk secara aktif membentuk perkembangannya.

Berikut tertera daftar startup logistik Indonesia yang menjadi sorotan dan menerima kucuran dana segar pada 2019:

Kargo Technologies, pendanaan awal senilai US$7,6 juta pada bulan Maret dipimpin oleh Sequoia Capital India

Kargo Technologies adalah startup logistik yang mengintegrasikan pengirim dan penyedia logistik dalam satu pasar tunggal, menyelesaikan ketidakefisienan dan mengurangi biaya.

SiCepat Expres, pendanaan Seri A US$50 juta pada bulan April, dipimpin oleh Barito Teknologi dan Kejora InterVest Growth Fund

SiCepat Expres menawarkan kurir, gudang, serta layanan pengiriman jalur udara dan kargo di seluruh Indonesia, juga melayani puluhan ribu pedagang online. Perusahaan mengklaim telah mengirimkan lebih dari 200.000 paket setiap hari. Saat ini telah memiliki 600 outlet di seluruh negeri dan bertujuan untuk memiliki 200 drop point di Jabodetabek tahun ini.

Triplogic, pendanaan dengan jumlah yang tidak disebutkan dari East Ventures pada bulan Mei

Triplogic menangani pengiriman di 61 kota di seluruh negeri. Dengan menempatkan loker pintar di toko-toko lokal untuk digunakan sebagai titik drop-off, paket dapat dikirim ke tujuan mereka dalam waktu tiga jam. Triplogic mengklaim dapat menangani ribuan pengiriman setiap hari dan bertujuan untuk memiliki lebih dari 15.000 titik drop-off pada akhir 2019.

Waresix, pendanaan Seri A senilai US$14,5 juta pada bulan Juli, dipimpin oleh EV Growth, SMDV, dan Jungle Ventures

Startup ini menghubungkan pengirim dan bisnis dengan gudang dan truk yang tersedia di seluruh Indonesia, memberikan transparansi yang lebih baik, layanan berkualitas, dan peningkatan pendapatan bagi pemilik aset. Waresix saat ini memiliki lebih dari 20.000 truk dan 200 operator gudang di jaringan yang menjangkau seluruh penjuru negeri.

Ritase, pendanaan senilai US$8,5 juta dalam putaran investasi Seri A pada bulan Juli, dipimpin oleh Golden Gate Ventures

Ritase menyediakan sistem transportasi digital B2B yang cocok dengan pengirim dan pengangkut, menyederhanakan rantai pasok logistik untuk menciptakan proses pengiriman darat yang lebih efisien. Startup ini telah menjangkau 500 perusahaan transportasi kecil dan menengah, dengan lebih dari 7.500 truk dan 7.000 pengemudi yang terdaftar.

Logisly, pendanaan dengan jumlah yang tidak disebutkan dari Convergence Ventures dan Genesia Ventures pada bulan Agustus

Startup ini meningkatkan pemanfaatan truk dan membawa transparansi lebih untuk bisnis truk menggunakan teknologi.

Shipper, pendanaan awal senilai US$5 juta pada bulan September dari Y Combinator, Insignia, dan Lightspeed

Shipper adalah platform agregator logistik. Mereka bekerja dengan banyak mikro-hub dari seluruh penjuru untuk memungkinkan pickup mil pertama dan telah mengoperasikan sepuluh gudang untuk membantu pengadaan e-commerce.

Crewdible, pendanaan pra seri A senilai US$1,5 juta pada bulan Oktober dari Global Founders Capital

Crewdible menghubungkan penjual e-commerce dengan pemilik gudang untuk memenuhi pesanan. Mereka mengubah fasilitas kosong seperti rumah dan kantor menjadi gudang mikro.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Smart logistics is the Indonesian Digital Economy’s Up-and-Coming Sector

Although logistics is the backbone of domestic and international trade, the sector has faced various challenges in Indonesia, such as poor infrastructure, and the lack of reliable IT and communication networks.

According to Mordor Intelligence, logistics costs vary between 25% and 30% of the GDP in Indonesia, as compared to developed economies, where it is below 5%. This means that delivering goods from one city to another in Indonesia can be challenging and expensive.

As the e-commerce industry matures, logistics tech is now considered to be the next emerging industry following the expansion of Indonesia’s digital economy. The various challenges in logistics have attracted various investments to tech startups entering the space, with many of them raising significant funding this year.

According to Sebastian Togelang, founding partner of Kejora Ventures, logistics in Southeast Asia and Indonesia is developing at a robust pace. “In Indonesia, logistics is growing at a double-digit percentage year-on-year, for the past few years. The current trend indicates that logistics is expected to continue to flourish in the years to come in terms of investment and market size,” he told KrASIA.

As an investor, Togelang has plenty of faith in this industry. Earlier this year, Barito Teknologi and Kejora InterVest Growth Fund led a USD 50 million investment in logistics startup SiCepat Ekspres.

According to him, logistics is a key enabler of the internet economy, by playing a key role to ensure the movement of goods from merchants to consumers. Furthermore, to a certain extent, it involves payments between parties. Therefore, this sector will enjoy a sizable increase, based on the general development of the economy and internet economy. This makes it attractive to investors.

“When we talk about the whole logistics spectrum, the Southeast Asia market size is about USD 600 billion, depending on which reports you read. But my take would be that, anywhere in the world, logistics is the bloodline of the economy itself. Hence, I would like to see the logistic tech sectors riding on the wave of the region’s thriving economy,” Togelang continued.

Togelang believes that e-commerce is still at its infancy in Southeast Asia and that the sector will continue to expand more than fivefold in the next few years. And with Indonesia being the largest market and economy in the region, logistics in the country holds many opportunities.

This factor has made Togelang and his team in Kejora confident about their investment in SiCepat Ekspres, considered as one of the largest Series A investments in the region. In addition, the startup’s founders have a proven track record in commerce and logistics. Moreover, SiCepat Ekspres has shown promising development, as its revenue has grown more than 15 times since Kejora first invested in its seed round two years ago, according to Togelang.

“Given the strong market growth rate, developing a logistics company is easy. The real challenge, however, is to make it profitable. We, unfortunately, see that some of the other logistics players still have a ‘burning money’ mentality. Therefore, when taking into consideration SiCepat’s rapid rise while maintaining its strong bottom line, we are very confident about investing in the company,” he added.

Photo by Marcin Jozwiak on Unsplash
Photo by Marcin Jozwiak on Unsplash

Striving for efficiency

The entire logistics supply chain process combines various functions, such as transportation, warehousing, packaging, distribution, storage, and so forth. According to a report by PwC titled Shifting Patterns: Future of The Logistics Industry, the lack of a “digital culture” and training are the biggest challenges for conventional transportation and logistics companies.

This allows new entrants such as tech startups to fill the gap and capture new business opportunities. They can digitalize core operational activities to create smart logistics systems.

Several key technologies deployed by logistics startups include radio frequency identification (RFID), GPS, cloud computing, and data analytics. Smart logistics is expected to improve the way companies transport goods, control inventory, find and manage warehouses, replenish stock, and eventually the overall retail experience.

Tiger Fang, co-founder and CEO of Kargo Technologies, realized that there is high demand and opportunity in this sector. Fang is a former Uber executive who launched the US firm’s operations in Indonesia, Malaysia, and Thailand. He decided to leave his old job to build a logistics tech startup in 2018.

“I think the digitalization of trucking and logistics is not a question of if, but when. At the time of the Uber and Grab merger, we were operating at a pretty significant scale, doing millions of trips every week across 40 cities in Indonesia,” Fang told KrASIA. “Uber was in the logistics of moving people, while Kargo is in the logistics of moving freight,” he continued.

Fang said that approximately 75% of trucking companies in Indonesia have fewer than 20 trucks. Therefore Kargo provides them with a digital gateway to be able to find jobs faster, get paid faster, and to expand their businesses.

“Logistics comprises nearly a quarter of Indonesia’s USD 1 trillion GDP but is beset by poor infrastructure and a myriad inefficiencies,” Fang said. He explained that trucks delivering goods from urban production centers often make the return trip empty, drivers for day-to-day trucking gigs are typically sourced through multiple phone calls and WhatsApp groups, contracts are often handwritten, and payments are sometimes made months after the driver finishes the delivery.

Observing these conditions, Fang and the team at Kargo developed a driver app and enterprise dashboard that offer real-time location tracking, job assignments, invoicing, digital proof of delivery, and payments that are integrated seamlessly with all systems.

“Meanwhile, on the shipper’s side, they are able to track their assets in real-time and have access to the biggest trucking network so they can focus on their core business. This beats worrying about how to find a truck and overpaying many brokers,” he continued.

Kargo Technologies simplifies the freight-forwarding supply chain with their services, making them much more efficient and this benefits both shippers and trucking companies.

Besides freight-forwarding, another branch of logistics that is currently being disrupted by digital innovation is warehousing. Earlier this year, Indonesia’s largest e-commerce company Tokopedia launched a fulfillment service called TokoCabang that utilizes a smart warehouse network spread across various regions in Indonesia.

Through TokoCabang, Tokopedia’s sellers can store their products in its network of warehouses. The company also provides assistance that includes handling incoming orders, packaging, and handing the packages over to shipping couriers.

Other players in the warehousing space are micro-warehousing startup Crewdible and cross-border e-commerce fulfillment AllSome. The latter is a Malaysian startup that is currently preparing for entry to Indonesia.

This warehouse management service is usually intended for small and medium enterprises (SMEs) that have expanding businesses and inventory but cannot afford to rent big storage spaces for themselves.

“One of Crewdible’s missions is to support small individual sellers to become enterprises. By handling the most difficult and mundane task of e-commerce businesses, Crewdible aims to free up sellers’ time so that they can focus on developing the business, adding more products, and doing more marketing,” Crewdible CEO Dhana Galindra told KrASIA.

Crewdible also enables unrentable vacant spaces and turns them into businesses, giving equal benefits for both e-commerce sellers and space owners.

Photo by Ruchindra Gunasekara on Unsplash
Photo by Ruchindra Gunasekara on Unsplash

Promising business

Finding the right and sustainable model is a big challenge for any business, including logistics tech startups. As the industry has no dominant player, startups need to experiment to discover viable ways of doing business. However, several industry players believe that businesses in this space are promising and that they are able to generate positive cash flow even in a relatively short period.

“There are many ways to monetize. We’ve successfully piloted a subscription model with hundreds of paying customers. When we match shippers with transporters, we are able to create an industry-leading take-up rate, validate the business model, and the associated unit economics. Today, we are focused on building liquidity and the network, so we are investing in our expansion to new enterprise customers and geographies. Traditional brokers in the business charge up to 20% commission for each shipment,” said Fang.

He said that in just six months of operations, Kargo Technologies has already won marquee clients and contracts and is now the largest trucking network in Indonesia. The startup has had positive unit economics from the start and it is already on the pathway to profitability, Fang added.

Rooling Njotosetiadi, co-founder and CEO of newly established freight-forwarding startup Logisly, also shares the same optimism. Logisly’s platform was launched in January 2019, and the company has seen positive cash flow in less than a year. “We are cross margin-positive from transactions because we help shippers and trucking companies become more efficient in delivering goods,” said Njotosetiadi.

“As our system matches empty trucks and shippers, we can offer a better deal for both customers. For example, for a truck already shipping something from Surabaya to Jakarta, rather than coming back empty, the trucking company would prefer to deliver something on their way back for a lower price. We can get margins from that,” she continued.

The business model seems to work. Although a young company, Logisly has already partnered with more than 200 trucking companies and has worked with around 100 shippers from various sectors.

Crewdible has also applied the same strategy. Galindra said that logistics, especially warehousing, does not require a money-burning strategy because they offer niche services to segmented markets.

“Maybe for ride-hailing, users would choose a cheaper platform because ride-hailing operators mainly offer the same service: taking a passenger from point A to point B. However, in warehousing, we offer value and services such as quality assurance, secure storage, speed of response, and more. A business wouldn’t mind paying a little extra as long as the service meets their needs,” he said.

For online sellers, Crewdible charges 3.5% for every invoice or a maximum of IDR 10,000 (US 0.71). This fee is then split—80% for the warehouse owner and the rest for Crewdible, said Galindra. He said that with a clear business model, Crewdible has shown positive developments. The company recently raised USD 1.5 million from Global Founders Capital and aims to hit profitability 13 months from now.

Competition is still wide open

According to Mordor Intelligence, the Indonesian logistics industry does not have a high level of industry concentration. International players are responsible for approximately 30% of the market size while the remaining 70% comprises local players.

The field is still wide open for logistics tech startups as no single player currently dominates this sector.

“If we look at other countries’ development of the market, logistics is not a winner-takes-all kind of situation. We are expecting that there will be two to five notable players in each vertical. Specifically for last-mile delivery, the top five players will continue to compete for the pole position. However, we believe this to be more of a marathon rather than a sprint. Hence, players who are able to crack unit economics and profitability from day one will be more sustainable in the long run,” said Togelang.

As a newcomer in the industry, Njotosetiadi believes that logistics and all of its verticals have a huge market in Indonesia. There is an opportunity for every player and therefore, she is not too worried about the competition.

More investments to come

KrASIA notes that at least eight logistics startups raised fresh investments this year. Bearing in mind that this industry is swelling quickly, it wouldn’t be a surprise to see more investors targeting the logistics space next year.

According to Bhima Yudhistira, a digital economy analyst at the Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), logistics is a sector that will blossom and attract investments next year.

”Logistics is very interesting because it has many verticals and we see that many new players offer innovations like smart warehouses outside metro areas. These players also cooperate with e-commerce platforms, which helps them grow fast. Indonesia’s scope for logistics is huge, so I think we will see greater transformation in this field in the near future,” he told KrASIA.

Kejora Ventures’ Togelang said that logistics tech in Southeast Asia has barely scratched the surface. Kejora expects to see far more progress in this sector in the future and the firm is excited to actively shape its development.

Here is the list of Indonesian logistics startups that were in the spotlight and received fresh funding in 2019:

Kargo Technologies, USD 7.6 million seed round in March led by Sequoia Capital India

Kargo Technologies is a logistics startup that integrates shippers and logistics providers in a single marketplace, solving inefficiencies and reduce costs.

SiCepat Expres, USD 50 million in Series A funding in April, led by Barito Teknologi and Kejora InterVest Growth Fund

SiCepat Expres offers couriers, warehouses, as well as air and cargo delivery services throughout Indonesia, and caters to tens of thousands of online merchants. It claims to deliver over 200,000 packages every day. The startup currently has 600 outlets throughout the country and aims to have 200 drop points in Greater Jakarta this year.

Triplogic, an undisclosed amount from East Ventures in May

Triplogic handles deliveries in 61 cities across the country. By placing smart lockers in local shops to utilize as drop-off points, parcels can be delivered to their destinations within three hours. Triplogic claimed to handle thousands of deliveries each day and aims to have more than 15,000 drop points by the end of 2019.

Waresix, USD 14.5 million Series A round in July, led by EV Growth, SMDV, and Jungle Ventures

The startup connects shippers and businesses with available warehouses and trucks across Indonesia, providing better transparency, quality of service, and improved income for asset owners. Waresix currently has more than 20,000 trucks and 200 warehouse operators in its network across the country.

Ritase, USD 8.5 million in a Series A investment round in July, led by Golden Gate Ventures

Ritase provides a B2B digital transportation system that matches shippers and transporters, simplifying the logistics supply chain to create a more efficient ground freight process. It has signed up 500 small and medium-sized transportation companies, with more than 7,500 trucks and 7,000 drivers.

Logisly, an undisclosed amount from Convergence Ventures and Genesia Ventures in August

The startup increases trucking utilization and brings more transparency to trucking with technology.

Shipper, USD 5 million in seed funding in September from Y Combinator, Insignia, and Lightspeed

Shipper is a logistics aggregator platform. Shipper works with multiple micro-hubs across the country to enable the first-mile pickups and currently operates ten warehouses to help with e-commerce fulfillment.

Crewdible, USD 1.5 million in pre-Series A funding in October from Global Founders Capital

Crewdible connects e-commerce sellers with warehouse owners for order fulfillment. It turns empty facilities such as houses and offices into micro-warehouses.


This article first appeared on KrASIA. It’s republished here as part of our partnership.

Hipotesis-Hipotesis Investor dalam Mengucurkan Pendanaan

Pemodal ventura atau venture capital (VC) adalah salah satu elemen penting dalam ekosistem digital. VC menyalurkan pendanaan kepada startup tentu dengan sebuah proyeksi, baik keuntungan maupun pertumbuhan industri.

Banyak di antara kita yang pasti bertanya-tanya, kriteria apa saja yang sebetulnya diperlukan bagi VC sebelum memutuskan untuk menyuntik investasi kepada startup.  Apakah dari produk yang dikembangkannya? Atau idenya yang otentik?

Untuk menjawab hal ini, DailySocial kedatangan Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca yang berbagi pengalamannya seputar pendanaan startup pada sesi #SelasaStartup kali ini.

Mari kita simak ulasannya berikut ini:

Time capsule

Selama sepuluh tahun menjadi investor, Willson berbagi pengalamannya dalam mendanai startup-startup di Asia, khususnya di Indonesia. Dalam proses tersebut, ia menekankan perlunya membangun hipotesis sebelum membuat keputusan.

Willson bercerita bagaimana sepuluh tahun lalu tidak ada investor lokal yang mau berinvestasi di startup. Padahal, Indonesia merupakan pasar yang besar dengan sekelumit masalah. Ia berpikir sebaliknya karena sejumlah hipotesis yang ia yakini.

Sebagai contoh, vertikal e-commerce merupakan produk startup yang berkembang cepat di awal industri ini muncul. E-commerce dinilai menjadi lokomotif industri startup Indonesia. Menggunakan hipotesis model time capsule, e-commerce berkembang lebih dulu di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, dan Rusia. Hal yang sama seharusnya akan hadir di Indonesia. Oleh karena itu, East Ventures memutuskan berinvestasi di sektor e-commerce.

“Kenapa mau investasi di startup sepuluh tahun lalu? Kita melihat adopsi digital di Indonesia cepat. Facebook dan Twitter saat itu belum ada kantor, tapi penggunanya banyak di Indonesia,” papar Willson.

Dengan banyaknya masalah di Indonesia sangat banyak, peluangnya juga semakin besar. Hal ini pula yang memperkuat keyakinannya untuk membangun industri ini.

Global knowledge, local execution

Terkait banyaknya berinvestasi ke founder yang memiliki pendidikan di luar negeri, khususnya Amerika Serikat, Willson menyebutkan sesungguhnya hal tersebut bukanlah hal yang utama.

Mereka yang berstudi di Amerika Serikat sudah mendapatkan knowledge dari negara-negara maju. Meskipun demikian, ketika akan diterapkan di Indonesia, mereka harus memperhatikan kondisi setempat, karena permasalahan di Indonesia biasanya unik dan berbeda dengan di negara maju.

Harus ada pendekatan pemahaman permasalahan dan eksekusi lokal untuk memberikan solusi di negara ini.

Single market domination

Willson meyakini konsep single market domination. Startup dapat fokus ke pasar yang diinginkan sebelum memutuskan untuk ekspansi.

Menurutnya, penting bagi startup untuk mengembangkan produk sesuai kebutuhan pasar dan target pengguna yang benar-benar dituju karena Indonesia memiliki pasar yang luas.

“40 persen populasi di Asia Tenggara itu dari Indonesia. Populasi Singapura itu tidak ada apa-apanya. Makanya, siapapun yang menang di Indonesia, pasti bisa kuasai Asia Tenggara.

Pendekatan bottom up

Hal lain yang disoroti adalah bagaimana mereka membangun produk yang dibuat. Sebagai investor, Willson memilih startup yang mengedepankan pendekatan bottom up, bukan top down dalam mengembangkan produknya.

Pendekatan bottom-up yang ia maksud adalah bagaimana startup melihat masalah yang ada di lapangan dan mencari solusinya.

“Yang harus dilakukan founder adalah amati masalahnya apa dan di mana. Bukan cari [masalah] dari berita yang ada internet. Kalau perlu dites apakah masalahnya betul ada, berarti ada problem statement. Apabila ada yang mau pakai produk kita, artinya sudah market fit,” jelasnya.

Yang penting orang dan industri

The key about investing adalah bukan tentang produknya, tetapi orang dan industrinya,” ungkap Willson.

Ia bercerita pengalamannya saat East Ventures berdiri. Ada tiga hal yang menjadi kriteria utama dalam menentukan investasi kepada startup, yaitu people, product, dan potential market (3P).

Seiring berjalannya waktu, Willson menilai bahwa produk tidaklah lagi menjadi kriteria utama, tetapi people dan potential market. Ia meyakini good people (team) dapat membangun produk yang baik.

People‘ yang dimaksud dalam hal ini juga merujuk pada founder. Menurutnya, penting untuk memiliki founder yang paham pasar. Dengan begitu, produk yang dibuat dapat relevan dalam mengatasi masalah-masalah yang ada.

“Untuk menjadi founder startup, mereka harus punya global knowledge dan local experience. Indonesia itu negara kepulauan terbesar dengan 17.000 pulau. Orang [luar] tidak bakal mengerti kompleksitas di sini,” ujarnya.

Founder muda tanpa pengalaman

Masih bicara tentang founder, Willson punya pemikiran terbalik dalam menentukan pendanaan kepada startup. Dalam hipotesisnya, ia lebih memilih founder yang tidak berpengalaman daripada yang punya banyak pengalaman.

Menurutnya, founder yang berpengalaman cenderung akan terjebak dalam pemikirannya sendiri. Hal ini dinilai akan menghambat startup dalam berkembang karena hanya mencari solusi masalah dari cara founder berpikir.

“Kalau founder terlalu paham, saya justru takut berinvestasi. Karena saat solving problem, mereka akan terjebak di pemikiran founder-nya saja. Makanya di East Ventures, kami tidak suka mentorship. Kami tidak ingin mereka terkungkung mengerjakan sesuai pemikiran investor,” tutur Willson.

Venturra Discovery Aims for Early-Stage Startups to Pre-Series A Funding

Venture investor (VC) under Lippo Group, Venturra Capital, officially launched an investment arm called Venturra Discovery to focus on early-stage startups to Pre-Series A funding in Southeast Asia.

John Riady, Lippo Group’s Director, said in the launching that Venturra Discovery has opened up opportunities for companies to be more active on early-stage startups funding in Indonesia.

“We’re very lucky to contribute for Indonesia’s development because of the potential we see is not only for Series A and Series B but also seed funding. We can’t wait to see the results in the near future,” he added.

Another reason behind Venturra Discovery creation is the wide gap between seed funding to series A and up. Based on the data cited by Venturra Capital, VCs which focused on seed funding in 2014 are capable to pour $50-500,000 ticket size per company. However, the gap is widen in Series A and up.

In 2018, it’s the contrary, where VCs focused on series A can pour $1-3 million per investment. The gap is there for the active VCs on early-stage startups to pre-series A funding.

“Tech ecosystem wasn’t ready then, but tech industry has grown rapidly the past year. There will be some issues to solve, hence we work with more founders,” Rudy Ramawy, Venturra Capital’s Managing Partner, said.

Therefore, Venturra Discovery focused on early-stage startups to pra-series A funding in Southeast Asia. The company aims for 30-40 portfolios for the investment amount ranging from $200,000 to $500,000. Total investment raised is $15 million (around IDR 223 billion), only from Lippo Group.

“We want to invest on an agnostic sector. Currently, there are 5 (deals), including 1 healthcare company, 2 consumers, one enterprise solution, and 1 incubator. This is the perfect moment for acceleration, and we want to fill the gap with this VC launching,” Raditya Pramana, Venturra Discovery’s Partner added.

Venturra Capital was founded in 2015 with the seed funding of $150 million. Recently, Venturra has distributed investment for funding worth of $600 million, and first investment growth up to 3.1 times.

The independent VC has made investments in Southeast Asia, including Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, and Vietnam. There are 22 companies have received funding from Venturra, including Ruang Guru, Fabelio, and Medigo.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian