CIMB Niaga Dapat Restu, Kawal WeChat Pay Masuk Indonesia

Aplikasi pembayaran asal Tiongkok WeChat Pay mendapat restu Bank Indonesia untuk beroperasi yang dikawal Bank CIMB Niaga sebagai bank acquirer. Kabar ini dikonfirmasi langsung Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng pada pekan lalu (11/1).

Alhamdulillah WeChat Pay sudah mematuhi, sekarang mereka sudah saya kasih izin QRIS. Jadi sudah jalan, yang dulu nggak ada payung hukumnya sekarang sudah ada payung hukum mengenai QRIS. Mereka harus patuh,” kata Sugeng seperti dikutip dari Detik.

WeChat Pay sebagai penyelenggara jasa pembayaran (PJSP) asing, harus memenuhi ketentuan. Bahwa mereka harus bekerja sama dengan Buku IV untuk masuk sebagai PJSP domestik.

Dikonfirmasi langsung kepada DailySocial, Direktur Bisnis Konsumer Bank CIMB Niaga Lani Darmawan menjelaskan perseroan bekerja sama dengan WeChat Pay untuk menerima pembayaran dan transaksi menggunakan aplikasi WeChat Pay di merchant QRIS dan EDC milik CIMB Niaga.

“Ini untuk memfasilitasi kegiatan wisatawan mancanegara pengguna WeChat Pay di Indonesia, sehingga kami harapkan bisa lebih menggairahkan pariwisata Indonesia karena kemudahan transaksi wisatawan di Indonesia,” ujar Lani.

Perseroan berharap dapat mengantongi lebih banyak sumber CASA (current account and saving account) alias dana murah yang dapat diraup. Produk dari CASA itu sendiri adalah tabungan dan giro.

Alipay WeChat Pay di Indonesia

Setelah mendapat restu dari BI, perseroan akan perluas jumlah merchant di lokasi-lokasi wisata yang banyak dikunjungi wisatawan Tiongkok. Selain Bali, potensi wisata yang banyak mereka kunjungi adalah Batam dan Manado.

Sebelumnya perseroan melakukan piloting di sejumlah titik wisata di Bali sudah berlangsung lebih dari setahun yang lalu. Sayangnya, Lani enggan menggambarkan tingkat transaksinya seperti apa. “Sangat kecil [transaksinya] karena terbatas [lokasi merchant],” tambahnya.

Dia mengaku, selama kurun waktu tersebut piloting relatif berjalan lancar dan tanpa hambatan.

Tidak hanya bersama CIMB Niaga, WeChat sebenarnya juga menggandeng BCA sebagai acquirer. Namun belum menemukan titik terang.

Kompetitor terdekat WeChat, Alipay disebutkan masih dalam proses persetujuan untuk masuk secara resmi. Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran (DKSP) BI Ricky Satria menjelaskan proses persetujuan ini punya kontrak yang cukup rumit karena menyangkut kedua belah pihak.

Menurutnya, tidak hanya kedua pemain besar tersebut yang berencana masuk Indonesia, masih banyak PJSP asing yang kemungkinan akan masuk. Hal ini lantar menguntungkan Indonesia karena dapat mengetahui seberapa banyak turis tersebut berbelanja di dalam negeri berkat kehadiran QRIS.

“Sekarang kan (turis berbelanja) tidak tercatat. Tapi kalau lewat QRIS tercatat berapa sih teman-teman turis yang berbelanja lewat QRIS,” tutur Ricky.

Fintech Provider in Payment Sector Must Now Registered at Bank Indonesia

Bank Indonesia issued a policy requiring fintech (financial technology) developer in payment system to register at central bank. The rule will be applied on January 1st, 2018. It’s stated in Bank Indonesia’s regulation (PBI) Number 19/12/17 on the Implementation of Financial Technology.

Bank central expects, with this policy, fintech startups can develop and contribute to push Indonesia’s economic growth by prioritizing risk mitigation aspects.

“BI sees a fast growing fintech can be used to push Indonesia’s economic growth. By innovation, the activities should be better. It also necessary to know the risk of fast growing fintech. The BI rule is a way to balance it,” said Sugeng, Bank  Indonesia’s Deputy Governor on Thursday (12/7).

PBI’s scope consists of registration rule, regulatory sandbox, licensing and approval, also monitoring and supervision.

Furthermore, there are five types of fintech classified by BI. It is payment system, market support, investment and risk management, financial loan and funding provider with other financial services.

Fintech criteria is regulated with five indicators, such as innovative, impactful on products/services/technologies and/or existing financial business model, beneficial for society, be widely used and other criteria set by BI.

Sugeng said, required registration is only for fintech provider which will or has done activities fit to the fintech criteria and under other authority, providing fintech in payment system.

Registered companies (and permitted by other authority) are not required to register. However, providing information regarding their business is sufficient.

“Unless the fintech’s payment, system already got permission as payment system provider (PJSP) by BI.”

Moreover, bank central issued two derivative rules of PBI Fintech as follows, governing board regulation (PADG) Number 19/14/PADG/2017 on fintech’s regulatory sandbox and PADG Number 19/15/PADG/2017 on how to register, deliver information, and monitor fintech’s implementation.

Junanto Herdiawan, BI’s Fintech Office Acting Head added, registered fintech provider will get into regulatory sandbox to see business model side and potential risk generated. Fintech company might go there for six month with a one-time renewal option.

“Later, the result will be seen whether it was working, not working or other status we set,” said Herdiawan, closely called as Iwan.

Immediately set an explicit prohibition regarding bitcoin

The PBI states fintech’s requirements in using Rupiah in every transaction. It means prohibition for any other currency in transaction, including virtual currency like bitcoin.

For Sugeng, the prohibition is basically due to the high-level volatility of virtual currency. It is concerned to have negative impact, then decided as invalid payment instrument.

Bank central is currently finalize the virtual currency prohibition as payment and investment instrument. BI plans to explicitly prohibit the virtual currency by issuing new rule in January 2018.

Unlike bitcoin, blockchain as supporting technology is not prohibited. In fact, BI is exploring ways to apply blockchain’s technology next year.

“Blockchain technology is not prohibited,” said Iwan.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Penyelenggara Fintech di Sistem Pembayaran Kini Wajib Terdaftar di Bank Indonesia

Bank Indonesia menerbitkan beleid yang mewajibkan penyelenggaran fintech (teknologi finansial/tekfin) di bidang sistem pembayaran untuk terdaftar di bank sentral. Kewajiban ini mulai berlaku pada 1 Januari 2018. Aturan ini tertuang dalam Peraturan BI (PBI) No.19/12/17 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Bank sentral berharap melalui beleid ini, bisnis fintech tetap dapat berkembang dan berkontribusi demi mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan tetap mengedepankan aspek mitigasi risiko.

“BI melihat pertumbuhan fintech sangat bagus bisa dimanfaatkan untuk dorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan inovasi, kegiatan inovasi bisa lebih baik. Tapi perlu diketahui bahwa fintech saking berkembangnya bisa timbulkan risiko. Aturan di BI ini adalah cara untuk menyeimbangkannya,” ucap Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng, Kamis (7/12).

Ruang lingkup PBI ini meliputi aturan pendaftaran, regulatory sandbox, perizinan dan persetujuan, dan pemantauan dan pengawasan.

Lebih lanjut, ada lima jenis penyelenggara fintech yang sudah diklasifikasikan BI untuk mendaftar. Yakni, sistem pembayaran, pendukung pasar, manajemen investasi dan risiko, pinjaman pembiayaan dan penyedia modal, dan jasa finansial lainnya.

Kriteria bisnis fintech pun diatur dalam lima indikator seperti, inovatif, dapat berdampak pada produk/layanan/teknologi, dan/atau model bisnis finansial yang telah eksis, memberikan manfaat bagi masyarakat, bisa digunakan secara luas, dan kriteria lainnya yang ditetapkan BI.

Sugeng mengatakan, kewajiban pendaftaran ini hanya diperuntukkan ke penyelenggara tekfin yang akan atau telah melakukan kegiatan yang memenuhi kriteria fintech dan berada di bawah kewenangan otoritas lain dan menyediakan tekfin di bidang sistem pembayaran.

Untuk perusahaan yang telah terdaftar dan mendapat izin dari otoritas lain, tidak perlu mendaftar ke BI. Akan tetapi, setidaknya memberikan informasi bisnisnya ke BI.

“Kecuali tekfin sistem pembayaran itu telah mendapatkan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) dari BI.”

Bersamaan dengan itu, bank sentral juga merilis dua aturan turunan dari PBI Fintech yaitu peraturan anggota dewan gubernur (PADG) No.19/14/PADG/2017 tentang ruang uji coba terbatas (regulatory sandbox) tekfin dan PADG No.19/15/PADG/2017 tentang cara pendaftaran, penyampaian informasi, dan pemantauan penyelenggaraan tekfin.

Plt Kepala Fintech Office BI Junanto Herdiawan menambahkan penyelenggara fintech yang telah terdaftar akan masuk ke regulatory sandbox untuk melihat sisi model bisnis dan risiko yang berpotensi bisa ditimbulkan. Kemungkinan perusahaan fintech akan masuk ke sana selama enam bulan dengan opsi perpanjangan satu kali.

“Nanti dari situ akan dilihat hasilnya apakah berhasil, tidak berhasil, atau status lainnya yang kami tetapkan,” kata Junanto, atau yang lebih akrab disapa Iwan.

Segera buat larangan lebih tegas mengenai bitcoin

Dalam PBI ini juga menetapkan kewajiban penyelenggara fintech untuk mengunakan Rupiah dalam setiap transaksinya. Ini berarti melarang penggunaan mata uang lain dalam bertransaksi, termasuk mata uang virtual seperti bitcoin.

Menurut Sugeng, pelarangan ini pada dasarnya disebabkan mata uang virtual memiliki tingkat volatilitasnya yang tinggi. Dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak yang negatif, sehingga ditetapkan bukan sebagai alat pembayaran yang sah.

Bank sentral pun saat ini terus mematangkan rencana pelarangan penggunaan mata uang virtual sebagai alat pembayaran dan instrumen investasi. Rencananya BI akan secara tegas melarang mata uang virtual tersebut dengan menerbitkan aturan baru pada Januari 2018.

Meskipun melarang penggunaan bitcoin, blockchain sebagai teknologi pendukungnya tidak dilarang. Malah BI sendiri menjajaki penerapan teknologi blockchain tahun depan.

“Teknologi blockchain sendiri tidak kami larang,” pungkas Iwan.

National Payment Gateway Indonesia Siap Juli Mendatang

Rencana pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) untuk memiliki National Payment Gateway (NPG) memasuki babak baru. NPG sekarang sedang masuk dalam tahap konsultasi dengan publik. Ditargetkan NPG siapa digunakan secara berangsur-angsur mulai Juli mendatang.

NPG merupakan sistem untuk memproses transaksi pembayaran yang menggunakan kartu, baik ATM/debit, kartu kredit, dan uang elektronik di dalam negeri. Kepala Pusat Program Transformasi BI Onny Widjanarko menjelaskan selama ini proses transaksi di EDC menggunakan teknologi internasional yang menempel di kartu tersebut, misalnya Visa dan Mastercard.

Dengan NPG, nantinya seluruh transaksi akan dilakukan di dalam negeri sehingga data transaksi pembayaran tidak perlu lagi diteruskan ke luar negeri. Onny menjelaskan Indonesia membutuhkan NPG untuk efisiensi dalam sistem pembayaran ritel. NPG juga diharapkan bisa meningkatkan ketahanan, kemandirian, dan meningkatkan daya saing sistem pembayaran dalam negeri.

Dengan NPG, satu jenis EDC yang berada di merchant diharapkan bisa memproses berbagai jenis kartu debit, sehingga bisa mengurangi jumlah mesin EDC yang berada di kasir.

Juga ada integrasi uang elektronik

Dikutip dari Kontan, Deputi Gubernur BI Sugeng menjelaskan pada akhir Juni 2017 setelah aturan dikeluarkan akan ada integrasi awal terkait ATM dan kartu debit. BI juga akan mengintegrasikan uang elektronik pada Oktober 2017.

NPG ini sendiri merupakan sebuah isu yang bergulir sejak tahun 2011 silam. Sebelumnya DailySocial pernah menuliskan bahwa merealisasikan NPG bukan sebuah perkara yang mudah. Banyak beberapa faktor yang harus dipertimbangkan seperti infrastruktur, regulasi, dan kultur. Direalisasikannya NPG diharapkan mendongkrak jumlah transaksi elektronik sehingga menyuburkan industri digital.