Owner Dallas Mavericks: Uang Esports Adanya di Eropa dan Asia, Bukan Amerika

Sebagai salah satu investor dan pebisnis yang sudah malang-melintang di dunia olahraga, akan sangat wajar apabila Mark Cuban juga turut terjun ke dunia esports. Apalagi ia merupakan pemilik tim NBA Dallas Mavericks, dan NBA memiliki keterkaitan yang kuat dengan esports. Beberapa atlet/mantan atlet NBA seperti Kevin Garnett dan Rudy Gobert pun sudah berinvestasi di esports.

Tapi dalam acara talk show berjudul Fair Game baru-baru ini, Cuban ternyata berpendapat bahwa esports adalah investasi yang buruk. Secara spesifik, ia berpendapat bahwa menjadi pemilik tim esports di Amerika Serikat adalah sebuah kesalahan besar, dan ia tidak tertarik berinvestasi, setidaknya untuk sekarang.

Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang ia kemukakan. Pertama, Cuban berkata bahwa esports adalah dunia persaingan yang brutal. Dalam esports, meta permainan sering sekali berganti. Dan ketika meta berganti, maka game itu akan berubah seolah menjadi sebuah game yang benar-benar baru.

https://twitter.com/FairGameonFS1/status/1187051530614034432

“Anda tahu, (esports) sangat kompetitif, dan sangat menyiksa secara fisik maupun mental, sangat brutal,” ujar Cuban. Memang benar, jika dibandingkan dengan olahraga konvensional seperti sepak bola atau basket, olahraga-olahraga ini punya aturan yang jarang sekali berubah. Seorang pemain sepak bola yang sekarang hebat, kemungkinan akan tetap hebat juga dalam waktu relatif lama. Tapi di dunia esports, pemain bintang hari ini bisa jadi payah esok harinya hanya gara-gara sebuah patch.

Alasan kedua, Cuban berpendapat bahwa banyak orang yang berinvestasi ke dalam tim esports tidak paham bahwa kondisi bisnisnya sebetulnya sedang jelek. “Secara agregat, ini bisnis yang bagus. Apakah sedang tumbuh? Ya. Tapi secara domestik di Amerika Serikat, ini adalah bisnis yang parah. Memiliki sebuah tim (esports) adalah bisnis yang parah,” paparnya.

Cuban melanjutkan, “Anda melihat banyak konsolidasi, orang-orang berusaha keluar dan menjual (timnya), Anda lihat banyak orang berusaha meraih lebih banyak pendanaan dan Anda lihat valuasi menurun. Dan saya pikir banyak orang yang membeli (tim esports) tidak paham perbedaan antara stream dan viewer di Eropa, di Asia, dengan stream dan viewer di sini.”

Menurut Cuban, jumlah penonton siaran esports di Amerika Serikat terbilang kecil. Bahkan untuk liga franchise besar seperti Overwatch League, jumlah viewer terbanyaknya pun hanya sekitar 300.000 viewer secara global, dan itu sebetulnya angka yang kecil.

Bukan berarti secara keseluruhan investasi di esports adalah hal buruk. Cuban berkata bahwa “ada uang” di Eropa dan Asia. “Jika Anda di Korea, ada banyak uang di sana, itu nyata. Jika Anda di Tiongkok, ada uang di sana. Di sini? Tidak begitu banyak,” kata Cuban.

Ia kemudian mencontohkan betapa susahnya menjadi streamer di Amerika Serikat. Ninja misalnya, memang sukses dan kaya raya dari streaming di Twitch. Tapi untuk bisa menjadi sukses seperti itu, ia harus melakukan streaming selama 10 jam setiap harinya dan “tidak punya kehidupan”. Karena itulah akhirnya Ninja hijrah ke Mixer.

Andy Miller
Andy Miller, Co-CEO NRG Esports yang baru menjual tim CS:GO mereka | Sumber: Robert Paul via Esportz Network

Buruknya kondisi esports Amerika Serikat juga pernah diungkapkan oleh Co-CEO NRG Esports, Andy Miller. Miller membahas secara spesifik kondisi esports Counter-Strike: Global Offensive, di mana standar gaji pemain telah melambung begitu tinggi sehingga menimbulkan kerugian bagi organisasi. “Para pemain ingin mendapat (keuntungan) sebanyak mungkin sekarang, itu sudah seharusnya, karena memang itulah cara mereka mencari nafkah. Tapi sebagai sebuah organisasi itu membuat segalanya sangat sulit,” kata Miller dalam wawancara bersama Dexerto.

Berkaca dari pandangan Mark Cuban, tidak heran jika akhir-akhir ini pasar esports Asia semakin banyak diminati. NBA 2K League misalnya, baru saja melebarkan franchise mereka ke negara Tiongkok. Di kompetisi The International 2019 kemarin pun jumlah sponsor tim-tim Tiongkok tercatat naik, baik itu sponsor endemic maupun non-endemic.

Sumber: DSResearch
Platform penonton esports di Indonesia | Sumber: DSResearch

Akan tetapi para investor juga harus jeli dalam mengambil langkah di sini, karena pasar Asia terbukti punya perilaku konsumen yang berbeda jauh dari pasar barat. Di Indonesia misalnya, angka Twitch nyaris tidak ada artinya karena mayoritas penonton esports ada di platform lain. Setiap wilayah punya tantangan tersendiri, oleh karena itu investor butuh riset yang mendalam sebelum memutuskan untuk menggelontorkan dana di tim esports tertentu.

Sumber: Dexerto

Michael “Shroud” Grzesiek Pindah ke Mixer

Salah satu satu streamer terpopuler di Twitch, Michael “Shroud” Grzesiek mengumumkan bahwa akan menyiarkan konten secara eksklusif di platform streaming buatan Microsoft, Mixer. Nama Grzesiek mulai dikenal ketika dia menjadi streamer Counter-Strike sebelum dia direkrut oleh Cloud9 sebagai pemain profesional. Tahun lalu, saat dia masih berumur 23 tahun, Grzesiek mengundurkan diri dari scene esports profesional. Sejak saat itu, dia mendedikasikan waktunya sebagai streamer.

Grzesiek pindah ke Mixer hanya beberapa bulan setelah Tyler “Ninja” Blevins, salah satu streamer paling populer Twitch lain, memutuskan untuk menyiarkan konten secara eksklusif di platform buatan Microsoft tersebut. Keputusan Grzesiek ini mungkin mengejutkan sebagian orang. Terutama karena ketika Blevins mengumumkan kepindahannya ke Mixer, Grzesiek mengatakan bahwa ini adalah kesempatan baginya untuk menambah fans-nya di Twitch. Grzesiek mengumumkan keputusannya untuk pindah ke Mixer melalui Twitter. “Shroud yang sama. Tempat baru,” tulisnya dalam sebuah kicauan.

Dengan follower lebih dari tujuh juta orang, Grzesiek adalah salah satu streamer paling populer di Twitch. Fans suka padanya karena dia memiliki skill yang hebat dan sikapnya yang santai. Keputusannya untuk pindah ke Mixer berarti dia harus kembali membangun fanbase-nya dari nol. Saat artikel ini ditulis, ada 290 ribu orang yang mengikuti channel Mixer Shroud. Angka itu jauh lebih sedikit dari channel Shroud di Twitch. Namun, ini tidak aneh, mengingat jumlah penonton Mixer memang masih jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan Twitch.

Hal yang sama juga terjadi pada Blevins ketika dia memutuskan untuk pindah ke Mixer. Sejak dia menggunakan Mixer, rata-rata penonton Blevins turun dari 37 ribu per sesi menjadi 14 ribu per sesi. Dikabarkan, alasan Blevins rela pindah ke Mixer yang penontonnya lebih sedikit adalah karena Microsoft berani menawarkan kontrak yang menarik. Dugaan lainnya adalah karena Blevins khawatir akan mengalami burnout. Manager dan istri Ninja, Jessica Blevins, mengatakan, uang bukan alasan mereka untuk pindah dari Twitch. Mereka memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan Mixer karena mereka merasa, jika mereka tetap ada di Twitch, mereka tak bisa mengembangkan merek “Ninja”, menurut laporan Business Insider.

Keputusan Blevins untuk pindah ke Mixer mengejutkan banyak orang. Jelas, ini merupakan usaha Microsoft untuk mengejar ketertinggalannya dari Twitch. Menurut data terbaru dari Streamlabs dan Newzoo, kehadian Blevins di Mixer membuat semakin banyak kreator konten tertarik untuk membuat channel di Mixer. Per Q3 2019, jumlah channel di Mixer naik 188 persen. Sayangnya, hal ini tidak diikuti dengan pertumbuhan jumlah penonton. Menurut laporan StreamElements, kepindahan Blevins ke Mixer tidak memberikan banyak pengaruh pada total durasi video ditonton. Pada Juli dan September, Twitch masih menguasai 75,6 persen total durasi video ditonton. Sebagai perbandingan, Mixer hanya memberikan kontribusi sebesar 3,2 persen. Tentu saja, satu streamer populer di Mixer tidak akan membuat platfrom itu dapat mengalahkan Twitch.

“Dari Twitch, kita tahu bahwa mengembangkan platform streaming yang sukses adalah proses yang panjang. Jadi, kita sebaiknya tidak menilai apakah keputusan Mixer untuk bekerja sama secara eksklusif dengan sejumlah streamer ternama merupakan keputusan strategis atau tidak berdasarkan jumlah durasi video ditonton,” kata CEO StreamElements, dikutip dari Forbes. “Mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum dampaknya terlihat.” Meskipun saat ini popularitas Mixer masih kalah jauh dari Twitch, tapi Microsoft melengkapi platform streaming mereka dengan berbagai fitur menarik, seperti protokol Faster Than Light dan MixPlay.

Sumber: Kotaku, Polygon, The Verge

Berkat Ninja, Jumlah Streamer di Mixer Naik

Walau tak terlalu dikenal di Indonesia, Twitch merupakan platform streaming konten game dan esports terbesar di dunia. Itu tidak menghentikan Tyler “Ninja” Blevins untuk keluar dari Twitch dan menandatangani kontrak eksklusif dengan Mixer buatan Microsoft. Sebagai salah satu streamer paling populer, keberadaan Ninja diperkirakan akan mendongkrak popularitas Mixer, yang memang memiliki beberapa fitur unik.

Menurut laporan Streamlabs dan Newzoo, sejak Ninja bergabung dengan Mixer, total durasi konten yang disiarkan di Mixer memang mengalami kenaikan. Tidak tanggung-tanggung, pertumbuhan total durasi siaran Mixer pada kuartal tiga naik 188 persen jika dibandingkan kuartal sebelumnya. Selain itu, jumlah channel di Mixer juga bertambah. Ini menunjukkan, semakin banyak streamer yang memutuskan untuk menyiarkan kontennya di platform buatan Microsoft tersebut. Kemungkinan, keberadaan Ninja menjadi salah satu alasan mnegapa semakin banyak streamer tertarik untuk membuat channel di Mixer. Sayangnya, bertambahnya jumlah streamer di Mixer tidak diiringi dengan naiknya jumlah penonton. Faktanya, durasi video ditonton di Mixer justru mengalami penurunan. Pada Q3 2019, total durasi video ditonton di Mixer hanya mencapai 90,2 juta jam, turun 10,6 persen dari tahun lalu. Meskipun begitu, pada Q3 2018, total durasi video ditonton di Mixer hanya mencapai 43,5 juta. Itu artinya, total durasi video ditonton di Mixer pada kuartal tiga tahun ini naik lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Sumber: Newzoo
Total durasi video ditonton di Mixer. | Sumber: Newzoo

Tentu saja, kepergian Ninja juga memengaruhi Twitch. Jumlah channel dan total durasi video disiarkan di platform itu menurun. Per kuartal ini, Twitch memiliki 3,77 juta channel, sementara total durasi video yang disiarkan di Twitch turun 2,3 juta jam dari kuartal lalu, menjadi 87,3 juta jam. Menariknya, total durasi video ditonton justru naik, meski tidak besar. Selain itu, jumlah penonton per channel juga naik menjadi 3,6 persen sementara jumlah concurrent viewer (CCV) naik 3,5 persen.

Sebenarnya, tidak aneh jika jumlah penonton atau total durasi video ditonton mengalami penurunan pada September. Pada bulan September, penonton di rentang umur 13-18 tahun telah kembali bersekolah, sehingga waktu mereka untuk menonton konten game dan esports di platform streaming berkurang. “Walau biasanya kami melihat adanya penurunan dalam total durasi video ditonton dari Agustus ke September, ada beberapa hal menarik yang terjadi di industri live streaming pada kuartal ini,” kata CEO StreamElements, Doron Nir, dikutip dari Dot Esports. “Misalnya, kepindahan Ninja ke Mixer ternyata tidak memiliki dampak yang sebesar yang diharapkan untuk merebut pangsa pasar Twitch.”

Sumber: StreamElements
Pangsa pasar platform streaming | Sumber: StreamElements

Pada Q3 2019, satu-satunya platform streaming yang berhasil menaikkan viewership mereka adalah Facebook Gaming. Hal ini terjadi berkat perombakan struktur media sosial mereka, yang mendorong para pengguna untuk mengakses Facebook Gaming. Pada kuartal tiga tahun ini, total durasi video ditonton di Facebook Gaming naik menjadi 53,4 juta jam dari 37 juta jam pada kuartal sebelumnya. Sekarang, Facebook Gaming menguasai 3,7 persen dari total pangsa pasar industri streaming. Sementara pangsa pasar YouTube turun menjadi 17,6 persen. Twitch masih mendominasi dengan pangsa pasar 75,6 persen.

Data ini menunjukkan bahwa satu streamer bintang seperti Ninja tidak cukup untuk membuat Mixer mengalahkan Twitch. “Satu hal yang menarik tentang keputusan Mixer untuk bekerja sama secara eksklusif dengan Ninja adalah meski Ninja tak memberikan pengaruh besar pada total durasi video ditonton, itu adalah cara yang bagus untuk mempromosikan merek Mixer, terutama karena Ninja juga bersedia melakukan wawancara panjang terkait keputusannya,” kata Nir, lapor Business Insider.

Sumber: The Esports Observer, Digital Trends

Populer Secara Global, Twitch tak Berkutik di Indonesia

Secara global, ada empat platform live-streaming yang ada di bawah perusahaan besar, yaitu Twitch di bawah Amazon, YouTube Gaming, Facebook Live, dan Mixer milik Microsoft. Dari empat platform tersebut, Twitch masih menjadi platform live-streaming populer, menurut laporan StreamElements, dikutip dari TechCrunch. Pada Q2 2019, total durasi video live-streaming ditonton mencapai 3,77 miliar jam. Sebanyak 2,72 miliar jam ditonton di Twitch, yang berarti platform tersebut berkontribusi 72,2 persen dari total durasi video ditonton. Setelah Twitch, YouTube Gaming jadi platform populer kedua, diikuti oleh Facebook Gaming dan Mixer dari Microsoft.

Sumber: TechCrunch
Jumlah total video ditonton. Sumber: TechCrunch

Namun, tren di Indonesia sama sekali berbeda. Platform pilihan masyarakat Indonesia untuk menonton konten esports adalah YouTube. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh DSResearch pada 1.445 responden, sebanyak 84,6 persen responden mengaku bahwa mereka menonton konten esports di YouTube. Platform favorit kedua adalah Facebook, diikuti oleh NimoTV. Namun, seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah, ada perbedaan yang signifikan antara jumlah responden yang menonton esports di YouTube dan di Facebook serta NimoTV. Twitch, yang populer secara global, justru menjadi platform yang paling jarang digunakan. Hanya 6,6 persen responden menonton konten esports di platform tersebut.

Sumber: DSResearch
Sumber: DSResearch

Berdasarkan laporan Esports Market Trend 2019, dua game esports paling populer di kalangan responden ketika survei diadakan pada Juli lalu adalah Mobile Legends dan Player Unknown’s Battleground (PUBG) Mobile. Keduanya adalah game mobile. Kedua game itu juga menjadi game esports yang paling banyak ditonton oleh responden. Menurut laporan DSResearch, konten game mobile seperti Mobile Legends dan PUBG Mobile memang sering ditayangkan di YouTube, baik secara live maupun rekaman. Karena itu, tidak heran jika YouTube jadi platform favorit masyarakat Indonesia untuk menonton konten gaming dan esports. Facebook sukses menjadi platform terpopuler kedua berkat usaha keras mereka untuk meningkatkan pengguna Facebook Gaming. Dari data ini, bisa disimpulkan, jika penyelenggara acara esports ingin melakukan live streaming atau mengunggah konten video, mereka dapat fokus pada dua platform tersebut.

Meskipun Twitch adalah platform konten game dan esports terpopuler di dunia, tak banyak penduduk Indonesia yang menggunakan platform tersebut. Alasannya sederhana, karena platform itu terasa tak familiar. Co-founder dan COO Twitch, Kevin Lin sempat hadir dalam acara IDBYTE pada 13 Desember lalu. Ketika ditanya tentang ini, dia mengaku tidak heran jika tak banyak warga Indonesia yang menggunakan Twitch, karena Indonesia memang bukan salah satu negara yang menjadi fokus mereka. “Indonesia jelas adalah pasar yang besar, dengan fokus pada mobile. Saat ini, kami belum mendukung streaming untuk game mobile. Kami tengah mengembangkan fitur itu. Setelah itu selesai, kami akan lebih fokus ke Indonesia,” jawab Kevin ketika ditanya apakah Twitch akan mencoba untuk masuk ke pasar Indonesia.

Sumber header: Dexerto

Di IDBYTE 2019, COO Twitch Bahas Soal Persaingan Platform Streaming dan Rencana Ekspansi

Menurut prediksi Emarketer, pendapatan esports dari iklan digital akan naik menjadi US$213,8 juta pada 2020 dari US$102,5 juta pada 2017, seperti dilaporkan oleh RetailWire. Sementara jumlah penonton esports diperkirakan juga akan naik berkat semakin maraknya esports mobile. Di Amerika Serikat, audiens game online diproyeksikan akan naik 18 persen dari 30,3 juta pada 2019 menjadi 46,2 juta pada 2023. Secara global, salah satu platform favorit untuk menonton konten gaming adalah Twitch.

Co-founder dan COO Twitch, Kevin Lin, menjadi salah satu pembicara yang hadir dalam IDBYTE 2019 yang diadakan di ICE BSD pada Jumat, 13 September. “Salah satu hal yang membedakan para gamer yang melakukan siaran langsung dengan layanan Over-the-Top (OTT) adalah audiens bisa memengaruhi konten para streamer. Ketika seorang streamer tengah siaran, para audiens bisa mengobrol di bagian chat dan streamer bisa merespons,” kata Kevin di atas panggung. Untuk menunjukkan apresiasi, para penonton bisa memberikan tip atau membayar biaya langganan untuk para kreator. Dia menyebutkan, semakin populernya konten gaming dan esports merupakan ancaman tidak hanya pada TV tradisional, tapi juga layanan OTT seperti Netflix.

Kabar baiknya, konten gaming dan esports pada layanan streaming seperti Twitch bisa menjadi cara baru bagi perusahaan untuk menjangkau kaum milenial, yang sudah jarang menonton TV. Menurut data internal Twitch, mereka kini memiliki 116,3 juta pengguna bulanan dan 17,6 juta pengguna harian. Para penonton Twitch ini menghabiskan waktu lebih dari 90 menit untuk menonton konten setiap harinya. “Umur rata-rata penonton Twitch adalah 28 tahun. Audiens yang sangat muda dan biasanya sulit untuk dijangkau,” ujar Kevin. Hanya saja, dia mengungkap, para penonton Twitch juga biasanya memiliki ekspektasi yang lebih tinggi pada merek yang ingin berinteraksi dengan mereka.

Sumber: Hybrid.co.id
Kevin Lin di panggung IDBYTE 2019. Sumber: Hybrid.co.id

Salah satu cara untuk menarik perhatian audiens esports adalah dengan menjadi sponsor dari tim atau turnamen esports. Kini, semakin banyak merek non-endemik yang melakukan itu, mulai dari merek otomotif seperti Audi dan Honda, sampai dompet elektronik seperti GoPay. Menurut Kevin, sebuah perusahaan tidak melulu harus menjadi sponsor untuk menarik perhatian audiens esports. Mereka juga bisa membuat konten bersama para streamer atau tim profesional.

Kevin memberikan contoh kampanye iklan yang Twitch lakukan dengan Wendy’s, restoran cepat saji pada November tahun lalu. Ketika itu, Wendy’s membuat kegiatan bernama “Make it Rain Fry-Days“. Seperti namanya, Anda bisa membuat hujan kentang goreng di layar streamer dengan memberikan Cheer, emoji animasi yang bisa Anda beli dengan harga mulai dari US$1,4 untuk 100 Cheer. Pada dasarnya, memberikan Cheer sama seperti memberikan tip untuk kreator. Misalnya, dengan memberikan “Cheer100”, itu berarti Anda memberikan tip senilai US$1,4. Semakin besar nilai Cheer yang Anda berikan, semakin besar pula animasi yang muncul. Dalam kerja sama antara Twitch dan Wendy’s, ketika penonton memberikan Cheer, maka di layar sejumlah streamer, hujan kentang goreng akan turun.

Persaingan Antara Platform Konten Gaming

Konten gaming dan esports yang semakin digemari berarti semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk menyediakan platform untuk konten tersebut, seperti YouTube Gaming, Facebook Gaming, dan Mixer dari Microsoft. Kevin bercerita, di Amerika Serikat, juga semakin banyak platform streaming lebih kecil yang bermunculan. “Platform seperti Twitch menjadi tempat bagi para gamer untuk berkumpul, mereka menghabiskan banyak waktu di sini,” kata Kevin ketika ditanya dalam wawancara terpisah di IDBYTE. “Tidak heran jika semua orang ingin membuat platform serupa.”

Menurutnya, satu hal yang membedakan Twich dari platform lain adalah karena mereka memiliki komunitas yang telah mereka bangun selama lebih dari 10 tahun. “Sejak awal, kita tahu bagaimana cara membangun komunitas, membuat aturan agar kami bisa menjadi platform yang ramah pada semua orang. Itu adalah sesuatu yang sulit dibuat di internet,” kata Kevin. Twitch juga memiliki tim moderasi.

Kevin menyebutkan, hal lain yang membedakan Twitch adalah fokusnya pada kreator. Dia menjelaskan, produk baru untuk Twitch biasanya berawal masukan para kreator. Biasanya, saran-saran dari para kreator ini bisa dibagi dalam tiga kategori. “Pertama adalah kategori tools untuk kreator, bagaimana kita bisa membuat streaming menjadi lebih mudah dan lebih baik bagi para kreator,” kata Kevin. Salah satu contoh fitur yang tengah Twitch kembangkan adalah fitur streaming untuk gamer mobile. “Kedua, monetisasi. Kami ingin menjadi platform yang memberikan kreator opsi monetisasi. Jika mereka ingin memasang iklan, mereka bisa melakukan itu. Jika mereka mau menerima tips, mereka juga bisa melakukannya.” Terakhir adalah kategori fitur untuk membantu kreator menumbuhkan audiens mereka, misalnya dengan melakukan streaming bersama dengan streamer lain.

Sumber: Hybrid.co.id
Perbandingan lama waktu menonton dengan platform video lain. Sumber: Hybrid.co.id

Belakangan, tim esports profesional mulai menggunakan Twitch dan YouTube secara bersamaan. Jadi, mereka akan melakukan siaran langsung di Twitch sebelum mengunggah video mereka ke YouTube. Alasannya, karena platform milik Google itu dianggap menawarkan analitik yang lebih baik dan jangkauan penonton yang lebih luas. Ketika ditanya soal ini, Kevin mengaku tidak keberatan. “Sejak awal kami memang mendorong mereka untuk melakukan ini,” ujarnya. Menurutnya, seorang “selebritas digital” memang harus menggunakan beberapa platform sekaligus, seperti Twitch, YouTube, Instagram, dan Twitter. “Siaran live hanyalah satu bagian. Siaran live membutuhkan waktu banyak dan memberikan hasil yang memauskan. Tapi, jika Anda ingin sukses, Anda juga perlu menggunakan platform lainnya.”

Apa Twitch akan masuk ke Indonesia?

Menurut laporan DSResearch, Twitch bukanlah platform pilihan bagi para streamer Indonesia, bahkan bagi kreator konten game. Kevin mengaku tidak heran, mengingat Indonesia memang bukanlah salah satu negara yang menjadi fokus Twitch saat ini. Ketika ditanya apakah Twitch tertarik untuk masuk ke Indonesia, Kevin menjawab, “Indonesia jelas adalah pasar yang besar, dengan fokus pada mobile. Saat ini, kami belum mendukung streaming untuk game mobile. Kami tengah mengembangkan fitur itu. Setelah itu selesai, kami akan lebih fokus ke Indonesia.”

Dalam beberapa tahun belakangan, untuk kawasan Asia, Twitch fokus pada Korea Selatan, Jepang, Taiwan, dan Thailand. Selain itu, mereka juga mencoba masuk ke Australia dan Selandia Baru. “Kami tidak selalu bisa melakukan ekspansi meski kami ingin melakukan itu. Fokus ekspansi ke beberapa negara lebih baik untuk kami,” katanya. “Jadi, kami bisa memberikan produk dan iklan yang sesuai.”

Salah satu masalah yang Twitch hadapi untuk masuk ke Indonesia adalah selama ini, Twitch selalu fokus pada streamer yang membuat konten untuk game PC. Sementara Indonesia adalah negara mobile first, yang kebanyakan warganya mengenal internet pertama kali dari perangkat mobile dan bukannya PC. “Kami bisa mencoba untuk masuk ke pasar PC seperti yang kami lakukan selama ini. Namun, jelas bahwa fitur mobile sangat penting jika kami ingin bisa tumbuh dan mendukung komunitas kreator di sini,” ujarnya. Dia menyebutkan, sekarang, tim Twitch memang tengah mencoba untuk mengembangkan fitur streaming untuk para gamer mobile. “Kami sedang membuat rencana dan budgeting untuk 2020. Jika kami ingin masuk ke pasar ini dengan serius, kami perlu menyediakan tools untuk para pengguna mobile.”

Twitch dan YouTube Bisa Bersanding dan Saling Melengkapi

YouTube memang masih jadi platform favorit untuk menonton video. Namun, menyangkut konten game dan esports, Twitch masih mendominasi. Salah satu strategi yang digunakan oleh Twitch untuk bisa mencapai posisi tersebut adalah dengan membayar tim profesional untuk membuat konten di platform mereka.

Dikutip dari Digiday, Menashe Kestenbaum, CEO Enthusiast Gaming, perusahaan media digital khusus konten gaming, berkata bahwa bayaran dari Twitch merupakan salah satu dari tiga sumber pemasukan utama tim esports profesional. Sementara Louis Timchak III, VP of Sales, Bent Pixels, perusahaan manajemen talenta yang bekerja sama dengan para konten kreator, termasuk tim esports berkata, tim profesional sering mengajak konten kreator gaming yang bukan atlet profesional untuk bergabung dengan tim mereka agar mereka bisa memenuhi kuota yang telah ditetapkan oleh Twitch.

Sekarang, Twitch berencana untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan bayaran yang mereka berikan pada tim esports profesional yang membuat konten di platform mereka. Ini mendorong tim profesional untuk mengunggah konten mereka ke YouTube, yang merupakan pesaing Twitch. Mereka melakukan ini untuk menjangkau audiens yang lebih banyak sehingga mereka bisa mendapatkan penghasilan ekstra, menggantikan berkurangnya uang yang dibayarkan oleh Twitch.

Menariknya, Twitch mengambil langkah ini di tengah ketatnya persaingan platform konten game. YouTube bukanlah satu-satunya pesaing Twitch, mereka juga harus memerhatikan Facebook yang memiliki Facebook Gaming dan Mixer dari Microsoft yang berhasil menarik salah satu kreator konten gaming terpopuler, Tyler “Ninja” Blevins untuk meninggalkan Twitch dan menampilkan konten eksklusif di Mixer.

Meskipun begitu, ini bukan berarti tim esports profesional akan berhenti menayangkan kontennya di Twitch dan beralih sepenuhnya ke platform pesaing. Sebagai gantinya, mereka hanya menayangkan konten mereka di lebih banyak platform, mengurangi ketergantungan mereka pada Twitch. Sekarang, biasanya tim esports melakukan siaran langsung di Twitch hingga berjam-jam. Setelah itu, mereka akan membuat video pendek yang menampilkan momen terbaik dari konten mereka dan mengunggahnya ke YouTube. “Twitch masih mendominasi platform streaming siaran langsung. YouTube masih mendominasi untuk video rekaman,” kata Kestenbaum, dikutip dari Digiday.

Menurut Austin Long, VP of Gaming Partnership and Strategy, Omnia Media, perusahaan media digital khusus gaming, hal ini sebenarnya bukan hal baru. Kreator konten dan tim esports sudah melakukan hal itu sejak dua tahun yang lalu. Praktek ini semakin sering dilakukan seiring dengan semakin banyaknya sponsor yang didapatkan oleh tim esports. Sarah Schneebaum, Community Manager, MRY, organisasi iklan dan marketing, mengatakan bahwa para influencer di bidang lain juga biasanya membuat konten dan membagikannya di beberapa platform. Tujuannya untuk memaksimalkan jumlah audiens yang mereka jangkau. Jadi, tidak aneh jika hal serupa terjadi di esports.

Timchak membandingkan audiens yang didapatkan oleh salah satu kreator di bawah naungan Bent Pixels. Dia mengatakan, rata-rata view yang didapatkan oleh kreator itu untuk video rekaman di Twitch hanya mencapai dua ribu sampai lima ribu. Sebagai perbandingan, di YouTube, kreator tersebut bisa mendapatkan rata-rata view sampai 300 ribu sampai 500 ribu.

Tampilan analitik YouTube | Sumber: How to Geek
Tampilan analitik YouTube | Sumber: How to Geek

Selain jangkauan audiens yang lebih luas, alasan lain tim esports dan kreator konten tertarik untuk mengunggah kontennya di YouTube adalah karena platform milik Google itu menawarkan analitik yang lebih detail, seperti demografi penonton. Dengan begitu, kreator dan tim profesional akan bisa mencari sponsor yang memiliki target audiens yang sama. Dan perusahaan bisa memberikan alasan yang masuk akal tentang keputusan mereka untuk mendukung tim esports. “Perusahaan membutuhkan analisa dan data sebagai justifikasi dari investasi mereka,” kata Mason Bates, Account Director of Sponsorship and Content+, Mindshare.

Kesimpulannya, pasar platform konten game bukanlah pasar yang bisa didominasi oleh satu perusahaan. Beberapa perusahaan bisa beroperasi di industri ini dan mendapatkan konsumen mereka sendiri. Ini agak berbeda dari pasar lain, seperti mesin pencarian, yang didominasi oleh Google.

Sumber header: Dexerto

Fitur-Fitur Menarik Mixer yang Menjadikannya Saingan Berat Twitch

Belum lama ini, jagat game streaming dikejutkan oleh keputusan besar yang dilakukan salah satu streamer terpopuler dunia, Tyler “Ninja” Blevins. Pria asal Swedia yang telah membesarkan namanya di Twitch itu mendadak berpindah platform dan melakukan streaming secara eksklusif di Mixer. Ini membuat banyak pihak bertanya-tanya, apa alasan Ninja melakukannya dan mengapa harus di Mixer ketimbang Twitch?

Bila Anda belum tahu, Mixer adalah platform streaming yang diluncurkan pada tahun 2016 oleh co-founder Matthew Salsamendi dan James Boehm. Awalnya bernama Beam, platform ini memenangkan kompetisi TechCrunch Disrupt New York 2016 Battlefield, kemudian diakuisisi oleh Microsoft tak lama sesudahnya. Mixer telah terintegrasi dengan Windows 10 dan Xbox One sejak tahun 2017, dan kini siap adu otot melawan Twitch setelah menjalin kontrak dengan Ninja.

Tapi kembali ke pertanyaan awal, mengapa harus Mixer? Apa kelebihan Mixer? Berikut ini beberapa fitur andalan Mixer yang membuatnya menarik dan bisa jadi pesaing berat Twitch sebagai platform utama game streaming Anda.

Mixer - Startup Battlefield 2016
Mixer (dulunya Beam) di acara Startup Battlefield 2016 | Sumber: TechCrunch

Protokol Faster Than Light

Sejak pertama kali diluncurkan, Mixer memiliki satu tujuan utama, yaitu mengubah dunia streaming dari sekadar video satu arah menjadi kegiatan interaktif bersama fans. Untuk itu, latency menjadi faktor kunci. Platform streaming sering kali menampilkan tayangan video terlambat beberapa detik dari game aslinya, namun berkat protokol jaringan yang disebut Faster Than Light, Mixer dapat menayangkan video dengan delay kurang dari satu detik (sub-second latency).

MixPlay

Fitur ini memungkinkan para penonton untuk berinteraksi dengan streamer lewat cara-cara selain chat. Contohnya, penonton dapat melakukan voting agar streamer mengambil pilihan dialog tertentu, memberikan tantangan atau bantuan dalam sebuah game, dan lain sebagainya. Pemain bahkan bisa memanipulasi isi game itu sendiri secara langsung. Sebagai contoh, fitur MixPlay di Minecraft dapat digunakan oleh penonton untuk memunculkan objek baru atau monster di layar.

MixPlay juga memungkinkan penonton untuk menambahkan suara, efek video, menampilkan statistik/leaderboard, dan pelengkap-pelengkap lainnya. Hasilnya adalah pengalaman menonton yang lebih komplet dibanding siaran streaming di platform lain.

Mixer - MixPlay
Lewat MixPlay, penonton bisa mempengaruhi konten siaran streaming

Share Controller

Fitur unik yang hanya dapat terjadi berkat protokol cepat seperti Faster Than Light, adalah adalah Share Controller. Penonton dapat mengambil alih kendali game dari tangan streamer, kemudian mengontrol game tersebut dari jauh. Jadi penonton tak hanya berperan sebagai penonton, namun juga dapat bermain bersama streamer favoritnya. Mixer juga menyediakan filter khusus untuk hanya menampilkan tayangan streaming yang mengaktifkan fitur Share Controller.

Cooperative Stream

Satu lagi fitur yang cukup keren adalah Cooperative Stream, atau Costream. Fitur ini memungkinkan para streamer untuk melakukan siaran bersama dengan layar split-screen. Pada saat artikel ini ditulis, Mixer memfasilitasi Costream dengan hingga empat streamer sekaligus.

Mixer - Costream
Tampilan Cooperative Stream di Mixer

HypeZone

Fitur yang akan sangat menarik bila diterapkan dalam kompetisi esports adalah HypeZone. Lewat fitur ini, tayangan streaming di Mixer dapat berpindah secara otomatis dari satu streamer ke streamer lain untuk menyoroti pemain yang paling dekat dari mencapai kemenangan. Beberapa game yang mendukung fitur HypeZone antara lain adalah Fortnite, PUBG, Rainbow Six: Siege, serta Call of Duty: Black Ops 4.

Skill, Spark, dan Ember

Update yang belum lama ini diluncurkan oleh Mixer dengan nama Season 2 memberikan berbagai tambahan fitur untuk membuat kegiatan menonton streaming lebih menarik. Salah satunya adalah Skill, yang membuat jendela chat jadi lebih berwarna. Skill terdiri dari berbagai macam hal, mulai dari sekadar stiker di chat, efek-efek khusus, hingga mini-game yang bisa dimainkan bersama-sama dengan penonton lainnya.

Penonton dapat membeli Skill dengan cara mengumpulkan “mata uang” yang disebut Spark. Tapi untuk membeli beberapa Skill premium, penonton bisa mengunakan Ember, yaitu mata uang khusus yang dapat dibeli dengan uang sungguhan.

Mixer - Team
Para streamer bisa berkoalisi dan membentuk Team

Team

Satu lagi yang menarik dari Mixer adalah di sini para streamer bisa berkoalisi dan mendirikan Team. Sebuah Team bisa merupakan grup kasual yang terdiri dari sekumpulan teman, hingga kerja sama besar yang melibatkan bisnis. Ini tentunya memudahkan penonton untuk menemukan hiburan dengan tema yang sama, juga membantu para streamer untuk berkolaborasi serta membesarkan komunitas. Mixer juga memiliki Team resmi bernama Mixer Partners.

Melihat fitur-fitur di atas, rasanya tak heran bila Mixer kemudian digadang-gadang sebagai platform yang akan “mengubah game streaming menjadi lebih dinamis”. Malah saya merasa menggunakan Mixer itu sendiri sudah seperti memainkan sebuah game, bukannya sekadar menonton siaran. Integrasinya dengan dua platform raksasa (Xbox dan Windows) juga jadi nilai plus besar, karena ini membuat para streamer dapat langsung menyiarkan game tanpa mengutak-atik software tambahan.

Apakah Mixer bisa mengalahkan Twitch di masa depan? Tidak ada yang tahu, akan tetapi kemungkinan itu jelas ada. Apalagi bila Twitch tidak melakukan adaptasi untuk menyaingi fitur-fitur menarik yang ditawarkan Mixer. Kepindahan Ninja juga bisa jadi momentum bagi streamer lain untuk ikut pindah ke platform tersebut. Siapa tahu dalam waktu dekat akan ada kompetisi esports yang melakukan kerja sama dengan Mixer juga. Mari kita pantau bersama bagaimana Microsoft akan mengeksekusi strateginya di masa depan.

Sumber: Mixer, TechCrunch, Eurogamer

Perjalanan Panjang Bebo dari Jejaring Sosial Hingga Jadi Bagian Twitch Rivals

Nama Bebo mungkin tidak begitu dikenal di Indonesia, tapi di Amerika Serikat, masyarakat mengenalnya sebagai salah satu media sosial yang cukup populer lebih dari satu dekade lalu. Didirikan oleh suami istri Michel Birch dan Xochi Birch pada tahun 2005, nama Bebo muncul sebagai singkatan dari kalimat “Blog Early, Blog Often”, dan sempat bersaing dengan situs-situs jejaring sosial besar pada zamannya seperti Friendster, hi5, dan MySpace.

Dengan lebih dari 10 juta pengguna terdaftar, Bebo pernah menjadi situs jejaring sosial nomor satu di Inggris Raya. Popularitas ini kemudian berujung pada akuisisi Bebo oleh AOL dengan nilai yang cukup fantastis, yaitu US$850 juta pada tahun 2008. Sayangnya Bebo (seperti banyak situs jejaring sosial lainnya) tidak berhasil mempertahankan momentum hingga harus tergeser oleh Facebook dan Twitter yang melejit kencang.

AOL kemudian menjual Bebo ke perusahaan lain, yaitu Criterion Capital, dengan harga jauh lebih rendah di US$25 juta saja. Tapi meski sudah berganti kepemilikan, Bebo tetap tidak berhasil menemukan pijakan dan bangkrut. Masih belum menyerah, keluarga Birches kemudian membeli kembali hak atas perusahaan Bebo seharga US$1 juta dan melakukan perombakan besar.

Bebo - Social Network
Tampilan media sosial Bebo | Sumber: pravc.ru

Bebo beralih menjadi perusahaan aplikasi dengan produk video messaging bernama Blab di tahun 2014. Sayangnya aplikasi ini pun gagal di pasaran dan tutup pada tahun 2016. Sekitar waktu yang sama, Bebo sempat muncul kembali sebagai aplikasi pengiriman pesan, tapi itu pun tidak begitu populer.

Pada titik inilah Bebo mulai bersentuhan dengan dunia esports. Sadar bahwa ada potensi besar di industri esports, Bebo mulai menciptakan aplikasi streaming untuk para pemain esports. Sayangnya aplikasi ini pun gagal meraih popularitas, kalah oleh beberapa saingan berat seperti OBS dan Xsplit. Sempat mencoba berbagai ide monetisasi, Bebo akhirnya mentok dan memutuskan untuk mengakhiri layanan mereka.

Akan tetapi Bebo tetap menolak untuk mati. Ketika mereka sedang mengembangkan aplikasi streaming, ada sebuah ide kecil yang ternyata cukup sukses: mengadakan turnamen untuk para streamer. Ide yang awalnya hanya kegiatan sampingan ini ternyata mendatangkan banyak peminat. Selama dua bulan saja, Bebo telah mengadakan lebih dari 100 turnamen, dengan lebih dari 10.000 streamer berpartisipasi, mendatangkan lebih dari 5 juta viewer, dan memberikan uang hadiah lebih dari US$50.000. Tim Bebo pun kemudian berpikir, daripada meneruskan persaingan yang jelas tak bisa dimenangkan, mengapa tidak fokus pada hal yang berhasil mereka lakukan saja?

Bebo - Streaming App
Tampilan aplikasi streaming Bebo | Sumber: The Drum

Bebo pun melakukan pivot menjadi organizer turnamen secara penuh sejak bulan Oktober 2018. Sejak saat itu Bebo terus beroperasi meski secara low profile, dan kini mereka masuk ke babak baru dari perjalanan panjang yang penuh lika-liku ini. Dalam laporannya pada tanggal 18 Juni 2019, TechCrunch menyatakan bahwa Bebo telah diakuisisi oleh Twitch.

Ada yang menarik dari akuisisi ini, yaitu bahwa ternyata Twitch bukan satu-satunya pihak yang menaruh minat terhadap Bebo. Setidaknya ada dua perusahaan lain yang juga ingin mengakuisisi Bebo, yaitu Discord dan Facebook. Namun Twitch keluar sebagai pemenang dengan nilai tawaran paling tinggi senilai US$25 juta. Sementara menurut sumber TechCrunch, Facebook hanya memberi tawaran senilai US$20 juta.

Ketiga perusahaan peminat itu belakangan ini memang sedang bersemangat mengembangkan inisiatif di bidang esports. Tapi mungkin Twitch adalah partner yang paling tepat untuk Bebo, sebab mereka sudah memiliki program esports yang bertajuk Twitch Rivals. Mirip seperti model bisnis Bebo setelah pivot terakhir, Twitch Rivals juga menyediakan wadah bagi para streamer untuk berkompetisi. Setelah akuisisi ini, Twitch akan memanfaatkan teknologi serta sumber daya manusia yang dimiliki oleh Bebo untuk mengembangkan Twitch Rivals lebih jauh lagi.

Twitch Rivals Mordhau
Salah satu kompetisi yang digelar Twitch Rivals baru-baru ini | Sumber: Twitch Esports

Twitch Rivals saat ini sudah memiliki kompetisi di jumlah cabang esports yang cukup besar, mulai dari Dota 2, Apex Legends, Rainbow Six: Siege, PlayerUnknown’s Battlegrounds, Hearthstone, dan banyak lagi. Beberapa waktu lalu bahkan mereka menggelar kompetisi yang cukup nyeleneh, yaitu kompetisi Stardew Valley. Di sisi lain, Amazon yang merupakan induk perusahaan Twitch juga sempat dikabarkan tengah mengembangkan layanan game streaming baru. Bagaimana Twitch memanfaatkan semua ini, dan sebesar apa dampaknya untuk industri esports? Kita belum bisa memastikan, namun apa yang dipersiapkan Twitch tampaknya akan menjadi sebuah kejutan menarik.

Sumber: TechCrunch, Esports Insider

Twitch Luncurkan Squad Stream demi Mempermudah Kolaborasi Antar Kreator

Sebulan terakhir ini, banyak gamer yang dilanda demam Apex Legends, game battle royale dari para pelopor game FPS modern. Secara mendasar, Apex Legends merupakan permainan tim, dan Twitch rupanya sudah menyiapkan fitur menarik bagi para streamer yang tak ingin sesi teamwork-nya dipisahkan.

Fitur tersebut adalah Squad Stream, di mana sebanyak empat orang sekaligus dapat menyiarkan sesi bermainnya dalam satu tampilan jendela ke hadapan para penonton. Jadi dalam konteks game Apex Legends misalnya, penonton bisa langsung melihat aksi keempat streamer dalam satu jendela yang sama.

Twitch bilang bahwa Squad Stream sama sekali tidak akan mempengaruhi cara para streamer menciptakan konten selama ini. Permasalahan bandwith juga tidak perlu dihiraukan, mengingat Twitch sudah menyiapkan infrastruktur yang dibutuhkan. Namun yang terpenting, masing-masing streamer bakal mencatatkan jumlah view yang sama dari para penonton.

Twitch Squad Stream

Twitch juga melihat potensi fitur ini di luar konteks game. Ini penting mengingat Twitch sekarang tak hanya diisi dengan video gaming saja. Video lomba memasak antar empat orang pun dapat diwujudkan berkat fitur Squad Stream.

Dari perspektif yang lebih luas, Squad Stream juga berpotensi memperluas aspek discovery yang ditawarkan platform-nya. Penonton sesi Squad Stream pada dasarnya dapat menemukan kreator-kreator baru di samping streamer idolanya, yang berarti kreator-kreator baru tersebut punya kesempatan untuk menggaet lebih banyak follower.

Sumber: VentureBeat dan Twitch.

Apex Legends Rangkul 25 Juta Pemain Lebih Dalam Waktu Seminggu

Keberhasilan Apex Legends merangkul begitu banyak pemain seolah-olah melunasi kurang memuaskannya penjualan Titanfall 2. Game baru Respawn Entertainment itu memberi banyak solusi atas keluhan pemain terhadap battle royale (misalnya lewat sistem ping) serta bisa berperan sebagai gerbang masuk mereka yang tadinya kurang familer dengan genre last man standing.

Sejauh ini, perjalanan Apex Legends terlihat begitu mulus. Hanya dalam tiga hari setelah perilisan, game FPS battle royale ini sukses mengumpulkan 10 juta pemain. Hari ini, Apex Legends menginjak usia tujuh hari, dan lagi-lagi ia mencetak rekor baru. CEO Respawn Vince Zampella mengabarkan bahwa kreasi timnya itu dimainkan oleh lebih dari 25 juta gamer, dengan total concurrent player (artinya game diakses berbarengan) mencapai 2 juta jiwa.

Selama seminggu ini, developer terus mendengar masukan, saran serta ide-ide baru pemain. Demi memastikan Apex Legends berumur panjang, mereka berniat untuk membangun konten game bersama komunitas. Meski demikian, Respawn tidak bisa mengungkap seluruh rencana mereka, namun developer sudah menyiapkan sejumlah agenda yang akan mereka eksekusi dalam waktu dekat.

Seperti Fortnite, Respawn akan menerapkan update musiman pada Apex Legends. Update ‘musim pertama’ akan meluncur di bulan Maret besok, bersamaan dengan pengenalan Battle Pass, serta sejumlah Legends (karakter), senjata, dan item baru. Selain itu, Respawn juga sudah siap merayakan Valentine bersama para gamer Apex Legends melalui loot serta pernak-pernik bertema Hari Kasih Sayang.

Di hari ini, tanggal 12 Februari, developer akan melangsungkan Rivals Apex Legends Challenge yang disponsori oleh Twitch. Rivals Apex Legends Challenge adalah turnamen ‘kecil-kecilan’ yang diikuti oleh 48 streamer paling terkenal. Pertandingan tentu saja dapat Anda saksikan langsung di situs live streaming game populer itu, via channel resmi Apex Legends. Babak selanjutnya akan dilangsungkan minggu depan, tanggal 19 Februari.

“Mewakilkan setiap orang yang bekerja di Respawn, saya ucapkan terima kasih,” Kata Zampella. “Semangat dan kegembiraan komunitas terhadap Apex Legends sangat memukau, dan kami di studio merasakannya dengan jelas. Kami tidak bisa mencapai semua itu tanpa dukungan Anda, dan saya berharap Anda akan terus bersama kami dalam perjalanan ini.”

Apex Legends ialah game selingan jika saya mulai merasa penat dengan Resident Evil 2 dan Red Dead Online. Belakangan, Apex juga mendorong saya untuk kembali menikmati mode multiplayer Titanfall 2, serta membuat saya menyadari kontribusi besar Respawn pada genre shooter.