GrabPay Kembali Aktif, Sempat “Mati Suri” dari Awal Tahun

Grab mulai mengaktifkan kembali layanan pembayaran cashless GrabPay hasil co-branding dengan OVO (dengan branding ‘GrabPay Powered by OVO’) sejak pekan lalu (1/6). Pihak Grab enggan memberikan komentarnya soal hal ini saat dihubungi DailySocial.

GrabPay sempat mati suri dimulai sekitar akhir Januari 2018 hingga akhir Mei ini. Non aktifnya ini tidak lama berselang setelah Grab mengumumkan kemitraannya dengan OVO pada Desember 2017.

Marketing Director Grab Indonesia Mediko Azwar bilang, GrabPay dinonaktifkan karena ada kendala teknis dalam fitur top up, sehingga dilakukan perbaikan.

“Memang kami sedang upgrade server base untuk top up layanan GrabPay. Jadi masih ada kendala,” terangnya dikutip dari Katadata.

Secara keseluruhan, pembaruan kali ini tidak jauh berbeda pengalamannya dibandingkan sebelumnya. Pengguna Grab bisa top up saldo OVO lewat ATM, internet banking, minimarket, atau lewat kartu debit.

Hanya saja, kini Grab melekatkan tambahan PIN enam digit untuk setiap saldo yang tersimpan dalam GrabPay apabila lebih dari Rp500 ribu. PIN juga akan diberlakukan untuk pembayaran dengan kartu kredit. Ketika PIN dibuat, akan muncul pengaturan untuk PIN setiap 72 jam dan setiap kali aplikasi mendeteksi lokasi tak dikenal.

Hadirnya kembali GrabPay menambah opsi pembayaran di aplikasi Grab selain menggunakan tunai, kartu kredit, dan Mandiri E-Cash.

GrabPay bisa dibilang masih ketinggalan dibanding Go-Pay yang sudah memiliki lisensi e-money tersendiri dan sudah mendapatkan izin menggunakan skema QR Code untuk pembayaran di luar platform Go-Jek.

Skema co-branding lisensi

Tak hanya Grab yang memanfaatkan lisensi uang elektronik perusahaan lain. Traveloka melakukan hal serupa untuk Traveloka Pay. Perusahaan OTA tersebut memanfaatkan kemitraan dengan Uangku sebagai pilihan bagi para penggunanya. Uangku diterbitkan oleh Smartfren yang telah memperoleh izin resmi Bank Indonesia.

CMO Traveloka Dannis Muhammad menuturkan tidak ada alasan khusus yang membuat perusahaan akhirnya menggandeng Uangku sebagai mitra pihak ketiga. Traveloka, menurutnya, hanya jadi marketplace penyedia teknologi yang terbuka untuk semua pihak ketiga sehingga dapat memberikan nilai lebih untuk para konsumennya.

Application Information Will Show Up Here

Bank Indonesia Releases The Latest E-Money Regulations

BI (Bank Indonesia) has just released the latest e-money regulations written in PBI (Bank Indonesia’s Regulation) Number 20/6/PBI 2018 to revise the previous regulation. It’s supposed to ensure a safe, efficient, fluent, and reliable e-money operation.

Quoted from Detik, Head of Payment System Department Onny Wijanarko, mentioned the 15 adjusting points. Some of which are e-money’s operational principals, open loop and closed loop.

The new rules also define a minimum capital, shares composition, representation and guarantee, fit and proper test, single ownership, holding period, cash float, cross-border, transaction, limit, and so forth.

In the regulation, floating cash in the closed loop is set for 1 billion Rupiah. The operators are divided into two groups, the front end and the back end.

The front end involves issuer, acquirer, payment gateway, e-wallet, and fund transfer. In the other hand, the back end involves principal, switching, clearing, and settlement. It’s designed to avoid monopoly.

The other standard is set for LSB (Non-Bank Financial Institutions). It shouldn’t be over 3 billion Rupiah with 51% of the shares must be locals or Indonesia’s Legal Entity.

In terms of balance, BI has renewed some limits. For the unregistered (identity is not registered and no record by the issuers), BI increase the maximum limit to Rp2 million. Meanwhile, the registered (identity is registered and recorded by the issuers) has a maximum limit of Rp10 million.

PBI’s new regulations have summarized the restrictions. It includes the prohibition of minimum balance as settlement or termination, deducting or blocking the e-money unilaterally, charging termination fee, and changing or omitting e-money value within the validity period.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bank Indonesia Keluarkan Aturan Baru untuk Uang Elektronik

Bank Indonesia (BI) baru saja merilis aturan baru mengenai uang elektronik yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20/6/PBI 2018 sekaligus merevisi laporan sebelumnya. Aturan baru ini diharapkan bisa memastikan penyelenggaraan uang elektronik yang aman, efisien, lancar dan andal.

Dikutip dari Detik, Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Onny Wijanarko menjelaskan ada 15 pokok aturan yang disesuaikan. Beberapa poin yang diatur seperti prinsip penyelenggaraan uang elektronik, uang elektronik open loop dan closed loop, dan juga pengelompokan izin jasa sistem pembelajaran.

Aturan baru ini juga mendefinisikan mengenai modal minimal yang disetor, komposisi saham, representasi dan jaminan, fit and proper test, kepemilikan tunggal, holding period, dana float, cross border, transaction, limit uang elektronik dan beberapa lainnya.

Di peraturan baru ini jumlah dana float diatur dengan closed loop di angka 1 miliar Rupiah. Penyelenggara jasa sistem pembayaran dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni front end dan back end.

Untuk kelompok front end meliputi penerbit, acquirer, payment gateway, dompet elektronik dan transfer dana. Sedangkan untuk kelompok back end meliputi prinsipal, switching, kliring dan penyelenggara penyelesaian akhir. Pengelompokan ini didesain untuk menghindari monopoli.

Aturan lain yang baru ada di PBI yang baru ini adalah aturan mengenai modal disetor LSB. Ketentuan yang diterapkan adalah modal yang disetor dibatasi 3 miliar Rupiah dengan 51% saham dimiliki oleh WNI atau Badan Hukum Indonesia.

Soal saldo, BI juga melakukan beberapa pembaruan soal batas. Untuk unregistered (identitas tidak terdaftar dan tidak tercatat pada penerbit) BI menaikkan batas maksimal menjadi 2 juta Rupiah. Sedangkan untuk pengguna registered (identitas terdaftar dan tercatat pada penerbit) batas maksimal tetap di angka 10 jutaRrupiah.

Poin-poin baru di aturan PBI juga ada merangkum kategori larangan. Poin tersebut meliputi larangan penerapan saldo minimal sebagai persyaratan penggunaan atau pengakhiran, menahan atau memblokir uang elektronik secara sepihak, mengenakan biaya pengakhiran penggunaan, dan juga menghapus, mengubah atau menghilangkan nilai uang elektronik ketika masa berlaku media UE berakhir.

Platform Uang Elektronik Makin Jadi Komoditas Online Penting

Masyarakat di kota-kota besar sudah terlihat semakin fasih menggunakan uang elektronik untuk keperluan sehari-hari. Hal tersebut diimbangi dengan semakin umumnya layanan yang menerima pembayaran menggunakan e-money, misalnya bertransaksi di gerbang tol. Menurut data Bank Indonesia, secara total di bulan Januari 2018, dengan 27 penyelenggara uang elektronik yang mendapatkan lisensi, tercatat nominal transaksi mencapai 3,49 triliun Rupiah dengan jumlah transaksi mencapai lebih dari 215 juta buah.

Produk uang elektronik, khususnya yang berbasis server, menjadi salah satu instrumen penting di pembayaran digital mengingat rendahnya penetrasi kartu kredit di Indonesia. Go-Pay dan Tcash bisa dibilang sedang unggul di segmen ini, sementara Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Paytren, dan Grab masih menunggu nasib permohonan mereka sejak produk dompet elektroniknya dibekukan Bank Indonesia.

Bank Indonesia menegaskan dompet elektronik yang menghimpun dana beredar (floating fund) di atas satu miliar Rupiah harus mengajukan izin terlebih dahulu sebelum beroperasi.

Gandeng pemegang lisensi

Terhambatnya perolehan lisensi uang elektronik sedikit banyak mengganggu berbagai rencana dan inovasi yang dicanangkan startup. Untuk mengatasinya, sejumlah startup mulai mengambil jalan pintas. GrabPay memanfaatkan lisensi Ovo untuk kembali membuka dompet elektroniknya, sedangkan TravelokaPay menggandeng Uangku milik Smartfren.

Belum kami ketahui bagaimana syarat dan ketentuan detail keduanya, tetapi setidaknya antara GrabPay dan Ovo tidak ada integrasi dompet. Keduanya murni adalah platform yang terpisah dan GrabPay hanya “meminjam” (atau menyewa) lisensi Ovo.

Dengan menggaet pemilik lisensi yang sudah ada, startup-startup ini tidak terbentur regulasi saat ingin mengeksplorasi langkah-langkah ekspansi selanjutnya. Sampai sekarang berbagai survei menunjukkan masyarakat masih lebih suka menggunakan transfer antar rekening bank untuk melakukan pembayaran online. Bank Indonesia berharap solusi uang elektronik lambat laun bisa menggantikan metode ini.

Persaingan selanjutnya

Menurut survei yang dilakukan DailySocial, Go-Pay menjadi platform e-money berbasis server terpopuler, sementara Mandiri e-money adalah e-money berbasis kartu yang paling dikenal.

Dengan Go-Pay, Ovo, dan Tcash yang berbasis server kini disiapkan untuk mengakomodasi pembayaran menggunakan QR Code, akan terjadi irisan pasar antara uang elektronik berbasis kartu dan server.

Go-Jek sendiri sudah menyatakan pihaknya akan all out mendukung kehadiran Go-Pay yang lebih luas. Langkah ini dimulai dengan akuisisi terhadap dua platform payment gateway, Kartuku dan Midtrans. Kartuku kuat di ranah ritel, sementara Midtrans memiliki basis di ranah online. Implementasi Go-Pay melalui dua payment gateway ini akan mendorong penerimaan yang lebih luas di berbagai merchant, di luar pemanfaatan sehari-hari Go-Pay yang sudah nyaman dinikmati konsumen.

Persaingan menjadi “dompet kedua” semakin ketat. Dengan regulator yang masih saklek dalam menegakkan aturan, bukan tidak mungkin Tokopedia, Bukalapak, Shopee, atau platform besar lainnya akan mengikuti jejak Grab dan Traveloka untuk nebeng lisensi. Platform uang elektronik makin menjadi komoditas online yang penting dan lisensi uang elektronik menjadi barang yang bernilai tinggi saat ini.


Prayogo Ryza berkontribusi untuk pembuatan artikel ini

Digital Artha Media to Launch Three New Fintech Products

Digital Artha Media (DAM) will be launching three new fintech products to realize its ambition as fintech enabler company in first quarter of 2018. Those products are indiepay (e-wallet), indieprint (cloud printing), dan wagon (e-commerce O2O).

Indiepay is an e-wallet receiving payment with funding source from credit and debit cards, by targeting urbans and millenials. Indieprint is a cloud printing service to be used among students, currently being tested in Universitas Mataram.

Meanwhile, Wagon (Warung Goes Online) is an O2O e-commerce app for merchants who have interest in becoming independent digital entrepreneur, selling PPOB services. So far, Wagon is already used by approximately 2 thousand shops spreading in several areas of Java and Sumatra.

“Since the establishment, DAM focused on developing Mandiri e-cash product. In the fifth year, we want to build fintech ecosystem for all fintech to use,” Fanny Verona, DAM’s Managing Director, explained on Thursday (12/21).

As Bank Mandiri Group subsidiary, DAM is not only focused on developing products, but also opened its technology to be used by other fintech startups.

An example of its realization can be seen as the partnership between Bank Mandiri and Line through Line e-cash. Currently, Line e-cash already has 4 million users. For Verona, there will be another partnership announcement in the future between corporation and Mandiri e-cash, the process is still kept secret.

Ready to apply QR Code and KYC Digital

For Mandiri e-cash feature, DAM is preparing a new technology such as payment via QR code and KYC digital for upgrading to full service. Verona said these features will be available in early 2018.

In total, Mandiri e-cash already has 10 million users. Most transactions are used for top-up balance, online shopping and PLN tokens.

“the nearest event is to add two new features. First, payment via QR code, then video call for KYC digital for users in need for upgrading to full service,” ended Verona.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Go-Jek Klaim Kuasai 30% Transaksi Non Tunai Seluruh Indonesia

Dalam artikel yang dipublikasi Go-Jek, Go-Pay diklaim telah berkontribusi untuk 30% transaksi non tunai di seluruh Indonesia per Oktober 2017. Tidak dijelaskan seberapa besar perputaran dana yang terjadi dalam kurun waktu tersebut.

Pihak Go-Jek menyebut secara rerata penggunaan Go-Pay untuk transaksi setiap bulannya tumbuh 25%, nominal pengisian ulang (top up) juga meningkat sampai 15%. Pertumbuhan pengguna Go-Pay diklaim bertambah hingga tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu.

Ada tiga alasan yang diungkapkan pengguna memilih Go-Pay, yaitu adanya promo atau potongan harga, tidak perlu menyiapkan uang tunai, dan mudah digunakan. Go-Jek menyebut dengan seluruh penawaran tersebut, pengguna dapat menghemat hingga Rp200 ribu per bulannya.

Per November 2017, Go-Pay telah memproses pengiriman uang dari Jabodetabek dengan total Rp570 juta ke beberapa titik di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi.

“Go-Pay akan terus tumbuh. Tidak hanya untuk Go-Jek, tapi juga untuk keseluruhan ekonomi digital,” kata CEO Go-Jek Nadiem Makarim dalam artikel tersebut.

Secara industri, Bank Indonesia baru memberi izin kepada 26 perusahaan sebagai pemain uang elektronik. Hingga Oktober 2017, secara volume transaksi mencapai 600,5 juta transaksi senilai Rp8,76 triliun.

Dikutip dari Bisnis, Direktur Sistem Pembayaran Bank Indonesia Eny V Panggabean menyatakan transaksi uang elektronik merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam transaksi non tunai.

“Rata-rata transaksi uang elektronik mencapai 2,3 juta transaksi per hari dengan nominal Rp2,8 triliun,” kata Eny.

Transaksi non tunai memakai ATM/debit mencapai 15,5 juta transaksi per hari dengan nilai Rp16,6 triliun. Sedangkan transaksi harian dengan kartu kredit mencapai 872 ribu transaksi dengan nilai Rp802 triliun.

Disangsikan bankir

Pernyataan Go-Jek di atas, membuat beberapa bankir sedikit sangsi. Pasalnya, transaksi non tunai itu tidak hanya uang elektronik saja, tapi juga terdapat kartu debit, kartu kredit, hingga ATM.

Direktur Perbankan Digital dan Teknologi Bank Mandiri Rico Usthavia Frans menuturkan bila Go-Jek mengklaim transaksi non tunai yang dimaksud adalah transaksi uang elektronik, klaim tersebut akan masuk akal.

“Transaksi non tunai itu ada banyak sumbernya, bisa dari e-money, kartu kredit, debit, dan ATM,” katanya kepada DailySocial.

Pun demikian Direktur BCA Santoso Liem. Dia bilang, uang elektronik itu juga terbagi jadi dua jenis, server base dan card base. Akan tetapi, menurutnya, porsi uang elektronik masih kecil dibandingkan transaksi ritel lainnya.

“Kalau transaksi non tunai kan termasuk debit, kartu kredit, ATM dan lain-lain, jadi masih sangat jauh.”

Produk uang elektronik Bank Mandiri, E-Money, secara total (sejak pertama kali diluncurkan) hingga sekarang telah memproses lebih dari 510 juta transaksi dengan nilai Rp5,45 triliun. Jumlah kartu beredarnya mencapai 13 juta keping, dengan rincian 220 ribu di antaranya co-branding dengan enam bank. Penggunaan transaksi banyak dipakai untuk pembayaran tol dan transportasi umum.

Flazz BCA sendiri sudah memiliki kartu beredar sebanyak 12 juta keping.

Fintech di sektor pembayaran dan peminjaman akan jadi primadona

Digital Artha Media (DAM) meramal fintech yang bergerak di sektor pembayaran dan peminjaman akan tetap merajai industri fintech pada tahun depan. Kedua kategori tersebut dianggap adalah kebutuhan dasar yang dibutuhkan masyarakat.

Managing Director DAM Fanny Verona menjelaskan fintech sektor pembayaran akan semakin dibutuhkan karena ada kemampuan untuk menambang data. Data tersebut dibutuhkan oleh pelaku industri, seperti e-commerce, untuk mengetahui kebiasaan belanja konsumen.

Sementara itu, untuk fintech sektor peminjaman masih akan tetap dicari karena layanannya yang mudah. Terlebih, di Indonesia ada segmen khusus yang gandrung dengan gaya hidup berutang.

“Entah kenapa masyarakat kita ada yang suka sekali kredit, misal beli ponsel yang harganya di luar jangkauan mereka,” terang Fanny, Kamis (21/12).

Berdasarkan data dari Asosiasi Fintech Indonesia dan OJK, pelaku fintech di Indonesia masih didominasi sektor pembayaran (43%), pinjaman (17%), dan sisanya adalah agregator, crowdfunding, personal or financial planning, dan lainnya.

Digital Artha Media Segera Luncurkan Tiga Produk Fintech Baru

Digital Artha Media (DAM) akan meluncurkan tiga produk fintech terbaru untuk merealisasikan ambisinya sebagai perusahaan fintech enabler pada kuartal pertama tahun depan. Ketiga produk tersebut adalah indiepay (dompet elektronik), indieprint (cloud printing), dan wagon (layanan e-commerce O2O).

Indiepay adalah produk dompet elektronik yang dapat menerima pembayaran dengan sumber dana dari kartu kredit dan debit, dengan menyasar pengguna dari kalangan urban dan milenial. Indieprint adalah layanan cloud printing yang dapat dimanfaatkan kalangan mahasiswa, sementara ini sudah diujicobakan di Universitas Mataram.

Sementara, Wagon (Warung Goes Online) adalah aplikasi e-commerce O2O untuk pedagang warung yang tertarik menjadi digital entrepreneur mandiri, menjajakan layanan PPOB. Sejauh ini Wagon sudah digunakan sekitar 2 ribu warung, tersebar di beberapa wilayah seperti Pulau Jawa dan Sumatera.

“Sejak pertama kali DAM berdiri, kami fokus mengembangkan produk Mandiri e-cash. Nah di tahun kelima ini, kami ingin bangun ekosistem fintech agar semua startup fintech bisa pakai,” terang Managing Director DAM Fanny Verona, Kamis (21/12).

Sebagai subsidiary jaringan Grup Bank Mandiri, DAM tidak hanya fokus mengembangkan produk, tetapi juga membuka teknologinya agar dapat digunakan oleh startup fintech lainnya.

Salah satu realisasinya terlihat dari kemitraan antara Bank Mandiri dengan Line lewat produk Line e-cash. Saat ini total pengguna Line e-cash sekitar 4 juta orang. Menurut Fanny, ke depannya akan ada pengumuman kemitraan lainnya antara korporasi dengan Mandiri e-cash, hanya saja masih prosesnya dirahasiakan.

Siap terapkan QR Code dan KYC Digital

Untuk pengembangan fitur Mandiri e-cash, DAM sedang mempersiapkan teknologi baru berupa pembayaran secara QR code dan KYC digital untuk kebutuhan upgrade layanan ke full service. Fanny bilang kedua fitur baru ini akan hadir pada awal tahun depan.

Secara total, Mandiri e-cash sudah dipakai oleh 10 juta orang. Kebanyakan transaksi dipergunakan untuk pembelian pulsa, belanja online, dan pembelian token PLN.

“Yang paling dekat kami akan tambah dua fitur baru. Pertama pembayaran dengan QR code, kemudian video call untuk KYC digital buat pengguna yang ingin upgrade layanan ke full service,” tutup Fanny.

Ditargetkan kehadiran fitur baru ini dapat mendongkrak pengguna baru Mandiri e-cash mencapai kisaran 30 juta sampai 40 juta orang pada tahun depan.

Application Information Will Show Up Here

Manfaatkan Lisensi E-Money OVO, GrabPay Kembali Aktif

Grab memanfaatkan lisensi e-money yang sudah dikantungi OVO untuk mengaktifkan kembali layanan pembayaran GrabPay. Layanan ini resmi hadir per kemarin (14/12), setelah dibekukan sementara oleh bank sentral sejak 16 Oktober 2017.

“Mulai hari ini, penumpang Grab dapat mengisi GrabPay Credits mereka dan menggunakan GrabPay,” kata Managing Director GrabPay Southeast Asia Jason Thompson, dikutip dari Katadata.

Kembali GrabPay ini tidak lepas dari kolaborasi antar perusahaan di bawah naungan Lippo Group. OVO sudah mengantongi lisensi izin e-money Bank Indonesia sejak 22 Agustus 2017 dengan nama badan hukum PT Visionet International. Sebelum berkolaborasi dengan OVO, Grab juga membantu logistik pengiriman barang untuk MatahariMall.

Dengan kembali aktifnya GrabPay (dengan branding baru ‘GrabPay, powered by OVO’), pengguna Grab kini dapat melakukan top up dengan berbagai cara. Mulai dari mitra pengemudi, toserba, bank lokal dan ATM, hingga kartu debit.

Selain menyediakan opsi pembayaran secara online, Grab dan OVO akan bekerja sama memanfaatkan teknologi dan jaringan mitra masing-masing untuk mengembangkan platorm pembayaran mobile yang nyaman dan aman sesuai dengan kebutuhan konsumen.

OVO tidak hanya dapat digunakan untuk berbagai macam transaksi keuangan, seperti pembayaran di merchant, isi ulang, pengecekan saldo. Juga menyediakan program loyalitas setiap transaksi di merchant rekanan.

“Lisensi e-money yang diberikan kepada OVO memberi kesempatan yang luar biasa bagi kami untuk dapat menciptakan beragam solusi keuangan guna turut andil dalam perkembangan gerakan nasional non tunai (GNNT) masyarakat Indonesia. Kami akan terus mendekatkan diri dengan pengguna, merchants dan regulator, untuk menghadirkan produk dan layanan e-money inovatif yang sesuai dengan kebutuhan mereka yang dinamis,” sambut CEO OVO Adrian Suherman beberapa waktu lalu.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Genjot Transaksi JakOne Mobile, Bank DKI Jalin Kemitraan dengan GO-JEK

Bank DKI saat ini tengah berupaya menggencarkan transaksi non tunai melalui aplikasi JakOne Mobile. Dalam upayanya tersebut salah satunya dilakukan dengan menjalin kerja sama strategis dengan GO-JEK, tepatnya melalui fitur GO-PAY di aplikasinya. Kerja sama Bank DKI dan GO-JEK mencakup interoperabilitas uang elektronik, interkoneksi sistem pembayaran dan perluasan channel pembayaran pajak dan retribusi.

Perjanjian kerja sama ini yang ditandatangani langsung oleh Direktur Bisnis Bank DKI Antonius Widodo Mulyono dan Chief Marketing Officer GO-JEK Indonesia Piotr Jakubowski. Menyambut kerja sama ini Direktur Utama Bank DKI Kresno Sediarsi berharap kerja sama keduanya bisa meningkatkan daya tarik JakOne Mbile sehingga dapat meningkatkan jumlah pengguna dan transaksi dari JakOne Mobile.

“Aplikasi GO-JEK telah diunduh lebih dari 55 juta kali, dan telah menghubungkan pengguna dengan lebih dari 400.000 mitra driver, lebih dari 100.000 penjual makanan, serta lebih dari 30.000 penyedia layanan lainnya tentu menjadi potensi untuk turut memasarkan JakOne Mobile,” ujar Kresno.

Popularitas GO-JEK dan jajaran bisnis lainnya seperti GO-PAY memang tak bisa dipungkiri. Dalam laporan survei DailySocial yang bertajuk E-Money Survey 2017 GO-PAY mengisi tempat pertama sebagai app-based e-money yang paling sering digunakan dengan persentase 44, 96% dari total seribu lebih responden survei.

Sementara itu Piotr menyambut baik kerja sama dengan Bank DKI. Ia menuturkan pihaknya sebagai penyedia layanan on demand terus berinovasi dan membuka pintu kolaborasi dengan seluruh pihak, termasuk Bank DKI untuk memudahkan masyarakat menjalankan aktivitas sehari-hari.

“Kami berharap penandatanganan MoU ini menjadi langkah awal untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat Jakarta bertransaksi secara non-tunai sekaligus memperluas penetrasi pengguna layanan non tunai,” tuturnya. Piotr menambahkan, GO-JEK sendiri telah mendukung pemerintah untuk mempromosikan cashless society lewat layanan dompet elektroniknya, GO-PAY.

Bank DKI menjadi bank yang terus aktif mendorong penerapan transaksi non tunai melalui produk digital banking-nya termasuk JakOne Mobile, sebuah aplikasi layanan keuangan yang terdiri dari mobile banking dan mobile wallet yang dapat dipergunakan untuk transaksi. JakOne Mobile juga dilengkapi fitur Scan to Pay di merchant yang bekerja sama dengan Bank DKI.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Laporan DailySocial: Survei E-Money di Indonesia 2017

Baru-baru ini pemerintah RI mencanangkan bahwa seluruh transaksi jalan tol harus dilakukan menggunakan kartu uang elektronik per akhir bulan Oktober. Ini adalah titik terbaru perjalanan sosialisasi penggunaan uang elektronik dalam bentuk kartu di Indonesia.

Seementara itu, untuk uang elektronik berbasis server, perkembangan Go-Pay dari Go-Jek hingga bisa dibilang sangat pesat. Bisa dibilang Go-Pay menjadi “dompet kedua” konsumen karena bisa bisa digunakan untuk berbagai layanan.

Survei E-Money bertujuan melihat bagaimana keadaan penggunaan e-money oleh konsumen Indonesia. Survei dilaksanakan DailySocial.id bekerja sama dengan JakPat Mobile Survey Platform, menjaring jawaban dari 1059 responden yang disampel secara proporsional dari populasi pengguna smartphone se-Indonesia. Beberapa temuan survei antara lain:

  • Dua merek kartu uang elektronik terpopuler adalah Mandiri e-Money (33.14%) dan BCA Flazz (26.25%)
  • 56.80% responden baru memiliki kartu uang elektronik selama satu tahun atau kurang
  • 73.79% dari responden menyisihkan Rp250.000 atau kurang per bulannya, untuk transaksi uang elektronik
  • 42.43% responden merasa uang elektronik telah membantu mereka lebih mengendalikan pengeluaran mereka

Laporan selengkapnya bisa diunduh di halaman riset “E-Money Survey 2017”.