[Video] Cerita di Balik Pembuatan Desain Aplikasi yang “Seamless” dan “User Friendly”

Di balik tampilan aplikasi yang seamless dan user friendly, ada minat dan keinginan UI/UX Designer yang mendalam untuk memecahkan masalah.

DailySocial bersama Farhan Ramadhan dari Line Indonesia membahas bagaimana suka dan duka UI/UX Designer dalam berkontribusi membuat sebuah aplikasi.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Memanfaatkan Interaksi Offline untuk Ciptakan Transaksi Online

Sejatinya, teknologi ada untuk memudahkan manusia dalam melakukan berbagai hal. Pada produk digital, sebuah fitur dan layanan dibuat sedemikian rupa agar penggunanya mendapat kenyamanan saat berinteraksi.

Ini yang menjadi pekerjaan rumah bagi mereka yang bergelut pada pengembangan User Interface (UI) dan User Experience (UX) pada sebuah aplikasi. Bagaimana mereka menyediakan ‘kemudahan’ dan ‘kenyamanan’ bagi para penggunanya.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial.id kedatangan Chief Technology Officer Digiroin Teguh Hadriansyah dan Lead UI/UX Designer Digiroin Fayza Firdaus yang membahas seputar pentingnya fitur offline demi menciptakan transaksi online.

Fayza membuka diskusi dengan menyebutkan bahwa aktivitas offline menjadi pelatuk (trigger) bagi pengguna untuk melakukan aktivitas online. Menurutnya, aktivitas offline menjadi penting karena bagaimana pun juga masih ada segmen pasar yang belum terkoneksi internet.

Ada banyak tools pada aplikasi yang dapat dipakai untuk menciptakan offline interaction, misalnya QR Code dan voice note. Tools ini banyak dipakai untuk menyambungkan interaksi pengguna tanpa koneksi internet.

“Kami ingin menciptakan online interaction seperti offline interation. Online dan offline itu harus berjalan paralel,” ujar Fayza.

Dalam kaitannya dengan design, pengembang menciptakan User Interface (UI) dan User Experience (UX) agar pengguna nyaman saat memakainya. Informasi yang dipaparkan harus cukup untuk membangun kepercayaan.

Bertransaksi online tanpa ubah kebiasaan pengguna

Lalu, apa saja yang dapat dikembangkan untuk menciptakan transaksi online dengan mengandalkan interaksi offline? Chief Technology Officer Digiroin Teguh Hadriansyah mengambil contoh kasus pada fitur yang tengah dikembangkannya di layanan Digiroin. Fitur bernama Sound QR ini memampukan proses verifikasi/autentikasi sebuah transaksi pembayaran secara offline karena berbasis suara pengguna. 

“Inti dari teknologi ini adalah membawa transaksi online kepada pelanggan tanpa memerlukan koneksi internet. Interaksi itu tetap ada tapi meniadakan kebutuhan interaksi di layar smartphone,” tambah Teguh.

Menurutnya, offline interaction tidak bisa diabaikan begitu saja karena banyak sekali ragam segmen pengguna yang dapat disasar, mulai dari mereka yang gagap teknologi, sudah berumur, atau buta warna. Ini dapat membuka peluang besar bagi bisnis dengan merangkul berbagai segmen usia.

Sebetulnya, ungkap Teguh, pengembang memiliki banyak opsi untuk memilih teknologi yang tepat untuk fitur offline interaction, misalnya NFC, inframerah, hingga pemindai wajah. Namun, verifikasi berbasis suara (Sound QR) dinilai lebih tepat karena setidaknya setiap ponsel dibekali dengan mic dan speaker berkualitas standar.

“Tidak semua orang punya perangkat canggih dan kualitas kameranya bagus. Idenya adalah siapapun bisa melakukan autentikasi tanpa layar. Ini yang akan dibawa ke segmen pasar yang gagap teknologi tanpa harus mengubah kebiasaan mereka,” tuturnya.

Digiroin merupakan layanan pembayaran yang berjalan di atas teknologi blockchain. Digiroin juga merupakan sebuah platform terbuka yang memungkinkan siapapun dapat mengembangkan micro app atau aplikasi yang berjalan di platform Digiroin. Saat ini, Digiroin sudah bekerja sama dengan PT POS Indonesia.

Meski demikian, menurut Teguh, membangun offline interaction juga punya barrier tersendiri. Yang paling sulit adalah bagaimana membangun kepercayaan terhadap pengguna bahwa transaksi tanpa pihak ketiga merupakan legal tender. 

“Teknologinya (dalam mengembangkan Sound QR) itu tidak rumit. Bahkan lebih mudah karena berbasis suara. Tapi, sulit untuk membuat pelanggan percaya bahwa transaksi ini sah.”

Traveloka Rombak Tampilan Aplikasi, Coba Pendekatan Lewat Bercerita

Aplikasi Traveloka versi terbaru (versi 3.0) sudah resmi meluncur sejak sebulan belakangan. Banyak perubahan besar, baik dari segi UI/UX-nya dan kini menonjolkan unsur bercerita lewat berbagai konten inspirasi yang disajikan.

Senior Brand and Design Manager Traveloka Taufiq Adhie Wibowo menuturkan, dalam tampilan terbarunya ini perusahaan ingin menjembatani pengguna dengan produk Traveloka lewat inspirasi kisah seputar destinasi terkenal.

Kemudian Traveloka ingin menciptakan engagement yang lebih kuat dengan pengguna, betah berlama-lama di aplikasi, sehingga tidak hanya sekedar menarik potensi terjadinya transaksi. Hal ini berbeda dengan pendekatan versi sebelumnya, yang lebih menonjolkan produk dan promosi.

“Ternyata story adalah komponen yang penting dalam travelling. Kami mau hadir sebagai travel companion secara end-to-end buat pengguna,” terangnya kepada DailySocial, Senin (28/5).

Taufiq enggan membeberkan dampak yang dihasilkan dari peluncuran tampilan terbarunya tersebut, seperti lama durasi kunjungan, traffic, dan sebagainya. Menurutnya peluncurannya baru sekitar sebulan, sehingga belum bisa diungkapkan hasilnya secara langsung.

Tampilan UI/UX dari versi 2.0 dan 3.0 / Traveloka
Tampilan UI/UX versi 2.0 dan 3.0 / Traveloka

Perombakan UI/UX ini, sambungnya, baru dilakukan untuk di Indonesia. Di lima negara lainnya, pendekatannya berdasarkan masalah yang dihadapi masing-masing negara, misalnya lebih mengedepankan sistem pembayaran untuk Traveloka Thailand.

Produk Traveloka yang lebih beragam disediakan untuk bersaing di Indonesia. Saat ini hampir 20 produk yang tersedia. Di luar negeri, produk Traveloka yang paling diandalkan adalah pembelian tiket pesawat dan hotel.

Disebutkan proses perombakan ini memakan waktu kurang lebih enam bulan, dimulai dari pertengahan tahun lalu sampai akhir 2017.

Traveloka memproduksi konten tematik yang secara berkala terus diperbarui oleh tim in-house. Tak hanya berbentuk tulisan, tersedia juga foto-foto yang dilengkapi dengan video 360 derajat agar terlihat lebih menggugah. Cara ini juga dimanfaatkan untuk mempromosikan destinasi yang kurang begitu terkenal, namun memiliki potensi alam yang luar biasa.

Di dalam beberapa konten, tim memberikan rekomendasi destinasi yang diselipkan penjualan produk. Misalnya dalam mempromosikan destinasi di Korea, diselipkan informasi seputar atraksi yang menarik dan tiketnya bisa dibeli melalui Traveloka.

Tantangan bisnis OTA

Senior Brand and Design Manager Traveloka Taufiq Adhie Wibowo / Traveloka
Senior Brand and Design Manager Traveloka Taufiq Adhie Wibowo / Traveloka

Taufiq menuturkan, semakin besar skala bisnis perusahaan, maka semakin ketat pula persaingannya di pasar, apalagi untuk skala Asia Tenggara. Bagi bisnis OTA, keputusan seseorang untuk membeli tiket perjalanan kini sudah tidak lagi linier, malah cenderung tidak beratur.

Awalnya urutan pertama dimulai dari riset, kemudian membuat rencana, dan memesan tiket. Setelah itu seseorang akan mendapatkan pengalaman dan akhirnya berbagi pengalaman tersebut kepada orang lain.

“Kita enggak cuma sekadar beri inspirasi, tapi bagaimana konten yang kami berikan bisa jadi jembatan untuk ambil keputusan [membeli tiket].”

tim UI/UX Traveloka disebut selalu mengedepankan konsep DEDI (Data Informed, Emphatic, Deliver, Iterate). Informasi data didapat dari hasil riset para pengguna yang nantinya akan menjadi bahan hipotesis.

Dari situ, tim bisa mendapatkan terjemahan mentah apa yang bisa mereka lakukan sebelum disampaikan ke para pengguna. Proses tersebut akan terus berulang sampai akhirnya bertemu titik temu.

“Kami percaya produk yang bagus itu tidak pernah selesai. Makanya end goal kami konstan, terus menerus dilakukan. Tantangan sekarang makin berat, industri [OTA] makin mature, makanya harus beri inovasi terbaru,” pungkas Taufiq.

Application Information Will Show Up Here