Review Catalyst Black: Sensasi Keseruan Pertandingan 10 vs 10

Secara mengejutkan, Super Evil Megacorp meluncurkan versi “Geo-Beta Indonesia” untuk game terbaru yang berjudul Catalyst Black pada 7 November 2020 kemarin. Sang pengembang game Vainglory tersebut memang sudah terlihat mulai sibuk mempersiapkan sesuatu sejak dari 6 November 2019. Ketika itu, Super Evil Megacorp mengumumkan sesuatu bernama “Project Spellfire” yang akhirnya diungkap sebagai sebuah game bernama “Catalyst Black” pada tanggal 30 April 2020 kemarin.

Sebagai seorang penggemar Vainglory, rasa penasaran saya memuncak ketika Super Evil Megacorp mengumumkan akses terbuka terhadap Catalyst Black. Setelah meng-install dan mencobanya, ternyata Catalyst Black berhasil menyedot perhatian saya. Akhirnya sepanjang akhir pekan kemarin pun saya jadi keranjingan main Catalyst Black selama beberapa saat. Kenapa bisa begitu? Berikut ulasan saya terhadap game Catalyst Black.

 

Tiga Elemen Bersatu, MOBA + Battleground + Shooter

Menjadi inovatif sepertinya sudah ada di dalam nadi Super Evil Megacorp sebagai perusahaan pengembang game. Jika kita melihat ke belakang, Vainglory juga terbilang inovatif pada zamannya. Tahun 2014, ketika game bersifat real-time multiplayer untuk mobile masih seperti mitos, Super Evil Megacorp memutuskan mendobrak pintu tersebut dan menciptakan Vainglory.

Tak hanya itu, mereka juga menciptakan format 3 vs 3 di mobile. Dengan format tersebut Vainglory berhasil menyeimbangkan kesederhanaan game mobile dengan kompleksitas genre MOBA yang ada di PC. Walaupun begitu, Super Evil Megacorp terbilang tidak sepenuhnya mendobrak keadaan. Sebenarnya sudah ada juga beberapa MOBA untuk mobile pada zaman itu. Walau demikian, Vainglory terbilang menjadi salah satu MOBA pertama untuk mobile yang paling solid secara gameplay sebelum akhirnya Mobile Legends dan AOV rilis.

Dalam hal Catalyst Black, Super Evil Megacorp menyajikan konsep segar dalam bentuk genre yang disebut sebagai “Battleground Shooter”. Sebutan itu terbilang cukup asing karena nama genre Battleground Shooter terbilang belum pernah digunakan oleh developer game lain. Dibilang Shooter karena aksi peperangan Catalyst Black melibatkan tembak menembak antar pemain dengan menggunakan senjata api dari sudut pandang orang ketiga. Tapi apa maksudnya genre Battleground?

Dalam satu permainan, Catalyst Black bisa berisi sampai dengan 20 orang dengan format 10 pemain melawan 10 pemain. Walaupun begitu, jumlah dan ukuran medan pertempuran bisa bervariasi. Kadang Anda bisa bermain 5 vs 5 dengan map yang kecil atau bisa bermain di map yang besar dengan jumlah yang saya sebut di atas. Mungkin hal tersebut adalah alasan kenapa Catalyst Black dikelompokkan dalam genre “Battleground”.

Tapi jangan sampai salah kaprah antara Battleground dengan Battle Royale. Ciri khas genre Battle Royale adalah menjadi last-man standing. Sementara pada sisi lain, gameplay Catalyst Black bukan untuk menjadi last-man standing, melainkan bertarung dalam format tim vs tim dengan beberapa objektif. Jadi kalau harus dideskripsikan lebih sederhana lagi, Catalyst Black bisa dibilang punya gameplay mirip dengan Brawl Stars besutan Supercell tapi dengan tempo yang lebih cepat dan jumlah pemain yang lebih banyak di dalam satu pertandingan.

Bicara soal objektif permainan, Catalyst Black menyajikan tiga mode permainan pada fase geo-beta ini. Tiga mode tersebut adalah Capture The Flag, Flag Hunter, dan Core Rush.

Dalam mode Capture the Flag tugas Anda adalah untuk menyerang markas musuh, mencuri bendera, lalu membawanya ke markas Anda sendiri. Mode Flag Hunter agak mirip dengan mode Gem Grab di dalam game Brawl Stars. Tugas Anda sebagai pemain adalah mengalahkan monster besar yang memegang bendera. Setelah berhasil dikalahkan, ambil dan pertahankan bendera sebanyak mungkin sampai durasi permainan habis. Terakhir ada mode Core Rush. Dalam mode tersebut pemain memiliki tugas untuk mengalahkan monster besar bernama Keepers dan Alpha Keepers. Setelah sang monster dikalahkan, pertahankan area di sekitar tempat Anda mengalahkan monster selama beberapa saat. Mengalahkan Keepers memberikan 1 poin, mengalahkan Alpha Keepers memberikan 3 poin.

Sumber: Official SEMC
Sumber: Official SEMC

Menurut saya, Core Rush adalah mode yang membuat Catalyst Black unik. Mode tersebut juga menjadi salah satu mode Super Evil Megacorp menyelipkan sedikit elemen MOBA ke dalam Catalyst Black. Biasanya ada waktu tertentu Anda berebut monster besar demi mendapatkan Monster Buff di MOBA.

MLBB punya Lord, AOV punya Dark Slayer (DS), dan Wild Rift punya Baron untuk diperebutkan. Bertarung 5 vs 5 memperebutkan satu buah Lord/DS/Baron saja serunya sudah minta ampun. Sekarang coba bayangkan berebut 3 buah Lord/DS/Baron dalam format pertarungan 10 vs 10? Seperti itulah cerita saya kalau ada orang menanyakan “Catalyst Black seru atau enggak sih?” atau “seseru apa sih Catalyst Black?”.

 

Gameplay Kompetitif namun Terasa Casual Berkat Sistem Drop-In Drop-Out

Inti permainan Catalyst Black terbilang sangat kompetitif. Mode Core Rush mungkin bisa jadi contoh mode permainan yang paling kompetitif dari Catalyst Black. Dalam mode tersebut kita harus mengalahkan Keepers (Semacam Lord versi Catalyst Black) lalu mengambil Keepers Core untuk mendapat poin. Tim yang lebih dulu mencapai 15 poin (map besar) atau 10 poin (map kecil) akan menjadi pemenang.

Bayangkan apabila perolehan poin sedang sengit, 9-10 misalnya. Dalam keadaan tersebut pertarungan bisa menjadi begitu intens dan kompetitif karena ada 10 orang dari masing-masing tim saling memperebutkan satu area yang ditunjuk.

Serunya sensasi perang secara online lewat Catalyst Black. Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Serunya sensasi perang secara online lewat Catalyst Black. Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Menembak musuh adalah perkara mudah di Catalyst Black karena ada fitur auto-aim. Walau begitu Anda tetap butuh strategi yang tepat dalam memainkan Loadout yang Anda gunakan (lebih lanjut soal sistem Loadout akan kita bahas nanti). Salah langkah sedikit, Anda akan mati dan tim Anda akan kekurangan pasukan. Apabila kekurangan pasukan, maka usaha untuk memperebutkan area pun jadi jauh lebih sulit.

Meski saya menikmati Catalyst Black sebagai pemain kompetitif, saya merasa game ini membuka ruang yang cukup besar untuk para pemain casual. Mungkin ini juga terbilang sebagai pelajaran lain yang SEMC pelajari dari proses mereka mengembangkan Vainglory.

Dalam satu sesi Hybrid Talk saya sempat berbincang dengan Kevin Michael Johnson atau “Cloaken” selaku Live Design Director dari Super Evil Megacorp. Ketika itu Cloaken sempat menjelaskan bahwa salah satu yang mereka pelajari dari Vainglory adalah waktu matchmaking yang lama. Karena hal tersebut, beberapa pemain jadi merasa tidak nyaman.

Apalagi juga mengingat pola konsumsi game mobile yang cenderung ingin serba cepat. Menanggapi hal tersebut, maka Super Evil Megacorp menerapkan sistem Drop-In Drop-Out atau disingkat DIDO di dalam Catalyst Black.

Sebenarnya dalam perbincangan tersebut, Cloaken menjelaskan lebih lanjut cara sistem DIDO bekerja. Tetapi pada intinya, di dalam Catalyst Black Anda bisa keluar-masuk suatu pertandingan kapanpun Anda mau.

Saya tidak merasa terlalu takjub ketika awal mencobanya. Karena saya merasa bisa keluar pertandingan kapan saja bukan sesuatu yang spesial. Walau begitu, fitur tersebut tetap berguna terutama untuk menghindari hukuman AFK. Jadi Anda tidak perlu khawatir lagi kalau tiba-tiba disuruh mak membeli beras di warung ketika sedang main. Anda bisa keluar dari pertandingan kapanpun Anda mau dan tidak mendapat hukuman.

Tapi untuk saya yang bermental kompetitif sih, bisa keluar pertandingan kapanpun terbilang kurang terasa bermanfaat. Karena biasanya saya sudah meluangkan satu waktu untuk fokus sepenuhnya bermain game dan menyelesaikan pertandingan. Paling-paling, fitur tersebut baru berguna bagi saya apabila lagi asyik main lalu tiba-tiba ditelpon pacar… Hehe.

Istimewanya dari penerapan fitur tadi adalah kemungkinan untuk gabung pertandingan kawan kapanpun Anda mau. Ketika baru rilis, beberapa pemain sempat kelabakan karena bingung tidak ada fitur Party. Melihat keadaan tersebut, saya lalu mencoba Add Friend secara acak dari kawan-lawan yang saya temui di dalam pertandingan. Ternyata benar, fitur Party memang tidak ada. Tapi sebagai gantinya, kita bisa tahu apabila kawan sedang bermain dan mode permainan apa yang sedang ia mainkan. Apabila Anda ingin mabar, ada tombol Join di sebelah nickname yang langsung membawa Anda ke dalam pertandingan yang sedang dijalani sang teman.

Walau bisa Join kapapnpun yang kita mau, sistem DIDO tidak bisa memastikan apakah kita akan menjadi kawan atau lawan dari teman yang sedang bertanding. Fokus sistem DIDO adalah untuk terus menyeimbangkan pertandingan. Apabila ada satu orang dari fraksi biru keluar dari pertandingan, maka pemain baru yang join akan dimasukkan ke dalam fraksi tersebut demi menyeimbangkan jumlah pemain antar tim di dalam pertandingan.

Hal tersebut mungkin juga jadi alasan kenapa fitur Party jadi tidak ada. Mengapa begitu? Karena fitur Party bisa jadi membuat pertandingan tidak adil. Pemain dalam Party tentu berharap bisa disatukan di dalam satu tim tim.

Jika skenario yang saya sebut di atas terjadi, kehadiran fitur Party bisa saja membuat satu fraksi punya jumlah pemain yang lebih banyak dibanding fraksi lainnya. Kenapa begitu? Karena satu orang yang keluar jadi bisa digantikan dengan beberapa orang sekaligus dari Party. Dampak dari hal tersebut adalah jumlah anggota tim yang bertanding jadi tidak seimbang.

Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Game akan memberi tahu apabila teman dari Friend List bergabung ke dalam pertandingan Anda. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Selain itu, sistem Catalyst Black juga sangat informatif terhadap teman dalam Friend List yang bergabung ke dalam pertandingan. Selain diberi tahu dalam bentuk announcer, sistem juga akan membedakan warna Heatlh Bar teman di dalam Friend List yang bergabung ke dalam pertandingan kita. Berkat sistem ini, pemain jadi punya pilihan “mabar” yang menarik.

Misalkan teman tergabung ke dalam pertandingan sebagai lawan, Anda mungkin bisa cegat pergerakannya dan ajak duel adu tembak teman Anda terlepas dari kondisi yang sedang terjadi di dalam pertandingan.

Misalkan teman tergabung ke dalam pertandingan sebagai kawan, maka Anda jadi bisa koordinasi lebih mudah untuk memenangkan pertandingan. Jadi, bermain bersama kawan di Catalyst Black sebenarnya terbilang cukup mudah. Selain langsung Join dari pertandingan yang sudah berjalan, Anda mungkin juga bisa menyiasatinya dengan cara Find Match secara bersamaan agar tergabung di dalam satu pertandingan yang sama.

Selain bisa keluar dari pertandingan kapanpun Anda mau, saya juga merasa permainan Catalyst Black cenderung mudah dan sangat casual-friendly walaupun memiliki kedalaman mekanik yang bersifat kompetitif.

Berhubung format pertandingan bisa mencapai 10 vs 10, sekadar asal tembak dan membunuh lawan yang ada di hadapan juga sudah tergolong membantu memenangkan permainan. Tidak perlu repot memikirkan objektif apa yang harus direbut ataupun strategi tertentu untuk bisa memenangkan permainan.

Tapi Anda juga bisa main “mikir” dan kompetitif di dalam Catalyst Black. Penyebabnya adalah karena game ini memiliki beberapa objektif yang jelas, sistem Loadout beragam dengan gaya main yang berbeda-beda, dan mekanik permainan yang beragam layaknya sebuah game MOBA.

 

Grafis Ciamik yang Teroptimasi Berkat EVIL Engine

Catalyst Black masih mewarisi peninggalan Vainglory. Catalyst Black menggunakan EVIL Engine yang terkenal bisa memproduksi grafis ciamik serta frame mulus tanpa harus memberi beban yang terlalu berat kepada komponen hardware di dalam smartphone.

Walaupun SEMC tidak merilis kebutuhan minimum hardware smartphone untuk memainkan Catalyst Black, tetapi saya merasa bahwa game ini sangat ringan. Saya sangat jarang merasakan lagframe-drop, ataupun stutter sepanjang saya memainkan Catalyst Black. Padahal, Anda bisa bayangkan sendiri betapa hebohnya efek tembakan, ledakan, dan cabikan dari monster apabila pertarungan 10 vs 10 + monster Alpha Keepers sedang berjalan begitu intens.

Device yang saya gunakan memang tergolong kelas menengah menuju atas yaitu Pocopohone F1 dan Samsung Galaxy A31. Pengaturan grafis default pada Pocophone F1 adalah Medium Detail dan Graphic Scale sebesar 70 poin. Sementara pada Samsung Galaxy 31 saya mendapat pengaturan grafis default berupa Medium Detail dan Graphic Scale sebesar 50 poin.

Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Hadir dengan gaya visual baru, Catalyst Black tetap menyajikan grafis ciamik khas dari game besutan SEMC. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono
Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Contoh lain keindahan visual yang ditampilkan oleh Catalyst Black. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Dengan pengaturan default, saya dapat menikmati Catalyst Black dengan animasi 60 fps yang mulus pada dua smartphone tersebut. Frame Rate game tetap bertahan pada kisaran 60an walaupun pertarungan sedang berjalan dengan intens.

Tapi memang, pengaturan default pada Samsung Galaxy A31 membuat game jadi terlihat “burik”. Model karakter jadi bergerigi dan terlihat “8-bit” walaupun lingkungan game secara keseluruhan masih sedap dipandang. Sementara pengaturan defaut pada Pocophone F1 terbilang tidak banyak memberi masalah. Animasinya mulus dan grafis juga lebih tajam karena tingkat Graphic Scale yang lebih tinggi.

Saya lalu mencoba mengotak-atik grafis sambil mencari pengaturan paling optimal. Saya menggunakan Samsung Galaxy A31 supaya hasil percobaan saya bisa lebih mewakili para pengguna device “kentang”.

Pertama-tama saya mencoba dengan pengaturan grafis rata kanan, High Detail, Graphic Scale sebesar 100 %, dengan Fog of War Smoothing dan High Quality Textures menyala. Hasilnya game jadi kurang playable walaupun grafis jadi sangat memikat. Game jadi kurang playable karena animasi menjadi sangat kasar, mungkin sekitar 10-15 fps. Karena animasinya tidak mulus, memperkirakan gerakan musuh jadi terasa sangat sulit.

Setelah itu saya lalu mencoba menjalankan game dengan Low Detail, Graphic Scale sebesar 100 poin, dengan Fog of War Smoothing dan High Quality Textures menyala. Hasilnya adalah animasi game berjalan mulus 60 fps dengan mempertahankan kualitas grafis.

High Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
High Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 0. Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 0. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Selain itu, saya juga merasa perbandingan kualitas grafis antara pengaturan Low Detail dengan High Quality Detail tidak berbeda jauh. Jadi sepertinya Low Detail dengan Graphic Scale 100 poin adalah pengaturan paling optimal untuk mendapatkan grafis paling ciamik dengan animasi paling mulus. Perbandingannya bisa Anda lihat sendiri pada kumpulan tangkapan gambar saya di atas paragraf ini.

Selain opsi tersebut, pengaturan Fog of War Smoothing dan High Quality Textures sepertinya tidak terlalu mempengaruhi performa game. Saya jadi berpendapat demikian karena animasi game tetap kasar walaupun dua opsi tersebut dimatikan saat saya menggunakan pengaturan rata kanan. Pada sisi lain, animasi game tetap halus ketika saya menyalakan dua opsi tersebut pada pengaturan Low Detail.

 

Sistem Loadout Dengan Potensi Menjadi Game Pay to Win?

Catalyst Black menggunakan sistem Loadout yang bisa diganti-ganti sebelum Anda terjun ke dalam pertempuran. Selain jenis senjata, ada banyak komponen lain pada karakter Anda yang bisa diganti. Cloaken menjelaskan sistem Loadout dengan tingkat kustomisasi yang beragam tersebut dibuat dengan maksud agar pemain jadi bisa merasakan pengalaman membuat “Hero MOBA mereka sendiri”.

Anda mau main layaknya Assassin? Main layaknya Marksmen? Atau main seperti Tanker? Tinggal pilih saja Loadout untuk menyesuaikan gaya main Anda. Loadout memiliki 7 komponen yang dapat diganti. Ada Masks, Power, Relic, Abilty, Trinket, Primary, dan Heavy.

Primary dan Heavy adalah senapan utama dan sekunder. Senjata utama bisa berupa senapan Rifle, Sniper, Shotgun, Rocket Launcher, Flak, atau Mortar. Mirip seperti game Shooter lain, senjata Primary akan habis pelurunya setelah digunakan untuk beberapa saat. Pemain harus reload untuk mengisi ulang senjata dan bisa melanjutkan tembakkan. Heavy adalah senjata sekunder. Tipe senjatanya masih mirip dengan Primary, hanya saja punya damage yang lebih besar. Senjata Heavy baru bisa digunakan setelah Anda mengumpulkan “loot” peluru di dalam peperangan.

Tangkapan Pribadi Akbar Priono
Tangkapan Pribadi Akbar Priono

Masks ibarat seperti skill ulti di dalam game MOBA. Masks memungkinkan pemain berubah menjadi Ancient Primal, monster besar dengan kemampuan perusak yang kuat. Ketika memulai permainan, Masks akan cooldown selama beberapa ratus detik. Cooldown tersebut dapat berkurang apabila Anda mengumpulkan semacam loot energi di dalam peperangan. Hanya ada 5 jenis Masks di Catalyst Black. Masing-masing Ancient Primal punya karakteristik yang berbeda-beda. Sebagai awalan Anda menggunakan Sunder, Ancient Primal dengan serangan melee berupa cakaran yang kuat.

Selanjutnya, Power, Relic, Ability, dan Trinket sebagai pelengkap pertarungan Anda. Ability dan Trinket adalah pelengkap untuk bertarung dalam wujud manusia. Ability memberikan kemampuan tambahan kepada pemain. Ability yang diberikan di awal permainan adalah Catalytic Heal yang bisa menyembuhkan kawan di dekat Anda. Trinket ibarat seperti skill pasif di dalam game MOBA. Secara default Anda akan diberikan Belt of Phasing yang akan memberi Anda Shield setelah melakukan dodge.

Pada sisi lain, Power dan Relic adalah pelengkap pertarungan dalam wujud Ancient Primal. Power adalah pilihan skill yang bisa Anda gunakan ketika dalam wujud Ancient Primal. Secara default, Power Anda adalah Leap Slam yang memungkinkan Sunder melompat dan memberi damage mematikan ke arah lawan. Terakhir ada Relic yang mirip seperti skill pasif MOBA. Namun bedanya Relic hanya aktif ketika Anda dalam wujud Ancient Primal. Secara default Anda memiliki Relic bernama Feral Inspiration yang membuat kawan di sekitarnya memberikan damage lebih besar saat Anda dalam wujud Sunder.

Masing-masing Loadout bisa di-upgrade untuk menambah damage dan bonus stats yang diberikan. Masing-masing Loadout juga bisa ditempeli Mod untuk memberi tambahan kekuatan pasif.

Selain itu, masing-masing Loadout juga memiliki beberapa variasi. Namun variasi tersebut hanya bisa dibuka melalui progress permainan atau membeli. Karena Anda bisa membeli untuk membuka variasi kemampuan tambahan, banyak yang merasa kalau Catalyst Black punya kecenderungan pay-to-win.

Walau begitu saya merasa ungkapan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Mungkin akan lebih tepat kalau dikatakan sebagai pay-to-progress. Mengapa demikian? Karena kemenangan Anda tidak terjamin 100% walaupun Anda membeli bundel Luma Issia Set yang harganya hampir mencapai Rp1,5 juta di dalam game.

Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Tapi, kesempatan menang Anda mungkin jadi lebih besar. Penyebabnya adalah karena dalam paket tersebut Anda mendapat variasi Masks, Power, Relic, Primary dan Heavy Weapon, serta Mod yang cenderung lebih kuat dibanding persenjataan Default. Walaupun begitu, pertarungan di dalam Catalyst Black tetaplah tim melawan tim, 10 vs 10. Satu orang dengan persenjataan yang sangat kuat belum tentu bisa mengalahkan semua pemain di dalam peperangan secara sekaligus.

Mungkin bisa dibilang monetisasi yang dilakukan SEMC dalam Catalyst Black mirip seperti Supercell dalam Brawl Stars. Tanpa membeli sekalipun, kekuatan karakter Anda masih bisa meningkat. Tapi jika Anda membeli, maka kekuatan karakter Anda akan meningkat lebih cepat. Mungkin satu-satunya yang kurang menyenangkan dari sistem monetisasi ini adalah pembatasan progress yang bisa didapatkan pemain dalam satu hari.

SEMC menerapkan semacam sistem “energi” di dalam Catalyst Black. Dalam keadaan energi penuh, Anda akan mendapatkan XP perlengkapan yang lebih banyak apabila menang pertandingan.

Tapi kalau energi sudah habis, XP yang Anda dapat akan menjadi sangat dikit sekali. Selain itu SEMC juga menerapkan sistem Quest harian yang terbilang terlalu sedikit. Hanya ada dua Quest yaitu First Win of the Day dan dapatkan 3 Win dalam satu hari. Selain itu ada Quest Mingguan yang cuma satu buah dan bahkan bisa diselesaikan dalam satu hari jika Anda niat. Quest berhadiah Dust dan Quint. Dust bisa digunakan untuk menaikkan level senjata sementara Quint bisa digunakan untuk membeli variasi Loadout.

Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Daftar Quest harian. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Hadiah yang didapat dari Quest harian. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Bundle perkenalan seharga Rp15.000 yang isinya kurang memuaskan. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Berhubung semua kemungkinan progress sangat dibatasi, maka ada kemungkinan pemain yang bersifat kompetitif jadi terpancing untuk membeli demi bisa membuat karakter jadi lebih kuat. Saya sempat mencoba membeli Bundle “perkenalan” seharga Rp15.000.

Hasilnya saya sangat tidak puas karena bundle tersebut hanya membuka sedikit variasi Loadout yang ada di dalam permainan. Jadi… Mungkin Anda benar-benar harus membeli bundle seharga Rp1,5 juta apabila ingin punya banyak variasi Loadout di dalam peperangan.

Apakah sistem tersebut membuat Catalyst Black menjadi pay-to-win? Saya sih masih kurang setuju karena sejauh ini pertandingan masih berjalan dengan seimbang walau mungkin ada beberapa pemain punya Loadout lebih bervariasi karena uang.

Selain itu, Loadout yang lebih kuat dan bervariasi juga tidak menjamin kemenangan. Karena pada kenyataanya Anda masih tetap butuh skill, strategi, dan pemahaman terhadap permainan untuk bisa memenangkan pertandingan. Mungkin nanti pendapat saya akan berubah kalau ternyata saya terus-terusan kalah dengan pemain yang top-up Rp1,5 juta… Hehe.

 

Melihat Kemungkinan Catalyst Black Sebagai Esports

Di zaman serba esports seperti sekarang, sepertinya tidak salah untuk mempertanyakan kemungkinan dari Catalyst Black sebagai esports. Jika melihat dari sudut pandang gameplay, menurut saya jawabannya adalah sangat mungkin. Malah, Catalyst Black bisa menawarkan konsep esports yang unik karena mode pertandingannya bisa mencapai 10 vs 10. Selain itu, penyebab lainnya adalah karena bermain Catalyst Black mengharuskan para pemainnya memiliki kemampuan makro seperti taktik dan strategi, serta kemampuan mikro seperti kemampuan kalkulasi dan pemahaman mekanik menggunakan skill.

Tetap jika kita melihat dari sisi kesiapan game-nya itu sendiri, saya bisa bilang bahwa esports Catalyst Black sepertinya masih jauh dari pandangan SEMC. Bukti pernyataan saya tersebut bisa terlihat salah satunya dari mode Custom Game yang masih belum tersedia pada fase Geo-Beta Indonesia saat ini. Selain itu Cloaken juga sempat menjelaskan kepada saya bahwa fokus pihak SEMC untuk saat ini adalah menciptakan sebuah game yang solid terlebih dahulu.

Tidak heran juga apabila SEMC memilih untuk tidak terburu-buru menuju ke esports dalam prosesnya mengembangkan Catalyst Black. Hal tersebut mengingat pengalaman mereka bersama Vainglory yang justru malah jadi gagal berantakan ketika SEMC terlalu banyak berinvestasi untuk esports. Terlepas dari semua itu, saya sendiri sangat berharap suatu hari nanti bisa ada esports Catalyst Black. Gameplay-nya yang unik dan format pertandingannya yang beda, menurut saya, membuat Catalyst Black akan memiliki daya tarik baru di dalam ekosistem esports nantinya.

Mantan Developer Vainglory Dapat Investasi Rp37,7 Miliar

Bazooka Tango, game studio yang dibuat oleh dua pendiri Super Evil Megacorp, baru saja mendapatkan kucuran dana sebesar US$2,5 juta (sekitar Rp37,7 miliar). Ronde pendanaan kali ini dipimpin oleh BITKRAFT Esports Ventures, didukung oleh MTG, Mergelane, dan beberapa investor lain.

Proyek pertama Bazooka Tango masih memiliki kaitan dengan Vainglory, yaitu Vainglory All Stars, multiplayer mobile game yang menggunakan format 3v3. Game tersebut akan dibuat menggunakan game engine Evil milik Super Evil Megacorp. Ini memungkinkan timBazooka Tango untuk membuat game dalam waktu cepat. Meski hanya terdiri dari 10 orang, tim Bazooka memperkirakan bahwa mereka hanya membutuhkan beberapa minggu untuk membuat game yang bisa langsung diuji.

“Vainglory adalah properti intelektual dengan dunia yang kelam,” kata Bo Daly, CEO Bazooka Tango yang juga pernah menjabat di posisi yang sama di Super Evil Megacorp, lapor VentureBeat. “Tapi, kami akan menggunakan gaya cerita dan variasi warna yang berbeda kali ini.” Dari segi grafik, Vainglory All Stars memiliki gaya kartun layaknya Fortnite dan bukannya realis seperti Call of Duty.

bazooka tango investasi
CEO Bazooka Tango, Bo Daly. | Sumber: Bazooka Tango via VentureBeat

Selain Vainglory All Stars, Bazooka Tango juga akan membuat properti intelektual baru. Mereka berencana untuk membuat mobile game dengan berbagai genre, mengadaptasi game PC dan konsol populer menjadi mobile game, dan membuat game yang menggabungkan beberapa genre. Daly menjelaskan, jika Super Evil Megacorp fokus untuk mengembangkan game dengan teknologi paling canggih, Bazooka Tango akan fokus untuk membuat game yang bisa dimainkan oleh banyak orang.

“Kita memasuki puncak kejayaan dari mobile game,” ujar Daly. “Dan saya telah memperkirakan hal ini sejak lama, bahwa fokus industri game akan berpindah ke mobile. Namun, sekarang, kami merasa bahwa hal ini memang telah mulai terjadi. Ada banyak mobile game bernilai miliaran dollar seperti Honor of Kings, Free Fire, dan mobile game lain yang berkembang menjadi game esports. Game-game tersebut bisa menyediakan pengalaman bermain game multiplayer secara real-time. Dan pasar inilah yang kami coba sasar.”

bazooka tango investasi
Stephan Sherman. | Sumber: Bazooka Tango via VentureBeat

Untuk mendirikan Bazooka Tango, Daly juga mengajak Stephan Sherman, yang pernah menjabat sebagai Chief Creative Officer di Super Evil Megacorp dan kini memegang dua jabatan di Bazooka Tango, yaitu sebagai Chief Technology Officer dan Chief Product Officer, seperti yang disebutkan oleh Games Industry.

“Kami menghabiskan waktu delapan tahun untuk membangun dan mengoperasikan Vainglory sebagai game MOBA untuk PC dan mobile,” kata Daly. “Saya dan Stephan melihat kesempatan untuk merombak tim kami dan membawa orang baru. Kami merasa, pasar mobile game tengah berubah, sesuai dengan apa yang telah kami duga sebelum ini.” Lebih lanjut, dia menjelaskan, “Sebagai industri, kita harus dapat membuat game AAA yang memang dibuat khusus untuk perangkat mobile. Itu artinya, Anda tidak lagi bisa sekedar meniru game PC ke mobile.”

Super Evil Megacorp Umumkan Akan Hanya Beri “Dukungan” Untuk Esports Vainglory

Esports telah menjadi salah satu marketing tools yang efektif untuk memasarkan game ke berbagai khalayak belakangan ini. Apalagi untuk jenis game yang sifatnya kompetitif, seperti genre MOBA. Bahkan ada yang berpendapat bahwa jenis game tersebut terasa tidak lengkap, jika tidak ada esports yang membantu memupuk perkembangan game tersebut.

Kendati demikian, Super Evil Megacorp, pengembang yang pertama kali merilis MOBA untuk perangkat bergerak, kini memutuskan untuk tidak lagi mengembangkan esports Vainglory secara aktif. Dalam sebuah post ia mengatakan bahwa SEMC akan mengambil peran suportif atau hanya memberi dukungan saja di dalam scene esports Vainglory.

Foto tim dev Super Evil Megacorp tahun 2017, saat baru pertama kali menerima pendanaan. Sumber: SEMC Official Media
Foto tim dev Super Evil Megacorp tahun 2017, saat baru pertama kali menerima pendanaan. Sumber: SEMC Official Media

Lebih lanjut, dalam postingan blog resmi tersebut, SEMC mendorong penyelenggara pihak ketiga untuk tetap menyelenggarakan kompetisi Vainglory. Nantinya, SEMC akan memberikan dukungan apapun yang bisa diberikan kepada sang penyelenggara, sementara mereka akan memfokuskan diri untuk mengembangkan game Vainglory itu sendiri.

Kejadian ini mungkin bisa dibilang sebagai puncak dari rentetan kejadian tidak menguntungkan yang menimpa Super Evil Megacorp saat mengembangkan Vainglory. Dalam artikel Hybrid yang berjudul “Senjakala Esport Vainglory: Sang Pionir yang Kini Kian Tertinggal”, saya menjelaskan bagaimana perjalanan Vainglory mulai dari puncak masa kejayaannya, sampai memasuki masa-masa berat yang dialami setelah perilisan 5v5.

Vainglory memulai perjuangannya sebagai pionir yang menciptakan scene esports pada perangkat bergerak, namun kini jadi yang paling tertinggal di antara semua MOBA perangkat bergerak lainnya. Menanggapi hal ini, Herry “Herrboy” Sudharma yang dahulu sempat aktif di komunitas Vainglory Indonesia dengan menjadi caster dan bahkan sempat menjadi pemain, turut memberikan komentarnya.

Herrboy (left) with 2 VG shoutcasters. Source: revivaltv.id
Herrboy (kiri) dengan 2 shoutcasters VG lainnya. Sumber: revivaltv.id

“Jujur gue sendiri sangat sedih mendengar ini, karena Vainglory adalah game yang mengubah hidup gue. Jadi bisa kenal banyak orang mulai player Indonesia dan internasional, kenal dengan beberapa orang SEMC dan beberapa orang yang terlibat di belakang layar event esports. Terlebih juga karena Vainglory gue dapat kesempatan berkecimpung di dunia esports sebagai player dan caster. Gue cukup yakin ini adalah keputusan sulit yang harus diambil SEMC. Tapi yang gue yakin, ini adalah keputusan terbaik untuk saat ini, baik untuk SEMC ataupun para pro player” Jawab Herry sedikit sentimental dengan pengalamannya di scene esports Vainglory.

Lalu apakah dengan ketiadaan esports akan membuat Vainglory benar-benar menjadi dead game? Pendapat Herry senada dengan apa yang saya pikirkan, bahwa esports nyatanya hanyalah sebagian kecil dari game itu sendiri. “Banyak game yang bisa bertahan meski tanpa esports. Contohnya saja seperti Clash of Clans yang bertahan hanya karena dikelola dengan baik. Positifnya adalah, walau SEMC tidak lagi mengadakan esports, namun mereka tetap mendukung gelaran esports dari komunitas; yang harapannya akan menjaga para player Vainglory untuk tetap main. Lebih jauh, kalau melihat dari sekarang memang masa depan Vainglory jadi makin sulit mengingat genre MOBA kalah pamor dengan battle royale. Tapi gue yakin SEMC pasti punya strategi agar game ini bisa tetap survive di masa depan.”

Awal senjakala Vainglory adalah tahun 2018, ketika mereka merilis 5v5. Setelah itu, mereka cukup kewalahan untuk menyeimbangkan mode baru tersebut, sampai akhirnya memutuskan untuk memberikan kepercayaan esports Vainglory pada pihak ketiga. Transisi tersebut tidak berjalan dengan baik, sampai akhirnya SEMC memutuskan mundur perlahan dari aktivitas esports Vainglory. Kristian Segerstale, CEO SEMC, bahkan mengakui bahwa tahun 2018 adalah tahun yang berat bagi esports Vainglory. Ia mengatakan kepada The Esports Observer bahwa tahun 2018 sebagai “a painful year of adjustment” atau tahun transisi yang sangat berat.

Tumbangnya scene esports Vainglory memunculkan pertanyaan tersendiri bagi kita yang mungkin hanya bisa mengamati ekosistem esports. Jadi, apakah sebuah game harus ramai untuk menjadi esports, atau harus ada esports supaya game tersebut menjadi ramai?

The Gloomy Days of Vainglory Esport: The Pioneer that’s Left Behind

In 2014, mobile gaming wasn’t really popular like today because of many factors, one of them was technology, and even mobile gamers were discriminated by other common gamers, not being considered as gamers as most of the games were casual without a depth of a story or magnificent graphics.

Yet it didn’t stop there, there was this terrific game developer working together from different backgrounds as a team established Super Evil Megacorp (SEMC). They created a game that no one could think of that time; a mobile game with stunning graphics like games on console or PC, a real-time play MOBA game named Vainglory.

On its released date, Vainglory attracted thousands of people in a blink. That could be imagined, as the old-time mobile games only gave us some slicing fruits and endless running experience when suddenly a competitive game launched on mobile.

Vainglory: The First MOBA on Mobile

Source: vainglorygame.com
Source: vainglorygame.com

To be honest, Vainglory was not really the first MOBA on mobile, since there was another game like Heroes of Order and Chaos developed by Gameloft. One thing I agree with SEMC, however, is that Vainglory is the first MOBA mobile game featuring a unique gameplay, intuitive controls, and deep mechanics enough to make competitive MOBA players filled with curiosity; or it can be said as the first most perfect MOBA in its day.

Vainglory was released in 2014, and its first appearance was on iPhone 6 Apple product presentation. The presentation without a doubt left smartphone users open-mouthed, as it was the first mobile game having 60 FPS, graphics with details, particle effects, and complex animation.

This game became the center of attention in no time at all, even one of the famous YouTubers played it as well. PewDiePie once played Vainglory and uploaded the video of his playing the game on August 1, 2015. Quoted from one of reputable technology media, VentureBeat, Vainglory successfully reached out 1.5 million monthly active players per July 1, 2015.

This success moved SEMC’s heart to take further steps, trying to follow League of Legends and Dota 2 success by developing Vainglory esports.

The First Mobile Esports in the World and Indonesia

Source: fortune.com
Source: fortune.com

After gaining success from its first released in 2014, Vainglory started to explore the esports world a year after; in Mei 2015 to be exact. They started collaborating with various esports world’s ecosystem at once, ESL and OGN Korea were the two of them.

Quoted from Fortune, Vainglory successfully drew as many as one million audiences through a local league competition in South Korea named Korean eSports League OGN Vainglory Invitational in July 2015.

More after that, an esports event named Vainglory Premiere League in September 2015 offered a total reward of US$80,000 and participated by 12 teams from four regions (North America, China, Korea, and Europe). It perpetuated Vainglory as the first and biggest mobile game esports of its time.

Vainglory itself began to be a hit in Indonesia in 2017, and it’s been known since Indonesia Games Championship 2017 and Vainglory 8 Summer Championship Jakarta. In the same year, Indonesia was just celebrated their Elite8 esport team that was managed to qualify for the international level of Vainglory 8 Spring Championship Manila. More to that, the biggest community gathering, Halcyon Gathering 2.0, was held in Indonesia in 2017 as well.

MOBA Mobile of East Asia and 5v5 Appearance

Source: vainglorygame.com
Source: vainglorygame.com

Still in 2017, Vainglory esports was on its most glorious day in Indonesia. Unfortunately, SEMC was somehow distracted from this China’s MOBA Mobile which successfully stole many of Indonesian gamers’ hearts. It was 2017 when Mobile Legends gained gamers’ and Indonesia esports industry’s attention.

The potential of Mobile Legends esports was first seen in the qualification and main event of Mobile Legends SEA Cup (MSC 2017), and it had made the venue full and packed; Gandaria City for the qualification and Mall Taman Anggrek for the Grand Final. Other than Mobile Legends, Garena Indonesia was also preparing something.

Source: revivaltv.id
Source: revivaltv.id

Garena wanted to release a global version of MOBA which had been a favorite of many people in China, Kings of Glory. It was finally released in Indonesia with a name of Mobile Arena and then changed its name to Arena of Valor in August 2017. Those games attracted the attention of many gamers because of its lower graphics on Indonesian’s smartphone, simpler gameplay, and easy to be learned by various range of groups.

Vainglory Worlds 2017, SEMC finally released Vainglory 5v5 which triggered controversy among communities. Some of them considered that 3v3 depended too much on individual skill making the game quite dull, while some others considered that 5v5 omitted main characteristic of Vainglory. Vainglory had to be faced with a dilemma because of that different opinions.

The Gloomy days of Vainglory esports in 2018

Source: gankstars.gg
Source: gankstars.gg

In 2018, MOBA Mobile and mobile esports were rising, but what about Vainglory? It’s funny how Vainglory esports was apparently dead both globally and in Indonesia.

Globally, Vainglory esports began to break down when many organizations withdrew. Teams like Gankstars, Cloud9, and TeamSoloMid even shut their Vainglory division. FlashX also spoke about this to respond to communities’ hysteria by saying that Super Evil Megacorp cut Vainglory esports’ budget, and it was the reason behind the problems.

How about Indonesia? Thanks to the third party’s support, fortunately, competitive arena of Indonesia’s Vainglory was still steady. Kaskus Battleground Season 1 filled in the Vainglory esports calendar in early 2018. In the mid-year and the end of the year, there was the Vainglory Premiere League Indonesia which was an esports league of Vainglory held online by AGe Network team, and the year was closed by Elite8 team’s endeavor at Asia level in WESG 2018 competition.

Herrboy (left) with 2 VG shoutcasters. Source: revivaltv.id
Herrboy (left) with 2 VG shoutcasters. Source: revivaltv.id

Herry ‘Herrboy’ Sudharma, as one of the shout casters and Vainglory esports actors in Indonesia, spoke up regarding the problems. He said that one of the biggest problems was the higher level of difficulty of Vainglory than other MOBA mobile, and the game required a higher smartphone specification as well. It made mobile gamers unwilling to play Vainglory which gave a domino effect to Vainglory esports.

Daniel ‘Deipno’ Lam, one of the Vainglory senior casters, also added that Vainglory was nearly dead in 2018 because SEMC seemed like taking a wrong step. Since 2017, the potential of Vainglory player base in Indonesia was clearly seen through Halcyon Gathering 2.0 which was attended by thousands of people. However, instead of putting the marketing focus in the SEA market, in Indonesia particularly, SEMC insisted to concentrate their Vainglory marketing in the United States and Europe.

Source: duniagames.co.id
Source: duniagames.co.id

In terms of players, Heinrich ‘OfficialHein’ Ramli, as an Indonesian Vainglory star player and one of the most commendable in developing Vainglory esports in Indonesia, said that it’s true that SEMC had a big role in the gloomy days of Vainglory esports. Hein, as an athlete of Vainglory and the owner of Elite8 team, said that SEMC didn’t really communicate well with the team and community, which then made Vainglory esports in Indonesia disregarded.

Vainglory Cross-platform and its Esports Future Prediction

Source: duniagames.co.id
Source: duniagames.co.id

The glory day of Vainglory was there because SEMC pushed the smartphone capability to the maximum, creating a console or PC class game that could be played in your hand. In the end of 2018, SEMC tried to recite the innovation by creating a campaign of Vainglory X, the first MOBA cross-platform that would be able to bring players from mobile, PC, or console together in a match.

On VentureBeat, CEO of SEMC Kristian Segerstrale said that multi-platform games were the future of gaming. However, it indeed brought big questions and doubts because Vainglory’s appearance on PC meant that they’d be brought to the more difficult business competition: challenging the two giants of MOBA PC, Dota 2 and League of Legends.

Herrboy once again spoke about a cross-platform prediction and the return of Vainglory’s glory in 2019 both in player base and esports. He thought that it depended on SEMC’s decision, whether they would like to raise Vainglory esports once again or not. Given that Fortnite has used this cross-platform system successfully, they successfully created a huge player base even without international esports event.

Do SEMC capable to repeat the victory in Vainglory Worlds 2017 that breaks the record of Twitch spectators. Source: redbull.com
Do SEMC capable to repeat the victory in Vainglory Worlds 2017 that breaks the record of Twitch spectators. Source: redbull.com

All in all, what SEMC would like to achieve was for Vainglory to be played by many people again. Regarding this matter, I, to be honest, am pessimistic. Why? Because first, Vainglory’s very presence on PC would make SEMC have to face the notable MOBA games themselves and the competition would be more difficult.

Second, I quite agree with the community’s opinion and what Deipno said that all this time, SEMC seemed not really showing determination in selling Vainglory, especially in Asian and SEA market. If they insisted to use cross-platform system without running an active marketing activity, then the number of Vainglory players wouldn’t have much changes.

What about esports? Seeing SEMC focusing more on the development of cross-platform, I’m not really sure that Vainglory esports would happen in 2019. Because even if the campaign of Vainglory cross-platform successfully increased a number of players, there wouldn’t be any hope to once again witness the thrill of action of the first-class Vainglory players if SEMC didn’t want to hold an esports.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian.

Vainglory Hadir di Steam, Cross-Platform Masa Depan Esports MOBA?

Bicara soal gaming walau kedengarannya sederhana, namun kadang jadi rumit gara-gara banyaknya platform yang ditawarkan. Ada PC, konsol, dan mobile. Beberapa developer kadang meluncurkan game buatan mereka secara eksklusif pada platform tertentu; yang membuat gamers jadi tambah pusing memilih di mana mereka akan main. Tapi apa jadinya kalau ada game yang bisa dimainkan di segala platform?

Fortnite sudah mencoba melakukannya. Menjadi game Battle Royale yang bisa dimainkan di platform manapun berhasil membuat Fortnite jadi fenomena sosial sendiri di pasar barat sana. Mencoba meniru kesuksesan tersebut, salah satu dedengkot MOBA di mobile, Vainglory kini juga menjadi cross-platform dan resmi rilis di Steam pada hari ini (14 Februari 2019).

Sebelumnya, pengumuman tersebut sudah dilakukan oleh Super Evil Megacorp, lewat campaign yang disebut sebagai Vainglory X. Setelah beberapa saat melakukan pengujian lewat fase alpha build, kini akhirnya Vainglory mempublikasikan gamenya lewat platform Steam bersamaan dengan kehadiran update 4.0.

https://twitter.com/vainglory/status/1095791001623515139

Update 4.0 ini menghadirkan berbagai macam hal. Dari segi konten, ada hero baru bernama San Feng, berbagai skin untuk para hero, emote ping baru, dan lain sebagainya. Update konten lain yang juga dihadirkan adalah perubahan game mode, yang menghilangkan 3v3 casual, sehingga kini mode yang teredia adalah 5v5 casual & ranked, 3v3 ranked, rumble, dan blitz.

Kehadiran Vainglory pada platform Steam juga disertai dengan beberapa perubahan dari segi user interface untuk cross-platform. Beberapa perubahan ini dilakukan dengan fokus menciptakan tampilan menu yang nikmat dipandang bagi pemain di manapun platform tempat ia main. Dengan Vainglory kini hadir di Steam, pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, bagaimana dengan esports Vainglory?

Selama ini belum pernah ada satu kali pun kompetisi esports yang diselenggarakan secara Cross-Platform. Vainglory sudah melakukannya, tapi hanya sebagai pertunjukkan saja atau yang biasa disebut sebagai showmatch. Kompetisi Fortnite saja tetap diadakan di PC meski game mereka sudah mendukung sistem cross-platform. Meski begitu, belum pernah dilakukan bukan berarti ide yang buruk untuk dilakukan.

Sumber
Vainglory yang bisa dimainkan dengan mouse dan keyboard di Samsung DEX adalah percobaan pertama SEMC untuk menciptakan MOBA antar platform. Sumber: Super Evil Megacorp Blog

Saya sempat membahas bagaimana Vainglory yang dulu merajai kini tertinggal jauh dari para juniornya. Pada artikel tersebut, saya menyatakan opini bagaimana Vainglory menang pada masanya karena langkah berani untuk mendobrak inovasi gaming pada platform mobile. Maka kehadiran cross-platform di Vainglory kini, yang mungkin adalah usaha Super Evil Megacorp pertahankan budaya inovasi, bisa jadi kunci kesuksesan mereka berikutnya.

Lalu bagaimana dari segi esports? Kalau boleh jujur, menurut saya tak ada banyak hal yang bisa ditawarkan dari program hiburan esports dengan ragam device PC, mobile, konsol. Kenapa? Karena porsi utama hiburan esports adalah tayangan in-game, bukan tayangan orang yang sedang memainkannya.

Namun, itu mungkin itu hanya opini kecil dari saya yang belum bisa melihat potensi bisnis esports dari sistem cross-platform ini. Mungkin bisa jadi, dengan sistem cross-platform, SEMC jadi bisa melakukan kerjasama dengan sponsor endemik yang lebih beragam, bisa menyandingkan sponsor pc gaming dan vendor smartphone.

Mungkin bisa jadi esports cross-platform menciptakan talent pool lebih besar. Jadi lebih banyak pemain, lebih banyak pro player, ekosistem esports Vainglory jadi lebih subur. Siapa yang tahu, kalau ternyata sistem cross-platform bakal jadi masa depan esports game MOBA.

Senjakala Esport Vainglory: Sang Pionir yang Kini Kian Tertinggal

Tahun 2014 lalu, mobile gaming belum heboh seperti sekarang karena banyak faktor, teknologi salah satunya. Bahkan mobile gamers kerap didiskriminasi gamers secara umum, dianggap bukan gamers karena game mobile kebanyakan casual, tanpa ada kedalaman cerita, ataupun grafis megah.

Namun kala itu ada satu pengembang game andal bersatu padu dari berbagai latar belakang bekerja sama menciptakan Super Evil Megacorp (SEMC). Mereka menciptakan sebuah karya yang tak terpikirkan di masanya: sebuah game mobile dengan grafis memukau layaknya di konsol atau PC, sebuah game MOBA yang dimainkan bersamaan secara real-time bernama Vainglory.

Pada saat perilisannya, Vainglory segera menarik perhatian jutaan pasang mata. Bayangkan saja, game mobile yang ketika itu hanya game mengiris-iris buah ataupun berlari tanpa akhir sampai bosan mendadak berubah menjadi sebuah game yang begitu kompetitif.

Vainglory The First MOBA on Mobile

Sumber: vainglorygame.com
Sumber: vainglorygame.com

Kalau boleh jujur, Vainglory sebenarnya tidak bisa sepenuhnya dikatakan sebagai yang pertama, mengingat sudah ada game seperti Heroes of Order and Chaos besutan Gameloft. Namun satu hal yang saya sepakat dengan SEMC adalah bahwa Vainglory merupakan game MOBA mobile pertama dengan gameplay yang unik, kontrol intuitif, namun memiliki kedalaman mekanik yang cukup membuat pemain MOBA kompetitif jadi penasaran; atau bisa dibilang MOBA paling sempurna pertama pada masanya.

Rilis pertama tahun 2014, Vainglory pertama kali tampil dalam presentasi produk Apple iPhone 6. Presentasi tersebut segera memukau para pengguna smartphone karena secara grafis, Vainglory adalah game pertama yang berjalan secara 60 FPS, punya grafis detil, lengkap dengan efek particle dan animasi yang kompleks.

Game ini segera menjadi pusat perhatian, bahkan ketika itu salah satu Youtuber tersohor pun turut memainkannya. PewDiePie sempat bermain Vainglory dan mengunggahnya pada 1 Agustus 2015 lalu. Mengutip salah satu media teknologi ternama VentureBeat, Vainglory berhasil mencapai 1,5 juta pemain aktif bulanan pada 1 Juli 2015 saat baru dirilis.

Kesuksesan ini menggerakan Super Evil Megacorp ke langkah berikutnya. Mencoba meniru kesuksesan League of Legends dan Dota 2, mereka pun mencoba mengembangkan esports Vainglory.

Menjadi esport Mobile Pertama di Dunia dan Indonesia

Sumber: fortune.com
Sumber: fortune.com

Setelah menuai kesuksesan dari perilisan pertamanya di tahun 2014, Vainglory akhirnya mulai menjajaki dunia esport satu tahun berikutnya; tepatnya pada Mei 2015. Ketika itu mereka segera melakukan kerja sama dengan berbagai ekosistem dunia esports, ESL dan OGN Korea salah satunya.

Mengutip Fortune, lewat sebuah kompetisi liga lokal Korsel bertajuk Korean eSports league OGN Vainglory Invitationals pada bulan Juli 2015, Vainglory meraup penonton sampai dengan satu juta orang.

Tak lupa juga gelaran Vainglory Premiere League di September 2015 yang menawarkan total hadiah US$80 ribu dan diikuti oleh 12 tim dari empat kawasan (Amerika Utara, Tiongkok, Korea, dan Eropa) semakin melanggengkan Vainglory sebagai esport mobile games pertama dan terbesar di masanya.

Sementara itu Vainglory sendiri mulai memanas di Indonesia saat tahun 2017. Ketika itu ada Indonesia Games Championship 2017 dan Vainglory 8 Summer Championship Jakarta. Bahkan ketika itu Indonesia baru saja berbangga setelah lolosnya tim Elite8 ke jenjang internasional lewat Vainglory 8 Spring Championship Manila. Tak lupa juga ajang kumpul komunitas terbesar, Halcyon Gathering 2.0, ketika itu juga terjadi di Indonesia.

Gempuran MOBA Mobile Asia Timur dan Munculnya 5v5

Sumber: vainglorygame.com
Sumber: vainglorygame.com

Masih pada tahun 2017, esports Vainglory di Indonesia terbilang dibilang sedang panas-panasnya. Sayangnya, SEMC ketika itu seolah abai dengan gempuran MOBA Mobile asal Tiongkok yang berhasil mengambil hati banyak gamers di Indonesia. Tahun 2017 adalah tahun ketika Mobile Legends mendapatkan banyak perhatian gamers dan industri esports Indonesia.

Potensi esports Mobile Legends terlihat pertama kali saat kualifikasi dan acara utama Mobile Legends SEA Cup (MSC 2017). Event tersebut berhasil membuat venue jadi penuh sesak, yaitu di Gandaria City pada saat kualifikasi dan Mall Taman Anggrek pada saat acara Grand Final. Selain Mobile Legends, Garena Indonesia di sisi lain juga tengah mempersiapkan sesuatu.

Sumber: revivaltv.id
Sumber: revivaltv.id

Garena ingin merilis versi global dari MOBA yang selama ini jadi favorit banyak orang di Tiongkok sana, Kings of Glory. Game tersebut akhirnya rilis di Indonesia dengan nama Mobile Arena dan berganti menjadi Arena of Valor pada Agustus 2017 lalu. Kedua game ini segera menyedot perhatian banyak gamers karena grafis yang lebih enteng di smartphone orang Indonesia, gameplay yang lebih sederhana, dan mudah dipelajari oleh berbagai kalangan. 

Vainglory Worlds 2017, SEMC akhirnya merilis Vainglory 5v5 yang segera memunculkan kontroversi di kalangan komunitas. Ada yang menganggap 3v3 terlalu bergantung pada skill individu yang membuat permainan jadi membosankan dan ada juga yang menganggap 5v5 menghilangkan ciri khas dari Vainglory. Hal ini pada akhirnya menciptakan sebuah dilema tersendiri bagi Vainglory.

Senjakala esport Vainglory di Tahun 2018

Sumber: gankstars.gg
Sumber: gankstars.gg

Berlanjut ke tahun 2018 yang sebenarnya menjadi kebangkitan MOBA Mobile dan mobile esports secara keseluruhan, bagaimana dengan Vainglory? Lucunya tahun 2018 malah jadi momen mati suri Vainglory esport secara global maupun Indonesia.

Secara global, esports Vainglory mulai gonjang-ganjing ketika banyak organisasi mundur. Tim seperti Gankstars, Cloud9, bahkan TeamSoloMid menutup divisi Vainglory mereka. Menanggapi kepanikan komunitas, FlashX pun angkat bicara terkait hal ini. Ia mengatakan bahwa memang Super Evil Megacorp memotong anggaran esport Vainglory yang akhirnya menciptakan permasalahan tersebut

Bagaimana dengan Indonesia? Untungnya berkat bantuan pihak ketiga, kancah kompetitif Vainglory Indonesia masih cukup hangat. Kaskus Battleground Season 1 mengisi kalender esports Vainglory awal tahun 2018. Lalu masuk pertengahan tahun akhir tahun, ada Vainglory Premier League Indonesia yang merupakan liga esports Vainglory yang diselenggarakan secara online oleh tim AGe Network. Lalu ditutup dengan perjuangan tim Elite8 di tingkat Asia dalam kompetisi WESG 2018.

Sumber: revivaltv.id
Herrboy (paling kiri) bersama dengan 2 shoutcaster VG lainnya. Sumber: revivaltv.id

Herry ‘Herrboy’ Sudharma, sebagai salah satu shoutcaster dan penggiat esports Vainglory di Indonesia, angkat bicara soal problematika ini. Ia mengatakan memang salah satu masalah terbesar adalah perkara tingkat kesulitan Vainglory yang lebih tinggi dibanding MOBA mobile lainnya serta kebutuhan spesifikasi smartphone yang juga lebih tinggi. Hal tersebut membuat mobile gamers enggan mainkan Vainglory yang mana hal tersebut memberi efek domino kepada esport Vainglory.

Daniel “Deipno” Lam, salah satu caster senior Vainglory, juga turut menambahkan. Ia merasa bahwa senjakala Vainglory di tahun 2018 adalah akibat SEMC yang seperti salah langkah. Sejak tahun 2017 potensi playerbase Vainglory di Indonesia sudah terlihat jelas lewat Halcyon Gathering 2.0 yang dihadiri seribu orang. Namun alih-alih fokuskan pemasaran di pasar SEA terutama Indonesia, SEMC tetap bersikukuh untuk fokuskan pemasaran Vainglory di Amerika Serikat dan juga Eropa.

Sumber: AGe Network
Sumber: AGe Network

Dari sisi pemain, Heinrich ‘OfficialHein’ Ramli yang merupakan bintang Vainglory asal Indonesia dan salah satu yang paling berjasa menggerakkan esports Vainglory di sini, mengatakan bahwa tak bisa dipungkiri bahwa SEMC mengambil peran besar dalam redupnya esports Vainglory. Hein selaku atlet Vainglory serta pemilik tim Elite8 mengatakan ada komunikasi yang kurang lancar dari SEMC terhadap tim dan komunitas yang akhirnya membuat esport Vainglory di Indonesia jadi terbengkalai.

Vainglory Cross-platform dan Prediksi Masa Depan Esport Vainglory

Sumber: duniagames.co.id
Sumber: duniagames.co.id

Kemenangan Vainglory pada masanya adalah karena SEMC ketika itu mendorong kemampuan smartphone sampai maksimal, menciptakan game sekelas konsol atau PC yang bisa dimainkan dalam genggaman Anda. Akhir tahun 2018 ini, SEMC mencoba mengulang inovasi tersebut dengan mengampanyekan Vainglory X, MOBA cross-platform pertama yang akan bisa mempertemukan pemain mobile, PC, atau konsol dalam satu pertandingan.

Di Venture Beat, CEO SEMC Kristian Segerstrale mengatakan bahwa game multi-platform adalah masa depan gaming. Namun hal ini tentu mengundang tanda tanya dan keraguan besar karena kehadiran Vainglory di PC berarti akan membawa mereka ke dalam kompetisi bisnis yang lebih berat: menantang langsung dua raksasa MOBA PC yaitu Dota 2 dan League of Legends

Herrboy kembali angkat bicara soal prediksi cross-platform dan kembalinya kejayaan Vainglory di tahun 2019 baik secara player base maupun esports. Ia merasa bahwa hal ini kembali lagi bagaimana keputusan SEMC, apakah ia ingin mengembalikan esports Vainglory atau tidak. Mengingat Fortnite terbilang sukses dengan sistem cross-platform ini, mereka berhasil menciptakan player base yang besar walau tanpa kehadiran event esports internasional.

Akankah SEMC dapat mengulang kesuksesan Vainglory Worlds 2017 yang bisa tembus rekor jumlah penonton di Twtich. Sumber: redbull.com
Akankah SEMC dapat mengulang kesuksesan Vainglory Worlds 2017 yang bisa tembus rekor jumlah penonton di Twitch. Sumber: redbull.com

Sebab, bagaimanapun juga intinya, hal yang ingin dicapai SEMC adalah membuat Vainglory kembali dimainkan banyak orang. Terkait hal ini, saya sendiri sejujurnya cukup pesimis. Kenapa? Pertama, kehadiran Vainglory di PC tentu akan membuat SEMC harus berhadapan dengan dedengkot MOBA itu sendiri dan membuat persaingan jadi semakin berat.

Kedua, saya juga cukup setuju dengan apa yang selalu jadi opini komunitas dan apa yang dikatakan Deipno; bahwa SEMC selama ini terlihat kurang giat memasarkan Vainglory, terutama di pasar Asia dan SEA. Jika kehadiran cross-platform tidak diiringi dengan kegiatan pemasaran yang aktif, maka jumlah pemain Vainglory mungkin tidak bakal segitunya banyak berubah.

Bagaimana kalau secara esports? Melihat SEMC yang kini lebih fokus kepada pengembangan game Vainglory cross-platform, saya kembali pesimis dengan esports Vainglory di 2019. Sebab sekalipun kampanye Vainglory cross-platform berhasil meningkatkan jumlah pemain, jika SEMC tidak menghendaki kehadiran esports, maka mau tak mau kita harus kubur dalam-dalam harapan kita untuk bisa melihat kembali serunya aksi pemain Vainglory kelas wahid.

Vainglory Versi Console dan Strategi Post-Platform Super Evil Megacorp

Pada pertengahan tahun 2018 lalu, Super Evil Megacorp telah mengumumkan bahwa mereka akan merilis Vainglory versi PC dan Mac dalam waktu dekat. MOBA yang asalnya dirancang untuk layar sentuh di sistem operasi iOS dan Android itu kini sedang menjalani fase alpha testing, dan bisa Anda coba secara gratis dengan mengunduhnya di situs resmi Vainglory. Para gamer yang berpartisipasi di fase alpha testing ini juga akan mendapat skin eksklusif Vox On Ice.

Keberadaan Vainglory versi PC bukan sesuatu yang terlalu menghebohkan. Pasar MOBA di PC memang sangat besar, dan sudah banyak game lain melakukan hal serupa. Akan tetapi Super Evil Megacorp punya visi lebih besar daripada sekadar merilis game di banyak platform. Mereka ingin menciptakan ekosistem video game yang lebih modern, yang disebut dengan strategi “post-platform”.

Latar belakang visi ini adalah pandangan Super Evil Megacorp terhadap dunia video game yang semakin lama semakin tumbuh besar, namun juga semakin terpecah belah. Sejak tahun 2001, industri berkembang pesat berkat kemunculan platform-platform baru. Ada gamer yang tertarik pada console paling modern, ada juga yang setia dengan PC. Sebagian menyukai permainan di handheld portabel, sementara banyak juga yang lebih gemar bermain di smartphone. Ekosistem smartphone pun terbagi lagi, dengan adanya Android, iOS, serta sistem-sistem operasi lain.

Vainglory - Android
Vainglory versi Android | Sumber: Google Play

Di masa depan, entah platform apa lagi yang akan muncul. Mungkin kita akan melihat gaming di smartwatch. Mungkin gaming di VR, AR, dan MR akan menjadi mainstream. Apa pun itu, yang jelas platform baru selalu muncul, dan ini merupakan pedang bermata dua.

“Zaman sekarang, gamer PC, mobile, dan console sebagian besar memainkan game yang berbeda dengan input kontrol yang berbeda, juga mengharapkan standar kualitas, model bisnis, serta banderol harga yang berbeda pula,” tutur Kristian Segerstrale dalam blog resmi Super Evil Megacorp.

“Dan – mungkin yang paling penting – kita ada dalam komunitas-komunitas terpisah yang nyaris tidak pernah bermain bersama. Siapa teman main kita ditentukan oleh siapa yang kebetulan memiliki perangkat gaming sama dengan kita. Sebagai pemain, kita pun mencari teman online ketika kita tidak bisa meyakinkan kawan-kawan dunia nyata untuk membeli platform game yang sama. Kita mungkin sudah terbiasa dengan ini, tapi tetap rasanya agak sedih.”

Fortnite
Fortnite tersedia di nyaris semua platform, dari console, desktop, hingga mobile | Sumber: Epic Games

Segerstrale kemudian menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan video game besar sudah mulai bergerak ke arah masa depan yang baru, yaitu permainan cross-platform. Dengan maraknya multiplayer gaming, developer dituntut untuk menyediakan pengalaman yang sama bagi penggemar di semua platform. Fortnite adalah contoh paling baik, karena dalam Fortnite, nyaris semua pemain bisa bermain bersama meski mereka berbeda platform. Memang tidak sempurna karena masih ada perbedaan pengalaman yang jauh di tiap platform, namun mereka sudah menunjukkan arahan yang tepat.

Video game akan menjadi seperti media sosial?

Super Evil Megacorp percaya bahwa dalam 10 tahun ke depan, tidak akan ada satu platform spesifik yang menjadi platform utama industri game. Sebaliknya, game akan menjadi seperti media sosial: sebuah pengalaman yang bisa dinikmati bersama oleh semua orang terlepas dari platform apa yang mereka gunakan. Ketika video game sudah tak lagi terikat pada platform tertentu, itulah yang mereka sebut sebagai era post-platform.

Super Evil Megacorp ingin Vainglory jadi game yang terdepat ketika era itu tiba. Karena itulah mereka mengembangkan Vainglory versi PC dan Mac. Tak hanya itu, mereka juga akan merilis Vainglory versi console pada akhir tahun 2019. Super Evil Megacorp setidaknya punya dua alasan kuat untuk percaya pada visi post-platform di atas.

Pertama yaitu semakin maraknya perangkat “hibrida” di era modern ini yang tidak bisa dikelompokkan ke dalam satu kategori saja. Ada perangkat mobile yang bisa ditancapkan ke layar besar, seperti Samsung DEX, ASUS ROG, Microsoft Surface, dan sebagainya. Ada juga laptop ultraportabel yang bisa berperan sebagai perangkat mobile, misalnya Razer Linda. Ini masih ditambah lagi dengan munculnya berbagai layanan game streaming. Super Evil Megacorp ingin memastikan bahwa Vainglory dapat berjalan baik di semua perangkat tersebut.

Kedua, dengan diluncurkannya jaringan 5G pada tahun 2019, semua perangkat akan mendukung kecepatan internet yang cukup mulus untuk multiplayer gaming, bahkan gaming kompetitif tanpa lag. Di masa depan, developer tak lagi bisa memperlakukan satu platform sebagai platform utama sebuah game, sementara versi platform lainnya hanya sebagai “port” sampingan. Developer harus terjun ke dunia post-platform dan menciptakan game dengan paradigma post-platform juga.

Pekerjaan ini jelas tidak mudah. Butuh kru, teknologi, peralatan, kesabaran, serta komunitas yang kuat untuk mewujudkannya. Tapi Super Evil Megacorp bertekad untuk menuju ke arah sana. Dalam perjalanannya, mereka pasti akan menemukan dan mempelajari banyak hal baru. Akhir 2018 ini adalah titik awal Super Evil Megacorp untuk berubah menjadi studio post-platform game, dan mereka mengajak kita semua untuk merangkul era baru ini bersama-sama.

Sumber: Super Evil Megacorp

Vainglory Bakal Meluncur di PC dan Mac, Versi Alpha-nya Sudah Bisa Dicoba Sekarang

Genre MOBA (Multiplayer Online Battle Arena) memang terlahir di platform PC, akan tetapi bukan berarti genre tersebut selamanya harus diam di tanah kelahirannya. Seperti yang kita tahu sekarang, game seperti Mobile Legends dan Arena of Valor merupakan dua di antara game smartphone terlaris, dan keduanya juga merupakan game MOBA.

Meski terbukti sukses, keduanya bukanlah MOBA pertama di ranah mobile. Vainglory sebenarnya muncul lebih dulu di tahun 2014, meski pada saat itu baru untuk platform iOS saja. Sebelum Vainglory sebenarnya masih ada yang lebih tua lagi (selisih beberapa bulan); judulnya Fates Forever, tapi game itu cuma bertahan sampai Oktober 2015 saja.

Vainglory di sisi lain masih bertahan sampai sekarang di iOS maupun Android. Malahan, Super Evil Megacorp selaku pengembangnya berencana melebarkan jangkauan Vainglory lebih lagi ke ranah desktop. Ya, Vainglory sedang dalam proses ‘membuka cabang’ di PC dan Mac.

Vainglory

Pada kenyataannya, Super Evil Megacorp sudah membuka fase alpha-test Vainglory di PC dan Mac. Label “alpha” merupakan indikasi bahwa Vainglory versi desktop ini masih dalam tahap awal pengembangan, sehingga bisa dipastikan para pengujinya bakal menjumpai banyak bug dan problem lainnya selama bermain.

Beberapa kekurangan yang disoroti di antaranya adalah perihal input teks, menu pengaturan, optimasi UI (user interface) dan opsi kustomisasi tombol. Super Evil Megacorp pun berjanji untuk merilis update secara rutin guna menyempurnakannya.

Satu hal yang perlu dicatat, Super Evil Megacorp sebenarnya sudah berkutat dengan input kontrol mouse dan keyboard untuk Vainglory sejak tahun lalu, tepatnya ketika Samsung mendemonstrasikan kebolehan aksesori Samsung DeX untuk Galaxy Note 8. Mungkin dari situ mereka melihat potensi Vainglory untuk menjadi alternatif Dota 2 dan League of Legends di PC, dan kini mereka pun langsung mengeksekusinya.

Kalau Anda tertarik mencoba versi alpha Vainglory di PC atau Mac, silakan langsung mengunduhnya di situs resminya.

Via: Windows Central.

Vainglory Akan Terapkan Kontrol Joystick, Virtual Analog Seperti AOV dan ML

Kalau dari segi grafis, tentu kalian setuju bahwa Vainglory lebih unggul dibandingkan Arena of Valor dan Mobile Legends. Grafisnya luar biasa detail dan indah memanjakan mata.

Namun kita juga harus mengakui bahwa sistem kontrol yakni “full touch” atau “sistem tap” di Vainglory cenderung lebih sulit dibanding dengan sistem analog virtual. Lalu, bagaimana bila Vainglory juga mengadopsi kontrol analog juga?

Ya, sebentar lagi hal itu bakal menjadi kenyataan, kontrol joystick segera hadir di Vainglory.  Saat ini masih tahap early access dan telah menjadi bagian dari update Vainglory versi 3.3.

Nantinya kontrol joystick akan tersedia untuk dinikmati semua pemain pada update versi 3.4 mendatang. Dari video di atas bisa kita lihat, bila kontrol joystick ini nyaris identik dengan virtual analog yang sudah ada di Arena of Valor dan Mobile Legends.

vainglory-akan-terapkan-kontrol-joystick-3 vainglory-akan-terapkan-kontrol-joystick-2

Susunan tombolnya sangat familier, di mana tombol skill juga bisa ditekan dan diarahkan sebelum dilepaskan. Jadi lebih mudah untuk menargetkan musuh yang diinginkan dan memprediksi gerakan musuh.

Sangat berguna, terutama untuk hero yang memiliki serangan skill jarak super jauh. Selain itu dengan menargetkan hero tertentu, damage yang dihasilkan saat pertarungan jarak dekat juga bisa dipusatkan.

vainglory-akan-terapkan-kontrol-joystick-4

Setelah mode 5V5, selanjutnya kontrol joystick. Namun Vainglory memang harus melakukannya untuk mendapatkan kembali para pemainnya. Saya pribadi mengakui kehebatan sistem tap, meski agak sulit tapi sangat presisi.

Tapi tak bisa ditampik, bila kontrol virtual analog lebih mudah dimainkan dan para pemain pemula pun tak bakal kesulitan, Bila joystick kurang cocok, jangan khawatir karena kita bisa berganti kapan saja ke sistem tap atau joystick di pengaturan game.

Sumber: Vainglorygame

5 Game MOBA Mobile Terbaik yang Paling Menantang dan Sangat Kompetitif

Saat ini, game mobile bergenre Multiplayer Online Battle Arena atau biasa disingkat MOBA tengah begitu populer. Menurut Anda, apa yang membuat game ini sangat digandrungi?

Bagi saya, game ini bisa dinikmati dan seru karena bisa dimainkan bersama teman-teman, istilah kekiniannya ‘mabar‘ atau main bareng. Selain itu, kompleksitas yang ada membuat banyak gamer tertantang.

Tujuannya jelas, kita akan bermain sebagai bagian dari tim untuk menghancurkan tower utama di basis lawan. Dalam satu tim harus dipertimbangkan memiliki hero dengan role, specialty, dan skill yang berbeda-beda.

Komposisi hero yang seimbang memungkinkan kita menguasai medan pertempuran, sehingga bisa memuluskan jalannya strategi, dan muncul sebagai pemenang.

Memang tidak banyak judul game MOBA mobile yang populer, tapi setidaknya Anda harus mencoba lima game MOBA mobile terbaik paling seru berikut ini:

1. Arena of Valor (AOV)

Arena-of-Valor-1
Foto: Google Play Arena of Valor

Yang membuat Arena of Valor saya tempatkan di posisi pertama ialah karena kehadiran karakter superhero dan supervillain dari DC Comics ke dunia Athanor. Mulai dari the Dark Night Batman, musuh bebuyutannya Joker, Man of Steel Superman, Wonder Woman, hingga manusia tercepat di Bumi; Flash.

Meski awalnya aneh, tapi karakter DC tersebut dibekali latar belakang cerita yang mendukung sehingga menjadi masuk akal. Arena pertarungan di AOV itu sendiri disebut Antaris, sebagai tempat bagi para dewa, iblis, manusia, dan makhluk mistis untuk menuntaskan peperangan yang telah terjadi selama ribuan tahun.

Game Arena of Valor ini dirilis oleh perusahaan teknologi raksasa asal Tiongkok yakni Tencent dan pasar Indonesia sendiri berada di bawah payung Garena. Dari pengalaman yang saya peroleh, AOV memiliki gameplay yang mudah dimengerti, menampilkan grafis yang sangat memanjakan mata, dan server lebih stabil serta tidak mudah disconnect meski dalam kualitas koneksi internet yang agak buruk.

Application Information Will Show Up Here

2. Mobile Legends: Bang Bang

Mobile-Legends
Foto: Google Play Mobile Legends

Meski popularitas Arena of Valor menanjak drastis, tapi Mobile Legends: Bang Bang garapan Moonton masih merupakan game MOBA mobile paling populer di Indonesia. Karena Mobile Legends hadir lebih dulu dan lebih ringan dibanding AOV sehingga bisa dimainkan pada perangkat smartphone berspesifikasi rendah.

Sayangnya isu soal masalah jaringan dan indikasi lemahnya server membuat lag sering kali menghampiri para player Mobile Legends di Indonesia ketika tengah asyik bermain. Hal ini tentu cukup membuat kesal dan frustasi ketika memainkan ranked match.

Application Information Will Show Up Here

3. Vainglory

Vainglory
Foto: Google Play Vainglory

Vainglory adalah game MOBA mobile pertama yang saya mainkan dan sampai sekarang saya masih takjub akan kualitas grafis yang disuguhkan, aman kalau saya bilang sajian grafisnya setara dengan game PC/konsol. Meski bukan merupakan pilihan utama, sesekali saya masih memainkannya di akhir pekan.

Menggunakan kontrol gerak full touch, jujur saja gameplay Vainglory lebih sulit dibandingkan AOV dan Mobile Legends dengan kemudahan D-Pad virtual-nya. Alasan utama saya bermain Vainglory kembali adalah hadirnya mode pertandingan 5v5 yang benar-benar baru dan berbeda dengan AOV dan Mobile Legends. Anda harus mencoba mode game 5V5 yang sudah dirilis.

Application Information Will Show Up Here

4. Heroes Evolved

Heroes-Evolved
Foto: Google Play Heroes Evolved

Selain tiga game MOBA mobile di atas, Heroes Evolved layak diberi kesempatan untuk Anda coba. Sekilas game ini hampir serupa dengan AOV dan Mobile Legends, tapi tentu ada beberapa perbedaan.

Dari petanya sendiri ada fitur fog of war yang akan membuat map menjadi gelap. Selain itu, fitur recall tidak hanya bisa digunakan untuk kembali ke markas tapi Anda juga bisa melakukan teleport ke tower mana pun yang masih berdiri. Pilihan hero-nya juga bervariasi, lebih lanjut Anda harus mencobanya sendiri.

Application Information Will Show Up Here

5. Heroes Arena

Heroes-Arena
Foto: Google Play Heroes Arena

Game MOBA besutan developer uCool ini juga layak menjadi pilihan alternatif terbaik. Berbagai mode disuguhkan, baik itu mode standar MOBA, mode fast game, co-op vs AI, hingga battle royale. Banyak persamaan dengan AOV dan ML, bedanya ialah setiap hero-nya memiliki total lima skill.

Application Information Will Show Up Here

Itulah lima game MOBA mobile terbaik di Android dan iOS paling menantang dan sangat kompetitif pilihan saya. Lebih detailnya, silahkan tonton cuplikan video diatas dan jangan lupa untuk subscribe channel YouTube DailySocial.