Opportunities for Disney+ Hotstar Platform in Indonesia

Disney announced a strategic move in mid-August by launching Disney+ Hotstar’s Video on Demand (VOD) service (referred to as Disney+) in Indonesia on September 5th. Indonesia became the first country in Southeast Asia to get this opportunity and number two in Asia after India.

Indonesia was chosen due to its large population and high potential for business development in this sector. Over the years, Indonesian consumers prefer television as their primary medium. According to Statista, it is estimated that in 2020 there will be around 35.9 million users of Indonesia’s VOD services (13% of the population) who will contribute up to $275 million (around 4 trillion Rupiah) of revenue this year. The annual increase in these two metrics is quite healthy and there is still room for growth.

In addition, the fact that the Covid-19 pandemic has accelerated the adoption of VOD services becomes one of the main entertainment sources of the community.

In order to support its business in Indonesia, Disney+ partners with Telkomsel (Telkom Group) as the launching partner. This service also made a breakthrough with the availability of more than 300 local content, including the exclusive ones. They understand the value of product localization to attract consumers in this competitive market.

Telkom Group as the first local partner

Gandeng Telkomsel, operator telekomunikasi terbesar di Indonesia
Disney+ Hotstar partners with Telkomsel as a launching partner

Disney+ applies a different approach. In contrary to Netflix, which is confident without any special ceremonial yet offers easy payments outside of debit and credit cards, they try to be more “down to earth”.

In order to reach a wider audience, Disney+ partners with Telkom Group, Telkomsel in particular, as a launching partner. Interestingly, the largest state-owned telco company in Indonesia had blocked Netflix on its network for about 4.5 years for business reasons.

Consumers have an alternative way of paying for services, by charging credit/carrier billing, facilitated with a very competitive first 3-month subscription fee (read: very cheap).

Telkomsel users can enjoy a Pre-Order Special Offer for IDR 15,000 for one month or IDR 30,000 for three months. In addition, Disney+ subscribers can subscribe to Rp39 thousand per month or Rp199 thousand per year.

The price offered by Disney + is clearly competitive compared to other global and regional services. This price is more affordable than the cheapest Netflix package (mobile package) and slightly different from the package offered by Viu.

Then, Disney+ playbook is quite down to earth around here. They understand that Indonesian consumers are very price-sensitive, especially for tertiary services like VOD.

“Indonesia’s dynamic and tech-savvy population has a passion for quality local entertainment content and is also home to some of the biggest Disney fans in the region. We are confident by working with Telkomsel, Disney + Hotstar [..] can capture lots of Indonesian viewers,” Uday Shankar, President of The Walt Disney Company Asia Pacific said.

Original content

 Joko Anwar, Christine Hakim, Dimas Anggara, dan Jefri Nichol dari BLU
Joko Anwar, Christine Hakim, Dimas Anggara, and Jefri Nichol from BCU

The presence of original content, which adapts to local trends, is one of the keys to seizing the Indonesian market. While not unique, Disney+ tries the same approach in a different way.

They tried to present more than 300 Indonesian films. There are seven new Indonesian films to be released exclusively. In particular, Disney+ announced a collaboration with Bumilangit Cinematic Universe (BCU). Through this collaboration, Bumilangit will later be broadcast on its service streaming channel after rolling in theaters.

BCU, often referred to as the Indonesian Avengers, is a storyline that is connected to one another based on characters who are members of Bumilangit, a leading character-based entertainment company in Indonesia that manages more than 1000 characters created by many legendary Indonesian comic artists. BCU made its debut with Gundala which was among the top 10 highest-grossing films in Indonesia last year.

Tight competition in VOD sector

The natural selection occured in the VOD segment, especially in this year, proves that the VOD platform competition is quite intense in the region – including in Indonesia. Hooq was forced to close services, whereas iflix had to sell its business to Chinese digital giant Tencent.

However, this momentum is an opportunity for VOD players to better understand the character Indonesian consumers. Currently, it is a fact that the top three VOD segments in Indonesia are controlled by Viu, Netflix, and Vidio. The three of them carry different segmentations.

Viu represents the audience-oriented in Asia, especially South Korea. Netflix represents global content viewers (although most of them are still dominated by Hollywood content), while Vidio has strength in the local and sports segments.

It is intriguing to observe how compatible Disney+ will be to compete with existing players. The recipe they brought was just about right: availability of local content, a down-to-earth payment system, affordable prices, and engaging global content.

We are waiting for the execution of this recipe to spoil the eyes of the Indonesian audience.


Amir Karimuddin contributed to the writing of the original article in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Peluang Platform VOD Disney+ Hotstar di Indonesia

Disney mengumumkan langkah strategis pertengahan bulan Agustus ini dengan meluncurkan layanan Video on Demand (VOD) Disney+ Hotstar (selanjutnya disebut Disney+) di Indonesia pada tanggal 5 September mendatang. Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mendapatkan kesempatan ini dan nomor kedua di Asia setelah India.

Indonesia dipilih karena besarnya populasi dan tingginya potensi pengembangan bisnis di sektor ini. Selama bertahun-tahun, konsumen Indonesia telah memilih televisi sebagai media primernya. Menurut data Statista, diperkirakan tahun 2020 ini ada sekitar 35,9 juta pengguna layanan VOD Indonesia (13% penduduk) yang menyumbang pendapatan hingga $275 juta (sekitar 4 triliun Rupiah) tahun ini. Peningkatan kedua metrik ini per tahunnya cukup sehat dan masih ada ruang yang luas untuk bertumbuh.

Belum lagi fakta bahwa pandemi Covid-19 mengakselerasi adopsi layanan VOD sebagai salah satu hiburan utama masyarakat.

Untuk mendukung usahanya di Indonesia, Disney+ menggandeng Telkomsel (Telkom Group) sebagai partner launching. Layanan ini juga melakukan terobosan dengan ketersediaan lebih dari 300 konten lokal, termasuk yang bersifat eksklusif. Mereka memahami pentingnya pelokalan produk untuk menggaet konsumen di pasar yang kompetitif ini.

Telkom Group jadi partner lokal

Gandeng Telkomsel, operator telekomunikasi terbesar di Indonesia
Disney+ Hotstar menggandeng Telkomsel sebagai mitra peluncuran

Disney+ mencoba tampil beda. Dibandingkan Netflix, yang percaya diri hadir tanpa seremonial khusus dan belum menawarkan kemudahan pembayaran di luar kartu debit dan kredit, mereka berusaha lebih “membumi”.

Untuk menjangkau khalayak yang lebih luas, Disney+ menggandeng Telkom Group, khususnya Telkomsel, sebagai mitra peluncuran. Menariknya, BUMN telekomunikasi terbesar di Indonesia ini pernah memblok Netflix di jaringannya selama sekitar 4,5 tahun dengan alasan bisnis.

Konsumen memiliki alternatif cara membayar layanan, dengan potong pulsa / carrier billing, dan dipermanis dengan biaya langganan 3 bulan pertama yang sangat kompetitif (baca: sangat murah).

Pelanggan Telkomsel dapat menikmati Pre-Order Special Offer seharga Rp15.000 untuk satu bulan atau Rp30.000 untuk tiga bulan. Selain itu, pelanggan Disney+ umum bisa berlangganan dengan harga Rp39 ribu per bulan atau Rp199 ribu per tahun.

Harga yang ditawarkan Disney+ ini jelas kompetitif jika dibanding layanan global dan regional lainnya. Harga ini lebih terjangkau dibanding paket termurah Netflix (paket mobile) dan hanya berbeda sedikit dibanding paket yang ditawarkan Viu.

Lagi-lagi playbook Disney+ lebih membumi di sini. Mereka paham konsumen Indonesia sangat sensitif dengan harga, apalagi untuk layanan tersier seperti VOD ini.

“Populasi Indonesia yang dinamis dan paham teknologi memiliki keinginan yang besar untuk konten hiburan lokal yang berkualitas, dan juga rumah bagi beberapa penggemar Disney terbesar di wilayah tersebut. Kami yakin bahwa dengan bekerja sama dengan Telkomsel, Disney+ Hotstar [..] akan memikat pemirsa di Indonesia,” kata Uday Shankar, President The Walt Disney Company Asia Pasifik.

Konten original

 Joko Anwar, Christine Hakim, Dimas Anggara, dan Jefri Nichol dari BLU
Joko Anwar, Christine Hakim, Dimas Anggara, dan Jefri Nichol dari BCU

Kehadiran konten original, yang menyesuaikan tren dan selera lokal, menjadi salah satu kunci untuk merebut pasar Indonesia. Meski tidak unik, Disney+ mencoba pendekatan yang sama dengan cara yang berbeda.

Mereka mencoba menghadirkan lebih dari 300 film Indonesia. Terdapat tujuh film baru Indonesia yang akan dirilis secara eksklusif. Secara khusus Disney+ mengumumkan kolaborasi dengan Bumilangit Cinematic Universe (BCU). Melalui kerja sama ini, nantinya Bumilangit akan ditayangkan di kanal streaming layanannya setelah penayangan di bioskop.

BCU, sering disebut sebagai Avengers-nya Indonesia, merupakan jalinan cerita yang tersambung satu sama lain dibuat berdasarkan karakter yang tergabung di Bumilangit, sebuah perusahaan hiburan berbasis karakter terdepan di Indonesia yang mengelola sekitar 1000 lebih karakter ciptaan banyak komikus legendaris Indonesia. BCU memulai debutnya dengan Gundala yang termasuk dalam jajaran 10 film terlaris di Indonesia tahun lalu.

Persaingan ketat pemain VOD

Seleksi alam yang terjadi di segmen VOD, khususnya tahun ini, membuktikan bahwa ketatnya persaingan platform VOD di regional–termasuk di Indonesia. Hooq terpaksa menutup layanan, sedangkan iflix harus menjual bisnisnya ke raksasa digital Tiongkok Tencent.

Meskipun demikian, momentum ini justru menjadi kesempatan bagi para pemain VOD untuk lebih memahami karakter konsumen di Indonesia. Saat ini bisa dibilang tiga besar segmen VOD di Indonesia dikuasai oleh Viu, Netflix, dan Vidio. Ketiganya mengusung segmentasi berbeda.

Viu mewakili penonton yang berkiblat di Asia, khususnya Korea Selatan. Netflix mewakili penonton konten global (meski sebagian besar masih dikuasai konten Hollywood), sedangkan Vidio memiliki kekuatan di segmen lokal dan olahraga.

Menarik untuk diamati, bagaimana nantinya penerimaan Disney+ untuk bersaing dengan para pemain yang sudah ada. Resep yang mereka bawa sebenarnya sudah cocok: ketersediaan konten lokal, sistem pembayaran yang membumi, harga terjangkau, dan konten global yang menarik.

Kita tunggu eksekusi resep ini untuk memanjakan mata penonton Indonesia.


Amir Karimuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Disney+ Hotstar is to Launch in Indonesia per September 5th, 2020

Disney eventually announced its streaming service in Indonesia. With the same brand as its presence in India, “Disney+ Hotstar”, Indonesian users will be able to enjoy the video streaming application per September 5th, 2020.

There is no further information, including subscription fees or specific collaboration with local partners. However, Telkomsel had previously launched a customer survey related to their interests and responses if Disney + rolled in Indonesia and accessible through Telkomsel’s special package.

In contact with Disney Indonesia representatives, the company is yet to reveal any detailed information for the new platform. They only announced a statement made earlier by Disney CEO, Bob Chapek during a 2020’s third-quarter business exposure, mentioning the plan to launch Disney+ Hotstar service in Indonesia (including in 9 countries outside the United States that were targeted market share).

Previously, the company is said to reach 60.5 million Disney+ customers as of August 3, 2020, after reaching 57.5 million customers at the end of the third quarter, in June 2020. The number increased by 6 million customers from the 54.5 million the company reported on 4 May in the second quarter.

Streaming service competition in Indonesia

In a previous article, DailySocial observed the popular streaming platform in Indonesia. Currently there are dozens of applications that provide similar services. The thing is, it’s a matter of content diversification.

5fb50c2050bc4cad1e485434a95da700_video-on-demand-04

Regarding consumer interest in Indonesia, based on our survey, respondent’s preference on choosing streaming services is based on several factors: easy access (87%), lots of contents (81%), promos (54%), and subscription fees (48%).

The presence of Disney+ Hotstar will be quite prominent, seen from the trends and interests of the Indonesian people who are quite enthusiastic about trying the new US-based video streaming platform.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Disney+ Hotstar Bakal Meluncur di Indonesia 5 September 2020

Disney akhirnya mengumumkan rencana kehadiran layanan streaming mereka di Indonesia. Mengusung merek yang sama dengan kehadirannya di India, yakni “Disney+ Hotstar”, pengguna di Indonesia akan bisa mulai menikmati aplikasi video streaming tersebut per 5 September 2020 mendatang.

Belum ada info lain yang disampaikan, termasuk biaya berlangganan atau kerja sama khusus yang digalakkan bersama mitra lokal. Namun, sebelumnya Telkomsel telah meluncurkan survei kepada pelanggan, terkait dengan minat dan respons mereka jika Disney+ meluncur di Indonesia dan bisa diakses melalui paket khusus di Telkomsel.

DailySocial telah menghubungi perwakilan Disney Indonesia, pihaknya masih enggan merinci rencana kehadiran platform baru tersebut. Mereka hanya menyuguhkan pernyataan yang sebelumnya disampaikan CEO Disney Bob Chapek dalam pemaparan bisnis kuartal ketiga 2020, yang mengatakan rencana peluncuran layanan Disney+ Hotstar di Indonesia (termasuk dalam 9 negara di luar Amerika Serikat yang jadi target pangsa pasar).

Sebelumnya, perusahaan mengungkapkan telah mencapai 60,5 juta pelanggan Disney+ per 3 Agustus 2020, setelah mencapai 57,5 ​​juta pelanggan pada akhir kuartal ketiga pada Juni 2020. Jumlah tersebut meningkat 6 juta pelanggan dari 54,5 juta yang dilaporkan perusahaan pada 4 Mei di kuartal kedua.

Perang layanan streaming di Indonesia

Dalam tulisan sebelumnya, DailySocial mencoba mengulas platform streaming populer di Indonesia. Saat ini ada puluhan aplikasi yang suguhkan layanan serupa. Yang menjadi menarik adalah soal diversifikasi konten yang coba diberikan.

5fb50c2050bc4cad1e485434a95da700_video-on-demand-04

Terkait minat konsumen di Indonesia, berdasarkan survei yang kami jalankan, konsiderasi responden memilih layanan streaming didasarkan pada beberapa faktor: kemudahan akses (87%), kelengkapan konten (81%), promo (54%), dan biaya langganan (48%).

Kehadiran Disney+ Hotstar menjadi menarik untuk diikuti, dilihat dari tren serta minat dari masyarakat Indonesia yang cukup antusias mencoba platform video streaming baru yang berasal dari Amerika Serikat.

GoPlay Live Diluncurkan untuk Mengakomodasi Kebutuhan Konten Interaktif

Pergeseran perilaku konsumen terhadap konsumsi media online di era pandemi ini telah mendorong GoPlay, platform video on demand dari Gojek, untuk meluncurkan inovasi terbarunya, GoPlay Live. Fitur ini akan menayangkan secara langsung (live streaming) berbagai program atau konten online dengan lebih interaktif.

Hal ini diakui oleh Edy Sulistyo, selaku CEO GoPlay, “Awalnya kita melihat shifting behavior dari pengguna yang mulai mencari konten daring. Diikuti dengan peningkatan jumlah event online […] dari sini kita coba cari cara bagaimana membuat online event yang bisa menghadirkan offline experience.

Pihaknya turut menyampaikan potensi konten online yang cukup besar selama pandemi ini. Menurut data yang didapat dari sister company, Loket.com, terjadi lonjakan penyelenggaraan online event yang mendominasi 96% dari total event. Hal ini sejalan dengan peningkatan jumlah pengguna GoPlay yang mencapai 10 kali lipat.

Belum lama ini, GoPlay juga telah mengamankan investasi secara independen.

Memperkuat kolaborasi

Memasuki tatanan baru di era pandemi ini, Edy memaparkan beberapa strategi perusahaan untuk beradaptasi dengan situasi saat ini. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kolaborasi yang bisa mengoptimalisasi industri film Indonesia dan menunjang para sineas dalam distribusi karya mereka secara menyeluruh

Sejauh ini, GoPlay telah berkolaborasi dengan Gojek dan Citilink untuk beberapa paket produk (bundling). Selain itu, bersama Kemenparekraf menghadirkan festival film dan serial online pertama di Indonesia. Strategi kolaborasi ini dinilai sangat efektif untuk bisa meningkatkan engagement dengan pengguna sekaligus mendukung kampanye #Dirumahaja.

Sebelumnya, GoPlay telah memiliki beberapa kategori seperti GoPlay Original, Goplay Exclusive, dan Goplay Library dalam aplikasinya. Namun, seiring dengan peningkatan jumlah online event, fitur live streaming ini juga sebagai salah satu strategi untuk bisa melengkapi ekosistem yang ada serta turut membantu mereka yang terkena dampak pandemi di industri entertainment.

Mendukung sineas lokal

Beberapa fitur interaktif baru yang sudah bisa dinikmati meliputi (1) ShoutBox, untuk membantu pengguna dalam sesi tanya jawab dengan host/penyelenggara dalam sebuah sesi; (2) Public and Private Group Chat, yang memungkinkan para hadirin bisa berinteraksi satu sama lain layaknya ketika mengikuti event secara offline; (3) Live Shopping, untuk mempermudah pengguna membeli merchandise, souvenir, atau produk lain dari pembuat konten (atau event); serta beberapa fitur lainnya.

Selain fitur-fitur yang bisa menambah revenue para seniman/pembuat konten, terdapat juga proteksi DRM (Digital Right Management) untuk menghindari duplikasi konten serta mem akses kontrol yang eksklusif.

“Inovasi dan kreativitas content creator di Indonesia sangatlah tak terbatas. Melalui dukungan super app Gojek, pengembangan fitur GoPlay dalam kategori GoPlay Live juga tidak akan berhenti sampai di sini. Dalam waktu dekat, GoPlay Live akan menghadirkan fitur-fitur tambahan, seperti Interactive Trivia, Interactive Polling, Donation, Virtual Gift, dan masih banyak lagi bagi para pengguna,” sambung Edy.

Sementara itu, dari sisi content creator, penyelenggaraan online event ini menjadi salah satu yang bisa mendorong industri kreatif tetap bertumbuh di tengah hilangnya panggung offline mereka. Selain itu, akses daring yang tidak terbatas secara geografis dirasa bisa memperluas target audiens. Faktanya, sejumlah online event bahkan berhasil meraih penjualan lebih dari 5000 tiket. Penontonnya tidak hanya datang dari masyarakat lokal, namun juga dari beberapa negara tetangga.

“Hal ini membuat saya sangat exited dengan potensi online event ini. Selain tetap bisa menggunakan GoPlay untuk membantu para seniman tetap berkarya, kita juga melihat potensi post-pandemic. Dengan konsep yang ada, kita bisa membentuk hybrid model antara offline dan online event yang nantinya bisa mendapatkan revenue dari audiens yang lebih besar,” tambah Edy.

Saat ini Goplay Live juga telah terintegrasi dengan GoTix dan Loket. Untuk pengguna yang ingin menikmati pengalaman offline dalam event online secara lebih interaktif serta ingin lebih mengapresiasi content creator favoritnya bisa langsung membeli tiket yang tersedia di dua platform tersebut.

Application Information Will Show Up Here

Lanskap Platform “Video On-Demand” di Indonesia

Mengamati 3-4 minggu terakhir, di daftar 50 aplikasi terpopuler di Google Play untuk kategori Entertainment di bagian “top free” dan “top grossing” selalu bertanggar beberapa platform video on-demand (VOD), misalnya Viu, WeTV, iQIYI, Video, Netflix, iflix, HBO Go, Amazon Prime Video, dan GoPlay. Peringkatnya cukup fluktuatif naik dan turun, kendati beberapa platform anteng di posisi sepiluh besar.

Di luar peringkat itu sebenarnya masih ada platform lain yang juga jajakan layanan serupa, misalnya Catchplay, Mola TV, KlikFilm, UseeTV Go, dan lain-lain. Di kategori ini Google mencampurkan beberapa tipe aplikasi termasuk video live streaming dan layanan hiburan lainnya.

Peringkat aplikasi video streaming di Indonesia

Di waktu bersamaan, terjadi beberapa goncangan bisnis di lanskap ini yang memberikan dampak kepada dua pemain yang sebelumnya cukup populer. Penyebabnya relatif sama, soal isu finansial di internal perusahaan.

Jika Hooq akhirnya memilih undur diri, iflix masih berusaha bernapas panjang dengan menyerahkan kepemilikan perusahaan ke raksasa Tiongkok, Tencent. Tencent sendiri juga menjadi penyokong platform serupa WeTV – yang mulai merangkak populer di pasar Indonesia.

Peta persaingan kini menjadi semakin menarik. Pertama, GoPlay belum lama ini membukukan pendanaan secara independen untuk menggenjot penetrasi layanan dan tingkatkan kualitas konten orisinal. Sementara Netflix berhasil mencapai kesepakatan sehingga tidak lagi diblokir oleh operator terbesar di tanah air, Telkom Group.

Cakupan layanan

Pasar Indonesia saat ini dikepung banyak layanan VOD. Jika ditinjau dari cakupan pasarnya, para pemain tersebut bisa dipetakan menjadi tiga kategori: pemain lokal, pemain regional, dan pemain global. Kebanyakan masing-masing didukung oleh perusahaan besar yang berniat untuk menjamah pangsa pasar Over The Top (OTT).

Vidio, misalnya, dioperasikan anak perusahaan grup korporasi EMTEK yang memang berkecimpung di dunia media hiburan. Ada juga Viu, anak usaha PCCW Limited sebagai operator telekomunikasi terbesar di Hong Kong. iQIYi, platform VOD asal Tiongkok diinisiasi raksasa internet Baidu; dan lain sebagainya.

Aplikasi Video on-demand di Indonesia

Cakupan platform tersebut banyak berpengaruh pada konten-konten yang menjadi sajian utama. Digagas perusahaan tanah air, layanan-layanan lokal banyak fokus menyajikan film dan serial lokal. Seperti yang dilakukan GoPlay saat debutnya, mereka mengadaptasi serial Gossip Girl asal Amerika Serikat dalam versi Indonesia dan dibumbui cita rasa cerita lokal. Sementara RCTI+ menyajikan tayang live streaming dan on-demand dari acara-acara yang tayang di stasiun TV milik grup MNC tersebut.

WeTV dan iQIYi hadir dari perusahaan asal Tiongkok, sehingga konten film dan serial yang dihadirkan pun kebanyakan adalah acara yang dirilis rumah produksi setempat. Sementara Viu, yang sedari awal difokuskan untuk pasar regional, mencoba merangkul pasar dengan mengakomodasi berbagai serial drama Asia – menyajikan konten populer yang diproduksi di beberapa negara seperti Korea Selatan, Jepang, India dll.

Untuk pemain global yang sudah bisa diakses di Indonesia, misalnya Netflix, HBO Go, dan Amazon Prime Video, mereka lebih banyak menyajikan konten-konten dari Hollywood. Walaupun demikian, demi memberikan variasi kepada pengguna, sebenarnya masing-masing aplikasi juga memberikan pilihan konten lain – misalnya Viu yang tetap sajikan film lokal walaupun dengan jumlah yang sangat terbatas.

Cakupan konten aplikasi VOD

Diversifikasi layanan

Di saat sistem pembayaran, kompatibilitas di perangkat, dan biaya layanan makin seragam, strategi adopsi pangsa pasar yang dapat selalu dioptimalkan perusahaan VOD adalah melalui konten. Ditinjau dari aspek tersebut, beberapa pemain mencoba unggul di beberapa area. Misalnya Netflix dan Amazon Prime Video, mereka mencoba unggul dengan sajikan konten-konten orisinal yang hanya bisa ditonton di aplikasi mereka.

Sementara layanan lain, seperti iflix, Catchplay, WeTV lebih banyak menayangkan ulang film atau serial yang sebelumnya sudah ditayangkan, melalui televisi maupun layar bioskop. Aplikasi lainnya seperti Mivo, RCTI+ mencoba hadirkan pengalaman baru menonton TV dari perangkat mobile. Sementara aplikasi seperti Mola dan Bein Connect unggul karena konten eksklusif mereka ke tayangan tertentu.

Beberapa pemain memilih berada di tengah-tengah, seperti Vidio, HBO Go, dan Genflix – cakupan kontennya merangkum beberapa aspek sekaligus. MAXStream juga miliki posisi yang unik, karena ia lebih bertindak sebagai agregator konten dari platform lain.

Persaingan aplikasi video streaming Indonesia

Strategi konten ini sudah berjalan baik untuk beberapa jenis aplikasi. Di tulisan sebelumnya kami sempat merangkum bahwa Viu, Netflix, dan Vidio unggul sebagai aplikasi berbayar paling laris, karena menjawab kebutuhan masyarakat akan tontonan yang relevan.

Jika penonton ingin menyaksikan drama Asia, seperti serial Korea, maka sejauh ini jawabannya adalah Viu. Penonton ingin saksikan serial Hollywood, maka Neflix jadi pilihan. Sementara bagi yang ingin saksikan ragam film (lawas) Indonesia dan tayangan televisi, Vidio bisa menemani di perangkatnya.

South Korea’s E-commerce Giant Coupang Acquires Hooq’s Digital Asset

South Korea’s e-commerce giant, Coupang Corp. is reportedly has acquired Hooq video streaming platform assets. This news was first released by Bloomberg, citing sources close to the agreement.

There is no further details were given regarding the acquisition value. What is clear, Hooq digital assets will be used as fuel Coupang in competing in the local OTT market. Previously, Netflix (the most popular) also had a streaming video service there.

In South Korea, Coupang is a key player in the e-commerce sector. The startup, which is backed by SoftBank Vision Fund, Sequoia Capital, and some other investors has reached valuation of around US$ 9 billion. This year, the company founded by Bom Kim has entered its 10 years old.

In Southeast Asia, Hooq has shut down its service as of April 2020. Because of its major shareholders who filed for liquidation wanting to focus on the core business. They considered the video streaming business model to be insignificant in its results.

Hooq’s coverage focuses on local film and television series content. Including to allow users streaming television shows through the application. An original content approach has also been attempted, but what the market power does not welcome.

Hooq also presents Hollywood and Asian films, this might also be one of the complementary assets that Coupang can use to start video streaming services, in addition to technology/software owned by Hooq itself.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Raksasa E-commerce Korea Selatan “Coupang” Akuisisi Aset Digital Hooq

Coupang Corp. selaku raksasa e-commerce Korea Selatan dikabarkan telah membeli aset platform video streaming Hooq. Kabar ini pertama kali dirilis Bloomberg, mengutip dari narasumber yang dekat dengan kesepakatan.

Tidak disampaikan detail mengenai nilai akuisisi. Yang jelas, aset digital Hooq akan dijadikan bahan bakar Coupang dalam berkompetisi di pasar OTT setempat. Sebelumnya Netflix (jadi yang terpopuler saat ini) juga sudah terlebih dulu hadirkan layanan video streaming di sana.

Di Korea Selatan, Coupang menjadi pemain kunci di sektor e-commerce. Startup yang didukung SoftBank Vision Fund, Sequoia Capital, dan sejumlah investor ini telah membukukan valuasi sekitar US$9 miliar. Tahun ini, perusahaan yang didirikan Bom Kim ini menginjak usia 10 tahun.

Di Asia Tenggara, Hooq menyudahi layanannya per April 2020 lalu. Disebabkan para pemegang saham mayoritas yang mengajukan likuidasi dengan dalih ingin fokus ke bisnis utama. Mereka menilai model bisnis video streaming yang dijalankan Hooq kurang signifikan hasilnya.

Cakupan Hooq fokus pada konten film dan serial televisi lokal. Termasuk memungkinkan pengguna untuk melakukan streaming tayangan televisi melalui aplikasi. Pendekatan konten orisinal juga sudah diupayakan, namun apa daya pasar kurang menyambut baik.

Hooq juga sajikan film Hollywood dan Asia, ini mungkin juga bisa jadi salah satu aset komplementer yang bisa dimanfaatkan Coupang untuk memulai layanan video streaming-nya, selain teknologi/perangkat lunak yang dimiliki Hooq itu sendiri.

Setelah 4,5 Tahun Akhirnya Telkom Buka Blokir Netflix

Setelah kurang lebih 4,5 tahun diblokir, per hari ini Selasa 7 Juli 2020 layanan video on-demand Netflix akhirnya mulai bisa diakses melalui jaringan milik Telkom Group, yakni Indihome dan Telkomsel. Proses pembukaan blokir masih dilakukan secara bertahap, dari pantauan kami beberapa orang sudah bisa mengakses Netflix sepenuhnya, sebagian masih belum bisa. Yang jelas ini akan menjadi babak baru bagi bisnis Netflix, mengingat konektivitas Telkom adalah yang terluas cakupannya di Indonesia.

Netflix sendiri kendati diblokir oleh Telkom Group berhasil menjadi salah satu layanan VOD berbayar paling populer di Indonesia bersama dengan Viu. Suguhan beragam konten original dan film-film populer yang ada di dalamnya menjadi salah satu kekuatan Netflix.

Secara keseluruhan Netflix mengalami lonjakan pengguna baru di kuartal pertama 2020. Totalnya mereka mendapatkan 15,77 juta pelanggan berbayar baru selama kuartal pertama tahun 2020, lebih dari dua kali lipat angka yang mereka prediksi sebelum pandemi.

“Kami sangat senang karena saat ini Netflix telah dapat diakses melalui jaringan Telkom, artinya sekarang masyarakat Indonesia dapat menikmati tayangan Netflix yang beragam, mulai dari serial TV, dokumenter, serta film lokal, dan internasional berkualitas di semua jaringan. Kami akan terus memberikan layanan terbaik bagi seluruh penggemar hiburan di Indonesia dengan menambahkan lebih banyak film-film Indonesia di Netflix, meningkatkan pengalaman pengguna, serta mengembangkan kerja sama dengan mitra-mitra di Indonesia,” ujar Business Development Manager Netflix Tizar Patria.

Diterangkan pihak Telkom, mereka membuka blokir karena Netflix sudah melakukan sejumlah perubahan pendekatan seperti fitur parental kontrol, berkomitmen untuk mendengar keluhan dan masukan dari regulator dalam waktu 24 jam atau sesuai yang dengan kurun waktu yang ditentukan oleh pemerintah.

Selain itu Netflix juga disebut telah berkomitmen untuk patuh pada “Self Regulatory Code for Subscription Video on Demand Industry in ASEAN” yang mengatur larangan menayangkan konten yang mengandung pornografi anak, terorisme, melanggar Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), dan konten yang mendiskreditkan kelompok masyarakat tertentu.

“Telkom mengapresiasi perubahan pendekatan yang dilakukan Netflix untuk pasar Indonesia dan karenanya memberi kesempatan pada pelanggan Telkom Group untuk dapat mengakses beragam konten hiburan,” ujar VP Corporate Communication Telkom Arif Prabowo seperti dikutip Kompas.

Pembukaan blokir Netflix ini juga berbarengan dengan aturan pemungutan pajak untuk layanan OTT seperti Netflix, Steam, Spotify, dan samacamnya. Setelah beberapa kali diwacanakan, akhirnya pemungutan pajak untuk layanan digital ini diresmikan pada awal 1 Juli 2020.

Namun di tagihan terbaru Netflix beberapa tim kami, belum dikenakan beban pajak, sementara untuk platform Steam sudah mulai mengenakan pajak PPn 10% untuk setiap transaksi. Di sisi lain, penyedia layanan OTT tersebut juga belum memiliki kantor atau entitas lokal (PT) di Indonesia.

Diakui atau tidak inovasi yang dilakukan Netflix telah menginspirasi banyak layanan sejenis hadir di Indonesia. Sekarang muncul banyak sekali nama pemain di sektor VOD yang hadir untuk pasar Indonesia, seperti iflix, Hooq, Viu, Catchplay, Genflix, atau GoPlay. Beberapa nama pada akhirnya harus menyerah karena kehabisan bahkan bakar atau berdarah-darah merebut hati penonton di Indonesia.

Sementara itu, secara konsisten Netflix terus gencar “mendekat” ke pasar Indonesia dengan sejumlah inovasi. Langkah yang diambil antara lain menghadirkan film-film Indonesia ke dalam platform mereka, kerja sama dengan kreator dalam negeri hingga kerja sama dengan pihak-pihak terkait, seperti kerja sama dengan Kemendikbud.

Update: Siaran Pers Direktur Jendral Pajak pada Selasa (7/7/2020) menyebutkan enam perusahaan digital termasuk Netflix akan dikenai PPN sebesar 10% dari harga sebelum pajak mulai 1 Agustus 2020.

Application Information Will Show Up Here

Viu dan Netflix Bersaing Jadi Platform “Video on Demand” Berbayar Terpopuler di Indonesia

Ketenaran platform OTT semakin bersinar di tengah pandemi. Survei yang diselenggarakan DailySocial dan Populix, pada April lalu, menunjukkan bahwa aplikasi hiburan jatuh pada pilihan kedua (66%) untuk menjawab pertanyaan aktivitas online apa saja yang paling banyak digunakan orang Indonesia selama pandemi.

Di luar YouTube yang sifatnya freemium, Netflix dan Viu adalah dua platform berbayar yang mendapatkan antusiasme tinggi dari responden. Survei ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut dengan dipadukan sumber-sumber data lainnya.

Berdasarkan dari data yang dimiliki DailySocial, pada April dan Mei ini Viu berada di posisi pertama untuk pengguna aktif dan total waktu yang dihabiskan di antara para pemain video on demand di Indonesia. Posisi kedua ditempati Netflix, disusul iflix, Vidio, WeTV, dan iQiyi.

Total waktu yang dihabiskan pengguna Viu dalam dua bulan tersebut mencapai angka 174,8 juta menit, diikuti Netflix (141,4 juta menit), iflix (36,9 juta menit), Vidio (27 juta menit), WeTV (8,2 juta menit), dan iQiyi (7,8 juta menit).

DailySocial tertarik membandingkan temuan tersebut ke sumber lainnya, yakni SimilarWeb. Hasilnya persis sama. Dengan rentang waktu dari Maret sampai Mei, Viu memimpin untuk metrik pengguna aktif harian (DAU) dan pengguna aktif bulanan (MAU). Rata-rata waktu yang dihabiskan per user setiap harinya mencapai satu jam.

Sementara itu, Netflix unggul dalam metrik sesi per pengguna (sessions per user) yang mencapai 7.67 sesi. Semakin tinggi angka ini bagus buat platform karena berkaitan langsung dengan traffic yang masuk. Waktu yang dihabiskan kurang lebih sama dengan capaian Viu.

Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb

Satu-satunya platform lokal yang masuk di listing ini adalah Vidio. Aplikasi ini unggul dalam metrik install penetration mencapai 7,72%. Ini adalah persentase dari perangkat smartphone atau tablet yang digunakan secara aktif, dalam pasar yang dipilih, yang memiliki aplikasi yang diunduh selama periode waktu yang dipilih.

Vidio juga unggul untuk metrik MAU yang mencapai 2,51 juta orang. Meskipun demikian, total konsumsi penggunanya hanya separuh pencapaian Viu dan Netflix.

Platform lokal lain, GoPlay, yang baru memperoleh pendanaan, masih memiliki jalan panjang untuk bisa bersaing dengan para pemain yang lain.

Sementara angka-angka yang diraih platform berbayar ini jelas belum bisa bersaing dengan pencapaian YouTube yang merajai industri ini.

 

Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb

Komentar Viu

DailySocial mencoba menghubungi Viu dan Netflix terkait temuan data-data di atas, tetapi hanya Viu yang bersedia. Country Head Viu Indonesia Varun Mehta tidak bersedia berkomentar tentang angka-angka terkini. Akan tetapi, dia sepakat dengan isi laporan “Southeast Asia Online Video Consumer Insights and Analytics: A Definitive Study by Media Partners Asia” untuk kuartal pertama tahun ini. Laporan yang sama DailySocial cantumkan di artikel sebelumnya.

Viu disebut menempati peringkat pertama berdasarkan jumlah pengguna diantara platform streaming video utama, tidak termasuk YouTube, di Asia Tenggara. Berdasarkan waktu yang dihabiskan, Viu ada di posisi kedua, setelah Netflix.

Laporan itu juga menyorot waktu yang dihabiskan per penonton Indonesia tiap minggunya. Viu menduduki posisi kedua, tentunya setelah YouTube. Baru setelahnya ada Catchplay, Netflix, dan OTT lainnya yang bisa disimak dalam grafik di bawah ini.

“Laporan dari MPA cukup akurat [menggambarkan pencapaian Viu],” kata Varun.

Varun menjelaskan, selama pandemi ada kenaikan 30%-35% setiap harinya. Kenaikan ini berdampak pada rata-rata waktu yang dihabiskan per pengguna. Dia mencontohkan untuk pengguna yang merupakan fan base umumnya waktu yang mereka habiskan sekitar 2 jam setiap hari.

“Jadi pas tayang pagi hari subtitle baru ada bahasa Inggris, sudah mereka tonton. Ketika ada subtitle bahasa Indonesia keluar, biasanya mereka tonton lagi. Saya kurang paham mengapa ada tren itu, mungkin mereka ingin lebih mengerti dengan bahasa Indonesia.”

Fakta pendukung lainnya adalah pengguna Viu didominasi oleh kaum perempuan (70%). Mereka ini adalah fan base konten-konten Asia seperti Korea Selatan, Thailand, Jepang yang masing-masing punya penggemarnya.

Setiap hari Viu menayangkan episode terbaru dari serial ongoing yang dinanti para pengguna. Strategi ini berhasil membawa DAU sebesar 386 ribu orang dan rata-rata waktu yang dihabiskan lebih dari satu jam, sesuai dengan durasi tayang tiap episode baru.

Meski konten Asia kini juga mulai rajin diisi Neflix ke dalam katalognya, sayangnya kami belum tahu seberapa efektivitasnya dalam mendongkrak pengguna. Posisi Netfix, sebagai platform global, memiliki kelebihan keberagaman konten yang dapat dipilih pengguna.

Sebagai bukti, Netflix terus menambah katalog secara rutin dari Korea Selatan, negara-negara Skandinavia, India, Timur Tengah, hingga Afrika. Pilihan tontonan jauh lebih kaya dan beragam. Pemilik konten juga semakin diuntungkan karena mereka bisa mendapat penonton dari belahan dunia manapun.

Viu menghindari persaingan langsung dengan Netflix karena cara tersebut terbukti membuat Hooq menyerah dan Iflix berdarah-darah.

Di Indonesia, nasib Netflix mulai mujur karena kerja samanya dengan Kemendikbud. Baru-baru ini serial dokumenter populer Netflix segera hadir di TVRI sebagai bagian dari program Belajar dari Rumah. Ini adalah pertama kalinya di dunia, tayangan Netflix disiarkan saluran televisi.

Mulai 20 Juni 2020, konten andalan seperti “Our Planet”, “Street Food: Asia”, “Tidying Up with Marie Kondo”, “Spelling the Dream”, “Chasing Coral”, dan “Night on Earth” akan tayang setiap Sabtu pukul 21.30 WIB dan tayangan ulang setiap Minggu dan Rabu pukul 09.00 WIB.

Di timing yang bersamaan, Telkom mewacanakan pemblokiran terhadap Netlix akan selesai “dalam hitungan minggu”. Sejak pemblokiran empat tahun lalu, pihak Telkom melihat Netflix sudah banyak berubah, misalnya pengawasan orang tua yang jauh lebih baik dan memiliki take down policy.

Pemblokiran sepihak oleh Telkom sebenarnya dapat dituntut konsumen karena ada hak-hak yang sengaja dihalangi. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengaku belum menerima aduan terkait hal itu dan hanya ramai di media sosial.

Netflix sendiri sudah menyediakan paket berlangganan yang lebih murah, yang memudahkan konsumennya menonton konten hanya melalui ponsel.

Perubahan selera pengguna

Country Manager Viu Indonesia Varun Mehta / Viu
Country Manager Viu Indonesia Varun Mehta / Viu

Cara pengguna Viu dalam mengakses konten juga terbilang unik untuk tiap lokasi. Mereka yang tinggal di pulau Jawa cenderung up-to-date dalam menikmati tontonan, misalnya selalu hadir setiap ada episode terbaru dari serial kesukaannya.

Sedangkan pengguna dari Sumatera sangat bervariasi. Konsumen di Sumatera Barat cenderung menonton konten yang sudah lama terkenal. Sementara pengguna di Sumatera Selatan lebih menyukai tontonan dari Indonesia daripada lainnya.

Taste-nya berubah-ubah terus. Tapi saat tayangan A World of Married Couple, semua penonton dari seluruh Indonesia kompak menonton yang sama.”

Fokus ke konten Asia, menurut Varun, sudah terbukti sesuai hipotesis awal sehingga bisa membawa Viu tetap bertahan hingga kini. Entah dengan membuat konten original dengan bahasa lokal atau adaptasi Asia dari format internasional, memasukkan konten lokal, atau membeli konten regional papan atas.

“Saat pandemi, kami juga menemukan kebiasaan baru bahwa pengguna mulai discover new content, tidak lagi menonton karena sedang viral. Akhirnya terlihat bahwa banyak pengguna yang suka dengan konten original.”

Viu juga mencatat kenaikan traffic Viu dari perangkat smartphone (85%) ketimbang dari perangkat lainnya, seperti TV atau laptop. Tidak hanya konten dari Indonesia, Korea, Jepang, Tiongkok, dan Thailand, kini Viu sudah menerbangkan konten dari India dan Timur Tengah, seperti Turki dan Mesir.

Laporan keuangan PCCW Media, induk usaha Viu, mencatatkan pengguna MAU Viu pada tahun lalu adalah 41,4 juta orang, naik 35% dari tahun sebelumnya. Pengguna Viu menyaksikan 5,7 miliar video, naik 69%. Disebutkan konten original Viu terus memberikan kontribusinya dalam meningkatkan angka pengguna.

VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar yang kami hubungi secara terpisah berkomentar, salah satu dampak pandemi adalah berhentinya penayangan pertandingan olahraga dari berbagai bidang, kecuali konten esports yang tetap berjalan.

Ketika sebagian besar tayangan olahraga berhenti, pihaknya justru menemukan fakta baru bahwa hal tersebut tidak berdampak buruk terhadap performa Vidio.

“Menurut data yang kami terima, walaupun ada penurunan jumlah tayangan dan penonton konten olahraga, ada peningkatan jumlah penonon tayangan film layar lebar, Vidio Original Series, dan tayangan live streaming. Bukan hanya live streaming TV nasional, tapi juga event eksklusif seperti Konser Satu Cara,” terangnya.

Hasil ini membuat pihaknya percaya diri bahwa Vidio tidak hanya kuat dalam sisi konten olahraga saja, namun juga konten lainnya seperti film layar lebar, Korea, Thailand, Tiongkok, drama India, animasi anak, program musik, dan konten edukasi.

Vidio tidak memberikan data terkini mengenai jumlah pengguna aktif dan pengunduhan aplikasi. Rezki hanya memastikan peningkatan cukup signifikan. Menurutnya, sejak membuat program Vidio Bebas Nonton, promosi gratis untuk menikmati konten Vidio, aplikasinya diunduh lebih dari lima juta kali dalam waktu satu bulan. HAl ini menobatkan perusahaan sebagai aplikasi nomor satu paling banyak diunduh pada April di Google Play dan App Store.

“Saat ini, Vidio telah dikunjungi lebih dari 60 juta kali dalam satu bulan. Peningkatan angka pengguna dan unduhan tak hanya di Google Play dan App Store, kami juga mengalami peningkatan unduhan untuk Smart TV sebanyak 700 ribu kali hingga Mei 2020.”

Melihat angka-angka di atas, Rezki menegaskan komitmennya untuk terus berinovasi memberikan produk terbaik dan terbaru, dalam bentuk aplikasi maupun Smart TV, demi kenyamanan konsumen.

“Salah satu kekuatan Vidio adalah perusahaan lokal yang sangat mengerti kebutuhan konsumen lokal, sehingga strategi yang kami lakukan memperkaya konten karena ini adalah segalanya untuk jenis bisnis ini, serta melakukan marketing dan channel distribution yang beragam,” tutupnya.