Berkat Aksesori Ini, HTC Vive Jadi Bisa Eye Tracking

Inisiatif HTC membentuk semacam accelerator bernama Vive X guna memperluas ekosistem aksesori headset Vive rupanya cukup berhasil. Bukti yang pertama adalah TPCAST, dimana startup asal Tiongkok tersebut berhasil menciptakan aksesori yang dapat mengubah Vive menjadi wireless.

Bukti keduanya juga datang dari Tiongkok, kali ini dari startup bernama 7invensun. Kreasinya tidak kalah inovatif dari TPCAST, dimana mereka sukses mengembangkan sebuah aksesori bernama aGlass yang berfungsi menghadirkan fitur eye tracking pada Vive.

Istimewanya, aGlass ini bersifat plug-and-play, yang berarti pengguna bisa memasangkan masing-masing modulnya secara manual ke dalam headset tanpa kesulitan. Kedua modulnya menyambung ke Vive via sambungan USB.

Deretan sensor di dalam aGlass diklaim sanggup mendeteksi pergerakan kedua mata sekaligus kelopaknya. Gunanya apa? Banyak, tapi salah satu yang tergolong paling praktis adalah untuk mewujudkan teknologi foveated rendering.

Foveated rendering ini secara teori dapat menurunkan spesifikasi minimum yang dibutuhkan VR headset seperti Vive secara drastis. Pasalnya, dengan foveated rendering PC Anda hanya perlu me-render dengan detail maksimum pada bagian tertentu saja, tepatnya bagian dimana pandangan kedua mata Anda berada.

Sederhananya, performa yang dirasakan bakal meningkat cukup pesat. 7invensun sendiri sudah membuktikannya lewat Nvidia VR Funhouse, dimana performanya bisa meningkat hingga dua kali lipat, dari hanya 45 fps menjadi 90 fps.

aGlass rencananya akan dipasarkan di Tiongkok terlebih dulu mulai bulan depan, sedangkan di negara-negara barat mulai kuartal ketiga, dengan harga $220. Apakah ke depannya bakal ada versi untuk Oculus Rift? Bisa jadi, mengingat HTC tidak memaksakan 7invensun harus loyal pada platform-nya.

Sumber: UploadVR.

VR Headset ke Depannya Dapat Mendeteksi Raut Muka Sehingga Karakter Virtual Anda Bisa Menirunya

Konsep “Social VR” perlahan mulai menunjukkan daya tarik yang cukup kuat, salah satunya berkat fitur Oculus Rooms yang diluncurkan buat Gear VR dan Rift akhir tahun kemarin. Di tempat lain, AltspaceVR yang bisa dibilang sebagai pencetus konsep ini sedang bersiap untuk memfasilitasi upacara pernikahan dalam VR.

Sayangnya sejauh ini pengguna masih belum memiliki cara yang mudah untuk mengekspresikan emosinya dalam VR. Saat kita tersenyum melihat pasangan pengantin VR itu tadi misalnya, karakter atau avatar kita dalam VR tidak akan ikut tersenyum.

Namun sebuah perusahaan bernama MindMaze punya ambisi untuk memperbaiki keterbatasan tersebut. Mereka mengembangkan teknologi unik yang dapat mendeteksi sekaligus menerjemahkan ekspresi wajah pengguna ke dalam VR.

Dijuluki Mask, teknologi ini melibatkan sebuah foam atau bantalan yang bisa menggantikan foam bawaan berbagai VR headset macam Gear VR atau HTC Vive. Tentunya ini bukan sembarang foam, melainkan yang telah ditanami delapan buah dioda yang bertugas untuk membaca impuls elektrik beserta aktivitas otot pada wajah pengguna headset.

Bantalan wajah berisikan delapan dioda ini kompatibel dengan beragam VR headset / MindMaze
Bantalan wajah berisikan delapan dioda ini kompatibel dengan beragam VR headset / MindMaze

Data itu kemudian dianalisa menggunakan algoritma machine learning guna menentukan raut muka seperti apa yang sedang Anda buat – apakah sedang tersenyum, cemberut atau ekspresi lainnya – lalu meneruskan informasinya supaya karakter virtual Anda bisa menirunya. Prosesnya diklaim dapat berlangsung secara instan, dan Engadget rupanya sependapat usai mencobanya.

MindMaze mengklaim teknologi yang mereka rancang ini aman. Reputasi mereka sebagai produsen peralatan medis bisa menjadi jaminan bahwa dioda yang menempel pada wajah Anda tersebut tidak akan berakibat apa-apa.

MindMaze rencananya tidak akan memasarkan Mask langsung ke konsumen. Mereka lebih memilih untuk menjalin kerja sama dengan produsen VR headset, melisensikan teknologinya yang diyakini sangat mudah untuk diintegrasikan ke produk yang sudah tersedia di pasaran.

Sumber: Engadget dan MindMaze.

Xiaomi Perkenalkan Mi VR Play 2, Dibanderol Cuma 200 Ribuan

Xiaomi kembali mengungkap VR headset untuk ketiga kalinya. Yang pertama adalah Mi VR Play yang sangat basic namun dibanderol dengan harga fantastis sebesar 1 yuan, kemudian disusul oleh Mi VR yang datang bersama controller ala Daydream View. Headset yang ketiga ini adalah penerus langsung Mi VR Play, seperti yang bisa kita lihat dari namanya.

Di atas kertas Mi VR Play 2 mungkin tidak membawa banyak pembaruan dibanding pendahulunya. Desainnya memang berubah cukup signifikan, dan Xiaomi memang ingin berfokus pada aspek kenyamanan kali ini.

Xiaomi mengklaim headset ini jauh lebih nyaman dipakai ketimbang versi pertamanya. Selain karena bobotnya lebih ringan, Xiaomi rupanya juga telah menggunakan material berbeda yang diyakini bisa meningkatkan kenyamanan.

Lebih lanjut, guna memastikan headset dapat dipakai dalam durasi yang lama tanpa membuat gerah, Xiaomi juga telah menempatkan sejumlah lubang ventilasi. Sekali lagi perubahannya mungkin tidak bisa dilihat dari luar begitu saja, melainkan dirasakan langsung dan membandingkannya dengan generasi yang pertama.

Mi VR Play 2 rencananya bakal dipasarkan di Tiongkok mulai 19 April mendatang seharga 99 yuan (± Rp 190 ribu), separuh dari harga Mi VR yang dilengkapi controller.

Sumber: UberGizmo.

AMD Akuisisi Nitero Guna Berfokus pada Segmen Wireless VR

2017 sepertinya bakal jadi tahunnya wireless VR. Yang saya maksud di sini bukanlah Gear VR dan teman-teman sejawatnya, melainkan headset seperkasa Oculus Rift atau HTC Vive, namun yang tidak perlu tersambung ke PC menggunakan kabel, memungkinkan pengguna untuk lebih leluasa bergerak dalam sesi VR gaming.

Indikasi yang pertama adalah tether-less upgrade kit besutan TPCAST, kemudian ada pula Quark VR yang belum lama ini juga mendemonstrasikan prototipe perangkat serupa. Yang ketiga datang dari nama yang jauh lebih besar, yakni AMD.

Produsen prosesor dan kartu grafis tersebut baru saja mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Nitero, sebuah perusahaan yang memang tengah mematangkan teknologi wireless virtual reality. Menurut AMD, akuisisi ini bertujuan untuk menyajikan solusi terhadap permasalahan yang kerap dijumpai pada VR headset beserta sederet kabelnya.

Teknologi yang dikembangkan Nitero mencakup sebuah transmitter 60 GHz yang sanggup meneruskan konten dari PC ke VR headset secara nirkabel dengan latency yang minimal, alias hampir tidak ada lag. Sejauh ini baik TPCAST, Quark VR maupun Nitero masih belum benar-benar bisa membuktikan seminim apa latency yang bisa dicapai teknologinya masing-masing.

Sampai titik ini belum ada kejelasan terkait produk seperti apa yang akan AMD luncurkan nanti. Apakah berupa aksesori untuk Rift dan Vive – seperti yang dilakukan TPCAST dan QuarkVR – atau malah sebuah headset baru hasil rancangannya sendiri?

Saya pribadi menduga AMD akan lebih memilih opsi yang pertama, spesifiknya untuk HTC Vive. Bukan karena Vive lebih superior atau apa, tapi karena Valve sendiri merupakan salah satu investor utama di Nitero, dan akuisisi ini dapat berujung pada kerja sama antara AMD dan Valve, yang notabene bertanggung jawab atas sistem tracking pada Vive.

Sumber: UploadVR dan AMD.

Update Oculus Home Tingkatkan Performa Sekaligus Kualitas Visual Gear VR

Kabar baik buat pengguna Samsung Gear VR. Dalam beberapa minggu ke depan, Oculus akan meluncurkan versi baru aplikasi Oculus Home yang diklaim dapat meningkatkan performa sekaligus kualitas visual dari VR headset tersebut.

Rahasianya ada pada penerapan runtime system baru Oculus, dimana kapabilitas hardware dapat lebih dimaksimalkan. Oculus Home adalah aplikasi pertama yang mendapatkan jatah teknik optimalisasi baru ini, namun ke depannya developer aplikasi pihak ketiga juga bisa ikut serta.

Lewat Facebook, CTO Oculus, John Carmack memaparkan teknik yang digunakan secara cukup mendetail. Sebagai konsumen, hal yang perlu kita garis bawahi cuma dua: 1) waktu loading bisa dipangkas sampai tiga kali lipat, dan 2) resolusi gambarnya meningkat dua kali lipat.

Oculus mengibaratkan peningkatan resolusi ini seperti lompatan dari standard definition (SD) ke high definition (HD). Sebelum ini, aplikasi kurang bisa mengoptimalkan hardware sehingga akhirnya kualitas visualnya terlihat jelek meskipun ponsel yang terselip di Gear VR punya resolusi layar sebesar 2560 x 1440 pixel.

VR berbasis mobile seperti Gear VR ini memang akan terus terkendala hardware, tidak seperti Oculus Rift atau HTC Vive yang mengandalkan PC dengan kartu grafis kelas dewa. Pun demikian, teknik optimalisasi ini setidaknya bisa sedikit menjamin masa depan Gear VR.

Sumber: Road to VR dan Oculus.

Quark VR Demonstrasikan Prototipe HTC Vive Versi Wireless-nya

Masih ingat dengan Quark VR, startup asal Bulgaria yang berambisi menyulap headset HTC Vive menjadi wireless? Meski sedikit terlambat, baru-baru ini mereka merilis sebuah video teaser untuk mendemonstrasikan prototipe buatannya yang digarap bersama Valve.

Dalam video di bawah, tampak CEO sekaligus co-founder Quark VR, Krasi Nikolov, sedang menggunakan HTC Vive tanpa ada kabel yang menyambung ke PC. Pun begitu, Anda pastinya masih bisa melihat seuntai kabel yang menjalar dari belakang kepalanya ke bagian pinggangnya.

Kabel ini menyambungkan Vive dengan prototipe buatan Quark VR, yang pada dasarnya merupakan sebuah komputer single board yang bertindak menjembatani Vive dan PC. Tampak juga sebuah power bank yang menyambung dan menyuplai tenaga ke perangkat berukuran mini tersebut.

Menurut Quark VR, ini semua baru sekadar solusi sementara. Pastinya mereka punya ide yang lebih matang dan lebih elegan ketimbang yang ditunjukkan sekarang. Terlepas dari itu, setidaknya prototipe buatan mereka bisa berfungsi dengan baik.

Namun ini bukan satu-satunya tantangan Quark saat ini. Mereka juga harus berhadapan dengan TPCAST yang malah sudah siap untuk memasarkan produknya yang berfungsi serupa dalam waktu dekat. Namun Quark sepertinya sudah menyiapkan solusinya.

Salah satunya adalah dengan memperluas kompatibilitas. TPCAST hanya mendukung HTC Vive saja, sedangkan Quark VR sedang bersiap untuk mendemonstrasikan produk buatannya dalam skenario multiplayer menggunakan headset yang berbeda. Apakah yang dimaksud itu Oculus Rift? Mungkin, tapi Quark VR sendiri masih bungkam soal itu.

Sejauh ini juga belum ada yang berani memastikan apakah Quark VR berhasil menangani masalah latency. Seperti yang kita tahu, aksesori semacam ini pastinya akan memperburuk problem lag dalam VR, tinggal bagaimana sang developer bisa meminimalkan tambahan latency itu.

Sumber: UploadVR dan Quark VR.

Vive Tracker Ubah Objek Sehari-hari Menjadi Controller VR

Banyak pihak setuju kalau sistem tracking HTC Vive lebih superior ketimbang Oculus Rift, dan HTC sepertinya ingin terus memimpin dalam bidang ini. Dalam dua event sekaligus, yakni MWC dan GDC (Game Developers Conference) 2017, HTC secara resmi meluncurkan sebuah perangkat inovatif bernama Vive Tracker.

Premis yang ditawarkan Vive Tracker adalah Anda bisa memanfaatkan objek sehari-hari sebagai controller VR. Mau itu tongkat baseball, panci atau sarung tangan, selama objek bisa ditempeli Vive Tracker, Anda bisa menggunakannya sebagai controller VR. Singkat cerita, potensi pengaplikasian Vive Tracker begitu luas.

Hal ini turut dibuktikan oleh developer game CloudGate Studio. Dalam game berjudul Island 359 yang mereka kembangkan, mereka berhasil menyuguhkan kontrol pergerakan yang melibatkan satu tubuh secara menyeluruh berkat Vive Tracker. Alhasil, pemain dapat melihat tubuh sekaligus pergerakannya di dalam game secara akurat.

HTC berencana untuk memasarkan Vive Tracker dalam dua tahap. Tahap pertama, dimulai pada 27 Maret mendatang, ditujukan buat kaum developer yang tertarik mengembangkan konten untuk Vive. Tahap kedua adalah penjualan langsung ke konsumen, namun jadwal pastinya di tahun ini masih belum ditetapkan. Harganya sendiri dipatok $100 per unit.

Vive Deluxe Audio Strap / HTC

Selain Vive Tracker, HTC juga merilis Vive Deluxe Audio Strap. Perangkat ini sederhananya merupakan headphone yang dirancang dengan memperhatikan integrasinya dengan headset Vive. HTC sepertinya banyak belajar dari Oculus yang dari awal sudah membundel aksesori semacam ini dengan headset Rift.

HTC akan membuka pre-order untuk Vive Deluxe Audio Strap mulai 2 Mei, dengan harga juga $100.

Sumber: PR Newswire dan Vive.

HTC Akan Luncurkan Mobile VR Headset Tahun Ini

Oculus Rift dan HTC Vive membuka mata publik terkait kapabilitas teknologi virtual reality. Sudah sewajarnya apabila publik kini mendambakan sebuah perangkat yang memungkinkan mereka untuk menikmati konten VR berkualitas di mana saja. Gear VR maupun Daydream View memang sudah tersedia, tapi kita butuh yang lebih superior dari itu selagi mempertahankan aspek portabilitasnya.

Tahun lalu, Oculus sudah mengumumkan bahwa mereka tengah mengembangkan sebuah VR headset bertipe standalone yang dapat digunakan tanpa harus tersambung smartphone maupun PC. Sekarang, giliran HTC yang mengumumkan rencana serupa, berdasarkan paparan CFO HTC, Chia-lin Chang kepada CNET.

Kira-kira sebelum akhir tahun, HTC akan meluncurkan sebuah perangkat mobile VR. Dijelaskan bahwa konsep perangkat ini tidak seperti Gear VR yang mewajibkan pengguna untuk menyelipkan ponsel ke dalam headset. Kemungkinan besar perangkat yang dimaksud adalah standalone VR headset seperti yang sedang dikerjakan Oculus.

Kalau benar, perangkat ini bisa dipastikan bakal menawarkan kapabilitas tracking yang hampir setara HTC Vive, dengan kamera, sensor dan chipset komputasi yang tertanam langsung di headset. Sebelum ini, HTC memang sudah memperkenalkan aksesori yang dapat mengubah Vive menjadi wireless, namun sepertinya perangkat baru ini bakal lebih portable lagi dari itu.

Semua ini baru sebatas spekulasi, terkecuali janji HTC untuk mengungkapnya sebelum akhir tahun. Kita lihat saja nanti siapa yang bisa lebih dulu mencuri perhatian publik dengan VR headset barunya, apakah Oculus atau HTC?

Sumber: UploadVR dan CNET.

Valve Konfirmasi Akan Ada Lebih Banyak VR Headset yang Kompatibel dengan SteamVR

Oculus Rift dan HTC Vive adalah dua pemain terbesar di ranah virtual reality saat ini. Sebagai konsumen, sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya, manakah yang lebih laris di pasaran? Jawabannya malah datang dari founder Epic Games, Tim Sweeney, yang mengklaim Vive terjual lebih banyak dibanding Rift, dengan rasio 2:1.

Tim memang tidak menyebutkan dari mana ia mendapatkan angkanya, akan tetapi alasan yang diungkapkan cukup kuat: Vive mengadopsi platform yang terbuka, dan seringkali open platform selalu menang. Lebih lanjut, Vive juga mengandalkan Steam sebagai medium distribusi kontennya, dan hampir semua gamer PC sudah cukup akrab dengan Steam.

Namun kemenangan Vive tampaknya hanya bersifat sementara, sebab beberapa pabrikan lain dikabarkan juga sedang mengembangkan VR headset yang kompatibel dengan sistem SteamVR Tracking. Kabar ini disampaikan langsung oleh Joe Ludwig, programmer Valve yang menangani SteamVR, dalam rubrik AMA (Ask Me Anything) bersama Gabe Newell selaku founder Valve di Reddit.

Joe mengungkapkan bahwa sudah ada sekitar 500 perusahaan yang mendaftar untuk memanfaatkan teknologi SteamVR Tracking. Sebagian besar mungkin hanya mengembangkan aksesori atau peripheral untuk Vive, namun ternyata beberapa di antaranya ada yang sedang mengerjakan HMD (head-mounted display) buatannya sendiri – meski sejauh ini tidak ada informasi apakah mereka merupakan perusahaan besar atau baru sebatas startup.

Kalau benar, bisa jadi ke depannya bakal ada VR headset dengan spesifikasi dan kemampuan tracking setara HTC Vive, namun dengan harga yang lebih terjangkau. Tentunya ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para VR enthusiast, sekaligus membuka jangkauan pasar virtual reality ke segmen yang lebih luas.

Sumber: Wareable.

Selain Google Pixel, Inilah 4 Smartphone yang Kompatibel dengan VR Headset Daydream View

Lewat Cardboard, Google sejatinya ingin memperkenalkan semua konsumen tanpa terkecuali kepada teknologi virtual reality. Setelah VR jadi cukup dikenal, waktunya menyuguhkan pengalaman VR yang lebih superior, tapi di saat yang sama masih mempertahankan aspek portable dari Cardboard. Demikianlah kira-kira premis di balik lahirnya Daydream View.

Demi menjaga kualitas, Google pun menetapkan sejumlah standar minimum untuk Daydream View. Utamanya, ponsel harus mengemas layar AMOLED, chipset Snapdragon 820, RAM minimum 4 GB, dan yang tidak kalah penting, menjalankan OS Android 7.0 Nougat. Sejauh ini, baru Google Pixel dan Moto Z saja yang memenuhi syarat-syarat tersebut.

Kalau melihat syarat yang ditetapkan, sebenarnya tidak sulit bagi pabrikan smartphone untuk membuat produknya kompatibel. Tantangan terbesar mereka sejatinya hanya mengirimkan update Android 7.0 Nougat, tapi kalau belajar dari pengalaman, vendorvendor ponsel Android memang terbilang lamban dalam merilis update.

VR headset buatan Huawei yang dikategorikan Daydream-ready / Google
VR headset buatan Huawei yang dikategorikan Daydream-ready / Google

Dalam waktu dekat ini, setidaknya akan ada empat smartphone lain yang kompatibel dengan headset Daydream View. Mereka adalah ZTE Axon 7, Asus ZenFone AR, Huawei Mate 9 Pro dan Mate 9 versi Porsche Design.

Khusus untuk Mate 9 Pro dan Porsche Design Mate 9, Huawei ternyata sudah menyisihkan sejumlah waktunya untuk menggarap VR headset Daydream versinya sendiri. Mengikuti standar yang ditetapkan Google, headset ini dapat tetap digunakan dengan nyaman oleh konsumen yang berkacamata, dengan field of view seluas 95 derajat. Tentu saja, akan ada sebuah remote control yang menemaninya.

Ke depannya dipastikan akan ada lebih banyak lagi, apalagi mengingat event Mobile World Congress bakal dihelat tidak lama lagi di akhir Februari. Di sana pastinya akan bermunculan smartphonesmartphone anyar yang sudah menjalankan Android 7.0 dari sejak dirakit di pabriknya masing-masing, dan Google berjanji untuk mencantumkan semua yang kompatibel di sini.

Sumber: Google Blog.