Prototipe Standalone VR Headset dari Samsung Ini Dibekali Eye Tracking dan Hand Tracking

Apa yang bisa kita harapkan dari VR headset macam Gear VR ke depannya? Selain model standalone (bisa beroperasi sendiri tanpa perlu diselipi smartphone), mungkin eye tracking dan hand tracking juga termasuk dua teratas di wish list kebanyakan orang. Kabar baiknya, Samsung rupanya sudah punya prototipe standalone VR headset untuk menguji kedua teknologi ini.

Dijuluki Exynos VR III, tampak jelas kalau perangkat ini masih berupa prototipe dari wujudnya yang masif serta desain yang terkesan belum selesai. Kabar ini datang dari sebuah perusahaan ahli eye tracking bernama Visual Camp, yang teknologi rancangannya memang digunakan oleh Samsung.

Headset-nya sendiri ditenagai oleh chipset dengan fabrikasi 10 nm, yang mencakup prosesor hexa-core dan GPU Mali G71. Chip grafisnya ini diklaim sanggup menenagai sepasang display WQHD+ (beresolusi sekitar 2560 x 1440 pixel) dalam refresh rate 90 Hz, atau satu display 4K 75 Hz.

Teknologi eye tracking memegang peranan penting dalam implementasi foveated rendering / Visual Camp
Teknologi eye tracking memegang peranan penting dalam implementasi foveated rendering / Visual Camp

Eye tracking, atau istilah lainnya gaze tracking, memungkinkan implementasi teknologi lain bernama foveated rendering. Teknologi ini krusial untuk sebuah standalone VR headset, dimana grafik hanya akan di-render dalam resolusi penuh pada bagian dimana pandangan pengguna tertuju. Alhasil, konsumsi daya dapat ditekan, dan headset juga tidak berisiko overheating.

Selain eye tracking dan foveated rendering, Exynos VR III dilaporkan juga mengusung teknologi hand tracking. Terlepas dari itu, meskipun perangkat ini hanyalah sebatas prototipe, setidaknya kita jadi punya gambaran terkait mobile VR headset di masa yang akan datang.

Sumber: The Verge.

Startup Ini Kembangkan VR Headset dengan Resolusi Display Setara Mata Manusia

Selain transisi dari wired ke wireless, apalagi yang bisa dibenahi dari teknologi virtual reality yang ada sekarang? Menurut sebuah startup asal Finlandia bernama Varjo, jawabannya adalah kualitas display. Tanpa terekspos ke publik, mereka diam-diam tengah mengerjakan sebuah VR headset yang diklaim menawarkan resolusi setara mata manusia.

Headset itu belum memiliki nama, dan sejauh ini hanya dipanggil dengan sebutan “20/20” – merujuk pada jargon untuk menggambarkan indera penglihatan yang sempurna. Seperti yang saya bilang, letak keistimewaan utamanya ada pada kualitas display-nya. Dengan resolusi di atas 70 megapixel, display ini jelas berkali lipat lebih tajam ketimbang milik Oculus Rift atau HTC Vive yang cuma sekitar 1,2 megapixel per mata.

Tanpa memberikan penjelasan yang merinci, Varjo hanya bilang kalau rahasianya terletak pada teknologi yang sanggup meniru cara kerja alami mata manusia, yang tentu saja sudah mereka patenkan. Rasa percaya diri Varjo sendiri berasal dari tim pengembang yang beberapa personilnya merupakan mantan petinggi di Microsoft, Nokia, Intel, Nvidia dan Rovio.

Oculus Rift (kiri) dan Varjo (kanan), Anda bisa lihat sendiri perbedaannya yang cukup drastis / Varjo
Oculus Rift (kiri) dan Varjo (kanan), Anda bisa lihat sendiri perbedaannya yang cukup drastis / Varjo

Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya, kalau Rift dan Vive saja sudah membutuhkan komputer berspesifikasi high-end, bagaimana dengan headset garapan Varjo ini? Namun ternyata Varjo bilang daya komputasi yang dibutuhkan tergolong kecil, sebab mereka juga menerapkan teknologi foveated eye tracking.

Teknologi ini sejatinya memungkinkan headset untuk me-render elemen grafik dalam resolusi penuh hanya pada bagian yang ada dalam sudut pandang pengguna saja. Sisanya akan di-render dalam resolusi rendah, barulah ketika Anda menengok ke arahnya, bagian tersebut akan di-render dalam resolusi penuh.

Varjo rupanya juga tidak melupakan segmen augmented reality dan mixed reality sekaligus. Semua ini memang baru sebatas prototipe, akan tetapi Varjo berniat meluncurkan produk finalnya yang ditujukan buat kalangan profesional mulai akhir kuartal keempat tahun ini.

Sumber: Engadget dan Varjo.

Intel DisplayLink XR Ubah HTC Vive Menjadi Wireless Tanpa Mengorbankan Performa

Konektivitas wireless adalah masa depan virtual reality, seperti telah dibuktikan oleh TPCAST maupun Quark VR. Kalau dua itu belum cukup meyakinkan bagi Anda, coba tengok apa yang Intel demonstrasikan di ajang E3 2017 baru-baru ini: sebuah prototipe perangkat yang dapat menyulap headset HTC Vive menjadi wireless.

Yup, Intel rupanya juga mencoba menyajikan solusi wireless buat Vive. Perangkat bernama Intel DisplayLink XR ini duduk di atas Vive, menyambung langsung ke headset tersebut lewat sejumlah kabel pendek. Fisiknya memang tampak bongsor, tapi ingat ini baru prototipe.

Sumber foto: PC Gamer
Sumber foto: PC Gamer

Yang membuat racikan Intel ini unik dibanding besutan TPCAST maupun Quark VR adalah penggunaan teknologi WiGig yang berbasis standar 802.11ad, sanggup mentransfer data secara wireless dalam level kecepatan gigabit di frekuensi 60 GHz. Hasilnya, latency-nya tidak sampai 7 milidetik, sehingga pengalaman yang didapat persis seperti Vive standar yang tersambung kabel.

Untuk sekarang, DisplayLink XR mengandalkan sebuah transmitter WiGig yang menghuni slot PCIe milik komputer. Meski belum bisa dipastikan kapan, ke depannya Intel berencana untuk mengintegrasikan transmitter ini langsung ke dalam motherboard sehingga DisplayLink XR dapat langsung digunakan begitu dikeluarkan dari boksnya.

Sumber foto: PC Gamer
Sumber foto: PC Gamer

Selain berperforma lebih baik dari TPCAST maupun Quark VR, solusi Intel ini juga lebih praktis karena perangkat hanya perlu tersambung ke headset saja. Ini berbeda dari milik Quark VR yang masih harus tersambung via kabel ke sebuah transmitter kecil yang dapat disimpan dalam saku celana.

Di sini koneksi antara perangkat dan transmitter berlangsung secara wireless. Maka dari itu, DisplayLink XR turut dibekali unit baterainya sendiri yang diestimasikan bisa bertahan selama sekitar dua jam penggunaan.

Sejauh ini sama sekali belum ada bocoran mengenai jadwal rilisnya. Tanda tanya besar juga masih menghantui aspek kompatibilitas; apakah nantinya perangkat ini juga bisa digunakan dengan Oculus Rift atau tidak?

Sumber: PC Gamer dan TechRadar.

VR Headset HTC Link Dirancang Khusus untuk Smartphone HTC U11

Belum lama ini, Google mengabarkan bahwa HTC dan Lenovo sedang mengerjakan standalone VR headset untuk platform Daydream. Namun sebelum itu terealisasi, HTC rupanya punya kejutan lain di segmen virtual reality.

Kejutan itu adalah HTC Link, sebuah VR headset baru yang secara spesifik dirancang untuk disandingkan dengan smartphone HTC U11. Uniknya, Link punya sepasang display sendiri, masing-masing merupakan panel LCD berukuran 3,6 inci dengan resolusi 1080 x 1200 pixel, field of view seluas 110 derajat, dan refresh rate 90 Hz.

Karena dibekali layar sendiri, Link tidak punya ruang untuk menggotong U11. Jadi bukannya menyelipkan ponsel ke dalam Link, pengguna justru menyambungkan keduanya via kabel USB-C.

Paket penjualan HTC Link di Jepang / HTC
Paket penjualan HTC Link di Jepang / HTC

Unik juga dari Link adalah kapabilitas tracking 6DOF, alias six degrees of freedom secara menyeluruh – pertama kalinya untuk VR headset berbasis smartphone. Link turut didampingi oleh sepasang controller macam PlayStation Move, dan tracking-nya mengandalkan sensor eksternal (kamera) seperti cara kerja PSVR.

Kabar buruknya, perangkat ini hanya akan tersedia secara eksklusif di Jepang saja, dan HTC sudah mengonfirmasi bahwa mereka tak punya rencana untuk memboyongnya ke negara lain. Entah alasan pastinya kenapa, padahal saya yakin bakal ada banyak otaku yang tertarik mengingat HTC sudah menyiapkan konten hasil kolaborasinya bersama kreator anime Ghost in the Shell.

HTC Link datang bersama sepasang controller macam PlayStation Move / HTC
HTC Link datang bersama sepasang controller macam PlayStation Move / HTC

Penting juga untuk diperhatikan adalah perangkat ini sama sekali tak mengusung label “Vive”, dan ini berbeda dari standalone VR headset yang HTC tengah siapkan itu tadi – yang nantinya akan termasuk dalam lini Vive.

Sumber: UploadVR dan The Verge.

HTC dan Lenovo Sedang Kembangkan VR Headset Standalone untuk Platform Google Daydream

Platform Daydream dan headset Daydream View merupakan bukti keseriusan Google dalam memajukan ranah virtual reality. Daydream View sendiri barulah awal dari visi besar Google untuk VR, seperti yang mereka tunjukkan pada ajang Google I/O tahun ini.

Dalam konferensi developer tahunan itu, Google mengumumkan bahwa produk selanjutnya untuk platform Daydream adalah VR headset bersifat standalone. Sekadar mengingatkan, standalone berarti headset tersebut sama sekali tidak perlu disambungkan ke PC ataupun dijejali smartphone; cukup pasangkan di kepala, maka Anda sudah langsung masuk ke realita maya.

Istimewanya, headset ini bakal mengusung sistem tracking luar-dalam, mirip seperti headset Windows Mixed Reality besutan Acer dan HP. Sederhananya, sistem ini memungkinkan perangkat untuk membaca pergerakan pengguna tanpa perlu mengandalkan perangkat terpisah seperti HTC Vive atau Oculus Rift.

Untuk mewujudkannya, Google mengadaptasikan teknologi augmented reality besutannya sendiri, Tango, menjadi sebuah sistem tracking VR yang mereka sebut dengan istilah WorldSense. WorldSense menjanjikan pengalaman bergerak yang sangat alami dalam VR, seperti yang bisa Anda lihat pada video di bawah ini.

Saat ini Google sudah punya prototipe VR headset standalone ini, dan mereka pun juga telah bekerja sama dengan Qualcomm untuk menciptakan desain blueprint yang bisa dijadikan referensi oleh pabrikan yang tertarik. Sejauh ini sudah ada dua yang berminat, yakni HTC dan Lenovo.

Baik HTC dan Lenovo dikabarkan siap merilis VR headset standalone-nya masing-masing dalam beberapa bulan mendatang. Harganya diperkirakan berada di kisaran $600 – $700, sekelas dengan HTC Vive maupun Oculus Rift.

Sumber: The Verge dan Google.

Berkat Aksesori Ini, HTC Vive Jadi Bisa Eye Tracking

Inisiatif HTC membentuk semacam accelerator bernama Vive X guna memperluas ekosistem aksesori headset Vive rupanya cukup berhasil. Bukti yang pertama adalah TPCAST, dimana startup asal Tiongkok tersebut berhasil menciptakan aksesori yang dapat mengubah Vive menjadi wireless.

Bukti keduanya juga datang dari Tiongkok, kali ini dari startup bernama 7invensun. Kreasinya tidak kalah inovatif dari TPCAST, dimana mereka sukses mengembangkan sebuah aksesori bernama aGlass yang berfungsi menghadirkan fitur eye tracking pada Vive.

Istimewanya, aGlass ini bersifat plug-and-play, yang berarti pengguna bisa memasangkan masing-masing modulnya secara manual ke dalam headset tanpa kesulitan. Kedua modulnya menyambung ke Vive via sambungan USB.

Deretan sensor di dalam aGlass diklaim sanggup mendeteksi pergerakan kedua mata sekaligus kelopaknya. Gunanya apa? Banyak, tapi salah satu yang tergolong paling praktis adalah untuk mewujudkan teknologi foveated rendering.

Foveated rendering ini secara teori dapat menurunkan spesifikasi minimum yang dibutuhkan VR headset seperti Vive secara drastis. Pasalnya, dengan foveated rendering PC Anda hanya perlu me-render dengan detail maksimum pada bagian tertentu saja, tepatnya bagian dimana pandangan kedua mata Anda berada.

Sederhananya, performa yang dirasakan bakal meningkat cukup pesat. 7invensun sendiri sudah membuktikannya lewat Nvidia VR Funhouse, dimana performanya bisa meningkat hingga dua kali lipat, dari hanya 45 fps menjadi 90 fps.

aGlass rencananya akan dipasarkan di Tiongkok terlebih dulu mulai bulan depan, sedangkan di negara-negara barat mulai kuartal ketiga, dengan harga $220. Apakah ke depannya bakal ada versi untuk Oculus Rift? Bisa jadi, mengingat HTC tidak memaksakan 7invensun harus loyal pada platform-nya.

Sumber: UploadVR.

VR Headset ke Depannya Dapat Mendeteksi Raut Muka Sehingga Karakter Virtual Anda Bisa Menirunya

Konsep “Social VR” perlahan mulai menunjukkan daya tarik yang cukup kuat, salah satunya berkat fitur Oculus Rooms yang diluncurkan buat Gear VR dan Rift akhir tahun kemarin. Di tempat lain, AltspaceVR yang bisa dibilang sebagai pencetus konsep ini sedang bersiap untuk memfasilitasi upacara pernikahan dalam VR.

Sayangnya sejauh ini pengguna masih belum memiliki cara yang mudah untuk mengekspresikan emosinya dalam VR. Saat kita tersenyum melihat pasangan pengantin VR itu tadi misalnya, karakter atau avatar kita dalam VR tidak akan ikut tersenyum.

Namun sebuah perusahaan bernama MindMaze punya ambisi untuk memperbaiki keterbatasan tersebut. Mereka mengembangkan teknologi unik yang dapat mendeteksi sekaligus menerjemahkan ekspresi wajah pengguna ke dalam VR.

Dijuluki Mask, teknologi ini melibatkan sebuah foam atau bantalan yang bisa menggantikan foam bawaan berbagai VR headset macam Gear VR atau HTC Vive. Tentunya ini bukan sembarang foam, melainkan yang telah ditanami delapan buah dioda yang bertugas untuk membaca impuls elektrik beserta aktivitas otot pada wajah pengguna headset.

Bantalan wajah berisikan delapan dioda ini kompatibel dengan beragam VR headset / MindMaze
Bantalan wajah berisikan delapan dioda ini kompatibel dengan beragam VR headset / MindMaze

Data itu kemudian dianalisa menggunakan algoritma machine learning guna menentukan raut muka seperti apa yang sedang Anda buat – apakah sedang tersenyum, cemberut atau ekspresi lainnya – lalu meneruskan informasinya supaya karakter virtual Anda bisa menirunya. Prosesnya diklaim dapat berlangsung secara instan, dan Engadget rupanya sependapat usai mencobanya.

MindMaze mengklaim teknologi yang mereka rancang ini aman. Reputasi mereka sebagai produsen peralatan medis bisa menjadi jaminan bahwa dioda yang menempel pada wajah Anda tersebut tidak akan berakibat apa-apa.

MindMaze rencananya tidak akan memasarkan Mask langsung ke konsumen. Mereka lebih memilih untuk menjalin kerja sama dengan produsen VR headset, melisensikan teknologinya yang diyakini sangat mudah untuk diintegrasikan ke produk yang sudah tersedia di pasaran.

Sumber: Engadget dan MindMaze.

Xiaomi Perkenalkan Mi VR Play 2, Dibanderol Cuma 200 Ribuan

Xiaomi kembali mengungkap VR headset untuk ketiga kalinya. Yang pertama adalah Mi VR Play yang sangat basic namun dibanderol dengan harga fantastis sebesar 1 yuan, kemudian disusul oleh Mi VR yang datang bersama controller ala Daydream View. Headset yang ketiga ini adalah penerus langsung Mi VR Play, seperti yang bisa kita lihat dari namanya.

Di atas kertas Mi VR Play 2 mungkin tidak membawa banyak pembaruan dibanding pendahulunya. Desainnya memang berubah cukup signifikan, dan Xiaomi memang ingin berfokus pada aspek kenyamanan kali ini.

Xiaomi mengklaim headset ini jauh lebih nyaman dipakai ketimbang versi pertamanya. Selain karena bobotnya lebih ringan, Xiaomi rupanya juga telah menggunakan material berbeda yang diyakini bisa meningkatkan kenyamanan.

Lebih lanjut, guna memastikan headset dapat dipakai dalam durasi yang lama tanpa membuat gerah, Xiaomi juga telah menempatkan sejumlah lubang ventilasi. Sekali lagi perubahannya mungkin tidak bisa dilihat dari luar begitu saja, melainkan dirasakan langsung dan membandingkannya dengan generasi yang pertama.

Mi VR Play 2 rencananya bakal dipasarkan di Tiongkok mulai 19 April mendatang seharga 99 yuan (± Rp 190 ribu), separuh dari harga Mi VR yang dilengkapi controller.

Sumber: UberGizmo.

AMD Akuisisi Nitero Guna Berfokus pada Segmen Wireless VR

2017 sepertinya bakal jadi tahunnya wireless VR. Yang saya maksud di sini bukanlah Gear VR dan teman-teman sejawatnya, melainkan headset seperkasa Oculus Rift atau HTC Vive, namun yang tidak perlu tersambung ke PC menggunakan kabel, memungkinkan pengguna untuk lebih leluasa bergerak dalam sesi VR gaming.

Indikasi yang pertama adalah tether-less upgrade kit besutan TPCAST, kemudian ada pula Quark VR yang belum lama ini juga mendemonstrasikan prototipe perangkat serupa. Yang ketiga datang dari nama yang jauh lebih besar, yakni AMD.

Produsen prosesor dan kartu grafis tersebut baru saja mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Nitero, sebuah perusahaan yang memang tengah mematangkan teknologi wireless virtual reality. Menurut AMD, akuisisi ini bertujuan untuk menyajikan solusi terhadap permasalahan yang kerap dijumpai pada VR headset beserta sederet kabelnya.

Teknologi yang dikembangkan Nitero mencakup sebuah transmitter 60 GHz yang sanggup meneruskan konten dari PC ke VR headset secara nirkabel dengan latency yang minimal, alias hampir tidak ada lag. Sejauh ini baik TPCAST, Quark VR maupun Nitero masih belum benar-benar bisa membuktikan seminim apa latency yang bisa dicapai teknologinya masing-masing.

Sampai titik ini belum ada kejelasan terkait produk seperti apa yang akan AMD luncurkan nanti. Apakah berupa aksesori untuk Rift dan Vive – seperti yang dilakukan TPCAST dan QuarkVR – atau malah sebuah headset baru hasil rancangannya sendiri?

Saya pribadi menduga AMD akan lebih memilih opsi yang pertama, spesifiknya untuk HTC Vive. Bukan karena Vive lebih superior atau apa, tapi karena Valve sendiri merupakan salah satu investor utama di Nitero, dan akuisisi ini dapat berujung pada kerja sama antara AMD dan Valve, yang notabene bertanggung jawab atas sistem tracking pada Vive.

Sumber: UploadVR dan AMD.

Update Oculus Home Tingkatkan Performa Sekaligus Kualitas Visual Gear VR

Kabar baik buat pengguna Samsung Gear VR. Dalam beberapa minggu ke depan, Oculus akan meluncurkan versi baru aplikasi Oculus Home yang diklaim dapat meningkatkan performa sekaligus kualitas visual dari VR headset tersebut.

Rahasianya ada pada penerapan runtime system baru Oculus, dimana kapabilitas hardware dapat lebih dimaksimalkan. Oculus Home adalah aplikasi pertama yang mendapatkan jatah teknik optimalisasi baru ini, namun ke depannya developer aplikasi pihak ketiga juga bisa ikut serta.

Lewat Facebook, CTO Oculus, John Carmack memaparkan teknik yang digunakan secara cukup mendetail. Sebagai konsumen, hal yang perlu kita garis bawahi cuma dua: 1) waktu loading bisa dipangkas sampai tiga kali lipat, dan 2) resolusi gambarnya meningkat dua kali lipat.

Oculus mengibaratkan peningkatan resolusi ini seperti lompatan dari standard definition (SD) ke high definition (HD). Sebelum ini, aplikasi kurang bisa mengoptimalkan hardware sehingga akhirnya kualitas visualnya terlihat jelek meskipun ponsel yang terselip di Gear VR punya resolusi layar sebesar 2560 x 1440 pixel.

VR berbasis mobile seperti Gear VR ini memang akan terus terkendala hardware, tidak seperti Oculus Rift atau HTC Vive yang mengandalkan PC dengan kartu grafis kelas dewa. Pun demikian, teknik optimalisasi ini setidaknya bisa sedikit menjamin masa depan Gear VR.

Sumber: Road to VR dan Oculus.