Bagaimana Game Mengubah Perilaku Komunikasi dan Interaksi Sosial

Pernahkah Anda mengenal seseorang yang cerewet di dunia maya, tapi mendadak menjadi diam ketika diajak untuk bertemu tatap muka? Atau mungkin, Anda justru orang yang ceriwis di dunia online tapi menjadi pendiam di dunia nyata. Jangan khawatir, Anda tidak sendiri. Internet memang memengaruhi cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain.

Dan seiring dengan semakin populernya game online, semakin banyak orang yang menggunakan game sebagai tempat untuk bersosialisasi. Memang, game bisa digunakan untuk mendekatkan diri dengan temah yang sudah Anda kenal atau mencari teman yang sama sekali baru.

Evolusi Alat Komunikasi Manusia

Sejatinya, manusia adalah makhluk sosial. Mereka akan selalu mencari cara untuk bisa berkomunikasi dengan satu sama lain. Yang membedakan cara komunikasi manusia dari masa ke masa adalah teknologi yang ada. Seiring dengan berkembangnya teknologi, alat komunikasi manusia pun menjadi semakin canggih. Menurut Perkembangan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya Terhadap Kehidupan, perkembangan alat komunikasi manusia terbagi ke dalam empat era.

Pertama adalah era komunikasi tulisan yang dimulai pada 4000 SM. Kedua adalah era percetakan. Era ini dimulai pada 1456, ketika Gutenberg menemukan alat percetakan. Meskipun begitu, surat kabar baru muncul pada sekitar tahun 1600. Di Eropa, surat kabar yang pertama dicetak berasal dari Jerman, bernama Aviso di Wolfunbuttel. Sementara di Tanah Air, koran nasional yang pertama diterbitkan adalah Medan Prijaji. Koran asal Bandung itu terbit sejak Januari 1907 sampai Januari 1912, menurut laporan Kompas.

Kolom biro jodoh di koran. | Sumber: Hipwee

Sebagai alat komunikasi, koran bersifat satu arah. Jadi, seseorang bisa membuat pengumuman berita suka atau duka — seperti pernikahan atau pemakaman — ke masyarakat luas, tapi, masyarakat tidak bisa membalas kabar tersebut. Tak hanya itu, koran atau majalah juga bisa menjadi alat untuk mencari teman baru. Di koran, terdapat segmen biro jodoh atau cari jodoh, yang berisi daftar orang-orang yang tertarik untuk mencari kekasih. Segmen sahabat pena mungkin lebih jarang ditemukan. Namun, ketika saya masih SD, saya pernah mendapatkan sahabat pena dari majalan anak-anak.

Era ketiga adalah era telekomunikasi. Ada beberapa temuan terkait komunikasi di era ini, seperti film dan radio. Gelombang radio pertama kali diidentifikasi dan dipelajari oleh ahli fisika Jerman, Heinrich Hertz, pada 1887. Namun, transmitter dan receiver pertama radio dibuat oleh pria Italia, Guglielmo Marconi, pada 1895-1896. Empat tahun kemudian, pada 1900, radio mulai digunakan secara komersil.

Di Indonesia, generasi pertama staisun radio muncul pada 1925, di Malabar, Jawa Tengah. Sementara Radio Republik Indonesia (RRI) sendiri didirikan pada 11 September 1945. Hari berdiri RRI kemudian juga diperingati sebagai Hari Radio Nasional, lapor Kompas. Biasanya, radio digunakan sebagai media untuk titip salam, baik untuk keluarga, teman, atau gebetan. Berdasarkan pengalaman pribadi, walau tidak ada jaminan bahwa orang yang dituju akan mendengar salam yang kita kirim, ada rasa kepuasan tersendiri ketika sang penyiar membaca pesan kita.

Selain radio, para era ketiga ini juga ditemukan televisi, yang memungkinkan berbagai layanan komunikasi baru. Hanya saja, sama seperti koran, baik radio maupun TV merupakan alat komunikasi satu arah. Seseorang bisa menggunakan TV dan radio untuk membuat pengumuman pada banyak orang, tapi sang pendengar/penonton tidak bisa berinteraksi dengan pengumuman atau pesan yang disampaikan. Hal ini berubah pada era keempat.

Internet muncul di era komunikasi interaktif. | Sumber: Deposit Photos

Era komunikasi keempat merupakan era komunikasi interaktif. Nama dari era ini merefleksikan kemampuan dari teknologi-teknologi komunikasi yang muncul di era ini, seperti satelit, komputer, dan internet. Semua teknologi komunikasi itu memungkinkan kita untuk berkomunikasi secara dua arah. Pada tahun 1990-an, industri komunikasi mengalami perubahan besar-besaran berkat kemunculan internet, menurut Forbes. Sejak saat itu, internet — serta komputer dan smartphone — memungkinkan terciptanya berbagai alat komunikasi, mulai dari email, instant messaging, Voice Over Internet Protocol (VOIP), forum internet, media sosial, dan juga game online.

Sama seperti alat komunikasi lainnya, media sosial juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Friendster, yang dirilis pada 2001, merupakan salah satu situs media sosial pertama di dunia. Sementara LinkedIn didirikan pada 2002 sebagai situs media sosial untuk para pekerja profesional. Pada 2020, LinkedIn telah memiliki lebih dari 675 juta pengguna, menurut Mary Ville. Pada 2004, Mark Zuckerberg mendirikan Facebook, yang penggunanya kini mencapai miliaran orang. Dan dua tahun kemudian, Twitter didirikan dengan konsep situs microblogging.

Instagram muncul pada 2010. Di tahun yang sama, Pinterest berdiri dan satu tahun kemudian, Snapchat resmi diluncurkan. Dengan ini, konten di media sosial pun mulai berubah, dari teks menjadi gambar. TikTok didirikan oleh perusahaan Tiongkok, ByteDance, pada 2016. Berbeda dengan Facebook atau Instagram, fokus TikTok adalah pada video dengan durasi pendek. Keberadaan TikTok juga menjadi bukti bahwa netizen sekarang lebih gemar untuk mengonsumsi video.

Media sosial juga terus berevolusi. | Sumber: Marry Ville

Keberadaan media sosial memberikan sejumlah kemudahan, seperti terhubung dengan teman atau keluarga yang tinggal jauh dari Anda. Selain itu, media sosial juga memudahkan penggunanya untuk mencari orang-orang yang punya ketertarikan yang sama dengannya. Jika Anda suka bermain game atau tertarik dengan animasi, Anda bisa dengan mudah mencari grup gamers atau animators. Hanya saja, media sosial juga memberikan dampak negatif. Media sosial didesain sedemikian rupa sehingga Anda bisa hanya melihat konten-konten yang Anda sukai. Sehingga, media sosial bisa menjadi echo chamber yang memperkuat bias Anda. Masalah lain yang biasa muncul di media sosial adalah cyberbullying, yang masih ada kaitannya dengan anonimitas di internet.

Terlepas dari dampak positif dan negatif dari media sosial, tak bisa dipungkiri, media sosial membuat komunikasi menjadi lebih mudah dan murah. Dulu, Anda harus mempertimbangkan biaya roaming ketika menelpon orang yang ada di provinsi yang berbeda. Sekarang, Anda bisa terhubung dengan mudah ke orang-orang yang hidup di negara atau bahkan benua lain.

Sekarang, game digadang-gadang sebagai media sosial baru. Memang, kemunculan internet juga mengubah industri game. Internet memunculkan berbagai game online, seperti Lineage dan Starcraft pada 1998 dan Counter-Strike: Global Offensive pada 1999. Sama seperti game offline, pada awalnya, game online merupakan media hiburan. Meskipun begitu, sekarang, game online juga bisa berfungsi sebagai tempat hangout, apalagi ketika lockdown ditetapkan pada tahun lalu.

Bagaiman Game Memengaruhi Interaksi Sosial

Apa yang terbayang di pikiran Anda ketika Anda mendengar kata keren? Masing-masing orang punya definisi keren yang berbeda-beda. Bagi siswa SMA, misalnya, label “cool” mungkin pantas disematkan untuk orang-orang yang ikut dalam band, aktif dalam ekstrakurikuler basket atau sepak bola, atau mungkin menjadi ketua OSIS. Dulu, orang-orang yang senang bermain game lebih sering dikategorikan sebagai nerd atau bahkan mungkin loser. Namun, sekarang tren itu sudah berubah. Kini, orang-orang yang jago dalam bermain game punya karisma tersendiri. Memang, menjadi atlet esports merupakan impian bagian sebagian orang, walau kesempatan untuk menjadi pemain profesional kurang dari 1%.

Sementara itu, dengan semakin maraknya game Pay-to-Win (P2W), orang-orang yang menghabiskan banyak uang dalam game juga sering disanjung dan dinobatkan sebagai “sultan” atau “whale“. Sebagian game influencers bahkan membuat konten tentang berapa banyak uang yang mereka habiskan untuk mendapatkan karakter atau item tertentu. Misalnya, YouTuber Indonesia, feraldoto, yang menghabiskan Rp64 juta demi mendapatkan Albedo C6 di Genshin Impact. .

Sayangnya, stigma negatif yang sudah terlanjur melekat di diri gamer tidak bisa hilang begitu saja. Salah satunya adalah asumsi bahwa gamers merupakan penyendiri atau bahkan bersifat anti-sosial. Padahal, banyak orang yang mendapatkan teman baru — atau bahkan kekasih — melalui game online. Tak hanya itu, di beberapa negara — seperti Korea Selatan dan Tiongkokgame merupakan kegiatan sosial. Pada 2003, Mark Griffiths, seorang dosen di Nottingham Trent University, merilis penelitian terkait game online. Untuk membuat jurnal itu, dia melakukan survei pada 11 ribu pemain game online, Everquest. Hasilnya, sebanyak 25% responden mengatakan, bersosialisasi dengan teman merupakan bagian favorit mereka dari Everquest. Hal ini menunjukkan, asumsi bahaw gamers merupakan orang-orang anti-sosial adalah salah.

Pada 2007, Griffiths kembali melakukan studi terkait game online. Dia meneliti data dari 912 pemain game Massively Multiplayer Online (MMO) yang berasal dari 45 negara dan menghabiskan waktu rata-rata 22 jam dalam seminggu untuk bermain game. Dari studi tersebut, dia menyimpulkan, game online merupakan lingkungan sosial yang sangat interaktif.

“Sepuluh persen responden survei bahkan berakhir dengan menjalin hubungan romantis di luar game,” kata Griffiths, seperti dikutip dari BBC. “Sosialisasi dalam game sebenarnya merupakan konsep yang telah ada sejak lama.” Dan pada 2020, ketika lockdown diberlakukan, semakin banyak orang yang menyadari hal itu, bahwa game tidak sekedar media hiburan, tapi juga bisa menjadi wadah untuk bersosialisasi.

Tahun lalu, semakin banyak orang yang menggunakan game sebagai tempat untuk berkumpul. Sebagian dari mereka bahkan merayakan momen penting, seperti ulang tahun dan pernikahan, di dalam game. Tak hanya itu, game bahkan bisa dijadikan alat untuk menunjukkan belasungkawa. Ketika streamer Byron “Reckful” Bernsten meninggal pada Juli 2020, para gamers World of Warcraft berkumpul di beberapa lokasi untuk memberikan penghormatan pada Bernsten.

Pengaruh Anonimitas Pada Interaksi Sosial

Perilaku seseorang di dunia maya tidak selalu sama dengan tingkah lakunya di dunia nyata. Salah satu alasannya adalah karena di jagat internet, seseorang bisa menyembunyikan identitas dirinya. Apalagi dalam sebuah game online, nama yang seseorang gunakan pun belum tentu nama aslinya. Berdasarkan jurnal The positive and negative implications of anonymity in Internet social interactions: “On the Internet, Nobody Knows You’re a Dog”, anonimitas bisa memberikan dampak positif dan negatif.

Menurut teori Social Identity Model of Deinvidiuation Effect (SIDE), salah satu dampak positif anonimitas adalah membuat sebuah grup menjadi lebih efektif. Namun, hal ini hanya berlaku ketika semua anggota grup memang anonim dan tidak bisa mengenali satu sama lain. Jika seseorang bisa mengenali anggota lain, sementara jati dirinya tetap tersembunyi, dia punya kemungkinan lebih besar untuk melakukan tindakan yang akan merugikan kelompoknya. Dalam kerja kelompok, anonimitas juga membuat para anggota grup merasa memiliki kaitan lebih erat dengan jati diri kelompok.

Anonimitas bisa memberikan dampak baik dan buruk. | Sumber: Deposit Photos

Meskipun begitu, fakta bahwa anonimitas membuat grup menjadi lebih efektif juga bisa berdampak buruk. Hal ini terjadi ketika grup minoritas — orang-orang yang rasis, misalnya — berusaha untuk mengacaukan dinamika grup mayoritas. Contohnya, jika ada sekelompok orang yang tidak suka dengan pemerintahan Indonesia yang sah dan ingin menggulingkan Presiden, mereka bisa mengorganisasi pergerakan mereka melalui grup anonim. Hal seperti inilah yang bisa menyebabkan dampak buruk.

Sementara itu, salah satu dampak positif lain dari anonimitas adalah memberdayakan orang-orang dari grup termarjinalkan, seperti perempuan dan penyandang disabilitas. Berdasarkan hipotesa equalization, komunikasi anonim via internet dapat menyeimbangkan “kekuasaan” yang dimiliki oleh grup minoritas dan mayoritas.

Di dunia nyata, kita cenderung memperlakukan seseorang berdasarkan ras, gender, penampilan, dan lain sebagainya. Sementara di dunia maya, ketika kita tidak bisa melihat atau menilai social cues tersebut, maka kita akan memperlakukan orang lain secara adil. Contohnya, seseorang mungkin akan menjadi jaim di hadapan lawan jenis yang dianggap cantik atau tampan. Sementara dalam forum internet anonim, dia akan memperlakukan semua orang dengan sama karena dia tidak bisa melihat penampilan lawan bicaranya.

Terakhir, dampak positif dari anonimitas adalah menjaga privasi seseorang. Secara garis besar, anonimitas punya tiga kaitan dengan privasi, yaitu recovery, catharsis, dan autonomy. Recovery diartikan sebagai rsa tenang yang dirasakan oleh seseorang setelah mempertimbangkan situasinya. Sementara catharsis muncul ketika seseorang bisa mengekspresikan dirinya secara bebas. Dan terakhir, anonimitas bisa memberikan otonomi, yang memungkinkan seseorang untuk melakukan sesuatu tanpa harus khawatir akan penghakiman dari masyarakat atau orang-orang dikenal. Sayangnya, otonomi yang muncul dari anonimitas juga bisa membuat orang bertindak sembrono. Alasannya, karena mereka berpikir, anonimitas mereka akan melindungi mereka, membuat mereka bisa terbebas dari konsekuensi perilakunya.

Kesimpulan

Bermain game tidak lagi menjadi hobi yang harus dilakukan sendirian. Memang, masih ada banyak game-game single-player berkualitas. Meskipun begitu, game-game multiplayer — apalagi yang punya ekosistem esports — juga tidak kalah populer. Dengan begitu, fungsi game pun melebar. Sejatinya, game tetap merupakan media hiburan. Meskipun begitu, sekarang, game juga bisa menjadi sarana komunikasi. Lockdown akibat pandemi pada tahun lalu mempercepat tren tersebut.

Pada tahun lalu, terbukti bahwa game bisa menjadi tempat hangout atau bahkan merayakan momen penting. Hanya saja, perilaku seseorang di dunia game online — atau di internet, secara umum — tidak selalu sama seperti tingkah laku mereka di dunia nyata. Alasannya, karena di dunia game, seseorang dilindungi oleh anonimitas. Dia tidak perlu khawatir akan dihakimi hanya karena penampilan, ras, atau social cues lainnya.

Sebagian orang percaya, persahabatan yang dijalin di dunia online adalah sesuatu yang rapuh dan mudah putus. Namun, sekarang, ada banyak aplikasi yang bisa Anda gunakan untuk tetap terhubung dengan teman-teman online, mulai dari WhatsApp, Facebook, sampai Discord. Saya sendiri masih berhubungan dengan teman yang saya kenal dari Ragnarok Online pada awal tahun 2000-an. Dan berita tentang gamers yang menemukan kekasihnya saat bermain game pun mulai menjadi lumrah. Hal itu berarti, Anda tetap bisa menjalin hubungan yang dekat dan lama dengan orang-orang yang Anda temui di game online.

10 Game Remake Terbaik yang Paling Menawan

Game remake dibuat bukan serta-merta hanya untuk mengais kembali pundi-pundi uang dari game lama mereka namun juga untuk menunjukkan bagaimana jika game-game klasik terbaik diluncurkan dengan dukungan teknologi modern.

Selain itu, para pemain yang pernah memainkannya punya kesempatan untuk bernostalgia dengan tampilan yang lebih ciamik. Sedangkan para pemain baru pun bisa mencicipi game-game legendaris dengan grafis yang lebih manis ataupun mencari mesin-mesin gaming jadul.

Para pengembang juga berusaha untuk memberikan pengalaman yang baru bagi game-game remake mereka lewat penambahan berbagai fitur, sehingga para pemain tidak hanya akan merasa memainkan game yang sama hanya dengan grafis yang lebih bagus saja.

Berikut adalah 10 game remake terbaik yang bisa Anda mainkan di tahun 2021.

 

The Legend Of Zelda: Link’s Awakening (2019)

Bagi para pemilik Nintendo Switch yang ingin kembali atau bahkan baru pertama kali ingin merasakan salah satu game Zelda klasik legendaris, The Legend of Zelda: Link Awakening ini adalah jawaban yang tepat.

Nintendo membangun ulang game ini dengan membawa aspek-aspek yang sama dari game-nya namun dengan pendekatan desain yang berbeda. Tampilan game-nya berubah menjadi retro-modern dengan karakter yang terlihat seperti mainan dan dunia yang terlihat seperti diorama. Hal ini membuat memainkan The Legend of Zelda: Link Awakening di Switch memberikan pengalaman yang berbeda namun tetap ikonik.

SpongeBob SquarePants: Battle for Bikini Bottom – Rehydrated (2020)

Menjadi salah satu karakter kartun paling ikonik di tahun 2000-an, SpongeBob menjadi bagian masa kecil dari banyak orang. Apalagi game adaptasinya SpongeBob SquarePants: Battle for Bikini Bottom yang dirilis pada 2003 menjadi salah satu yang hits pada jamannya.

17 tahun berlalu, Nickelodeon dan THQ Nordiq akhirnya me-remake game klasik tersebut dengan memberikan tampilan modern khas desain SpongeBob dari film terbarunya. Hal ini membuat tampilan secara keseluruhan dari game ini lebih segar namun tetap mempertahankan nostalgia yang diusung dari game aslinya.

Tony Hawk’s Pro Skater 1 + 2 (2020)

Menyebutkan nama Tony Hawk tanpa mengingat game-game skateboard keren yang menggunakan namanya tentu terasa aneh. Apalagi bila membicarakan game Tony Hawks Pro Skater yang dulu muncul dan terasa revolusioner untuk game olahraga ekstrim kala itu.

Activision sendiri sudah mencoba me-remake game ini pada 2012 dengan judul Tony Hawks Pro Skater HD namun sayangnya game ini tidak dapat memenuhi ekspektasi dari para fans. Akhirnya Activision mencoba untuk kedua kalinya, pada 2020 atau 20 tahun setelah game originalnya keluar, dan berhasil merangkum semua yang diinginkan oleh para fans

Yakuza Kiwami 1-2 (2016-2017)

Seri Yakuza tentunya menjadi salah satu seri game yang ikonik di era PlayStation 2 dahulu. Game ini sendiri secara epik mengajak para pemain untuk merasakan kehidupan para yakuza dan segala permasalahannya di kota Tokyo yang tampil sangat mengagumkan.

11 tahun berlalu, Sega pun me-remake game ini untuk konsol PS4, Xbox One, dan PC dengan judul Yakuza Kiwami. Menggunakan Dragon Engine milik Yakuza 6, Sega akhirnya berhasil menghadirkan game Yakuza klasiknya tersebut dalam versi terbaiknya dari segala hal mulai dari grafik hingga gerakan bertarung yang lebih realistis.

Shadow of Colossus (2018)

Entah sengaja atau hanya kebetulan, game Shadow of Colossus ini selalu hadir di tiap generasi baru dari PlayStation. Game ini sendiri pertama kali muncul di PlayStation 2 pada tahun 2005. Dan secara bertahap selalu muncul di tiap generasi baru konsol PlayStation muncul.

Yang terakhir tentunya adalah versi remake untuk PlayStation 4 yang dirilis pada 2018 lalu yang mendapat pujian dari para fans karena pengembang Bluepoint Games berhasil mengimplementasikan teknologi next-gen ke dalam game yang sudah berumur 13 tahun tersebut. Satu-satunya hal yang berubah selain grafis adalah kontrol sedangkan sisanya masih tetap game Shadow of Colossus klasik yang masih sama.

Crash Bandicoot N. Sane Trilogy (2017)

Menghidupkan kembali karakter ikonik game yang sempat hiatus dan bahkan absen selama satu generasi konsol tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Activision terhadap Crash Bandicoot. Karakter yang ikonik di era PlayStation 1 ini memang sempat tidak aktif selama 6 tahun di era PlayStation 3.

Namun, Activision punya langkah yang cerdik untuk mengembalikan kecintaan para fans dengan memberikannya aspek nostalgia lewat remake dari trilogi original game-nya di PlayStation 1. Dan hasilnya sangat tidak mengecewakan karena pengembang Vicarious Visions berhasil membuat ulang 3 game pertama Crash lewat visual baru yang lebih hidup dan gameplay yang banyak dikenang oleh para gamer dahulu.

Demon’s Souls (2020)

Menjadi cikal bakal genre baru “soulsborne”, Demon’s Souls memang menjadi salah satu game yang memberikan impresi membekas bagi mereka yang memainkannya. Sang kreator sendiri sebenarnya sudah lama ingin membuat remake game yang dirilis pada 2009 lalu tersebut.

Dan akhirnya doa para fans pun terkabul saat remake dari Demon’s Souls ini muncul sebagai salah satu game eksklusif untuk konsol next-gen PlayStation 5. Mengingat game ini melompat dari PlayStation 3 ke PlayStation 5, perubahan grafisnya terlihat sangat signifikan namun tetap terasa familiar.

Mafia Definitive Edition (2020)

Seri game Mafia mungkin akan selalu disebut sebagai versi serius dari GTA karena menyuguhkan cerita yang lebih dewasa atau bahkan kelam. Karena dirilis terpaut cukup panjang antar game-game di seri Mafia, grafis game pertamanya yang dirilis tahun 2002 terlihat sudah uzur.

Hal inilah yang membuat Hangar 13 akhirnya me-remake seri pertamanya dari trilogi game Mafia. Namun bukan sekadar menempelkan game-nya dengan tekstur yang lebih tinggi, mereka membangun ulang game-nya dari nol namun dengan mempertahankan cerita dan misi dari game originalnya. Hasilnya, game ini tampil seperti layaknya game baru dengan visual yang jauh lebih realistis.

Final Fantasy VII Remake (2020)

Game Final Fantasy VII merupakan salah satu judul yang paling berkesan bagi para gamer pecinta JRPG di seluruh dunia. Game yang dirilis pada 1997 ini menjadi salah satu seri yang paling dikenang dan dicintai oleh para fansnya. Sehingga, ketika akhirnya Square Enix mengumumkan remake dari game-nya, gamer pun dengan sabar menunggunya dengan suka cita.

Semua penantian tersebut pun terbayar saat Final Fantasy VII Remake akhirnya dirilis pada 2020 lalu. Square Enix juga membangun game ini dari awal, yang bahkan sudah tidak dapat disamakan dengan game originalnya untuk masalah visual. Terlebih mode gameplay turn-based yang ada di game originalnya kini diganti dengan real-time action yang tentunya lebih seru dimainkan.

Resident Evil 2 Remake (2019)

Rasanya tidak ada yang lebih memuaskan untuk memainkan sebuah game remake lebih dari Resident Evil 2 Remake sampai saat ini. Bagaimana tidak, Capcom dan Hideki Kamiya membangun ulang game ini mulai dari desain karakter hingga dunia yang terasa sangat realistis berkat RE Engine yang baru. Namun ia tetap bisa memberikan impresi yang sama dengan game originalnya.

Selain visual, mekanisme gameplay dan kamera juga dirombak total mengikuti gaya Resident Evil 4 hingga 6. Namun hebatnya, Capcom masih berhasil mempertahankan cerita dan narasi dari game originalnya. Kombinasi tersebut membuat game ini menghadirkan sisi nostalgia horor yang sama seperti game original namun juga dengan pengalaman bermain yang baru dan fresh.

Kesimpulan

Keputusan penerbit ataupun pengembang game untuk melakukan remake terhadap game-game lamanya tidak selalu negatif. Selain permintaan dari para fans yang menginginkan game tersebut mendapatkan ‘treatment’ modern, para gamer juga berkesempatan untuk mengenang kembali bagaimana game-game tersebut menyuguhkan kebahagiaan yang didapatkan saat masih muda atau bahkan kanak-kanak.

Polemik Durasi Game: Apakah Semakin Panjang Berarti Semakin Bagus?

Bermain game kini telah menjadi hobi mainstream yang dilakukan oleh banyak orang. Seiring dengan bertambahnya jumlah gamer, maka jenis gamers pun menjadi semakin beragam. Sebagian orang menyatakan dirinya sebagai gamers hardcore, sementara sebagian yang lain sebagai gamer kasual. Sebagian gamer hanya bermain game di platform tertentu, sementara sebagian lain mungkin menikmati game multiplatform.

Keberagaman gamers itu berarti keinginan para gamers juga menjadi semakin beragam. Pasalnya, apa yang diinginkan oleh sekelompok gamers mungkin berbeda dari keinginan dari kelompok gamers lainnya. Sebagai contoh, gamers kasual biasanya akan cenderung menyukai mobile game yang tidak memakan waktu banyak. Sementara gamer hardcore mungkin lebih suka gamegame menantang yang mengharuskannya untuk menghabiskan waktu puluhan atau bahkan ratusan jam untuk ditamatkan.

Sekarang, durasi playtime sebuah game menjadi salah satu topik yang diperdebatkan di kalangan gamers. Sebagian gamers mendukung game dengan durasi panjang, sementara yang lain lebih suka game dengan durasi yang lebih pendek.

 

Durasi Resident Evil Village yang Cenderung Pendek

Harga game sekarang menjadi semakin mahal. Game AAA biasanya ada di rentang harga Rp500 ribu sampai Rp1 juta. Karena itu, tidak heran jika ada gamers yang ingin agar game AAA punya playtime yang panjang. Jadi, mereka tidak merasa sia-sia telah mengeluarkan uang hingga ratusan ribu rupiah.

Resident Evil Village yang dirilis pada awal Mei 2021 jelas masuk kategori game AAA. Game itu merupakan bagian dari franchise populer buatan developer yang juga sudah dikenal. Dari segi harga pun — bundle dari RE Village dan Resident Evil Re:Verse dihargai Rp848 ribu di Steam — Resident Evil Village masuk dalam kategori game AAA. Namun, playtime dari game tersebut tidak lama.

RE Village punya playtime yang cenderung pendek dari game-game AAA lain. | Sumber: Steam

Menurut GamesRadar, waktu rata-rata yang diperlukan untuk menamatkan RE Village adalah 10 jam. Jika Anda hanya fokus pada jalan cerita tanpa memedulikan side quest, Anda kira-kira hanya memerlukan waktu sekitar 6 jam. Dan jika Anda adalah seorang completionist yang ingin menemukan semua treasure, weapon, dan upgrade yang ada, serta menjalankan semua side quests yang tersedia, Anda mungkin akan membutuhkan waktu sekitar 12-13 jam. Jika dibandingkan sejumlah game AAA lain, playtime RE Village jauh lebih singkat.

Sebagai perbandingan, berdasarkan laporan Geek Culture, playtime rata-rata kebanyakan game AAA sekarang adalah 30-50 jam. Dan ada beberapa game yang bahkan bisa memakan waktu sekitar 80 jam untuk ditamatkan, seperti The Witcher 3 dan Red Dead Redemption. Bagi sebagian orang, playtime RE Village yang pendek mungkin membuat mereka merasa keberatan untuk membeli game itu. Sementara sebagian gamers lainnya merasa, harga yang ditetapkan oleh Capcom untuk RE Village adalah wajar, mengingat game itu memang memiliki replay value yang tinggi.

Selain itu, playtime yang lebih lama tidak selalu menjamin kualitas yang lebih baik. Berikut penjelasan tentang pro dan kontra dari playtime yang panjang. Namun, sebelum itu, mari kita bicara tentang…

 

Apa Durasi Game Memang Menjadi Semakin Panjang?

Untuk mengetahui waktu rata-rata untuk menamatkan game dari masa ke masa, say menggunakan data playtime game dari situs HowLongToBeat. Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah, pada era 1990-an, durasi playtime memang menunjukkan tren naik. Meskipun begitu, sejak 2000 sampai 2020, playtime game setiap tahunnya cenderung stagnan, pada belasan jam. Walau memang, beberapa anomali, yaitu ketika waktu playtime naik drastis menjadi lebih dari 20 jam atau bahkan hingga 40-an jam.

Rata-rata waktu bermain game dari tahun ke tahun. | Sumber: HowLongToBeat

Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, sejumlah game AAA membutuhkan waktu berpuluh-puluh jam untuk ditamatkan, seperti Legend of Zelda: Breath of the Wild atau Dragon Age: Inquisition. Lalu, apakah game-game tersebut bermasalah? Tidak juga. Salah satu keuntungan game dengan playtime panjang adalah game itu akan dapat menampilkan dunia yang kompleks, membuat pemainnya seolah-olah berada di dalam dunia tersebut (imersif), berpetualang atau menjelajah dunia bersama karakter-karakter yang ada. Dan bagi gamer yang masih muda, yang masih duduk di bangku SMA atau universitas, game dengan playtime panjang bukanlah masalah. Mungkin, bagi mereka, semakin panjang sebuah game, justru semakin bagus. Alasannya, gamer yang lebih muda punya waktu kosong yang lebih banyak.

Masalahnya, para gamers yang sudah lebih tua, yang punya tanggung jawab atas pekerjaan atau keluarga, mereka mungkin akan kesulitan untuk menamatkan game dengan playtime puluhan jam. Selain itu, game dengan durasi yang terlalu panjang juga punya masalah tersendiri, seperti yang disebutkan oleh CBR.

Salah satunya adalah gameplay atau cerita yang repetitif. Menghabiskan waktu puluhan jam untuk mengeksplorasi konten yang baru mungkin akan terasa menyenangkan. Namun, bagaimana jika Anda harus menghabiskan berjam-jam hanya demi grinding? Untuk menaikkan level karakter agar Anda bisa mengalahkan bos di sebuah dungeon atau sekedar meng-upgrade senjata dari tokoh utama? Hal ini justru bisa membuat game terasa menjadi membosankan dan bukannya menyenangkan,

Satu hal lain yang harus diingat, game adalah media hiburan yang berbeda dari buku atau film. Ketika Anda membaca buku, Anda bisa melewati atau sekedar men-skim bagian yang Anda rasa membosankan. Begitu juga dengan film atau seri TV. Namun, lain halnya dengan game. Memang, Anda bisa memilih untuk tidak melakukan side quests dan fokus pada misi utama. Namun, bagaimana jika sebuah game mengharuskan Anda untuk grinding hingga level tertentu? Bagi sebagian orang, grinding memang memberikan kepuasan tersendiri. Namun, bagi sebagian orang lain — termasuk saya — melakukan hal yang sama berulang kali akan lebih terasa sebagai siksaan.

 

Berapa Durasi Playtime yang Ideal?

Menurut Shawn Layden, mantan Worldwide Chairman dari Sony Interactive Entertainment, studio game besar tetap bisa sukses walau mereka membuat game dengan playtime sekitar 12-15 jam. Dia menjelaskan, durasi playtime naik seiring dengan naiknya biaya produksi game. Alasannya, banyak studio game yang merasa bahwa playtime yang panjang merupakan justifikasi dari harga game AAA yang semakin mahal. Namun, dia merasa, tren ini tidak bisa dilakukan dalam jangka panjang.

“Tidak semua game adventure akan bisa punya playtime selama 50-60 jam, karena hal itu akan membuat biaya produksi jadi terlalu mahal,” kata Layden pada GamesIndustry. “Pada akhirnya, jika playtime menjadi daya tarik utama dari sebuah game, tren itu justru bisa mendorong sejumlah kreator game bangkrut.”

Playtime The Last of Us 2 adalah 25 jam, sementara seri pertamanya hanya membutuhkan 15 jam.

Tidak hanya dari segi developer, Layden percaya, tren playtime yang semakin panjang juga akan menyulitkan para gamers. Pasalnya, tidak semua gamers akan bisa menamatkan game-game yang membutuhkan waktu puluhan jam untuk diselesaikan. Karena itu, dia mendorong para studio game untuk mengubah gaya kerja mereka. Daripada menghabiskan waktu 5 tahun untuk membuat game dengan playtime selama 80 jam, sebaiknya mereka membuat game dengan playtime 15 jam yang bisa dibuat dalam waktu 3 tahun

“Sebagai gamer yang berumur, saya sendiri lebih ingin game AAA dengan playtime sekitar 12-15 jam,” kata Layden, seperti dikutip dari Geek Culture. “Dengan begitu, saya akan bisa menyelesaikan lebih banyak game. Dan, sama seperti film atau buku yang telah diedit dengan baik, game tersebut akan memiliki konten yang lebih padat dan menarik.”

Are Men Inherently Better at Playing Games Than Women?

Women have the same rights as men and are entitled to equal treatment without discrimination. Even so, it cannot be denied that women are different from men from a biological perspective. Of course, biological differences will affect various aspects of a person’s life, such as natural abilities in sports. Until recently, most sporting events were usually separated by gender.

Female athletes are not competing with male athletes due to the differences in physical abilities between the two genders. What about esports? In competitive gaming, physical fitness is obviously not a determining factor in winning, which means that women can hypothetically compete side by side with men.

 

Why Are Traditional Sports Separated by Gender?

In sports competitions, being the victor is everyone’s sole goal. However, winning isn’t always everything. The way a person wins is equally important. Therefore, in a prestigious sports competition such as the Olympics, fair play is one of the most upheld values.

It takes more than crossing the line first to make a champion. A champion is more than a winner. A champion is someone who respects the rules, rejects doping and competes in the spirit of fair play.” – Jacques Rogge

Jacques Rogge was President of the International Olympic Committee from 2001-2013. From the quote above, it is clear how he upholds the spirit of fair play. Another element that is no less important in sports competitions is the level playing field. According to the BBC, the level playing field ensures that all participants compete by the same rules and have an equal chance of winning. By this definition, a professional NBA athlete will not compete against someone who plays basketball as a hobby.

The importance of fair play and level playing field in sports competitions is, unfortunately, one of the reasons why female athletes cannot compete against male athletes in most sports. Physically, men and women are very different. Men generally have greater muscle mass and bone mass. In addition, the fat content in the female body is usually also higher. The body fat content of female athletes ranges from 14-20%, while it is only 6-14% in the average male athlete. Furthermore, adult men also usually have a larger lung capacity. All of this suggests that male athletes will have an advantage over female athletes in terms of sheer physical strength.

Male and female body composition. | Source: The Body Counselor

According to a study entitled Women and Men in Sport Performance: The Gender Gap has not evolved since 1983, the performance of female athletes is still inferior compared to male athletes. In the study, researchers analyzed world records in various sports. They also observed the performance of Olympic athletes in five sports categories from year to year. They used data from athletes in 82 Olympics.

Data from the study shows that, on average, male athletes generally perform 10% better than female athletes. Depending on the sports, the difference in performance between male and female athletes may differ. The performance of female athletes is closest to that of male athletes in freestyle swimming, which is only 5.5%. Meanwhile, there is a huge difference – around 36.8% – in the abilities of male and female athletes in weight lifting.

“Men and women are physically different. Usually, the difference occurs in raw strength,” said Andy Lane, a sports psychologist at the University of Wolverhampton on How We Get to Next. Indeed, in certain sports – especially those that involve aerobic stamina like long-distance running – female athletes can outperform men. Fortunately, not all sports compete solely with the athletes’ physique. Several sports, such as esports, prioritize other aspects of human capabilities.

 

What Are the Factors That Influence the Performance of Esports Athletes?

Gender or physical conditions do not really matter in scope of esports, and almost anyone can play games. For example, Rocky Stoutenburgh, also known as RockyNoHands, managed to become a streamer on Twitch even though he could only move his head because he was paralyzed from the neck below. Of course, that doesn’t mean everyone can become a world-class esports athlete, like Johan “N0tail” Sundstein from OG or Made Bagas “Zuxxy” Pramudita and Made Bagus “Luxxy” Prabaswara from Bigetron. In fact, the chance of someone being a successful esports athlete is only 0.0001%.

Zuxxy and Luxxy. | Source: GGWP

Indeed, physical fitness is not the primary measure of the ability of an esports athlete. However, there are still some skills that one must master in order to become a well-known professional player, one of them being sensory-motor skills. Sensory ability is related to the ability to transmit information received by the five senses to the brain, while motor ability refers to the ability to quickly send instructions from the brain to other organs, such as the hand. Sensory-motor skills are important because they affect how quickly a person can process what he sees on the screen, make decisions about what to do in response to the stimuli, and execute the decisions he makes by operating a gaming device, such as a mouse, gamepad, keyboard, or smartphone.

Other abilities that an esports athlete must be proficient at are spatial awareness or visual-spatial abilities, which include the skill to read maps and knowing the position of objects (stationary and moving) around them. Spatial abilities also include a person’s skill to predict and anticipate the movement of objects or actions from other players. For example, when you are about to shoot a moving enemy, you need to be able to predict where the enemy will move and subsequently compensate for that movement.

In addition to sensory-motor and spatial abilities, tactical cognitive abilities also affect a person’s ability to play games, according to the study titled The structure of performance and training in esports. Tactical cognitive abilities themselves are influenced by various aspects, such as perception, creativity, and the ability to make decisions. The scope of tactical cognitive abilities is also rather broad. As a result, it is usually divided into sections such as memory and concentration, planning, and coping with complex problems. To become a good esports player, one must master all areas of tactical cognitive skills. A proficient esports athlete must be able to pay attention to his/her surroundings, analyze situations, visualize the steps that need to be taken, make decisions, and execute them efficiently.

The distribution of cognitive abilities.| Source: Journals.plos.org

Concentration is another aspect that is equally important for esports players. For sports athletes, the ability to concentrate for long periods of time is a critical skill to have. In traditional sports, players usually have time to rest (during timeouts or half-time), while esports competitions usually continue for hours with no pauses.

Social skills – such as communication and collaboration skills – also affect an esports athlete’s performance. A professional esports athlete must also control his/her emotions throughout a match. This target is not by any means easy to achieve, given the mental pressure that top esports athletes, just like Olympic athletes, have to face. A person’s failure to control their emotions in a match – such as feeling tilted or angry about making a mistake – can very likely deter their performance.

 

Differences in Cognitive Abilities of Men and Women

Although the esports industry can be much more inclusive than traditional sports, it is still undoubtedly more dominated by men. For example, most professional players are, indeed, males. Some believe that this happens because males are better than females when it comes to playing games. However, is that really the case? To answer this question, I tried to compare the cognitive abilities of men and women based on various studies that have been conducted.

Based on a comparative study titled Cognitive Functions Between Male and Female Medical Students: A Pilot Study, the cognitive abilities of men and women in the follicular phase are relatively equal. However, women who enter the luteal phase of the menstrual cycle will be able to perform executive tasks – tasks that require memory, flexible thinking, and self-control – better than their male counterparts. Unfortunately, women’s concentration in the luteal phase is usually lower than that of men.

Instructions from one of the memory tests. | Source: NCBI

When comparing the abilities of male and female participants, the researchers in this study took into account the menstrual cycles of the female participants as it greatly affects their hormones. There are four phases of menstruation. The follicular phase starts when a woman is menstruating until the ovulation phase begins. On the other hand, the luteal phase is also known as the postovulatory phase or the premenstrual phase. In this phase, the amount of the female hormone progesterone will increase.

The study above is not the only research that looks at the correlation between gender and cognitive abilities. Several other studies also discuss the influence of gender on a person’s cognitive and spatial abilities. A study called Sex/gender differences in cognition, neurophysiology, and neuroanatomy, conducted by Janet S. Hyde, contradicts the results of the previous research. In that study, Hyde tested 124 variables, including mathematical, verbal, perceptual, and motor skills of men and women.

From her research, she found that gender had no significant effect on a person’s performance in 78% of the variables. Gender only has a significant effect on a person’s motor skills, such as throwing speed. The study also found that men scored higher on tests related to 3D object rotation, which is often associated with higher IQ and better STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics)-related abilities. The results of this study reinforce the assumption that men have better mathematical and spatial abilities, while women are considered to have better verbal skills.

However, recent research shows that women’s and men’s spatial skills are not that different. The research was conducted by Dr. Mark Campbell and Dr. Adam Toth from the Lero Esports Science Research Lab using the latest eye-tracking technology. They found that the male participants’ spatial cognition test results were no better than the female participants, especially in the object rotation test.

“So males are better than females? Well no, actually. Our study found that there is no male advantage in mental rotation abilities,” said Toth, as quoted by Technology Networks. “By lengthening the time allowed to complete the test, the male performance advantage diminished entirely suggesting that the so-called sex difference in mental rotation is simply not there or may be explained by other factors.”

 

Conclusion

Researchers have conducted various studies to determine the effects of gender on various aspects of a person’s abilities, such as cognitive skills. Unfortunately, not all studies provide the same results. Some studies mention that males have superior cognitive abilities, which suggests they can play better at games, while others concluded that the mental capabilities of women and men are not that different.

Unfortunately, there is currently no study that directly investigates the correlation between gender and video game skills. After all, the esports industry is still relatively new and young, which may hinder existing research to gather data and arrive at conclusive results. However, one thing is for sure: playing video games is an activity that can be done by anyone, regardless of gender, physical ability, and economic status.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Akankah Multiple View Menjadi Masa Depan Dari Tayangan Esports?

Sekarang, hampir semua konten esports disajikan dengan satu format. Selama pertandingan berlangsung, penonton dapat melihat perspektif dari para pemain secara bergantian, sementara shoutcaster akan memberikan komentar tentang apa yang tengah terjadi. Jadi, di hadapan audiens, pertandingan esports merupakan sebuah cerita dengan narasi dari shoutcaster. Setelah pertandingan, biasanya penyelenggara akan menampilkan highlight momen-momen penting selama pertandingan.

Sejauh ini, format itu berjalan dengan baik. Namun, hal itu bukan berarti format tersebut sudah sempurna. Format itu mungkin terasa membosankan bagi orang-orang yang menonton konten esports untuk pertama kali. Selain itu, format yang digunakan saat ini juga tidak memungkinkan seseorang untuk menonton pemain atau tim favorit mereka dari awal hingga akhir pertandingan. Karena itu, beberapa perusahaan game mencoba untuk mengembangkan format alternatif, yaitu multiple view.

 

Sony Daftarkan Paten untuk Multiple View

Pada April 2021, Sony mendaftarkan paten yang memungkinkan penonton  pertandingan esports untuk mengganti sudut pandang. Seperti yang disebutkan oleh GameRant, fitur itu memungkinkan penonton untuk melihat konten yang mereka inginkan. Dengan begitu, jika seorang fan ingin mengikuti jalannya pertandingan dari sudut pandang pemain atau tim favoritnya, dia bisa melakukan hal itu.

Selain itu, fitur untuk mengganti sudut pandang memungkinkan penonton untuk memerhatikan pemain dengan role tertentu. Jadi, mereka akan bisa mempelajari teknik atau gameplay dari pemain profesional yang punya role yang sama dengan mereka. Misalnya, seorang fan tertarik dengan peran Observer dalam PUBG Mobile. Untuk mengetahui tugas para Observer, dia bisa mengamati sudut pandang Zuxxy dari Bigetron RA. Jika penonton bisa mengamati teknik para pemain profesional yang mereka minati, hal ini bisa membuat penonton menjadi semakin tertarik menonton konten esports. Pasalnya, salah satu alasan mengapa seseorang menonton konten esports adalah untuk mempelajari teknik dari pemain profesional.

Seseorang akan bisa membuat avatar diri dalam ruang virtual untuk menonton. | Sumber: GameRant

Masih di bulan April 2021, Sony juga mendaftarkan paten lain terkait cara menonton konten esports. Kali ini, paten yang Sony daftarkan memiliki kaitan dengan teknologi VR. Dalam paten terbaru Sony, mereka ingin membuat teknologi yang memungkinkan penonton untuk membuat avatar dari diri mereka sendiri ke dalam ruang virtual untuk menonton jalannya pertandingan bersama penonton lainnya. Jadi, meskipun seseorang menonton pertandingan esports dari rumah, mereka bisa merasakan pengalaman seolah-olah berada di tempat pertandingan dilangsungkan.

Tak berhenti sampai di situ, Sony juga ingin para penonton bisa memilih sudut pandang yang ingin dia lihat. Namun, penonton juga bisa diarahkan untuk melihat momen paling penting dari sebuah pertandingan. Mengingat Sony ingin membuat ruang virtual sebagai tempat berkumpulnya para penonton, tidak tertutup kemungkinan, ada sebagian fans yang memiliki perilaku mengganggu. Karena itu, Sony ingin menyediakan fitur yang memungkinkan penonton untuk berpindah “tempat duduk”.

Penonton juga akan bisa memilih untuk menjauh dari penonton yang mengganggu. | Sumber: GameRant

Menurut laporan GameRant, melalui paten baru ini, Sony tampaknya ingin bisa mengelompokkan audiens esports berdasarkan karakteristik yang penonton inginkan. Misalnya, penonton ingin ditempatkan dengan orang-orang yang seumuran dengan mereka.

Satu hal yang harus diingat, hanya karena Sony telah mendaftarkan paten dari sebuah teknologi baru, hal itu bukan jaminan bahwa Sony akan meluncurkan produk baru berdasarkan teknologi yang dipatenkan tersebut. Namun, jika Sony memang mengembangkan teknologi dalam paten ini, teknologi tersebut tidak hanya bisa digunakan untuk menonton konten esports, tapi juga siaran dari konten lain.

 

Contoh Game yang Sudah Punya Fitur Spectating

Sony bukan satu-satunya perusahaan yang tertarik dengan teknologi untuk membuat pengalaman menonton konten esports menjadi semakin menarik. Faktanya, sebelum Sony mendaftarkan paten mereka, Riot Games telah terlebih dulu meluncurkan fitur multiple view untuk game buatan mereka, League of Legends. Pada 2019, Riot Games merilis teknologi bernama Pro View.

Pro View memiliki beberapa fitur. Salah satunya adalah Multiview. Sesuai namanya, fitur ini memungkinkan penonton untuk menonton lebih dari satu sudut pandang. Penonton bisa memilih hingga empat pemain untuk diamati. Selain melihat apa yang ada di layar para pemain, penonton juga bisa melihat gerakan tangan para pemain. Dengan begitu, mereka akan bisa mempelajari cara bermain para pemain profesional.

Hanya saja, Pro View tidak bisa digunakan untuk menonton semua konten League of Legends. Fitur itu hanya tersedia untuk menonton liga League of Legends di Amerika Utara (LCS) dan liga Eropa (LEC). Selain itu, untuk mendapatkan akses ke Pro View, Anda harus membayar US$15 (Rp215 ribu) jika ingin menonton LCS dan €15 (sekitar Rp262 ribu) untuk LEC. Jika Anda ingin bisa menggunakan Pro View untuk menonton LCS dan LEC, Anda harus mengeluarkan US$20 (sekitar Rp286 ribu).

Riot sediakan Pro View untuk LCS dan LEC. | Sumber: Nexus

Fitur lain yang ada di Pro View adalah Advanced Timeline. Fitur ini akan menandai momen penting dalam game, seperti kill atau tower takedown. Jadi, jika penonton hanya ingin melihat momen-momen penting tersebut, mereka dapat menemukannya dengan mudah. PC Gamer menyebutkan, Pro View juga memungkinkan penonton untuk menonton sebuah pertandingan bersama teman yang juga puya akses ke Pro View.

Selain League of Legends, ada beberapa game esports lain yang juga punya mode khusus untuk penonton, seperti Counter-Strike: Global Offensive dan Dota 2. CS:GO punya mode Spectator, yang memungkinkan pemain yang telah terbunuh atau non-players untuk melihat apa yang sedang dilakukan pemain lain. Mode Spectator menawarkan tiga sudut pandang kamera. Pertama adalah kamera first-person, yang akan menampilkan apa yang dilihat oleh pemain. Kedua adalah chase cam, yaitu kamera yang mengikuti pemain dari belakang. Dan sudut pandang terakhir adalha free cam. Di mode ini, kamera tidak mengikuti pemain manapun. Sebagai gantinya, penonton bebas menggerakkan kamera secara bebas.

Dalam pertandingan kasual CS:GO, pemain yang telah terbunuh akan bisa menonton gerak-gerik dari teman atau musuh mereka. Hanya saja, fitur team chat akan dinonaktifkan, sehingga mereka tidak akan bisa memberikan informasi apapun pada teman mereka. Sementara itu, dalam pertandingan profesional, pemain yang telah terbunuh hanya bisa menonton rekan satu tim mereka melalui mode first-cam. Sebagai gantinya, mereka bisa menggunakan chat atau mikrofon untuk berkomunikasi dengan tim mereka.

Tampilan fitur Spectate dari Dota 2. | Sumber: Dota 2 Wiki

Sementara itu, di Dota 2, fitur untuk penonton dinamai Spectating. Sama seperti CS:GO, Spectating dalam Dota 2 menawarkan beberapa sudut kamera. Pertama adalah Direct Camera, yang akan membawa penonton ke event penting yang tengah terjadi. Kedua adalah Free Camera, yang membebaskan penonton untuk melihat bagian yang ingin dia lihat. Ketiga adalah Player Perspective. Sesuai namanya, kamera ini akan menampilkan perspektif dari salah satu pemain. Dan terakhir adalah Hero Chase, yang akan mengikuti salah satu hero.

Di Dota 2, para penonton tidak akan melihat game yang tengah berlangsung secara real-time. Ada sedikit delay antara apa yang tengah terjadi di pertandingan dan apa yang penonton lihat. Lama delay bisa diatur di lobby dari setiap game, mulai dari 10 detik sampai 2 menit. Tujuan delay adalah untuk mencegah pemain mengeksploitasi fitur Spectating untuk berbuat curang.

Sekarang, orang-orang tidak hanya suka bermain game, tapi juga menonton orang lain bermain game. Hal ini membuka kesempatan bagi perusahaan game untuk membuat teknologi yang membuat pengalaman menonton konten game atau pertandingan esports menjadi lebih menarik.

Top 7 Legendary Dota Players of All Time

Dota 2 has been around for quite some time, a successor to the original Defense of the Ancients — which started out merely as a mod to Warcraft III: Reign of Chaos. Since then, the game has taken various shapes, eras, and timelines which form the game we all know and love today.

However, Dota 2 isn’t just like any other MOBA (multiplayer online battle arena) video games you would find. The game is famous for its ever-evolving competitive scene which has attracted millions of gamers, or more appropriately professional esports athletes, from all corners of the world.

DTS in ASUS Open Spring 2010. Source: joinDOTA.

Given how diverse the gameplay of DotA (and Dota 2) could be, different players have their own interpretation and understanding of the complex game. Distinct players have come up with their ingenious tactics and strategies which gave them the title of Dota Legends.

Though the title might be subjective to a particular person or group, these players have undoubtedly shaped the general understanding of Dota 2 and shall live on to be known as the world’s best DotA/Dota 2 players of all time.

This article shall list seven Dota Legends of all time (in no particular order), including players from both eras (DotA and Dota 2). Some of these players even played in both eras, some of which even still compete today. Aside from their legacies and victories, it’s also worth knowing what they were up to before retirement, which shall be discussed as well.

 

Vigoss

Dubbed V-God by the Chinese community, Ivan “Vigoss” Shinkarev is a Russian player known for his aggressive playstyle and team-ganking abilities. Indeed, he was amongst the earliest players to apply the Russian Dota playstyle of item-rushing and constant lane-pressuring — a tactic deeply rooted in the region’s playstyle. Together with ARS-ART, Vigoss quickly made Virtus.pro a Russian powerhouse in 2006-2008.

Ivan “Vigoss” Shinkarev. Source: GameSpot.

Perhaps Vigoss’ greatest achievement with Virtus.pro is his consecutive victories in MYM Prime Defending #6, #7, and #8. After his golden days in Virtus.pro, Vigoss joined other notable DotA teams like Ks.Int and DTS. Once Dota 2 was released, he joined the team Moscow 5 (M5) and even participated in The International 2012 where he, unfortunately, finished last. His last stint in the competitive scene was in 2015, but he has since hopped in and out of teams as a stand-in player.

 

YaphetS/PIS

Around the same time as Vigoss’ rise to popularity, Bu “YaphetS” Yanjun came to prominence in the Chinese scene. The pubstar-turned-competitive player had his skills showcased in a legendary video titled Perfect Is Shit, hence his nickname. Out of all the heroes he played, it is no doubt that YaphetS is known for his signature Shadow Fiend gameplay. In fact, one of Shadow Fiend’s nicknames was named after YaphetS himself at one time.

YaphetS playing with Tong Fu. Source: GosuGamers.

He played competitive DotA in 2010-11 and is renowned for his time playing under Nirvana.cn. They were generally known for being the second-best Chinese team at that time, ranked just below EHOME. He made a return to Dota 2 by playing with Immortal Magneto Gaming and Team FanTuan sometime in 2015, but failed to re-emulate his DotA achievements since then.

 

Merlini

In North America, another DotA legend soon came to prominence: Ben “Merlini” Wu. As of today, he’s probably known for being a commentator at Valve events, but his DotA career has a massive influence on the rest of the world. Merlini is popularized for his Zeus 1v3 ownage, but he too made novel strategies a popular choice in professional gameplay. For instance, Merlini arguably invented Boots of Travel Tinker and the Jungler role, both of which weren’t popular prior to his gameplay.

MYM Merlini. Source: MYM.

Merlini’s time in MYM quickly became iconic and he had joined several other organizations like EG, OK.Nirvana.int, and SK Gaming. In Dota 2, he joined Team Zephyr and Monib Baray for a short while, but ended up mainly as a commentator until 2017. From time to time, he also played with Vegetables Esports Club, a casual team consisting of Dota personalities.

 

YamateH

Back in the east, Ng “YamateH” Wei Poong also rose to popularity. Like his Chinese counterpart YaphetS, YamateH is iconic for his Shadow Fiend gameplay. In fact, the two faced each other off in a 1v1 Shadow Fiend show match in WDC 2010, where YamateH lost against YaphetS. Aside from that, YamateH’s Lina is also famous for outplaying SK Gaming’s Loda, which at that time, was the world’s best team.

Mushi (left) and YamateH (right). Source: VPEsports.

Out of all the legends mentioned earlier, YamateH has spent the greatest amount of time in professional Dota 2. Since his transition to the new title, he has joined various Malaysian and Southeast Asian teams like Orange, Zenith, Titan, Taring, and last played for TEAM STAR in 2020.

 

Loda

As hinted earlier, Jonathan “Loda” Berg was part of SK Gaming which utterly dominated almost the entire DotA scene back in 2007-9. Loda is known for his skills as a Carry player and his leadership while in SK Gaming. The Swedish player has since replicated his achievements in Dota 2 by famously winning The International 2013 with his team Alliance.

Loda (center) with Alliance’s Roster. Source: GosuGamers.

Ever since his TI3 victory, Loda has continuously been in Alliance and remained as an active player in various eras of Alliance’s roster. He has only retired officially in 2018 and proceeded to become Alliance’s present coach and co-owner. No other legends mentioned earlier managed to achieve as much as Loda did after his transition to Dota 2.

 

BurNIng

If YaphetS is iconic for his Shadow Fiend, Xu “BurNIng” Zhilei does the equivalent for Anti-Mage. Considered the best Carry player of all time, BurNIng has been in the professional scene as early as 2010. In DotA, he played under legendary rosters of CaNt, 7L, Ks.cn, CityHunter, EHOME, and Team DK. BurNIng’s victories with EHOME in tournaments like ESWC, IEM V, SMM Grand National 2010, and World Gamemaster Tournament 2010 showed how consistently the 33-year-old player performs.

During Team DK’s transition to Dota 2, BurNIng is also included in the lineup although the team struggled in their earliest stages. However, they soon became a powerhouse in 2014 once the team recruited Southeast Asian duo Mushi and iceiceice, as well as Chinese veterans MMY! and LaNm. Although BurNIng hasn’t secured a single TI victory under his belt, he won DAC 2017 with Invictus Gaming, beating the likes of OG.

 

Dendi

Last on the list is Danil “Dendi” Ishutin, one of Dota 2’s earliest icons and often considered “the face of Dota.” Although the name Dendi might no longer be heard by newcomers, older players who followed the first few years of Dota 2 will certainly be familiar with his signature Pudge pick. Like many other legends, Dendi made a name in DotA and continued to do so once the scene transitioned to Dota 2.

His most notable victory is no other than Natus Vincere’s first TI1 victory, and their subsequent second-place finishes at both TI2 and TI3. Unfortunately, Dendi’s performance since then has been a steep downhill, but the legend just never stopped playing the game he knows and loves. After his memorable departure from Na`Vi, Dendi founded his own organization B8, and is currently participating in DPC 2021.

 

Closing Remarks

There are countless DotA and Dota 2 legends, and to cover them all would lead to an ever-growing list of players. Everyone has their most beloved legendary players who might not make the cut on this list. This list merely serves as a reminder to some of the world’s best and most iconic players who shall live on to be remembered as Dota’s legendary players of all time.

Cover Image by DotaBlast.

Why Are Most Free-to-Play Games Advertisements Incredibly Misleading?

If you play a lot of free-to-play games, you will often be exposed to false advertisements. These misleading free-to-play game ads usually take different forms. There are even some ads that include sexual innuendos that might not even exist in the actual game. Some use modified screenshots of other games. Other fraudulent advertisements use animations that do not represent the gameplay of the original game. 

Such advertisements are annoying and demeaning to the targets. But why are there so many deceitful advertisements out there? There are, in fact, several reasons behind the prevalence of misleading game commercials. 

Without further ado, let’s explore this topic together.

 

1. Game developers/publishers who are not confident in their products

Just like the exams you experience in school, you will probably not cheat if you are confident with the exam materials. On the other hand, you will most likely cheat when you have doubts about your abilities during the test.

Take social media as another example. Most people who are confident with their looks will use their own photo as their profile picture, and vice versa. 

Likewise, game developers who are not satisfied or confident with their final product might want to represent something that has superior quality. As a result, they are willing to take screenshots of other games, manipulate images or videos, or even create advertisements that differ greatly from the actual gameplay.

You can try to imagine the contrary. Will CD Projekt reuse an ad for the release of  The Witcher 3? Please see the trailer (which can also be considered an advertisement) of The Witcher 3 above.

Everything in the trailer is, unsurprisingly, in the game. Let’s look back at the first presupposition at the beginning of this section. If CD Projekt has succeeded in creating a high-quality game and is confident in the results, why should they manipulate the trailer or the advertisement?

 

2. Game developers/publishers who don’t care about branding

Some publishers or developers don’t really care about their brand image. These game developers usually create free-to-play games with the sole purpose of generating large revenues from the players as fast as possible (by incorporating a pay-to-win system).

This is not too different from fraudulent investment companies whose goal is to take your money then escape without a trace. Though the game companies mentioned previously do not operate like this, most of them do not have long-term targets.

This game advert uses screenshots from another game called Archero.

These game companies can also change their brand name if they have generated a bad image in the community. The same can be said for most toxic players in online games. They have no plans to maintain their good name in the community and hide behind anonymity. When they get banned for their toxic behaviour, they can easily create a new account.

If these companies do not have long-term thinking, it is easy to justify their misleading actions to the community, such as using fake advertisements. On the other hand, this trick is close to impossible to execute for old and well-established companies Nintendo, which is 130 years old, or Sony, which was founded in 1946, without causing a severe backlash to their brand’s integrity.

 

3. A digital advertising system that encourages misleading ads

Unfortunately, the cause of the phenomena of false free-to-play game adverts is also driven by many commonly used digital advertising calculation systems.

Most digital advertising cost models used today are CPM (Cost Per Mile), CPC (Cost Per Click), CPI (Cost Per Install), and CPA (Cost Per Activation).

In the CPM system, the advertiser only needs to pay for every 1000 times the ads are shown. Meanwhile, with CPC, the advertiser only needs to pay every time the ad is clicked. The CPI and CPA indicate that advertising costs will depend on the number of installs of the application (CPI) and the number of times the app is opened (CPA).

From the advertiser’s point of view, the more profitable calculation systems are usually the ones with the highest conversion rates. For example, let’s say that you are selling onions in the weeb market. Then, two advertising services, called A and B, gave you an offer.

Service A said, “I have 10 trillion followers who can see your ad.” On the other hand, service B said, “I don’t have that many followers. However, you only need to pay me every time someone buys 10 grams of onions through my ad.”

From this analogy, the better option to pick is service B because the cost (or ROI ) is much easier to calculate concretely. You know very well how much money is needed to sell every 10 grams of onions, for example.

On the flip side, if you chose service B, you cannot be sure how many of the 10 trillion followers will actually see the advertisement. Even though, for example, only 10 people see your ad, you will need to pay the full amount for 10 trillion followers.

However, there is also a downside when choosing service B because they do not care if customers will become loyal in the future. Their primary goal is, after all, to attract new customers that will buy 10 grams of onions.

Service B can also put up an extensively misleading advertisement such as: “put 10 grams of this onion around the neck in 15 minutes, and you will have a 42% chance of preventing various diseases ranging from diabetes, cancer, heart disease, blood circulation, impotence, and cavities. If you use it for half an hour, you will have a much greater chance of 80%. “

Of course, these kinds of ‘overly attractive’ advertisements will most likely get a lot of attention from non-experienced consumers. But whether the onion product actually heals diseases is not service B’s business. The advertisement service only cares about luring customers to buy 10 grams of onions. If the onions do not actually work, the service B will turn a blind eye since they will receive their commission anyways.

Disclaimer: This story is obviously fictitious and is only used as an analogy to elaborate the discussion.

 

4. The majority of targeted advertisements are gullible

Of course, apart from the advertiser, agency, or service provider, the ad targets are also the ones that allow these fraudulent free game ads to rise in demand.

“Click here to see a photo of a beautiful artist who has just been caught staying at the hotel with Mr. Horse.” “This 1000-storey house can be yours by simply sending a selfie while holding your ID card.” Maybe these examples are hyperbolical, but people, more often than not, still get fooled by them.

Via: Reddit

Some people’s logic can be blurred when it comes to libido. That’s why there are game ads that promote sexual innuendos even though they might not exist in the actual gameplay. Other game advertisements use graphic (photo/video) manipulation to “beautify” the game.

You and I can definitely educate the market segment that these misleading ads are targeting. As fewer people get deceived by fake advertising, the likelihood that advertisers with use these cheap tactics will also decrease. I am very well aware that if you manage to read the article up to this point, you should not be included in the gullible market segment. However, there are still many people out there who can be potential victims of false ads. So, help them out by sharing this article! 

 

5. Unclear consumer protection laws

The last reason behind the prevalence of misleading game advertisements, in my opinion, lies in the lack of clarity about the current laws regarding consumer protection. From my googling results, two sources might be of good use. The first source is from an article on HukumOnline, while the second source comes from a study entitled Legal Responsibility of Advertising Business Actors for Advertising Products that Violate Advertising Ethics (PDF).

I am by no means an expert in the law, and I can’t quite grasp whether it is actually legitimate to bring up the issue of false advertisements in court. 

Even if it can be questioned, who can be held accountable? We also have to consider the fact that most of these mischievous publishers/developers do not have companies in Indonesia. Can I dispute this through international legal channels? Furthermore, what about the advertising platforms, such as Facebook or Google, that display these fraudulent ads?

Unfortunately, even though there are laws out there concerning fraudulent advertising, it does not make the problem any easier to solve, perhaps because of the weak law enforcement on this matter.

 

Conclusion

I believe that the prevalence of deceptive game advertisements does not originate from just one aspect. From the 5 aspects that I mentioned above, we only have the power to change and educate the market segment, although it is not easy to do either.

Nevertheless, I hope this article can be helpful for you and the people around you. So, again, don’t forget to share it!

Translated by: Ananto Joyoadikusumo. Feat Image via: Gibbs Law Group

Esports in China: The History, Turning Point Moment, and Future

China’s love and hate relationship with gaming and esports can be tracked all the way to the ’90s when gaming and esports are not a thing and still considered taboo at times. Today, China as a nation played a significant role in the realm of esports.

In fact, China is now recognized as the most prominent nation in the video game industry globally and the most potent challenger to the previously dominant market, the United States. They are currently the largest market by revenues, with total revenues of US$385,1 million in 2020, followed by North America, with total revenues of US$252,8 million.

In the past six months, we saw the Chinese esports industry emerging from the pandemic’s abyss to stage the year’s largest esports competition – the League of Legends World Championship – in Shanghai, as well as a US$100 million Series B investment in a Chinese esports company. But how did it all begin? Was the path to where they are now straightforward?

 

Gaming Before 2009: Massive number of negativity around the industry

Most people were unaware that before 2009, gaming and esports were viewed mainly negatively. It was often regarded as obscene, abusive, ineffective, and deficient in cultural refinement. To “protect the ideological thinking and morality of young people”, strict laws and regulations were in effect all over the place.

Censorship has been a source of contention since the 1980s when the first arcade games were introduced into the Chinese market. The general perception of gaming as a disruptive activity and a danger to addictive lifestyles prompted the development of policies in the 1990s, namely “Government Notice Strengthening the Regulation of Billiards and Video Games” by the State Administration of Radio, Film and Television of People’s Republic of China, and various other policies in the future years.

Image Credit: WIRED

Many international games were prohibited and could not be brought into China during this period, while domestic games received official warnings, forcing developers to change game material linked to the portrayal of violence and sex.

Chinese news outlets, primarily state-owned publications, stoke the fires by spreading negativity about gaming and esports. The term “gaming” is often associated with societal taboos, crime, brutality, illiteracy, and gambling.

The peak was The Lanjisu Fire accident — a 2002 internet cafe fire in Beijing that killed 25 young people — has been part of China’s collective memory. It was a watershed moment in China’s internet cafe period. The Lanjisu Fire elevated the issue of China’s internet cafes to a national level. Not only were the unhealthy conditions concerning, but so was the effect of internet cafes on China’s youth, with students spending days on end playing video games in these smoky halls, contributing to an increase in school absenteeism and internet addiction.

The accident provided an opportunity for the party-state to react to a moral outrage sparked by the media and backed up by concerned parents over the risks of internet cafes frequented by alleged teen-hooligans.

The fire prompted a massive ban on illegal internet cafes. The Beijing authorities initiated a drive to halt the construction of new internet cafes and screen all established internet cafes one by one and shutter all unlicensed enterprises and confiscate their operating tools effectively. Approximately 400,000 internet cafes were closed across the nation.

 

Moral Panic: The dark era of immoral practice

Negative public discourse on gaming in Chinese culture resulted in a state of moral panic, which Stanley Cohen defines as an exaggerated collective response to something that described as a threat to cultural values and interests.

We investigated a plethora of news stories about gaming and esports that seemed negative, especially those from 2009 or earlier. It was easy to find one thanks to Google Time Machine Feature.

These were some of the findings, which did not contain television broadcasts that citizens viewed on a regular basis. There were also a lot of questions raised on Baidu, China’s Quora-like website, about the effects and concerns of gaming addiction, which was very widespread. But the point is that gaming was seen negatively by Chinese parents.

At one point, the moral panic became so intense that Yang Yongxin, a Chinese clinical psychiatrist who advocated and practised electroconvulsive therapy (ECT) as a cure for alleged internet addiction in adolescents. He operated the Internet Addiction Treatment Center at a hospital, which has been closed since August 2016.

According to media reports, families of adolescent patients admitted to the hospital were charged CN¥5,500 (US$854) a month for therapy with a mixture of psychological drugs and ECT, nicknamed “brain-waking treatment” by Yang.

He treated 3000 children before the practice was prohibited by the Chinese Ministry of Health. Yang claimed that 96% of his patients had shown signs of improvement, a figure that was questioned by the Chinese media. Since the ban, Yang had used “low-frequency pulse therapy”, a treatment of his own devising alleged by former patients to be more painful than ECT. In 2016, the practice claimed to have treated more than 6000 adolescents.

 

The Turning Point: The Presence of Esports

2009 was a watershed moment for China, and thus likely for the rest of Asia as well. It was the year that the government softened its policies and controls by granting approval for the distribution of many games, including League of Legends and Dota 2. However, the agreement was non-Chinese developers were only allowed to distribute their games only through vendors affiliated with one of the China-based gaming publishers.

NetEase, Tencent, and Perfect World were three dominant forces in this matter. The former has the distribution rights to Minecraft, World of Warcraft, StarCraft II, Overwatch, and several other games. Meanwhile, in China, the latter is the sole distributor of Valve’s games Dota 2 and Counter-Strike: Global Offensive.

Photo collection of six city landmarks on CS:GO launch in China. Image Credit: Perfect World

This strategy aimed to improve China’s soft power by encouraging the creation of more domestic games with funds collected by vendors and gaming agency commissioning and taxation. This has aided the accelerated development of local gaming companies, strengthened societal perceptions of interest in the game industry, and significantly raised total domestic revenues by a lot.

 

Today: China’s Gaming Industry Overlap the United States, which opened up new possibilities for esports

According to Statista, in 2021, China is expected to account for 32% of all global game industry sales.

The gross sales of China’s games industry rose by 20% year on year to US$43 billion in 2020. Global game sales are forecasted to reach US$154 billion in 2021, with China accounting for US$49 billion of that total. It was also revealed that the mobile games industry had increased eightfold in six years, rising from US$4.2 billion in 2014 to US$32.4 billion in 2020.

Image Credit: Newzoo

The Future: China’s Strategic Plan for Esports in Public Sectors

No country has made this big of a commitment to the development of esports as the Chinese. The government encourages domestic esports development as a source of national pride, and unlike soccer or other common consumer sports, China dominates esports.

China’s desire to become the centre of esports can be seen in its efforts to align with and be more welcoming to esports. Regulations have been eased, and government investment and funding have also played a significant role. Even cities in China are vying to be China’s esports capital.

In eastern China’s Zhejiang Province, Hangzhou unveiled the country’s first esports town in November 2018. The Chinese government built and will oversee the plant, which spans approximately 17,000 square meters and is estimated to have cost roughly CN¥2 billion (US$310 million) to construct.

Peacekeeper Elite League 2020, which was hosted in Xi’an, China. Image Credit: VSPN

Chongqing, based in Western China, has already hosted various large-scale tournaments, including The Chongqing Major Dota 2 and StarLadder & ImbaTV Invitational Chongqing CS:GO 2018. The number of events organized in these cities is expected to increase after the pandemic.

Meanwhile, Shanghai has planned to open The Shanghai International New Cultural and Creative Esports Center, which would cost CN¥5,8 billion (US$900 million) and cover an area of 500,000 square meters. It is intended to serve as a centre for esports teams and businesses and will have a hotel.

 

The Future: Private Sector Go Hand in Hand with The Government

Besides the public sector, China has urged domestic technology behemoths, most prominently Tencent and Alibaba, to increase their funding and investment in gaming and esports.

Tencent, China’s most valuable gaming company, operates a number of game studios, including Riot Games, creators of League of Legends, VALORANT, and stakes in Activision Blizzard Ubisoft, Supercell, and many others.

Tencent Establishes a Tencent Esports Technology Union together with Intel, Qualcomm, Nvidia, China Union, Tencent Cloud, Razer, and Yesee Tech. Image Credit: Tencent

Additionally, the growth has expanded to the root, as Chinese universities have launched esports modules and majors to regenerate more esports players in the future. Peking University and Communication University of China are some of the prominent educational institutions that have introduced esports programs.

 

Closing: China’s Circle of Success in Esports

With China’s strength and the funding of both the public and private sectors, it will not be long before China achieves its goal of being the center of esports. 2020 has already shown to be a spark for established phenomena and esports in China can only continue to grow and spread through all sectors in the midst of a global pandemic.

Every week, large tournaments are held, brands want to be a part of it, youth interest in esports is higher than ever, and governmental support would back them all up to continue esports’ smooth and ever-growing trajectory in this country. This circle represents China’s greatest strength in achieving its ambition in esports in the coming years.

Feat Image Credit: ESL

BOOM blaZek1ng dan Kisah Perpindahan Haluan dari CS:GO ke VALORANT

VALORANT, FPS pertama yang dikembangkan oleh Riot Games ini cukup menuai sukses di berbagai belahan dunia, termasuk Asia. Di Indonesia sendiri, popularitas VALORANT telah jauh mengalahkan tetuanya, CS:GO, dari segi akumulasi pemain hingga ekosistem esports. Ranah esports Indonesia sendiri cukup antusitas menyambut hadirnya VALORANT. Datangnya game ini juga sekaligus menjadi nafas baru bagi genre FPS di PC yang sempat redup di Indonesia beberapa tahun ke belakang karena kalah saing dengan game mobile.

Bukti dari pertumbuhan pesat skena esports VALORANT di Indonesia salah satunya tercermin oleh BOOM Esports. Tim bertagar #HungryBeast ini sudah menjadi langganan perwakilan Indonesia di ajang internasional.

Fakta menariknya, BOOM Esports didominasi oleh para pemain profesional dari CS:GO yang “pindah haluan”. Salah satunya adalah kapten dari BOOM Esports, Gary “blaZek1ng” Dastin.

Kalau ditengok ke belakang, nama blaZek1ng sudah sering muncul di ajang-ajang besar CS:GO lokal bersama tim-tim top asal Indonesia. Namanya sempat terukir di salah satu turnamen CS:GO terbesar Indonesia, ROG Masters 2017 Indonesia yang diadakan pada bulan September 2017 silam. Saat itu, timnya, AKARA, berhasil membungkam Recca Esports yang notabene adalah tim terkuat Indonesia di eranya.

ROG Masters 2017 Sebagai Pembuktian Terakhir blaZek1ng

Image Credit: GGWP

Melalui podcast GLHF Production, blaZek1ng mengemukakan bahwa ROG Masters 2017 Indonesia adalah kesempatan terakhir mereka membuktikan diri sebagai tim yang patut diperhitungkan. Jika tidak memenangkan gelaran besar tersebut, ia bersama William “kr0” Adinata akan gantung mouse dari ranah esports dan fokus di real-life. Jika kita tengok ke belakang, tahun 2017 adalah tahun yang cukup berat untuk tim selain Recca Esports. Saat itu, Recca Esports baru saja kedatangan tiga pemain utama milik TEAMnxl>, ditambah dengan Kevin “xccurate” Susanto yang sedang naik daun.

Kemenangannya di turnamen LAN CS:GO terbesar di Indonesia itu pun menjadikan nama Gary Dastin masih terpampang sebagai salah satu pemain esports profesional hingga saat ini di BOOM Esports.

Dua bulan paska kemenangan tersebut, ia berlabuh ke Executioners (XcN) yang merupakan organisasi legendaris Indonesia dan juga masih eksis hingga saat ini. Di sana, ia satu perahu dengan Tejas “rite2ace” Sawant yang saat ini bermain untuk Tim Mahi India serta Adrian “adrnking” Setiawan yang merupakan teman mainnya di BOOM Esports hingga sekarang.

Rex Regum Qeon juga sempat terjun ke ranah CS:GO spesial untuk gelaran IESPL TBOF. Pecahnya XcN kemudian membawa Gary berlabuh ke RRQ di pertengahan gelaran IESPL TBOF. Di sana, ia satu tim bersama Kevin “dispenser” Te dan Jayvee “DubsteP” Paguirigan yang saat ini bermain di roster VALORANT Bren Esports Filipina. Segudang pengalaman bersama pemain-pemain besar ini tidak bisa diremehkan sama sekali.

Beberapa bulan berselang, berakhirnya IESPL dibarengi juga dengan belasan organisasi esports yang pelan-pelan angkat kaki dari ranah CS:GO Indonesia, termasuk Rex Regum Qeon, super team Indonesia

“Karena di saat itu gua udah tau RRQ bakal dibubarin, karena kita sudah tau, RRQ ini adalah tim mobile, gw bilang ke mereka. Kita kelar IESPL, juara ga juara juga bakal dibubarin. Jadi pas dibubarin, gua, WnD, DubsteP, sama dispenser, semua udah ketawa-ketawa aja. “ Pungkas Gary di podcast GLHF.

Image Credit: IEG 2018

Transisi ke VALORANT

Setelah keluar dari RRQ, Gary sempat absen dari ranah kompetitif untuk menyelesaikan kuliahnya dan kemudian mejalani karir di salah satu perusahaan korporat besar Indonesia.

Project A yang diumumkan oleh Riot Games di penghujung tahun 2019 sempat menarik perhatian Gary, walaupun cukup pesimis pada saat itu. Namun setelah VALORANT dirilis untuk umum, persepsinya berubah 180 derajat. “Reaksi pertama gua adalah, wah ini game seru juga, boleh nih.”

Mekanisme permainan yang sama antara VALORANT dengan CS:GO juga membantu transisinya ke game baru ini lebih mudah. “Saat mencoba VALORANT, cukup mudah untuk gua karena sudah paham basicnya (dari CS:GO).”

Awal karir profesional blaZek1ng di VALORANT dimulai dengan bergabung dengan Boys With Love. Bersama empat temannya yang juga mantan pemain profesional di CS:GO, ia berhasil menyabet empat trofi juara di kompetisi komunitas. Satu bulan berselang sejak perilisan VALORANT di Juni 2020, mereka langsung diboyong oleh BOOM Esports.

blaZek1ng bersama XcN memenangkan eXTREMESLAND Asia CS:GO 2018. (Image Credit: XcN Gaming)

Faktanya, enam dari tujuh pemain yang pernah singgah BOOM Esports adalah mantan pemain profesional CS:GO. Adrian “adrnking” Setiawan merupakan teman satu seperjuangan Gary di XcN CS:GO. Sedangkan Agung “Sys” Frianto dan Kevin “Eeyore” Gunawan sempat satu kapal di Recca Esports. Duet Riyan “Notoriouszx” Fiqri dan Nanda “Asterisk” Rizana juga mantan pemain dari BOOM ID CS:GO (sekarang BOOM Esports).

NcSlasher adalah satu-satunya pemain BOOM Esports dengan latar belakang yang berbeda. Ia merupakan mantan pemain PUBG PC bersama Aerowolf ADS (Team One). Pada satu titik, timnya adalah tim PUBG PC nomor satu di Indonesia, dan bahkan sempat masuk ke delapan besar gelaran FACEIT Global Summit 2019 – Gelaran internasional PUBG PC pertama di dunia.

Untuk Gary, pilihannya untuk meninggalkan karir korporatnya yang sudah cukup gemilang dan memilih karir profesional di game yang belum sepenuhnya pasti ini dideskripsikan Gary sebagai gambling. “Namun gua mau melakukan apa yang gua mau lakukan.”

Roster versi pertama BOOM Esports. Image Credit: MineskiTV Indonesia

Nama besar masing-masing pemain menjadi bekal perjalanan skuad BOOM Esports, yang hingga saat artikel ini ditulis, adalah tim nomor dua di Indonesia di bawah NXL LIGAGAME.

Tim yang dipimpin oleh Gary ini telah menyabet rentetan trofi, mulai dari VCT Indonesia Stage 1 Challengers 1 dan 3, serta VCT Indonesia Stage 2 Challengers 1 dan 3. Di ranah internasional, mereka sudah sering satu panggung dengan tim-tim besar Asia Tenggara lainnya seperti Paper Rex, Bren Esports, dan X10 Esports.

Scene VALORANT Indonesia dan Asia saat ini

Valorant Champions Tour, atau yang sering disingkat VCT, merupakan liga resmi dari Riot Games yang paten menjadi ajang tolak ukur dan pembuktian bagi tim di seluruh dunia. Dengan VALORANT yang sebentar lagi usianya genap satu tahun, semakin banyak tim mulai mengadopsi taktik serta cara bermain yang semakin bervariasi. Seluruh tim di dunia tengah berlomba-lomba mencari komposisi strategi dan taktik yang paling ampuh untuk mendominasi region mereka masing-masing.

Perkembangan tersebut tercermin dari komposisi tim di setiap stage VCT yang berubah-ubah, terutama di tingkat domestik.

Di VCT sendiri, blaZek1ng juga mengekspresikan berkembangnya tim-tim Asia. Karena para pemain memiliki semakin banyak variasi taktik, komposisi tim di VCT pertama dan kedua cukup berbeda. Sebagai gambaran, hanya tiga tim yang berhasil hadir di tiga gelaran VCT Stage 1 Challengers Indonesia, yaitu BOOM Esports, Alter Ego, dan Seniman Grooming.

Saat ditanya pemain yang wajib menjadi watch list dari para penonton VALORANT Indonesia, ia menobatkan Patiphan “Patiphan” Chaiwong dari X10 Esports. Pemain berumur 17 tahun ini dulunya merupakan seorang pemain profesional Overwatch. Bahkan pada 2018, ia sempat mewakili Thailand di Overwatch World Cup

Patiphan dinobatkan blaZek1ng sebagai pemain yang wajib ditonton ke depannya. Image Credit: X10 Esports

Ke depannya, Gary juga mengharapkan Indonesia, khususnya BOOM Esports bisa mengibarkan benderanya di VCT Masters Stage 3 yang akan digelar di Berlin, Jerman pada bulan September mendatang. “Bismillah Berlin.” Candanya.

Newzoo: Nilai Industri Game Pada 2021 Mengalami Penurunan

Nilai industri game pada tahun 2021 diperkirakan akan mencapai US$175,8 miliar, turun 1,1% jika dibandingkan pada tahun 2020. Kali ini adalah pertama kalinya industri game mengalami penurunan sejak Newzoo mulai mengamati industri game pada 2012. Meskipun begitu, hal ini bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Pasalnya, angka penurunan nilai industri game tidak besar. Selain itu, diperkirakan, industri game masih akan bernilai US$200 miliar pada 2023.

“Sejak kami mulai mengamati perkembangan industri game, penurunan pemasukan industri game pada tahun ini memang unik,” kata Tom Wijman, Games Market Lead, Newzoo, pada GamesBeat. “Meskipun nilai industri game diduga akan turun pada tahun ini, dalam jangka panjang, atau bahkan dalam waktu beberapa tahun ke depan, industri game akan kembali tumbuh. Pada tahun lalu, industri game memang mengalami pertumbuhan yang tidak wajar. Dan pertumbuhan tidak wajar itu akan ternormalisasi pada tahun ini.”

Kenapa Industri Game Menyusut?

Nilai industri game pada 2020 mencapai US$177,8 miliar, naik 23,1% dari tahun 2019. Angka tersebut merupakan pertumbuhan tertinggi dari industri game sejak 2012. Ada beberapa hal yang membuat industri game tumbuh pesat pada tahun lalu. Salah satunya adalah pandemi virus corona. Akibat pandemi, banyak negara yang menetapkan lockdown. Alhasil, banyak orang yang harus mencari hiburan di rumah. Dan salah satu hiburan yang dipilih oleh masyarakat adalah bermain game. Tak hanya itu, karena sebagian besar kantor menetapkan Work from Home (WFH), para pekerja menjadi punya waktu ekstra, yang bisa dihabiskan untuk bermain game.

Perkiraan nilai industri game dalam beberapa tahun terakhir. | Sumber: Newzoo

Hal lain yang mendorong pertumbuhan industri game pada tahun 2020 adalah peluncuran konsol next-gen oleh Sony dan Microsoft. Kedua perusahaan itu meluncurkan PlayStation 5 dan Xbox Series X pada November 2020. Hal ini mendorong para hardcore gamers berbondong-bondong membeli konsol baru tersebut. Faktanya, baik PS5 maupun Xbox Series X menjadi barang langka karena permintaan konsumen yang lebih tinggi dari suplai.

Masalah stok PlayStation 5 dan Xbox Series X diperkirakan masih akan berlanjut hingga tahun ini. Hal ini menjadi salah satu faktor yang membuat industri game mengalami penyusutan. Selain itu, suplai GPU untuk PC gaming juga diperkirakan masih akan kurang, yang dapat menyebabkan penurunan belanja oleh para gamers. Faktor lain yang menghambat pertumbuhan industri game pada 2021 adalah keputusan Apple untuk memperketat peraturan terkait targeted advertising demi menjaga privasi para penggunanya.

Meskipun begitu, sejauh ini, hasil laporan keuangan dari berbagai perusahaan game, seperti Activision Blizzard dan Zynga, masih sangat baik. Mereka memperkirakan, dalam beberapa kuartal ke depan, keadaan keuangan mereka juga masih tidak akan mengalami masalah.

Nilai industri game global di 2021 berdasarkan segmen. | Sumber: Newzoo

“Kami memperkirakan, penurunan pemasukan akan mulai terlihat pada Q2 dan Q3 2021,” kata Wijman. “Pada tahun lalu, kenaikan pemasukan yang tidak wajar akibat pandemi juga terjadi pada Q2 dan Q3. Jadi, wajar jika saat ini, pemasukan dari perusahaan-perusahaan game masih menunjukkan kenaikan. Namun, kami memperkirakan, dalam dua kuartal ke depan, pemasukan perusahaan game akan mulai turun.”

Turunnya Pemasukan Industri Game PC dan Konsol

Pada 2021, industri game PC diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar 2,8%, menjadi US$35,9 miliar. Sementara itu, industri game konsol diduga akan turun 8,9%, menjadi US$49,2 miliar. Salah satu alasan mengapa segmen gaming PC dan konsol turun adalah karena masalah suplai GPU dan konsol next-gen. Menurut Newzoo, kelangkaan konsol next-gen dan PC gaming akan memberikan dampak negatif pada total belanja para gamers.

Hal lain yang menyebabkan industri game mengalami penurunan pada tahun ini adalah ditundanya sejumlah game yang ditunggu-tunggu. Beberapa game yang peluncurannya harus dimundurkan ke akhir 2021 atau bahkan ke 2022 antara lain Returnal, Gotham Knights, Destiny 2: The Witch Queen, Gran Turismo 7, dan Destruction AllStars.

Returnal jadi salah satu game yang harus ditunda. | Sumber: Engadget

Alasan tertundanya peluncuran sejumlah game adalah perubahan pola kerja di studio game. Pada paruh pertama 2020, lockdown diberlakukan. Hal ini memengaruhi hampir semua lini pekerjaan. Tak terkecuali studio game. Perusahaan game yang membuat game AAA dengan tim besar adalah pihak yang paling terdampak. Akibat penetapan kerja dari rumah oleh perusahaan-perusahaan game, produksi game pun terkendala. Hal ini berujung pada ditundanya peluncuran game AAA, untuk konsol dan PC.

Selain pemasukkan, tingkat engagement berbagai game juga mengalami kenaikan pada tahun lalu. Newzoo memperkirakan, pada tahun ini, tingkat engagement itu akan mengalami penurunan. Sekarang pandemi COVID-19 mulai mereda, sebagian orang akan memilih untuk menghabiskan uang dan waktunya melakukan kegiatan sosial selain bermain game. Kabar baiknya, sebagian dari kenaikan engagement yang terjadi pada tahun lalu akan bertahan pada 2021.

Pertumbuhan Industri Mobile Game

App Annie memperkirakan, industri mobile game akan tumbuh 20% pada 2021. Namun, menurut perkiraan Newzoo, pertumbuhan industri mobile game hanya akan mencapai 4,4%, menjadi US$90,7 miliar. Salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan industri mobile game adalah keputusan Apple untuk menghapuskan Identification for Advertisers (IDFA). Selama ini, IDFA digunakan oleh developer untuk melacak data pengguna, seperti untuk mengetahui siapa saja yang menghabiskan uang dalam game.

Dengan peluncuran iOS 14.5, Apple memudahkan para pengguna iPhone dan iPad untuk mematikan tracker dari para pengiklan. Hal ini akan mempersulit para developer yang menggantungkan diri pada pemasukan dari iklan. Menariknya, perusahaan game asal Tiongkok, seperti Tencent dan NetEase, diduga tidak akan terlalu terpengaruh oleh keputusan Apple. Karena, mereka bisa mengumpulkan data para pemainnya tanpa harus menggunakan IDFA. Apa yang dilakukan oleh Tencent dan NetEase bisa ditiru oleh developer dan publisher mobile game di masa depan.

Apple akan menghilangkan IDFA pada iOS 14.5. | Sumber: 9to5Mac

Untungnya, industri mobile game diperkirakan masih akan tumbuh pada tahun ini. Karena, proses pengembangan mobile game relatif lebih sederhana daripada game PC dan konsol. Alhasil, dampak akibat perubahan ritme kerja karena pandemi pada proses produksi mobile game tidak sebesar pada pengembangan game PC dan konsol. Tak hanya itu, orang-orang yang mencoba untuk bermain mobile game pada tahun lalu kemungkinan akan tetap memainkannya pada tahun ini. Karena itulah, Wijman mengungkap, perkiraan Newzoo akan niai industri mobile game pada 2021 tetap lebih tinggi daripada dugaan mereka sebelum pandemi COVID-19.