Analisa Tren Industri Game PC dan Konsol Sepanjang 2020 di Australia, AS, Jepang, Inggris, dan Eropa

Tahun 2020 adalah tahun yang unik bagi industri game, khususnya industri game PC dan konsol. Di tengah krisis ekonomi global, industri game justru tumbuh. Tak hanya itu, pandemi juga mengubah kebiasaan para gamer dalam membeli game. Selama ini, para gamer memang sudah mulai terbiasa membeli game di toko digital, seperti Steam, PlayStation Store, Nintnedo Eshop, dan lain sebagainya. Tren membeli game digital semakin populer karena ketetapan lockdown yang diputuskan oleh berbagai pemerintah di dunia.

GamesIndustry membuat laporan tentang tren di industri game PC dan konsol di Australia, Eropa, Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris selama 2020. Berikut ulasannya.

 

Australia

Pada 2020, total penjualan game di Australia naik 35% menjadi 15,8 juta unit. Data itu dikumupulkan oleh Games Sales Data (GSD), yang melacak penjualan digital dan fisik dari game-game yang dirilis sepanjang 2020. Sayangnya, ada beberapa publisher yang enggan untuk memberikan data penjualan mereka pada GSD, seperti Nintendo dan Bethesda.

Jika dibandingkan dengan pasar game di Eropa atau Amerika Serikat, pasar game di Australia unik karena di sana, game fisik masih lebih digemari. Pada tahun lalu, angka penjualan game fisik mencapai 8,5 juta unit, naik 15% jika dibandingkan dengan pada 2019. Meskipun begitu, pertumbuhan penjualan game digital tetap lebih pesat, mencapai 68%. Sepanjang 2020, sebanyak 7,3 juta unit game digital terjual melalui PSN, Xbox Live, Steam, dan Nintendo Eshop.

Di Australia, game favorit para gamers adalah Animal Crossing: New Horizons. Hal ini menarik karena Nintendo tidak menjual New Horizons secara digital di sana. Jadi, semua penjualan New Horizons di Australia dilakukan secara offline. Sementara itu, game terpopuler kedua adalah Grand Theft Auto V. Angka penjualan game dari itu naik 23% jika dibandingkan dengan tahun 2019. Peringkat lima diduduki oleh Mario Kart 8: Deluxe. Total penjualan game itu selama 2020 naik 88% dari tahun 2019. GTA V diluncurkan pada 2013, sementara Mario Kart 8: Deluxe dirilis pada 2014. Meningkatnya penjualan dari dua game ini menunjukkan, para gamers di Australia kembali tertarik untuk membeli game-game lama selama pandemi COVID-19.

Daftar 10 game terpopuler di Australia.
Daftar 10 game terpopuler di Australia.

Meningkatnya penjualan game di Australia tak lepas dari meningkatnya penjualan konsol. Pada 2020, sebanyak 1,2 juta konsol terjual. Jika dibandingkan dengan 2019, penjualan konsol pada 2020 naik 49%. Salah satu hal yang mendorong penjualan konsol adalah popularitas Nintendo Switch, yang menjadi konsol paling populer di Australia pada 2020. Total penjualan Switch pada 2020 naik 88% dari 2019. Sementara PlayStation 4 harus puas dengan posisi konsol terpopuler kedua. PlayStation 5 ada di posisi ketiga, diikuti oleh Xbox One pada peringkat empat.

 

Eropa

Untuk menganalisa tren penjualan game dan konsol di Eropa, GamesIndustry juga menggunakan data dari GSD. Kawasan Eropa mencakup Belgia, Belanda, Luxemburg, Prancis, Jerman, Swiss, Austria, Spanyol, Portugis, Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, Islandia, dan Polandia. Berdasarkan data dari GSD, pada 2020, ada 123,7 juta unit game yang terjual di Eropa. Jika dibandingkan dengan penjualan game pada 2019, angka penjualan game pada 2020 naik 19%. Dari total penjualan game tersebut, sebanyak 58,7 juta unit terjual secara online.

Untuk menganalisa penjualan game digital di Eropa, GamesIndustry tidak menyertakan negara-negara yang tidak menghitung penjualan game secara fisik dan digital. Selain itu, mereka juga tidak menghitung penjualan dari game-game buatan Nintendo, Bethesda, dan CD Projekt. Pasalnya, ketiga perusahaan itu tidak memberikan data penjualan game digital mereka. Dengan memperhitungkan dua faktor ini, total game digital yang terjual di Eropa pada 2020 mencapai 59% dari penjualan game secara keseluruhan. Sebagai perbandingan, pada 2019, angka penjualan game digital kurang dari 48%. Namun, populernya game digital pada 2020 bukan berarti orang-orang berhenti membeli game secara offline. Buktinya, sekitar 65 juta unit game terjual secara offline di Eropa pada 2020.

Tren industri gaming PC dan konsol di Eropa.
Tren industri gaming PC dan konsol di Eropa.

PlayStation 4 jadi platform paling populer untuk pembelian game digital. Sekitar 52% dari total penjualan game digital dilakukan di PS4. Pembelian game digital juga populer di PC, yang menyumbangkan 27% dari total penjualan game digital pada 2020. Sementara itu, PS4 juga mendominasi penjualan game secara offline. Sekitar 43% dari total penjualan game secara offline merupakan game untuk PS4. Selain game PS4, game untuk Nintendo Switch juga sering dibeli secara offline. Dari keseluruhan penjualan game secara offline di Eropa, sekitar 41% merupakan game untuk Switch.

Di Eropa, game paling populer adalah FIFA 21. Mengingat masyarakat Eropa memang merupakan penggemar sepak bola, hal ini tidak aneh. Sementara game terpopuler kedua adalah Grand Theft Auto V. Game buatan Rockstar itu bukan satu-satunya game yang tidak dirilis pada 2020 yang berhasil dalam daftar 10 game terpopuler di Eropa. Beberapa game lama lain yang juga populer di kalangan gamer Eropa sepanjang tahun lalu antara lain FIFA 2020, Red Dead Redemption 2, Mario Kart 8 Deluxe, dan Call of Duty: Modern Warfare.

 

Jepang

Di Jepang, total penjualan konsol sepanjang 2020 mencapai 6,85 juta unit, menurut data dari Famitsu. Nintendo Switch memberikan kontribusi 87% — sekitar 6 juta unit — dari total penjualan tersebut. Versi standar dari Switch terjual sebanyak 3,9 juta unit, sementara versi Lite lebih dari 2 juta unit. Setelah Switch, PlayStation 4 menjadi konsol kedua dengan penjualan terbanyak. Hanya saja, total penjualan dari konsol Sony itu jauh lebih sedikit dari Switch. Total penjualan PS4 hanya mencapai 543 ribu unit. Sementara penjualan konsol PlayStation 5 hanya mencapai 255 ribu unit.

Pada 2020, pemasukan industri game di Jepang tumbuh 12,5% dari 2019, menjadi US$3,5 miliar. Segmen yang mengalami pertumbuhan terbesar adalah penjualan hardware konsol, yang tumbuh sebesar 16,4%, menjadi US$1,8 miliar. Selain itu, segmen penjualan game offline juga naik 9% dari 2019, menjadi US$1,75 miliar. Famitsu menyebutkan, tahun 2020 merupakan kali pertama penjualan konsol dan game offline naik secara bersamaan sejak 2017.

Daftar 10 game PC dan konsol terpopuler di Jepang.
Daftar 10 game PC dan konsol terpopuler di Jepang.

Di Jepang, Animal Crossing: New Horizons menjadi game dengan penjualan fisik terbanyak. Diluncurkan pada Maret 2020, game itu terjual sebanyak 6,4 juta unit. Posisi kedua diisi oleh Ring Fit Adventure, yang terjual sebanyak 1,6 juta unit. Sebenarnya, game itu diluncurkan pada 2019. Dan pada tahun peluncurannya, game tersebut hanya terjual sebanyak 500 ribu unit. Game terpopuler ketiga di Jepang adalah Momotaro Dentetsu: Showa Heisei Reiwa mo Teiban! dengan total penjualan 1,23 juta unit.

 

Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, total belanja para gamers mencapai US$56,9 miliar pada 2020, naik 27% dari 2019. Software memberikan kontribusi sebesar 86% dari total belanja tersebut. Sementara itu, total penjualan konsol naik 35%, dari US$3,9 miliar pada 2019, menjadi US$5,3 miliar pada 2020. Sama seperti di Jepang, Nintendo Switch menjadi konsol paling populer. Dari segi nilai penjualan, PlayStation 5 ada di posisi kedua. Namun, dari segi total unit yang terjual, PlayStation 4 yang lebih unggul.

Menariknya, penjualan hardware dan aksesori gaming PC di AS pada 2020 juga naik. Total belanja untuk hardware dan aksesori gaming PC mencapai US$4,5 miliar, naik 62% jika dibandingkan dengan pada 2019. Tak hanya itu, total penjualan game digital PC juga naik 19%, menjadi US$7,5 miliar. Stephen Baker, Technology Industry Advisor, NPD, mengungkap bahwa tahun 2020 adalah tahun yang bersejarah bagi industri gaming PC. Pasalnya, baik penjualan hardware PC maupun aksesori gaming PC mengalami kenaikan. Total pertumbuhan penjualan hardware PC mencapai 57%, sementara pertumbuhan penjualan aksesori mencapai 81%.

Tahun 2020 menjadi tahun penting bagi industri gaming PC di AS.
Tahun 2020 menjadi tahun penting bagi industri gaming PC di AS.

Pada 2021, Baker memperkirakan, penjualan hardware dan aksesori gaming PC akan naik 3%. “Lockdown selama pandemi COVID-19 punya peran penting dalam mendorong pertumbuhan industri gaming PC. Alasannya, banyak orang yang berusaha untuk mencari hiburan selama mereka tidak boleh keluar dari rumah,” kata Baker.

 

Inggris

Mengikuti tren global, industri game di Inggris juga berkembang pada 2020. Sepanjang 2020, ada 42,7 juta unit game yang terjual, naik 34% dari 2019. Sebagian besar — sekitar 24,5 juta unit — terjual secara digital. Hal itu berarti, penjualan game digital di Inggris naik 74% pada 2020 dari 2019. FIFA 21 menjadi game yang paling laku. Game sepak bola itu terjual sebanyak 2,2 juta unit pada 2020. Sementara posisi kedua diduduki oleh Call of Duty: Black Ops Cold War, yang terjual sebanyak 1,42 juta unit.

Pada 2020, perilaku gamers di Inggris juga mulai berubah. Sekarang, mereka lebih sering membeli game via toko digital. Faktanya, sekitar 67% dari keseluruhan game yang terjual pada 2020 dibeli melalui PSN, Xbox Live, Nintendo Eshop, dan Steam. Sebagai perbandingan, pada 2019, hanya 52% game yang dibeli secara digital. Sebelum pandemi, perubahan perilaku gamers di Inggris ini memang sudah terlihat. Namun, pandemi COVID-19 membuat semakin banyak gamers membeli game via toko digital. Walau penjualan game digital terus naik, masih banyak orang yang membeli game secara offline. Buktinya, sebanyak 18,2 juta unit game terjual secara offline pada 2020, naik 2% dari 2019.

Tak hanya penjualan game, penjualan konsol di Inggris juga naik. Sepanjang 2020, total penjualan konsol di Inggris mencapai 3,16 juta unit, naik 29,4% dari tahun 2019. Nintendo Switch menjadi konsol paling populer di Inggris selama 11 bulan. Angka penjualan Switch naik 52,2% jika dibandingkan dengan penjualan pada 2019. Sementara penjualan konsol lain justru turun. Misalnya, penjualan PlayStation 4 turun 35,3% dan Xbox One turun 42,3%. Setelah Nintendo Switch, konsol paling populer kedua di Inggris adalah PlayStation 5. Padahal, konsol itu baru dirilis pada pertengahan November 2020 dan Sony kesulitan untuk memenuhi tingginya permintaan dari konsol tersebut.

Melihat Perkembangan Penggunaan Data Statistik di Esports

Sains dan data statistik mungkin bisa dibilang sudah menjadi sesuatu yang lekat dengan perkembangan industri olahraga. Bahkan, keputusan memisahkan pertandingan olahraga perempuan dengan laki-laki saja didasarkan penelitian saintifik. Lalu apabila kita mencerminkan perkembangan esports dari perkembangan olahraga, pertanyaannya, bagaimana perkembangan “esports science”?

Dalam artikel ini kita tidak akan membahas terlalu jauh, kita akan fokus pada perkembangan data statistik esports terlebih dulu, baik di luar negeri atau lokal Indonesia. Namun sebelum itu, mari saya jelaskan terlebih dahulu kenapa data statistik itu penting bagi perkembangan olahraga.

 

Moneyball: Ketika Data Statistik Membawa Tim Olahraga Lebih Maju Satu Langkah

Dalam industri olahraga, mengumpulkan data statistik permainan untuk mengukur performa pemain sudah umum dilakukan. Setelah dikumpulkan, data statistik tersebut biasanya digunakan untuk berbagai macam hal.

Dari sisi B2C (Business-to-Consumer), data dapat digunakan penonton untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas terhadap kondisi yang terjadi dari suatu pertandingan. Dari sisi B2B (Business-to-Business), data biasanya digunakan oleh tim sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan, seperti aspek apa yang harus diperbaiki dari satu pemain, atau mungkin pertimbangan saat akan membeli pemain baru, dan lain sebagainya.

Karena hal tersebut, data pun jadi penting bagi perkembangan industri olahraga, bahkan berkembang menjadi lini bisnis tersendiri. Istilah atau konsep moneyball mungkin bisa jadi salah satu contoh bagaimana pentingnya data statistik bagi perkembangan industri olahraga.

Konsep moneyball pertama kali datang dari olahraga Baseball, tepatnya dari pendekatan yang dilakukan manajer Oakland Athletic yaitu Billy Beane dalam membangun roster tim yang berbasis data analitik pada awal tahun 2000an. Dalam kisahnya yang tertulis dalam bentuk novel dan dijadikan film, Billy Beane bukan sekadar menggunakan data-data yang umum digunakan. Billy juga mencoba membongkar kebiasaan yang sudah lama terpatri dan mencoba melihat ke perspektif lain dengan menganalisa data-data yang justru tergolong undervalue pada masa itu.

Mitchell Layton/Getty Images/AFP. Diikutip dari Beritasatu.com
Pada masanya, tim baseball biasanya hanya melihat statistik persentase keberhasilan memukul bola saja | Mitchell Layton/Getty Images/AFP. Dikutip dari jakartaglobe.com

Tim baseball pada zaman itu biasanya hanya melihat data-data yang umum saja, contohnya seperti persentase keberhasilan pemain memukul bola. Karenanya pemain dengan statistik di bidang tersebut biasanya punya nilai transfer yang tinggi.

Oakland Atheltic, dengan dana yang tidak seberapa, mencoba menganalisis lebih dalam dan mencari data statistik yang kurang dihargai. Dalam moneyball, data yang jadi contoh adalah keberhasilan pemain mencapai base. Karena kurang dihargai, pemain dengan statistik tersebut cenderung punya nilai transfer yang rendah.

Setelah melalui berbagai analisa yang dilakukan manajemen, akhirnya Oakland Athletic pun mencoba mengambil jalan berisiko dengan analisis tersebut dan berhasil mencapai prestasi luar biasa. Mengutip dari wikipedia, Oakland Athletics diestimasi hanya mengeluarkan dana sebesar US$44 juta untuk gaji pemain. Namun mereka tampil sangat kompetitif dibanding tim yang lebih kuat finansialnya di zaman itu, yaitu New York Yankees yang mengeluarkan dana sebesar US$125 juta untuk gaji pemain di musim yang sama.

Maka dari itu, Moneyball sendiri secara umum sebenarnya bisa dibilang sebagai bentuk pengambilan keputusan yang berbasis kepada data. Tetapi secara khususnya, mencari data yang tergolong undervalue namun berpotensi tinggi di masa depan. Pada perkembangannya, bukan hanya baseball saja yang menggunakan data statistik dalam mengembail keputusan tertentu. Pada video di atas, ada pesepakbola N’Golo Kante sebagai contohnya.

Pada awal masa karirnya, ia bermain untuk klub asal Prancis, FC Caen. Saat bermain di tim tersebut, tidak banyak yang sadar bahwa ia adalah pemain yang berpotensi. Sampai akhirnya datanglah Leicester City melihat potensi Kante dari statistik Tackles per Game, Interceptions per Game, dan Clearance per Game. Leicester City membeli Kante seharga 7,65 juta Poundsterling tahun 2015 dan berhasil menjuarai Barclays Premier League di musim 2015/2016. Pasca kemenangan tersebut, nilai transfer Kante meningkat drastis, sehingga Chelsea merekrut dirinya dengan harga 35 Juta Poundsterling di tahun 2016.

Pengantar di atas memperlihatkan bagaimana data statistik digunakan di industri olahraga. Lalu bagaimana dengan esports?

 

Kabar Data Statistik Esports: Butuh Peran Aktif Pihak Pertama?

Sifat alami esports adalah kompetisi permainan yang disajikan lewat medium digital. Menariknya, walau sifat alami esports adalah permainan digital, perkembangan data statistik sebagai ranah bisnis di esports justru malah bisa dikatakan sebagai ladang baru yang masih hijau.

Namun demikian, ada alasan tersendiri kenapa data statistik di esports masih bisa dikatakan sebagai ranah “blue ocean”. Dari ranah game mobile kompetitif misalnya, Moonton (publisher Mobile Legends: Bang Bang) diwakili oleh Azwin Nugraha selaku PR Manager sempat mengatakan, bahwa alasan perkembangan esports science tergolong pelan salah satunya adalah karena perbedaan prioritas. Lebih lanjut, Azwin juga menjelaskan bahwa Moonton sendiri masih sedang membangun kapabilitas tim mereka untuk dapat memproduksi liga yang lebih berkelas lagi secara pelan-pelan.

Di luar dari apa yang dijelaskan oleh Azwin dari sudut pandang mobile gaming, bisnis data statistik justru tergolong berkembang dengan cukup cepat dari sudut pandang esports game PC terutama di negara-negara barat. Menurut opini saya, setidaknya ada tiga faktor yang mungkin jadi alasan atas perkembangan hal tersebut.

Sumber: MPL Indonesia
Di tengah perkembangan pesat dari esports game mobile, kehadiran data statistik yang detil menjadi salah satu hal yang cukup didamba-damba beberapa pihak. Sumber: MPL Indonesia

Pertama, pengembangan API yang dapat menjembatani sisi teknis pihak pertama (game developer) dengan pihak ketiga (pelaku bisnis data esports) mungkin cenderung lebih mudah di ranah game PC. Kedua, pelaku bisnis data esports dengan game developer yang sama-sama berasal dari negara barat mungkin jadi faktor juga. Ketiga, perkembangan teknologi dan talenta teknis programming negara barat yang lebih maju mungkin bisa jadi faktor juga.

Sebagai bukti kemajuannya, mari coba kita lihat data-data yang disediakan secara bebas oleh pihak ketiga untuk game-game esports PC. Perkenalan pertama saya dengan data statistik esports yang mendalam adalah dari Dotabuff. Seperti namanya, Dotabuff menyediakan data-data statistik seputar game Dota 2. Datanya tidak hanya tersedia untuk profesional saja, tetapi pemain casual juga bisa menikmati statistik permainannya sendiri hanya dengan menghubungkan Dotabuff dengan akun Steam saja.

Data yang tersedia dalam Dotabuff juga cukup mendalam, mulai dari yang standar seperti pick-rate atau win-rate, sampai yang tergolong advanced seperti jumlah damage yang dihasilkan terhadap tower dan bangunan lainnya. Dotabuff bahkan juga menyediakan data combat log (apa yang terjadi di menit berapa) yang mungkin bisa digunakan tim dalam mengevaluasi permainannya.

Selain Dotabuff di Dota 2, game-game esports lain yang ada di ranah PC juga hampir rata-rata memiliki data statistik permainan yang disediakan oleh pihak ketiga. OP.gg di skena League of Legends misalnya, yang menyediakan data-data seputar meta permainan mulai dari sekadar win-rate champion sampai win-rate berdasarkan build skill, item, serta rune dari sebuah champion.

Sumber Gambar - Dotabuff
Dotabuff memberi data yang cukup detil dan bisa diakses oleh semua orang, salah satu contohnya adalah combat log seperti di atas. Sumber Gambar – Dotabuff

VALORANT dan CS:GO juga punya beberapa penyedia data yang serupa. Dari sisi VALORANT, Thespike.gg adalah salah satu contohnya. Thespike.gg sendiri cenderung fokus menyediakan data-data statistik pemain-pemain profesional. Seperti pihak ketiga lainnya, data-data statistik yang disediakan cukup beragam mulai dari data sederhana seperti win-rate atau KDA, sampai data yang cukup mendalam seperti angka persentase area yang sering jadi target (kepala, badan, dan kaki). CS:GO juga punya csgostats.gg yang menyediakan data yang kurang lebih serupa.

Seperti yang saya sebut sebelumnya, kehadiran API yang sifatnya terbuka jadi salah satu alasan perkembangan penyedia data statistik di esports game PC. Dalam hal Dota 2 dan CS:GO, Valve selaku developer kedua game tersebut memang memperkenankan penggunanya untuk menggunakan API milik Steam untuk dapat mengakses data-data digital terkait permainan tersebut.

Lalu dari sisi VALORANT serta League of Legends, Riot Games sendiri juga memang menyediakan dan memperkenankan komunitas untuk mengakses API tersebut untuk membuat produk data statistiknya masing-masing. Dalam hal League of Legends, Riot Games bahkan juga menyertakan daftar ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengembang pihak ketiga apabila ingin memonetisasi data-data yang mereka dapatkan dari API tersebut.

Bagiamana dengan mobile games? Sejauh ini, API yang dapat diakses sepertinya masih belum umum untuk game mobile. Karena penasaran, saya pun mencoba melakukan googling terhadap keyword terkait API dari game mobile kompetitif yang populer di Indonesia. Hasilnya pun nihil. Alih-alih memberi kata “API” sebagai keyword suggestion, game mobile malah memberi saya keyword suggestion berupa “APK Download”.

Dalam konteks Mobile Legends: Bang Bang, Moonton sendiri memang sempat mengatakan bahwa mereka masih sedang mengembangkan API secara internal. Hal tersebut diungkap oleh Azwin pada saat diwawancara Hybrid.co.id ketika membahas kerja sama Moonton dengan JOIDATA.

Sumbar Gambar - Tangkapan Gambar Pribadi
Walaupun data-datanya tak tersedia di luar game, tetapi game seperti PUBG Mobile tetap mencatat statistik permainan walau sifatnya personal dan hanya tersedia di dalam in-game. Sumbar Gambar – Tangkapan Gambar Pribadi
Sumbar Gambar - Tangkapan Gambar Pribadi
Beberapa data statistik yang ditunjukkan di dalam game Mobile Legends: Bang-Bang. Sumbar Gambar – Tangkapan Gambar Pribadi

API sebagai sarana berbagi data statistik memang belum marak digunakan di ranah game mobile kompetitif, tetapi bukan berarti game mobile tidak menyediakan data-data statistik permainan. Dari sisi esports MLBB, data statistik pemain MPL dan MDL tersedia di masing-masing laman resminya. Begitupun dengan esports PUBG Mobile yang juga menyediakan catatan data statistik pemain sepanjang PMPL Indonesia berjalan di website resminya.

Walaupun tersedia, namun data statistik yang ada di laman-laman resmi tersebut cenderung hanya data yang umum saja. Data statistik di laman MPL Indonesia misalnya, hanya menyediakan data yang umum digunakan seperti torehan KDA ataupun torehan total damage yang diberikan. PUBG Mobile pun sama, hanya menyediakan data KDA dengan tambahan Total Survive Time dan Max Kill Distance. Di luar dari esports, pemain juga bisa melihat data statistik permainannya sendiri melalui profil in-game masing-masing. Jadi, walaupun belum ada API dari pihak eksternal, namun data statistik sebenarnya sudah ada di ranah game mobile kompetitif walau lingkupnya masih tergolong sempit.

 

Data Statistik di Lingkup Esports Lokal

Setelah membahas soal moneyball di olahraga dan mencoba melihat ketersediaan data statistik di ranah esports (game mobile ataupun PC), satu hal yang membuat penasaran mungkin adalah kisah moneyball di dalam ranah esports, terutama esports lokal. Untuk itu saya pun berbincang dengan Pratama “Yota” Indraputra selaku analis tim Bigetron Alpha (divisi MLBB Bigetron Esports).

Berbicara dengan Yota, saya membincangkan soal bagaimana data statistik dapat membantu mendongkrak performa sebuah tim esports. Mengawali pembicaraan, Yota pun mengutarakan pendapatnya soal manfaat data statistik bagi sebuah tim.

“Sebetulnya ada banyak potensi yang bisa datang dari data, tergantung tim tersebut mau menggali sedalam apa. Tindakan mengambil keputusan saat drafting atau menggali hero baru yang berpotensi sebagai meta sebenarnya bisa dianalisis menggunakan statistik. Tetapi tentunya tidak semua data punya relevansi yang setara. Karenanya, tugas bagi tim adalah untuk mengambil dan menganalisa data yang diperlukan saja.”

Setelah itu, saya juga mempertanyakan soal ketersediaan data statistik permainan serta cara tim mendapatkan data-data tersebut. Yota pun memberi cerita pengalamannya.

Sumber Gambar - Instagram Bigetron Esports.
Yota yang kiniSumber Gambar – Instagram Bigetron Esports.

“Kalau menurut gue data statistik esports itu sudah cukup tapi masih kurang. Dalam ranah MLBB misalnya, kita enggak bisa melihat statistik creep score atau jumlah last-hit. Karena data tersebut enggak ada, kita jadi sulit mendata siapa pemain yang unggul dari segi CS dan seberapa besar pengaruh CS terhadap kekuatan laning ataupun timing mendapatkan item tertentu. Kalau mau, kita sebenarnya bisa saja mengakalinya dan mendapatkan data tersebut. Tetapi saya rasa akan makan waktu terlalu banyak untuk mendapat data tersebut. Maka dari itu sekarang cukup melihat statistik gold saja.”

Dalam hal mendapatkan data, Yota menjelaskan bahwa hampir semua data direkap secara manual. Tapi memang, seperti yang saya katakan tadi, walaupun MPL menyediakan data statistik di laman resminya, namun data tersebut tergolong terlalu sederhana untuk bisa digunakan sebagai sarana analisa performa tim. Karenanya jadi tidak heran apabila seorang analis seperti Yota lebih memilih merekap semua data secara manual yang bisa didapatkan melalui post-match statistics yang muncul di dalam game.

Lebih lanjut Yota juga menjelaskan soal beberapa data yang jadi andalan bagi pembelajaran tim. Yota mengatakan bahwa data statistik yang kerap kali digunakan adalah data soal pick & ban, data seputar pola pergerakan, torehan damage, gold, serta objektif yang didapatkan.

Bagaimana dengan data statistik lain? “Kalau dari pengalaman gue pribadi, ada statistik yang namanya adalah damage per gold ratio. Statistik tersebut memperkenankan kita untuk mengetahui seberapa efektif pemain memberikan damage dengan gold yang didapat. Lalu apabila dari MOBA secara umum, ada juga data yang bernama jungle proximity yang fungsinya untuk mengetahui lane yang diprioritaskan seorang jungle untuk di gank pada fase early game. Namun demikian, data tersebut enggak gue gunakan di MLBB karena sifat alami gameplay MLBB yang lebih cair.”

Di atas tadi kita membahas bagaimana penggunaan data statistik dari sudut pandang analis. Lalu bagaimana penggunaan data statistik dari sudut pandang manajemen tim esports? Aldean Tegar Gemilang selaku Head of Esports di EVOS Esports juga turut menyampaikan pendapat serta pengalamannya.

Dalam hal perspektifnya terhadap data statistik, Aldean mengatakan bahwa bagi dirinya, data statistik adalah filter pertama sebelum berlanjut ke proses-proses selanjutnya. Ia pun menjelaskan hal tersebut sembari menjawab soal ketersediaan data statistik di esports game-game mobile yang populer di Indonesia.

“Kalau ditanya apakah data pemain bisa diakses bebas, jawabannya tidak. Kalau soal rekrutmen pemain, sebetulnya ada banyak cara, bisa scouting atau open recruitment. Kalau scouting, EVOS Esports biasanya memanfaatkan analis untuk mencari data pemain terkait, yang mana datanya datang dari in-game profile. Kalau misal metode perekrutannya adalah open recruitment, data statistik biasanya kami jadikan sebagai proses penyaringan awal.” Jawab Aldean.

Sumber Gambar - YouTube Channel
Aldean Tegar Gemilang, Head of Esports dari EVOS Esports. Sumber Gambar – YouTube Channel Jonathan Liandi (Emperor).

Lebih lanjut, Aldean juga kembali menegaskan posisi dirinya dalam melihat data statistik dalam proses perekrutan. “Menurut saya data statistik ini penting, tapi tetap hanya sebagai lapisan awal untuk menilai pemain. Masih banyak sekali faktor major dan minor yang perlu dilihat untuk menilai seberapa besar value (skill atau dampak-nya ke tim) seorang pemain.” Tutur Aldean.

Ia pun lalu juga menceritakan bagaimana perekrutan pemain kadang justru sulit apabila hanya berdasarkan data statistik saja. “Kalau berdasarkan pengalaman saya, hal tersebut terjadi terutama saat mencari pemain-pemain dengan role support. Pemain support biasanya punya data statistik yang cenderung kurang pasti (bias). Beberapa poin-poin penting pemain role support itu justru baru terlihat saat trial dilakukan secara offline.”

Terakhir, ia juga sedikit pandangannya soal jumlah ketersediaan data statistik di game-game esports sejauh ini. “Seperti tadi saya bilang, data statistik ini sebenarnya memang penting. Namun sayangnya ketersediaannya tergolong belum cukup untuk kebanyakan game mobile. Kalau dibandingkan dengan game seperti Dota 2 atau LoL, menurut saya masih cukup jauh. Salah satu alasan pendapat saya tersebut adalah karena game-game tersebut sudah punya wadah yang mempermudah melihat data statistik, salah satu contohnya adalah Dotabuff.” Jawab Aldean.

Pembeberan di atas adalah jawaban dari perspektif manajemen tim esports. Lalu bagaimana dengan usaha Moonton sendiri? Dalam menyediakan data statistik game untuk esports MLLB, usaha terakhir Moonton yang terlihat adalah kerja sama mereka dengan JOIDATA pada bulan Februari 2021 kemarin.

Pada kesempatan tersebut, Azwin Nugraha selaku PR Manager Moonton juga sempat menjelaskan bahwa kerja sama tersebut akan berfokus kepada data statistik game, termasuk usaha Moonton untuk menyediakan API agar pihak eksternal dapat mengakses data-data statistik game tersebut.

Karena penasaran, saya pun mempertanyakan bagaimana proses pengerjaan API tersebut demi ketersediaan data statistik untuk esports MLBB. Azwin pun mengatakan “Saat ini kerja sama mendalam masih terus dilakukan, kami masih menimbang beberapa kemungkinan yang nantinya berpengaruh terhadap penggunaan data tersebut.”

Di luar dari API, sebenarnya saya juga cukup penasaran, bagaimana semisal ada pihak ketiga yang mampu mengekstrak data statistik tersebut dengan menggunakan VOD pertandingan MPL saja? Hal tersebut sebenarnya bisa saja terjadi. Kalau dari sisi olahraga sepak bola, kita bisa melihat contohnya melalui Signality.

Signality mengembangkan semacam program AI dalam bentuk Computer Vision yang mampu mengenali gerakan-gerakan yang dilakukan oleh pemain bola. Dalam praktiknya, Signality bisa mengekstrak data statistik sepak bola hanya bermodalkan rekaman pertandingan saja.

Teorinya, kalau teknologi computer vision mampu mengenali gerakan manusia, maka kemungkinan besar teknologi tersebut mampu atau mungkin lebih fasih mengenali pergerakan di dalam video game. Lalu bagaimana sikap Moonton apabila misalnya ada sebuah startup yang mampu menciptakan teknologi tersebut untuk game esports MLBB?

Azwin pun merespon. “Tidak ada batasan bagi seseorang untuk berinovasi, apalagi jika inovasi yang dihasilkan dapat memberi manfaat dan turut berkontribusi dalam perkembangan esports. Kalau terkait izin, menurut saya berinovasi tidak memerlukan izin. Namun demikian, bagaimana inovasi tersebut digunakan nantinya adalah sesuatu hal yang perlu diperhatikan dan ditelaah lebih jauh.”

 

Kehadiran data statistik yang lebih lengkap dan mendetil tentunya adalah sesuatu yang baik bagi perkembangan esports. Dari sisi olahraga, kita bisa melihat sendiri bagaimana data statistik bahkan bisa membantu sebuah tim berkembang dari yang awalnya kurang kompetitif menjadi lebih kuat di dalam liga. Selain itu dari sisi penonton, data statistik juga bisa membuat tontonan esports jadi semakin seru untuk diikuti.

Jadi seberapa penting kehadiran data statistik bagi perkembangan esports? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya pun meminjam jawaban dari Yota.

“Intinya statistik ini menurut gue seperti suplemen saja, bukan kewajiban atau keharusan dan tidak menjamin kemenangan juga. Tetapi, ibarat tubuh manusia, meminum suplemen kesehatan tentu akan membuat tubuh jadi lebih kuat dan lebih siap melawan penyakit ataupun cidera.” Tutupnya.

Antara Perempuan dan Laki-Laki di Game dan Esports Menurut Hasil Sejumlah Penelitian

Perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki. Mereka berhak untuk mendapatkan perlakuan yang setara tanpa diskriminasi. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, perempuan memang berbeda dari laki-laki dari aspek biologis. Dan perbedaan biologis itu punya pengaruh pada berbagai aspek kehidupan seseorang. Salah satunya dalam kompetisi olahraga. Sampai saat ini, kebanyakan pertandingan olahraga biasanya dipisahkan berdasarkan gender.

Atlet perempuan tidak diadu dengan atlet laki-laki karena memang ada perbedaan kemampuan fisik di antara keduanya. Lalu, bagaimana dengan esports? Dalam competitive gaming, kebugaran fisik bukanlah faktor penentu kemenangan utama. Idealnya, perempuan bisa bertanding berdampingan dengan laki-laki.

 

Kenapa Olahraga Tradisional Dipisahkan Berdasarkan Gender?

Dalam pertandingan olahraga, kemenangan memang penting. Namun, kemenangan bukanlah segalanya. Cara seseorang mendapatkan kemenangan juga tidak kalah penting. Karena itu, dalam kompetisi olahraga bergengsi seperti Olimpiade, fair play menjadi salah satu nilai yang dijunjung tinggi.

It takes more than crossing the line first to make a champion. A champion is more than a winner. A champion is someone who respects the rules, rejects doping and competes in the spirit of fair play.” – Jacques Rogge

Jacques Rogge adalah Presiden dari International Olympic Committee pada 2001-2013. Dari kutipan di atas, terlihat jelas bagaimana dia menjunjung fair play. Selain semangat fair play, elemen lain yang tidak kalah penting dalam kompetisi olahraga adalah level playing field. Menurut BBC, level playing field merupakan keadaan dimana semua peserta kompetisi bertanding menggunakan peraturan yang sama dan punya kesempatan yang sama untuk menang. Lebih dari itu, level playing field juga berarti peserta yang diadu dalam sebuah kompetisi ada pada level yang sama. Jadi, seorang atlet NBA tidak akan diadu dengan orang yang hanya bermain basket sebagai hobi.

Pentingnya fair play dan level playing field dalam kompetisi olahraga menjadi salah satu alasan mengapa atlet perempuan tidak diadu dengan atlet laki-laki di kebanyakan cabang olahraga. Pasalnya, secara fisik, pria dan perempuan memang berbeda. Pria punya massa otot dan massa tulang yang lebih besar. Selain itu, kadar lemak di tubuh perempuan juga lebih tinggi. Kadar lemak di tubuh atlet perempuan berkisar pada 14-20%, sementara pada atlet laki-laki, kadar lemak di tubuh mereka hanyalah 6-14%. Tak hanya itu, pria dewasa juga biasanya punya kapasitas paru-paru yang lebih besar. Semua ini membuat pria lebih unggul dari perempuan dalam segi kekuatan.

Komposisi tubuh pria dan perempuan. | Sumber: The Body Counselor
Komposisi tubuh pria dan perempuan. | Sumber: The Body Counselor

Menurut studi yang berjudul Women and Men in Sport Performance: The Gender Gap has not Evolved since 1983, performa atlet perempuan memang masih kalah dari atlet laki-laki. Dalam studi itu, para peneliti menganalisa rekor dunia di berbagai cabang olahraga. Mereka juga mengamati performa para atlet Olimpiade di lima kategori olahraga dari tahun ke tahun. Mereka menggunakan data dari para atlet dalam 82 Olimpiade.

Data dari studi itu menunjukkan, rata-rata, performa atlet perempuan 10% lebih rendah dari atlet laki-laki. Tergantung pada olahraga yang diadu, perbedaan performa antara atlet laki-laki dan perempuan bisa menjadi lebih besar atau lebih kecil. Performa atlet perempuan paling mendekati performa atlet pria dalam olahraga renang gaya bebas. Perbedaan performa antara atlet perempuan dan laki-laki di cabang olahraga itu hanyalah 5,5%. Sementara itu, ada perbedaan yang sangat besar — sekitar 36,8% — pada kemampuan atlet pria dan perempuan dalam cabang olahraga angkat berat.

“Perempuan dan laki-laki memang punya fisik yang berbeda. Biasanya, perbedaan itu terkait kekuatan,” kata Andy Lane, psikolog olahraga di University of Wolverhampton pada How We Get to Next. Memang, dalam olahraga tertentu — khususnya olahraga yang melibatkan stamina aerobik, seperti lari jarak jauh — atlet perempuan bisa unggul dari laki-laki. Kabar baiknya, tidak semua olahraga mengadu fisik para atletnya. Ada beberapa cabang olahraga yang lebih mengutamakan aspek lain, seperti esports.

 

Apa Faktor yang Memengaruhi Performa Atlet Esports?

Tak peduli gender atau keadaan fisik seseorang, hampir semua orang bisa bermain game. Buktinya, Rocky Stoutenburgh, yang juga dikenal dengan nama RockyNoHands, berhasil menjadi streamer di Twitch meski dia hanya dapat menggerakkan kepalanya karena kelumpuhan di bagian leher ke bawah. Tentu saja, hal itu bukan berarti semua orang bisa menjadi atlet esports tingkat dunia, seperti Johan “N0tail” Sundstein dari OG atau Made Bagas “Zuxxy” Pramudita dan Made Bagus “Luxxy” Prabaswara dari Bigetron. Faktanya, kemungkinan seseorang sukses sebagai atlet esports hanyalah 0,0001%.

Zuxxy dan Luxxy. | Sumber: GGWP
Zuxxy dan Luxxy. | Sumber: GGWP

Kebugaran fisik memang bukan tolok ukur utama akan kemampuan seorang atlet esports. Namun, tetap ada beberapa keahlian yang harus seseorang kuasai untuk bisa menjadi pemain profesional ternama. Salah satunya adalah kemampuan sensorik-motorik. Kemampuan sensorik berkaitan dengan kemampuan untuk mengantarkan informasi yang diterima panca indera ke otak, sementara kemampuan motorik mengacu pada kemampuan untuk menyampaikan instruksi dari otak ke organ tubuh, seperti tangan. Kemampuan sensorik-motorik penting karena ia memengaruhi seberapa cepat seseorang dapat memproses apa yang dia lihat pada layar, mengambil keputusan akan apa yang harus dia lakukan, dan mengeksekusi keputusan yang dia buat dengan mengoperasikan perangkat game, seperti mouse, gamepad, keyboard, atau smartphone.

Kemampuan lain yang harus dimiliki oleh seorang atlet esports adalah spatial abilities atau kemampuan visual-ruang, termasuk kemampuan untuk membaca peta dan mengetahui posisi dari obyek yang ada di sekitarnya, baik obyek yang diam maupun obyek yang bergerak. Spatial abilities juga mencakup kemampuan seseorang untuk memprediksi dan mengantisipasi gerakan obyek atau aksi dari pemain lain. Misalnya, ketika Anda hendak menembak musuh yang sedang bergerak, Anda harus bisa memperkirakan ke mana dia akan bergerak untuk memastikan tembakan Anda akurat.

Selain kemampuan sensorik-motorik dan spatial abilities, kemampuan kognitif taktis juga memengaruhi kemampuan seseorang dalam bermain game, menurut studi The structure of performance and training in esports. Kemampuan kognitif taktis sendiri dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti persepsi, kreativitas, dan kemampuan untuk mengambil keputusan. Cakupan kemampuan kognitif taktis juga cukup luas. Jadi, kemampuan kognitif taktis biasanya dibagi ke beberapa bagian seperti ingatan dan konsentrasi, perencanaan, dan cara mengatasi masalah kompleks. Untuk bisa menjadi pemain esports yang handal, seseorang harus menguasai semua bidang kognitif taktis. Dia harus bisa memerhatikan keadaan sekitar sambil melakukan tugas lain, mengalisa situasi dan memutuskan tindakan yang harus diambil, membayangkan setiap langkah dari aksi yang hendak dilakukan, serta membuat rencana dan mengeksekusinya.

Pembagian kemampuan kognitif.
Pembagian kemampuan kognitif.| Sumber: Journals.plos.org

Konsentrasi jadi aspek lain yang tak kalah penting bagi pemain esports. Bagi atlet olahraga sekalipun, kemampuan untuk berkonsentrasi dalam waktu lama adalah kemampuan yang penting. Meskipun begitu, konsentrasi biasanya punya peran yang lebih penting bagi pemain esports. Karena, dalam olahraga tradisional, para pemain biasanya punya waktu untuk beristirahat, seperti saat time out. Sementara pada kompetisi esports, pertandingan biasanya akan berlangsung tanpa jeda.

Kemampuan sosial — termasuk kemampuan komunikasi dan bekerja sama — juga memengaruhi performa seorang atlet esports. Terakhir, kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang atlet esports adalah mengendalikan emosi. Hal ini tidak mudah, mengingat tekanan mental yang harus dihadapi oleh atlet esports papan atas sama seperti para atlet Olimpiade. Kegagalan seseorang untuk mengendalikan emosi dalam pertandingan — rasa kecewa atau marah karena melakukan kesalahan, misalnya — justru bisa membuat mereka tidak bisa memberikan performa yang maksimal.

 

Perbedaan Kemampuan Kognitif Pada Perempuan dan Laki-Laki

Industri esports memang lebih inklusif dari olahraga tradisional. Meskipun begitu, industri esports tetap didominasi oleh pria. Buktinya, kebanyakan pemain profesional merupakan laki-laki. Sebagian orang percaya, hal ini terjadi karena pemain pria dapat bermain game dengan lebih baik. Namun, apa memang benar begitu? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mencoba untuk membandingkan kemampuan kognitif laki-laki dan perempuan berdasarkan berbagai studi yang telah dilakukan.

Berdasarkan studi Comparison of Cognitive Functions Between Male and Female Medical Students: A Pilot Study, kemampuan kognitif pria dan perempuan dalam fase folikular sama. Sementara perempuan yang memasuki fase luteal dari siklus menstruasi akan dapat melakukan executive tasks — tugas-tugas yang memerlukan ingatan, cara pikir yang fleksibel, dan kendali diri — dengan lebih baik. Sayangnya, daya konsentrasi perempuan di fase luteal biasanya lebih rendah dari pria.

Instruksi dari salah satu tes memori. | Sumber: NCBI
Instruksi dari salah satu tes memori. | Sumber: NCBI

Ketika membandingkan kemampuan peserta perempuan dan laki-laki, para peneliti di studi ini juga memerhatikan siklus menstruasi dari peserta perempuan. Alasannya, siklus menstruasi memengaruhi hormon perempuan. Secara garis besar, ada empat fase menstruasi. Fase folikular dimulai ketika seorang perempuan menstruasi sampai fase ovulasi dimulai. Sementara fase luteal juga dikenal dengan nama postovulatory phase atau fase pramenstruasi. Dalam fase ini, jumlah hormon progesteron pada perempuan akan naik.

Studi di atas bukan satu-satunya riset yang membahas tentang bagaimana gender memengaruhi kemampuan kognitif. Ada beberapa riset lain yang membahas tentang pengaruh gender pada kemampuan kognitif dan spatial seseorang. Kontra dengan hasil penelitian tadi, dalam studi Sex/gender differences in cognition, neurophysiology, and neuroanatomy, dijelaskan bagaimana Janet S. Hyde melakukan tes psikologis dan kognitif pada perempuan dan laki-laki. Di studi itu, Hyde menguji 124 variabel, termasuk kemampuan matematis, verbal, persepsi, dan motorik.

Dari penelitian tersebut, dia menemukan, gender tidak punya pengaruh yang signifikan pada performa seseorang dalam 78% variabel. Gender hanya punya pengaruh signifikan pada kemampuan motorik seseorang, seperti kecepatan melempar. Temuan lain dari studi itu adalah pria mendapatkan nilai yang lebih tinggi dalam tes rotasi obyek 3D, yang sering dikaitkan dengan IQ yang lebih tinggi dan kemampuan terkait STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) yang lebih baik. Hasil dari studi ini memperkuat asumsi bahwa pria punya kemampuan matematis dan spatial yang lebih baik. Sementara perempuan diangggap memiliki kemampuan verbal yang lebih baik.

Namun, riset terbaru menunjukkan, perempuan dan laki-laki punya spatial cognition yang tidak jauh berbeda. Penelitian itu dilakukan oleh Dr Mark Campbell dan Dr Adam Toth dari Lero Esports Science Research Lab menggunakan teknologi eye-tracking terbaru. Dari tes yang mereka lakukan, mereka menemukan, hasil tes spatial cognition dari peserta pria tidak lebih baik dari peserta perempuan, khususnya dalam tes rotasi obyek.

“Jadi, apakah laki-laki lebih baik dari perempuan? Sebenarnya, tidak juga. Studi kami menemukan bahwa pria tidak lebih baik dalam tes rotasi mental,” kata Toth, seperti dikutip dari Technology Networks. “Dengan memperpanjang durasi tes, perempuan bisa memberikan performa yang sama seperti pria. Hal ini membuktikan bahwa asumsi pria lebih baik dalam tes rotasi mental adalah salah atau disebabkan oleh faktor lain selain gender.”

 

Kesimpulan

Para peneliti telah melakukan berbagai studi untuk mengetahui pengaruh gender pada berbagai aspek kehidupan seseorang, termasuk dalam cara berpikir. Sayangnya, tidak semua studi memberikan hasil yang sama. Sebagian menyebutkan bahwa pria memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik — yang berarti mereka bisa bermain game dengan lebih baik pula — sementara sebagian yang lain menyebutkan bahwa kemampuan kognitif perempuan dan pria tidak jauh berbeda.

Sayangnya, belum banyak studi yang secara khusus membahas tentang hubungan gender dengan kemampuan seseorang dalam bermain game. Tampaknya, industri esports memang masih terlalu muda sehingga penelitian terkait competitive gaming pun belum menunjukkan kesimpulan yang konklusif. Terlalu naif juga, atau malah arogan, menyimpulkan sendiri hasil yang kita inginkan karena faktanya memang belum ada hasil yang definitif dari penelitian Satu hal yang pasti, bermain game adalah kegiatan yang bisa dilakukan oleh siapa saja, terlepas dari gender, kemampuan fisik, dan status ekonomi seseorang.

The Unsuccessful of Twitch in Indonesia: Data Package Prices Determine Everything

Today, playing games can be much more than just a hobby. Moreover, people are not only attracted to playing games but also watch other people play. Because of this, both the esports and streaming industries are currently rapidly growing. Many companies also took the opportunity to invest in this thriving business. However, the streaming market is still dominated by several big platforms, such as Twitch, YouTube, and Facebook.

Globally, Twitch is still the number one game streaming platform. However, Twitch is not very popular in Indonesia. Data from DSResearch at the end of 2019 shows that Twitch is actually the least popular streaming platform in the country. Instead, YouTube is the most popular game streaming platform in Indonesia, followed by Facebook and NimoTV.

But why is this?

 

The State of the Streaming Industry

The gaming industry was one of the few industries that experienced growth during the COVID-19 pandemic. Simply put, people spend a lot of their time playing games or watching game content while quarantining at home. In 2020, the number of viewers for live streaming games doubled that of the previous year. Throughout 2020, the total hours of viewed gaming content was 12 billion, while total hours streamed reached 916 million hours, according to StreamLab data.

Total hours watched dari Twitch, Facebook Gaming, dan YouTube Gaming. | Sumber: StreamLab
Source: StreamLab

In the second quarter of 2020, Twitch broke the record for their total watch hours. For the first time in history, their watch hours reached 5 billion million hours. They broke this record again later in the fourth quarter of the year, accumulating 5.44 billion watch hours. This figure shows that Twitch contributed to 65.8% of the total hours watched in the streaming industry. In comparison, YouTube only contributed 23.3% or about 1.9 billion watch hours, while Facebook only had 901.1 million watch hours (10.9%)

Apart from their massive watch hour numbers, Twitch also excels in streaming hours (the broadcasting duration of streamers in the platform). In the last quarter of 2020, all streamers on Twitch broadcasted 230.5 million hours of content. Facebook only reached a figure of 14.5 million hours while YouTube Gaming only had 10.4 million hours. This statistic is relatively predictable considering that Twitch’s primary use case is streaming. On the other hand, Facebook is a social media that also offers an extra feature of streaming while YouTube specializes in non-live content.

Jumlah streamers di Twitch dari 2018 sampai 2021. | Sumber: Statista
Number of streamers on Twitch from 2018 to 2021| Source: Statista

In the past year, the number of streamers on Twitch has also increased dramatically, as seen from the figure above. At its peak, the number of streamers on Twitch was 9.89 million, according to data from Statista. However, in February 2021, the number of streamers on Twitch had dropped to 9.52 million people. Despite this, data from Twitch Tracker shows that the number of streamers on Twitch will again increase in March 2021, to 9.6 million people. In the past week, Just Chatting is still the most popular category on Twitch. Grand Theft Auto V ranked second, followed by League of Legends, Fortnite, and Call of Duty: Warzone.

In comparison, YouTube revealed that the number of active gaming channels on their platform will reach 40 million in 2020. They also expect their watch hours on gaming content will reach 100 billion hours, and also subsequently reach 10 billion watch hours in their gaming streams. Interestingly, the games that are popular on YouTube are somewhat different from the games that are popular on Twitch.

Here is a list of the top 5 most popular games on YouTube:

  • Minecraft – 201 billion views
  • Roblox – 75 billion views
  • Free Fire – 72 billion views
  • Grand Theft Auto V – 70 billion views
  • Fortnite – 67 billion views

Streamers’ opinions

To find out what streamers or content creators think about Twitch and the streaming industry in Indonesia, Hybrid conducted an interview with several of these people. One of them is Cindy “Cimon” Monika, who started streaming as a brand ambassador. Cimon chose YouTube as her primary platform to broadcast her content because she felt that the platform has provided the best stage for video content, including gaming content. She also believes that the gaming audience on YouTube is much bigger than any other streaming platform.

“YouTube is already a popular or common app from the get-go so you don’t need to download an application or go to a specific link to watch,” said Cimon when contacted by Hybrid via text message. “Most people don’t really want to download new applications to watch gaming contents.” Cimon said she did use Twitch previously for quite some time. She felt that Twitch was a suitable platform for streamers who were targeting audiences from Western countries. “Twitch also has several ’embellishments’, which makes streaming look like a legitimate ‘profession’, such as overlays,” she said. Even so, features such as overlays can also be found on other streaming platforms, including YouTube.

The case is different with Clara Vauxhall aka Iris, who prefers to stream on Twitch. She has even entered into the Twitch Affiliate program. A Twitch Affiliate can monetize his/her channel by offering subscriptions, Bits, and sales of games or in-game items. Clara revealed to Hybrid that her reason for streaming on Twitch is to target an audience outside Indonesia.

“I chose Twitch because the audience is more dominated by foreigners, which makes me more comfortable,” said Clara. “YouTube viewers are usually predominantly domestic, often more stubborn and less lenient when compared to Twitch viewers.”

Clara didn’t want to get involved in any sort of conflicts with the local community. However, that does not mean that she completely ignores the local audience. “I try to balance my domestic and foreign audiences, although there are fewer domestic audiences than those from abroad,” she said.

Clara also liked Twitch’s design and overall looks. She also likes the existence of the Channel Points System that encourages viewers to watch the stream for a longer duration. The system will reward viewers with points as they view the stream. These points can then be used to redeem special rewards or requests such as asking the streamer to sing. “However, the requests that can be requested by viewers are different between streamers. The streamers themselves decide what kind of rewards can be redeemed,” she said. “I think this system provides a chance for the audience to have a deeper interaction with the streamer.”

Contoh sistem Channel Points di Twitch.
Channel Points on Twitch.

Of course, Clara ran into many problems while streaming on Twitch. One of the major problems she faced is the much more stringent Terms of Service. “Other toxic words outside the scope of ethnicity, religion, race, and inter-group relations – such as simp and virgin – shouldn’t be used at Twitch,” she said. She also often experiences a large ping when collaborating with streamers outside Indonesia. “When it comes to collaborating with other streamers that have an overseas audience causes many problems such as ping latency, time zone difference, and so on,” she said. “In these sorts of cases, having a domestic audience is much easier to manage.”

The streaming industry is also used by companies engaged in gaming and esports to grow their popularity. One of them is RevivalTV. Just like Cimon, YouTube is RevivalTV’s preferred platform. However, they are also active on Nimo TV, a brand under HUYA and a streaming platform from China. Chief Growth Officer of RevivalTV, Irliansyah Wijanarko Saputra, explained the main reason why RevivalTV chose these two Nimo and YouTube is the gaming and esports community that they have built on the platform.

“The community is there and we’re part of it,” said Irli with a smile. He mentioned that the two largest gaming communities on YouTube and Nimo TV are Mobile Legends and PUBG Mobile. He revealed that YouTube and Nimo TV have built their ecosystem for the gaming and esports community, esports company officials, and Key Opinion Leaders (KOL). This is one of the advantages of streaming on these platforms.

Irli mentions that the single factor that determines the success of a streaming platform in Indonesia is its internal community. Streamer benefits and audience-streamer interaction also play a crucial part. He further explained why Nimo TV was much more popular than Twitch in Indonesia.

“Twitch is a western product while Nimo is an eastern product. The approaches of the developers of Twitch and Nimo are also very different,” said Irli. “Twitch’s approach is relatively passive. They don’t give any other benefit besides the fact that their platform is already huge and popular compared to other streaming platforms. Eastern streaming platforms, such as Nimo, go down to the grassroots and choose to grow with the community. Furthermore, Twitch can sometimes be slow to adapt and change. In 2016-2017, they didn’t have many rivals in the streaming industry, which prompted them to not host a server in SEA, causing many viewers from that region to lag out. Of course, this causes a huge loss of audience for Twitch.”

 

Comparing the Viewing Experience Between Twitch and YouTube Live

Lag is one of the prominent problems that Indonesian netizens have to face when watching Twitch, allegedly. To confirm the theory, I kept track of the downstream data rates while watching Twitch on a laptop. I then compared this data to the downstream speed when watching YouTube. When I watched a 720p stream on Twitch, the download speed was in the range of 1.1 Mbps to 3.2 Mbps, with an average speed of 2.5 Mbps.

In comparison, the downstream speed when I watch videos with the same resolution on YouTube is much more volatile or unstable. The download speed ranges from as low as 8 kbps to as high as 16.4 Mbps. The average downstream data rate I experience is around 3.4 Mbps. Therefore, you actually don’t need a faster connection to watch Twitch.

Masing-masing operator biasanya punya paket khusus untuk media sosial dan YouTube.
Each operator usually has a special package for social media and YouTube.33

I also did the exact same test using a smartphone. When watching a 720p stream on Twitch, the lowest speed I got is 360 kbps, the highest speed is 1.1 Mbps, while the average downstream data rate is at around 790 kbps. In comparison, when I watched YouTube, the lowest speed was 133 kbps and the top speed was 367 kbps, with an average download speed of 307 kbps. Thus, unlike laptops or PCs, YouTube requires a much slower speed than Twitch in mobile.

Each operator usually has a special package for social media and YouTube.

When discussing the source of income for streamers, I once asked Fandra “Octoramonth” Octo the reason behind the lack of popularity of Twitch in Indonesia. According to him, the absence of special mobile data offers or packages for watching Twitch is one of the culprits behind this trend. Indeed, when I checked the list of internet packages offered by Telkomsel, there were packages for YouTube, Facebook, and Instagram, but there were none for Twitch.

Without any special packages or offers for using Twitch, to what extent does this impact the users’ mobile data fees? To answer this question, we need to compare watching YouTube with operator packages and watching Twitch without any of those offers.

To watch 1 hour of 720p video, you will need to spend around 1.6GB of mobile data. Given that Twitch doesn’t have a special data package, I will use the regular mobile data pricing from Telkomsel. One of the packages that Telkomsel provides is the OMG package. With this package, you can get 27GB of mobile data for a month at a price of IDR 152,000, which means that 1GB is valued at IDR 4.7 thousand. Therefore, if you watch a 720p video for an hour, then you will roughly spend around IDR 7.5 thousand.

Now, let’s move on to the costs involved when watching YouTube with a special package. Telkomsel provides a “YouTube package” that allows you to watch YouTube as much as you want for a week for only IDR 15.2 thousand. Assuming you have work or college activities, you can probably only set aside about 4 hours each day watching YouTube – which means you can watch 28 hours of content every week. Therefore, the cost you have to spend to watch YouTube videos for 1 hour in this scenario is IDR 15.2 thousand divided by 28 hours or is IDR 542.

If you are a busy person and can only watch videos on YouTube for 2 hours every day, so you have to spend Rp1.1 thousand watching YouTube videos for an hour. The calculation above concretely shows that special packages can make a huge difference in user’ fees when using Twitch and YouTube.

 

Conclusion

At first glance, Twitch, YouTube Gaming, and Facebook Gaming offer the exact same thing: a streaming platform for gaming content creators. However, the three of them actually have different focuses and primary use cases. In the beginning, YouTube was created as a place to share pre-recorded videos. On the other hand, Facebook started as a social media. Twitch, since its inception, serves as a streaming platform.

As one of the early pioneers in the industry, it is no wonder that Twitch dominates the streaming market. To date, Twitch is still the number one game streaming platform globally. One of the advantages of Twitch is the countless features that it possesses, such as the Channel Point System. Twitch also supports special features for popular games, such as Live Tracker for League of Legends. Unfortunately, these features are usually only available for PC games. However, in Indonesia and Southeast Asia, mobile games are far more popular than their PC counterparts. Therefore it is expected that most Indonesian streamers are less interested in using Twitch.

Twitch also tends to be much more passive than other platforms. So far, they have not collaborated with any local telecommunication operators. As a result, there are no special packages for watching Twitch that can incentivize viewers to use the platform. If this laid-back ideology persists, Twitch can never attract the audience of a country where mobile data fees and quotas are still incredibly limited.

Feat Image Credit: Creatopy. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Daftar Turnamen Esports Terpopuler Bulan Maret 2021

Tak terasa tahun 2021 ternyata sudah memasuki bulan ke-4. Bulan lalu Hybrid.co.id sudah merangkum daftar turnamen esports terpopuler. Lalu, kira-kira siapa yang masih bertahan di daftar bulan Maret 2021?

Singkatnya, bulan Maret 2021 menjadi bulannya esports Free Fire Amerika Latin. Tanpa berlama-lama lagi, berikut daftar turnamen esports terpopuler bulan Maret 2021 yang dirangkum dengan menggunakan fitur pro dari Esports Charts.

 

#5 – PUBG Mobile Pro League Indonesia 2021 – Season 3

Sumber Gambar - Esports Charts Pro Version.
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version.

PUBG Mobile Pro League Indonesia 2021 Season 3 baru saja dimulai tanggal 24 Maret 2021 kemarin. Masuknya PMPL ID ke dalam daftar sedikit banyak jadi bukti bagaimana liga esports PUBG Mobile paling bergengsi di Indonesia ini ditunggu-tunggu para penggemarnya. PMPL ID Season 3 berhasil mencatatkan 532 ribu lebih peak viewers dengan 13 juta lebih total watch hours.

Pertandingan dengan puncak keseruan tersebut adalah pertandingan pekan pertama hari kedua. Pertandingan hari itu memang berjalan cukup sengit.

Pertandingan tersebut merupakan fase Weekdays yang menjadi seleksi untuk pertandingan sesungguhnya di fase Super Weekend, persaingan tim terasa ketat hari itu. Salah satu bukti persaingan ketat yang terjadi adalah dari WWCD yang didapatkan oleh tim berbeda-beda setiap rondenya. Ditambah lagi hari itu juga jadi momen WWCD perdana bagi Bigetron RA, tim PUBG Mobile Indonesia yang sejauh ini masih jadi favorit banyak orang.

Dengan catatan tersebut, PMPL Indonesia 2021 Season 3 menempati peringkat 5 dari daftar turnamen esports terpopuler bulan Maret 2021.

 

#4 – LEC Spring 2021 (League of Legends)

Sumber Gambar - Esports Charts Pro Version.
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version.

Pada peringkat 4 ada liga League of Legends Eropa, yaitu LEC. Sejauh ini LEC memang selalu berhasil menyajikan pertandingan berkualitas dan penuh aksi yang dianggap jadi gaya main khas esports LoL Eropa.

Pada bulan Maret 2021 kemarin, pertandingan LEC Spring 2021 telah memasuki babak Playoff. Keseruan babak Playoff pun berhasil mencatatkan 640 ribu lebih peak viewers. Selain itu, turnamen tersebut juga telah mencatatkan 38 juta total watch hours yang dicatat sejak dari babak Regular Season.

Pertandingan yang membuat LEC Spring 2021 masuk ke dalam daftar ini adalah pertandingan antara G2 Esports melawan Schalke 04. Pertandingan yang terlaksana di hari kedua babak Playoff tersebut memang berlangsung dengan sangat seru dan sengit.

Kedua tim saling berbalas kemenangan, ditambah aksi-aksi unik G2 Esports di pertandingan tersebut yang salah satunya adalah menggunakan Seraphine (Champion Mage) sebagai Attack Damage Carry atau ADC. Secara keseluruhan, pertandingan tersebut masuk di peringkat 2 dari 5 pertandingan LEC terpopuler.

Pertandingan dengan catatan peak viewers terbesar adalah antara G2 Esports vs MAD Lions. Namun demikian pertandingan tersebut terlaksana di tanggal 3 April 2021 kemarin. Secara keseluruhan, tayangan pertandingan berbahasa Inggris menjadi tayangan LEC terpopuler dengan catatan 440 ribu viewers lebih .

 

#3 – Liga Brasileira de Free Fire 2021 Series A Stage 1

Sumber Gambar - Esports Charts Pro Version.
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version.

Tingkat popularitas Free Fire di Brazil mungkin bisa dibilang mirip seperti MLBB di Indonesia. Maksudnya mirip, tayangan bahasa lokal punya jumlah penonton yang bersaing dengan liga-liga internasional yang ditayangkan dengan bahasa Inggris.

Hal tersebut kembali terbukti dengan masuknya Liga Brasileira de Free Fire 2021 Series A Stage 1 ke peringkat 3 dari 5 daftar turnamen esports terpopuler bulan Maret 2021.

LBFF 2021 berhasil mencatatkan 827 ribu lebih peak viewers dan mencatatkan 14 juta lebih total watch hours. Pertandingan yang jadi daya tarik penggemar esports Free Fire di Brazil tersebut adalah pertandingan ronde 9 dari babak final LBFF 2021 yang terselenggara tanggal 20 Maret 2021 kemarin.

Pertandingan ronde terakhir memang berjalan cukup sengit. FX, LOUD, dan Cruizero, tiga besar klasemen sementara saling bersaing ketat mendapatkan Booyah di ronde 9. Persaingan berlangsung sampai titik darah penghabisan, sehingga FX finish di peringkat 4, LOUD di peringkat 3, dan Cruizero yang mendapat Booyah.

Dari sisi jumlah penonton berdasarkan bahasa, hampir seluruh penonton LBFF datang dari tayangan berbahasa Portugis yang merupakan bahasa lokal Brazil. Karenanya seperti apa yang saya katakan di awal, LBFF bisa dibilang sebagai liga berbahasa lokal dengan jumlah fanbase yang kuat.

 

#2 – MPL Indonesia Season 7 (Mobile Legends: Bang-Bang)

Sumber Gambar - Esports Charts Pro Version.
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version.

MPL Indonesia masih bertengger kuat di dalam daftar turnamen esports terpopuler bulanan walau peringkatnya turun dari peringkat 1 di daftar bulan Februari 2021 lalu, menjadi peringkat 2 di daftar bulan Maret 2021.

Peringkatnya memang menurun, tetapi jumlah penonton MPL ID Season 7 meningkat apabila dibandingkan dengan bulan lalu. Dari segi jumlah penonton berdasarkan bahasa, masuknya MPL Indonesia Season 7 ke dalam daftar bulan ini juga masih disebabkan oleh fanbase lokal Indonesia.

MPL Indonesia Season 7 berhasil mencatatkan 1,1 juta lebih peak viewers. Secara keseluruhan, liga esports game Mobile Legends: Bang-Bang yang berjalan sejak bulan Februari ini telah mencatatkan 27 juta total watch hours.

Bulan lalu kita melihat pertandingan antara RRQ Hoshi vs Alter Ego yang membuat MPL Indonesia jadi masuk ke dalam daftar. Bulan ini pertandingan El Clasico antara RRQ Hoshi vs EVOS Legends yang membuat liga MPL Indonesia kembali berjaya.

Menariknya pertandingan tersebut sebenarnya tidak sengit seperti pertandingan antara RRQ Hoshi vs Alter Ego yang melejit di bulan Februari 2021 kemarin. Pertandingan antara RRQ Hoshi vs EVOS Legends di week 3 day 2 MPL Indonesia tersebut didominasi kuat oleh EVOS Legends.

Dalam pertandingan tersebut, EVOS Legends berhasil memenangkan pertandingan dengan skor 2-0 dalam durasi 10 menit lebih di game 1 dan 14 menit lebih di game 2. Sementara itu dari segi jumlah penonton berdasarkan bahasa, mengutip dari data fitur pro milik Esports Charts , jumlah penonton tayangan berbahasa Indonesia jumlahnya masih mendominasi secara mutlak (sekitar 90% lebih dari keseluruhan peak veiewers).

 

#1 – Free Fire League Latinoamerica 2021 Opening

Sumber Gambar - Esports Charts Pro Version.
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version.

Bulan Maret 2021 ini sepertinya menjadi bulannya bagi turnamen Free Fire. Lagi-lagi pertandingan esports Free Fire lokal Amerika Latin masuk ke dalam daftar, kali ini bahkan sebagai pemuncak daftar turnamen esports terpopuler.

Turnamen tersebut adalah Free Fire League Latinoamerica 2021 Opening. Berbeda dengan LBFF yang hanya mempertandingkan tim asal Brazil, FFLA mempertandingkan tim-tim seantero Amerika Latin, termasuk dari negara Mexico, Ekuador, Kolombia, dan sekitarnya.

FFLA berhasil mencatatkan 1,4 juta lebih peak viewers pada tanggal 21 Maret 2021 kemarin, pada saat laga Grand Final berjalan. Turnamen yang terselenggara selama 9 pekan sejak dari 16 Januari 2021 kemarin tersebut telah mencatatkan sebanyak 6,3 juta lebih total watch hours secara keseluruhan. Secara keseluruhan, laga final FFLA berhasil secara konsisten menarik minat menonton para penggemarnya.

Hal tersebut terlihat dari daftar 5 tayangan FFLA terpopuler yang seluruhnya diisi oleh pertandingan-pertandingan babak Grand Finals yang terselenggara pada 21 Maret 2021. Lima tayangan tersebut juga selalu mencatatkan angka peak viewers diatas 1 juta.

Mengutip Liquidpedia, FFLA hanya menyajikan tayangan bahasa Spanyol saja. Karenanya penonton tentu saja terpusat kepada tayangan berbahasa Spanyol saja tanpa ada pembanding lainnya.

*Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.

Analyzing Thunder Predator’s Aggro Playstyle in ONE Esports Singapore Major 2021

Dota 2’s first offline Valve Major event of 2021 has just come to an end, crowing Invictus Gaming as the Grand Champions. Throughout the event, a multitude of upsets and surprises filled the matches, and it is this special characteristic of Dota 2 matches that keep the viewers returning.

Further, given that this is the first event to include teams from different regions, the tournament’s META was nothing but a surprise for most people. Once the respective regions’ META was brought together, they orchestrated purely entertaining Dota matches that fans have longed for ever since.

In particular, there was a team that caught everyone’s attention, Thunder Predator. This underdog squad from South America surprised everyone due to how unique and skillful their playstyle was during this event. Not everybody was even familiar with their lineup, let alone knowing what strategies are under their sleeves.

In this article, we shall first view a brief history of the Thunder Predator roster, analyze what’s so special about their draft and how they blended such a risky draft with their aggressive and iconic playstyle.

 

South American Veterans

Although Thunder Predator rarely received mainstream media spotlight, the organization itself has been established since 2017, initially consisting of South America’s oldest Dota 2 players. In its latest form, the lineup also includes players who have been in the scene for about the same time as when the organization was first established.

Thunder Predator at ONE Esports Singapore Major 2021. Source: Thunder Predator Facebook.
Thunder Predator at ONE Esports Singapore Major 2021. Source: Thunder Predator Facebook.

Out of the five players, Frank, MoOz, and Wu, only started their competitive year starting 2017 by joining the likes of team Gorillaz-Pride and the more popular Infamous.Black. On the other hand, the two remaining players Mnz and LeoStyle- have been playing professionally since 2015, joining teams as old as Team Unknown and Digital Chaos.SA — if that rings any bell.

Moreover, what most didn’t know was the fact that Mnz used to play under the name of Kotaro Hayama, who is amongst South America’s oldest Dota 2 players around. So at first glance, this team had a ton of experience under their belt and this event happened to be the stage for them to unleash their might.

Coming into the ONE Esports Singapore Major 2021, most viewers were considerably doubtful, for a sensible reason. That is, South America’s Playoffs representative team, beastcoast, had just withdrawn from the Major due to COVID-19 infections. Naturally, fans were bitter as beastcoast was seen as the strongest best from their region.

As a result, Thunder Predator had massive shoes to fill, if they were to succeed their rivals beastcoast. Keep in mind that Thunder Predator only received a Group Stage seed, meaning that they would need to perform better than other teams if they were to redeem the Upper Bracket playoffs slot that beastcoast should’ve had. Nonetheless, Thunder Predator entered the event like mad wolves, shocking almost everybody watching.

 

Aggressive and Agile Draft

Watching Thunder Predator play in the Group Stage and later in the Playoffs was nothing but thrilling. The way they time their tempo and momentum during team fights was nothing less but beautiful, like a well-choreographed performance. It reminded me a lot of the way that the former Wings Gaming or perhaps TI8 OG liked to play, highly aggressive yet very timing-based approaches.

At the same time, they did so while still attending to the latest META, as their picks were just like any other teams’. Among their most-used heroes were Earth Spirit, Oracle, Death Prophet, Pangolier, Phoenix, and Tusk. These heroes were mixed-and-matched with other heroes and defined a major part of their drafting style.

If you noticed, these heroes are the type of heroes who could go nuts if you want to. You can dive pretty far into the enemy territories given how agile they are. Earth Spirit’s Rolling Boulder, Tusk’s Snowball, Phoenix’s Icarus Dive, Pangolier’s Rolling Thunder, are few examples of those kinds of abilities.

These skills are risky, as they could easily backfire when performed incorrectly. However, users of these skills should also not be overly scared and should be willing to dive deep, as long as they have the remaining of their team covering their backs. And Thunder Predator did just that. Many times heroes like Earth Spirit or Tusk initiates a skirmish, and the remaining team comes prepared to help out.

In an interview with Yahoo Esports Southeast Asia, MoOz himself expressed how crazy his team’s playstyle is, “we are actually kind of crazy. We just want to be as aggressive as we can. So, we make super aggressive calls and that’s how we like to play, and that’s how we think we are going to put pressure on the enemy teams. So, we are very loud and very Peruvian. So, you can imagine.”

Watching the way Thunder Predator players handle skirmishes is literally a five-man kiting-action. Many times some of them over-extended their steps, but the remaining four stepped in and might as well turn the tables around. Like a pack of wolves, every one of them keeps all members intact and as safe as possible, but never fearful of engaging in team fights.

It is this formula that kept Thunder Predator alive during the Group Stage. In fact, they dominated almost every team in the pool, ending the Round-robin stage with a 5-2 match-win-loss. They won 2-0 against every team except Vici Gaming and OB Esports x Neon, where they tied the series 1-1.

That said, they received an Upper Bracket seed which could’ve been beastcoast’s. Nevertheless, they delivered a very satisfying result and many were surprised they could have reached such an outcome.

 

The Playoffs Run

Continuing their journey in the event, Thunder Predator faced Team Secret from the get-go in their very first Playoffs match. Being the experienced team that they are, Team Secret had a plan against these mad men’s playstyle.

In both matches, they banned Puck, which is Thunder Predator’s most-banned hero throughout the entire event. The hero was banned up to 10 times in total, given how deadly it could be if the META-favorite hero fell to the hands of LeoStyle-. They also banned Thunder Predator’s comfort picks like Morphling, Phoenix, and Death Prophet in between the two games.

Also, Team Secret managed to dampen the aggression pushed by Thunder Predator to the late-game, where Thunder Predator’s winning-key lies in: their early-game aggression. As such, Team Secret swept the series 2-0 and pushed Thunder Predator into the Lower Bracket.

Thunder Predator defeated by Team Secret. Source: Thunder Predator Facebook.
Thunder Predator defeated by Team Secret. Source: Thunder Predator Facebook.

In their first Lower Bracket match, they were paired against Team Aster, and this Chinese team is better known to be more disciplined and patient in their games. Indeed, Thunder Predator took advantage of this very fact and rolled through Aster in the entire series.

In both games, Thunder Predator drafted Tusk, Pangolier, and Phoenix. Again, these three heroes are amongst their most favorite and comfortable picks out of all. Their strategy is to use these heroes and play them as aggressively as possible while making space for their Cores who will later be responsible to close out the series in their favor.

Following that series, Thunder Predator was up against Virtus.pro, a roster with young and talented players who are just as bold as their South American rivals are. In the first game, it was Thunder Predator’s Cores who popped off and carried the entire game with heroes like Weaver and Windranger.

In the second game, however, Virtus.pro allowed Thunder Predator to not only pick Earth Spirit and Phoenix, but also Puck. They paired the three with Troll Warlord and Beastmaster, allowing for strong late-game and pushing capabilities. The game looked grim for Virtus.pro from the very beginning, and Thunder Predator ultimately stomped the series 2-0 and continued their run in the Major.

 

Final Boss: Invictus Gaming

Like their match against Secret, Thunder Predator had a slim chance when facing Invictus Gaming in the Lower Bracket Round 3. Invictus Gaming was amongst the heavy favorites of the tournament, and many expected them to win the Major altogether.

Nonetheless, Thunder Predator kickstarted the first game with a bang as they rolled through the Chinese in just under 30 minutes with heroes like Death Prophet and Juggernaut. A lot of fans were surprised to see them take the first game. Unfortunately, it was Invictus Gaming’s Emo in the second game who, conversely dominated the game with his Puck.

And in the third deciding match, Invictus Gaming had the upper hand since the drafting phase. They banned Puck and Death Prophet and proceeded by picking a Phoenix of their own. With an even more aggressive hero like Storm Spirit and Troll Warlord, Invictus Gaming cornered Thunder Predator into a draft that didn’t belong to their playstyle.

Thunder Predator’s roster at ONE Esports Singapore Major 2021. Source: Thunder Predator Facebook.
Thunder Predator’s roster at ONE Esports Singapore Major 2021. Source: Thunder Predator Facebook.

Unfortunately for the South Americans, their 2021 Major run concluded with a close 1-2 loss against Invictus Gaming, who would later be crowned Champions of the event.

 

Closing Remarks

Seeing Thunder Predator play is seeing Dota in its full potential. With the right set of heroes and the appropriate style of gameplay, it could very well keep viewers on the edge of their seats. It shall be interesting to see how Thunder Predator would fair in the next season of the Dota Pro Circuit and what other surprises we shall witness in the matches that follow.

 

Featured Image by Thunder Predator.

Lesunya Twitch di Indonesia: Harga Paket Data Tentukan Segalanya

Sekarang, bermain game tidak lagi menjadi hobi bagi segelintir orang. Faktanya, orang-orang tak hanya suka bermain game, tapi juga menonton orang lain bermain game. Karena itulah, industri esports dan game streaming bisa tumbuh pesat. Hal ini menarik banyak perusahaan untuk masuk ke industri game streaming. Namun, pasar game streaming tetap dikuasai beberapa pemain besar, seperti Twitch, YouTube, dan Facebook.

Di level global, Twitch masih menjadi platform game streaming nomor satu. Hanya saja, platform game streaming milik Amazon itu justru tidak terlalu dikenal di Indonesia. Riset dari DSResearch pada akhir 2019 menunjukkan, Twitch justru menjadi platform game streaming paling tidak populer di Tanah Air. Di Indonesia, YouTube merupakan platform game streaming terpopuler, diikuti oleh Facebook dan NimoTV.

Lalu, kenapa Twitch tidak populer di Indonesia?

 

Keadaan Industri Game Streaming 

Selama pandemi, industri game menjadi salah satu industri yang justru mengalami pertumbuhan. Pasalnya, orang-orang yang tidak bisa pergi keluar rumah menghabiskan banyak waktunya bermain game atau menonton konten game. Pada 2020, jumlah penonton live streaming konten game naik dua kali lipat jia dibandingkan dengan pada 2019. Sepanjang 2020, total hours watched dari konten game adalah 12 miliar, sementara total hours streamed mencapai 916 juta jam, menurut data StreamLab.

Total hours watched dari Twitch, Facebook Gaming, dan YouTube Gaming. | Sumber: StreamLab
Total hours watched dari Twitch, Facebook Gaming, dan YouTube Gaming. | Sumber: StreamLab

Pada Q2 2020, Twitch memecahkan rekor total hours watched. Untuk pertama kalinya, total hours watched mereka mencapai 5 miliar juta jam. Pada Q4 2020, mereka kembali memecahkan rekor ini. Di kuartal akhir 2020, total hours watched Twitch mencapai 5,44 miliar jam. Hal ini berarti, Twitch memberikan kontribusi 65,8% dari total hours watched di industri game streaming. Sebagai perbandingan, YouTube menyumbangkan 23,3% atau sekitar 1,9 miliar jam dan Facebook memberikan 901,1 juta jam atau sekitar 10,9%.

Selain total hours watched, Twitch juga unggul dari segi hours streamed (total durasi konten yang disiarkan oleh para streamers). Pada Q4 2020, semua streamers di Twitch menyiarkan 230,5 juta jam konten. Sementara di Facebook, angka ini hanya mencapai 14,5 juta jam dan di YouTube Gaming, hanya 10,4 juta jam. Hal ini tidak aneh, mengingat fungsi utama Twitch memang sebagai platform game streaming. Sementara Facebook merupakan media sosial yang juga menawarkan fitur game streaming dan YouTube lebih fokus pada konten yang tidak live.

Jumlah streamers di Twitch dari 2018 sampai 2021. | Sumber: Statista
Jumlah streamers di Twitch dari 2018 sampai 2021. | Sumber: Statista

Pada tahun lalu, jumlah streamers di Twitch juga naik drastis, seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas. Pada puncaknya, jumlah streamers di Twitch mencapai 9,89 juta orang, menurut data dari Statista. Namun, pada Februari 2021, jumlah streamers di Twitch sempat turun menjadi 9,52 juta orang. Kabar baiknya, data dari Twitch Tracker menunjukkan bahwa jumlah streamers di Twitch kembali naik pada Maret 2021, menjadi 9,6 juta orang. Dalam seminggu terakhir, Just Chatting masih menjadi kategori paling populer. Posisi kedua diduduki oleh Grand Theft Auto V, diikuti oleh League of Legends, Fortnite, dan Call of Duty: Warzone.

Sebagai perbandingan, YouTube mengungkap bahwa pada 2020, jumlah active gaming channels di platform mereka mencapai 40 juta channels. Sementara total hours watched dari konten game di YouTube mencapai 100 miliar jam dan total hours watched dari live streaming konten game naik menjadi 10 miliar jam. Menariknya, game-game yang populer di YouTube agak berbeda dari game yang populer di Twitch.

Berikut daftar 5 game yang populer di YouTube:

  • Minecraft – 201 miliar views
  • Roblox – 75 miliar views
  • Free Fire – 72 miliar views
  • Grand Theft Auto V – 70 miliar views
  • Fortnite – 67 miliar views

Apa Kata Para Streamers?

Untuk mengetahui pendapat para streamers/kreator konten akan Twitch dan industri game streaming secara umum, Hybrid mewawancara beberapa orang. Salah satunya adalah Cindy “Cimon” Monika, yang mulai melakukan streaming karena tugasnya sebagai brand ambassador. Perempuan yang akrab dipanggil Cimon ini memilih YouTube sebagai platform utamanya. Dia menjelaskan, alasannya memilih YouTube adalah karena dia merasa, YouTube memang platform yang dibuat sebagai wadah konten video, termasuk konten gaming. Selain itu, dia percaya, audiens game streaming di YouTube lebih besar dari platform streaming lainnya.

“Dan YouTube sudah umum, Anda tidak perlu download aplikasi atau pergi ke link tertentu untuk menonton,” ujar Cimon saat dihubungi oleh Hybrid melalui pesan singkat. “Karena biasanya, orang cukup malas ya untuk download aplikasi baru untuk menonton.” Dia bercerita, dia sempat menggunakan Twitch, walau tidak lama. Dia merasa, Twitch adalah platform yang cocok untuk digunakan bagi streamers yang memang menargetkan penonton dari negara-negara Barat. “Twitch juga punya ‘hiasan’, yang membuat streamer layaknya sebuah ‘profesi’, seperti overlay dan lain-lain,” ujarnya. Meskipun begitu, saat ini, fitur seperti overlay juga sudah bisa ditemukan di platform streaming lain, termasuk YouTube.

Lain halnya dengan Clara Vauxhall alias Iris, yang lebih memilih untuk melakukan streaming di Twitch. Dia bahkan sudah masuk ke dalam program Twitch Affiliate. Pada dasarnya, seseorang yang sudah menjadi Twitch Affiliate dapat memonetisasi channel-nya dengan menawarkan langganan, Bits, dan penjualan game atau item dalam game. Ketika dihubungi oleh Hybrid, Clara mengungkap, alasannya untuk melakukan streaming di Twitch adalah karena dia memang menargetkan audiens di luar Indonesia.

“Saya memilih Twitch karena penontonnya lebih didominasi oleh orang luar negeri, yang membuat saya lebih nyaman dibandingkan dengan penonton dalam negeri,” ujar Clara. “Viewers YouTube biasanya didominasi oleh orang dalam negeri, sering lebih keras kepala dan kurang lenient jika dibandingkan dengan penonton Twitch.”

Selain itu, Clara memutuskan untuk tidak mengincar audiens lokal karena tidak ingin terlibat konflik internal dalam komunitas, yang bisa memicu drama. Meskipun begitu, hal itu bukan berarti dia mengacuhkan audiens lokal sama sekali. “Kalau saya prbadi, saya mencoba untuk menyeimbangkan penonton dari dalam dan luar negeri, meski penonton yang dari dalam negeri lebih sedikit jika dibandingkan dengan yang luar negeri,” katanya.

Clara bercerita, alasan lain dia memilih Twitch adalah karena desain tampilannya yang sesuai dengan seleranya. Dia juga cukup senang dengan keberadaan sistem Channel Points, yang mendorong audiens untuk menonton lebih lama. Pada dasarnya, dengan sistem Channel Points, seorang penonton akan mendapatkan poin berdasarkan pada durasi dia menonton. Poin ini bisa digunakan oleh penonton untuk meminta sang streamer melakukan sesuatu, seperti menyanyi. “Tapi, permintaan yang bisa diminta oleh penonton juga tergantung masing-masing streamer. Para streamers sendiri yang menentukan apa saja yang bisa di-redeem,” ujarnya. “Menurutku, hal ini bisa mendorong interaksi audiens dengan sang streamer.”

Contoh sistem Channel Points di Twitch.
Contoh sistem Channel Points di Twitch.

Tentu saja, selama melakukan streaming di Twitch, Clara juga menemui masalah. Salah satunya adalah Terms of Service yang lebih ketat. “Kata-kata yang sebenarnya tidak mengandung SARA, seperti simp dan virgin, tidak boleh digunakan di Twitch,” katanya. Masalah lain yang kerap dia hadapi adalah ping yang besar ketika dia berkolaborasi dengan streamer lain dari luar Indonesia. “Ketika hendak melakukan kolaborasi dengan streamer lain, karena target audiensnya luar negeri, ada beberapa masalah vital, seperti latensi ping, zona waktu, dan lain sebagainya,” ungkapnya. “Dalam hal ini, memiliki audiens dalam negeri lebih menguntungkan.”

Platform game streaming tidak hanya digunakan oleh para individu yang ingin beken di kalangan para gamers, tapi juga perusahaan yang berkutat di bidang game dan esports. Salah satunya adalah RevivalTV. Sama seperti Cimon, YouTube menjadi platform pilihan RevivalTV. Hanya saja, mereka juga aktif di Nimo TV, merek di bawah HUYA, platform game streaming asal Tiongkok. Chief Growth Officer, RevivalTV, Irliansyah Wijanarko Saputra menjelaskan alasan utama mengapa RevivalTV memilih kedua platform ini adalah karena komunitas gaming dan esports memang sudah tumbuh besar di kedua platform tersebut.

The community is there and we’re part of it,” ujar Irli sambil tersenyum. Dia menyebutkan, dua game yang komunitasnya besar di YouTube dan Nimo TV adalah Mobile Legends dan PUBG Mobile. Dia mengungkap, YouTube dan Nimo TV merupakan tempat berkumpul bagi komunitas game dan esports, petinggi perusahaan esports, serta Key Opinion Leaders (KOL). Hal ini menjadi salah satu kelebihan dari kedua platform tersebut

Ketika ditanya tentang faktor yang menentukan sukses atau tidaknya sebuah platform streaming game di Indonesia, dia menjawab, “Tongkrongan/komunitas/main sama siapa. Benefits ke streamer-nya apa dan kedekatan dengan streamer mereka.” Lebih lanjut, dia menjelaskan kenapa Nimo TV lebih diterima daripada Twitch.

“Twitch itu produk barat dan Nimo produk timur. Approach orang-orang di belakang Twitch dan Nimo juga berbeda jauh,” ujar Irli. “Twitch pasif. Mereka tidak berikan benefit lain selain fakta bahwa platform mereka memang sudah bagus. Produk timur, termasuk Nimo, mereka turun ke grassroot, growing bareng komunitasnya. Selain itu, Twitch juga terlambat untuk beradaptasi. Pada 2016-2017, mereka tidak punya saingan, tapi mereka tidak buka server di SEA, sehingga nge-lag. Their loss.”

 

Biaya Menonton Twitch vs YouTube Secara Live

Lag menjadi salah satu kekhawatiran netizen Indonesia saat hendak menonton Twitch. Untuk mengetahui apakah kekhawatiran ini nyata, saya mencatat kecepatan data downstream saat menonton Twitch di laptop. Setelah itu, saya membandingkannya dengan kecepatan downstream saat menonton YouTube. Ketika saya menonton video 720p secara live di Twitch, kecepatan download ada di kisaran 1,1 Mbps sampai 3,2 Mbps, dengan kecepatan rata-rata 2,5 Mbps.

Jika dibandingkan, keceptan downstream saat saya menonton video dengan resolusi yang sama di YouTube jauh lebih fluktuatif. Kecepatan terendah ada di 8 kbps sementara kecepatan tertinggi mencapai di 16,4 Mbps. Sementara kecepatan data downstream rata-rata adalah 3,4 Mbps. Hal ini menunjukkan, Anda tidak memerlukan koneksi yang lebih cepat untuk bisa menonton Twitch.

Selain di laptop, saya juga melakukan pengujian yang sama di smartphone. Saat menonton video 720p di Twitch, kecepatan terendah ada di 360 kbps dan kecepatan tertinggi pada 1,1 Mbps. Sementara kecepatan data downstream rata-rata adalah 790 kbps. Sebagai perbandingan, saat saya menonton YouTube, kecepatan terendah ada di 133 kbps dan kecepatan tertinggi 367 kbps, dengan kecepatan download rata-rata 307 kbps. Artinya, di mobile, YouTube memerlukan kecepatan yang lebih rendah daripada Twitch.

Masing-masing operator biasanya punya paket khusus untuk media sosial dan YouTube.
Masing-masing operator biasanya punya paket khusus untuk media sosial dan YouTube.

Saat membahas soal sumber pemasukan streamers, saya juga pernah bertanya pada Fandra “Octoramonth” Octo alasan mengapa Twitch tidak populer di Indonesia. Menurutnya, tidak adanya paket khusus untuk menonton Twitch menjadi salah satu alasannya mengapa Twitch kurang populer di Indonesia. Dan memang, saat saya memeriksa daftar paket internet yang ditawarkan oleh Telkomsel, saya menemukan “paket ketengan” untuk YouTube, Facebook, dan bahkan Instagram, tapi tidak ada paket khusus untuk Twitch.

Pertanyaannya, apa ketiadaan paket khusus untuk Twitch memberikan dampak besar? Mari kita menghitung berapa banyak uang yang harus Anda keluarkan untuk menonton konten di YouTube menggunakan paket khusus dan di Twitch tanpa paket apapun.

Untuk menonton video 720p selama 1 jam, Anda membutuhkan sekitar 1,6GB data. Mengingat Twitch tidak punya paket data khusus, saya akan menggunakan harga paket data biasa dari Telkomsel. Salah satu paket yang Telkomsel sediakan adalah paket OMG. Dengan paket ini, Anda bisa mendapatkan 27GB selama sebulan dengan harga Rp152 ribu. Hal itu berarti, 1GB dihargai Rp4,7 ribu. Dan jika Anda menonton video 720p selama 1 jam, berarti Anda akan mengeluarkan biaya sekitar Rp7,5 ribu.

Sekarang, mari beralih ke biaya yang diperlukan untuk menonton YouTube dengan paket khusus. Telkomsel menyediakan “paket ketengan YouTube”. Anda bisa menonton YouTube sepuasnya selama seminggu hanya dengan Rp15,2 ribu. Dengan asumsi Anda harus bekerja atau mengerjakan tugas sekolah kuliah, Anda hanya bisa menyisihkan waktu sekitar 4 jam setiap hari untuk menonton YouTube — yang berarti Anda bisa menonton 28 jam konten selama seminggu. Jadi, biaya yang harus Anda keluarkan untuk menonton video YouTube selama 1 jam adalah Rp15,2 ribu dibagi 28 jam, yaitu Rp542.

Jika Anda adalah orang yang sibuk dan hanya bisa menonton video di YouTube selama 2 jam setiap hari, berarti uang yang harus Anda keluarkan untuk menonton 1 jam konten adalah Rp1,1 ribu. Ilustrasi di atas membuktikan, tanpa paket khusus, biaya untuk menonton Twitch memang jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya untuk menonton YouTube.

 

Kesimpulan

Sekilas, Twitch, YouTube Gaming, dan Facebook Gaming menawarkan hal yang sama, yaitu platform streaming untuk para kreator konten game. Meskipun begitu, ketiganya sebenarnya punya produk utama yang berbeda-beda. Pada awalnya, YouTube dibuat sebagai wadah untuk mengunggah video yang sudah direkam. Sementara Facebook sejatinya merupakan media sosial. Dan Twitch, sejak awal, platform ini memang dibuat sebagai platform game streaming.

Sebagai salah satu pioneer di ranah game streaming, tidak heran jika Twitch mendominasi. Sampai saat ini, Twitch juga masih menjadi platform game streaming nomor satu secara global. Salah satu keunggulan Twitch adalah ia kaya akan fitur. Contohnya, fitur Channel Points. Selain itu, Twitch juga mendukung fitur khusus untuk game-game populer, seperti Live Tracker untuk League of Legends. Sayangnya, fitur khusus tersebut biasanya hanya tersedia untuk game PC. Sementara di Indonesia dan Asia Tenggara, mobile game justru jadi populer. Jadi, tidak heran jika tidak banyak streamers Indonesia yang tertarik untuk menggunakan Twitch.

Alasan lain mengapa Twitch kurang populer adalah karena mereka cenderung pasif. Sejauh ini, mereka tidak menjalin kerja sama apapun dengan operator telekomunikasi. Jadi, tidak ada paket khusus untuk menonton Twitch, yang bisa menekan biaya data yang digunakan para penonton. Di Tanah Air Tercinta, yang orang-orangnya masih sering berbagi berita tanpa membaca isinya karena keterbatasan kuota, saya rasa, besar kuota yang diperlukan untuk menonton sebuah konten adalah masalah penting.

Jasa Coaching Esports di Indonesia: Diperlukan atau Dilupakan?

Esports coaching platform adalah fenomena besar di luar negeri sana, terutama di negara-negara barat. Penyedia jasanya bahkan bukan cuma pemain atau pelatih esports profesional saja, tetapi juga termasuk pemain amatir yang memiliki rank tinggi. Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Dalam artikel ini saya berbincang dengan manajemen RRQ Academy dan mantan pelatih EVOS AOV yaitu Priyagung “Ruichen” Satriono untuk mengupas bagaimana kondisi ladang bisnis esports coaching di Indonesia.

Sebelum menuju pembahasan tersebut, mari kita melihat terlebih dahulu bagaimana perkembangan esports coaching platform di luar negeri.

 

Esports Coaching di Luar Negeri: Mulai dari Dilatih Manusia sampai Dilatih oleh AI

Jasa coaching atau pelatihan atau kursus dalam ranah gaming dan esports berkembang pesat di negara-negara barat. Dalam perkembangannya, jasa kursus gaming dan esports di negara barat bahkan sampai melibatkan teknologi (baik AI ataupun software khusus) demi memenuhi kebutuhan pasar. Tetapi memang, kebutuhan jasa coaching gaming dan esports tidak berkembang secara tiba-tiba. Saya merasa hal tersebut terjadi karena memang berlatih bermain game sudah lama diperkenalkan di wilayah barat, terutama Amerika Serikat.

Nintendo Game Play Counselor mungkin adalah kasus pertama yang menjadi bibit terciptanya kebiasaan kursus belajar bermain game. Pada tahun 80an, menamatkan game seperti Mario Bros atau Zelda tergolong sulit. Apalagi informasi tips dan trik serta guide belum dapat diakses mudah seperti pada era internet sekarang. Ditambah lagi, kebanyakan pemain game tersebut juga adalah anak-anak berusia 8-13 tahun.

Sumber Gambar - Twitter @ArtofNP
Nintendo Game Play Counselor yang ditampilkan dalam dokumenter di dalam Netflix. Pekerjaan sebagai Game Play Counselor bisa dibilang menjadi bibit-bibit jasa game coaching yang populer saat ini. Sumber Gambar – Twitter @ArtofNP

Karenanya, Nintendo menciptakan Game Play Counselor untuk “melatih” anak-anak tersebut agar bisa melewati bagian sulit dari suatu permainan. Pemain cukup menelpon nomor hotline yang disediakan, mengutarakan di bagian game mana mereka mengalami kesulitan, lalu para Counselor akan mengajari serta memberi tips untuk melewati bagian sulit tersebut.

Kini semua hal tersebut mungkin bisa teratasi dengan menonton video YouTube atau membaca artikel tips dan trik. Namun ternyata jasa coaching tersebut tetap dibutuhkan, salah satunya mungkin karena kehadiran fenomena esports.

Apabila Anda pergi ke fiverr.com (situs penyedia jasa freelance), tulis “gaming coach” di boks pencarian, Anda bisa menemuan sekitar 192 (48 penyedia jasa di 4 halaman pencarian) lebih penyedia jasa yang akan melatih Anda bermain game (entah itu catur, VALORANT, Overwatch, sampai Roblox). Harganya pun beragam, mulai dari US$5 (sekitar Rp72 ribu) sampai US$25 (sekitar Rp425 ribu). Apabila Anda mencari yang lebih spesifik, misalnya “League of Legends coach”, jumlah penyedia jasanya malah bisa lebih banyak lagi.  Sejauh penemuan saya, pencarian “League of Legends coach” berisi sekitar 528 penyedia jasa (48 penyedia jasa di 11 halaman).

Seperti tadi saya sebut, harga jasa pelatih di fiverr beragam. Beda harga juga beda pelatih dan beda pelatihan yang diberikan. Contoh jasa coaching US$5 dari Vahele misalnya. Dengan harga tersebut, Vahele hanya mengajarkan hal-hal dasar seperti map awareness, cara last-hit yang efektif, warding, dan lain sebagainya. Vahele juga hanya seorang pemain League of Legends dengan rank Diamond saja.

Ada juga jasa coaching League of Legends seharga US$50. Sosok yang menawarkan jasa tersebut juga berbeda. Pelatihnya adalah seseorang dengan nickname Nalu yang sudah punya 7 tahun pengalaman melatih League of Legends dan sempat melatih tim Origen juga.  Dengan harga US$50, Anda cuma dapat satu jam pelatihan, namun dengan isi pelatihan yang lebih mendalam. Dari laman fiverr miliknya, Anda akan mendapat pelatihan makro (map awareness misalnya) yang lebih mendalam, pelatihan mikro (mekanik Champion misalnya), bahkan sampai pelatihan mental serta tips cara berlatih yang efisien.

Di luar dari fiverr, ada juga berbagai platform yang menyediakan jasa coaching game dan esports. Salah satu yang besar mungkin adalah GamerzClass.com dan Proguides.com. Esports coach platform biasanya menggunakan sistem pembayaran berlangganan. GamerzClass memiliki biaya langganan sebesar US$9.99 per bulan. Dengan harga tersebut, GamerzClass menjanjikan pelatihan dari pemain-pemain profesional seperti N0tail dari tim OG Dota 2 atau Jensen dari Team Liquid League of Legends. Tetapi melihat dari laman resminya, bentuk pelatihan yang diberikan sepertinya hanya video online course yang bisa Anda tonton untuk belajar.

Harga yang dikenakan untuk berlangganan GamerzClass. Sumber Gambar - GamerzClass website
Harga yang dikenakan untuk berlangganan GamerzClass. Sumber Gambar – GamerzClass website

Proguides.com menawarkan harga yang lebih murah, yaitu US$7.99 yang ditagih secara tahunan. Dengan biaya yang lebih murah, Proguides.com menawarkan jasa yang tergolong lebih banyak. Selain dari video online course yang bisa ditonton, Proguides.com juga menawarkan sesi konsultasi dari para pelatih. Mengutip dari laman resminya, sesi konsultasi dibatasi sekitar 4 jam setiap bulannya. Di luar dari jasa coaching online yang berbayar, Proguides.com juga menawarkan beberapa konten-konten tips dan trik yang bisa diakses gratis via YouTube.

Proguides.com dan GamerzClass.com masih memanfaatkan jasa dari pemain lainnya untuk menyediakan pelatihan. Selain itu, ada juga esports coaching platform yang memanfaatkan teknologi. Beberapa contohya seperti Gosu.ai, aplikasi Aim Lab, atau bahkan Dota Plus. Platform tersebut mungkin tidak bisa sepenuhnya disebut coaching platform, namun tiga program tersebut tetap merupakan sebuah platform yang dapat digunakan oleh pemain untuk bermain lebih baik.

Harga yang dikenakan untuk menikmati esports coaching platform Proguides.com. Sumber Gambar - Website Proguides.com.
Harga yang dikenakan untuk menikmati esports coaching platform Proguides.com. Sumber Gambar – Website Proguides.com.

Gosu.ai misalnya, menggunakan teknologi AI dan API yang disediakan oleh game terkait. Dengan menggunakan dua teknologi tersebut, pemain yang sudah memiliki akun akan diberi informasi detil dari permainan sebelumnya yang sudah dianalisis. Saya sempat menggunakan Gosu.ai agar dapat bermain PUBG (PC) dengan lebih baik. Setiap kali selesai permainan, Gosu.ai akan memberi data yang berisikan di area mana dan berapa lama Anda bertahan hidup, tingkat akurasi senjata yang Anda gunakan, ke bagian tubuh mana saja tembakan Anda mendarat, dan lain sebagainya.

Aim Lab berbeda lagi. Aim Lab bersifat sebagai sebuah training platform yang fungsinya untuk melatih kemampuan pemain menggunakan mouse untuk membidik musuh di game FPS.  Berhubung hanya training platform, Anda harus berlatih sendiri di Aim Lab. Namun Aim Lab menyediakan beragam porsi latihan yang dibutuhkan untuk melatih aspek-aspek kemampuan menembak. Misalnya untuk berlatih flickshot, Anda akan diberikan tantangan untuk menembak satu target ke target lain dengan cepat. Lalu untuk melatih akurasi, target akan datang lebih lambat namun ukurannya jadi kecil sekali.

Dota Plus berbeda lagi. Dota Plus mungkin bisa dibilang satu-satunya training platform yang disediakan oleh pihak pertama yaitu Valve sendiri sebagai developer game Dota 2. Mirip seperti Gosu.AI, Dota Plus akan menyediakan data-data mendalam yang dapat membantu pemain membuat keputusan dalam memenangkan permainan. Data-data yang diberikan seperti termasuk harus pakai hero apa, skill apa yang harus dinaikkan, item apa yang harus dibeli, dan lain sebagainya. Dota Plus dijual seharga US$3.99 setiap bulan yang juga berisi berbagai macam kosmetik untuk mempercantik beberapa aspek di dalam permainan.

 

Melihat Lanskap Bisnis Esports Coaching di Indonesia: Terbentur Sumber Daya dan Perkara Edukasi Market

Dari sedikit penjelasan deskriptif saya di atas, Anda bisa melihat sendiri banyaknya tawaran dari berbagai pihak terhadap jasa pelatihan gaming (entah dalam bentuk pelatih berupa pemain profesional atau dalam bentuk program yang menyajikan data-data) di luar sana. Banyaknya penawaran jasa coaching sedikit banyak bisa menggambarkan tingkat permintaan jasa coaching gaming dan esports di sana. Lalu bagaimana dengan pasar lokal Indonesia sendiri?

Esports 2.0 di Indonesia sendiri bisa dibilang baru mulai berkembang pesat sekitar 3 sampai 4 tahun belakangan. Karena itu, membayar untuk jasa coaching di bidang gaming dan esports mungkin masih dirasa asing. Sejauh yang saya tahu, baru ada dua buah esports coaching platform yang ada di Indonesia. Dua platform tersebut adalah RRQ Academy dan juga Aegis.gg. Di luar dari dua esports coaching platform tersebut, ada juga beberapa sosok pelatih esports yang menjajakan jasa pelatihan secara freelance.

Untuk menakar kondisi serta potensi bisnis jasa esports coaching di pasar lokal, saya mencoba menghubungi manajemen RRQ Academy dan Priyagung “Ruichen” Satriono sebagai dua narasumber. RRQ Academy diwakili oleh Ajeng Hendarmin selaku Head of RRQ Academy dan Ahmad Zaki Zunnuroin selaku Head of Curriculum RRQ Academy. Lalu Priyagung “Ruichen” Satriono sendiri sebelumnya merupakan salah satu sosok di balik layar dari kesuksesan EVOS AOV. Setelah EVOS AOV bubar, Agung (panggilan akrab Ruichen) kini sedang mencoba menjajaki bisnis jasa esports coaching secara freelance untuk game genre MOBA secara umum.

Pertama-tama saya mewawancara manajemen RRQ Academy terlebih dahulu. Saya menanyakan terlebih apa itu RRQ Academy secara umum. Setelahnya lalu dijelaskan oleh Ajeng dan Zaki. “RRQ Academy adalah semacam tempat kursus yang dibuat dengan harapan untuk meningkatkan standar kualitas pemain esports di Indonesia. Dibuatnya RRQ Academy sendiri sebenarnya juga bisa dibilang sebagai cara bagi kami untuk memberikan kembali bagi komunitas RRQ ataupun komunitas game secara umum.”

Berhubung Ajeng dan Zaki mengatakan bahwa RRQ Academy adalah lembaga kursus, maka para calon murid pun harus membayar sejumlah uang apabila ingin mengikuti kelasnya. Berapa biaya yang dibayarkan? Ajeng dan Zaki mengatakan bahwa biaya untuk kelas reguler adalah Rp199.000 per orang. RRQ Academy memiliki beberapa tingkatan harga bagi para pesertanya.

Sumber Gambar - Website RRQ Academy
Pendaftaran bahkan kini sudah masuk gelombang ke-12. Sumber Gambar – Website RRQ Academy

Mengutip laman resminya, Kelas Reguler (di website diberi nama Kelas Semi-Pro) memiliki harga lain yaitu Rp250.000, Rp385.000, Rp460.000, dan Rp750.000. Semua tingkatan memiliki kurikulum yang sama, namun dengan benefit yang berbeda. Untuk harga Rp250.000, kursus menyertakan sertifikat cetak dan lanyard. Harga Rp385.000 menyertakan jersey RRQ Academy dengan custom nickname. Harga Rp460.000 menyertakan jersey custom nickname beserta sertifikat cetak, sementara harga yang terakhir yaitu Rp750.000 ditujukan untuk tim.

Dengan patokan harga yang cukup tinggi untuk pasar Indonesia, kira-kira berapa jumlah peminat jasa coaching yang disediakan oleh RRQ Academy sendiri. Ajeng dan Zaki tidak bisa menyebut angka pastinya, namun kurang dan lebihnya jumlah pendaftar RRQ Academy sendiri sudah mencapai angka ribuan menurut mereka.

Sebagai gambaran lain antusiasme calon peserta terhadap kelas RRQ Academy, kita mungkin bisa juga melihat sudah sampai di gelombang ke berapa dari masing-masing kelas. Saat ini RRQ Academy membuka kelas untuk empat game: MLBB, Wild Rift, PUBG Mobile, dan Free Fire. MLBB sudah menutup kelas gelombang ke-10 dan 11, Wild Rift baru akan memulai kelas gelombang pertama, PUBG M sudah menutup kelas gelombang ke-5 dan Free Fire telah menutup pendaftaran kelas gelombang ke-2. Dari jumlah gelombangnya, kita bisa melihat langsung bagaimana antusiasme para pemain terhadap jasa esports coaching ternyata cukup tinggi.

Lebih lanjutnya Ajeng dan Zaki juga menjelaskan. “Sejauh pengamatan saya, kebanyakan tim yang mengikuti turnamen semi-profesional itu bersedia membayar jasa esports coaching. Namun memang bagi kebanyakan tim yang masih bersifat swadaya, soal biaya itu sendiri adalah tantangannya. Karena itu kelas RRQ Academy memang sengaja kami rancang memiliki harga yang terjangkau. Jadi, walau sifatnya bukan privat, tetapi kami berharap murid-muridnya di sini jadi punya akses untuk berdiskusi dengan para pelatih yang profesional.”

Lalu apa saja yang diajarkan RRQ Academy kepada para murid-muridnya? Ajeng dan Zaki bercerita bahwa ilmu, pengalaman, serta tips dan trik game hanyalah satu bagian pengajaran saja. “Selain itu kami juga memberi materi komunikasi tim dan juga materi nilai profesionalisme sebagai persiapan mereka apabila terjun ke kancah profesional. Selain dari itu, RRQ Academy juga memasangkan pendaftar yang bersifat individual ke dalam satu tim.”

Ajeng dan Zaki juga menjelaskan bahwa isi pengajarnya adalah pelatih dari tim esports aktif, mantan pemain profesional, dan juga analis. Namun satu yang patut disadari, walau semua pengajar yang jadi pelatih punya pengalaman yang bagus dalam memahami permainan, kemampuan mengajar bisa dibilang sebagai kemampuan terpisah yang belum tentu dimiliki orang-orang tersebut.

Terkait hal tersebut manajemen RRQ Academy pun menceritakan. “Satu hal yang pasti, sebelum kelas dimulai, jajaran pengajar RRQ Academy akan saling tukar pikiran terlebih dahulu. Tukar pikiran tersebut membahas soal hal apa yang bisa diberikan kepada para murid nantinya. Kalau terkait ‘cara mengajari’, kebanyakan pelatih yang ada di RRQ Academy sendiri sudah memiliki kemampuan tersebut.” Tuturnya.

Menutup pembahasan, saya sendiri penasaran dengan cerita-cerita sukses dari para peserta RRQ Academy serta pendapat manajemen terhadap prospek serta tantangan bisnis jasa esports coaching. Dalam hal cerita sukses, manajemen RRQ Academy berkata bahwa sudah ada beberapa murid yang mencapai sesuatu setelah lulus dari RRQ Academy.

“Ada yang namanya Cello, dia pernah menjadi peserta Esports Star Indonesia. Ada juga beberapa nama yang masuk tim, walau mungkin bukan yang tier 1 seperti ‘Raja‘ yang sekarang membela XCN di MDL. Beberapa yang lain ada juga yang menjadi bagian RRQ pada divisi RRQ Streamers. Tetapi memang, untuk saat ini, belum ada satupun lulusan akademi yang tembus rekrutmen tim utama RRQ ataupun tim profesional lainnya.” Tutur manajemen RRQ Academy. Dalam hal potensi, manajemen RRQ Academy menjawab, “saya merasa bisnis jasa esports coaching punya prospek yang sangat menjanjikan walau tantangannya adalah jumlah sumber daya manusia untuk melatih yang masih belum banyak.”

Setelah selesai dengan RRQ Academy, narasumber berikutnya adalah Priyagung “Ruichen” Satriono. Sosok Ruichen sendiri memang sudah punya pengalaman yang malang melintang sebagai pelatih, walau lingkupnya mungkin hanya AOV saja. Dirinya bersama EVOS AOV telah berhasil membawa tim tersebut memenangkan liga AOV Indonesia (ASL) selama beberapa musim berturut-turut dan membawa timnas AOV Indonesia mendapatkan medali perak di SEA Games 2019. Setelah EVOS AOV bubar bulan Oktober 2020 lalu, Ruichen pun melanjutkan karirnya sebagai pelatih, namun kini sebagai freelance yang menyediakan jasa esports coaching game MOBA secara umum kepada tim.

Berbeda dengan RRQ Academy yang bergerak sebagai satu divisi, Ruichen hanya seorang diri di sini. Mungkin karena hal tersebut juga, jumlah orang yang mengikuti jasa esports coaching dari Ruichen cenderung lebih sedikit. “Kalau ditanya soal demand coaching di Indonesia, menurut gue sih sedikit. Mungkin karena menurut para penggunanya masih terlalu mahal juga. Kalau ditanya berapa orang yang pernah ikut kelas coaching dari gue, yang jelas masih di bawah 100 orang.”

Satu yang saya cukup penasaran sebenarnya mungkin adalah soal orang yang menggunakan jasa pelatih esports tersebut. Apabila kita mundur ke tahun 2018 lalu, sempat ada fenomena ketika banyak orang tua di Amerika Serikat mempekerjakan esports coach untuk melatih anaknya bermain Fortnite. Hal tersebut sepertinya agak tidak mungkin terjadi di Indonesia, mengingat beberapa orang tua Indonesia juga belum bisa menerima fenomena esports. Tetapi, apakah ada orang yang menggunakan jasa pelatihan hanya agar dapat bermain lebih baik saja?

Dalam kasus Agung, dirinya menceritakan bahwa pernah ada orang seperti itu yang menggunakan jasa pelatihannya. “Kalau ditanya siapa yang menggunakan jasa coaching gue, kebanyakan adalah pemain yang ingin naik ke jenjang karir pemain profesional. Kalau pemain casual yang sekadar ingin naik rank sih ada, tapi sejauh perjalanan gue sendiri baru ada satu orang saja.”

Selanjutnya saya juga menanyakan soal biaya yang dikenakan agar dapat dilatih oleh seorang Ruichen. “Coaching dari gue sendiri memiliki rate harga sekitar Rp350 ribu sampai 500 ribu setiap sesi. Dalam satu sesi bisa berjalan selama 1,5 sampai 3 jam, tergantung dari kesepakatan awal antara saya dengan tim/orang yang ingin dilatih. Semisal tim/orang tersebut ingin rutin dilatih beberapa sesi dalam setiap bulan, rate harga tentu masih bisa nego nantinya.” Tuturnya.

Di luar dari itu, saya juga sedikit berdiskusi soal berapa harga yang pas untuk sebuah sesi esports coaching. Pada kasus RRQ Academy kita bisa melihat sendiri bahwa mereka sudah hampir mendapatkan ribuan peserta dengan harga Rp200.000. Harga tersebut lebih murah ketimbang jasa esports coaching milik Ruichen yang harganya sekitar Rp350 ribu namun hanya dalam sesi satu jam saja.

Sumber: Agung "RuiChen" pelatih divisi AOV dari tim EVOS Esports.
Sumber: Agung “RuiChen” pelatih divisi AOV dari tim EVOS Esports pada zamannya.

“Kalau soal harga coaching, jujur ini sih gue masih kurang tahu ya. Tetapi menurut pengamatan gue, kebanyakan orang saat ini masih cenderung memandang rendah soal pentingnya pemahaman sebuah game. Orang-orang hanya berpikir untuk sekadar main saja.” Tutur Agung memberi pendapatnya.

Lebih lanjut, Agung juga menjelaskan soal metode pelatihannya. “Ada beberapa tim yang gue ajari dari hal yang paling mendasar: seperti soal tanggung jawab, tujuan, serta maksud dari pemain profesional itu sendiri. Semisal yang minta dilatih adalah tim profesional (sempat diminta oleh tim luar negeri), biasanya mereka lebih butuh vod review sama konsultasi saja. Namun demikian, hari pertama latihan akan tetap gue ajari hal dasar seperti itu juga. Kalau ditanya bagaimana metode gue dalam melatih, mungkin penjelasaannya begini. Ibarat mau makan, gue cuma menyediakan piring, nasi, sendok, dan memberi tahu bagaimana caranya makan. Tetapi apabila ingin makan, maka orang itu (pengguna jasa coaching) harus makan sendiri, bukan disuapi.”

Terakhir menutup perbincangan kami, saya juga menanyakan pendapatnya soal potensi masa depan bisnis esports coaching di Indonesia? “Kalau di Indonesia sepertinya masih susah.” Ucapnya membuka pembahasan.

“Kalau di luar negeri, potensinya sudah sangat besar. Di luar negeri sana sudah banyak sekali platform jasa esports coaching. Lalu kalau dalam kasus gue sendiri, gue bahkan sempat dapat client dari luar yang minta dilatih langsung dengan share-screen sembari gue memantau dan memberi tahu dia skill apa yang harus digunakan. Jadi sebetulnya kalau ditanya bagaimana potensi jasa coaching untuk jadi bisnis di masa depan, menurut gue potensinya ada aja. Cuma sepertinya kalau untuk saat ini belum cocok untuk dijadikan sebagai pekerjaan utama. Menurut gue, Indonesia masih butuh lebih banyak edukasi soal jasa coaching dan konsultasi esports ini. Soalnya gue merasa masih banyak yang memandang remeh perkara mental dan pentingnya konsultan.” Jawab Agung menutup perbincangan.

 

Pada Akhirnya

Apabila melihat dari penjelasan dua narasumber terkait, bisnis esports coaching sepertinya punya posisi yang menarik. Pada satu sisi, esports yang kini sedang melaju pesat di Indonesia sepertinya memang berhasil menciptakan keinginan para penontonnya untuk mencapai posisi yang sama seperti sosok-sosok yang ditontonnya. Minat untuk menjadi pemain esports yang tinggi secara tidak langsung mungkin meningkatkan minat untuk menggunakan jasa coaching esports. Salah satu contoh hal tersebut mungkin bisa kita lihat dari sisi RRQ Academy. Menggunakan nama besar RRQ di Indonesia, RRQ Academy cenderung menarik minat lebih banyak orang untuk menggunakan jasa esports coaching.

Pada sisi lain, apa yang dikatakan oleh Agung mungkin ada benarnya. Jasa coaching esports berbayar bisa dibilang sebagi bisnis jasa yang masih baru di ekosistem gaming/esports Indonesia. Karenanya masih butuh lebih banyak edukasi lagi kepada calon penggunanya, agar dapat memahami pentingnya jasa coaching seperti apa yang diberikan oleh Agung.

Lalu, apakah biaya menjadi masalah? Apabila melihat penjelasan Agung serta manajemen RRQ Academy beberapa pengguna jasa coaching esports sebetulnya tidak terlalu mempermasalahkan biaya. Pada RRQ Academy misalnya, kelas tersebut bahkan kini sudah mencapai pendaftaran gelombang ke-12 walau punya banderol harga jasa sebesar Rp199.000. Begitu juga dengan jasa coaching esports yang ditawarkan Agung. Dengan banderol harga yang ditetapkan, ia masih bisa mendapatkan banyak orang yang ingin menggunakan jasa esports coaching yang diberikan.

Bagaimana dengan potensi masa depan bisnis platform atau jasa coaching esports? Saya di sini mencoba menggabungkan pendapat manajemen RRQ Academy dan Agung. Jawabannya mungkin adalah, potensinya ada namun masih butuh dikembangkan lebih lanjut dengan cara edukasi seraya menambahkan kuantitas dan kualitas sumber daya pelatih di esports sendiri.

Sumber Gambar Utama – DotEsports

From League of Legends to Mobile Legends: Peter “AirLiur” Tjahjadi’s Bold Esports Quest

When the public thinks of esports, they used to understand it merely as a bunch of nerds playing their games intensely. It is only in recent years that the public perception has changed towards a more open mindset regarding what esports really is. However, what is more often discussed and attended to is how successful an esports athlete could be — with all the luxury of fame, wealth, and prestige.

Yet, not everybody understands the hardship and struggle that comes before all of those ideals. In fact, not everybody made it to the big stage. Some retired before ever lifting trophies, or had to leave because the game’s scene couldn’t survive the wave of modern esports titles. If anything, the decisions that an esports athlete makes during their career could crucially affect their longevity as a professional player.

Since stories like these are often untold, forgotten, or neglected, we must realize how esports is just like any other career: not everything will work out as we desire, and that making bold decisions is equally necessary.

Thinking of such a scenario made me recall a professional player whom I have had time to chat with back in 2017. At that time, Indonesia’s esports scene was still under heavy development, and that only a small portion of the general public understood what it’s all about. His name is Peter Tjahjadi, more commonly known by his in-game nickname, AirLiur.

AirLiur in LGS Spring 2018 Photoshoot. Source: @airliur__.
AirLiur in LGS Spring 2018 Photoshoot. Source: @airliur__.

Seeing AirLiur take a sharp turn in his esports career, in my opinion, is as reflective as the present Indonesian esports scene today. Most, if not all, the focus is placed on the top-selling games, while less popular titles are gradually fading away. This led to the phenomenon of professionals having to switch to a different esports title, even if it meant a hard reset on their career.

Multiple professional players, especially those coming from PC-games like Dota 2 and League of Legends did just that. A handful of them made a transition to mobile games like Mobile Legends: Bang Bang, Arena of Valor, and recently League of Legends: Wild Rift.

Peter is indeed one of them. He made the switch from League of Legends to Mobile Legends and is currently part of Geek Fam Indonesia’s Mobile Legends Development League (MDL) roster. What makes Peter’s story intriguing is not only his quick adaptation to Mobile Legends’ competitive scene, but also the price he had to pay to make the switch.

 

Bige, Bigetron, and the LGS

Peter started his competitive journey back in around 2014/15, which was during the earliest days of League of Legends Indonesia. The original game kickstarted in 2009, but it took quite a while to reach the Indonesian competitive scene. Like many others, Peter began by joining small-scale tournaments with a couple of friends.

Amongst his earliest tournaments is the Teemo Cup – a monthly event in search of the best rookie League of Legends teams. In conjunction with the game’s new hype, the event organizers partnered with several internet cafes. In a roadshow-like fashion, League of Legends continued to popularize through these forms of events, attracting the earliest Indonesian communities.

Teemo Cup. Source: indogamers.com.
Teemo Cup. Source: indogamers.com.

Teemo Cup, back in the day, meant quite a lot for rookies or casual players alike. The event featured in-game currency as prizes, as well as a chance to participate in Glorious Arena. Glorious Arena provided a pathway for teams to participate in League of Legends Indonesia’s main league, the League of Legends Garuda Series, or LGS for short.

Afterward, AirLiur was recruited by his fellow future teammate, Teemolamon, forming a team called Bige. It was after a loss in the Glorious Arena when the two met Edwin Chia, also known as Starlest. They merged their respective teams, forming the foundation of Bigetron Esports.

Bigetron Esports League of Legends 2017. Source: @airliur__.
Bigetron Esports League of Legends 2017. Source: @airliur__.

Today’s Bigetron is known to not only be popular as ever, but they are also famed for having the strongest teams in all of esports. For instance, their PUBG Mobile team won PUBG Mobile World League 2020 – Season 0: East, and their newest division, League of Legends: Wild Rift roster, had just won SEA Icon Series 2021: Summer – Indonesia.

Back then, Bigetron’s League of Legends team, according to Peter, struggled in terms of team communication, although the roster composition had great individual skill sets of their own. The team had a fair share of participating in LGS Season 7 after making it through the Round Robin. Together with Teemolamon, Starlest, Venus, Tibold, and Qoui, Peter played as the team’s ADC during that season of LGS, leading to a 6th-place finish in the event.

 

Road to Asian Games 2018

Once the new season commenced, Peter found himself playing in a different team, known as Superamos. Superamos was the last-place finishers of the previous LGS season. In fact, they only made it to LGS 2017 Summer due to EVOS Esports deciding to not join the main event. Nonetheless, Peter’s addition into the team, together with his former teammate Venus, proved to be a crucial decision to Superamos’ upcoming performance.

In the Season Group Stage, Superamos climbed 3rd-place on the leaderboard tallying a 4-3 match result. Given their standings, Superamos received a Quarterfinals seed in the LGS 2018 Spring Playoffs. Unfortunately, their journey was quickly put to a halt after immediately losing 1-3 to Phoenix Esports. Peter and his squad had to be content with their 5th-place finish in the main event.

Post-LGS, Peter joined the ranks of Headhunters, which is amongst Indonesia’s best League of Legends team. Headhunters had just finished 2nd in LGS 2018 Spring, but decided to revamp their roster with Peter joining the lineup as ADC. It is also this very Headhunters roster that made it to the Asian Games 2018 as Indonesia’s national League of Legends representatives.

Indonesian National League of Legends Team with Faker. Source: @airliur__.
Indonesian National League of Legends Team with Faker. Source: @airliur__.

Their subsidiary ADC, cruzher, was just selected to become the national League of Legends coach. As a result, the team received a Direct Invite to the event, where they faced off against Asia’s best League of Legends teams — including the giants of South Korea and China.

Despite their lengthy preparation, the Indonesian national team failed to secure a single match victory for the country. Seeded together in the same group as Chinese Taipei, Saudi Arabia, and Pakistan, the Indonesian representatives went 0-6 throughout the event. Hence, the team didn’t only fail to advance into the Playoffs, but also went home as the last-place finishers in their very hometown where the Asian Games was held.

In hindsight, Peter thinks that his Asian Games experience was the “best thing that could have ever happened, it changed how people see me and esports.” The Indonesian government and the public’s view towards esports changed drastically ever since, with the scene receiving massive support and recognition.

 

Entering the Land of Dawn

Peter’s loss in the Asian Games surely has impacted him in the best ways possible. Despite the team’s 0-6 run, it left a lasting legacy in the realm of Indonesian esports. After about 4 years since I last chatted with him, I had a short interview with Peter once again to talk about his latest esports career. As usual, Peter is the humble professional player that I remember him to be.

Like mentioned earlier, Peter agrees with the idea that the Asian Games changed the local esports scene forever. “Now, those people who work in the esports field are no longer underestimated. Especially in Indonesia, where the scene was previously underestimated by the public,” Peter added.

However, the Indonesian League of Legends scene was slowly crawling into its stagnancy as the game stopped receiving direct support from the publisher and developer. Because of that, Peter was faced with a critical situation of either having to stick to the game he loves, or move to a different esports title altogether, and Peter picked the latter.

In 2020, Peter made the switch to Mobile Legends, the mobile esports title that is ever so popular in the youths of Indonesia. When asked what drove him to make such a decision, Peter answered, “It’s simple, I still want to be in the competitive world. I felt that at my age, which is still relatively young, I could still compete in games whether it was based on PC or mobile.”

Aura Esports MDL Season 2 Roster. Source @mdl.indonesia.
Aura Esports MDL Season 2 Roster. Source @mdl.indonesia.

Further, Peter never expected to see himself play Mobile Legends at such a competitive level, now that he is in the MDL. “At first I felt like I would be late if I only started to play Mobile Legends (in 2020), but because I had the opportunity to do so, I just gave it a go,” Peter explained.

Because of his prior experience playing League of Legends, a game with much greater complexity than Mobile Legends, Peter finds it easier to adapt to his new game, “I felt that I could adapt quickly and also implement some of the basic League of Legends in-game knowledge in Mobile Legends.”

According to Peter, “The basic MOBA elements are mostly the same. The most striking difference being the absence of a warding-system, so you have to be clever to ambush, while the rest remains similar.”

On the other hand, Peter finds a slight difference between playing League of Legends and Mobile Legends as a full-time professional. He felt that “Mobile Legends’ practice hours could be considered to be a bit more relaxed compared to League of Legends,” but in terms of the scene’s competitiveness, he thinks that “it’s more competitive here because there are so many competitors.”

 

“Improvement. I’m new to this game…”

As humble as Peter is in person, it’s fascinating to see how far he has taken his new competitive Mobile Legends journey. In only a couple of month’s time, he managed to join Aura Esports’ MDL Season 2 roster in July 2020. He’s regarded as one of the strongest players in the team, especially considering his former League of Legends competitive experience.

In Aura Esports, Peter presumed the role of the team captain and played as a Support this time around. With his team, Peter accumulated a 17-9 game-win-loss in the MDL Regular Season, securing their spot in the Playoffs. It was the premier match in the Playoffs, however, which put Peter’s MDL Season 2 run to an abrupt end.

Aura Esports was up against Siren Esports in the first match, where the two fought bravely to advance to the next match. It was Siren Esports, in the end, who had the upper hand and won 2-1 against Aura Esports. Siren Esports would continue to become the Playoffs champions later in the event.

With his journey in the MDL cut short, Peter and his team were only able to attain a 5th-8th-place finish throughout the tournament. After finishing 3rd in the Group Stage/Regular Season, it must’ve been a bitter pill to swallow such an outcome. Peter and his squad proceeded the next coming competitive season by leaving the Aura Esports organization.

Geek Fam Junior MDL Season 3 Players. @geekfamid.
Geek Fam Junior MDL Season 3 Players. @geekfamid.

To welcome the new competitive MDL Season 3, Peter and his fellow Aura teammate, Rupture, found themselves playing for Geek Fam Indonesia’s MDL division, Geek Fam Junior. As of the time of writing, MDL Season 3 had just concluded Week 4, and Geek Fam Junior has currently placed the top-8 team.

 

The Journey Onwards

When I asked Peter about the biggest challenges that he finds as a professional Mobile Legends player, he sharply answered, “Improvement. I’m still new to this game and I still have a lot to learn to become an even better player.”

While most MDL players are outspoken when it comes to playing in the MPL, Mobile Legend’s main league, Peter chooses to not overthink it and focus on improving himself instead, “I haven’t thought too far about it yet. No one knows what the future holds. What’s important for me is that I keep improving as a player.”

Peter with Faker in Asian Games 2018. Source: @airliur__.
Peter with Faker in Asian Games 2018. Source: @airliur__.

As for what lies beyond Peter’s current state and onwards, it seems all-too blur and uncertain to be predicted. But what’s certain is that a player like Peter is dedicated to improving himself by placing a greater emphasis on whatever opportunities are presented to him at this very moment.

 

Featured Image by Peter “AirLiur” Tjahjadi.

Kisah Upik Abu Kesuksesan Moonton dan Mobile Legends di Indonesia

Berita akuisisi Moonton oleh Bytedance membuat kita bertanya-tanya, akan ke arah mana perkembangan Moonton ke depannya? Bagaimana nasib MLBB dan ekosistem esports di dalamnya? Dalam artikel ini, ada Aswin Atonie selaku Brand Manager Moonton Indonesia membagikan soal arah perkembangan Moonton di masa depan nantinya. Namun sebelum itu, mari kita sedikit melakukan napak tilas, melihat perjalanan macam apa yang harus ditempuh Moonton untuk mencapai titik kesuksesan seperti sekarang.

 

Jalan Berbatu Moonton Membesarkan Anak Kesayangannya, Mobile Legends: Bang-Bang

Mengutip dari laman LinkedIn resmi milik Moonton Games, dikatakan bahwa Shanghai Moonton Co., Ltd berdiri tahun 2014 lalu sebagai sebuah perusahaan software. Seiring perkembangannya, Moonton berkembang ke arah pengembang game untuk platform mobile. Game pertama mereka adalah Magic Rush: Heroes. Game tersebut punya gameplay seperti kebanyakan game mobile yang ada di pasaraan, yaitu mengumpulkan hero sebanyak-banyaknya dengan melakukan gacha.

Satu tahun berlalu, Moonton merilis game baru. Game tersebut adalah game yang kini menjadi nafas baru bagi perkembangan esports di Indonesia, yaitu Mobile Legends. Kala itu game tersebut dirilis dengan nama Mobile Legends: 5v5 MOBA tahun 2016 silam dan segera berubah menjadi Mobile Legends: Bang Bang setelahnya.

Game mobile kompetitif (terutama genre MOBA) masih belum berkembang begitu pesat tahun 2016 silam. Namun memang, sudah ada beberapa developer yang mengincar peluang tersebut. Karenanya sudah ada beberapa game MOBA di mobile pada tahun 2016. Contohnya ada Vainglory yang dikembangkan oleh developer baru bernama Super Evil Megacorp. Selain itu ada juga Heroes of Order and Chaos yang dikembangkan oleh developer mobile games kawakan yaitu Gameloft.

Sayangnya, perjalanan Moonton merintis Mobile Legends tidak selalu mulus. Mobile Legends menghadapi sejumlah kontroversi di tahun awal perjalanannya. Namun memang, kontroversi tersebut bukan terjadi tanpa sebab.

Mobile Legends, pada awal masanya, bisa dibilang bukan game yang paling orisinil penampilannya. Alucard pada zaman itu terlihat sangat mirip dengan Dante dari seri Devil May Cry. Akai masih berbentuk binatang panda berjalan dua kaki tanpa pakaian membawa bola besi besar, yang sekilas mirip Po dari film Kung Fu Panda. Franco pada masa itu bahkan punya skill dan bentuk yang sama persis dengan Pudge dari Dota 2.

Walaupun demikian, pihak-pihak terkait yang saya sebut di atas tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Tetapi di sisi lain, ada developer game MOBA lain yang merasa game buatannya telah ditiru. Developer tersebut adalah Riot Games yang merupakan pencipta game League of Legends.

Riot Games meluncurkan tuntutan kepada Moonton ke pengadilan pusat California, Amerika Serikat, pada 7 Juni 2017. Kala itu Riot Games menuduh game Mobile Legends: 5v5 MOBA dan Magic Rush buatan Moonton telah meniru League of Legends. Dalam dokumen pengadilannya, Riot Games memberi contoh tangkapan gambar yang menunjukkan seberapa mirip konten yang ada di Magic Rush dan Mobile Legends dengan konten yang ada di League of Legends. Mengutip dari dokumen pengadilannya, berikut beberapa kemiripan Mobile Legends terhadap LoL yang dituduhkan Riot Games kepada Moonton.

Sumber: Dot Esports
Beberapa cuplikan tuduhan plagiasi di dalam dokumen penuntutan hukum Riot Games kepada Moonton tahun 2017 lalu. Selain Mobile Legends, Riot Games juga menganggap Magic Rush: Heroes telah meniru League of Legends. Sumber: Dot Esports
Sumber: Dot Esports.
Cuplikan lain yang ada di dalam dokumen penuntutan Riot Games ke Moonton. Kali ini Riot Games menunjukkan beberapa konten di dalam Mobile Legends yang dianggap telah meniru League of Legends. Sumber: Dot Esports

Mengutip dari artikel Dot Esports yang terbit tahun 2018, tuntutan dari Riot Games ke pengadilan California berakhir dengan keadaan forum non conviens. Dalam keadaan tersebut, tuntutan dikesampingkan karena pengadilan Kalifornia menganggap kasus tersebut lebih baik diselesaikan di area yuridiksi atau pengadilan lain yang lebih tepat sasaran. Berhubung Moonton berbasis di Tiongkok, maka maksud pengadilan yang lebih tepat sasaran adalah pengadilan tinggi di Tiongkok.

Setelah tuntutan Riot Games ke Moonton selesai tahun 2017, Moonton kembali menghadapi tuntuntan hukum lain pada tahun 2018. Tuntutan kali ini dilayangkan oleh Tencent terhadap Xu Zhenhua yang dikatakan sebagai salah satu perwakilan dari Moonton.

Masih dari Dot Esports, Xu Zhenhua dituntut karena dianggap telah melanggar perjanjian non-disclosure (larangan menyampaikan suatu informasi yang bersifat rahasia) dan non-compete (larangan pindah ke perusahan saingan yang biasanya berada di bidang yang sama). Tuntuntan tersebut awalnya berakhir dengan denda sebesar 2,6 juta Yuan (sekitar Rp5,5 miliar) dikenakan kepada Xu Zhenhua. Tetapi setelahnya dikatakan bahwa denda yang dikenakan menjadi sebesar 19,4 juta Yuan (sekitar Rp42 miliar) tanpa ada penjelasan lebih lanjut berdasarkan dari sumber internal yang tidak disebut namanya oleh Dot Esports.

Terlepas dari segala jalan berbatu yang dilalui Moonton dalam mengasuh anak kesayangannya, MLBB akhirnya berhasil sukses besar sampai seperti sekarang ini. Sebelum membahas alasan kesuksesannya, mari kita lihat dulu nasib “anak-anak” lain Moonton.

 

Menilik Game-Game Besutan Moonton dan Alasan Gaungnya Tidak Sebesar MLBB

Seperti yang saya sebut di awal, kiprah Moonton di industri mobile games sebenarnya tidak hanya terbatas pada MLBB saja. Moonton masih punya beberapa judul mobile games lain. Selain Magic Rush: Heroes, Moonton juga punya Mobile Legends: Adventure dan Sweet Crossing: Snake.io. Walaupun begitu, tiga game tersebut bisa dikatakan berada di luar dari DNA Moonton yang sukses di MLBB berkat esports.

Mobile Legends: Adventure tergolong sebagai game casual. Mirip seperti Magic Rush, gameplay ML: Adventure berkutat pada turn-based RPG yang bisa diotomasi dan konsep hero-collection dengan metode gacha. Sweet Crossing: Snake.io juga tergolong casual. Game tersebut punya gameplay seperti Snake.io yang sempat populer di antara para streamer lokal, namun dalam visual berupa karakter binatang lucu sebagai kepala ular dengan kue-kue manis sebagai buntut ularnya.

Walaupun punya beberapa game, tapi kesuksesan tiga game tersebut tergolong beda jauh ketimbang MLBB. Mengutip dari laman Google Play, baik Sweet Crossing, ML: Adventure, ataupun Magic Rush, hanya menyentuh angka 10 juta++ install saja pada saat artikel ini ditulis. Pada sisi lain, MLBB telah mencapai 100 juta++ install pada saat artikel ini ditulis.

Susmber Gambar - Google Play Store.
Sweet Crossing, salah satu game besutan Moonton yang terasa “melenceng” dari jalannya. Sumber Gambar – Google Play Store.

Total download per bulan dari tiga game tersebut sebenarnya tergolong masih cukup baik. Menggunakan data dari Sensor Tower, Sweet Crossing mencatatkan total 1 juta download di Google Play Store secara worldwide pada bulan Februari 2021 kemarin. Mobile Legends: Adventure mencatatkan total 400 ribu download secara worldwide di Google Play Store pada bulan Februari 2021. Magic Rush: Heroes mencatatkan total 20 ribu download di Google Play Store pada bulan Februari 2021. Namun angka tersebut memang tergolong sangat kecil jika dibandingkan dengan MLBB yang berhasil mencatat total 5 juta download di Google Play Store pada bulan Febaruari 2021.

Dari paparan-paparan saya di atas, Anda bisa lihat sendiri bagaimana angka download Sweet Crossing, Magic Rush, dan ML: Adventure sebenarnya masih cukup baik walau tetap kalah jauh ketimbang MLBB. Ditambah juga, mencapai angka 10 juta ++ install bukanlah sesuatu yang mudah. Jadi sebenarnya terasa tidak adil apabila kita bilang tiga game tersebut kurang sukses. Walau begitu, satu hal yang mungkin bisa saya katakan adalah gaung tiga game tersebut yang kalah ketimbang MLBB.

Seperti yang kita tahu, MLBB sudah hampir layaknya oksigen bagi nafasnya gamers Indonesia. Selalu ada informasi seputar MLBB setiap hari, mulai dari bangun di pagi hari sampai tidur di malam hari. Informasi yang hadir pun berbagai macam. Mulai dari informasi seputar game-nya seperti Hero baru, Starlight Member atau Skin terbaru, sampai konten seputar esports seperti rumor, gosip, ataupun komentar-komentar seputar esports dari para pemainnya. Informasi tidak hanya disajikan pihak Moonton sendiri, tetapi juga oleh konten kreator, media, ataupun partner-partner Moonton.

Lalu kenapa game lainnya kalah gaung ketimbang Mobile Legends, walau angka download ataupun followers media sosial dari masing-masing game sebenarnya tidak sebegitu buruk?

Menurut opini saya, esports menjadi salah satu alasan terbesarnya. Kehadiran esports membuat topik pembahasan game Mobile Legends menjadi lebih lebar. Tanpa esports, pembahasan Mobile Legends mungkin hanya terbatas kepada update patch, hero baru, tips dan trik, Skin baru, ataupun konten Starlight member.

Tetapi dengan kehadiran esports, game Mobile Legends jadi punya berbagai topik pembahasan yang menarik, mulai dari rumor atau gosip, tanggapan pemain atas satu topik (tim yang akan dihadapi, META di dalam game, dan lain sebagainya), wawancara pasca pertandingan, dan berbagai perbincangan lainnya.

Apalagi esports MLBB di Indonesia juga hadir dalam format liga yang rutin dilaksanakan setiap pekan. Karena hal tersebut, perputaran konten seputar MLBB dan esports-nya jadi semakin cepat dan selalu ada topik baru untuk diperbincangkan yang membuat gaung game tersebut terdengar konsisten setiap harinya.

Sumber Gambar - Facebook Nimo TV
Kehadiran liga esports membuat MLBB jadi tak berhenti dibicarakan. Apalagi ditambah juga dengan aktivitas nonton bareng seperti pada gambar di atas yang semakin memancing perbincangan baru seputar MLBB dan esports-nya. Sumber Gambar – Facebook Nimo TV

Pada sisi lain, tiga game besutan Moonton lainnya adalah game casual yang punya gameplay cenderung sederhana. Karena gameplay-nya cenderung sederhana, topik yang bisa dibahas atas game tersebut juga jadi lebih sedikit. Karena gameplay-nya sederhana, aspek kompetitif tiga game tersebut juga jadi lebih minim walau tetap bisa dipertandingkan.

Karenanya, aspek esports sebenarnya terbilang jadi hal yang membuat MLBB jadi semakin melejit lagi walau sebenarnya sudah cukup besar berkembang di Indonesia. Apabila Anda masih penasaran dengan dampak positif kehadiran esports bagi game free-to-play, saya sempat membahas soal kausalitas game gratis dengan esports yang dapat Anda baca pada tautan berikut ini.

Setelah kita berkelana melihat perjalanan Moonton merintis MLBB dan nasib game besutannya yang lain, kini mari kita beralih ke pembahasan berikutnya soal simbiosis mutualisme antara Moonton dengan MLBB dan perkembangan industri esports Indonesia.

 

Simbiosis Mutualisme Moonton, MLBB, dan Pasar Gaming Indonesia

Hubungan antara Moonton dengan MLBB dan industri esports Indonesia bisa disebut sebagai simbiosis mutualisme. Keduanya saling memberi keuntungan satu sama lain, bahkan mungkin sudah berada di titik saling ketergantungan hingga saat ini. Kenapa bisa demikian? Mari kita melihat perkembangan esports Indonesia dari perspektif Mobile Legends: Bang-Bang.

Saya mungkin sudah beberapa kali menjelaskan bagaimana esports di Indonesia “bangkit” berkat kehadiran esports MLBB. Salah satu momen kebangkitan tersebut terasa pada MSC 2017 dan MPL Season 1 pada tahun 2018 yang dilaksanakan di Mall Taman Anggrek.

Dua turnamen tersebut berhasil menunjukkan besarnya potensi pasar gaming dan esports di Indonesia. Saya sudah beberapa kali melakukan liputan ke event esports offline pada tahun itu. Karenanya saya bisa menakar bahwa turnamen esports, biasanya cuma akan membuat penuh atrium Mall Taman Anggrek lantai 1 saja.

Namun demikian, MSC 2017 dan MPL Indonesia Season 1 menembus semua perikiraan tersebut. Bukan hanya Atrium Mall Taman Anggrek yang penuh sesak oleh penonton MSC 2017, tapi juga sampai ke lantai-lantai di atasnya. Saking penuhnya, saya ingat perncah diceritakan bahwa ada penonton yang sengaja bertahan di dalam elevator demi mendapat view yang enak untuk menonton turnamen MLBB. Luar biasa bukan?

Beberapa tahun berlalu, saya juga sempat membahas posisi Indonesia yang jadi begitu superior apabila kita bicara esports game mobile. Apabila kita mengutip data dari Esports Charts, sudah berkali-kali kita melihat MPL Indonesia menyalip liga-liga esports besar. Pada Februari 2021 kemarin saja, MPL Indonesia berhasil menyalip viewership liga esports yang lebih tua seperti liga LoL Korea LCK ataupun turnamen CS:GO terakbar, IEM Katowice. Pada bulan Oktober 2020 lalu saya juga sempat membuat pembahasan soal posisi Indonesia yang mungkin akan jadi kiblat esports mobile di dunia gara-gara Mobile Legends.

Dari perjalanan tersebut kita bisa melihat sedikit fakta soal dampak kehadiran Moonton dan MLBB terhadap pasar esports dan gaming Indonesia. Walaupun sering dicibir “hanya populer di Indonesia saja”, namun ekosistem esports Indonesia mau tidak mau harus berterima kasih kepada Moonton dan MLBB. Berkat penetrasi Moonton ke pasar Indonesia, ekosistem gaming dan esports Indonesia pun jadi berkembang sampai menjadi seperti sekarang.

Berkembang yang bagaimana? Salah satu yang paling terasa menurut saya adalah jumlah game developer yang investasi langsung ke pasar lokal jadi bertambah. Sejauh yang saya tahu dan ingat, hampir tidak ada developer game yang berinvestasi langsung ke pasar Indonesia sebelum fenomena MSC 2017 terjadi walau sudah ada beberapa perusahaan lokal yang berperan sebagai publisher.

Namun setelahnya kita bisa melihat sendiri Tencent hadir melakukan penetrasi langsung di tahun 2018 dengan PUBG Mobile. Beberapa tahun setelahnya, tepatnya pada 2020, perusahaan sebesar Riot Games bahkan juga melakukan penetrasi langsung ke pasar lokal Indonesia lewat game VALORANT dan League of Legends mobile atau Wild Rift. Dalam kasus Wild Rift, pasar Indonesia (dan negara-negara Asia Tenggara) bahkan mendapat perlakuan khusus berupa perilisan beta yang lebih dulu ketimbang negara-negara barat atau Asia timur.

Selain dari sisi investasi, perkembangan tim-tim esports lokal Indonesia juga menjadi salah satu hal yang terasa perubahannya berkat kehadiran Moonton dan MLBB di ekosistem esports Indonesia. Selain jumlahnya yang semakin banyak, beberapa tim yang besar di kancah MLBB saat ini juga sangat bersaing dari segi prestasi dan popularitas dengan tim-tim dari negara lain. Salah satu contohnya mungkin dapat Anda lihat pada pembahasan singkat saya soal posisi RRQ Hoshi sebagai tim MLBB terpopuler.

RRQ punya fans yang loyal dan cukup fanatik. | Sumber: ONE Esports
Kehadiran MLBB juga bisa dibilang memiliki andil dalam berkembangnya basis penggemar RRQ. | Sumber: ONE Esports

Tadi kita membahas soal ekosistem esports Indonesia yang diuntungkan dengan kehadiran Moonton dan MLBB. Tetapi tidak bisa dikatakan simbiosis mutualisme apabila pihak lainnya tidak diuntungkan. Pada sisi lain, penetrasi yang sukses tersebut juga sangat menguntungkan Moonton dan MLBB.

Kenapa pasar Indonesia sangat menguntungkan bagi Moonton dan MLBB? Kenapa Moonton dan MLBB juga butuh Indonesia? Salah satunya adalah karena game MLBB yang tidak rilis di Tiongkok walau Moonton memiliki basis perusahaan di negeri tirai bambu tersebut.

Apabila Anda mengikuti perkembangan industri game melalui pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh Hybrid.co.id, Anda tentu tahu betul pentingnya pasar Tiongkok bagi para publisher game. Alasan kenapa Tiongkok jadi penting, salah satunya adalah karena pesatnya perkembangan budaya gaming dan teknologi di sana. Pembahasan lengkapnya bisa Anda baca pada pembahasan Hybrid.co.id yang dilakukan oleh Ellavie berikut ini.

Berkat perkembangan budaya gaming dan teknologi yang pesat, Tiongkok menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi banyak developer game. Seberapa menggiurkan? Sensor Tower sempat melaporkan mobile games dengan pemasukan terbanyak sepanjang tahun 2020 lalu. Dari laporan tersebut, ditemukan bahwa dua game yang berada di peringkat teratas adalah PUBG Mobile dan Honor of Kings.

PUBG Mobile dilirilis secara global (termasuk di Tiongkok) dan berhasil mengumpulkan US$2,6 miliar. Honor of Kings hanya rilis di Tiongkok dan berhasil mengumpulkan pendapatan sebesar US$2,5 miliar. Anda tidak salah baca, ada sebuah game yang cuma rilis di Tiongkok dan jumlah pemasukannya hampir mengalahkan game yang rilis secara internasional. Dari sana, Anda bisa melihat sendiri betapa menggiurkannya pasar game Tiongkok bagi para developer game, terutama game mobile.

Karena tidak rilis di Tiongkok, Moonton harus mencari negara lain yang berpotensi menjadi pasar untuk game besutannya dan Indonesia pun menjadi jawaban. Kami mewawancara pihak Moonton untuk mempertanyakan cerita di balik penetrasi pasar yang dilakukan Moonton ke Indonesia.

Moonton Indonesia diwakili oleh Aswin Atonie selaku Brand Manager menjawab, “penetrasi ke pasar Indonesia merupakan hal yang sudah direncanakan dengan matang. Kami melakukan berbagai riset dan analisa hingga akhirnya memahami bahwa masih banyak yang dapat dikembangkan di Indonesia, terutama dalam bidang gaming.”

Sumber Gambar - ONE Esports.
Aswin Atonie, Brand Manager Moonton Indonesia. Sumber Gambar – ONE Esports.

Lebih lanjutnya, Aswin Atonie juga menceritakan sedikit cerita di balik layar dari kehadiran MSC 2017. “Dengan persiapan matang tersebut, kami pun mulai mempersiapkan gebrakan berupa MLBB South East Asia Cup (MSC 2017) yang bahkan sudah disiapkan sejak dari MLBB diluncurkan pertama kali yaitu pada tahun 2016 di Indonesia. Karenanya gelaran tersebut jadi mendapatkan animo yang luar biasa dari penggemar di indonesia.”

Akhirnya usaha penetrasi tersebut pun berbuah manis bagi Moonton. Melalui wawancara yang dilakukan redaksi Hybrid.co.id, Aswin Atonie juga mengungkap bahwa Mobile Legends sudah mengumpulkan 1 miliar download dengan 100 juta pengguna aktif. Investasi Moonton ke pasar Indonesia juga berbuah manis. Moonton sempat mengungkap bahwa pemain Mobile Legends di Indonesia adalah sebanyak 31 juta pemain aktif, mengutip dari artikel milik ONE Esports yang terbit tahun 2019 lalu.

Pada akhirnya perjalanan dan perkembangan ekosistem esports Indonesia dengan Moonton menjadi sebuah simbiosis mutualisme yang saling ketergantungan hingga saat ini. Apabila MLBB tidak muncul menjadi fenomena di tahun 2017 lalu, pasar gaming dan esports Indonesia bisa jad stagnan tanpa ada perkembangan yang melejit. Begitupun dengan Moonton. Apabila Moonton tidak berhasil menemukan potensi pasar gaming Indonesia, Moonton dan game MLBB yang dibesutnya mungkin tidak akan berkembang hingga menjadi sebesar seperti sekarang.

Setelah melihat perjalanan dan hubungan antara Moonton dengan Indonesia, berikutnya adalah soal masa depan Moonton nantinya. Kira-kira akan ke arah mana perkembangan Moonton nantinya? Apakah akan bertahan dengan Mobile Legends saja? Atau berkembang lewat game-game baru dari genre yang sedang digandrungi?

 

Akuisisi Bytedance, Rencana Game Baru, dan Masa Depan Moonton

Topik terkait Moonton yang paling menarik untuk dibahas saat ini mungkin adalah sub-topik ini yaitu nasib masa depan Moonton. Dari sisi pengembangan game MLBB, kita melihat sendiri bagaimana MLBB berkembang secara positif lewat Project NEXT yang dilakukan. Berbagai elemen di dalam game diperbaiki, beberapa hero lama diperbarui jadi lebih modern, grafis game juga perlahan ditingkatkan MLBB sembari tetap mempertahankan sifat alami game-nya yang ringan untuk berbagai smartphone.

Dari sisi esports kita dapat melihat bagaimana Mobile Legends Professional League terus berkembang di Indonesia. Jumlah penontonnya terus meningkat, sisi kompetisinya terus berusaha diperbaiki, sisi komersilnya juga terus berkembang secara positif. Dari sisi bisnis, beberapa waktu Anda juga mungkin sempat membaca berita soal akuisisi Bytedance (perusahaan induk TikTok) terhadap Moonton.

tiktok bytedance

Dengan semua pencapaian yang berhasil didapat Moonton di titik ini, maka pertanyaan berikutnya adalah, ke mana langkah selanjutnya Moonton? Apalagi akuisisi yang terjadi juga semakin menambah pertanyaan kita.

Aswin Atonie banyak bicara soal ini pada saat saya wawancara, walau sayang belum bisa memberikan komentar terkait perubahan yang akan terjadi pasca akuisisi Bytedance. Namun di luar dari itu, Aswin memberi sedikit gambaran soal arah perkembangan Moonton. Pertama adalah soal rencana game baru. Memang seperti yang saya sebut di sub-topik awal, Moonton sebenarnya sudah punya Mobile Legends: Adventure dan Sweet Crossing. Namun demikian, saya sendiri tetap penasaran apakah Moonton punya rencana untuk bersaing di genre game kompetitif lainnya seperti Battle Royale, Digital Card Game, atau mungkin genre Shooter?

Terkait hal tersebut, Aswin menjelaskan. “Kami selalu ingin update dengan tren terkini di industri game, tetapi saat ini fokus kami masih berada di genre game MOBA. Salah satu alasannya adalah karena kami percaya masih banyak hal yang bisa kami kembangkan lewat game MLBB sendiri.”

“Dalam pengembangan game MLBB, fokus kami masih berusaha memberikan experience yang baik bagi semua pemain lewat ragam fitur, pembaruan in-game, dan event yang rutin kami lakukan seperti 515 e-Party, Project NEXT, Winter Gala, dan lain sebagainya. Tetapi di luar dari itu, di belakang layar, kami (Moonton) juga dalam tahap development beberapa game. Informasi terkait hal tersebut tentunya baru akan dibagikan saat game tersebut sudah dianggap siap nantinya.” Lanjut Aswin menjelaskan soal rencana selanjutnya Moonton dari sisi pengembangan game.

Pertanyaan berikutnya adalah soal ekspansi pasar MLBB ke negara-negara lain, baik dari sisi esports ataupun percobaan penetrasi pasar ke negara lain. Seperti yang selalu saya jelaskan sebelumnya, walupun MLBB sudah berkembang begitu luar biasa namun perkembangannya terbilang cukup terbatas di pasar Asia Tenggara saja untuk saat ini.

Aswin pun menjawab. “Kami tentu ingin terus melakukan ekspansi pasar. Karenanya kami telah membuat beberapa rencana untuk beberapa wilayah. Untuk saat ini kami memiliki dua tim besar yang bertanggung jawab untuk mengatur ‘Developed Area’ seperti Asia Tenggara dan ‘Developing Area’ seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Asia Timur.”

Lalu, akankah status “anak emas” bagi pasar Indonesia hilang dengan rencana ekspansi tersebut? Aswin pun menambahkan. “Kami masih terus berniat untuk mengembangkan ekosistem esports di Indonesia lewat edukasi kepada masyarakat untuk mengubah stigma negatif gamers, serta memberi inspirasi pada generasi muda untuk bermain dengan sebuah tujuan. Saya merasa sampai saat ini MLBB telah membuka begitu banyak peluang dan lapangan pekerjaan di sektor esports, entah sebagai atlet esports profesional, content creator gaming, esports team management, event management, dan lain sebagainya.”

Menutup perbincangan soal masa depan Moonton, saya pun jadi berandai-andai dan berpikir, “Apa mungkin Moonton akan membuat game PC atau konsol di masa depan?”. Bertanya soal hal tersebut, Aswin pun menjawab. “Sebagai pelaku bisnis industri game, kami percaya bahwa game PC dan konsol masih akan terus berkembang ke depan. Namun kita semua tahu bahwa era digital telah memobilisasi aktivitas kita. Maka dari itu untuk saat ini Moonton masih terus fokus untuk mengembangkan MLBB sebagai game mobile demi memberikan pengalaman yang terbaik bagi para pemain.”

Perjalanan Moonton menjadi sebesar sekarang ibarat seperti kisah Cinderella yang berkembang dari sebuah developer kecil menjadi salah satu developer mobile games raksasa di Asia Tenggara. Semoga kisah kesuksesan Moonton dapat menjadi referensi atau inspirasi bagi Anda yang sedang berkutat atau ingin terjun ke bisnis esports dan gaming saat ini.

Gambar Utama – Moonton Epic Con 2019 (Sumber Gambar – Moonton Official)