Serba-Serbi Pokemon: Sejarah, Game, dan Kepemilikannya

Minggu lalu, franchise Pokemon merayakan ulang tahunnya yang ke-25. Bersamaan dengan itu, The Pokemon Company mengumumkan game Pokemon baru, yaitu Pokemon Legends: Arceus. Diperkirakan, game itu akan diluncurkan pada awal 2022. Sama seperti game-game Pokemon lainnya, Arceus mengharuskan para pemainnya untuk menangkap para Pokemon.

Lalu, bagaimana Pokemon bisa jadi sangat populer seperti sekarang?

 

Sejarah Pokemon

Pokemon, yang merupakan singkatan dari Pocket Monsters, diciptakan oleh Satoshi Tajiri. Pada awalnya, Tajiri merupakan penulis di Game Freak, majalah gaming yang membahas tentang strategi bermain game arcade. Seiring dengan berjalannya waktu, dia merasa bahwa game arcade tak lagi seru. Karena itu, dia memutuskan untuk membuat game sendiri. Dalam membuat game, dia juga menggandeng Ken Sugimori — yang sempat menjadi ilustrator di Game Freak. Pada 1989, Tajiri menjadikan Game Freak sebagai perusahaan game developer.

Tajiri mendapatkan ide untuk membuat game Pokemon pada 1990. Ide itu muncul ketika dia melihat bahwa Game Boys bisa terhubung dengan satu sama lain via kabel. Dia merasa, game Pokemon paling cocok untuk diluncurkan di konsol handheld, seperti Game Boys. Dia lalu mengajukan ide untuk membuat game Pokemon pada Nintendo. Walau tidak sepenuhnya paham dengan konsep yang Tajiri ajukan, Nintendo tertarik untuk merilis game buatan Game Freak berkat reputasi mereka sebagai game developer.

Pokemon Red dan Blue jadi game Pokemon pertama yang dirilis di AS.
Pokemon Red dan Blue jadi game Pokemon pertama yang dirilis di AS. | Sumber: Red Bull

Menurut laporan Mint, Nintendo merilis game Pokemon pertama pada Februari 1996, yaitu Pokemon Red dan Pokemon Green. Dalam game itu, fokus para pemain adalah untuk mengumpulkan para pokemon. Ketika itu, ada 151 Pokemon yang bisa pemain kumpulkan. Menariknya, Pokemon Red dan Green masing-masing punya Pokemon eksklusif yang berbeda. Hal ini mendorong para pemain untuk saling bertukar Pokemon dengan satu sama lain, menjadikannya sebagai game sosial.

 

Game-Game Pokemon yang Istimewa

Selama 25 tahun, franchise Pokemon menelurkan lebih dari 100 game. Pokemon Red dan Green, yang diluncurkan di Jepang pada 1996, menjadi game Pokemon pertama. Dua tahun kemudian, pada 1998, Nintendo membawa franchise Pokemon ke Amerika Serikat dengan meluncurkan Pokemon Red dan Blue. Kedua game ini merupakan versi internasional dari Pokemon Red dan Green. Dan meskipun konten Red dan Blue sedikit berbeda dari Red dan Green, kedua game itu tetap sangat populer di kalangan gamer.

Masih pada 1998, Nintendo meluncurkan Pokemon Yellow. Game edisi spesial ini terinspirasi oleh anime Pokemon yang juga sedang tayang saat itu. Developer Game Freak bahkan membuat beberapa perubahan pada mekanisme Pokemon Yellow untuk membuat game itu semakin menyerupai anime. Salah satu perubahan itu adalah pemain tidak lagi memilih Pokemon pertama yang mereka miliki. Sebagai gantinya, mereka akan mendapatkan Pikachu. Selain itu, Pikachu di Pokemon Yellow juga bisa mengikuti para pemain, sama seperti di anime. Padahal, Pokemon biasanya akan “tersimpan” di dalam Poke Balls. Keputusan Game Freak untuk menyesuaikan beberapa aspek dalam game agar menyerupai anime bukan hal yang aneh. Sejak lama, anime dan game memang sudah menjalin hubungan mesra.

Pokemon juga diadaptasi menjadi anime. | Sumber: ComicBook
Pokemon juga diadaptasi menjadi anime. | Sumber: ComicBook

Pada 1999, Nintendo merilis dua game Pokemon baru di Jepang, yaitu Gold dan Silver. Game itu dirilis untuk Game Boy Color. Game ini tidak hanya memperkenalkan mekanisme baru, tapi juga 100 Pokemon Baru. Salah satu mekanisme baru di Gold dan Sivler adalah sistem siang-malam yang disesuaikan dengan waktu di dunia nyata. Selain itu, Silver dan Gold juga memungkinkan para pemainnya untuk mengembangbiakkan Pokemon. Seiring dengan berjalannya waktu, game Pokemon memiliki semakin banyak fitur baru. Misalnya, Pokemon Ruby dan Sapphire — yang dirilis untuk Game Boy Advance pada 2002 — punya fitur baru berupa sistem double battles.

Pokemon Snap — yang dirilis pada 1999 untuk Nintendo 64 — menjadi salah satu game Pokemon pertama dengan grafik 3D. Satu tahun setelah itu, Pokemon Trading Card Game dirilis. Hal ini menandai kesuksesan Pokemon untuk diadaptasi ke game, animasi/anime, dan trading cards, seperti yang disebutkan oleh Polygon. Sementara pada 2001, Pokemon Crystal, yang diluncurkan untuk Game Boy Color, menjadi game Pokemon pertama yang memungkinkan para pemainnya untuk memilih gender dari karakter utama. Ke depan, semua game Pokemon akan memberikan opsi untuk memilih gender dari karakter utama.

Walau RPG menjadi genre dari kebanyakan game Pokemon, franchise Pokemon juga diadaptasi ke genre lain, seperti puzzle. Selain itu, Pokemon bahkan sempat dibuat menjadi game pinball. Game Pokemon juga pernah “digabung” dengan game lain yang populer. Misalnya, pada 2012, Tecmo Koei mengembangkan game berjudul Pokemon Conquest, yang menggabungkan franchise Pokemon dengan seri strategi RPG Nobunaga’s Ambition. Sementara pada 2016, Bandai Namco merilis game Pokken Tournament untuk Wii U. Game arcade ini merupakan game fighting yang terinspirasi dari Tekken.

Pokken Tournament. | Sumber: Go Nintendo
Pokken Tournament. | Sumber: Go Nintendo

Pada 2016, Pokemon Go dirilis. Mobile game yang menerapkan teknologi augmented reality itu dengan cepat menjadi fenomena secara global. Game ini memanfaatkan GPS pada smartphone pemain untuk melacak Pokemon. Ketika Pokemon Go pertama kali diluncurkan, hanya ada 150 spesies Pokemon di game itu. Pada 2020, jumlah Pokemon yang tersedia di game tersebut naik menjadi 600 spesies.

 

Apa Pokemon Punya Nintendo?

Jawaban singkatnya, bukan sepenuhnya. Nintendo bukan pemilik dari franchise Pokemon, walau kebanyakan game Pokemon diluncurkan di konsol Nintendo seperti yang disebutkan oleh ScreenRant. Franchise Pokemon dimiliki oleh The Pokemon Company, perusahaan joint venture dari Creatures, Game Freak, dan Nintendo.

Game Freak merupakan developer dari game Pokemon pertama. Selain itu, mereka juga bertanggung jawab atas kebanyakan game RPG Pokemon. Sementara itu, Nintendo merupakan publisher dari game Pokemon. Creatures, yang sempat dikenal dengan nama Ape Inc. merupakan kreator dari Pokemon Trading Card Game. Tak hanya itu, Creatures juga bertugas untuk mengurus merchandise dari franchise itu. Mereka juga bertanggung jawab atas pengembangan game-game dari Pokemon, khususnya yang memiliki grafik 3D.

Nintendo menguasai 32% saham dari The Pokemon Company. Begitu juga dengan Creatures dan Game Freak. 4Kids Entertainment — perusahaan yang membuat versi dubbing dari anime Pokemon — sempat membeli saham dari The Pokemon Company. Namun, mereka lalu menjual saham dari The Pokemon Company pada 2005. Tugas utama dari The Pokemon Company adalah untuk mengembangkan franchise Pokemon ke berbagai media hiburan. Jadi, jangan heran jika Pokemon kini juga diadaptasi menjadi film live-action.

Sumber header: US Gamer

Inilah 10 Kota Terbaik dan Terburuk untuk Gamers

Industri game dan esports terus berkembang dalam beberapa tahun belakangan. Jadi, tidak heran jika semakin banyak orang yang tertarik untuk masuk ke dunia tersebut. Broadband Savvy baru saja mengumumkan hasil studi mereka terkait daftar kota ideal untuk para gamers dan pecinta esports.

Salah satu karakteristik yang Broadband Savvy gunakan untuk menentukan apakah sebuah kota cocok untuk ditinggali para gamer adalah ketersediaan internet cepat serta biaya berlangganan internet di kota itu. Selain itu, mereka juga membandingkan harga hardware gaming di sebuah kota, jumlah turnamen esports offline dan gaming expo yang diadakan di kota tersebut, serta jumlah pekerjaan di dunia game yang tersedia. Dua kriteria lain yang juga dipertimbangkan adalah biaya hidup di sebuah kota dan ketersediaan 5G.

 

Skor Berdasarkan Region

Broadband Savvy membagi 74 negara yang mereka amati ke dalam 6 kawasan, yaitu Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Eropa, Oceania, dan Timur Tengah & Afrika. Masing-masing kawasan punya keunggulan dan kelemahan masing-masing. Misalnya, kota-kota di Asia — dengan Tiongkok dan India sebagai pengecualian — biasanya memiliki jaringan internet yang memadai dengan harga yang terjangkau, sebut saja Seoul, Hong Kong, dan Osaka. Selain itu, harga hardware gaming di Asia juga lebih murah. Tidak aneh, mengingat kebanyakan hardware memang diproduksi di kawasan Asia.

Seoul jadi kota terbaik kedua untuk gamers. |Sumber: Deposit Photos
Seoul jadi kota terbaik kedua untuk gamers. |Sumber: Deposit Photos

Sementara itu, salah satu keunggulan dari kota-kota di Amerika Utara adalah banyaknya jumlah pekerjaan terkait gaming. Austin dan Seattle menjadi dua kota yang memiliki pekerjaan di industri gaming paling banyak. Hanya saja, biaya hidup di kota-kota Amerika Utara cukup tinggi. Harga berlangganan internet di sana juga cukup mahal. Untungnya, harga hardware gaming di Amerika Utara lebih murah dari Eropa.

Di kota-kota di Benua Biru, yang terjadi justru sebaliknya. Harga hardware gaming di sana memang lebih mahal, tapi biaya berlangganan internet lebih terjangkau dari kota-kota di Amerika Utara. Selain itu, di beberapa kota Eropa, seperti Paris, jumlah tawaran pekerjaan terkait gaming juga cukup banyak.

Di kota-kota Amerika Selatan, keunggulan yang mereka punya adalah biaya hidup yang relatif murah. Masalahnya, tidak semua kota di Amerika Selatan sudah punya jaringan internet 1Gbps. Contohnya, Bogota. Kabar baiknya, di beberapa kota di Amerika Tengah — seperti Mexico City — Anda bisa mendapatkan koneksi internet yang cukup berkualitas dengan harga yang masuk akal. Selain itu, di Amerika Selatan, juga ada beberapa gaming expo dan turnamen esports besar yang diselenggarakan.

Kawasan Oceania dan Timur Tengah & Afrika punya masalah yang sama, yaitu biaya internet yang mahal. Hanya saja, biaya berlangganan internet di Timur Tengah & Afrika tetap jauh lebih tinggi dari di Oceania. Contohnya, di Uni Emirat Arab, biaya berlangganan internet 1Gbps bisa mencapai US$800 (sekitar Rp11,5 juta). Meskipun begitu, di Indonesia, biaya berlangganan internet 1Gbps bahkan lebih tinggi lagi. Pada 2019, IndiHome menawarkan paket 1Gbps seharga Rp17,5 juta.

 

10 Kota Terbaik untuk Gamers

Austin, Texas, Amerika Serikat dianggap sebagai kota paling ideal untuk para gamers dan fans esports, menurut Broadband Savvy. Alasannya adalah karena kota itu punya internet yang cukup cepat — 138Mbps — dan biaya langganan internet 1Gbps yang relatif murah, yaitu US$60. Tak hanya itu, kota itu juga sudah dilengkapi dengan jaringan 5G, walau belum merata di seluruh kota. Di Austin, jumlah pekerjaan terkait gaming juga cukup banyak. Selain itu, kota itu juga sering mengadakan gaming expo.

10 kota terbaik untuk ditinggali gamers. | Sumber: Broadband Savvy
10 kota terbaik untuk ditinggali gamers. | Sumber: Broadband Savvy

Sementara itu, peringkat kedua diduduki oleh Seoul, Korea Selatan. Dari segi kecepatan internet, Seoul menang jauh dari Austin. Kecepatan rata-rata internet di ibukota Korea Selatan itu mencapai 602Mbps. Tak hanya itu, biaya berlangganan internet 1Gbps di sana juga lebih murah, hanya US$33,24. Meskipun begitu, jumlah pekerjaan terkait gaming di Seoul jauh lebih sedikit dari Austin. Dan walau Seoul lebih sering menjadi tuan rumah dari turnamen esports, jumlah gaming expo yang diadakan di Austin jauh lebih banyak dari Seoul.

Bucharest menduduki peringkat tiga. Ibukota dari Romania ini memiliki kecepatan internet rata-rata yang sedikit lebih tinggi dari Austin, yaitu 164Mbps. Namun, biaya berlangganan internet 1Gbps di kota itu jauh lebih murah, kurang dari US$10. Bucharest juga sudah memiliki jaringan 5G. Hanya saja, harga hardware gaming di kota ini jauh lebih mahal dari Austin atau Seoul. Selain itu, jumlah pekerjaan terkait gaming di sini juga jauh lebih sedikit dari Austin.

“Tergantung pada apa yang Anda cari, ada beberapa kota yang ideal sebagai tempat tinggal para gamers. Kota seperti Bucharest mendapatkan nilai tinggi karena mereka punya internet yang cepat dan murah serta biaya hidup yang rendah,” kata Tom Paton, pendiri Broadband Savvy, seperti dikutip dari situs mereka. “Kota lain seperti Los Angeles dan London memang memiliki biaya hidup yang lebih mahal, tapi di sana, sering diselenggarakan expo gaming dan kompetisi esports.”

Berikut 10 kota terbaik untuk para gamers:

  • Austin, Amerika Serikat
  • Seoul, Korea Selatan
  • Bucharest, Romania
  • Paris, Prancis
  • Los Angeles, Amerika Serikat
  • Hong Kong, Hong Kong
  • Montreal, Kanada
  • Barcelona, Spanyol
  • Seattle, Amerika Serikat
  • Boston, Amerika Serikat

10 Kota Terburuk untuk Gamers

Dari 74 kota yang masuk dalam studi Broadband Savvy, Dubai, Uni Emirat Arab ada di peringkat terakhir. Salah satu alasannya adalah karena kota itu memiliki koneksi internet yang tidak hanya lambat, tapi juga mahal. Di Dubai, kecepatan rata-rata internet hanya mencapai 11 Mbps. Sementara biaya berlangganan internet 1Gbps mencapai US$775. Kabar baiknya, kota itu sudah memiliki 5G, walau jangkauan 5G belum merata di seluruh kota. Alasan lain mengapa Dubai ada di peringkat terakhir adalah karena tidak banyak pekerjaan terkait game yang tersedia di kota tersebut.

10 kota terburuk untuk ditinggali gamers. | Sumber: Broadband Savvy
10 kota terburuk untuk ditinggali gamers. | Sumber: Broadband Savvy

Sementara itu, Sydney, Australia ada di peringkat kedua paling akhir. Kecepatan internet rata-rata di kota ini lebih baik dari Dubai, mencapai 26Mbps. Biaya berlangganan internet 1Gbps juga jauh lebih murah, hanya US$112. Namun, biaya hidup di Sydney mahal. Selain itu, Sydney tidak punya banyak lowongan pekerjaan soal game.

Abu Dhabi, kota lain di Uni Emirat Arab, menduduki peringkat ketiga terakhir. Masalah yang dihadapi oleh Abu Dhabi sama seperti Dubai, yaitu internet yang lambat — kecepatan rata-rata 9Mbps — dan biaya internet yang mahal. Di sana, biaya berlangganan internet 1Gbps juga mencapai US$775. Biaya hidup yang lebih murah menjadi salah satu alasan mengapa peringkat Abu Dhabi lebih baik dari Dubai.

Berikut 10 kota terburuk untuk para gamers:

  • St Petersburg, Rusia
  • Cairo, Mesir
  • Johannesburg, Afrika Selatan
  • Vienna, Austria
  • Santiago, Chili
  • Auckland, Selandia Baru
  • Brisbane, Australia
  • Abu Dhabi, Uni Emirat Arab
  • Sydney, Australia
  • Dubai, Uni Emirat Arab

7 Hal Mudah untuk Mengupgrade Keyboard Mekanikal Anda

Beberapa bulan belakangan, saya memiliki kebiasaan buruk baru yaitu belanja impulsif untuk gaming peripheral — mulai dari earcups headset, mousepad, mouse, sampai keyboard mekanikal dan komponennya (keycaps dkk.). Kebiasaan buruk ini bahkan sampai membuat tagihan kartu kredit saya membengkak… Wkwkwkw… 

Daripada hanya berujung pada penyesalan, saya pun memutuskan untuk berbagi pengalaman saya yang siapa tahu berguna bagi Anda juga.

Jadi, tanpa panjang lebar lagi, inilah beberapa upgrade yang bisa dilakukan untuk membuat keyboard mekanikal Anda lebih nyaman digunakan. Beberapa informasi/upgrade yang saya tuliskan di sini juga bisa Anda jadikan pertimbangan baru jika ingin membeli keyboard baru seutuhnya.

 

Mengganti Keycaps

Dokumentasi: Hybrid
Pudding keycaps. Dokumentasi: Hybrid

Mengganti keycaps memang kedengarannya sederhana namun hal ini punya beberapa dampak yang sangat signifikan dengan usaha yang minimal. Pertama, keycaps akan berpengaruh besar pada kenyamanan Anda mengetik ataupun bermain game. Kedua, keycaps juga akan mempengaruhi suara mekanikal keyboard Anda saat digunakan (khususnya saat bottoming out). Ketiga, tak kalah penting juga, keycaps sangat berpengaruh atas tampilan keyboard Anda. Mari kita bahas satu per satu.

Keycaps adalah komponen keyboard yang paling sering bersentuhan dengan jari Anda. Bahan (PBT, ABS, dkk.) keycaps akan terasa berbeda di jari-jari Anda. Kecuali Anda ikut Group Buy untuk keycaps eksklusif atau limited edition, saran saya, carilah keycaps dengan bahan PBT. Selain terasa lebih solid saat dipencet, finishing yang digunakan di PBT keycaps juga biasanya lebih enak untuk jari-jari Anda. 

Selain lebih nyaman di jari Anda, bahan PBT juga akan memberikan suara yang lebih tebal saat Anda bottoming out. Ingat, semakin tipis dinding rongga suara, semakin nyaring juga suara yang akan dihasilkan. Maka dari itu, keycaps ABS biasanya akan memberikan suara yang lebih kopong (hollow). Anda juga bisa bereksperimen dengan keycaps berbahan karet ataupun logam namun, bagi saya, keycaps PBT adalah yang paling ideal dari sisi harga, akses, dan kenyamanan penggunaan. 

Berbagai macam profile keycaps
Berbagai macam profile keycaps

Tahukah Anda bahwa keycaps sebenarnya punya tinggi dan bentuk yang berbeda-beda. Bentuk dan tinggi keycaps itu biasanya menggunakan istilah ‘profile’. Profile OEM adalah yang paling sering digunakan di semua keyboard produk massal. Ada juga Cherry profile yang lebih pendek namun masih angled/sculpted. Jika Anda mencari yang lebih tinggi dari profile OEM dan masih angled, profile SA bisa jadi pilihan Anda. Terakhir, ada profile XDA yang lebih pendek dan rata. 

Selain 4 profile tadi, masih ada varian lainnya lagi sebenarnya (seperti DSA, DCS, ataupun yang lainnya) namun; dari pengalaman saya cuci mata di online marketplace lokal, 4 profile yang saya sebutkan pertama adalah yang paling mudah ditemukan (meski profile SA tidak semudah 3 profile lainnya dan profile OEM adalah yang paling mudah dan paling murah).

Profile keycaps ini juga penting untuk diperhatikan karena akan memberikan kenyamanan dan suara yang berbeda. Untuk urusan kenyamanan penggunaan, tinggi keycaps akan sangat berpengaruh terhadap orientasi letak tombol (asumsinya Anda sudah tak melihat keyboard lagi saat menggunakannya) dan seberapa kuat tenaga yang dibutuhkan untuk bottoming out. Sedangkan untuk suaranya, semakin tinggi rongga suara, semakin nyaring juga bunyi yang dihasilkan oleh keycaps saat bottoming out. 

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Saran saya, cherry profile adalah yang paling ideal untuk Anda cari — jika ingin berganti dari OEM dan sebelum mencoba profile lainnya. Cherry profile lebih enak digunakan dari OEM karena lebih pendek sehingga kemungkinan Anda bottoming out juga akan lebih jarang — kecuali Anda terlalu brutal saat menggunakan keyboard. Berhubung lebih pendek juga, rongga suara yang dimiliki cherry profile pun jadi lebih sempit yang akan membuat keyboard Anda lebih padat juga suaranya.

Sayangnya, ada beberapa kekurangan besar dari cherry profile dibandingkan OEM. Pertama, keycaps ini biasanya dibanderol dengan harga yang lebih mahal. Kedua, varian keycapsnya pun juga jauh lebih terbatas. Anda akan jauh lebih sulit mencari keycaps cherry profile yang hurufnya tembus backlight ketimbang profile OEM. Setahu saya, tidak ada juga pudding keycaps yang menggunakan cherry profile. 

Meski demikian, dua kekurangan tadi bukan jadi masalah mengingat kenyamanan dan suara yang dihasilkan jauh lebih penting bagi saya.

Oh iya, sebelum mengganti keycaps, penting juga diperhatikan soal ukuran dan stem keycaps dari keyboard yang saat ini Anda gunakan. Tidak sedikit gaming keyboard yang tidak memiliki standard bottom row. Kebanyakan keyboard Corsair, misalnya, tidak memiliki bottom row yang standar (kecuali K100). Logitech G Pro juga tidak memiliki standard bottom row. Ukuran bottom row yang standar adalah 6.25u untuk spacebar dan 1.25u untuk sisa tombol lainnya (CTRL, Win key, ALT, dkk.). Untuk lebih lengkapnya, Anda lihat di gambar di bawah ini. 

Ukuran standar dari masing-masing keycaps
Ukuran standar dari masing-masing keycaps

Stem yang digunakan juga penting diperhatikan karena Anda tidak bisa memasangkan keycaps jika dudukannya berbeda. Saat ini, ada 2 switch yang saya ingat tidak cocok dengan Cherry MX stem, yaitu Logitech Romer-G dan ASUS ROG RX switch.

 

Memasang O-rings

Setelah mengganti keycaps, cara lain yang sangat mudah dilakukan adalah menambahkan O-rings ke keycaps Anda. Gara-gara Blackwidow V3 yang suaranya kopong, saya sebenarnya jadi terpaksa mencari tahu cara-cara apa saja yang bisa dilakukan untuk mengurangi suara keyboard yang terlalu berisik. 

O-rings benar-benar efektif dalam menghilangkan suara bottoming out dan instalasinya pun sangat mudah. Anda hanya perlu memasangkan ring-ring karet ke keycapsnya. Hasilnya pun efektif karena benar-benar bisa menghilangkan suara bottoming out — kadang ada yang butuh 2-3 ring, kadang hanya butuh satu ring, tergantung posisi lajur/row keycapsnya. Meski memang, idealnya, saya lebih suka jika tetap ada suara bottoming out tapi tidak terlalu nyaring/kopong juga.

Selain bisa menghilangkan suara bottoming out, O-rings juga bisa memperpendek jarak bottoming out. Namun fungsi ini subjektif tergantung selera Anda. Ada yang suka jarak bottoming out jauh dan ada yang suka jarak yang pendek. Selain jarak bottoming out yang berubah, satu lagi yang juga subjektif dari penggunaan O-rings adalah feel saat bottoming out

O-rings saat sudah terpasang di keycaps. Via: MechanicalKeyboards.com
O-rings saat sudah terpasang di keycaps. Via: MechanicalKeyboards.com

Meski kata-kata tak bisa sepenuhnya menggambarkan rasa, namun Anda bisa membayangkan rasanya dengan dan tanpa menggunakan O-rings lewat penjelasan berikut. Jika tanpa O-rings, feel yang Anda dapatkan saat bottoming out adalah plastik ketemu plastik (lapisan keras ketemu keras). Sedangkan dengan O-rings, feel yang Anda dapatkan adalah karet ketemu plastik — permukaan yang lunak ketemu yang keras.

Beberapa orang memang tidak suka feel yang berubah ketika menggunakan O-rings namun saya sendiri tidak terganggu, meski saya bisa membedakannya. Plus, memasang O-rings adalah solusi paling murah dan paling mudah jika Anda terganggu dengan suara bottoming out keyboard Anda sekarang.

Oh iya, O-rings sendiri juga punya varian ketebalan dan warna. Saran saya ambil yang warna transparan — siapa tahu warna lainnya akan mengganggu cahaya LED backlight dan ambil yang lebih tebal karena jadi tidak terlalu boros kalau 1 O-rings saja belum cukup buat keycaps tertentu.

O-rings berwarna transparan dengan tebal 3mm. Via: MechanicalKeyboards.co.id
O-rings berwarna transparan dengan tebal 3mm. Via: MechanicalKeyboards.co.id

 

Menggunakan Mousepad yang Panjang

Anda mungkin heran kenapa jadi menggunakan mousepad untuk keyboard. Sebelumnya, saya juga tidak merasa perlu. Namun setelah saya menggunakan mousepad yang seukuran taplak meja di bawah keyboard (saya menggunakan Ducky Flipper Extra R — 800x350x3mm), saya merasa mousepad tersebut sedikit membantu dalam meredam getaran keyboard. 

Seperti soal peredam suara yang akan saya bahas di bagian selanjutnya, meja Anda biasanya punya permukaan keras (kayu, kaca, logam) yang tidak mampu menahan getaran. Sedangkan mousepad punya permukaan yang lebih lunak — asal jangan yang hard surface. Dengan begitu, keyboard saya jadi tak bersentuhan langsung dengan permukaan meja saya yang pakai kaca dan getaran antara kedua permukaan keras tadi jadi bisa direduksi.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Selain soal meredam getaran dengan meja, saya merasa mousepad yang panjang ini juga bisa mengurangi jarak antara mouse dan keyboard. Pasalnya, jika Anda menggunakan mousepad hanya untuk mouse, Anda tidak mungkin meletakkan keyboard di atas sebagian mousepad saja karena keyboard Anda jadi tidak rata.

Namun demikian, signifikansi menggunakan mousepad untuk keyboard Anda tidak sebesar penggunaan O-rings yang bisa meredam habis suara bottoming out. Namun demikian, menggunakan mousepad di bawah keyboard, bagi saya, cukup terasa mengurangi suara dan juga tidak merepotkan — Anda tinggal beli mousepad yang ukurannya panjang saja dan menaruhnya di bawah mouse dan keyboard.

 

Menambahkan Wrist Rest

Jika Anda seperti saya yang bisa menghabiskan 6-10 jam berada di depan komputer per harinya (baik itu bekerja, main game, ataupun nonton bok… eh…), mungkin saja Anda sering merasa pegal-pegal pergelangan tangannya. Idealnya, Anda memang harus berdiri dan bergerak secara berkala dan tidak terus menerus duduk. Namun demikian, saya tahu hidup itu seringnya jauh dari kata ideal… Wwakwkak

Via: Ergonomic Trends
Credits: Ergonomic Trends

Sebelumnya, saya juga seringkali merasa sakit pergelangan tangannya ketika terlalu lama mengetik atau bermain game — karena pergelangan tangan saya langsung bersentuhan dengan permukaan meja yang keras. Saya tahu, posisi tersebut sebenarnya juga tidak ideal. Idealnya, menurut ahli ergonomi, pergelangan tangan Anda tidak diletakkan di atas meja namun di posisi melayang saat mengetik. Anda bisa melihat tautan di atas untuk mencari tahu lebih banyak soal posisi badan dan tangan yang baik saat menggunakan keyboard.

Namun masalah pergelangan tangan saya yang pegal karena posisi keyboard yang terlalu tinggi dan sakit karena terlalu lama ditekan ke permukaan keras, jadi jauh berkurang saat saya mulai menggunakan wrist rest. Katanya, menggunakan wrist rest pun sebenarnya masih kurang ideal jika posisinya tidak benar juga. Namun demikian saya sendiri merasa dengan hanya menggunakan wrist rest yang nyaman mampu memperpanjang durasi saya mengetik dan tidak cepat pegal ataupun sakit.

Saat ini, saya punya 3 jenis wrist rest. Wrist rest pertama bawaan paket dari SteelSeries Apex 7 yang bahannya keras namun dilapisi dengan permukaan karet. Sedangkan yang kedua saya dapat dari paket penjualan Razer Blackwidow V3 yang berbahan plastik. Wrist rest ketiga, besutan Tecware, saya beli terpisah yang berisikan busa dilapisi dengan kain.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Dari ketiga wrist rest yang saya miliki tadi, wrist rest dari Blackwidow V3 yang paling tidak enak digunakan. Pasalnya, wrist rest tersebut tetap punya permukaan yang plastik keras yang tetap sakit saat digunakan berlama-lama.

Wrist rest kedua yang lebih nyaman adalah yang disertakan dalam paket penjualan Apex 7, yang berbahan keras namun dilapisi karet. Sebenarnya, jika hanya dari bahan dan permukaannya, saya lebih suka wrist rest ini ketimbang yang berisikan busa — karena busa pasti akan kempes seiring digunakan. Karena permukaannya juga bukan kain, wrist rest dengan lapisan permukaan karet juga lebih tidak mudah kotor — karena lebih mudah dibersihkan. Sayangnya, wrist rest Apex 7, karena memang didesain spesifik untuk keyboard tersebut, posisinya jadi aneh saat digunakan dengan keyboard lainnya. Dan saya sudah tak lagi menggunakan keyboard itu gara-gara salah satu switch-nya sudah aus meski belum setahun digunakan.

Apex 7 yang dilengkapi dengan wrist rest pada paket penjualannya. Credit: SteelSeries.
Apex 7 yang dilengkapi dengan wrist rest pada paket penjualannya. Credit: SteelSeries

Wrist rest yang sekarang saya gunakan adalah yang berbahan busa dan dilapisi kain. Dari yang saya rasakan, menggunakan wrist rest (baik yang dari SteelSeries ataupun Tecware) bisa membantu saya lebih nyaman saat mengetik karena ada dua alasan. Pertama, pergelangan tangan saya tidak lagi harus ditekan/diletakkan di atas meja yang permukaannya keras. Kedua, wrist rest juga membuat posisi pergelangan tangan Anda jadi lebih tinggi sehingga lebih sejajar juga dengan keyboard.

Meski menggunakan wrist rest akan membuat Anda merasa lebih nyaman dan tidak cepat pegal, saya tetap menyarankan Anda untuk mencoba mengetik dengan posisi yang ideal dan tetap bergerak secara berkala (misalnya setiap satu jam sekali).

 

Memasang Lapisan Peredam Suara

Meski lebih repot ketimbang 4 hal di atas tadi, memasang peredam suara di (bottom) case juga mudah dilakukan dan akan membuat suara keyboard Anda lebih sunyi. Biasanya, case keyboard Anda berbahan plastik yang mudah memantulkan getaran suara. Dengan menambahkan lapisan yang lebih lembut, material tersebut dapat membantu menyerap getaran. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat Anda ingin menambahkan peredam suara untuk keyboard Anda.

Hal penting pertama adalah bahan. Peredam suara yang paling mudah didapat adalah lapisan busa tipis yang biasanya digunakan saat mengirimkan paket. Anda juga bisa menggunakan EVA foam yang murah. Anda juga bisa menggunakan busa lain yang biasa digunakan untuk keperluan lainnya (yang biasanya warna kuning). Jika Anda punya dana lebih dan sabar, ada yang bilang bahan sorbothane atau neoprene juga lebih baik untuk meredam suara — namun jujur saya malas repot dan beli lagi (wakwakawk) sehingga saya cari bahan yang sudah ada di rumah saya. 

Plus, dari pengalaman saya, busa tipis pembungkus, EVA foam, ataupun busa kuning itu juga sudah cukup untuk mengurangi suara nyaring keyboard Anda. Lagipula, menurut saya, ada faktor lain yang lebih signifikan dalam mengurangi suara keyboard yang terlalu berisik — seperti keycaps, o-rings, switch, ataupun case-nya.

Hal kedua yang penting diperhatikan adalah ketebalan dari lapisan busa tadi. Jangan seperti saya yang menjejalkan busa terlalu tebal karena bisa merusak dudukan case keyboard dan membuatnya setengah mati susahnya saat dirakit kembali.

 

Mengganti Switch dan Stabilizer

Hal selanjutnya yang bisa dilakukan (relatif) cukup mudah adalah mengganti switch dan stabilizer. Seperti yang saya tuliskan tadi, mengganti switch keyboard memberikan dampak yang lebih besar ke suara ketimbang memasang foam. Ditambah lagi, mengganti switch akan memberikan perbedaan kenyamanan mengetik yang jauh lebih signifikan.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Saat ini, saya sudah merasakan beberapa switch keyboard seperti Cherry MX Blue, Cherry MX Red, Cherry MX Brown, Cherry MX Black, SteelSeries Blue, Gateron Yellow, Gateron Red, Razer Green, dan Durock L2. Dari semuanya tadi, Durock L2 memberikan kenyamanan paling istimewa. Switchnya sungguh smooth dan suaranya pun tidak bising.

Jika saya harus memberikan saran, Durock L2 adalah switch yang harus Anda jadikan pilihan utama — jika Anda suka dengan switch linear (bukan tactile ataupun clicky). Harganya memang lebih mahal (terakhir saya beli Rp8800 per switch) tapi kenyamanan yang diberikan sungguh sepadan dengan harga yang harus dibayarkan. Durock switch juga sudah pre-lubed dari pabrikannya sehingga cocok juga jika Anda seperti saya yang malas. Jika anggaran Anda lebih terbatas, Gateron Yellow adalah opsi kedua yang saya sarankan. Saya bahkan sebelumnya lebih lebih suka switch clicky (Cherry MX Blue) namun, setelah impulsif belanja 2 bulan ini, saya jadi pindah ‘agama’ ke linear.

Selain switch, keycap stabilizer juga penting untuk kenyamanan dan suara keyboard. Stabilizer seperti milik Razer Blackwidow V3, misalnya, sungguh menyedihkan dan membuat suaranya sangat mengganggu saat digunakan. Jika Anda tak ingin repot, Anda bisa memilih beberapa keyboard yang sudah memberikan pelumas di stabilizer-nya seperti yang saya temukan di Tecware Phantom Elite ataupun Dareu EK840. Bagi saya, stabilizer yang pre-lubed semacam itu sudah cukup juga karena saya malas untuk membeli dan mengaplikasikan lube sendiri.


View this post on Instagram

A post shared by Yabes Elia (@elia.yabes)

Untuk mengganti switch dan stabilizer, Anda mungkin akan protes kenapa ditaruh di sini jika judulnya adalah upgrade yang ‘mudah’. Well, saya sekarang sudah menggunakan PCB yang hotswap di 3 keyboard saya. Jadi mengganti switch keyboard juga sudah semudah mengganti keycaps. Bahkan, seperti yang saya tuliskan beberapa waktu lalu, hotswap PCB harusnya jadi standar baru buat semua gaming keyboard — saya sudah tidak mau beli keyboard jika PCB nya tidak hotswap sekarang. Selain membuat upgrade switch semakin mudah, Anda tak perlu lagi pusing dan mengganti keyboard seutuhnya saat ada satu switch yang bermasalah — seperti yang saya rasakan dengan SteelSeries Apex 7 saya. 

Di sisi lain, jika Anda tidak ingin membeli keyboard baru (yang hotswap PCB-nya), belajar skill soldering dan desoldering juga sebenarnya sangat berguna asalkan tidak malas dan sabar. Meski saya pribadi memilih untuk menggunakan waktu luang saya untuk bermain game… Wkwawkakwa… Makanya, sekali lagi, fitur hotswap PCB jadi faktor yang sangat krusial.

Untuk lubing switch, saya juga malas sih (baik untuk membeli peralatannya ataupun proses lubing-nya) kwakawkaw… Makanya saya tidak akan bahas di sini. Namun jika Anda sabar, lubing switch juga akan membuat suara dan rasanya lebih halus. Meski begitu, saya pribadi merasa pre-lubed switch seperti Durock juga sudah ideal karena karena saya tak perlu keluar waktu dan tambahan dana lagi.  

Oh iya, jika Anda sudah menggunakan keyboard dengan hotswap PCB, penting juga untuk mencari tahu pin yang didukung oleh PCB tersebut. Ada 2 tipe pin switch, yaitu 3 dan 5 pin. Durock L2 tadi menggunakan 5 pin. Switch dengan 5 pin biasanya disebut PCB mount. Sedangkan switch dengan 3 pin biasanya disebut juga plate mount. Anda memang bisa memotong 2 kaki/pin plastik dari switch 5 pin untuk dipasangkan di hotswap PCB yang hanya mendukung 3 pin. Namun, sekali lagi, karena judul artikel ini adalah upgrade mudah dan saya itu pemalas (kawoakwokaw), PCB hotswap yang sudah mendukung 5 pin (biasanya ditulis support 3/5 pin) memberikan Anda kebebasan lebih dalam menentukan switch. 

 

Mengganti Case

Saat ini, saya punya 5 keyboard dengan 3 ukuran berbeda: 3 full size, 1 60% (61 keys), dan 1 68% (73 keys). Dari pengalaman saya menjejalkan peredam, mengganti switch, ataupun keycaps, ukuran case (keyboard) menjadi faktor yang lebih signifikan dalam menentukan suara keyboard. 

Logikanya, kembali ke teori rongga suara. Semakin besar rongga suara yang ada, semakin nyaring pula suara yang akan dihasilkan. Keyboard dengan ukuran mini (60-68%) tentunya jadi memiliki ruang yang lebih padat di dalam case-nya ketimbang keyboard TKL apalagi full size. 

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Saya sudah mencoba beberapa cara untuk mengurangi suara Blackwidow V3 seperti mengganti keycaps, memasang O-rings, dan menjejalkan busa (bahkan yang terlalu tebal sekalipun). Tecware Phantom Elite ataupun Dareu EK840 yang memang suara aslinya tak seburuk Blackwidow V3 tadi pun masih lebih nyaring dan tipis ketimbang suara yang dihasilkan oleh 2 keyboard saya yang berukuran 60 dan 68% meski dengan usaha minimalis. Resonansi suaranya jadi sangat pendek dan suaranya juga lebih tebal di keyboard yang berukuran imut.

Sayangnya, mengganti case itu memang tak semudah mengganti keycaps, memasang peredam, ataupun O-rings. Makanya saya taruh di bagian terakhir.  

Ada alasan lain juga kenapa saya bahas soal case dan ukuran keyboard di sini, meski usahanya tidak semudah 5 cara lain di atas. Sebelumnya, saya juga bingung kenapa keyboard full-size saya benar-benar punya warna/jenis suara yang berbeda jauh dengan suara keyboard yang saya dengar di video YouTuber yang menyasar pengguna keyboard mekanikal enthusiast (bukan cuma spesifik ke gamer). Jujur saya juga baru sadar setelah menggunakan sendiri keyboard yang berukuran compact. Mungkin memang ada caranya untuk membuat keyboard TKL ataupun full-sized agar suaranya mirip dengan yang berukuran mini (60-65%) namun antara caranya yang terlalu repot dan saya yang terlalu malas (seperti lubing switch, ingat jika full-sized berarti Anda harus melumas 104 switch) atau saya belum menemukan cara lainnya yang lebih mudah dan cepat. 

Selain berguna dalam mengubah warna suara keyboard Anda, tampilan keyboard pun juga bisa berubah saat Anda mengganti case. Apalagi jika misalnya Anda menggantinya dengan case berbahan acrylic (baik itu yang transparan ataupun frosted), Anda bisa membuat LED RGB keyboard terlihat lebih genjreng — seperti keyboard besutan Gamakay/Womier, K61 ataupun K87.

Gamakay K87. Via: Minimalistik on YouTube
Gamakay K87. Via: Minimalistik on YouTube

Melepas case keyboardnya sendiri memang mudah sebenarnya namun case penggantinya yang tidak mudah dicari — bahkan tidak ada keyboard pre-built dari brand mainstream yang dijual terpisah case-nya. Namun begitu, Anda bisa menemukan beberapa pengrajin atau penyedia jasa di ecommerce yang sudah biasa membuatkan custom case keyboard.

Sayangnya, kebanyakan bahan yang digunakan untuk custom case dari penyedia jasa tadi adalah acrylic. Mungkin memang bahan acrylic tidak jelek juga sebenarnya namun jadi terbatas saja pilihan Anda. Namun demikian, jika Anda kenal/tahu pengrajin kayu ataupun logam, Anda sebenarnya bisa juga membayar jasa mereka untuk membuatkan custom case dari bahan selain acrylic.

Jika Anda berniat untuk membuatkan custom case, yang perlu Anda ingat adalah soal ukuran rongga suara di case keyboard yang ingin dibuat. Jika ingin suara yang lebih tebal dan bulat, buat ruang kosong di case yang sesempit mungkin — asal jangan sampai mengganggu komponen dan PCB keyboard. Harusnya, bahan case juga berpengaruh terhadap suara namun, berhubung saya belum banyak bereksperimen dengan bahan case keyboard, saya tak bisa memberikan komentar lebih jauh.

Salah satu penyedia jasa pembuatan custom case. Via: Tokopedia.
Salah satu penyedia jasa pembuatan custom case. Via: Tokopedia.

 

Penutup

Itulah tadi 7 hal yang (relatif) mudah dilakukan untuk membuat keyboard Anda lebih nyaman digunakan (termasuk soal suaranya karena saya tidak nyaman juga dengan keyboard yang terlalu bising).

Untuk bagian switch, seperti yang saya bilang tadi, jika Anda sudah menggunakan PCB hotswap — mengganti switch jadi semudah mengganti keycaps. Saya kembali mengatakan hal ini karena juga berharap kita bersama-sama menuntut brand gaming mainstream untuk menerapkan standar hotswap; ketimbang fitur-fitur yang sekadar gimmick macam 4k polling rate atau analog switch.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Sedangkan untuk case, meski memang repot juga kalau Anda harus mencari pengrajin baru — jika sebelumnya belum ada kenalan. Namun, membuat custom case bisa Anda jadikan solusi terakhir jika cara-cara lain yang lebih mudah masih belum bisa menghantarkan Anda ke suara ataupun tampilan keyboard yang Anda dambakan. 

Setelah artikel ini, saya juga ingin berbagi soal pengalaman saya menggunakan keyboard dengan ukuran dan layout yang berbeda-beda. Jadi, jangan lupa kunjungi Hybrid setiap hari yak!

Pentingnya Kesadaran Literasi Bisnis dan Finansial Buat Para Bintang Esports

Industri esports bisa dibilang sedang dalam masa keemasannya kini. Pemain pun menjadi pusat perhatian dari masa kejayaan tersebut. Uang hadiah berjuta-juta dollar, dikenal banyak orang, membuat beragam kesempatan terbuka lebar bagi pemain esports saat ini. Tapi jika Anda tidak cermat, semua bentuk privilege tersebut bisa hilang dalam jentikan jari saja. Karenanya, ada alasan tertentu kenapa ilmu bisnis menjadi salah satu ilmu yang perlu Anda pelajari apabila Anda adalah seorang pemain esports yang sedang sukses ataupun sebagai seseorang yang sedang merintis karir.

Lalu kenapa bisnis dan apa yang dimaksud dengan “ilmu bisnis” dalam pembahasan ini? Mari kita menyelam ke dalam pembahasan lebih lanjutnya.

 

Kenapa Belajar Bisnis Penting Bagi Seorang Pemain Esports

Anda mungkin masih bingung soal maksud ilmu bisnis yang saya bahas dalam pembahasan ini. Kata bisnis sendiri memang bisa diartikan menjadi luas sekali. Apakah belajar bisnis di artikel ini maksudnya adalah membuat startup? Berjualan voucher game? Investasi saham? Atau mungkin membuat  tambak lele? Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, bisnis diartikan sebagai usaha komersial dalam dunia perdagangan, bidang usaha, atau usaha dagang. Karenanya jenis-jenis kegiatan di atas juga tidak sepenuhnya salah jika disebut bisnis. Namun, bisnis yang saya maksud di sini sebenarnya lebih ke arah berbagai kemampuan yang berhubungan dengan kegiatan bisnis itu sendiri. Karenanya saya menyebutnya sebagai ilmu bisnis.

Lalu pertanyaan berikutnya yang muncul mungkin adalah, kenapa harus bisnis? Padahal seorang pemain esports yang pensiun masih bisa melakukan karir-karir lain yang bersifat depan layar, seperti menjadi shoutcaster, streamer, atau bahkan mungkin YouTuber? Kalau Anda cermat membaca artikel ini sejak awal, Anda mungkin akan sadar kalau jawaban terhadap pertanyaan tersebut sebenarnya sekilas sudah saya tulis di awal paragraf.

Karena pemain esports yang sukses memiliki dua modal yang sangat mumpuni  untuk memulai bisnis, modal uang dan modal popularitas. Selain itu, bisnis juga cenderung punya tingkat keberlangsungan yang lebih panjang ketimbang kembali menjadi orang depan layar. Memang, tidak ada yang pasti di dunia ini. Namun menjadi orang depan layar cenderung terbatas usia produktifnya. Bintang esports baru terus bermunculan dari waktu ke waktu, karenanya popularitas Anda sebagai pemain esports pun bisa jadi luntur seiring waktu.

Dua faktor yang saya sebut sebenarnya sudah jadi rahasia umum, namun bisa jadi belum tersadari oleh sang pemain ataupun calon pemain sendiri. Dalam hal modal secara finansial misalnya. Pemain esports paling sukses di zaman sekarang mungkin bisa dibilang sudah punya pendapatan yang mulai menyaingi pendapatan atlet olahraga. Misalnya saja Johan “n0tail” Sundstein, juara dunia Dota 2 yang menurut catatan esportsearnings.com sudah mengumpulkan pendapatan sebanyak US$6,9 juta lebih dari uang hadiah. Pendapatan tersebut baru dari hadiah turnamen saja. Belum menghitung pendapatan lain yang juga diterima namun mungkin tidak dipublikasikan, seperti nilai kontrak endorsement, mungkin gaji, atau mungkin bagi hasil pendapatan dari tim OG yang ia bentuk sendiri.

Dota2_NotailGamerzClass
N0tail juga bisa jadi contoh lain sebagai sosok yang bukan cuma sukses sebagai pemain saja.

Modal popularitas juga merupakan modal lain yang tak kalah penting dalam membangun bisnis. Membangun relasi bisa jadi hal yang mudah apabila Anda adalah seorang pemain esports yang sedang ada di puncak karir. Dengan popularitas yang dimiliki, Anda bisa mudah berkenalan dengan brand-brand besar, mudah berkenalan dengan orang-orang baru, bahkan mungkin orang-orang tersebut bisa jadi datang sendiri tanpa Anda harus melakukan banyak usaha.

Misalnya saja JessNoLimit. Karirnya sebagai pemain esports mungkin bukanlah yang paling cemerlang. Namun Anda bisa lihat sendiri bagaimana dirinya sangat memanfaatkan masa jayanya terdahulu ke dalam kehidupannya sekarang. Walau mungkin tidak bisa dijadikan contoh sebagai mantan pemain esports yang terjun ke bisnis sepenuhnya, tetapi kita bisa melihat bagaimana kelihaian JessNoLimit melihat peluang untuk menjual namanya sendiri sebagai seorang pemain esports yang sukses.

Berkat kecermatannya melihat peluang, JessNoLimit pun berhasil mencapai kesuksesan tertentu dengan menjual citra dirinya sebagai pemain esports. Beberapa di antaranya seperti mencatatkan 21 juta subscriber di YouTube, menjadi duta Piala Presiden Esports, dan bahkan berkesempatan bertemu dengan presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.

Dua faktor tersebut bisa dibilang menjadi salah satu keuntungan terbesar saat Anda sedang berposisi sebagai seorang pemain esports yang sukses. Coba bayangkan apabila Anda hanyalah seorang pegawai swasta? Mendapat modal uang (yang cukup untuk bisnis) dan mencari modal relasi juga mungkin akan butuh usaha yang amat sangat keras. Tapi saya juga tidak memungkiri menjadi sukses sebagai atlet esports juga butuh kerja keras dengan persaingan yang tak kalah berat. Karenanya tanpa maksud menyinggung pihak manapun, intinya adalah menjadi pemain esports bisa memberikan Anda banyak peluang yang bisa dimanfaatkan dengan baik.

 

Belajar Bisnis Sambil Meniti Karir Jadi Pemain Esports, Apa Mungkin?

Kalau ditanya bagaimana caranya, satu-satunya jawaban yang bisa saya berikan mungkin adalah belajar.

Ya, oke, saya tahu bahwa jawaban saya membosankan, terima kasih atas pujiannya. Saya sadar, bisa jadi beberapa dari Anda yang memutuskan menjadi pemain esports adalah karena ingin alternatif dari kehidupan formal, belajar, ataupun cara-cara “kuno” dalam mencapai kemapanan dalam hidup.

Namun demikian, hal yang memang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa kegiatan “kuno” tersebut tetap menawarkan solusi paling aman di dalam hidup. Bicara kasarnya, memangnya Anda mau mapan hari ini tapi hidup susah di masa senja? Mau tidak mau, Anda tetap perlu belajar walau sudah sukses jadi bintang esports. Belajar yang saya maksud di sini tentu tidak melulu harus lewat pendidikan formal. Seperti yang saya katakan sebelumnya, pembahasan ini juga sebenarnya lebih ke arah keharusan belajar soft-skill dan belajar bagaimana cara dunia bekerja, terutama dari sisi bisnis. Belajarnya pun bisa dari mana saja, dari lingkungan ataupun dari konten-konten di internet.

Membahas lebih lanjut soal belajar jadi atlet esports sambil belajar soft-skill, saya pun berbincang dengan Yohannes Siagian. Pembaca setia hybrid.co.id tentu kenal betul dengan sosok yang satu ini. Redaksi hybrid.co.id juga sudah beberapa kali membahas relasi esports dan pendidikan melalui perbincangan Chief Editor kami, Yabes Elia, dengan “Mas Joey”.

Salah satu alasan saya mengajak mas Joey untuk berbincang soal berkarir menjadi pemain esports dan belajar bisnis adalah karena program pengembangan baru yang ia lakukan melalui brand Somnium Esports. Organisasi esports tersebut baru-baru saja membuat sebuah program pengembangan pemain yang tergolong beda ketimbang program lainnya.

Program tersebut tidak sekadar mengajarkan pemain supaya jago main game saja tapi juga menawarkan pengembangan kemampuan-kemampuan di luar dari gaming. Bahkan program pengembangan pemain milik Somnium juga menawarkan pendidikan gratis bagi peserta yang masih bersekolah namun ingin tetapi ikut program.

Joey pun menjelaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari bentuk akuisisi Somnium oleh yayasan Garis Putih. Lebih lanjut Joey pun menjelaskan soal apa itu yayasan Garis Putih. “Pada dasarnya Garis Putih merupakan yayasan yang ada pada bidang youth support dan development. Alasan kami melakukan program seperti demikian adalah karena kami merasa anak muda tidak punya banyak kesempatan untuk mengembangkan minat, bakat, dan potensi mereka di masa kini.”

“Kami juga mengamati bahwa saat ini kurang banyak opsi yang dapat dipilih anak muda dalam melakuan eksplorasi diri, kepribadian, ataupun tempat untuk mencari bantuan serta dukungan apabila diperlukan. Hal yang menjadi dasar pemikiran tersebut adalah dari fenomena yang kami lihat bahwa anak muda zaman sekarang kebanyakan hidupnya hanya berkutat di 3 tempat saja, sekolah, rumah, dan tongkrongan/mall. Masa pandemi seperti sekarang semakin membuat keadaan tadi jadi lebih terasa. Fenomena tersebut pun membuat yayasan Garis Putih tergerak untuk mencoba menawarkan solusi. Esports hanya salah satu saja dari rencana besar Garis Putih yang kami lakukan lewat Somnium. Esports hanya salah satu karena Garis Putih nantinya juga punya rencana untuk melakukan kegiatan youth support di bidang lainnya seperti olahraga, kesenian, dan lain-lain.” Tutur Joey menjelaskan.

“Tapi satu hal lain yang ingin kembali saya tegaskan kembali adalah bahwa Somnium Development Program itu bukan pendidikan untuk direkrut ke dalam tim esports profesional. Seperti namanya dan sejalan dengan visi misi Garis Putih, fokus program tersebut adalah pengembangan. Harapannya program ini bisa memberi bekal kepada mereka yang ingin meniti karir menjadi pemain esports.” Joey kembali menambahkan

Walaupun program milik Somnium terlihat cukup inovatif, namun program coaching di bidang esports sebenarnya tidak sepenuhnya baru. Dalam tulisan saya yang membahas skema ekosistem esports, Anda juga bisa melihat bahwa ada dua elemen yang bersifat “lain-lain” di sana. Menariknya, dua entitas yang saya tulis pada bagian tersebut sama-sama menawarkan jasa yang sama, yaitu coaching. Dalam daftar yang saya buat, saya memasukan Aegis.gg dan RRQ Academy.

Tetapi dari apa yang saya amati, kedua coaching platform tersebut hanya menawarkan cara untuk menjadi jago saja. Padahal di dunia esports, menjadi jago hanya satu aspek profesionalitas pemain esports saja. Seiring dengan karir yang terus berkembang, pemain esports akan lebih dituntut lebih dan dituntunt dari berbagai macam aspek. Mulai dari ketangguhan mental, profesionalitas secara sikap, sampai tuntutan membangun citra diri di muka publik.

Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport.com
Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport.com

“Kalau ditanya soal apa saja yang diajari, skill main game sudah pasti diajari. Tapi selain itu saya juga menyiapkan pelatihan soft-skill yang arahnya untuk meningkatkan performa permainan, seperti kemampuan analisa game, komunikasi, decision making, dan lain-lain. Di luar dari itu, ilmu-ilmu yang dapat membantu kehidupan mereka pasca pensiun juga diajarkan, termasuk ilmu seperti bisnis ataupun literasi finansial.” Tambah Joey.

Memang menurut saya jago saja tidak cukup membawa karir Anda melejit di dunia esports. Kembali menggunakan Jess No Limit sebagai contoh, Anda pecinta esports MLBB mungkin ingat kalau dia bukan sosok yang paling jago bermain. Namun Jess No Limit punya beberapa kemampuan di luar bermain game yang membuat dirinya berhasil survive pasca pensiun dari pro player. Cerita yang serupa juga sebenarnya bisa dilihat perjalanan dari mantan rekan satu timnya, Jonathan “Emperor” Liandi.

Program player development dari Sominum mungkin bisa jadi salah satu pilhan dalam membangun soft-skill untuk mempersiapkan kehidupan pasca pensiun sebagai pemain esports. Walau memang berpikir “mau jadi apa setelah pensiun sebagai pemain” adalah kewajiban bagi pemainnya sendiri, tapi saya merasa apa yang dilakukan oleh Somnium Esports patut juga dicontoh oleh tim lain.

Mengapa? Saya merasa pemain yang tidak sekadar jago juga memberikan nilai jual lebih bagi tim terkait. Pemain yang jago mungkin bisa memberi kemenangan di lebih banyak turnamen. Tapi pemain yang punya kemampuan menyeluruh (termasuk bisnis atau menjual citra diri) mungkin bisa memberi value yang lebih banyak lagi, entah itu lewat kontrak-kontrak endorsement dan lain sebagainya. Karenanya, saya merasa apa yang dilakuan oleh Somnium Esports itu tidak hanya baru, tetapi juga bisa jadi penting demi masa depan esports yang lebih baik.

Sumber: Overwatch League Official
Setelah juara dunia, lalu apa? Sumber: Overwatch League Official

Membahas soal kepentingan kemampuan-kemampuan di luar skill bermain game dan pentingnya belajar bisnis, Joey juga menambahkan. “Ya saya setuju belajar bisnis itu penting, tapi di luar dari itu sebenarnya yang lebih penting dan mendasar adalah literasi finansial secara umum. Maksudnya literasi finansial adalah sesederhana seperti menabung, investasi, ataupun mengenali cara serta konsep untuk bisa growing money. Kenapa penting? Karena ketika pemain esports sedang dalam masa karirnya, mereka bukan hanya punya penghasilan besar tapi juga memiliki pengeluaran yang sedikit; bahkan hampir tidak ada.”

“Benar bukan? Semua biaya hidup ditanggung tim. Ada gaming house untuk tempat tinggal, kebutuhan makan kadang ditanggung oleh tim, transportasi juga kadang ditanggung oleh tim. Dengan keadaan hampir zero expenses, pemain esports sebenarnya punya kesempatan menumpuk modal untuk menghadapi kehidupan pasca pensiun sebagai pemain esports.” Joey memperjelas kembali soal pelaung yang dimiliki oleh pemain esports untuk menghadapi kehidupan masa depannya.

“Tapi memang sejauh yang saya lihat juga beberapa pemain esports jaman sekarang mulai melek finansial. Tetapi biasanya memang karena suatu kondisi tertentu lebih dahulu. Sudah pernah “kepentok” misalnya atau ketika si pemain berencana untuk menikah. Biasanya kalau sudah begitu mereka mulai berpikir untuk investasi ataupun mencoba membuat usaha.” Joey menambahkan cerita berdasarkan dari pengamatannya sejauh ini.

Di luar dari pembahasan tersebut, saya juga sadar bahwa usia pemain esports yang masih sangat muda jadi salah satu faktor lain yang membuat mereka kurang sadar akan hal-hal seperti ini. Tetapi mengingat era informasi sekarang ini, pemain esports juga punya keuntungan lain dengan mudahnya akses untuk belajar ilmu-ilmu baru. Selain diajari, Anda juga bisa saja belajar secara otodidak, bahkan mungkin belajar melalui pembahasan-pembahasan Hybrid.co.id. Misalnya apabila Anda ingin tetap berada di ranah esports namun sebagai pelaku bisnis, Anda mungkin bisa belajar dimulai dari artikel pembahasan bentuk ekosistem esports Indonesia atau pembahasan soal alasan bagaimana game kompetitif bisa sukses berkembang menjadi esports.

 

Belajar Dari Atlet Olahraga dan Esports Yang Mapan Hingga Kini

Ada alasan tertentu kenapa bisnis yang menjadi sorotan pembahasan saya di dalam artikel ini. Selain dari dua faktor di atas, inspirasi artikel ini juga lagi-lagi datang dari salah satu video milik Athletic Interest. Salah satu video di channel tersebut menceritakan soal kisah sukses dari seorang petenis kelas dunia, Roger Federer.

Apa yang ingin saya soroti dari sosok beliau bukan serta-merta kekayaan atau kesuksesannya saja, tetapi juga karakteristik yang membuatnya jadi salah satu atlet olahraga yang berhasil jadi miliarder. Mengutip dari Forbes, Roger Federer telah mengumpulkan sekitar US$130 juta dari kemenangan-kemenangan yang ia raih. Namun, total kekayaanya lebih dari itu dan bahkan uang hadiah turnamen jadi terlihat kecil ketimbang kontrak endorse senilai US$300 juta dengan Uniqlo.

Tetapi ada cerita tersendiri ketika Roger Federer mengambil kontrak endorsement dengan Uniqlo. Kisah tersebut menuai pertanyaan khalayak karena Roger Federer memilih meninggalkan Nike dan untuk Uniqlo. Bukan cuma gara-gara brand-nya saja, kontrak kerja sama dengan Nike juga menawarkan nilai 3 kali lipat lebih besar ketimbang kerja sama dengan Uniqlo. Salah satu jawaban yang ia berikan adalah. “Kita semua tahu bahwa saya sedang berada di masa senja karir saya, bukan di masa keemasan.” Tutur Roger Federer membuka sesi konfrensi pers membahas soal keputusannya tersebut yang saya kutip dari Forbes.

Mengutip dari SportsPro, Roger Federer juga sempat berkata. “Suatu hari saya akan pensiun dari tenis, tetapi saya tidak akan pensiun dengan kehidupan saya. Kehidupan saya akan terus berjalan (pasca pensiun dari pemain tenis). Dengan demikian, saya percaya bahwa Uniqlo dan Mr Yanai (CEO Uniqlo) akan menganggap saya sebagai sosok penting bagi brand mereka, walaupun saat saya sudah tidak menjadi atlet tenis.”

Pengambilan keputusan yang dilakukan Roger Federer bisa menjadi contoh bagaimana seorang atlet juga harus sadar dan paham cara bisnis bekerja. Nike adalah perusahaan olahraga. Sosok yang akan di-endorse oleh Nike kemungkinan besar adalah atlet-atlet terbaik di bidang olahraganya masing-masing.

Namun Uniqlo bukanlah Nike. Uniqlo adalah brand pakaian untuk sehari-hari. Nike bisa saja memutus kontrak endorse-nya dengan Roger apabila dirinya sudah mulai menurun performanya atau pensiun dari tenis. Di sisi lain, kecil kemungkinan bagi Uniqlo untuk melakukan hal tersebut. Sebagai perusahaan pembuat pakaian kasual, Uniqlo tetap butuh brand ambassador terlepas dari atlet atau bukan. Terlebih, Uniqlo juga tergolong baru mulai membuat pakaian-pakaian untuk kebutuhan olahraga yang hadir dalam branding AIRism. Kontrak kerja sama sepanjang 10 tahun yang termasuk kolaborasi merancang pakaian bersama Uniqlo tentunya akan menjadi investasi masa depan yang baik bagi seorang Roger Federer.

Tindakan yang dilakukan Roger sebenarnya mirip seperti banyak kontrak endorse yang juga dilakukan pemain-pemain esports. Namun dari pembahasan tersebut kita bisa belajar bagaimana Roger Federer tidak hanya tahu soal cara bermain tenis tetapi juga punya kesadaran serta begitu taktis dalam melakukan pergerakan bisnis demi menyambung hidupnya. Bukan hanya di olahraga, esports juga punya beberapa contoh kasus.

Ninja
Salah satu fotonya saat pengumuman kerja sama Ninja sebagai salah satu atlet Red Bull.

Taylor Blevins atau si “Ninja” Fortnite misalnya. Walaupun dirinya bukan pemain esports, namun kita juga bisa melihat bagiamana dia aktif melakukan pergerakan agar tetap relevan dan bertahan pekerjaannya sebagai streamer game. Selain menjadi avatar di Fortnite, Ninja juga melakukan kerja sama dengan beberapa brand seperti Red Bull, Adidas, bahkan dikabarkan akan muncul di film dan serial televisi. Hal-hal tersebut juga bisa dibilang sebagai beberapa bentuk pergerakan bisnis dari Ninja dalam memanfaatkan masa kejayaan yang sedang dijalaninya kini.

Dalam satu kesempatan, Ninja juga sempat membagikan pandangannya terhadap masa depannya saat ia mungkin sudah tak lagi digandrugi. “Hal yang terpenting adalah memahami segmentasi penggemar dan melakukan ekspansi dari sana. Saya sadar kebanyakan penggemar saya adalah anak muda. Saya juga sadar bahwa karir saya di dunia streaming tidaklah abadi. Makanya saya mulai mencoba voice acting untuk kartun atau animasi karena merasa hal tersebut masih dekat dengan segmentasi penggemar saya. Tapi menurut pandangan saya sendiri hal terpenting adalah melakukan sesuatu yang memang saya sukai.” Tutur Ninja kepada New York Times.

Sumber: NXL
Richard “frgd” Permana, setelah sukses menjadi pemain kini fokusnya adalah mengembangkan TeamNXL sebagai bisnis. Sumber: NXL

Masih ada juga beberapa contoh lain dari sosok esports internasional yang bermuara terjun ke bisnis di ketika mencapai masa senjanya. Salah satu contohnya seperti Mathew Haag “Nadeshot”, mantan pemain profesional, juara dunia Call of Duty tahun 2011, dan kini memanfaatkan masa kejayaan terdahulunya sebagai modal untuk membangun timnya 8-nya sendiri yaitu 100 Thieves.

Tidak usah jauh-jauh, Indonesia juga punya sosok sosok yang mirip seperti Nadeshot. Richard “frgd” Permana misalnya, bermula sebagai pemain esports dari TeamNXL dan kini berakhir sebagai CEO TeamNXL itu sendiri. Ada juga sosok seperti Gary Ongko, yang sebelumnya sempat bermain CS:GO secara semi-profesional dan kini menjadi sosok yang menggerakan BOOM Esports.

 

Penutup

Seperti saya katakan di awal artikel ini, bisnis sebenarnya cuma satu dari banyak kemungkinan lain yang bisa Anda lakukan saat tak lagi jadi pemain esports.

Tetap sukses atau malah jadi miliarder pasca pensiun sebagai atlet esports itu sangat mungkin, mengingat modal uang dan relasi yang dimiliki. Tapi tentunya Anda harus paham bagaimana cara melakukan keputusan bisnis yang tepat (seperti yang dilakukan Roger Federer contohnya), menjaga dan menjual citra diri Anda, serta paham ke mana menginvestasikan penghasilan yang dimiliki agar tidak salah langkah.

Pada intinya saya berharap para pembaca, terutama yang ingin meniti karir sebagai pemain esports, sadar bahwa menjadi pemain esports memang tidak sesederhana main game lalu dapat uang. Banyak hal yang harus dilakukan, banyak kewajiban yang harus dipenuhi, namun juga dengan banyak hal yang bisa dipelajari dari kesempatan yang ada.

Saya jadi ingin mengutip perkataan dari Roger Federer, bahwa hidup tidak berhenti setelah masa keemasan Anda selesai. Terlebih usia karir esports juga cenderung pendek, yang bisa jadi ada keuntungannya tersendiri; yaitu bisa merintis impian di bidang lain ketika usia Anda masih relatif muda. Semoga artikel ini bisa membantu membuka pandangan Anda dan memberi inspirasi bagi Anda yang sedang berada di jalan tersebut.

Mengulas 3 Raksasa Industri Game dan Esports: Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan

Tidak ada orang yang suka dibandingkan dengan orang lain. Pada saat yang sama, sudah jadi sifat manusia untuk membandingkan sesuatu atau seseorang. Dan sebenarnya, membandingkan diri sendiri dengan orang lain tidak buruk. Melihat orang lain yang lebih sukses justru bisa mendorong Anda untuk menjadi seperti mereka. Hal yang sama juga berlaku untuk skala yang lebih besar, seperti skala antar negara. Karena itu, dalam artikel kali ini, saya akan membahas tentang industri game dan esports di Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan.

 

Kenapa Membandingkan Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok?

Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok punya beberapa kesamaan. Ketiganya sama-sama negara Asia dan berdekatan lokasi geografisnya. Selain itu, industri game di tiga negara itu juga sama-sama matang. Faktanya, dalam daftar negara dengan industri game terbesar, Tiongkok duduk di peringkat pertama, Jepang ketiga, dan Korea Selatan keempat. Posisi kedua diduduki oleh Amerika Serikat. Hanya saja, saya akan mengecualikan Amerika Serikat dalam artikel ini.

Lima negara dengan pasar game terbesar. | Sumber: Newzoo
Lima negara dengan pasar game terbesar. | Sumber: Newzoo

Kesamaan lain antara Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok adalah mereka punya punya perusahaan raksasa teknologi. Di Jepang, ada Sony dan Nintendo, sementara Tiongkok punya Tencent, dan Korea Selatan memiliki Samsung. Korea Selatan juga menjadi rumah dari berbagai perusahaan game ternama, termasuk Nexon, Netmarble, Krafton, dan Gravity.

Memang, baik Korea Selatan, Jepang, atau Tiongkok bukan negara yang membuat game pertama kali. Namun, ketiga negara itu berhasil menciptakan tren baru di dunia game. Misalnya, Nexon merupakan pencetus model bisnis free-to-play. Nexon merilis QuizQuiz, game free-to-play pertama mereka pada Oktober 1999. Pada awalnya, model bisnis FTP digunakan untuk game-game yang menargetkan anak-anak dan gamer kasual. Namun, sekarang, game FTP bisa meraup untung hingga miliaran dollar. Faktanya, laporan dari Super Data menunjukkan, game FTP menyumbangkan 78% dari total pemasukan industri game digital pada 2020. Secara total, game FTP memberikan kontribusi sebesar US$98,4 miliar dari total pemasukan US$126,5 miliar industri game digital.

Lalu, apa keistimewaan Jepang? Hampir semua konsol terpopuler sepanjang masa merupakan buatan perusahaan Jepang. IGN membuat daftar 15 konsol dengan penjualan terbaik sepanjang masa. Dalam daftar itu, Microsoft hanya bisa mendapatkan posisi 15 dengan Xbox One, yang punya penjualan 41 juta unit, dan posisi 8 dengan Xbox 360, dengan angka penjualan 85 juta unit. Dua belas konsol lainnya merupakan konsol buatan Nintendo dan Sony.

Berikut daftar lima konsol dengan angka penjualan terbaik sepanjang masa.

Lima konsol dengan penjualan terbanyak sepanjang masa. | Sumber: IGN
Lima konsol dengan penjualan terbanyak sepanjang masa. | Sumber: IGN

Selain membuat konsol, Jepang juga berhasil mempopulerkan game gacha pada 2010-an. Pada 2010, Konami merilis Dragon Collection, sebuah game card battle yang menawarkan banyak karakter yang bisa dikumpulkan. Sama seperti game lainnya, para gamer akan bisa menyelesaikan quest untuk mendapatkan hadiah. Hanya saja, hadiah yang para pemain dapatkan acak. Dragon Collection memang bisa dimainkan secara gratis, tapi jika para pemain ingin bisa mengumpulkan hadiah lebih banyak, mereka harus membayar.

Dragon Collection sukses. Konami berhasil mendapatkan banyak uang dari game itu. Tidak lama kemudian, para developer game, baik dari dalam maupun luar Jepang, berbondong-bondong untuk membuat game serupa. Sampai sekarang, ada banyak game gacha yang populer, seperti Azure Lane, Arknights, dan Genshin Impact.

Sementara itu, Tiongkok merupakan pasar game terbesar di dunia. Nilai industri game di negara itu diperkirakan mencapai US$40,85 miliar. Di Tiongkok, game online sangat populer. Karena itu, tidak heran jika pada 2007-2008, game media sosial mulai bermunculan. Happy Farm, game asal Tiongkok yang dirilis pada 2008, masuk dalam daftar 15 game paling berpengaruh versi WIRED. Pasalnya, game itu “menginspirasi” banyak game serupa, termasuk FarmVille dari Zynga.

Pada 2012, mobile game mulai berkembang di Tiongkok. Ketika itu, pengguna smartphone telah mencapai sekitar satu miliar orang. Tencent, yang telah mengakuisisi Riot Games pada 2012, melihat hal ini sebagai kesempatan. Mereka meminta Riot untuk membuat versi mobile dari League of Legends. Namun, Riot menolak. Akhirnya, Tenccent memutuskan untuk membuat mobile game MOBA sendiri, yaitu Honor of Kings alias Arena of Valor. Sampai sekarang, game itu berhasil menjadi salah satu game dengan penghasilan terbesar.

 

Perbedaan Industri Gaming di Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok

Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok memang punya beberapa kesamaan. Namun, pasar game dari ketiga negara itu juga punya keunikan masing-masing. Msialnya, para gamer Jepang senang dengan game buatan lokal. Sulit bagi perusahaan asing untuk menembus pasar game Jepang. Tren ini juga terlihat pada penjualan konsol. Di Jepang, Sony berhasil menjual sekitar 7,5 juta unit PlayStation 4. Sebagai perbandingan, Microsoft Xbox One hanya terjual sekitar 100 ribu unit.

Soal genre, fighting menjadi salah satu genre terpopuler di Jepang. Genre itu mulai populer sejak Capcom meluncurkan Street Fighter II pada 1991. Selain itu, para gamer Jepang juga lebih senang bermain game single-player. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa skena esports tak terlalu berkembang di Jepang.

Di Jepang, fighting game sangat populer. | Sumber: Variety
Di Jepang, fighting game sangat populer. | Sumber: Variety

Game MOBA tidak terlalu populer di Jepang,” kata Paolo Gianti, Business Development Manager di industri gaming Jepang, lapor The Esports Observer. “Faktanya, game yang mengharuskan pemainnya untuk bermain dengan pemain lain tidak terlalu populer di Jepang. Gamer Jepang senang melawan komputer, karena mereka ingin menghindari interaksi dengan pemain lain. Mereka tidak ingin diganggu ketika sedang latihan.”

Sebaliknya, para gamer Tiongkok menganggap bermain game sebagai kegiatan sosial. Salah satu alasan mengapa mobile game sangat populer di Tiongkok karena banyak mobile game yang terhubung dengan WeChat. Hal ini memudahkan para gamer untuk bermain bersama teman-teman mereka. Jiwa kompetitif gamer Tiongkok juga cukup kuat. Buktinya, keinginan untuk bisa menorehkan nama di leaderboard merupakan salah satu motivasi bagi para gamer Tiongkok untuk terus bermain. Motivasi lain mereka adalah untuk mengalahkan teman-teman mereka. Jika gamer Jepang lebih senang untuk melawan AI/bot, gamer Tiongkok justru merasa lebih puas saat mereka berhasil mengalahkan pemain lain, lapor CGTN.

Namun, para gamer Tiongkok tidak melulu haus akan kemenangan dari teman-temannya. Mereka juga senang bermain game multiplayer yang memungkinkan mereka untuk bekerja sama dengan para pemain lain. Hal inilah alasan mengapa di Tiongkok, MMORPG juga cukup populer.

Satu kesamaan antara gamer Jepang dan Tiongkok adalah mereka sama-sama senang bermain mobile game dalam perjalanan. Memang, jaringan internet Jepang sudah begitu mumpuni sehingga para gamer bisa bermain di perjalanan tanpa harus khawatir akan terputus dari jaringan. Sementara di Tiongkok, alasan banyak gamer yang bermain ketika dalam perjalanan adalah karena banyak pekerja yang menghabiskan waktu hingga berjam-jam dalam perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya.

Banyak warga Tiongkok yang bermain game saat dalam perjalanan. | Sumber: Pandaily
Banyak warga Tiongkok yang bermain game saat dalam perjalanan. | Sumber: AFP via Pandaily

Berbagai studi menunjukkan, waktu rata-rata yang dihabiskan oleh warga Beijing di perjalanan adalah dua jam. Tren ini juga muncul di kota-kota besar lain di Tiongkok, seperti Shanghai, menurut laporan Pandaily. Sementara di kota-kota yang lebih kecil, seperti Jinan, waktu yang dihabiskan pekerja untuk pulang-pergi justru lebih lama. Para pekerja bisa menghabiskan waktu selama enam jam di bus setiap hari untuk pulang-pergi kantor. Alasannya klasik: macet.

Sama seperti di Tiongkok, di Korea Selatan, bermain game juga dianggap sebagai kegiatan sosial. Faktanya, semua game dalam daftar 10 game terpopuler di Korea Selatan pada 2020 merupakan game online, walau genre dari game-game itu berbeda-beda. Kegemaran gamer Korea Selatan untuk bermain game online menjadi salah satu alasan mengapa ada banyak gamer profesional berasal dari negara itu. Namun, sebenarnya, ada alasan lain mengapa banyak orang Korea Selatan yang berakhir menjadi gamer profesional.

Warga Korea Selatan dikenal dengan edukasinya yang tinggi. Sekitar 70% dari murid SMA di sana memutuskan untuk kuliah. Hanya saja, persaingan untuk masuk ke universitas bergengsi di Korea Selatan juga sangat ketat. Ikut bimbingan belajar atau menyewa tutor privat menjadi hal yang lumrah bagi para murid di Korea Selatan. Sayangnya, tidak semua orang punya uang untuk ikut bimbel atau meyewa tutor privat. Biasanya, orang-orang itu menghabiskan waktunya di PC bang alias warnet. Karena itu, jangan heran jika banyak gamer profesional Korea Selatan yang berasal dari keluarga buruh.

Namun, keuangan keluarga yang kurang memadai bukan satu-satunya alasan banyak remaja Korea Selatan memutuskan untuk menjadi gamer profesional. Tidak sedikit anak dan remaja yang menghabiskan waktunya di PC bang karena ingin menghindari masalah keluarga di rumah. Salah satu contohnya adalah Kim “WizardHyeong” Hyeong-seok, mantan pelatih tim Overwatch Seoul Dynasty. Memang, dia berhasil masuk ke sekolah elit Daewon Foreing Language High School. Namun, dia mengaku, masa kecilnya cukup bermasalah karena ibunya merupakan penyandang disabilitas sementara ayahnya keluar-masuk penjara. Bagi WizardHyeong, bermain game merupakan cara untuk melarikan diri dari masalah di kehidupan nyata, lapor WIRED.

 

Peran Pemerintah

Budaya gaming dari Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok memang tidak selalu sama. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa industri gaming di ketiga negara tersebut berkembang pesat. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya jumlah gamer di negara-negara itu.

Seperti yang bisa Anda lihat pada tabel di atas, jumlah atlet esports di Jepang jauh lebih sedikit daripada di Tiongkok atau Korea Selatan. Hal ini jadi salah satu bukti bahwa esports di Jepang memang tidak semaju seperti Tiongkok dan Korea Selatan. Selain para gamer Jepang yang memang lebih suka bermain game single-player, ada alasan lain mengapa ekosistem esports di Jepang tak terlalu berkembang, yaitu pemerintah.

Di Jepang, pachinko sangat populer. | Sumber: Wikipedia
Di Jepang, pachinko sangat populer. | Sumber: Wikipedia

Di Jepang, regulasi terkait perjudian telah ada sejak tahun 1500-an. Dan sayangnya, game sering dikaitkan dengan judi. Alasannya, karena Yakuza pernah mendulang uang dengan membuat mesin poker. Karena game sering diidentikkan dengan judi, hal ini menyulitkan para penyelenggara turnamen esports karena mereka jadi tidak bisa menyediakan hadiah berupa uang. Memang, mereka bisa menyatakan bahwa uang hadiah dari turnamen yang mereka selenggarakan merupakan bagian dari dana marketing. Hanya saja, hal itu membatasi besar total hadiah yang bisa diberikan dalam turnamen esports, yaitu 100 ribu yen, lapor ESPN.

Kabar baiknya, pandangan pemerintah Jepang akan esports mulai berubah pada 2018. Alasannya adalah karena ketika itu, muncul wacana untuk memasukkan esports ke dalam Olimpiade 2024. Dan jika pemerintah bersikukuh untuk mengekang perkembangan esports, hal itu akan merugikan Jepang. Mereka lalu mengubah regulasi yang ada. Sejak saat itu, kompetisi esports bisa menawarkan hadiah yang lebih besar. Pada Maret 2020, pemerintah Jepang bahkan mengungumumkan, mereka ingin mengembangkan industri esports.

Berbanding terbalik dengan pemerintah Jepang, pemerintah Korea Selatan justru sudah mendukung industri esports sepenuhnya dari 2 dasawarsa lalu. Mereka telah menyokong industri competitive gaming selama 20 tahun. Pada 1999, Korea Pro Gaming Association (KPGA) didirikan. Satu tahun kemudian, Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata (KBOP) mengubah KPGA menjadi Korea Esports Association (KeSPA). Dengan ini, Korea Selatan menjadi salah satu negara pertama yang punya badan esports yang diakui oleh pemerintah. KeSPA bahkan menjadi anggota dari Komite Olimpiade Nasional di Korea Selatan.

Tahun lalu, pemerintah Korea Selatan masih mendukung industri esports, lapor Niko Partners. Pada Mei 2020, KBOP mengumumkan rencana mereka untuk mempromosikan industri game dalam lima tahun ke depan. Rencana ini terdiri dari empat pilar. Pertama, membuat regulasi yang mendorong pertumbuhan industri game. Kedua, menyokong para startup yang menyasar pasar asing. Ketiga, mengedukasi masyarakat akan keuntungan game dan memperkuat ekosistem esports. Terakhir, memperkuat pondasi dari industri game.

Korea Selatan juga memperkenalkan Esports Fair Trade Committee (Esports FTC) pada Juni 2020. Tujuan dari Esports FTC adalah untuk menyelesaikan pertengkaran yang terjadi di industri esports. Selain menciptakan regulasi dan badan otoritas baru, pemerintah Korea Selatan juga menyetop Esports Promotion Advisory Committee. Harapannya, proses administrasi di dunia esports bisa menjadi lebih efektif.

Pemerintah Tiongkok akui gamer pro sebagai pekerjaan resmi. | Sumber: Sportskeeda
Pemerintah Tiongkok akui gamer pro sebagai pekerjaan resmi. | Sumber: Sportskeeda

Pemerintah Tiongkok cukup mendukung perkembangan industri esports. Misalnya dengan mengakui pemain profesional sebagai pekerjaan resmi. Selain itu, ada beberapa pemerintah kota yang ingin menjadikan kotanya sebagai pusat esports, seperti Shanghai. Namun, di industri game, pemerintah Tiongkok cukup ketat. Perusahaan asing yang ingin meluncurkan game-nya di Tiongkok harus bekerja sama dengan publisher lokal. Karena itulah, perusahaan game besar sekalipun, seperti Activision Blizzard atau PUBG Corp., harus bekerja sama dengan Tencent untuk meluncurkan game mereka di Tiongkok, seperti yang disebutkan oleh Niko Partners.

Pada 2018-2019, pemerintah Tiongkok juga memperketat regulasi terkait game. Selama sembilan bulan pada 2018, peluncuran game baru di sana sempat terhenti. Alasan pemerintah Tiongkok memperketat regulasi terkait game adalah untuk meminimalisir risiko kecanduan bermain game pada anak-anak dan remaja. Memang, salah satu regulasi baru yang pemerintah Tiongkok buat adalah regulasi anti-candu untuk mobile. Regulasi itu sebenarnya bukan barang baru. Pemerintah Tiongkok telah memperkenalkannya untuk game PC pada 2007. Hanya saja, mereka lalu menetapkan regulasi serupa untuk mobile game.

Industri game dan esports tidak berdiri sendiri. Infrastruktur internet punya peran penting dalam perkembangan industri game atau esports di sebuah negara. Di Jepang, salah satu alasan mengapa industri game bisa tumbuh pesat adalah karena keberadaan jaringan internet yang mumpuni. Jaringan internet di Jepang merupakan salah satu jaringan terbaik di dunia. Bahkan jika dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat pun, keccepatan internet Jepang masih lebih tinggi, seperti yang disebutkan oleh Mahana Corp.

Salah satu alasan mengapa Jepang bisa punya jaringan internet yang sangat baik adalah karena pemerintah mengharuskan perusahaan telekomunikasi besar untuk memberikan akses internet ke perusahaan-perusahaan yang lebih kecil. Tujuannya adalah agar para perusahaan penyedia internet akan terus bersaing dengan satu sama lain sehingga kualitas internet naik dan harga tidak melonjak.

Pemerintah Jepang dan Korea Selatan mendorong para ISP untuk saling berkompetisi demi meningkatkan kualitas internet. | Sumber; Deposit Photos
Pemerintah Jepang dan Korea Selatan mendorong para ISP untuk saling berkompetisi demi meningkatkan kualitas internet. | Sumber: Deposit Photos

Soal internet, Korea Selatan juga tidak kalah dari Jepang. Dan sama seperti Jepang, pemerintah punya peran penting dalam mengembangkan internet di sana, menurut laporan IDG Connect. Pemerintah Korea Selatan memutuskan untuk tidak meregulasi sektor internet dengan ketat. Mereka hanya memastikan bahwa syarat untuk menjadi Internet Service Provider (ISP) tidak sulit. Tujuannya adalah untuk mendorong kompetisi. Dan cara yang digunakan pemerintah Korea Selatan bekerja dengan baik. Meskipun para ISP merupakan perusahaan swasta, mereka bisa membangun jaringan internet ke seluruh Korea Selatan. Dengan begitu, internet bisa diadopsi dengan cepat.

Pada 1995, jumlah pengguna internet di Korea Selatan hanya mencapai 1% dari total populasi. Di tahun yang sama, pemerintah memulai proyek Korean Information Infrastruktur, yang akan berjalan selama 10 tahun ke depan. Pada 2000, jumlah pengguna internet Korea Selatan naik menjadi 20 juta orang dari total populasi 45 juta orang.

Berbeda dengan Jepang dan Korea Selatan, Tiongkok membatasi jumlah ISP. Di sana, tiga ISP utama yang beroperasi adalah China Telecom, China Mobile, dan China Unicom. Ketiganya merupakan perusahaan milik negara. Dan masing-masing perusahaan itu punya wilayah masing-masing. Menurut China Briefing, China Telecom menguasai bagian selatan Tiongkok, sementara China Unicom menguasai daerah Utara, dan China Mobile bertanggung jawab atas kawasan pusat/timur.

 

Penutup

Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan memang negara maju. Namun Indonesia adalah negara berkembang. Dari segi kecepatan internet, Korea Selatan merupakan negara dengan kecepatan rata-rata internet nomor dua, berdasarkan Opensignal, per Mei 2020. Kecepatan rata-rata internet Korea Selatan adalah 59 Mbit/s. Sementara Jepang ada di posisi ke-4 dengan kecepatan rata-rata 49,3 Mbit/s. Di Indonesia ada di posisi ke-80 dengan kecepatan rata-rata 9,9 Mbit/s.

Kabar baiknya, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, berusaha untuk melakukan pemerataan jaringan internet. Salah satunya adalah dengan membangun kabel serat optik Palapa Ring. Kabar buruknya, pemerintah tampaknya juga lebih peduli dengan internet “bersih” daripada internet cepat.

Anda pasti tahu bahwa beberapa tahun lalu, Menteri Kominfo Indonesia sempat mempertanyakan apa guna internet cepat, yang kemudian menjadi meme. Pada 2017, Kemenkominfo mengeluarkan Rp194 miliar untuk membeli mesin pengais (crawling) konten negatif. Ironisnya, ketika saya mencari “internet bersih Indonesia” di Google, hasil pencarian pertama yang muncul adalah cara untuk memblokir “internet positif”.

Meskipun begitu, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa mereka akan mendukung industri game dan esports. Buktinya, di esports menjadi cabang eksibisi di Asian Games 2018. Pada 2020, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) menyatakan esports sebagai cabang olahraga berprestasi. Selain itu, KONI juga mengungkap, mobile game MOBA buatan Indonesia, Lokapala, juga akan menjadi cabang olahraga eksibisi di PON 2021.

Meski begitu, seperti yang sebelumnya kami tuliskan saat membahas soal industri cloud gamingmasih ada banyak PR berat yang harus diselesaikan pemerintah soal infrastruktur dan kebijakan terkait jaringan internet di Indonesia — yang akan jauh lebih relevan dan berpengaruh pada kemajuan esports tanah air ketimbang sekadar gestur atau retorika belaka.

So, the outlook in Indonesia might not look so good, but it could have been worse. 

Riset: Bermain Game Mengurangi Kesepian di Kala Pandemi Namun Juga Meningkatkan Kecemasan.

Game merupakan salah satu industri yang justru tumbuh selama pandemi. Alasannya, banyak orang yang menjadikan game sebagai alat pelarian dari realita. Selain itu, game juga menjadi tempat bagi orang-orang untuk berkumpul bersama teman dan keluarga mereka tanpa perlu keluar rumah.

Pada akhir 2020, My.Games mengadakan survei untuk mengetahui tingkat kesadaran gamer akan kesehatan mental. Untuk itu, mereka bekerja sama dengan International Game Developers Association (IGDA), Fair Play Alliance, dan organisasi nirlaba Take This, yang punya misi untuk membuat komunitas gaming menjadi lebih ramah pada para gamer dan developer yang mengalami masalah mental. Survei My.Games ini diikuti oleh lebih dari 21 ribu gamer yang berumur setidaknya 14 tahun di kawasan Amerika Serikat, Eropa, dan Eropa Timur.

Chief Marketing Officer My.Games, Elena Grigoryan mengatakan, mereka mengadakan survei ini demi mengetahui tren kesehatan mental di kalangan para gamer. Tujuan akhir mereka adalah untuk membuat ekosistem gaming yang lebih sehat.

 

Kebanyakan Gamer Sadar Pentingnya Kesehatan Mental

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh My.Games, diketahui bahwa mayoritas gamer di AS, Inggris, Rusia, Prancis, Jerman, dan Spanyol sudah menyadari betapa pentingnya kesehatan mental. Sayangnya, tidak semua gamer paham akan pengertian dari kesehatan mental. Misalnya, di Jerman, jumlah gamer yang mengerti konsep kesehatan mental hanya mencapai 28%, sementara di Prancis, angka ini naik sedikit menjadi 29%. Kabar baiknya, jumlah gamer yang paham akan pengertian kesehatan mental jauh lebih banyak di Rusia (40%), Spanyol (53%), Amerika Serikat (76%), dan Inggris (79%).

Hasil survei di AS, Inggris, Rusia, Prancis, Jerman, dan Spanyol. | Sumber: VentureBeat
Hasil survei di AS, Inggris, Rusia, Prancis, Jerman, dan Spanyol. | Sumber: VentureBeat

Dari survei My.Games, juga diketahui bahwa selama lockdown, sebanyak 93% responden bermain multiplayer game. Dan sekitar 84% dari mereka mengaku bersedia untuk mengobrol dengan pemain lain. Kebanyakan gamers berkata, mereka memang sudah terbuka untuk berkomunikasi dengan gamer lain bahkan sebelum lockdown diberlakukan. Namun, sekitar 25% responden mengaku, mereka menjadi lebih aktif berinteraksi karena lockdown.

“Secara global, kami menemukan bahwa multiplayer game membantu para gamer melalui masa-masa isolasi,” kaga Executive Director, IGDA, Renee Gittins, seperti dikutip dari Pocket Gamer. “Di masa-masa sulit seperti sekarang, game menjadi alat penting untuk tetap terhubung dengan satu sama lain.”

Sementara itu, sekitar 38% responden menjadikan game sebagai alat untuk berkomunikasi dengan teman-teman mereka. Di AS, sebanyak 64% gamer menyebutkan, berinteraksi dengan gamer lain membantu mereka mengatasi rasa kesepian. Hanya 9% responden yang mengaku, menjalin komunikasi online membuat keadaan mental mereka memburuk, lapor VentureBeat. Hasil survei My.Games sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Entertainment Software Association (ESA). Pada Juli 2020, ESA mengeluarkan laporan yang menyebutkan bahwa bermain game membantu masyarakat AS untuk mengatasi rasa kesepian salama pandemi.

 

Game Tidak Selalu Menguntungkan

Bermain game memang bisa membantu seseorang untuk mengatasi rasa kesepian di selama lockdown. Namun, hal itu bukan berarti para gamer tidak mengalami masalah kesehatan sama sekali. Data dari survei My.Games menunjukkan, sebanyak 33% gamer di AS pernah mengalami gangguan kecemasan atau gangguan terkait stres lainnya selama lockdown. Angka ini sedikit turun di Inggris, menjadi 32%. Di Prancis dan Spanyol, jumlah gamer yang mengalami gangguan kecemasan hanya mencapai 15%, yang merupakan angka paling rendah.

Di Inggris dan AS, jumlah gamer yang mengalami gangguan kecemasan memang lebih tinggi dari negara-negara lain. Untungnya, gamer di kedua negara itu juga cukup aktif untuk mencari bantuan dari para ahli kesehatan mental. Sekitar 42% gamer di AS dan 38% gamer di Inggris pernah pergi ke ahli kesehatan mental selama pandemi.

kesehatan mental gamer
Hasil survei My.Games di AS. | Sumber: VentureBeat

Sekitar 63% gamer di AS menyebutkan, mereka akan meminta bantuan para ahli kesehatan mental jika mereka merasa memerlukannya. Hanya saja, di AS, para gamer masih menemui berbagai kendala untuk mendapatkan akses ke layanan ahli kesehatan mental. Salah satunya adalah biaya yang mahal.

Sementara itu, gamers di Inggris mengalami masalah yang berbeda. Meskipun jumlah gamer yang mengalami gangguan kecemasan di Inggris juga cukup banyak, kebanyakan dari mereka enggan untuk mencari bantuan dari psikolog atau psikiater. Sebanyak 74% gamers Inggris mengganggap, mereka tidak memerlukan bantuan psikolog atau psikiater untuk mengatasi masalah mental mereka dan menganggap pergi ke ahli kesehatan mental hanya buang-buang uang.

Selain itu, bermain game online juga bisa menimbulkan masalah lain, seperti cyberbullying atau online harassment. Ketika sedang bermain game online, sebanyak 57% responden mengatakan bahwa mereka mendapatkan hinaan, 52% mengaku menjadi korban trolls dan 52% menemukan orang-orang berperilaku agresif. Sekitar 10% dari responden bahkan mengklaim, bermain game online memberikan dampak buruk pada kesehatan mental mereka.

“Selama pandemi, metode utama yang kita gunakan untuk terhubung dengan teman dan keluarga adalah komunikasi online,” kata Grigoryan pada GameDaily. “Jumlah orang yang menjadikan game sebagai tempat untuk bersosialisasi bertambah pesat selama pandemi. Game adalah media hiburan yang kompleks, membuat kita merasakan emosi yang lebih kuat daripada ketika kita mengonsumsi media hiburan lain. Sayangnya, emosi yang dirasakan oleh para gamer tidak selalu positif. Dan anonimitas di internet memungkinkan seseorang untuk berlaku semena-mena tanpa harus khawatir akan konsekuensi dari tindakan mereka.”

Menurut Gittins, developer game harus sadar bahwa para gamer yang toxic masih jadi masalah besar di industri game. “Sistem moderasi, menciptakan budaya yang positif, dan memblokir orang-orang yang mengganggu pemain lain merupakan beberapa cara untuk menciptakan kondisi yang nyaman bagi semua gamers. Di tengah meningkatnya popularitas game online di tengah pandemi, peran developer untuk mengatur komunitas juga menjadi semakin penting.”

Sumber header: Deposit Photos

Road to Wild Rift Icon Series: BOOM Esports dan Aerowolf Pro Team

Tanggal 22 Februari 2021 kemarin Riot Games akhirnya mengumumkan daftar tim yang akan bertanding di dalam gelaran League of Legends: Wild Rift Southeast Asia Icon Series: Pre-Season. Turnamen tersebut akan menjadi pertunjukkan kekuatan perdana bagi tim-tim yang sudah punya nama di beberapa wilayah Asia Tenggara.

Wild Rift Icon Series merupakan turnamen League of Legends: Wild Rift buatan Riot Games selaku pengembang game tersebut, yang diselenggarakan di 7 negara Asia Tenggara dan sekitarnya. Tujuh negara tersebut adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Setiap pekan akan ada satu sajian dari salah satu negara tadi, dimulai dari Vietnam pada tanggal 26-28 Februari 2021. Indonesia mendapat giliran pada akhir pekan ke-3 bulan Maret tanggal 19-21.

Akan ada 8 tim Indonesia yang bertanding di gelaran tersebut, Aerowolf, Alter Ego, Bigetron Esports, BOOM Esports, Monochrome, MORPH, ONIC Esports, dan Victim. Bukan hanya peta kekuatan timnya yang belum terukur, kemampuan pemain-pemainnya pun belum terlihat mengingat skena Wild Rift yang masih sangat muda. Untuk menggali hal tersebut, mari kita coba berkenalan dengan tim-tim yang bertanding di Wild Rift Icon Series: Pre Season. Dimulai dari si duo serigala, BOOM Esports dan Aerowolf.

 

BOOM Esports – Melihat Hasil Asuhan Pelatih League of Legends Profesional

BOOM Esports bisa dikatakan sebagai salah satu dari beberapa pionir di skena Wild Rift. Mereka termasuk salah satu tim yang melakukan perekrutan sejak awal-awal, bahkan sebelum ada pengumuman apapun soal Wild Rift Icon Series. Apabila Anda adalah pembaca setia Hybrid.co.id, Anda mungkin sudah sempat membaca bagaimana proses dan siapa-siapa saja roster dari BOOM Esports.

BOOM Esports juga terlihat baru saja menambah roster lagi yaitu Vandyluffy yang merupakan mantan pemain profesional LoL Indonesia dan Agazzaga. Ditambah lagi, pelatih divisi Wild Rift mereka juga bukanlah sosok yang main-main yaitu OMO yang pernah menjadi pelatih di liga League of Legends profesional OPL.

Lalu, bagaimana dengan persiapan mereka sejauh ini menghadapi Wild Rift Icon Series? Saya berbincang dengan Achmad Wiyanto, Team Manager divisi Wild Rift BOOM Esports. Dalam hal proses persiapan, Achmad menceritakan. “Kami menekankan grinding rank setiap hari sebagai salah satu kewajiban dan juga keharusan peningkatan dari rank sebelumnya sebagai salah satu cara untuk berproses. Latihan tim juga ada sebagai sarana untuk bonding dan mengasah chemistry agar semakin klop nantinya.” Tutur Achmad.

Achmad lalu juga menceritakan lebih lanjut soal tantangannya mempersiapkan tim untuk saat ini. “Jujur, sejauh ini kondisi tim masih dalam tahap lose streak karena banyaknya miskomunikasi di dalam pertandingan. Tetapi hal tersebut saya rasa tergolong wajar karena mereka masih bermain secara online, tidak secara offline di bootcamp. Karena hal tersebut mereka pun jadi tergolong masih kurang bonding.”

Apabila kondisinya seperti demikian? Apakah divisi Wild Rift BOOM Esports bisa siap untuk menghadapi Wild Rift Icon Series nanti? “Manajemen sudah siap menerbangkan mereka ke Jakarta untuk menghadapi Wild Rift Icon Series nanti. Rencananya mereka semua diberangkatkan awal Maret. Saya juga cukup yakin permainan mereka akan lebih baik secara tim apabila mereka semua sudah berada di dalam satu bootcamp.” ucap Achmad. Menutup perbincangan, ia juga memberi pendapatnya soal tim-tim yang bertanding di Wild Rift Icon Series nanti. “Sebenarnya agak sulit menerka siapa yang kuat karena dunia kompetitifnya cenderung masih sempit. Tetapi sejauh ini yang saya lihat Victim tergolong kuat kalau untuk di Indonesia, apalagi mereka juga terlihat jadi juara di turnamen JD.ID Battlefield. Kalau untuk SEA, tim yang kuat itu Team Secret sih sejauh pengamatan saya.”

 

Aerowolf Pro Team – Talenta Muda Penuh Potensi

Aerowolf Pro Team terlihat baru mengumumkan roster mereka pada tanggal 7 Februari 2021 kemarin. Daftar pemainnya merupakan sosok-sosok baru, bukan merupakan mantan pemain LoL yang hijrah ke Wild Rift. Roster mereka adalah: OWENSS (ADC), FLYARTHUR (Midlaner), ERNESTI (Baron Lane), FUNZY (All Role), KOSASI (Support), dan XIAO QI (Jungler). Mengingat pengumumannya yang tergolong baru, saya juga jadi penasaran bagaimana tim ini mempersiapkan dirinya untuk menghadapi Wild Rift Icon Series. Saya pun berbincang dengan Wiyanto Yashin atau yang lebih dikenal dengan panggilan “Shin” selaku Head of Esports Aerowolf Pro Team. Soal latar belakang pemain-pemain yang jadi roster Wild Rift Aerowolf Pro Team, Shin menceritakan bahwa mereka merupakan hasil dari seleksi terbuka. “Kami waktu itu memang melakukan seleksi terbuka. Lalu para pendaftar tersebut kami pertandingkan dan keluarlah mereka (roster inti Aerowolf Wild Rift saat ini) yang jadi pemenang. Kalau bicara soal pengalaman di LoL PC, beberapa dari mereka ada yang betul-betul main ada beberapa yang lain cuma coba-coba aja sih.”

 

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by AEROWOLF PRO TEAM (@aerowolfproteam)

Lalu saya pun menanyakan soal pemain dari tim Aerowolf Pro Team sendiri yang menunjukkan potensi begitu besar. Shin pun menjawab Flyarthur. “Kalau ditanya begitu, gue rasa jawabannya Flyarthur. Kalau enggak salah dia adalah pemain ke-4 dari Indonesia yang berhasil mencapai rank Challengger. Kenapa Flyarthur? Karena dia sangat high mechanical, masih muda juga, sangat mudah beradaptasi dengan materi yang gue kasih, dan memahami banyak aspek-aspek di dalam game Wild Rift itu sendiri.”

Lalu bagaimana dengan persiapan Aerowolf Pro Team dalam menghadapi Wild Rift Icon Series? Bagaimana dengan hasil scrim yang didapatkan. “So far persiapannya memang scrim (latih tanding) saja dengan beberapa tim yang ikut Wild Rift Icon Series juga. Kalau bicarakan hasil, sejauh ini kami tergolong cukup puas karena selalu bisa belajar hal baru di setiap latih tanding. Tapi satu hal yang patut jadi sorotan adalah semua tim yang masuk undangan itu ternyata memang betul-betul jago. Apalagi tim yang dari luar negeri.” Ucap Shin kepada saya menjawab soal pengamatannya terhadap scene Wild Rift sejauh ini.

Menutup obrolan, saya pun menanyakan siapa sosok lawan tangguh yang akan mereka hadapi di pertandingan Wild Rift Icon Series. Shin pun menjawab. “Kalau disuruh sebut siapa tim invitation yang jago, gue belum punya jawaban yang detail. Salah satu alasannya adalah karena para pemain  gue juga merasa lawan scrim mereka dari tim invitational tergolong biasa aja walaupun mereka kalah. Ada satu tim yang istimewa, tapi justru di luar invitational. Mereka ada tim ex-Omega Esports yang betul-betul bisa membuat pemain gue merasa kalah skill saat melawan mereka.”

Melihat dari jawaban-jawaban para narasumber, manajemen tim sepertinya terlihat memang begitu serius dalam mempersiapkan timnya. Bagaimana dengan persiapan tim yang lain menjelang menghadapi Wild Rift Icon Series? Terus ikuti perkembangannya di hybrid.co.id.

Sumber Gambar Utama – Instagram @aerowolfproteam

Review ASUS ROG Chakram Core: Solusi Ideal Buat Masalah Doble Klik

Faktanya, tidak sedikit mouse gaming yang terjangkit penyakit paling menyebalkan buat para gamer meski baru beberapa bulan digunakan: doble klik. ASUS ROG pun nampaknya menyadari masalah ini dan menawarkan solusi yang ideal. Seingat saya, semua mouse dari ASUS ROG menawarkan fitur yang ajaib tersebut yaitu hotswappable switches — termasuk ROG Chakram Core yang akan saya ulas kali ini.

Seperti biasanya, saya harus mengatakan bahwa setiap review gaming peripheral selalu subjektif. Pasalnya, setiap kita punya ukuran tangan (atau kepala dan telinga untuk headset/headphone), kebiasaan, ataupun pengalaman yang berbeda-beda. Ukuran tangan, misalnya, akan sangat berpengaruh terhadap kenyamanan mouse yang Anda gunakan. Di sisi lain, ekspektasi kita juga akan berubah seiring dengan seberapa banyak pengalaman yang kita punya.

Sebagai justifikasi atas review kali ini, selain memang sudah mencoba puluhan gaming peripheral sepanjang karier saya di media game selama 12 tahun lebih, saya sendiri memang punya masalah dengan belanja impulsif untuk gaming peripheral. Saat ini, saya bahkan punya 6 mouse dan 5 keyboard (bertambah 1 dari review saya sebelumnya wkwkwk).

Satu lagi, berbeda seperti kebanyakan review saya sebelumnya yang saya beli sendiri, ASUS Indonesia yang mengirimkan ROG Chakram Core ini. Meski begitu, hal tersebut tidak akan mengubah penilaian saya.

Tanpa basa-basi lagi, inilah review ASUS ROG Chakram Core.

 

Build Quality

Berhubung ASUS ROG adalah brand jeroan yang mengenalkan lini gaming pertama di dunia, yang dikenalkan sejak 2006, saya kira mereka sudah paham betul bagaimana menawarkan produk dengan kualitas yang bisa diacungi jempol. Tidak terkecuali Chakram Core kali ini.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Bodi utamanya sangat solid dengan finishing yang istimewa. Sayangnya, bodi atas mouse ini mungkin sedikit terlalu tipis — mungkin karena Chakram Core menyuguhkan opsi bodi atas yang bisa dibuka dengan mudah hanya dengan tangan Anda. Saya pribadi tidak ada masalah dengan keputusan itu karena saya belum pernah barbar membanting mouse dalam kondisi apapun. Plus, dengan bodi atas yang bisa dibuka tadi, Anda bisa dengan mudah mengganti switch mousenya ataupun membersihkannya. Pasalnya, saya sendiri lebih sering bermasalah dengan mouse yang kotor ketimbang mouse yang rusak karena dibanting atau dilempar.

Selain itu, bodi atas yang bisa dibuka tadi semi transparan atau frosted — istilah gaulnya. Jadi, Anda bisa melihat cahaya lampu di bawah bodi atas tadi. Di bawah bodi atas ini, ada lampu yang juga ditutupi plastik berlogo ROG. Jika Anda mau, Anda bisa melepas plastik itu untuk menghilangkan logo ROG. Jika di ROG Chakram (yang wireless), Anda akan mendapatkan satu buah plastik bulat tambahan tanpa gambar yang bisa Anda hias sendiri. Sayangnya di versi Chakram Core ini (wired), ROG tidak memberikan bonus tersebut.

Selain bodi mouse, tentu saja switch yang digunakan menjadi bagian krusial dari mouse gaming. Chakram Core menggunakan switch Omron — yang sepengalaman saya, sering terjangkit dengan doble klik. Namun demikian, seperti yang saya tuliskan sebelumnya, semua mouse ROG menyuguhkan fitur hotswappable switch. Jadi, kalaupun satu saat mouse Anda sudah doble klik, Anda bisa menggantinya dengan cepat dan mouse Anda akan terasa kembali seperti baru.

Switch Omron bisa Anda beli terpisah dengan harga belasan ribu Rupiah (saat artikel ini ditulis). Separah-parahnya jari Anda menggunakan mouse ini sehingga harus ganti switch sebulan sekali, ongkos yang harus Anda keluarkan dalam setahun masih sangat murah — dibanding Anda harus membeli mouse gaming baru setiap tahun.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Oh iya berbicara soal hotswappable switch, di paket penjualan ROG Chakram yang wireless, Anda akan mendapatkan bonus switch juga (2 buah jika saya tidak salah ingat). Namun di Chakram Core, Anda tidak akan mendapatkan bonus switch tambahan. Meski begitu, saya rasa hal ini juga tidak jadi masalah yang berarti mengingat harga switch mouse memang murah meriah.

Untuk urusan build quality, plus hotswappable switch-nya, saya kira Chakram Core bisa dibilang sebagai salah satu yang terbaik yang pernah saya pakai — mengingat kita harusnya tidak akan pernah ganti gaming mouse lagi hanya gara-gara doble klik.

 

Performa dan Kenyamanan

Sumber: Asus.com
Semua yang bisa Anda dapat dari paket penjualan Chakram Core. Sumber: rog.asus.com

Dari sisi kecepatan, switch Omron memang sebenarnya sudah sangat ideal. Switch ini memang begitu ringan sehingga memungkinkan Anda bereaksi dengan cepat. Meski begitu, seperti yang saya bilang, semua mouse saya yang doble klik menggunakan switch Omron. Makanya, solusi hotswappable switches itu memang sangat menggoda. Anda tetap bisa merasakan klik yang cepat namun Anda tak perlu lagi khawatir dengan durabilitasnya.

Di Chakram Core ini, ROG juga menyuguhkan satu pemberat yang bisa dipasangkan jika Anda merasa mousenya terlalu ringan. Sayangnya, pemberat ini kurang signifikan — saya masih merasa mouse ini terlalu ringan. Namun, saya pikir bobot mouse ini tak terlalu krusial karena semua mouse yang pernah saya coba masih ada dalam batas wajar, termasuk Chakram Core. Satu hal yang lebih penting dari bobot mouse adalah bentuk dan ukurannya, yang akan sangat berpengaruh pada kenyamanan kita menggunakannya — yang akhirnya berpengaruh pada performa kita.

Chakram Core cukup ideal buat tangan saya yang berukuran sedang, lebarnya pas meski sedikit terlalu panjang. Sebagai perbandingan, Razer Naga Pro buat saya sedikit terlalu pendek dan buntek meski masih nyaman digunakan. Sedangkan Chakram Core mungkin lebih mirip bentuknya dengan Razer Basilisk V2 yang lebih lonjong.

Untuk sensornya, mouse ini dibekali dengan sensor yang mendukung 100 sampai 16.000 DPI dan 400 IPS (inches per second). Meski menurut saya sensitivitas itu memang hiperbolis layaknya gaming mouse kebanyakan karena, saya yang tadinya sempat menggunakan 2000-5000 dpi saja, akhirnya kembali menggunakan 800-1000 dpi. Namun demikian, saya tidak menemukan masalah apapun saat menggunakannya. Meski memang sebenarnya sudah jarang sekali saya menemukan mouse gaming dengan sensor yang terlalu licin atau terlalu lambat untuk produk-produk yang ada di pasaran sekarang.

 

Programmable Joystick

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Inilah fitur paling unik dari ROG Chakram Core (termasuk versi wireless-nya). Ia dilengkapi dengan joystick yang ada di sisi kiri bodi. Letaknya cukup nyaman dan terjangkau meski tak semuanya sama-sama ideal. Untuk arah depan, atas, dan bawah, saya bisa menjangkaunya dengan cepat tanpa perlu menyesuaikan posisi tangan. Namun untuk arah belakang (ditarik ke arah pengguna), saya harus sedikit menyesuaikan diri. Meski begitu, Chakram Core juga menyediakan 2 tombol lagi di bodinya yang mudah terjangkau. Jadi, mouse ini juga sangat cocok untuk para pemain RPG seperti saya yang butuh banyak tombol.

Joystick-nya juga bisa digunakan untuk mode analog, menggantikan fungsi analog di gamepad. Meski berfungsi dengan baik (walau sedikit repot karena harus mengubah settingan di Steam di setiap game), sayangnya, menurut saya, butuh adaptasi yang terlalu panjang untuk bisa memanfaatkan fitur analog ini dengan cepat. Alasannya, kita sudah jauh terbiasa menggunakan tangan kiri untuk arah bergerak– baik sedang menggunakan keyboard ataupun gamepad (analog kiri). Di sisi lain, untuk analog kanan, yang biasanya digunakan untuk mengubah kamera atau aiming, fungsi default mouse jauh lebih nyaman dan cepat.

Jadinya, saya rasa joystick ini lebih berguna buat tambahan tombol yang bisa Anda gunakan untuk makro ataupun tombol lainnya — ketimbang mode analog-nya.

 

ROG Armoury Crate

Screenshot: Armoury Crate
Screenshot: Armoury Crate

Jika saya harus mencari kekurangan terbesar dari Chakram Core, anehnya, kekurangan tersebut datang dari software-nya — mengingat saya suka semua aspek dari fisiknya. Kekurangan tersebut juga membuat saya jadi sedikit enggan menggunakan mouse ini.

Pertama, saya sempat bermasalah saat menginstal software Armoury Crate. Apapun yang saya lakukan, software tersebut stuck saat startup. Saya bahkan menghabiskan waktu 2 jam hanya untuk mencoba berbagai cara. Meski sudah habis 2 jam, saya pun tak berhasil membuat software ini berjalan. Akhirnya, saya pun terpaksa Reset PC (kalau dulu istilahnya install ulang Windows). Setelah saya melakukan reset tadi, barulah software-nya berjalan dengan normal.

Setelah berjalan normal saya pun bisa menjajal banyak hal dari software tersebut. Buat saya, Armoury Crate sangat tidak efisien karena juga mengatur setting berbagai komponen lainnya — seperti RGB yang terkait dengan motherboard (jika Anda punya motherboard ASUS) dan RGB memory untuk brand-brand yang didukung. Mungkin karena software ini mengatur banyak jeroan lainnya juga, makanya saya tidak berhasil menginstall-nya sebelum Reset PC (bisa jadi konflik dengan software lainnya).

Armoury Crate juga dijejali fitur yang bagi saya kurang penting, seperti daftar game-game yang terinstall, berita, ataupun deals. Sedihnya, justru fitur yang lebih penting malah tidak berjalan dengan baik di sini. Fungsi macro ‘Auto-Walk’ (tahan ‘W’) selalu saya gunakan di semua peripheral saya — karena saya gamer malas. Ada 2 cara yang biasa saya lakukan untuk mendapatkan fungsi tersebut.

Screenshot: Armoury Crate
Screenshot: Armoury Crate

Cara pertama, yang bisa dilakukan di Razer Synapse misalnya, membuat satu tombol atau makro jadi ‘toggleable’. Jadi Anda pencet satu kali untuk mengaktifkan fungsi tahan ‘W’ dan pencet sekali lagi untuk mematikan fungsi itu. Di Armoury Crate, ada fungsi ‘toggleable’ sebenarnya namun hasilnya malah aneh. Di Razer Synapse, jika Anda menggunakan fungsi tersebut, software-nya akan menerjemahkan seolah Anda menahan tombolnya. Misalnya, W…… dan seterusnya sampai dipencet lagi tombol yang sama. Namun di Armoury Crate, softwarenya akan menerjemahkan seolah Anda memencet tombol berkali-kali. Seperti, ‘wwwwwwwww’. Di fungsi teks, hasilnya memang akan sama tapi di game jika Anda memencet tombol movement berkali-kali (bukannya ditahan); karakter Anda seperti sedang kejang-kejang.

Cara lainnya untuk mengaktifkan fungsi Auto Walk adalah dengan menghapus fungsi lepas tombol. Jika Anda merekam input key, program macro biasanya akan merekam kapan saat tombol dipencet dan kapan dilepas. Saya biasanya menghilangkan input saat tombol dilepas di urutan/sequence makro. Jadinya, Anda seperti membohongi PC seolah masih menekan tombol padahal tidak. Sayangnya, jika Anda menggunakan trik ini di Armoury Crate, software-nya malah CTD (Crash to Desktop) atau hang.

Kekurangan dari sisi software ini sangat disayangkan sebenarnya karena saya suka sekali dengan fisik/hardware Chakram Core — tapi saya juga tidak bisa hidup tanpa software rebinding dan makro yang baik. Di sisi lain, seperti yang saya tuliskan tadi, karena Armoury Crate ini komprehensif dan bisa terhubung dengan banyak jeroan ASUS ataupun brand memory lainnya; Anda bisa mendapatkan satu software terintegrasi yang bisa mengatur banyak komponen.

Sayangnya, jika Anda tidak menggunakan jeroan ASUS, software-nya jadi kurang efisien jika hanya untuk gaming peripheral. Semoga saja, ASUS mau merilis versi Armoury Crate yang lebih efisien (khusus untuk gaming peripheral saja) dan memperbaiki error yang saya ceritakan tadi saat bermain-main dengan makro.

 

Kesimpulan

Jujur saja, saya dilema dengan mouse ini. Di satu sisi, bodi dan fitur fisiknya ideal buat saya. Ada 6 tombol (4 dari joystiknya) yang programmable di bodi kiri mouse, mudah dibersihkan, dan imun terhadap penyakit doble klik — siapkan beberapa mouse switch cadangan dan Anda tak perlu risau lagi dengan masalah itu.

Sumber: Asus.com
Sumber: rog.asus.com

Tapi di sisi lain, software-nya masih banyak sekali kekurangan karena tidak efisien dan fungsi makro-nya bermasalah. Kekurangan software ini buat saya deal-breaker karena saya benar-benar suka bermain-main dengan software gaming peripheral.

Meski begitu, saya kira software akan lebih mudah diupdate satu saat nanti — asalkan memang mau dan saya tahu ASUS sendiri juga harusnya punya kapabilitas untuk itu. Selain itu, saya tahu bahwa sebagian besar gamer juga tak terlalu butuh dengan software untuk gaming peripheral mereka.

Jadi, jika Anda benar-benar sudah jengah dengan masalah doble klik dan ingin mouse dengan tombol yang cukup banyak namun tak (terlalu) butuh software, ROG Chakram Core sungguh layak dipertimbangkan untuk jadi mouse gaming baru Anda.

Di Balik Rencana Besar EA Suguhkan Konten ke Pasar Mainstream

Pada 2020, jumlah penonton esports diperkirakan hampir mencapai 500 juta orang. Memang, dalam beberapa tahun belakangan, industri esports telah berkembang pesat. Tidak jarang, esports dibandingkan dengan olahraga tradisional, seperti sepak bola atau basket. Hanya saja, ada satu perbedaan besar antara esports dan olahraga konvensional. Anda harus mengerti game yang diadu untuk bisa menikmati konten esports.

Misalnya, League of Legends. Game MOBA buatan Riot Games itu merupakan salah satu game esports paling populer di dunia. Meskipun begitu, tidak semua orang mengerti game tersebut. Di Indonesia, League of Legends bahkan kalah populer dari Dota 2. Jika konten esports hanya bisa dinikmati oleh pemain game-nya yang diadu, hal itu berarti, potensi pasar fans esports akan terbatas pada jumlah keseluruhan pemainnya.

Menyadari hal ini, Electronic Arts ingin membuat esports menjadi lebih mainstream.

EA Ingin Esports Bisa Ditonton Semua Orang

“Visi kami adalah untuk membuat esports menjadi hiburan yang mainstream,” kata Todd Sitrin, ‎Senior Vice President and General Manager, Competitive Gaming Division, EA, seperti dikutip dari Protocol. Lebih lanjut dia menjelaskan definisi “mainstream“, yaitu ketika konten esports bisa dinikmati oleh semua orang, termasuk orang-orang yang tidak memainkan game esports. Dia membandingkan konten esports dengan reality show, The Great British Bake-Off. “Saya tidak suka memasak, tapi saya menonton The Great British Bake-Off karena acara itu memang seru,” ujarnya.

ea esports mainstream
EA punya game-game berdasar pada olahraga konvensional.

Visi EA untuk membuat konten esports bisa ditonton non-gamer sejalan dengan portofolio game yang mereka miliki. Selama ini, EA telah meluncurkan berbagai franchise game yang didasarkan pada olahraga konvensional, seperti FIFA untuk sepak bola atau Madden untuk american football. Selain itu, EA juga menyelenggarakan berbagai kompetisi esports dari game-game mereka, seperti FIFA Global Series.

Sitrin menjelaskan, target penonton utama mereka untuk kompetisi esports FIFA adalah para core gamer dari game sepak bola tersebut. Target audiens mereka berikutnya adalah para pemain game FIFA, yang mencapai 100 juta orang. Setelah itu, EA lalu akan menargetkan para fans sepak bola. Sitrin merasa, fans sepak bola adalah penonton potensial untuk konten esports FIFA. Jika dibandingkan dengan jumlah fans esports, jumlah penggemar sepak bola jauh lebih banyak, mencapai 4 miliar orang.

“Selama 20 tahun terakhir, konten esports disajikan dengan cara yang sama,” kaat Sitrin. “Dua orang akan menjadi komentator. Salah satunya akan memberikan penjelasan tentang apa yang sedang terjadi, sementara seorang lainnya akan memberikan analisanya.” EA merasa, cara penyajian konten seperti ini sama seperti model presentasi dari kompetisi olahraga tradisional. Dan mereka menganggap, sudah waktunya model ini berubah.

 

Konten Esports yang EA Buat

Salah satu contoh kompetisi esports dari EA adalah FIFA eWorld Cup. Sama seperti kebanyakan kompetisi esports lainnya, FIFA eWorld Cup fokus untuk mengadu para gamer profesional terbaik dunia. Namun, ke depan, EA juga ingin menonjolkan elemen hiburan dari konten esports. Tujuannya agar semua orang bisa menikmati konten esports,

Salah satu contoh konten esports buatan EA yang fokus pada elemen hiburan dan bukannya kompetisi adalah Derwin James vs. The World. Seri tersebut menampilkan pertandingan antara Derwin James, pemain liga american football NFL dengan berbagai selebriti di game Madden. Konten seperti ini bisa menarik para non-gamer yang merupakan fans Derwin James atau selebriti yang diundang. Salah satu harapan EA membuat konten yang fokus pada elemen hiburan adalah untuk mendapatkan pemasukan via sponsorship atau menjual hak siar dari konten mereka. Pada saat yang sama, mereka juga ingin menarik para penonton untuk memainkan game mereka.

ea esports mainstream
Derwin James vs. The World mengadu pemain profesional NFL melawan para selebritas.

“Kami mengakuisisi penonton baru melalui konten yang fokus pada sisi hiburan,” ujar Sitrin. “Misalnya, seseorang menjadi tertarik menonton karena dia adalah fan dari selebriti yang kami undang. Kemudian, kami akan menunjukkan pada para penonton bahwa para atlet profesional pun ikut terjun di esports. Rencana kami adalah untuk membuat orang-orang yang awalnya tidak tertarik menonton menjadi penonton, lalu kami akan membuat para penonton menjadi seorang penggemar.”

Selain Derwin James vs. The World, EA juga membuat reality show dari The Sims. Dalam reality show berjudul The Spark’d itu, ada 12 peserta yang bertanding untuk menyelesaikan berbagai tantangan desain dalam The Sims. Hadiah yang ditawarkan dalam The Spark’d mencapai US$100 ribu.

“The Spark’d adalah contoh sempurna dari strategi kami untuk menampilkan konten esports yang menonjolkan aspek hiburan,” jelaa Sitrin. Dia membanggakan, The Spark’d lebih inklusif dari kebanyakan kompetisi esports. “Hampir 90% dari peserta The Spark’d adalah perempuan. Jumlah peserta perempuan di sini jauh lebih banyak dari kompetisi-kompetisi esports lain.”

ea esports mainstream
The Spark’d adalah salah satu contoh konten esports EA yang fokus pada hiburan.

Keputusan EA untuk mengakuisisi Codemasters juga sejalan dengan strategi esports mereka. Selama ini, Codemasters dikenal sebagai developer dari berbagai franchise game balapan, mulai dari DiRT, GRID, sampai F1. Mengingat proses akuisisi Codemasters oleh EA telah selesai, di masa depan, EA akan bisa mengadakan kompetisi esports balapan berdasarkan game balapan buatan Codemasters. Kabar baiknya, ekosistem esports balapan tumbuh pesat pada tahun lalu dan diperkirakan masih akan berkembang pada tahun ini.

Secara teori, rencana EA untuk membuat esports bisa ditonton lebih banyak orang memang bagus. Namun, pekerjaan rumah mereka masih banyak. Pasalnya, jumlah penonton dari kompetisi esports yang mereka adakan masih relatif sedikit.

FIFA 21 Challenge — yang memasangkan pesepak bola terbaik dunia dengan pemain esports FIFA profesional — merupakan kompetisi esports EA terpopuler sepanjang sejarah. Jumlah Average Minute Audience (AMA) dari kompetisi itu mencapai 254 ribu orang. Hanya saja, angka itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan jumlah penonton babak final dari League of Legends World Championship Final, yang mencapai 23 juta orang.

Kenapa Tidak Semua Game Kompetitif Sukses Berkembang Jadi Esports?

Kenapa League of Legends lebih besar sebagai esports di tingkat internasional ketimbang Dota 2? Kenapa CS:GO bisa menjadi fenomena esports yang besar di Eropa dan Amerika, namun nafasnya kini sekarat di Indonesia ataupun Asia Tenggara? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sempat terbesit di kepala Anda. Apalagi bila Anda adalah pemain atau mungkin penggemar esports dari game-game tersebut.

Lalu apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas? Kenapa satu game bisa populer esports, sedangkan game lainnya seperti kalah pamor? Dalam artikel ini saya akan mencoba membahas dan mencari tahu faktor-faktor apa yang bisa membuat sebuah game sukses sebagai esports. Berikut pembahasannya.

 

Berkaca Dari Industri Olahraga

Apabila Anda sempat membaca artikel saya yang lainnya, Anda mungkin sadar kalau saya beberapa kali membandingkan atau menggunakan industri olahraga sebagai referensi dalam menjelaskan fenomena di esports. Salah satu alasannya adalah karena saya merasa esports memiliki sekian banyak kesamaan dengan industri olahraga pada beberapa aspek.

Pembahasan di dalam artikel saya kali ini juga terinspirasi dari pembahasan terkait industri olahraga yang dilakukan di salah satu video milik channel YouTube bernama Atheltic Interest. Video yang menjadi inspirasi saya adalah video yang berjudul “Kenapa olahraga bola basket lebih menjual ketimbang baseball.”

Video Athletic Interest dibuat dengan menggunakan bahasa Inggris berdasarkan dari tulisan milik Steffan Heuer yang ditulis dalam bahasa Jerman. Tulisan milik Steffan Heuer sendiri terbit di sebuah majalah bisnis olahraga bernama Brandeins. Dalam pembahasannya, Steffan mengatakan bahwa ada empat faktor yang secara umum membuat bola basket jadi lebih populer secara internasional ketimbang baseball.

Pertama, permainan baseball tergolong lebih rumit ketimbang bola basket. Kedua, durasi pertandingan baseball terlalu panjang. Ketiga, musim liga juga terlalu panjang. Keempat, negara asal pemain bintang baseball kurang beragam.

Saya akan membahas maksud dari poin-poin yang disebut oleh Steffan secara singkat. Lebih lengkapnya Anda bisa tonton video tersebut atau mungkin menggunakan Google Translate untuk membaca tulisan bahasa Jerman milik Steffan Heuer.

Soal faktor pertama, Steffan Heuer membandingkan tingkat kerumitan kedua olahraga tersebut dengan menggunakan ketebalan rulebook dari kedua olahraga tersebut. Liga utama baseball yaitu MLB memiliki total 188 halaman rulebook sementara liga utama bola basket NBA hanya 68 halaman saja. Banyaknya peraturan membuat olahraga baseball tergolong jadi lebih rumit, walau permainan tersebut sebenarnya terlihat sesederhana satu orang melempar bola dan satu orang memukulnya.

Selanjutnya pada faktor kedua, durasi permainan juga jadi faktor lain kenapa bola basket bisa lebih populer ketimbang Baseball. Durasi bersih dari pertandingan bola basket adalah 48 menit (4 quarter selama 12 menit). Ditambah dengan timeout ataupun gimmick half-time show, maka durasi paling lama dari tayangan pertandingan bola basket menjadi sekitar dua jam. Sementara itu, dua jam adalah durasi paling singkat dari pertandingan Baseball. Bahkan sempat ada pertandingan baseball berjalan selama 8 setengah jam dan berlangsung selama dua hari di tahun 1981.

Lalu soal faktor ketiga. Steffan menjelaskan bahwa ada 162 pertandingan dalam musim liga yang berjalan selama 6 bulan (sekitar 27 pertandingan dalam sebulan). Ditambah lagi, babak final Baseball juga dipertandingkan secara best-of 7. Dengan durasi pertandingannya, pertandingan best-of 7 bisa jadi diselenggarakan dalam satu bulan penuh atau mungkin lebih.

Lalu faktor terakhir adalah karena bintang-bintang olahraga baseball yang kebanyakan berasal dan hanya dikenal di Amerika Serikat saja. Bagaimana dengan bola basket? Kalau Anda mengikuti liga NBA, Anda mungkin tahu bahwa beberapa pemain bintang bola basket datang dari luar Amerika Serikat. Contohnya seperti Dirk Nowitzki yang berasal dari Jerman atau Yao Ming yang berasal dari Tiongkok.

Selain dari empat faktor inti tersebut, ada juga faktor faktor lain yang dijelaskan singkat di video tersebut. Faktor lain termasuk seperti invesasi NBA di Tiongkok dengan cara membangun lapangan-lapangan basket dan bahkan membangun kantor di sana. Investasi tersebut pun cukup berhasil membuat bola basket dikenal di negeri tirai bambu.

Sumber Gambar - Video Athletic Interests
Beberapa bentuk investasi NBA yang dilakuan di Tiongkok. Sumber Gambar – Video Athletic Interests

Faktor lain yang terakhir juga datang dari sisi perlengkapan yang dibutuhkan. Untuk bermain bola baseball, Anda butuh perlengkapan yang macam-macam dan mahal harganya. Lapangannya juga harus luas. Sementara bola basket? Tanpa perlengkapan pun sebenarnya bisa saja, asalkan Anda pakai sepatu, baju dan celana yang leluasa digunakan saat bergerak secara aktif, lapangan kecil dengan dilengkapi tiang basket, dan sebuah bola.

Empat faktor dan beberapa faktor tambahan tersebut adalah beberapa hal yang membuat bola basket jadi lebih menjual ketimbang dari baseball. Berdasarkan dari penjelasan milik Steffan Heuer di atas, saya menangkap bahwa olahraga bola basket jadi lebih menjual karena permainannya yang lebih sederhana, durasinya singkat dan penuh aksi, pertandingan liganya cocok membuat penonton jadi lebih tertarik, dan karena bola basket dianggap sebagai olahraga internasional.

Empat poin tersebut sebenarnya bisa dikelompokkan lagi menjadi dua. Ada faktor internal dan faktor eksternal. Apa maksudnya faktor internal adalah faktor daya tarik dari permainannya itu sendiri. Kalau faktor eksternal? Ialah dorongan dari pihak tertentu untuk membuat sebuah permainan jadi dikenal dan diterima lebih banyak orang.

Berdasarkan penjelasan Steffan, maka faktor pertama dan kedua bisa digolongkan sebagai faktor internal karena menjelaskan apa yang jadi daya tarik dari olahraga permainan bola basket. Faktor ketiga dan keempat bisa digolongkan sebagai faktor eksternal, karena dua faktor tersebut adalah penjelasan soal apa yang dilakukan NBA agar pertandingan bola basket jadi bisa dinikmati orang-orang dan membuatnya jadi lebih dikenal secara internasional.

Sekarang, mari coba kita lihat apakah faktor-faktor tersebut juga berlaku dari sisi esports.

 

Bagaimana Beberapa Game Bisa Populer Menjadi Esports

Menurut saya, empat faktor tersebut sebenarnya masih bisa ditranslasikan ke dalam esports. Faktor pertama dan kedua adalah daya tarik game-nya itu sendiri yang bisa diartikan sebagai aspek gameplay. Faktor ketiga dan keempat adalah bagaimana usaha developer/publisher mempromosikan game-nya dan merancang ekosistem esports game terkait agar jadi dapat dinikmati para penggemarnya dan membuatnya jadi lebih dikenal secara internasional.

Berdasarkan dari apa yang saya tangkap dalam penjelasan Steffan, faktor internal tetaplah menjadi faktor penting alasan kenapa olahraga permainan bisa populer. Karena mungkin saja perkembangan industri olahraga sebenarnya mirip seperti esports kini.

Mirip bagaimana? Berawal dari penciptaan permainannya terlebih dahulu, lalu permainan tersebut mulai dimainkan, dan menarik minat banyak orang. Setelah ada banyak orang tertarik, kompetisi mulai digelar, sampai akhirnya kompetisi tersebut dikomersialisasi sampai akhirnya menjadi sebuah bisnis seperti sekarang. Mungkin dahulu orang-orang yang menonton liga bola basket hanyalah orang-orang yang main basket saja. Tapi karena permainannya tergolong sederhana dan mudah dimengerti, dilengkapi dengan promosi gencar yang dilakukan NBA, lama kelamaan pun orang  yang tidak main basket turut tertarik menonton pertandingan olahraga bola basket.

esports event

Esports sendiri awalnya juga tidak digagas oleh developer atau publisher. Esports pada awalnya digagas oleh komunitas pemainnya yang akhirnya kini didorong menjadi lebih besar oleh sang pihak pertama yaitu developer. Hal tersebut sempat saya bahas dalam artikel pembahasan seputar sejarah esports. Anda bisa membacanya pada tautan yang satu ini. Karenanya, bisa dibilang apabila sebuah game ingin sukses sebagai esports, game-nya itu sendiri harus memang sudah menarik pada awalnya.

Mari kita coba melihat perjalanan League of Legends menjadi game esports global sebagai bentuk studi kasus proses sebuah game bisa sukses menjadi esports global. Dalam prosesnya menjadi seperti sekarang, League of Legends sebenarnya sudah populer sejak dari tahun-tahun awal perilisannya. Data milik statista.com mengatakan ada 15 juta pengguna aktif bulanan League of Legends pada dua tahun pasca game tersebut rilis tahun 2009.

Bagaimana League of Legends bisa muncul jadi lebih populer ketimbang custom game aslinya yaitu Defense of the Ancients (custom map untuk Warcraft III: The Frozen Throne)? Mungkin bisa dibilang karena League of Legends telah memenuhi dua faktor dari penjelasan milik Steffan Hauer di atas, yaitu permainan yang lebih sederhana dan durasi pertandingan yang cenderung lebih singkat.

Apabila dibandingkan dengan DotA, League of Legends tergolong lebih sederhana. Sederhana bagaimana? Pembagian role di League of Legends tergolong lebih jelas. Item di dalam League of Legends juga jarang bisa diaktifkan yang membuat pemain tidak perlu mengingat banyak kombinasi karakter dengan item. Selain itu, League of Legends juga membuat sistem fog of war jadi lebih sederhana dengan menghilangkan mekanik high ground dan low ground, mekanik siang dan malam, serta mengganti pohon-pohon menjadi semak untuk sembunyi. Karena lebih sederhana, League of Legends pun lebih bisa diterima oleh lebih banyak orang ketimbang Dota 2.

Lalu faktor kedua, durasi permainan dan kadar aksinya. League of Legends juga bisa dikatakan menjadi pionir yang berhasil membuat MOBA jadi punya durasi dan akhir permainan yang lebih pasti. Pada zamannya, satu permainan Defense of the Ancient berdurasi paling minimal sekitar 45 menit. Durasi tersebut masih bisa melar lagi apabila pertandingannya sengit. Sementara durasi paling minimal dari satu permainan League of Legends berdurasi sekitar 30 menit.

Soal kadar aksi pertandingan LoL dengan Dota 2 mungkin masih bisa diperdebatkan. Namun satu hal yang pasti adalah sistem ekonomi snowballing yang diterapkan di dalam game League of Legends membuat arah pertarungan menjadi lebih jelas, siapa yang unggul dan siapa yang kalah. Dalam sistem snowballing, tim yang kalah di awal-awal permainan akan punya kesempatan yang lebih kecil untuk membalikkan keadaan.

Sementara Dota menerapkan mekanisme rubber band di dalam permainannya. Sistem tersebut memang membuat tarik ulur permainan jadi lebih menarik, tetapi juga membuat arah pertarungan, dan sulit menebak kapan pertandingannya berakhir. Dalam sistem rubber banding keunggulan sebuah tim bisa dibalik begitu saja sehingga permainan jadi imbang lagi. Karenanya pertandingan Defence of the Ancients dan Dota 2 pada awal masanya punya durasi yang cenderung panjang bahkan kadang tidak jelas kapan akan berakhir.

Sebagai bukti dari opini di atas, saya pun mencoba googling “longest match in League of Legends” dan “longest match in Dota 2”. Hasilnya pun seperti yang saya perkirakan. Pertandingan League of Legends profesional terlama adalah pertandingan antara SKT vs Jin Air di LCK Spring 2018 yang berdurasi 1 jam 34 menit. Dota 2? Pertandingan terlamanya adalah antara Cloud9 vs ScaryFaceZ pada kualifikasi Starladder Season 12 (2015) yang berdurasi 3 jam 20 menit. Anda tidak salah baca, TIGA… Jam. Keduanya mungkin sama-sama menyajikan aksi tanpa henti. Tapi saya sih jadi mabok dan ingin pulang kalau harus menonton Dota 2 selama 3 jam.

Pada faktor ketiga, Steffan Heuer menyoroti soal perbedaan durasi musim kompetisi. Saya mengartikan poin tersebut sebagai format kompetisi yang tepat bagi olahraga permainan. Sejauh ini, apa yang dilakukan Riot Games terhadapi liga esports League of Legends memang tergolong luar biasa kalau dibandingkan dengan game-game lainnya.

Esports League of Legends dikelola dengan sangat serius oleh Riot Games yang membuatnya kini sudah hampir mirip-mirip dengan liga olahraga. Maksud saya mirip-mirip adalah jadwal pertandingan yang rutin, pasti, dan dengan jumlah pertandingan yang pas (tidak terlalu padat tapi tidak terlalu lengang juga). Karenanya tidak heran apabila League of Legends berhasil melanjutkan kesuksesannya, dari game yang banyak dimainkan orang-orang menjadi pertandingan esports banyak ditonton orang-orang dan berhasil mencatatkan 139 juta lebih total watch hours pada tahun 2020 lalu.

Faktor terakhir adalah soal keanekaragaman pemain bintang di dalam suatu liga olahraga. Pada poin tersebut, saya mengartikannya maksud pembahaasan Stefan Heuer sebagai bentuk investasi pihak terkait kepada skena-skena lokal. Dalam konteks bola basket vs bola baseball, video tersebut menjelaskan bagaimana investasi MLB sebagai pihak pertama di industri olahraga baseball Amerika Serikat terlalu fokus di negara itu saja. Sementara di sisi lain, NBA terus menerus mengembangkan pasarnya, salah satu contohnya yang disebut dalam video adalah dengan melakukan investasi ke Tiongkok .

Karenanya, bola basket jadi tergolong lebih populer (dan lebih menjual) secara internasional ketimbang baseball. Lebih banyak negara yang memainkan bola basket bisa diartikan semakin beragam pemain-pemain bintangnya dan semakin banyak penontonnya. Semakin beragam dan semakin populernya permainan tersebut, maka bola basket pun akan memiliki nilai jual yang lebih berharga. Sementara baseball? Heuer menjelaskan bahwa kebanyakan bintang bola baseball hanya berasal dan dikenal di Amerika Serikat saja.

Sumber: Riot Official Release
Bukan cuma di Eropa dan Amerika saja, League of Legends juga punya liga profesional untuk kawasan Asia Pasifik. Sumber: Riot Official Release

League of Legends mungkin menerapkan strategi yang serupa seperti yang dilakukan NBA, walaupun saya sebenarnya tidak tahu betul apakah Riot Games benar terinspirasi oleh NBA atau tidak. Hal tersebut terlihat dari bentuk investasi Riot Games terhadap esports League of Legends di berbagai belahan dunia, bahkan sampai spesifik ke beberapa negara.

Liga esports League of Legends terbesar dunia saat ini ada di empat kawasan, ada LEC di Eropa, LCS di Amerika Serikat, LCK di Korea Selatan, dan LPL di Tiongkok. Riot Games juga berinvestasi terhadap kawasan kecil yang punya potensi seperti PCS di SEA, Taiwan dan sekitarnya, OPL di kawasan Oceania (Australia dan Sekitarnya), LCL di kawasan CIS (Rusia, Ukraina, dan sekitarnya), NLC di Eropa Utara (Britania Raya, negara-negara nordik, dan sekitarnya), dan LLA di Amerika Latin. Selain kawasan kecil, Riot Games bahkan berinvestasi juga untuk negara-negara yang potensial seperti LJL di Jepang, VCS di Vietnam, TCL di Turki, dan CBLoL di Brazil.

Semua yang saya sebut barusan bahkan mungkin belum semuanya. Tetapi dari sana kita bisa melihat bagaimana Riot Games benar-benar serius mengembangkan League of Legends menjadi esports tingkat global. Dari bentuk investasi tersebut, jadi tidak heran kalau esports League of Legends bisa berkembang menjadi besar seperti sekarang.

 

Kenapa Beberapa Game Kurang Sukses Menjadi Esports

Setelah melakukan studi kasus dari League of Legends yang sukses besar dari game menjadi esports kelas dunia, sekarang mari kita juga melihat kenapa beberapa game tergolong kurang berhasil sebagai esports. Game yang saya jadikan contoh di sini adalah Pro Evolution Soccer dan Fighting Games.

Kenapa dua game tersebut saya pilih sebagai contoh? Alasannya adalah karena saya merasa kedua game tersebut sebenarnya sudah berhasil memenuhi dua faktor internal yang kita bahas di atas, namun entah kenapa posisinya sebagai esports justru tertutupi oleh game-game MOBA ataupun FPS.

Fighting game tergolong sederhana, walaupun mekanisme game tersebut tergolong sulit sekali apabila diselami lebih dalam. Tapi, bukankah kebanyakan game esports juga begitu? Mudah pada percobaan awal, namun akan semakin rumit apabila diselami lebih dalam. Tetapi fighting game bisa dibilang mudah kalau kita hanya sekadar main saja. Fighting game juga berdurasi pendek saat dipertandingkan dan punya aksi pertandingan yang seru.

Bagaimana dengan PES? Pada dasarnya PES adalah sepak bola yang dimainkan secara virtual. Gameplay PES adalah permainan sepak bola itu sendiri. Kalau ada 517 juta orang di dunia yang menonton pertandingan sepak bola, masa iya game sepak bola tidak bisa sukses sebagai esports?

Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard

Untuk itu saya pun berbincang dengan Valentinus Sanusi selaku founder Liga1PES dan Bram Arman yang kerap kali dianggap sebagai “sepuh” di komunitas game fighting (FGC) di Indonesia. Dari diskusi yang kami lakukan, saya menyimpulkan bahwa memang salah satu alasan kenapa dua game tersbut kurang sukses sebagai esports dunia adalah karena kurangnya investasi dari developer selaku pihak pertama. Faktor eksternal lainnya juga termasuk karena dua game tersebut dikembangkan oleh perusahaan Jepang, negara yang tergolong kurang tanggap mengadopsi model bisnis game free to play ataupun bisnis ekosistem esports. Selain itu ada juga beberapa faktor internal game-nya itu sendiri terutama dari segi akses.

Dalam hal game fighting, Bram Arman menceritakan bagaimana game fighting yang sangat bersifat community base jadi salah satu alasan FGC kalah besar dibanding game esports lain secara umum. “Sejauh yang saya tahu, esports mainstream berkembang pesat berkat penetrasi langsung dari 1st party (developer/publisher). Karenanya investasi esports yang dilakukan jadi tergolong langsung. Kalau FGC berbeda, justru 1st party muncul belakangan. Investasi 1st party juga hanya di negara maju saja. Karenanya di Indonesia sendiri, perkembangan FGC tergolong organik dengan bantuan yang minim dari 1st party.”

Memang kalau kita melihat perkembangan FGC, Evolution Championship Series yang sebenarnya berawal sebagai turnamen komunitas justru adalah lini terdepan dalam perkembangan esports game fighting ketimbang turnamen-turnamen yang dimulai oleh pihak pertama. Evolution Championship Series yang bahkan jauh lebih dulu ada di tahun 1995 ketimbang Capcom Pro Tour yang digagas pengembang Street Fighter mulai tahun 2013.

Lalu bagaimana dengan Pro Evolution Soccer? Kenapa game sepak bola tidak bisa menjual sebagai esports ketimbang dari olahraga sepak bola itu sendiri? Valen pun menjawab. “Kalau menurut saya salah satu alasannya adalah karena masyarakat esports itu sebenarnya berbeda dengan masyarakat sepak bola secara umum. Jadi dari apa yang saya amati, masyarakat sepak bola mayoritas itu belum tentu beririsan dengan pecinta esports. Jadi bisa dibilang pecinta sepak bola itu bukan tergolong esports enthusiasts.”

Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus
Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus

Lebih lanjut terkait maksud dari esports enthusiasts, Valen lalu menjelaskan. “Maksudnya esports enthusiasts di sini adalah bukan tipe orang yang akan mencari pertandingan esports ketika membuka media sosial ataupun YouTube. Karenanya masih perlu usaha yang cukup keras untuk menularkan antusiasme esports game sepak bola ke kalangan umum. Supaya penonton bola jadi menonton esports sepak bola.”

Mendengar penjelasan dari Valen, saya jadi teringat dengan konsep Social Media Bubble yang mengurung para penggunanya di dalam kelompok tertentu yang disukai. Jadi apabila kita bicara presensi secara digital, tidak heran kalau penggemar sepak bola bisa saja tidak kenal esports sepak bola atau bahkan mungkin tidak tahu menahu soal game sepak bola itu sendiri.

Selain itu saya juga menanyakan pendapat mereka terkait faktor internal atau daya tarik game-nya itu sendiri. Paragraf ketiga dari sub bagian ini adalah pendapat saya sendiri, tapi bagaimana dengan pendapat dari Bram dan Valen?

Dalam hal PES, saya juga sempat melihat video lain yang membahas alasan kenapa esports game sepak bola lainnya (yaitu FIFA) kurang sukses sebagai esports. Video tersebut mengatakan salah satu alasannya adalah karena gameplay FIFA terlalu melibatkan faktor luck di dalamnya. Maksudnya melibatkan faktor luck adalah karena dalam FIFA, orang yang memainkan game-nya hanya mengendalikan satu orang saja sementara 10 sisanya dikendalikan AI. Karenanya video tersebut menganggap outcome yang dihasilkan di dalam pertandingan game sepak bola terlalu banyak melibatkan keberuntungan. Bagaimana dengan PES?

Valen mengatakan. “Saya sangat tidak setuju terhadap pendapat tersebut. FIFA tahun ini baru merilis fitur kompetisi baru yaitu FUT co-op. Lalu sementara itu dari sisi PES sendiri kurang lebih malah lebih sudah sekitar 3 tahun lebih dulu menyajikan pertandingan co-op untuk esports. Bahkan saat ini ada juga pertandingan eFootball Pro dengan format 3 vs 3. Kedua, mungkin aspek luck mungkin memang ada, tapi proporsinya tentu sangat kecil dan hal tersebut adalah aspek-aspek eksternal yang menurut saya justru adalah bumbu dari sepak bola; secara virtual ataupun di dunia nyata sekalipun.”

Lalu bagaimana dengan fighting game? Bram juga mengatakan pendapatnya yang menjelaskan soal masalah akses para gamers terhadap game bergenre fighting secara umum. “Kalau menurut saya, salah satu alasan fighting game ketinggalan dibanding dengan game lain sebagai esports, salah satunya mungkin karena model bisnisnya yang konvensional. Kebanyakan game fighting mengharuskan pemainnya membayar sejumlah uang untuk memainkan game tersebut. Harganya pun bisa dikatakan bukan harga yang cukup terjangkau secara umum. Namun game fighting memang sempat menggratiskan permainannya, namun hanya sebagai free trial saja.” Bram menyoroti masalah akses kepada game fighting yang secara otomatis mempengaruhi jumlah pemain dari game fighting itu sendiri.

“Ditambah lagi learning curve game fighting juga saya rasa cenderung lebih sulit ketimbang game lain. Walau awalnya terasa mudah untuk pemula, tapi tingkat kesulitannya meningkat tajam apabila bermain secara high level play. Contoh paling sederhananya misalnya saja melakukan combo.” Tambah Bram.

Memang fighting game tergolong lebih sulit kalau dibandingkan dengan game-game lain. Sulit seperti apa? Bagaimana input tombol mempengaruhi output gerakan mungkin jadi salah satu contohnya. Game seperti MOBA atau shooter punya input yang sederhana, klik pada mouse dan tombol keyboard QWER untuk skill MOBA atau WASD untuk pergerakan game shooter. Fighting game tidak.

Dalam Tekken saja contohnya, menekan tombol kotak saja punya output berbeda dibandingkan dengan menekan tombol kotak ditambah tombol maju. Belum lagi jenis gerakan juga berbeda antara satu karakter dengan karakter yang lain. Belum lagi karakter yang satu mungkin punya input kotak + tombol maju, tapi karakter lain tidak. Karenanya Anda butuh memori yang kuat, kemampuan penentuan keputusan yang cermat, dan jari jemari yang tangkas apabila ingin sedikit lebih baik di dalam permainan fighting game. Lebih lengkapnya sempat saya bahas juga pada kesempatan sebelumnya soal keunikan fighting game yang membuatnya memiliki daya tarik tersendiri.

Lebih lanjut, pembahasan kami lalu beralih ke soal faktor eksternal. Dua game tersebut memeiliki satu kesamaan, dikembangkan oleh developer asal Jepang. Saya pun jadi bertanya, apakah hal tersebut menjadi faktor juga? Baik Bram dan Valen pun ternyata setuju bahwa salah satu alasan kenapa fighting game dan PES jadi kurang sukses sebagai esports karena faktor developer Jepang.

“Mungkin bisa dikatakan begitu.” Bram membuka pembahasan. “Jepang bahkan sempat punya undang-undang yang melarang hadiah uang untuk turnamen esports, kecuali dilakukan oleh 1st party. Organizer pihak ketiga hanya diperkenankan untuk memberikan hadiah merchandise saja.”

Valen lalu menambahkan. “Saya juga setuju kalau dikatakan developer Jepang tergolong terlambat di dunia esports, tentunya termasuk Konami. Menurut saya developer Jepang itu sudah terlambat bergerak, pergerakannya pun cenderung lambat. Terlalu banyak pertimbangan dari sisi perusahaan dan menurut saya juga kurang agresif soal esports. Contoh nyatanya, Pro Evolution Soccer di konsol dan mobile bahkan masih belum memiliki spectator mode sampai saat ini. Padahal fitur tersebut penting sekali untuk mendukung perkembangan ekosistem esports.”

Memang ada alasan tersendiri kenapa Jepang jadi negara yang terlambat  untuk memahami tren esports. Padahal, negara tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu pusat perkembangan industri game. Alasan tersebut adalah karena polemik hubungan yakuza, pemerintah, dan hukum yang melarang perjudian di Jepang.

Artikel milik Imad Khan di ESPN menjabarkan asal usul pandangan negatif dari pemerintah Jepang terhadap tindakan perjudian. Dalam artikelnya Imad menceritakan bahwa salah satu awal mula dari semua hal tersebut adalah Nintendo Koppai (nama perusahaan Nintendo di zaman dulu). Perusahaan tersebut menciptakan mesin judi yang menggunakan teknologi video sekitar tahun 60an. Karenanya, pihak berwajib Jepang jadi mengartikan secara bebas dan melarang pertandingan video game karena dianggap sebagai bentuk lain perjudian. Akhirnya, esports pun jadi sulit sekali berkembang di Jepang dan bahkan kesulitannya bersifat struktural.

Sumber Gambar - JeSU Official
Sumber Gambar – JeSU Official

Turnamen yang mengenakan biaya pendaftaran kepada pesertanya dilarang pemerintah. Ditambah juga seperti apa yang dikatakan oleh Bram, turnamen gratis juga tidak boleh menyertakan uang tunai sebagai hadiah, hanya boleh menyertakan hadiah merchandise saja. Merchandise yang dihadiahkan juga dibatasi nilainya, yaitu sekitar US$1000 berdasarkan dari apa yang ditulis ESPN.

Kehadiran Japan eSports Union (JeSU) di tahun 2018 menjadi secercah harapan untuk menembus kebuntuan pengembangan esports di Jepang yang terjadi selama ini. Sebagai sarana legalisasi, JeSU membuat lisensi atlet esports untuk menentukan siapa-siapa saja yang berhak menerima hadiah uang tunai dari sebuah turnamen esports. Bahkan kehadiran JeSU dan peraturan soal lisensi pemain profesional itu saja masih sempat menjadi polemik, terutama saat Momochi (pro player Street Fighter V) mengutarakan kritiknya soal sistem yang diterapkan.

Menutup perbincangan, saya pun mencoba berandai-andai dengan kedua narasumber saya tersebut. Kalau saja pemerintah Jepang tidak melarang esports dan developer Jepang lebih gencar nan tanggap dengan tren, akankah esports fighting game dan Pro Evolution Soccer mampu menyaingi League of Legends, CS:GO, atau game esports lain yang juga populer?

“Pertanyaan ‘whati if’ yang menarik. Kalau ditarik ke masa lalu, menurut saya tentu saja sangat mungkin bagi game fighting.” Tutur Bram. “Sebagai genre game yang mudah dimengerti oleh masyarakat umum, saya cukup optimis PES atau game bergenre olahraga lainnya bisa bersaing dengan game esports yang populer.” Valen juga menyertakan pendapatnya.

 

Meramal Tren Game Esports Selanjutnya

Setelah membahas dan melihat studi kasus kenapa suatu game sukses besar sebagai esports dan kenapa game lainnya kurang sukses, pertanyaan selanjutnya mungkin adalah “game apa lagi yang akan jadi tren esports berikutnya?”

Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dibilang susah-susah gampang. Gampangnya bisa saja saya jawab bahwa game esports yang sukses berikutnya adalah game-game yang memiliki empat faktor di atas. Punya gameplay sederhana, durasi permainan yang singkat dengan aksi yang intens. Selain itu gamenya juga harus memiliki format kompetisi yang cocok dengan penontonnya dan dilengkapi dengan investasi sang developer terhadap skena-skena lokal.

Tetapi, menentukan game mana yang punya daya tarik sebenarnya juga cukup sulit. Kenapa? Menurut saya, karena video game tergolong sebagai industri kreatif, kita jadi tidak bisa menentukan resep sukses yang pasti. Kenapa tidak bisa? Kalau menurut opini saya, karena selera masyarakat terhadap karya intelektual itu sulit ditebak.

Tidak usah jauh-jauh, siapa yang mengira bahwa genre MOBA dan Battle Royale bisa menjadi sepopuler seperti sekarang? Bahkan kalau kita melihat ke belakang, kita bisa melihat ada beberapa genre game yang dulu menjadi idola namun sudah mulai ditinggal oleh gamers zaman sekarang. Genre RTS dari game seperti StarCraft atau MMORPG dari game seperti Ragnarok Online misalnya.

Jangankan esports, selera masyarakat di ranah olahraga saja juga tidak ada rumus pastinya. Seperti yang disebut di awal video milik Athletic Interest. Walaupun setengah populasi dunia keranjingan sepak bola, tetapi beberapa negara tetap punya olahraga favoritnya tersendiri seperti panahan di Bhutan, ski di Austria, gulat di Mongolia, atau mungkin juga seperti badminton di Indonesia. Contoh lain yang mungkin terasa lebih aneh, Anda bisa lihat video kompetisi orang kuat di bawah ini yang secara mengejutkan punya banyak penonton dan berhasil membuat para penontonnya jadi heboh.

Lalu kalau bicara soal faktor ketiga dan keempat, prediksi trennya mungkin akan jadi lebih rumit lagi. Game-game terbaru Riot Games mungkin saja akan jadi tren esports baru lainnya. Kenapa? Salah satunya adalah dari bagaimana Riot Games memandang esports sudah bukan lagi cuma sekadar sarana marketing tetapi sebagai bentuk model bisnis.

Tetapi hal tersebut saja juga tidak bisa dijadikan patokan. Walaupun Riot Games berkomitmen dengan sungguh-sungguh mengembangkan esports Wild Rift atau VALORANT, apakah mungkin dua game tersebut menggeser game sudah lebih dahulu ada? Banyak pertanyaan muncul, tapi kita baru membahas satu. Bagaimana misalnya ada developer yang mungkin antah berantah tapi punya modal besar untuk mengembangkan esports? Akankah game tersebut bisa mengalahkan pasar yang sudah ada saat ini?

Namun saya berharap pembahasan terhadap empat faktor yang disebut oleh Steffan Heuer setidaknya bisa menjadi referensi atau kerangka bagi Anda yang mungkin ingin berinvestasi di esports, entah sebagai pelaku bisnis ataupun sebagai brand yang ingin mensponsori esports.