[Review] BenQ Zowie XL2746s: Monitor Gaming 240 Hz DyAC+ untuk Para Pegiat Esports

Sepertinya kata esports sudah tidak lagi asing di telinga para konsumen di Indonesia. Hal ini dikarenakan esports sudah mulai diakui di mana-mana, khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, banyak orang pun mulai membeli kebutuhan untuk olahraga elektronik ini. Salah satunya adalah kebutuhan monitor gaming.

Salah satu vendor yang memiliki monitor gaming yang khusus ditujukan untuk para pegiat esports adalah BenQ. BenQ memiliki lini Zowie yang mereka akuisisi pada tahun 2015 yang lalu. Hal inilah yang membuat BenQ berfokus untuk bersaing pada pasar gaming.

BenQ Zowie XL2746S

BenQ saat ini memiliki monitor yang memiliki nama Zowie XL2746S. Monitor ini merupakan versi dengan dimensi yang lebih besar dari Zowie XL2546 yang pernah saya uji. Namun BenQ meningkatkan teknologi akurasinya menjadi DyAC+ pada monitor yang satu ini.

BenQ Zowie XL2746S sendiri memiliki spesifikasi sebagai berikut

Dimensi layar 27″
Rasio 16:9
Resolusi 1920×1080
Tipe panel TN
Dimensi 632.5 x 558.8 x 225 mm
Berat total 8.7 KG
Port DVI- DL, HDMI x2, DP1.2, headphone jack, microphone jack‎‎‎, USB 3
Response Time 0.5 ms
Kontras 1000:1 (12M:1 Dynamic Contrast Ratio)

Unboxing

Sekarang mari kita lihat perlengkapan apa saja yang ditawarkan oleh BenQ Zowie XL2746S

BenQ Zowie XL2746S - Unboxing

Desain

Jika pada XL2546 BenQ menggunakan layar dengan jenis TN (Twisted Nematic) yang memiliki response time 1 ms, maka berbeda dengan XL2746s. Monitor ini menawarkan respons time yang lebih cepat, yaitu 0.5 ms. Selain itu, Zowie XL2746S juga menawarkan refresh rate yang tinggi pula dengan 240 Hz. 240 Hz sendiri hanya dapat dicapai dengan menggunakan kabel Display Port.

BenQ Zowie XL2746S - Ports

Oleh karena dibuat untuk para pegiat esports, monitor ini pun dapat digunakan selain untuk bermain. Zowie XL2746s memiliki kemampuan untuk dipakai secara horizontal maupun vertikal. Biasanya, online streaming juga sering kali membutuhkan sebuah monitor dengan orientasi portrait untuk membaca stream chat. Dan para editor video juga kerap memutar layar karena banyaknya layer sequence sebuah video.

Pada bagian bawahnya, Zowie XL2746s memiliki dua port HDMI, sebuah Display Port, DVI, audio jack 3.5mm, microphone, dan dua USB 3.0. Monitor ini juga dilengkapi dengan S-Switch yang dibuat untuk mempermudah navigasi seting monitor. Pada S-Switch juga tersedia tiga buah profile agar pengguna lebih mudah berpindah-pindah mode.

BenQ Zowie XL2746S - USB Ports

BenQ juga menyediakan Shield pada monitor yang satu ini. Fungsi dari shield ini selain untuk lebih fokus, juga cukup menghalangi orang lain untuk “menyontek” gerak-gerik Anda.

DyAC vs DyAC+

BenQ saat ini mengedepankan teknologi yang mereka miliki dengan nama Dynamic Accuracy. Teknologi ini sendiri mengurangi bayangan yang terjadi pada saat ada pergerakan di layar. Dengan menggunakan teknologi ini, pergerakan benda yang ada di layar akan menjadi lebih tajam.

Ternyata, BenQ sendiri sepertinya belum puas dengan hasil dari DyAC. Saat ini, mereka telah mengimplementasikan DyAC+ pada XL2746S. DyAC+ ini sendiri memiliki kecepatan yang lebih baik dari DyAC. Hal ini dapat dicapai berkat panel baru yang BenQ pasang pada XL2746S.

BenQ Zowie XL2746S - Menu Detail

DyAC dan DyAC+ sendiri memang sulit untuk dibicarakan. Fitur yang satu ini memang harus dirasakan sendiri oleh para penggunanya. Yang paling terasa adalah menggunakan fasilitas ini langsung pada game-game FPS, seperti CS:GO.

Pada saat fitur ini dimatikan, pengguna yang memakai kartu grafis AMD Radeon dapat menyalakan pilihan AMD Freesync. AMD Freesync sendiri akan membebaskan game-game yang mendukung dari tearing atau gambar terputus-putus. Sayangnya, saya belum mencoba apakah XL2746S bisa menggunakan G-Sync atau tidak.

Black eQualizer

Fitur yang satu ini juga hadir pada monitor BenQ Zowie XL2746S. Bagi para pemain game-game first person shooter tentu saja merasakan saat masuk ke dalam terowongan atau tempat-tempat gelap. Tidak jarang kita ditembak oleh para camper karena tidak terlihat. Tentu saja, hal tersebut merugikan kita saat bermain.

Fasilitas Black eQualizer pada BenQ Zowie XL2746S akan membuat bagian gelap menjadi lebih terang. Hal ini tidak berarti bahwa bagian yang terang akan menjadi lebih putih lagi. Bisa dibilang, fasilitas ini mirip dengan menaikkan nilai shadow pada saat melakukan editing gambar.

Pengalaman Bermain: Auto Tambah Jago?

Hal apa lagi yang paling menyenangkan pada saat masa PSBB seperti ini? Tentu saja bermain game. Kebetulan, saya merupakan salah satu penggemar game CS:GO yang sudah lama tidak bermain. Tentu saja, saat menguji monitor ini, saya harus melakukan pemanasan terlebih dahulu agar tidak terlihat terlalu “cupu”.

BenQ Zowie XL2746S - Auf Extra

Saya pun langsung menyalakan Black eQualizer dan juga melakukan setting DyAC+ menjadi premium. Namun yang terjadi ternyata saya tidak perlu melakukan pemanasan. Dengan DyAC+, saya dengan mudahnya melihat pergerakan musuh. Entah memang ini fungsi dari DyAC+ atau memang sugesti saya, sepertinya game CS:GO dapat dimainkan dengan lebih mudah.

Saya pun mencoba mematikan DyAC+ dan meneruskan permainan. Ternyata, menembak musuh dalam game yang satu ini memang tidak senyaman pada saat DyAC+ menyala. Bagi yang pernah melihat pergerakan dari DyAC+, tentu saja akan merasakan perbedaan yang cukup jauh. Pada saat DyAC+ dinyalakan, titik tembakan terasa lebih mudah dibidik.

Pada CS:GO, Black eQualizer sangat membantu pada saat ada di tempat gelap. Saya bermain pada map Inferno dan sedang melewati bangunan appartment. Saya pun tidak perlu bersusah payah melihat musuh yang sedang camping dan bisa langsung membalas serangan. Fungsi ini juga sangat berguna pada saat bermain map Dust II yang banyak masuk ke dalam ruangan.

BenQ Zowie XL2746S - S-Switch

Saya pun juga mencoba menggunakan Shield yang dipasangkan pada bagian kanan dan kiri. Saya juga terbiasa bermain CS:GO dengan menggunakan rasio layar 4:3. Hal ini tentu saja digunakan agar dapat bermain lebih fokus dan perhatiannya tidak terlalu teralihkan seperti menggunakan 16:9. Ternyata, penggunaan Shield lagi-lagi harus dirasakan sendiri karena memang cukup membantu fokus saat bermain.

Sayangnya, semua itu harus dicoba sendiri dan memang sulit diceritakan dengan kata-kata. Hal tersebut lah yang saya rasakan pada saat menguji monitor yang satu ini.

Verdict

Begitu banyak monitor gaming yang dijual di pasar Indonesia. Tentunya, hal tersebut membuat daftar pilihan dalam membeli sebuah monitor gaming menjadi lebih panjang. Akan tetapi, satu hal yang harus dipikirkan dalam membeli perangkat yang satu ini, yaitu feature. Dan feature yang tidak dimiliki oleh kebanyakan monitor adalah DyAC+ dan Black eQualizer dari BenQ pada Zowie XL2746S.

Feature yang dibutuhkan oleh para pegiat esports juga sudah dipenuhi pada BenQ Zowie XL2746S ini. Hal tersebut seperti DyAC+, Black eQualizer, S-Switch, Shield, serta kemampuan untuk menggunakan layar secara vertikal. Hal ini tentu saja membuat para pegiat esports dapat bermain dengan lancar serta nyaman.

Bicara mengenai kelengkapan port, BenQ Zowie XL2746S pun bisa dikatakan sebagai sebuah monitor yang lengkap. Menu yang dimilikinya juga sangat mudah untuk dioperasikan. Terlebih lagi dengan menggunakan S-Switch, membuat pengoperasiannya menjadi lebih mudah lagi.

BenQ menjual monitor ini dengan harga Rp. 12.000.000. Harga ini memang terlihat mahal untuk beberapa kalangan. Namun, dengan segala feature yang memudahkan penggunanya dalam bermain, apalagi para profesional, membuat harga tersebut cukup pantas.

Sparks

  • DyAC+ untuk akurasi lebih baik
  • Black eQualizer untuk meningkatkan bagian gelap
  • Konektivitas yang lengkap
  • Refresh rate 240 Hz
  • Mendukung AMD FreeSync
  • Posisi dapat diatur apakah menginginkan vertikal atau horizontal
  • Respons Time 0.5 ms

Slacks

  • Harga jualnya cukup tinggi, yaitu Rp. 12.000.000
  • Colokan listrik bukan standar Indonesia

Disclosure: Artikel ini didukung oleh BenQ. 

Review XCOM: Chimera Squad: XCOM 2 Versi Murah nan Sederhana

24 April 2020 yang lalu, XCOM: Chimera Squad tiba-tiba dirilis. Pasca dirilis, Chimera Squad juga tidak berhasil membangun hype yang dirasakan dari 2 game sebelumnya: XCOM: Enemy Unknown (2012) ataupun XCOM 2 (2016). Sebelum kita masuk ke review XCOM: Chimera Squad kali ini, izinkan saya bercerita sedikit tentang franchise XCOM.

Saya tahu bahwa game ber-genre Turn-Based Tactics memang nyatanya bukan buat semua gamer. Turn-Based Tactics memang mungkin lebih niche ketimbang game-game action yang jauh lebih ramah ke kalangan mainstream. Namun begitu, XCOM: Enemy Unknown sempat membuat gempar kalangan fans di luar genre strategi sekalipun karena menjadi iterasi atau reinkarnasi game klasik legendaris, UFO: Enemy Unknown (alias XCOM: UFO Defense) yang pertama dirilis tahun 1994.

Kesuksesan Enemy Unknown juga membuat XCOM 2 lebih populer lagi dari sebelumnya. Seri terakhir dari franchise XCOM adalah expansi XCOM 2, yaitu War of the Chosen (WotC) yang dirilis tahun 2017. Meski WotC mendapatkan respon positif namun, jika saya tidak salah, popularitasnya memang tak setinggi base game-nya. Mungkin ini juga yang membuat Chimera Squad tak lagi sepopuler dari 2 stand alone game sebelumnya.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Meski begitu, saya pribadi memang tidak memilih game untuk dimainkan dari popularitasnya. Saya sendiri tertarik membeli Chimera Squad karena pengalaman saya yang sangat berkesan saat memainkan Enemy Unknown ataupun XCOM 2.

Terakhir, sebelum kita masuk ke reviewnya, saya harus katakan bahwa, meski saya sangat menyukai Turn-Based Tactics; genre ini mungkin memang bukan yang paling favorit buat saya pribadi. Pasalnya, saya mencintai game-game yang tidak hanya asyik dari segi gameplay tapi juga menyuguhkan kedalaman cerita dan lore seperti Pillars of Eternity, Divinity: Original Sin, trilogi The Witcher, ataupun seri Mass Effect. Di sisi lain, Turn-Based Tactics seperti seri XCOM memang biasanya tidak berhasil mengikat saya dari segi kompleksitas cerita dan lore-nya — hanya dari sisi gameplay-nya saja yang menyenangkan untuk dipelajari.

Oh iya, inilah spesifikasi PC saya saat memainkan Chimera Squad:

CPU: AMD Ryzen 5 3600
Motherboard: GIGABYTE AB-350 Gaming 3
Kartu Grafis: Palit GeForce RTX 2070 Super JS
Memory: G Skill 16GB 3200MHz (running @3600MHz).
Storage: ADATA SX8200 PCIe SSD 1TB
Monitor: ASUS VG258QR (@144Hz)

Visualisasi Grafis dan Performa: 73/100

Nyatanya, game-game Turn-Based Strategy mungkin memang tidak menyuguhkan kecantikan grafis sebagai daya tarik utama — setidaknya jika dibanding Action RPG, FPS, ataupun genre-genre lainnya yang lebih ramah untuk kalangan gamer mainstream. 

Demikian juga Chimera Squad ini. Apalagi jika saya bandingkan dengan beberapa game yang saya mainkan sebelum Chimera Squad dalam 1 tahun terakhir ini. Assassin’s Creed Odyssey, The Outer Worlds, Doom Eternal, ataupun Borderlands 3 jauh lebih superior dalam urusan memanjakan mata Anda. Meski begitu, grafisnya juga tidak menyedihkan meski tak fantastis seperti Darksiders Genesis, Tales of Vesperia: Definitive Edition, ataupun Wolcen: Lords of Mayhem yang juga saya mainkan beberapa waktu belakangan.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Chimera Squad menawarkan environment yang bisa dihancurkan. Tembok-tembok yang digunakan untuk berlindung juga bisa dihancurkan dengan menggunakan granat. Environment yang dinamis ini tak hanya menyenangkan untuk dilihat tetapi juga menambah kompleksitas gameplay.

Di sisi lain, karena grafisnya yang tidak bombastis, Chimera Squad juga jadi cukup ramah terhadap PC kelas menengah ataupun bawah. Saya juga tidak merasakan ada masalah apapun soal performanya — mengingat game-game bergrafis sederhana juga bisa saja bermasalah dengan performanya seperti yang saya rasakan dengan PoE 2: Deadfire.

Jika berbicara soal Chimera Squad, tidak sedikit orang-orang yang membandingkannya dengan Gears Tactics — yang memang dirilis dalam waktu berdekatan dan memiliki genre yang sama. Berbicara soal grafisnya, Gears Tactics nampaknya menyuguhkan grafis yang lebih fantastis — setidaknya dari video-video yang saya lihat karena saya memang belum memainkannya. Mungkin lain kali saya akan menuliskan reviewnya jika saya sudah memainkannya nanti.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Gameplay: 70/100

Dari sisi gameplay, Chimera Squad memang faktanya lebih sederhana ketimbang XCOM 2 ataupun Enemy Unknown (EU). Namun, bukan berarti gameplay-nya menyedihkan juga. Saya bahkan menghargai upaya Firaxis dalam usahanya membuat gameplay yang berbeda dari XCOM 2 ataupun EU.

Di dua game sebelumnya, strategi dan perhitungan Anda diuji dari 2 sisi (dari sisi membangun fasilitas dan dari strategi saat pertempuran). Penyederhanaan dari Chimera Squad yang lebih terasa adalah dalam hal strategi di luar pertempuran. Meski penyederhanaan strategi di dalam pertempuran juga cukup terasa, seperti equipment yang variasinya tak sebanyak XCOM 2, Chimera Squad tetap memaksa saya memelajari gameplay dan berpikir matang di setiap turn.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Jika di dua game sebelumnya, turn Anda dibagi jadi masing-masing kubu sehingga Anda bisa memilih sendiri karakter di kubu Anda yang ingin dijalankan lebih dulu. Di Chimera Squad, turn ini dibagi jadi masing-masing karakter. Hal inilah yang pembeda terbesar yang saya rasakan antara Chimera Squad dengan game-game XCOM modern lainnya. Pasalnya, perbedaan turn ini jadi memaksa Anda untuk memerhatikan urutan jalan jadi lebih seksama dan berhati-hati.

Perbedaan turn ini juga jadi memungkinkan variasi strategi baru. Misalnya, Anda jadi bisa memilih skill untuk memundurkan turn musuh selain hanya sekadar memberikan damage.

Selain soal perbedaan turn, perbedaan lain antara Chimera Squad dengan XCOM 2 juga ada pada karakter-karakter yang Anda gunakan untuk pertempuran. Jika pada XCOM 2, Soldier yang digunakan di-generate secara acak (alias random generated), masing-masing Squad Anda di sini unik. Meski keputusan ini juga membuat strategi di luar pertempuran jadi lebih sederhana, karakter-karakter unik di Chimera Squad jadi memberikan nilai lebih dari sisi plot cerita dan karakter yang akan saya bahas di bagian berikutnya.

Berhubung jadi akan terlalu panjang jika saya jelaskan semuanya lewat tulisan, Anda bisa menonton perbedaan-perbedaan apa saja yang ditawarkan oleh Chimera Squad dibanding XCOM 2 di video buatan GameSpot di bawah ini.

Terlepas dari semua perbedaan tadi, sekali lagi saya katakan bahwa Chimera Squad memang nyatanya tak sekompleks XCOM 2. Namun begitu, dengan gameplay yang lebih sederhana, game ini juga bisa jadi pengantar buat gamer yang belum pernah bermain Turn-Based Strategy sebelumnya.

Plot Cerita dan Karakter: 67/100

Seperti yang saya tuliskan di bagian awal artikel, saya memang belum pernah menemukan game Turn-Based Strategy yang menyuguhkan kedalaman cerita, karakter, ataupun lore yang fantastis. Demikian juga dengan yang saya rasakan dengan Chimera Squad.

Meski begitu, ada satu perubahan soal Squad/Soldier di Chimera Squad yang berhasil memberikan nilai lebih di aspek ini. Seperti yang saya tuliskan sebelumnya di aspek gameplay, masing-masing pasukan Anda di sini unik dan tak lagi randomly generated. Jadi, jika pasukan Anda sebelumnya tidak memiliki karakteristik apapun (dalam hal narasi cerita), masing-masing Squad di Chimera Squad jadi memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Torque, misalnya, adalah alien ular perempuan yang cukup jenaka. Sedangkan Cherub memiliki optimisme yang cukup menghibur. Blueblood dan Shelter juga memiliki background ceritanya masing-masing. Karakteristik-karakteristik tadi muncul dari dialog-dialog yang sebenarnya dikemas dengan cukup menarik.

Sayangnya, meski memang jadi lebih menarik dibanding XCOM 2 dari sisi karakteristik karakter-karakternya, menurut saya Firaxis melewatkan kesempatan untuk memanfaatkan peluang ini dengan lebih matang. (Tiny) Tina, Handsome Jack, atau Mr. Torgue dari seri Borderlands jauh lebih kuat dan memorable ketimbang karakter-karakter dari Chimera Squad yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya.

Sedangkan untuk plot ceritanya, Anda juga mungkin tak bisa berharap banyak dari Chimera Squad. Namun, meski memang aspek ceritanya tak bisa disejajarkan dengan game-game besutan Obsidian ataupun CD Projekt, aspek cerita dan karakteristiknya juga tidak bisa dibilang membosankan atau menyebalkan… Karena saya tahu tidak sedikit juga game-game yang bahkan tidak menawarkan aspek ini, seperti kebanyakan game-game multiplayer, kompetitif, atau yang gratisan. Saya juga bahkan beberapa kali menemukan gamegame yang cerita dan karakter-karakternya terlalu membosankan atau bahkan menyebalkan (terlalu chessy atau cringe) sehingga membuat saya langsung menjauhi game tersebut.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Fitur Tambahan dan Durasi Permainan: 65/100

Sebelum saya menutup review ini, ada beberapa aspek lagi yang mungkin cukup menarik untuk dibahas yang akan saya rangkum dalam satu bagian.

Pertama, saya menyelesaikan Single Player Campaign-nya sebanyak dua kali. Awalnya, saya bermain di mode normal dengan tingkat kesulitan Expert. Sedangkan saat kedua kalinya, saya menyelesaikannya dengan Mode Ironman plus Hardcore dengan tingkat kesulitan Impossible.

Dengan menyelesaikannya lebih dari satu kali, Chimera Squad berarti cukup menyenangkan buat saya — meski memang tidak sepanjang yang saya harapkan. Steam mencatat durasi saya bermain Chimera Squad sebanyak 49 jam. Bandingkan saja dengan saat saya bermain The Outer Worlds, saya sudah cukup puas menyelesaikan Campaign-nya satu kali (dengan catatan durasi permainan di EGS sebanyak 37 jam). Saat saya menulis ini, saya juga sedang bermain Tales of Vesperia: Definitive Edition yang sebenarnya sudah membuat saya kebosanan meski belum selesai satu kali playthrough (walaupun catatan Steam saya di game ini sudah mencapai 50 jam).

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Oh iya, selama saya bermain tadi, sayangnya saya harus merasakan dua kali gamebreaking bug yang sangat menyebalkan karena terjadi saat Ironman dan Hardcore Mode. Pertama, ada satu kali pertempuran saat musuh (Enemy Reinforcement) tidak datang-datang. Hal ini jadi membuat pertempuran tidak bisa diselesaikan. Bug ini juga dialami oleh pemain lainnya.

Bug kedua adalah saat fase Breaching yang menunjukkan “Required value not met” untuk salah satu karakter saya. Otomatis, game juga jadi tak bisa dilanjutkan jika hal ini terjadi. Salah satu solusi dari dua bug tadi adalah reload savegame sebelumnya namun hal ini tak bisa dilakukan dengan Ironman Mode. Untungnya, Chimera Squad masih memungkinkan untuk mengaktifkan fitur Console Commands. Meski memang jadi sedikit aneh, setidaknya saya tidak perlu mengulang campaign Ironman Mode saya tadi dari awal.

Selain dari fitur Console Commands yang bisa diaktifkan, Chimera Squad juga bisa di-modding. Anda juga bahkan bisa mengunduh gratis Chimera Squad Development Tools dari Steam jika tertarik untuk modding game ini. Sayangnya, jujur saja karena ukuran Development Tools-nya 70GB dan base game-nya tidak terlalu menarik, saya belum mencobanya secara langsung. Padahal, biasanya saya sangat tertarik untuk bereksperimen sendiri soal modding.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Komunitas modding Chimera Squad sendiri mungkin bisa dibilang cukup baik. Meski baru dirilis bulan April, saat saya menulis artikel ini di bulan Juni, sudah ada 93 items di Steam Workshop dari Chimera Squad. Beberapa mods di sana juga menarik sebenarnya karena ada yang memberikan karakter-karakter baru untuk dimainkan. Namun demikian, ketertarikan saya untuk modding game ini sendiri tidak sebesar yang saya rasakan saat bermain PoE 2: Deadfire, The Witcher 3, D:OS 2, ataupun Skyrim.

Average Score: 68.75/100

Akhirnya, seperti yang Anda lihat dari skor di masing-masing bagian, Chimera Squad mungkin memang tidak menyuguhkan salah satu aspek yang sangat berkesan. Namun demikian, ia juga tidak memiliki aspek yang menyedihkan.

Misalnya, dibandingkan dengan The Outer Worlds (TOW) yang saya review sebelumnya. TOW memang superior dalam hal grafis, plot, cerita, dan karakternya dibanding Chimera Squad. Namun TOW sangat menyedihkan dalam hal durasi permainan dan aspek modding — yang biasanya disuguhkan dari game-game Obsidian. Sedangkan Chimera Squad lebih rata dalam setiap aspeknya — makanya itu juga nilai rata-ratanya lebih tinggi. Meski begitu, nilai rata-rata yang lebih tinggi bukan berarti bisa jadi lebih favorit/berkesan buat saya pribadi.

Screenshot: Chimera Squad
Screenshot: Chimera Squad

Terlepas dari hal tadi, dengan kompleksitas gameplay yang lebih sederhana, dialog antar karakter yang cukup menghibur, dan harga yang sangat terjangkau (Rp210 ribu saat artikel ini ditulis) saya sungguh percaya Chimera Squad tetap layak dibeli dan dimainkan jika Anda memang fans game strategi turn-based ataupun fans XCOM.

Selain itu, bagi Anda yang ingin mencoba genre strategi turn-based pertama kali, Chimera Squad juga akan menjadi pengantar yang cukup ramah untuk pemula. Chimera Squad mungkin juga cocok bagi Anda yang tidak punya PC kelas high-end namun sedang kebingungan mencari game baru dengan harga yang cukup terjangkau.

Sony Resmi Perkenalkan PlayStation 5 Beserta Lusinan Game-nya

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Lewat sebuah live stream, Sony resmi menyingkap wujud PlayStation 5 secara utuh setelah sebelumnya lebih dulu mengungkap spesifikasi beserta controller-nya.

Kalau Xbox Series X kelihatan seperti sebuah gaming PC, PS5 sebenarnya juga demikian, tapi yang biasanya berasal dari brand Alienware. Ya, desainnya langsung mengingatkan saya pada PC besutan divisi gaming Dell tersebut, dan meskipun gambar-gambar promonya menunjukkan PS5 dalam posisi vertikal, ia sebenarnya juga bisa diposisikan secara horizontal.

Satu hal yang sangat mengejutkan (dan sangat cerdas menurut saya) adalah adanya dua varian PS5: satu dengan Blu-ray disc drive, satu lagi tanpa optical disc drive sama sekali dengan label “Digital Edition”. Spesifikasi dan performa keduanya dipastikan identik, tapi tentu saja varian Digital Edition tidak bisa merangkap fungsi sebagai Blu-ray player. Buat yang penasaran dengan performanya, demonstrasi Unreal Engine 5 (yang dijalankan di PS5) belum lama ini semestinya bisa memberikan gambaran.

PlayStation 5 Digital Edition ini merupakan langkah yang sangat cerdas, sebab saya yakin ada banyak konsumen di luar sana yang benar-benar sudah malas berkutat dengan media penyimpanan fisik (saya salah satunya). Harga jualnya juga sudah pasti lebih terjangkau daripada varian standar yang dilengkapi Blu-ray drive.

Namun perlu diingat juga, keuntungan lain membeli versi fisik suatu game adalah, game-nya itu bisa kita jual saat kita sudah bosan atau sudah menamatkannya. Di Indonesia, pasar game PS4 bekas (secondhand) tergolong cukup besar, dan saya yakin kasusnya bakal sama untuk PS5 nanti.

Sony PlayStation 5

PS5 versi standar yang dilengkapi Blu-ray drive mungkin punya banderol lebih mahal daripada PS5 Digital Edition – sayangnya Sony belum merincikan harga masing-masing varian – akan tetapi konsumennya punya opsi untuk menjual koleksi game fisiknya jika mau.

Selain console PS5 itu sendiri, Sony juga mengungkap sejumlah aksesori yang bakal mendampinginya. Mulai dari charging dock untuk controller DualSense, wireless headset dengan dukungan 3D audio, media remote dengan dukungan perintah suara, sampai sepasang webcam 1080p, semuanya akan dipasarkan bersama PS5 memasuki musim liburan nanti.

9 game eksklusif dari PlayStation Studios

Masih ingat dengan PlayStation Studios? Nama baru dari Sony Interactive Entertainment Worldwide Studios itu telah menyiapkan 9 judul eksklusif untuk dinikmati di PS5. Yang pertama adalah Horizon Forbidden West, sekuel Horizon Zero Dawn yang memukau dari sisi grafik, cerita maupun gameplay.

Dalam Forbidden West, pemain akan kembali menjalankan Aloy, kali ini di lokasi-lokasi baru yang lebih bervariasi. Petualangan yang lebih besar menanti para penggemar action RPG garapan Guerilla Games ini.

Selanjutnya, ada Marvel’s Spider-Man: Miles Morales, sekuel dari Marvel’s Spider-Man karya Insomniac Games. Buat yang pernah menonton Spider-Man: Into the Spider-Verse, nama Miles Morales semestinya terdengar tidak asing. Ya, tokoh utama film animasi dari tahun 2018 itu bakal menjadi protagonis utama di game ini.

Selain Spider-Man, suguhan lain Insomniac Games buat PS5 adalah Ratchet & Clank: Rift Apart. Anda tak harus menjadi penggemar seri Ratchet & Clank untuk bisa mengapresiasi game terbarunya ini; Insomniac berhasil memanfaatkan narasi game yang bertema petualangan lintas dimensi untuk memaksimalkan kapabilitas hardware PS5, terutama SSD super-cepatnya yang memungkinkan sang lakon untuk berpindah dari satu dunia ke yang lain tanpa diinterupsi loading screen sekali pun.

Berikutnya, ada Demon’s Souls yang merupakan remake dari game berjudul sama karya FromSoftware. Grafik yang ditawarkan versi remake-nya ini terlihat istimewa, dan reputasi pengembangnya (Bluepoint Games) yang jadi taruhan. Yup, mereka adalah studio yang sama yang mengerjakan remake Shadow of the Colossus buat PS4 dua tahun lalu.

PlayStation baru tanpa Gran Turismo baru terkesan tidak afdal, dan untuk itulah Gran Turismo 7 eksis. Selain grafik yang makin memukau, Gran Turismo 7 juga akan kembali menghadirkan mode GT Simulation yang legendaris, pengalaman menyetir yang lebih realistis berkat haptic feedback pada controller DualSense, serta dukungan 3D audio untuk menunjukkan posisi mobil-mobil kompetitor.

Game selanjutnya pasti terdengar tidak asing bagi penggemar seri LittleBigPlanet. Sackboy A Big Adventure siap mengajak pemain bertualang bersama maskot imut LittleBigPlanet tersebut. Petualangannya juga tak perlu dijalani sendirian; game ini turut mendukung co-op multiplayer hingga empat pemain sekaligus.

Berikutnya, ada Returnal yang merupakan third-person shooter tapi dengan elemen roguelike. Jadi setiap kali karakter utamanya mati, permainan bukannya berakhir, melainkan justru membawa kita ke dunia baru yang berubah total. Returnal dikerjakan oleh Housemarque, studio asal Finlandia yang portofolionya mencakup gamegame seperti Resogun maupun Nex Machina.

Twisted Metal dengan nuansa konyol ala Rocket League, itulah kesan yang saya dapat setelah menonton trailer Destruction AllStars. Jujur saya sudah lupa kapan terakhir memainkan permainan vehicle-based combat seperti ini.

Terakhir, ada Astro’s Playroom yang akan tersedia secara cuma-cuma (pre-loaded) di PS5. Game ini melanjutkan petualangan sang robot lucu bernama Astro yang sebelumnya hanya bisa dinikmati lewat medium VR.

Game-game lain dari developer pihak ketiga

Di luar PlayStation Studios, sederet developer dan publisher lain turut memamerkan sejumlah karyanya buat PS5, termasuk komunitas developer indie. Kita mulai dari yang paling ajaib, yakni Grand Theft Auto V. Ajaib karena game garapan Rockstar ini seakan tidak mau mati dimakan usia.

GTA V pertama dirilis untuk PS3 di tahun 2013, sebelum akhirnya dirilis ulang di PS4 dengan peningkatan kualitas visual. Tahun depan, GTA V (plus GTA Online) akan dirilis kembali untuk kali kedua di PS5, dan lagi-lagi dengan janji kualitas visual yang lebih baik, beserta sejumlah penyempurnaan teknis lainnya. Tebakan saya: GTA V bakal berjalan di resolusi 4K 60 fps pada PS5.

Lanjut ke Godfall, game terbitan Gearbox ini bakal menjalani debutnya di PS5 sekaligus PC. Permainan menyuguhkan latar medieval yang apik, dan bakal mengawinkan combat ala Dark Souls dengan elemen looting equipment legendaris ala seri Borderlands. Trailer terbarunya di atas akhirnya menunjukkan model gameplay-nya, setelah sebelumnya cuma hadir dalam wujud trailer sinematik.

Resident Evil Village alias Resident Evil 8 bakal melanjutkan kembali perspektif first-person yang diperkenalkan game sebelumnya. Capcom menjanjikan porsi yang lebih besar pada elemen eksplorasi dan combat, dan jalan ceritanya sendiri melanjutkan peristiwa yang terjadi pada Resident Evil 7.

Sci-fi tapi dengan bumbu mistis, kira-kira seperti itu gambaran yang saya dapat setelah menonton trailer Pragmata di atas. Sejauh ini tidak banyak yang diketahui tentang game bikinan Capcom ini, sebab jadwal perilisannya sendiri masih jauh (2022).

Jujur saya paling excited dengan yang satu ini. Deathloop digarap oleh Arkane Studios, developer di balik seri Dishonored. Kalau melihat trailer-nya, Deathloop akan kembali menerapkan formula stealth yang serupa, lengkap dengan sejumlah skill yang sangat menarik dan menggugah hasrat bermain. Yang sedikit berbeda, selain setting dan persenjataannya, adalah tempo permainan yang sepertinya lebih cepat pada Deathloop.

Shinji Mikami kembali memeriahkan kategori game horor dengan Ghostwire: Tokyo. Protagonisnya merupakan seorang pemuda dengan beragam kemampuan telekinesis dan sihir, dan tugasnya adalah menyelamatkan Tokyo dari kepunahan sekaligus menguak misteri di balik hilangnya 99% dari populasi kota tersebut.

Kalau Oddworld: New ‘n’ Tasty yang dirilis di tahun 2014 merupakan remake dari Oddworld: Abe’s Oddysee, maka Oddworld: Soulstorm ini bisa dilihat sebagai remake dari sekuelnya, Oddworld: Abe’s Exoddus. Namun ketimbang sebatas merombak visual dan gameplay, Soulstorm juga bakal menghadirkan sejumlah elemen yang benar-benar baru.

Judul indie yang paling menarik kalau menurut saya, Kena: Bridge of Spirits dikerjakan oleh Ember Lab, studio yang sebelumnya menekuni bidang animasi dan perfilman. Permainan mengisahkan perjalanan seorang pemuda yang mencoba menguak misteri di balik peristiwa mengenaskan yang menimpa desanya.

Visualnya terlihat begitu menarik, dan developer-nya juga menjanjikan narasi yang mendalam. Combat yang disajikan juga cukup memikat, terutama berkat sejumlah skill yang sanggup memanipulasi kondisi lingkungan di sekitar sang protagonis.

Gameplay lengkapnya belum diungkap, namun teaser di atas sudah bisa menggambarkan grafik menawan yang NBA 2K21 tawarkan. 2K sepertinya sengaja menampilkan adegan-adegan penuh bayangan, sebab seperti yang kita tahu, dukungan ray tracing bakal menjadi salah satu fitur unggulan PS5 di samping waktu loading yang luar biasa cepat.

Digarap oleh pengembang Octodad: Dadliest Catch, Bugsnax mengisahkan petualangan seorang jurnalis ke Snaktooth Island untuk bertemu dan mewawancara langsung makhluk jenaka bernama Bugsnax, yang dideskripsikan sebagai separuh serangga (bug), separuh jajanan (snack). Meski sepintas terlihat penuh kekonyolan, Bugsnax disebut juga bakal menjadi panggung demonstrasi yang pas buat kapabilitas controller DualSense.

Action RPG dengan dunia semi-open world dan elemen survival, deskripsi itu saja sebenarnya sudah membuat Little Devil Inside sangat menarik perhatian, apalagi ditambah dengan grafik poligonal yang apik. Trailer-nya bisa dibilang penuh intrik: sesekali menampilkan setting fantasi dengan beragam monster ala The Witcher, tapi beberapa saat juga menunjukkan suasana kehidupan urban.

Goodbye Volcano High terdengar sangat cocok dijadikan judul sebuah serial TV, dan ternyata developer game ini juga ingin memberikan pengalaman yang serupa seperti kegiatan binge watching drama romansa. Bedanya, berhubung pemain bakal dihadapkan dengan banyak pilihan di sepanjang permainan, narasinya otomatis bakal bercabang dan pada akhirnya menuntut lebih dari satu playthrough untuk mendalami cerita lengkapnya.

Hitman 3 bakal menjadi penutup dari trilogi World of Assassination dan kembali menempatkan pemain sebagai Agent 47, dan kontrak yang dijalaninya dalam game ini disebut sebagai yang terpenting di sepanjang kariernya. Permainan sekali lagi bakal membebaskan kita dalam memilih solusi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan misi, dan itu membuka potensi agar game bisa kita tamatkan lebih dari satu kali (dengan cara penyelesaian misi yang berbeda tentu saja).

Project Athia, judulnya terkesan seperti belum final (dan memang kenyataannya demikian), namun teaser singkatnya di atas berhasil menarik perhatian saya, terutama berkat sejumlah cuplikan gameplay yang turut dihidangkan – biasanya kalau game masih dalam tahap pengembangan, kita hanya akan diberi trailer sinematiknya saja.

Fakta menarik lain seputar game ini adalah, ia dikerjakan oleh Luminous Productions, studio baru yang Square Enix dirikan di tahun 2018, dengan sejumlah personil yang berasal dari tim pengembang Final Fantasy XV.

Apa jadinya kalau Shadow of Colossus mengambil tema sci-fi dengan setting antariksa dan gaya visual cel-shaded? Kemungkinan hasil jadinya mirip game berjudul Solar Ash ini. Solar Ash merupakan game kedua Heart Machine, kreator game indie yang cukup populer dari tahun 2016, yaitu Hyper Light Drifter.

Temanya petualangan lintas planet, tapi ketimbang menyajikan potret galaksi yang penuh warna, Jett: The Far Shore lebih memilih menampilkan suasana kelam di suatu planet mirip Bumi. Trailer-nya penuh dengan misteri, dan itulah yang harus pemain pecahkan dalam permainan bergaya sinematik ini.

Persembahan terbaru Annapurna Interactive berjudul Stray ini menempatkan pemain sebagai seekor kucing yang tersesat di sebuah kota di masa depan. Tujuannya tidak lebih dari sebatas pulang dan berjumpa kembali dengan keluarganya, meski itu tentu bukanlah hal yang mudah, apalagi mengingat kotanya mirip Kowloon Walled City versi cyberpunk.

Pertama diumumkan di akhir 2018, The Pathless mengisahkan petualangan seorang pemanah bersama burung elang peliharaannya di dunia yang penuh keajaiban. Awalnya game ini ditujukan buat PS4, namun sekarang developer Giant Squid mengumumkan bahwa The Pathless juga akan hadir di PS5, dan bakal memaksimalkan kapabilitas hardware-nya, terutama controller DualSense demi semakin menumbuhkan kesan immersive.

Sumber: PlayStation Blog 1, 2.

Review Razer Basilisk V2: Tampilan Garang dengan Fitur-Fitur Matang

Jika sebelumnya saya memberikan penilaian saya untuk keyboard SteelSeries Apex 7, kali ini saya akan menuliskan review Razer Basilisk V2 yang baru saya beli bulan Mei 2020 lalu. Makanya, review ini baru keluar sekarang meski mouse ini sudah dirilis awal tahun 2020, bersamaan dengan DeathAdder V2.

Seperti biasanya, saya harus mengatakan bahwa review gaming peripheral sepenuhnya subjektif karena akan sangat bergantung pada pengalaman, kemampuan bermain, dan ukuran fisik sang reviewer. Karena itulah, saya juga merasa harus menyebutkan pengalaman saya sebagai justifikasi atas penilaian saya kali ini.

Saya sendiri memang sudah menggunakan belasan mouse dari Razer dan puluhan gaming peripheral lainnya sejak tahun 2008. Di sisi lain, saya harus mengakui bahwa kemampuan gaming saya juga memang mungkin menyedihkan kawkawkawkawk… Setidaknya jika dibandingkan dengan pro player game FPS ataupun MOBA PC yang menuntut kelincahan dan akurasi super tinggi dalam menggunakan mouse.

Saya sendiri juga sebenarnya lebih suka game-game singleplayer ataupun cooperative seperti Borderlands 3 ataupun The Outer Worlds yang mungkin tidak menuntut kelincahan dan akurasi aiming layaknya CS: GO. Namun setidaknya, karena memang lebih suka memainkan game-game singleplayer, sudah cukup banyak game-game yang saya selesaikan Single Player Campaign-nya — sekitar 2000 judul game PC dari sejak saya mengenal PC gaming di 2003.

Saya kira cukup latar belakang saya yang mungkin bisa Anda pertimbangkan juga saat membaca review Razer Basilisk V2 kali ini.

Bodi dan Fisik Razer Basilisk V2

Perbandingan ukuran dengan jam tangan yang saya gunakan. Dokumentasi: Hybrid
Perbandingan ukuran dengan jam tangan yang saya gunakan. Dokumentasi: Hybrid

Satu hal yang paling penting untuk dipertimbangkan saat ingin memilih gaming mouse untuk dibeli adalah ukurannya, apakah nyaman di tangan dan sesuai dengan gaya menggenggam mouse Anda — apakah itu palm, claw, ataupun fingertip grip. Pasalnya, jika ukuran mouse terlalu kecil untuk tangan, Anda tak mungkin juga menggunakan gaya palm jika gaya itu yang paling sering digunakan.

Saya sendiri lebih terbiasa menggunakan palm grip dengan ukuran tangan sedang (tidak besar, tidak kecil juga) untuk ukuran orang Indonesia dan saya sangat nyaman menggunakan Basilisk V2 ini. Seperti yang saya tuliskan di review sebelumnya, saya bisa bermain game 8 jam tanpa henti — kecuali mungkin ke toilet. Saya pun merasakan kenyamanan sempurna dengan mouse yang satu ini.

Basilisk V2 juga menawarkan 11 tombol yang bisa diganti fungsinya — programmable buttons. Saya memang biasanya tidak menggunakan tombol di bawah scroll, yang biasanya digunakan untuk mengganti sensitivitas — termasuk 2 tombol di bawah scroll di mouse ini. Meski begitu, Razer Naga adalah mouse favorit saya sampai hari ini karena menawarkan 12 tombol di sisi kiri badan — untuk ibu jari. Jadi, saya memang sudah terbiasa untuk memanfaatkan side buttons di gaming mouse.

side buttons di Basilisk V2 juga sangat nyaman digunakan, meski sayangnya tidak sebanyak Razer Naga. Namun, 1 tombol samping di paling depan kurang pas dengan lokasi ibu jari saya sehingga tidak secepat mengakses 2 tombol samping lainnya saat permainan sedang berjalan dengan tempo cepat. Jadi, biasanya saya memilih untuk menggunakan tombol tersebut untuk fungsi yang tidak terlalu butuh kecepatan — seperti membuka map (biasanya tombol M di keyboard). Selain itu, 2 tombol yang ada di samping sangat cepat diakses dan nyaman dipencet.

Tiga tombol di bagian kiri mouse. Dokumentasi: Hybrid
Tiga tombol di bagian kiri mouse. Dokumentasi: Hybrid

Saya juga suka melihat tampilan Basilisk V2 yang terlihat garang — tidak seperti DeathAdder V2 yang lebih subtle. Oh iya, finishing dan bodi Basilisk V2 juga terasa solid layaknya mouse premium — sepadan dengan harga yang harus Anda bayarkan.

Selain satu tombol samping yang sedikit terlalu jauh tadi, saya sungguh tidak bisa mencari kekurangan lain dari aspek bodi dan fisik yang ditawarkan oleh mouse yang satu ini.

Kecepatan, Akurasi, dan Klik Switch Razer Basilisk V2

Tentu saja, akurasi aiming dan kecepatan gliding juga akan jadi salah satu pertimbangan utama buat Anda para gamer dalam menentukan mouse yang ingin digunakan. Basilisk V2 juga sempurna dalam hal ini. Oh iya, mengingat akurasi dan kecepatan sensor juga bergantung dengan mousepad yang Anda gunakan, saya menggunakan Razer Goliathus Control dengan mouse ini.

Sensor Focus+. Sumber: Razer
Sensor Focus+. Sumber: Razer

Untuk akurasi dan kecepatan yang tak bercela, hal ini mungkin memang sudah sesuai ekspektasi. Spesifikasi yang diungkap Razer untuk Basilisk V2 ini sensornya bisa mencapai 20ribu DPI dengan teknologi Focus+ sensor optical dan akurasi 99.6%. Selain itu, ia juga menyuguhkan akselerasi sampai dengan 650 inci per detik atau 50G. Meski memang sebenarnya tidak ada gamer yang menggunakan DPI ataupun akselerasi tadi sampai mentok, saya kira teknologi sensor Focus+ dengan akurasi 99.6% tadi yang membuat mouse ini sangat nyaman untuk aiming dan gliding.

Dari pengalaman saya mencobanya di Borderlands 3 dan The Outer Worlds, mouse ini sungguh sempurna karena tidak terasa licin namun sangat responsif — beberapa mouse yang sangat responsif kadang terasa sedikit terlalu licin untuk saya.

Di bagian ini saya juga ingin membahas soal switch klik yang digunakan. Faktanya, mouse Razer itu dulu memang terkenal dengan masalah double click. Saya bahkan membeli Razer Naga generasi pertama sampai 3 kali dan ketiganya berakhir dengan masalah double click. Namun demikian, saya cukup salut dengan keputusan Razer yang mengakui masalah tersebut dengan mengganti switch yang digunakan. Dari pengalaman saya, switch klik yang biasanya berakhir double click adalah switch dari Omron yang kelas murahan — yang bahkan masih digunakan di mouse gaming beberapa merek lainnya.

Di Basilisk V2 ini, Razer menggunakan optical switch yang diklaim mampu bertahan sampai dengan 70 juta kali pencetan. Sebelum saya memutuskan membeli mouse ini, saya juga sempat googling dengan kata kunci “Razer Basilisk V2 double click” ataupun “razer optical mouse switch double click“. Hasilnya, sentimen netizen tentang mouse ataupun switch ini sangat positif. Setidaknya saya belum menemukan postingan soal double click untuk Basilisk V2 saat menulis artikel ini. Sepertinya, Razer memang berhasil menemukan desain switch yang mampu terhindar dari masalah paling menyebalkan sepanjang sejarah gaming mouse.

Optical Switch dari Razer. Sumber: Razer
Optical Switch dari Razer. Sumber: Razer

Meski begitu, saya juga tidak bisa memastikan 100% karena saya memang baru menggunakan mouse ini sekitar sebulan lebih. Selain itu, bisa jadi karena memang mouse ini baru dirilis di awal tahun, belum ada netizen yang melaporkannya. Semoga saja saya ingat untuk meng-update review ini jika terjadi masalah double click dengan mouse saya. Wkwakwakwa

Oh iya, terakhir sebelum saya menutup bagian ini, selain Basilisk V2, Razer juga menggunakan optical switch dan sensor Focus+ di DeathAdder V2, Viper Ultimate, dan Basilisk Ultimate. Nah, yang jadi pertimbangan adalah harga Razer DeathAdder V2 yang dibanderol dengan harga (kurang lebih) Rp200 ribu lebih murah.

Fitur Tambahan Razer Basilisk V2

Jika dibandingkan dengan DeathAdder V2 yang sedikit lebih murah tadi, fitur tambahan yang ada di Basilisk V2 adalah kecepatan scroll yang bisa diatur — dengan menggeser roda yang ada di bagian bawah mouse ini. Di satu sisi, saya sendiri menyukai fitur ini — karena bisa berguna buat fungsi makro yang butuh kecepatan namun tetap terukur. Namun demikian, saya juga tahu fitur ini mungkin tidak akan berguna buat gamer lainnya.

Di bagian ini saya juga ingin membahas soal Razer Synapse (versi yang saya gunakan saat menulis ini adalah 3.5.531). Saya tahu banyak orang mungkin tidak terlalu memusingkan soal software gaming peripheral namun saya memang suka bermain-main dengan fungsi makro.

Saya bisa katakan bahwa Razer Synapse menyuguhkan fungsi makro terbaik dari semua software gaming peripheral yang pernah saya gunakan. Semua fungsi makro yang bisa ditemukan di software brand lain (seperti SteelSeries Engine) bisa dilakukan di sini. Namun Razer Synapse menawarkan kelebihan lain, yaitu merekam pergerakan mouse. Dengan begitu, saya bisa menggunakan fungsi makro untuk menekan recoil di game-game FPS.

Menetralisir recoil dengan fungsi makro Razer Synapse
Menetralisir recoil dengan fungsi makro Razer Synapse. Sumber: screenshot pribadi.

Fungsi makro biasanya lebih sering digunakan di game-game RPG ataupun RTS yang butuh banyak tombol namun Razer Synapse memungkinkan fungsi makro jadi begitu bermanfaat buat game FPS.

Kesimpulan

Saat saya mencoba mouse ini, sebenarnya saya memang sengaja mencari-cari kekurangannya. Namun sampai artikel ini ditulis, saya tidak mampu menemukannya. Satu kekurangan minor mungkin adalah soal salah satu tombol di kiri mouse yang terlalu jauh tadi. Namun kekurangan tersebut sebenarnya sangat tidak signifikan karena saya juga masih menggunakannya — seperti memasukkan tombol map saat di game ataupun menyetel fungsi CTRL+I saat mengedit ataupun mengetik artikel.

Jika berbicara soal kompetitor terberat Basilisk V2, produknya juga mungkin datang dari Razer; DeathAdder V2 yang sama-sama menggunakan sensor Focus+ dan optical switch untuk kliknya. Namun demikian, jika Anda tanya saya, saya akan memilih Basilisk V2 karena selisih harganya yang tidak berarti di kisaran ini. Plus Basilisk V2 punya tampilan yang lebih garang dan scroll yang bisa disesuaikan kecepatannya.

Sumber: Razer
Sumber: Razer
Sumber: Razer
Sumber: Razer

Kenapa Menonton Turnamen Esports Gratis? Perlukah Tiket Berbayar?

Dari awal kemunculannya, esports memang sering disandingkan dengan olahraga tradisional. Beberapa kompetisi esports bahkan telah menggunakan model serupa dengan olahraga tradisional, seperti model franchise yang digunakan oleh Mobile Legends Professional League (MPL). Di luar negeri, beberapa liga telah menerapkan sistem kandang-tandang, seperti Overwatch League dan Call of Duty League. Penonton esports juga digadang-gadang akan terus naik dari tahun ke tahun, menyaingi olahraga tradisional.

Hanya saja, ada satu perbedaan antara pertandingan olahraga tradisional dan esports, setidaknya di Indonesia, yaitu soal tiket menonton. Jika Anda ingin menonton pertandingan sepak bola di Gelora Bung Karno, antara klub lokal sekalipun, Anda pasti harus membayar tiket. Namun, lain halnya dengan turnamen esports. Saat ini, kebanyakan turnamen esports masih mengizinkan penonton untuk datang secara gratis. Memang, ada beberapa kompetisi yang mencoba menawarkan tiket berbayar, tapi terkadang, hal ini justru membuat jumlah penonton turun.

Apakah Turnamen Esports Offline Penting?

Pandemi virus corona memaksa banyak kompetisi olahraga dibatalkan, mulai dari balapan sampai liga sepak bola. Untungnya, kompetisi esports masih bisa diadakan secara online, meski ada beberapa kendala yang harus diselesaikan. Memang, pertandingan esports sebenarnya bisa diadakan secara online sepenuhnya. Pertandingan bisa diadakan selama para peserta terhubung ke internet. Sementara untuk menyiarkan pertandingan itu, pihak penyelenggara bisa memanfaatkan berbagai platform streaming game seperti YouTube, Facebook Gaming, dan Twitch. Meskipun begitu, bukan berarti turnamen esports tak perlu digelar offline.

Salah satu masalah ketika turnamen esports diadakan secara online adalah ping yang tinggi, terutama jika pertandingan mempertemukan dua tim yang berada di negara atau bahkan benua yang berbeda. Masalah lainnya adalah soal validitas pertandingan. Saat pertandingan esports diadakan secara offline, pihak penyelenggara bisa memastikan bahwa tidak ada pemain yang bermain curang, bahwa semua perlengkapan yang digunakan peserta tidak dimodifikasi. Jika pertandingan diadakan secara online, penyelenggara harus mengambil langkah pencegahan seperti mendatangkan pengawas ke tempat tim berlaga.

Mobile Legends Pro League diadakan secara online karena pandemi virus corona. | Sumber: Moonton
Mobile Legends Pro League Season 5 diadakan secara online karena pandemi virus corona. | Sumber: Moonton

Sekalipun semua masalah teknis di atas bisa diselesaikan, tetap ada alasan untuk menyelenggarakan turnamen esports secara offline. Apa itu? Sensasi. Di era serba internet ini, Anda dapat dengan mudah menemukan video konser dari band favorit Anda di YouTube. Pertandingan olahraga bergengsi — seperti Piala Dunia — juga pasti disiarkan di televisi. Namun, hal ini tidak menghentikan orang-orang untuk datang ke konser Maroon 5 atau pergi jauh-jauh ke negara tempat Piala Dunia diselenggarakan. Padahal, jelas jauh lebih mudah dan nyaman untuk menonton konser/pertandingan sepak bola dari rumah. Begitu juga dengan turnamen esports.

CEO Mineski Global Indonesia, Agustian Hwang juga setuju dengan pengalaman event offline yang tidak dapat disuguhkan lewat online. “Kalau menurut pandangan saya, kiblat esports adalah olahraga konvesional lainnya, seperti sepakbola. Walaupun pertandingan sepakbola dapat dinikmati melalui televisi ataupun platform online lainnya, ada beberapa experience yang tidak dapat dinikmati secara online seperti atmosfer pertandingan saat memberikan dukungan langsung tim yang bertanding, kesempatan meet and greet dengan pemain ataupun figur-figur esports, koleksi merchandise event maupun team, dan masih banyak lagi.” Jelasnya.

“Menonton secara online dan offline itu sangat berbeda. Hype yang diciptakan saat menonton offline jauh lebih asik daripada saat menonton online saja,” kata Reza Ramadan, Head of Broadcast and Content, Moonton saat dihubungi melalui pesan singkat. Dia juga menjelaskan tentang pentingnya penyelenggaraan turnamen esports offline bagi pihak penyelenggara turnamen. “Turnamen offline tetap dibutuhkan karena berfungsi untuk menjembatani berbagai pihak seperti para fans yang ingin menonton tim kesayangannya secara langsung dan punya chance besar untuk bertatap muka serta aktivasi untuk sponsor sehingga mereka bisa berinteraksi secara langsung dengan para audiens.”

Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV juga mengatakan hal yang sama. “Pengalaman yang didapatkan oleh pemain dan penonton pastinya beda banget, antara offline dan online,” ujarnya saat dihubungi oleh Hybrid.co.id. “Adrenalinnya, euforianya, ajang temu kangen sama teman-temannya, pengalaman bisa foto bareng pemain profesional, teriak-teriak taunting lawan, dan pastinya bentuk apresiasi ketika juaranya nyata dan disaksikan oleh ribuan pasang mata lainnya.”

Mobile Legends Profesional League
Saat RRQ menjuarai MPL Season 5. | Dokumentasi: MPL Indonesia

Dia membandingkan turnamen esports offline dengan konser musik. Selama sebuah kegiatan offline masih bisa memberikan pengalaman yang unik, maka para penonton akan tetap tertarik untuk datang. “Dan pada dasarnya, sebagai manusia, kita adalah makhluk komunal. Jadi, pastinya interaksi dengan orang-orang yang punya ketertarikan yang sama (yang datang ke turnamen esports juga) bakal jadi sebuah nilai plus,” katanya.

Kenapa Penonton Esports Indonesia Enggan Membayar Tiket?

Jika dibandingkan dengan menonton secara online, turnamen esports offline memang dapat memberikan pengalaman yang unik bagi para penontonnya. Namun, hal itu bukan berarti para penonton rela untuk membayar tiket demi menonton. Irli memperkirakan, saat ini, 9 dari 10 turnamen esports di Indonesia bisa ditonton secara gratis.

“Kalau pun berbayar, biasanya penonton dapat reward produk yang nilainya sama dengan harga tiket,” kata Irli. Contohnya, dalam Dunia Games League, penonton yang membeli tiket masuk juga akan mendapatkan kartu SIM Telkomsel berisi pulsa dengan nominal yang senilai harga tiket. Contoh lainnya adalah Mobile Legends Professional League. Reza menjelaskan, harga tiket MPL berkisar Rp20 ribu-an. Selain dapat menonton pertandingan MPL secara langsung, orang-orang yang membeli tiket juga akan mendapatkan in-game items senilai dengan tike tersebut.

“Hal ini demi mengajarkan fans esports di Indonesia ‘kebiasaan’ membeli tiket,” ujarnya. Memang, salah satu faktor mengapa kebanyakan turnamen esports tidak menjual tiket adalah karena penonton esports yang sudah terlanjur terbiasa datang ke acara tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun untuk membeli tiket.

Free Fire Asia Invitational. | Sumber: YouTube
Free Fire Asia Invitational. | Sumber: YouTube

“Kita terbiasa untuk datang ke acara esports dengan gratis. Dan kebanyakan orang yang datang pun memang orang-orang yang mau menonton pertandingannya saja,” ungkap Irli. “Karena marketnya masih berkembang dan animonya masih luar biasa untuk menarik orang-orang datang ke acara offline, jadi tidak diperlukan banyak compliment show atau hiburan lain selain game itu sendiri. Sehingga, penyelenggara tidak punya banyak opsi dalam melakukan eksperimen terkait acara yang mereka adakan.”

Irli menjelaskan, karena kebanyakan penonton datang untuk menonton pertandingan antara tim esports, jika penyelenggara mengadakan hiburan lain — misalnya, mengundang penyanyi sebagai acara pembuka atau penutup — hal itu justru menjadi sia-sia. “Sering kali, ketika guest star-nya tampil, penonton malah sudah bubar,” aku Irli. “Jadi, dari pihak penyelenggara juga tidak bisa memungut bayaran untuk hiburan tambahan. Karena pada akhirnya, penonton datang hanya untuk menonton main event-nya.”

Irli menyebutkan, alasan lain mengapa penonton esports enggan membayar tiket adalah soal ekslusivitas. “Beda dengan panggung hiburan lainnya seperti olahraga atau musik, para tokoh di esports sangat aktif. Kebanyakan dari mereka melakukan livestream dan membuat konten di YouTube serta Instagram, sehingga para fans-nya merasa ‘connected’ hampir setiap hari,” ujar Irli. Karena itulah, bagi para fans, bertemu dengan idolanya di turnamen offline atau event besar tak lagi terasa istimewa. “Nggak spesial, begitulah.”

Menurut Reza, alasan mengapa kebanyakan turnamen esports di Indonesia masih gratis adalah karena pasar esports Tanah Air yang masih muda, sesederhana itu. “Market Indonesia kan bisa dibilang masih baru, jadi perlu diedukasi. Sementara di luar sana, kebanyakan orang sudah terbiasa untuk menjual tiket acara offline secara proper, karena mereka memang sudah start jauh lebih dulu dari Indonesia.”

Evil Geniuses menjuarai GESC 2019 di Jakarta. | Sumber: RevivalTV
Evil Geniuses menjuarai GESC 2019 di Jakarta. | Sumber: RevivalTV

Irli mengungkap, target audiens dari sebuah turnamen esports juga akan memengaruhi harga tiket. “Ketika ada event internasional untuk game PC, dengan pemain yang rata-rata lebih dewasa, mereka akan lebih bersedia membayar ekstra untuk mendapatkan pengalaman eksklusif, bertemu dengan pemain profesional idola mereka dari luar negeri,” jelas Irli. “Sementara untuk mobile game, dengan audiens yang lebih muda, mereka kebanyakan belum punya buying power yang cukup dan masih mikir macam-macam kalau mau datang ke event.”

Namun, Agus memiliki pendapat yang berbeda. Dia berkata, pantas atau tidaknya sebuah turnamen esports menjual tiket tergantung pada kualitas dari acara itu sendiri. “Menurut pandangan saya, untuk memungut bayaran dari ticketing akan tergantung pada kualitas dari event dan fitur apa saja yang ditawarkan pada audiens sehingga mereka rela untuk spending. Jadi, kaitannya bukan dari segi target audiensnya, tapi dari segi value yang dapat diberikan dari event tersebut untuk audiens,” ujar pria yang akrab dengan panggilan Agus ini.

Sementara dari sudut pandang pihak penyelenggara turnamen, mereka juga punya alasan sendiri mengapa mereka memilih untuk tidak menjual tiket. “Alasan utamanya mungkin adalah untuk mengejar target jumlah audiens yang datang, yang ditetapkan pihak sponsor,” ujar Irli. Dia menjelaskan, biasanya, pada tahap pengajuan proposal pada sponsor, pihak penyelenggara akan menjanjikan bahwa acara mereka akan mendatangkan sekian banyak penonton. Jika penyelenggara turnamen menjual tiket, ada kemungkinan jumlah penonton yang datang justru turun dan tidak mencapai target. “Sehingga, jika dirasa biaya produksi sudah ditutup oleh uang dari sponsor, tidak perlu lagi menjual tiket untuk mendapatkan revenue.”

Apakah Turnamen Esports Offline di Indonesia akan Terus Gratis?

Saat ditanya apakah di masa depan, turnamen esports offline di Indonesia akan mulai menyediakan tiket berbayar, Irli mengatakan, “Aku yakin, nantinya penyelenggarakan akan menyediakan tiket dan harganya makin lama makin mahal, walau harga juga tergantung pada seberapa eksklusif event-event esports yang diadakan di Indonesia.” Seiring dengan waktu, gen Z yang menjadi target audiens utama turnamen esports mobile game saat ini juga akan tumbuh dewasa, sehingga mereka akan memiliki buying power yang lebih besar. Meskipun begitu, Irli percaya, uang bukanlah sumber utama mengapa turnamen esports di Indonesia tidak menjual tiket pada para penonton.

“Aku percaya, uang sebenarnya bukan faktor utama, walau memang cukup berpengaruh, sesuai target market game itu sendiri. Faktor utamanya adalah habit yang terbentuk di kalangan penonton,” ujar Irli. “Acara-acara esports besar di Indonesia, seperti MPL, PMPL, dan Free Fire itu gratis. Sebuah kompetisi level tertinggi dari sebuah game diadakan secara gratis dan acara itu diadakan resmi oleh publisher-nya sendiri. Jadi, saat ini, yang pegang kendali adalah para publisher. Mereka yang mengatur tren terkait game mereka.” Jika turnamen resmi yang diadakan oleh pihak publisher gratis, maka penonton akan berpikir bahwa turnamen yang diadakan oleh pihak ketiga seharusnya juga gratis. Apalagi, jika acara tersebut tidak lebih baik atau megah dari turnamen yang diadakan oleh publisher.

Penonton yang membludak pada babak final MPL Season 4. | Sumber: Moonton
Penonton yang membludak pada babak final MPL Season 4. | Sumber: Moonton

Reza menjelaskan, saat ini, Moonton sudah menyediakan tiket untuk MPL. Namun, tiket bukan merupakan sumber pemasukan. “Saat ini, kami menyediakan tiket demi mengedukasi fans esports untuk berkomitmen dan menghindari overcapacity di satu arena,” ujarnya. “Contoh kasusnya adalah saat MPL Season 4. Antusiasme fans yang sangat luar biasa mengharuskan kami untuk menahan mereka di luar stadion. Dan kami mengerti kekecewaan mereka: sudah datang jauh-jauh tapi tidak kebagian kursi atau bisa masuk ke dalam stadion. Dan jumlahnya tidak sedikit, mencapai ribuan. Kami ingin mengatasi masalah tersebut. Salah satunya dengan ticketing.”

“Untuk pemasukan, ada banyak sekali sumbernya. Salah satunya adalah sponsorship dari berbagai pihak. Seperti di Season 5, kami punya Realme dan NimoTV sebagai sponsor utama kita,” jawab Reza ketika ditanya tentang sumber pemasukan bagi penyelenggara turnamen esports. Lebih lanjut dia mengungkap, jika dibandingkan dengan sumber pemasukan utama, seperti sponsorship, potensi pemasukan dari penjualan tiket tidak terlalu signifikan. Jadi, tidak heran jika penyelenggara tak terlalu mengejar penjualan tiket turnamen esports, setidaknya untuk saat ini. Soal pendapatan, Agus menambahkan, selain pemasukan dari sponsor, acara esports juga bisa mendapatkan pemasukan dari penjualan merchandise dan juga hak siar.

Irli mengatakan, total pemasukan penyelenggara dari penjualan tiket hanya akan mencapai sekitar 10-25 persen dari total pendapatan mereka. “Misalnya, harga rata-rata tiket Rp50 ribu. Dengan kapasitas Tennis Indoor Senayan untuk seatings dan festival adalah 4 ribu orang, maka jumlah pemasukan maksimal yang didapatkan oleh penyelenggara adalah Rp200 juta per hari. Biasanya, acara diadakan selama 2 hari, jadi total pemasukan dari penjualan tiket adalah Rp400 juta, maksimal. Sementara menyewa Tennis Indoor untuk acara dua hari memakan biaya sekitar Rp440 juta, ditambah biaya sewa waktu instalasi dan tear down sekitar Rp200 juta-an lagi. Belum lagi biaya produksi yang diperlukan untuk memasang panggung dan lain-lain. Secara total, mengadakan acara selama 2 hari di Tennis Indoor bisa menghabiskan biaya minimal Rp2 miliar,” ungkap Irli panjang lebar.

Lebih lanjut, Irli mengatakan, salah satu kelemahan penggunaan tiket berbayar adalah jumlah penonton yang terbatas. Masalahnya, orang-orang yang telah membeli tiket pasti ingin bisa datang dan pergi sesuka hati mereka. Sementara, acara esports biasanya berjalan selama sekitar 8 jam dalam sehari. Menurut Irli, penjualan tiket justru bisa berdampak negatif pada audiens offline. “Mungkin mereka baru datang sore ketika pertandingan mulai memanas. Mungkin, mereka juga datang di awal, tapi tim favoritnya gugur, sehingga mereka pulang terlebih dahulu. Hal ini membuat stadion terlihat ‘kosong’, seolah-olah tak ada penonton yang datang,” ujarnya. Padahal, pihak penyelenggara tak mungkin menjual kembali tempat duduk yang telah dibeli karena sewaktu-waktu, pemilik tiket bisa kembali datang.

Free Fire Shopee Indonesia Masters 2019 Season 2 digelar di Tennis Indoor Senaya. | Sumber: BolaSport.com
Free Fire Shopee Indonesia Masters 2019 Season 2 digelar di Tennis Indoor Senaya. | Sumber: BolaSport.com

“Saat ini, kebanyakan penyelenggara turnamen esports yang audiesnya besar, seperti MPL dan Free Fire, menggunakan sistem rolling,” jelas Irli. “Setiap pertandingan, 4 ribu orang akan masuk ke stadion dan duduk. Ketika ada istirahat antar match dan orang-orang keluar, para penonton yang masih mengantre akan dipersilahkan masuk, begitu terus hingga selseai. Sehingga, pada akhirnya, walau Tennis Indoor kapasitasnya hanya 4 ribu orang, jumlah audiens yang menonton bisa mencapai 12-16 ribu orang per hari. Dan hal ini akan membuat sponsor senang. Mengingat sebagian besar sumber pemasukan datang dari sponsor, ya mau nggak mau, penyelenggara harus buat mereka senang.”

Bagaimana Bentuk Kerja Sama dengan Sponsor?

Seiring dengan semakin populernya esports, semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor, termasuk merek non-endemik, seperti merek makanan atau perusahaan otomotif. Tentu saja, masing-masing perusahaan punya tujuan sendiri untuk menjajaki esports. Karena itulah, Reza mengatakan, bentuk kerja sama antara sponsor dan penyelenggara turnamen juga biasanya berbeda-beda. “Misalnya, pada MPL Season 5, kita punya sponsor Realme dan Nimo TV. Bentuk kerja sama kami dengan keduanya tentu jauh berbeda, walau benefit bagi mereka mungkin ada yang mirip, seperti placement logo. Meskipun begitu, objektif dari setiap sponsor ketika mereka menjalin kerja sama dengan kami pasti berbeda-beda.”

Sementara itu, Irli mengatakan, salah satu jenis bentuk kerja sama yang diinginkan oleh kebanyakan sponsor adalah adanya experience booth di tempat turnamen. Di booth tersebut, para penonton akan bisa langsung mencoba produk dari milik sponsor. “Tapi, kebanyakan, sponsor berharap penyelenggara akan bisa memberikan solusi ke mereka: kegiatan apa yang bagus untuk audiens esports,” ujarnya. Sayangnya, tidak semua penyelenggara memerhatikan hal ini. Dia berkata, ada banyak EO yang berpikir, “Yang penting sponsor mendapatkan eksposur” tanpa memerhatikan apakah keuntungan yang didapat sponsor maksimal atau tidak. Hal ini akan berdampak buruk karena menyebabkan sponsor kapok untuk kembali menjalin kerja sama di masa depan.

Namun, penyelenggara tak bisa hanya memuaskan sponsor tanpa memedulikan kepuasan pengunjung. “The worst thing that can happen to the audience adalah ketika mereka datang ke acara offline dan disodorin produk sponsor gede-gede ke muka mereka,” kata Irli. “Mereka datang untuk lihat tim esports, bukan untuk dipaksa beli barang sponsor. Organizer harus memikirkan cara dan bahasa yang cocok sama target market-nya, untuk memastikan audiens merasa produk sponsor sesuai dengan ketertarikan mereka dan memang mendukung game terkait.”

Kesimpulan

Pada dasarnya, esports memang kegiatan digital. Pertandingan esports bisa dilakukan secara online, tanpa mengharuskan para peserta bertatap muka. Namun, turnamen esports offline tetap memberikan pengalaman yang berbeda, sehingga tetap ada orang-orang yang lebih memilih untuk menonton pertandingan esports secara langsung daripada sekadar melalui online.

Hanya saja, kebanyakan turnamen esports offline belum menjual tiket berbayar. Ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi, mulai dari pasar yang belum matang, masyarakat yang sudah terlanjur terbiasa menonton gratis, sampai masalah eksklusivitas sebuah acara. Ke depan, seiring dengan berkembangnya esports, tak tertutup kemungkinan penyelenggara turnamen esports akan menjual tiket berbayar.

“Menurut saya, Indonesia punya potensi paling besar dibandingkan negara lain di wilayah SEA dalam perkembangan esports-nya. Jadi ketika tren sistem turnamen home-away muncul saya yakin Indonesia yang akan menjadi negara pertama yang akan implementasi.” Tutup Agus.

Sumber header: ESL via Fortune

Pendapat Beberapa Sosok FPS Indonesia Terhadap Valorant

Pekan lalu, gamers di seluruh dunia dimeriahkan dengan kehadiran salah satu FPS terbaru besutan Riot Games, Valorant. Secara sekilas, Valorant terlihat biasa saja, seperti CS:GO, namun memiliki karakter dengan skill khusus layaknya Overwatch. Namun nama besar Riot Games mungkin bisa dibilang menjadi salah satu daya tarik terhadap game ini. Apalagi saat proses pengembangan, Riot Games juga mempromosikan server 128 tick-rate yang katanya banyak diinginkan oleh pemain game FPS kompetitif lainnya.

Satu pekan berlalu, banyak gamers di Indonesia juga segera mencoba game yang satu ini, tak terkecuali sosok-sosok yang bisa dibilang sudah cukup veteran di komunitas FPS Indonesia. Kira-kira apa pendapat mereka terhadap Valorant? Dalam artikel ini saya menanyakan pendapat tiga sosok, Antonius Wilson (Wooswa), Wibi Irbawanto (8Ken), dan perwakilan pemain Team Scrypt yang merupakan tim Rainbow Six: Siege profesional asal Indonesia. Berikut pendapat mereka:

Antonius Wilson a.k.a Wooswa

“Menurut gue game ini berpotensi untuk jadi besar.” Ucap sosok yang terkenal sebagai seorang shoutcaster CS:GO dan PUBG Mobile. “Tapi gue sendiri nggak mengerti, kenapa orang-orang mengatakan bahwa game ini akan membuat CS:GO mati. Karena menurut gue, ini adalah dua game yang sangat berbeda. CS:GO sudah menjadi game klasik yang sulit untuk dijatuhkan, apalagi kalau sampai mereka jadi merilis CS:GO dengan menggunakan engine Source yang baru. Yang seharusnya khawatir adalah Overwatch, karena gue rasa mereka yang akan kena dampak paling besar jika Valorant berhasil menjadi populer.”

Wooswa sendiri tidak hanya menjadi seorang shoutcaster. Belakangan ia juga sedang rajin melakukan livestream via channel Youtube miliknya, dan memainkan Valorant. Jadi tak heran jika ia sedikit banyak paham dengan seluk beluk Valorant secara gameplay. Maka dari itu saya juga menanyakan pendapat dirinya soal kesiapan Valorant untuk menjadi esports dari segi balancing Agents, Map, dan aspek lainnya.

“Masih butuh waktu bagi game ini untuk menjadi esports. Jelas, penyelenggara event bakalan sangat senang dengan game ini, karena spesifikasi hardware yang dibutuhkan relatif ringan dan mudah sekali untuk membuat custom room. Dibanding dengan CS:GO, yang secara spesifikasi lumayan berat, terutama untuk kebutuhan esports, dan juga kerumitan teknis jika ingin membuat turnamen.” Ucapnya membahas kesiapan Valorant menjadi esports dari segi teknis.

“Tapi, masih ada beberapa hero yang harus di-nerf atau buff, beberapa titik map harus di-revamp, beberapa hal dari sistem ekonomi juga harus ada yang dimodifikasi lagi. Kenapa? Karena masa iya elo bisa melihat informasi ekonomi musuh dari scoreboard? Gue rasa itu terlalu mudah, dan mengurangi tingkat kompetitif dari game ini.” tukas Wilson membahas soal kesiapan Valorant untuk esports dari sudut pandang balancing Map dan Agents.

Rixx dan Tolji dari Team Scrypt

Pembaca setia Hybrid mungkin tak asing lagi dengan nama Team Scrypt. Merupakan salah satu tim Indonesia yang bertanding di R6S: ESL Pro League musim lalu, mereka ternyata juga tidak kelewatan mencoba Valorant. Untuk membahas FPS terbaru dari Riot Games ini, Team Scrypt diwakili oleh Richard Nixon Latief (Nixx) dan Reinaldo Gilbert (Tolji).

Gamenya seru, membawa gue ke nostalgia main Counter-Strike, tapi tentu dengan mempelajari ulang mekanik game dan juga mapnya.” Ucap Rixx. “Seru bakal jadi the next CS:GO tapi fast pace.” Tolji menambahkan.

Sumber: Dokumentasi Pribadi Wibi
Rixx (kiri) dan Tolji (kanan) pemain profesional Rainbow Six: Siege dari Team Scrypt yang ternyata juga turut mencicipi Valorant. Sumber: Dokumentasi Pribadi Wibi

Lebih lanjut, Rixx dan Tolji lalu membahas soal kesiapan Valorant untuk jadi esports. Tolji dengan cukup jelas membahas soal balancing Valorant yang masih harus sedikit di-tweak agar jadi lebih baik. “Menurut gue map Bind itu terlalu susah untuk sisi defender. Alasannya adalah karena opsi rotasi dari B ke A cuma 2, yaitu flank atau lewat Defender Side.” ucap Tolji. “Kalau dari sisi Agents, sejauh ini sudah cukup balance. Cuma kayanya Agents entry (Duelist) agak terlalu banyak.” lanjut Tolji.

Pendapat Rixx soal kesiapan Valorant untuk esports cukup senada dengan Wilson, yaitu soal kehadiran custom map. Selain itu Rixx juga menambahkan “Walau terlihat familiar, tapi menurut gue Valorant itu berhasil membedakan dari FPS esports yang lain. Riot berhasil membuat game ini punya pace yang lebih cepat dan membuat para pemainnya harus gesit mengambil keputusan di tengah pertandingan.” ucapnya.

Wibi Irbawanto a.k.a 8Ken

Sumber: Dokumentasi Pribadi Wibi
Wibi Irbawanto (kiri) a.k.a 8Ken yang tak hanya merupakan sosok shoutcaster, tapi juga merupakan salah satu pemain game genre FPS sejak lama. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Seperti Wilson, Wibi juga adalah seorang shoutcaster yang dulu aktif di skena CS:GO dan sempat menjadi shoutcaster untuk PUBG Mobile Pro League Indonesia Season 1. Sepekan mencoba Valorant, Wibi memberikan pendapatnya yang komperhensif terhadap FPS besutan Riot Games yang satu ini.

Wibi membuka pembahasan terhadap Valorant dari sisi potensi game ini di dalam pasar game FPS yang sudah ada saat ini. “Menurut saya, game ini dibuat untuk menyentuh pasar yang menarik. Valorant dirancang untuk beberapa segmentasi pasar sekaligus, dan salah satu pasar terbesar dari game ini justru adalah orang-orang yang punya sedikit atau bahkan tidak punya pengalaman game FPS sama sekali.” ucap Wibi.

“Untuk itu saya setuju dengan apa yang sempat dikatakan Shroud dalam salah satu sesi streaming yang ia lakukan, bahwa Valorant punya skill-cap yang lebih rendah daripada CS:GO, karena memang game ini dirancang tidak serumit CS:GO. Namun di waktu bersamaan Shroud juga bilang bahwa game ini sangat menyenangkan. Saya juga sangat setuju dengan pendapat tersebut, karena gimmick berupa skill yang berbeda-beda dari masing-masing Agent membuat Valorant jadi lebih berwarna.”

Selain itu, Wibi juga menambahkan bahwa Valorant menyentuh satu titik tengah di dalam persaingan game FPS dengan menyajikan berisikan fitur-fitur terbaik dari FPS lainnya. “Dia punya elemen R6S lewat mekanik Agent, gameplay tactical-shooter ala CS:GO, dan ditambah dengan personalita serta skill masing-masing Agents Valorant yang vibrant ala Overwatch, membuat game ini jadi punya daya tarik sendiri. Walau belum sempurna, tetapi Valorant mengambil aspek terbaik dari FPS yang sudah ada, mengurangi yang buruk, dan menjadikannya suatu game tersendiri.”

Wibi juga menambahkan soal alasan kenapa Valorant punya potensi populer yang sangat besar, yaitu karena Free to Play. Jika Anda belum tahu atau mungkin baru sadar, hampir kebanyakan game FPS kompetitif yang sudah ada itu berbayar. Overwatch kini dibanderol seharga US$19.99, CS:GO dulu dibanderol seharga Rp215.999, dan Rainbow Six: Siege dibanderol seharga Rp229.000.

Lalu membahas soal esports, Wibi juga punya pendapat yang serupa dengan dua sosok sebelumnya, yaitu penyediaan custom-room yang membuat game ini satu langkah lebih jauh dibanding dengan FPS kompetitif lainnya.

“Dulu Overwatch punya isu IP clash saat ingin bergabung dalam custom-lobby, begitupun dengan Year 1 R6S, apalagi CS:GO yang memaksa penyelenggara turnamen untuk menyewa server sendiri dalam menjalankan custom-lobby. Apex Legends dan Fortnite apalagi, padahal dua game tersebut sempat populer di Indonesia, tapi gara-gara sulit membuat custom-room, game ini jadi meredup. Jadi ini sebenarnya adalah kabar baik untuk para event organizer di Indonesia! Membuat turnamen jadi lebih mudah.”

Dari pembahasan soal custom-room, Wibi lalu melanjutkan pembahasan dari segi balancing. Soal map, satu yang ia keluhkan sebenarnya adalah variasinya yang masih terlalu sedikit. Namun, satu hal yang membuat kemungkinan Valorant semakin besar untuk jadi esports lagi-lagi adalah karena mereka membuat Valorant familiar bagi pemain lama di FPS, lewat sistem 3-way lane yang mereka sajikan. “Memang sistem tersebut pun juga mereka hadirkan dengan beberapa gimmick, seperti map Bind yang punya teleporter dari A ke B dan sebaliknya, atau map Haven yang punya 3 bombsite.”

Lalu soal Agents, Wibi menganggap bahwa Riot Games memang perlu melakukan balancing lebih lanjut terhadap karakter yang ada. “Ini cukup wajar, karena selama open-beta, mereka masih fokus dalam urusan stabilitas server.” ucapnya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sedikit banyak meta Valorant sudah terbentuk, yang mana belum bisa dibilang sepenuhnya seimbang.

“Kita sudah bisa melihat bagaimana Sage jadi Agent wajib di game ini karena bisa menghidupkan Agent lain. Sementara itu, di waktu bersamaan ada juga Agent seperti Jett, yang sebenarnya adalah salah satu poster girl bagi Valorant, namun perannya di dalam pertandingan cenderung insignifikan jika dibanding Agent lain.

Sedikit menanggapi dari pendapat sosok-sosok di atas, saya sendiri kuran lebih banyak setuju dengan pendapat mereka. Dan menurut saya, yang membuat Valorant terasa lebih khas adalah kehadiran sosok-sosok Agents. Hal tersebut membuat game tactical FPS kompetitif yang cenderung kaku, jadi lebih segar dengan sajian personalita masing-masing Agents yang datang dari latar budaya yang berbeda-beda.

Jadi bagaimana dengan Anda? Sudah mencicipi Valorant? Bagaimana pendapat Anda akan game ini?

Apakah EVOS Membership Bisa Mengubah Lanskap Industri Esports Indonesia?

3 Juni 2020 yang lalu, WHIM Management (manajemen di balik EVOS Esports) resmi meluncurkan program keanggotaan terbesar di Asia Tenggara. Menariknya, pada awal peluncurannya kali ini, EVOS menawarkan 2 paket keanggotaan (gratis dan berbayar). EVOS Basic bisa didapatkan secara gratis sedangkan EVOS+ bisa Anda dapatkan setelah mendaftar EVOS Basic dan membayar sejumlah Rp450 ribu.

Saya pun menghubungi Ivan Yeo, CEO dari EVOS Esports untuk berbincang-bincang seputar program keanggotaan ini dan bagaimana program tersebut bisa mengubah kondisi industri esports Indonesia.

Di siaran pers yang kami terima, Ivan memang mengatakan bahwa program ini adalah bentuk komitmen dari EVOS untuk mendekatkan para atlet, influencer, dan penggemar EVOS. Mengingat saya sebenarnya kurang puas dengan jawaban tadi, saya pun menanyakan tujuan program membership ini langsung ke Ivan.

EVOS membership
Kartu member EVOS+. Sumber: EVOS Esports

Ivan pun menjawab, “di EVOS Esports, kami selalu mengeksplorasi cara-cara inovatif baru untuk memberikan nilai lebih kepada fans-fans kami. Dengan keanggotaan berbayar ini, hal tersebut memungkinkan fans-fans mendapatkan akses khusus ke berita ekslusif atau jadi yang pertama menonton konten-konten kami. Fans EVOS juga bisa membeli berbagai official merchandise eksklusif dan game voucher dari laman EVOS Membership. Mereka juga bisa berbagi aktivitas dan ide-ide komunitas.”

Selain itu, Ivan pun melanjutkan bahwa anggota yang berbayar bisa mengikuti perjalanan tim EVOS, lengkap dengan skor dari berbagai turnamen dan newsletter.

“Kami punya banyak sekali kabar baik yang sudah direncanakan dan akan kami bagikan saat kami siap.” Tambah Ivan.

Mendekatkan fans dengan para pemain dan tim yang mereka idolakan memang kedengarannya menarik. Namun demikian, di sisi lain, ada banyak hal yang bisa dicapai dengan program keanggotaan ini menurut saya pribadi.

Pertama, tentu saja pendapatan untuk EVOS dari biaya keanggotaan. Meski mungkin memang nilainya tidak seberapa, mengingat di tahun 2019 kemarin EVOS dikabarkan mendapatkan investasi sebesar US$4,4 juta dan total hadiah turnamen sebesar Rp6 miliar yang mereka dapatkan dalam setahun, pendapatan tersebut tetap bisa digunakan untuk sejumlah kebutuhan yang tidak terlalu besar nominalnya.

EVOS membership
Coach jacket yang akan didapatkan oleh anggota EVOS+. | Sumber: EVOS Esports

Keuntungan kedua yang bisa dicapai adalah soal pembuktian dan branding. Jika jumlah anggota berbayar EVOS memang cukup besar, hal ini menjadi bukti konkret bahwa fanatisme para pendukung EVOS memang memiliki nilai tersendiri. Angka tadi bisa dijual lagi ke para sponsor untuk meraih nilai kontrak yang lebih besar karena EVOS berhasil memberikan bukti konversi dari para pendukungnya — tak hanya soal awareness atau engagement yang biasanya ditawarkan oleh tim-tim esports.

Sebelumnya, soal konversi ini, EVOS juga sudah berhasil meraup setidaknya Rp150 juta lewat penjualan merchandise saat M1 dan MPL ID S4.

Ketiga, jika EVOS juga cukup jeli melihat peluang, ada satu hal lagi yang bisa dimanfaatkan dari program keanggotaan ini — baik berbayar ataupun gratis; yaitu data keanggotaan. Soal data di esports ini, Indonesia mungkin masih sedikit ketinggalan jika dibandingkan dengan industri esports di luar sana. Padahal, data bisa jadi begitu berharga. 

Saat ini, data-data yang ada di seputar industri esports Indonesia kebanyakan datang dari platform digital — Facebook dan Google. Namun faktanya, data-data tadi bisa jadi kurang akurat — siapakah yang belum pernah berbohong saat ditanya umurnya di dunia maya? Misalnya saat Anda dulu mengunjungi situs-situs yang tidak bisa saya sebutkan namanya di sini… Wkwakwakwakaw

Selain itu, data-data tadi masih kurang lengkap karena biasanya hanya soal usia dan jenis kelamin. Dengan program keanggotaan, pemetaan pasar esports bisa jadi kelihatan lebih jelas karena ada tambahan dimensi/perspektif yang bisa digunakan — selama memang dimanfaatkan dengan baik.

merchandise evos
Booth EVOS di M1. Dokumentasi: Hybrid

Kesuksesan program ini tentu saja juga bisa diukur dari jumlah fans yang bergabung dengan EVOS Membership. Lalu, berapakah jumlah anggota mereka sekarang? Berapa targetnya?

Saat kami berbincang, Ivan mengatakan bahwa sudah ada 100 ribu anggota yang tergabung dalam EVOS Membership — baik itu yang gratis dan berbayar. Sayangnya, ia tidak menyebutkan jumlah detailnya (berapa yang bayar dan berapa yang gratis). Sedangkan untuk targetnya, “kami menargetkan 1 juta anggota di akhir tahun 2020 ini, berdasarkan ledakan pertumbuhan industri esports di Indonesia.” Jelas Ivan.

Lebih lanjut Ivan pun menambahkan bahwa EVOS terbuka untuk membantu serta mengedukasi brand dan para profesional dalam memanfaatkan esports sebagai jembatan untuk terhubung dengan generasi Milenial dan Gen Z, yang sudah bergeser dari mengkonsumsi konten di media tradisional dan lebih aktif lewat esports.

Jika Anda membayar untuk menjadi anggota EVOS+, Anda memang akan mendapatkan sejumlah merchandise EVOS yang mungkin nilainya lebih besar dari harganya. Namun demikian, mungkin tidak sedikit juga fans esports yang tidak tertarik dengan jaket ataupun merchandise yang didapat saat jadi EVOS+ Member. Lalu bagaimana strategi mereka untuk meraih lebih banyak anggota?

Haha… Don’t really want to share. Other teams gonna do as well la. Hahaha…” Jawab Ivan sembari bercanda.

Di rilis yang kami terima, EVOS sebenarnya juga sudah menjelaskan ada beberapa keuntungan yang bisa didapat oleh anggota EVOS Membership. Berikut adalah daftar keuntungannya:

  1. Special deals dengan brand-brand yang bekerjasama dengan EVOS
  2. Konten eksklusif dari EVOS
  3. Undangan eksklusif ke event-event EVOS
  4. Special giveaway dari EVOS
  5. Merchandise eksklusif dari EVOS
  6. Potongan harga khusus di EVOS Goods
  7. Harga khusus pada in-game credits.

Meski memang kelihatannya menarik, apakah hal tersebut cukup untuk membuat fans-fans esports tanah air untuk bergabung, apalagi membayar?

Pasalnya, pasar esports Indonesia mungkin memang nyatanya lebih suka semua yang gratisan. Bahkan kebanyakan turnamen esports dalam negeri, khususnya esports mobile, tak berani menerapkan sistem tiket berbayar karena takut sepi pengunjung. Jika menonton langsung turnamen saja pasar tak mau merogoh kocek, apa yang bisa dilakukan EVOS untuk mendapatkan lebih banyak anggota berbayar?

Kita tunggu saja apakah Ivan dan rekan-rekannya dari EVOS punya strategi yang cukup jitu untuk membujuk lebih banyak orang untuk ikut program membership ini.

Andai saja program keanggotaan berbayar ini berhasil nanti. Apakah dampaknya terhadap industri esports tanah air?

“Hal ini akan memberikan dampak positif ke ekosistem esports di Indonesia. Jika program keanggotaan berbayar memang berhasil dilakukan oleh EVOS, hal ini akan membuat organisasi esports lebih sustainable. Di sisi lainnya, kesuksesan ini juga bisa menjadi bukti bahwa fans esports memiliki daya beli (buying power).”

Lebih lanjut Ivan pun menambahkan bahwa, di pasar global, Gen Z memiliki daya beli sebesar US$143 miliar dan akan menyumbang 40% dari total pengeluaran konsumen di 2020. Gen Z juga diprediksi akan mencakup 1/3 dari total populasi dunia. “Di Indonesia sendiri, jumlah pengguna aktif dari Gen Z meningkat 25% lebih cepat ketimbang pengguna yang lebih tua — menurut App Annie.” Tutup Ivan.

Saya setuju dengan pendapat Ivan tadi. Seperti yang pernah saya tuliskan saat mencoba memetakan pasar esports Indonesia, salah satu argumen yang digunakan adalah fanatisme penggemar esports yang sama seperti penggemar olahraga. Sayangnya, hal tersebut memang tidak ada bukti konkretnya. Apalagi mengingat fans esports Indonesia bahkan cenderung enggan membayar untuk menonton langsung tim kebangaannya bertanding — tidak seperti fans Persija yang rela merogoh kocek untuk membeli tiket.

Dokumentasi: Ivan Yeo
Ivan Yeo (kedua dari kiri) bersama dengan petinggi EVOS lainnya. Dokumentasi: Ivan Yeo

Jika EVOS berhasil membuat banyak fans-nya membayar EVOS+ berarti bukan pasar esports Indonesia yang tak punya daya beli — bisa jadi memang tawaran/umpannya saja yang tidak menarik untuk pasar.

Selain itu, secara makro, aliran dana di industri esports juga berarti bisa jadi lebih luas dari sebelumnya. Selama ini, aliran dana di esports itu memang terlalu sempit. Seringnya, atau malah selalu, aliran dana hanyalah turun dari sponsor brand/publisher ke event organizer atau ke tim esports. Jika EVOS berhasil menyakinkan banyak fans untuk menjadi member EVOS+, berarti aliran dana dari fans bisa diputarkan ke pelaku lain di industri ini.

Akhirnya, saya kira tantangan ini juga bukan hal yang mudah. Meyakinkan pasar yang lebih suka barang gratisan untuk membayar itu memang nyatanya tidak semudah yang dibayangkan. Apakah EVOS bisa berhasil dengan program keanggotaan berbayarnya?

Sumber Feat Image: MPL Indonesia

[Exclusive Interview] Apa Rencana Riot Games untuk Valorant di Indonesia?

Tanggal 2 Juni 2020 lalu, Riot Games akhirnya secara resmi merilis game FPS buatannya, Valorant. Antusiasme para gamers terhadap Valorant terbilang cukup tinggi. Riot Games pertama kali mengumumkannya sebagai Project A pada ulang tahunnya yang ke-10, bersama dengan League of Legends versi Mobile (Wild Rift), game kartu Legends of Runeterra, dan sebuah proyek game fighting League of Legends.

Ketika Valorant pertama kali muncul ke permukaan pada April 2020 lalu, game ini segera mendapat perhatian yang begitu besar. Bahkan, Valorant berhasil mencatatkan rekor sebagai game dengan jumlah penonton terbanyak, dengan 1,7 juta pasang mata menyaksikan konten game ini pada platform game Twitch.

Kini, setelah Valorant rilis, banyak pertanyaan muncul. Bagaimana Riot merencanakan esports untuk Valorant? Apa langkah selanjutnya setelah banyak organisasi esports dan pihak ketiga berinvestasi ke dalam ekosistem Valorant? Dan yang paling penting, akankah ada dukungan bagi para komunitas dan ekosistem esports lokal Indonesia?

Membahas hal ini, saya berkesempatan untuk mewawancara Justin Hulog, General Manager Southeast Asia and Taiwan for Riot Games. Tapi sebelum itu, mari kita bahas singkat bagaimana proses Valorant hingga menjadi seperti sekarang.

Bagaimana Riot Games Membesarkan Valorant Sejauh Ini

Anda penggemar game PC, terutama genre MOBA, besar kemungkinan Anda tahu nama besar Riot Games. Mengasuh League of Legends dari game yang bukan siapa-siapa, bahkan awalnya ditentang keras oleh komunitas pemain Defense of the Ancients, hingga jadi salah satu yang terlaris dan terbaik saat ini.

Membawa nama besar Riot Games, tak heran jika Valorant memiliki ekspektasi serupa dari komunitas. Apalagi Anna Donlon, Executive Producer di Riot Games, kerap kali mengatakan bahwa dirinya dan tim pengembang Valorant ingin membawa game tersebut bertahan untuk jangka panjang layaknya League of Legends.

Punya tujuan yang besar, usaha Riot untuk mencapai itu juga tidak main-main. April 2020, Valorant memasuki fase beta. Mereka melakukan satu strategi yang juga jadi andalan EA saat ingin memperkenalkan Apex Legends, menggandeng para streamer Twitch.

Para kreator konten diajak menjadi rekan Riot Games untuk main dan menayangkan Valorant pada kanal mereka masing-masing. Lalu bagaimana nasib gamers lain yang ingin tahu dan coba Valorant? Mereka diajak menonton channel Twitch yang sudah menjadi rekan Riot Games, agar bisa mendapatkan beta-keys Valorant. Berkat strategi tersebut, Valorant berhasil memcahkan rekor jumlah penonton Twitch, mencapai 1,7 juta concurrent viewers.

Tidak hanya dari segi promosi saja, Riot Games juga menunjukkan bahwa keseriusan mereka dalam menggarap game lewat beberapa sajian diari sang developer. Dari segi teknis, mereka menyiapkan server super responsif, bahkan sampai memiliki layanan internet khusus yang diberi nama Riot Direct. Mereka juga mempersiapkan server dengan 128 tick rate, yang dipercaya memberi respon lebih jitu di dalam permainan.

Dari segi gameplay, walau secara umum punya pengalaman bermain yang mirip dengan CS:GO, namun Riot Games juga secara serius ingin menyajikan sesuatu yang baru seraya mempertahankan apa yang mereka sebut sebagai Competitive Integrity. Semua dirancang untuk menyeimbangkan antara keseruan permainan adu tembak dengan kreativitas penggunaan skill masing-masing karakter dalam mencapai kemenangan.

Hal ini ternyata mendapat apresiasi yang positif dari komunitas. Shroud, sosok streamer kenamaan di komunitas FPS bahkan sampai berkata bahwa Valorant adalah game yang luar biasa, yang bisa membuat dirinya merasa malas untuk kembali memainkan FPS lain.

Kombinasi penggarapan yang serius dilengkapi strategi marketing yang efektif membuat bibit-bibit ekosistem esports Valorant mulai tumbuh, terutama di Amerika Serikat tempat Valorant memulai popularitasnya. Selanjutnya, banyak organisasi esports jadi mulai membentuk tim, mulai dari T1, G2 Esports, dan berbagai tim lainnya. Lalu, banyak pihak ketiga juga jadi tidak ragu membuat turnamen Valorant, mulai dari Twitch, ESPN, bahkan T1 juga tak mau kalah.

Whalen Rozelle, Riot Games Senior Director of Esports bahkan menceritakan kepada ESPN, bahwa mereka berbincang dengan lebih dari 120 tim profesional sebelum akhirnya memutuskan membuat Valorant. “Kebanyakan waktu kami dihabiskan untuk bertanya dan mendengarkan, bagaimana pengalaman mereka di esports FPS lain? Apa yang ingin mereka lihat di esports Valorant? Bahkan kami menceritakan rencana internal kepada mereka dan meminta komentarnya. Kami belajar banyak dan kebanyakan dari organisasi tersebut sekarang sudah punya tim, membuat turnamen, atau bahkan keduanya.”

Bagaimana Valorant dibuat, dipasarkan, dan dikembangkan, menunjukkan komitmen Riot Games agar mereka dapat kembali mendulang kesuksesan layaknya League of Legends. Namun kebanyakan proses tersebut terjadi di Amerika Serikat. Lalu bagaimana nasib Indonesia yang ada di regional Asia Tenggara?

Cara Riot Games Menyajikan Valorant Untuk Komunitas Indonesia

Walau Riot punya nama besar dan tersohor di seluruh dunia, tapi komunitas League of Legends Indonesia boleh jadi kecewa dengan pengembang asal Los Angeles ini. Awal 2010an League of Legends pertama rilis dan heboh di seluruh dunia. Walau cukup diantisipasi oleh pasar lokal, sayang Riot Games memutuskan tidak turun tangan langsung menangani game tersebt di Asia Tenggara.

Pengembangan komunitas League of Legends pada akhirnya diberikan kepada publisher lokal. Dukungan publisher lokal sempat membuat League of Legends cukup populer di Indonesia. MOBA ini bahkan sempat punya liga esports lokal, yang mendefinisikan apa itu esports profesional, karena menerapkan sistem gaji untuk tim peserta. Tapi akhirnya League of Legends di Indonesia tidak bertahan lama, server lokal Indonesia tutup dan digabung ke server SG/MY pada April 2019 lalu. Seiring dengan penutupan server dan berhentinya sokongan terhadap komunitas lokal, League of Legends pun meredup di Indonesia.

Ketika Valorant rilis, muncul satu tanda tanya besar yang kembali dipertanyakan. Akankah Riot Games kembali lepas tangan terhadap Valorant dan komunitasnya dengan menyerahkan game ini kepada publisher lokal?

Seakan ingin menebus dosa lamanya, berita menggembirakan muncul ketika Riot Games mengumumkan bahwa Valorant akan memiliki server Asia Tenggara lewat dukungan langsung dari sang pengembang. Tak hanya itu, Valorant bahkan menyambut hangat komunitas gamers Indonesia, dengan menyediakan opsi bahasa Indonesia di dalam game.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Alih-alih sekadar menyajikan nama skill dengan bahasa Inggris, translasi ini menjadi satu wujud keseriusan bagi Riot Games dalam menyajikan sebuah game yang bisa diterima oleh semua kalangan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Membahas ini Justin Hulog lalu menjelaskan alasan kenapa sampai ada bahasa Indonesia di dalam Valorant. Ia mengatakan bahwa menyertakan bahasa Indonesia ke dalam Valorant merupakan salah satu yang hal yang didiskusikan oleh dirinya dan tim Riot Games Asia Tenggara sedari lama. “Maka dengan perilisan ini, saya bersama Riot Games dengan bangga mengatakan bahwa Valorant bisa dibilang menjadi game pertama kami yang menyertakan translasi bahasa Indonesia di dalamnya.” Ujar Justin.

Lebih lanjut Justin pun menjelaskan prosesnya. “Pada awalnya apa yang kami lakukan adalah mempelajari, kira-kira negara mana yang punya potensi, apakah negara tersebut (Indonesia) akan tertarik memainkan game tersebut jika kami menyediakan translasi? Setelah game dirilis dalam bahasa Inggris, kami lalu memulai proses translasi, entah dengan translator dari tim developer Riot ataupun translator dari vendor lokal.”

Saya paham betul kebanyakan gamers mungkin tidak perlu-perlu amat translasi bahasa Indonesia, toh sedari dulu kita juga sudah terbiasa main game dengan bahasa Inggris. Namun saran saya Anda perlu menyempatkan diri untuk mencicipi translasi bahasa Indonesia di dalam Valorant.

Bisa jadi, Anda akan terkagum sendiri melihat bagaimana usaha Riot melakukan translasi, bahkan termasuk terhadap beberapa kemampuan milik Agents. Beberapa contoh translasi yang membuat saya kagum adalah skill Blade Storm milik Jett, yang ditranslasi menjadi Badai Belati. Lalu ada juga skill ultimate milik Agents terbaru, Reyna, yang ditranslasi dari Empress dalam bahasa Inggris, menjadi Maharani dalam bahasa Indonesia.

Tentunya translasi ini bukan tanpa cacat. Ada juga beberapa bagian translasi yang membuat saya jadi kebingungan, seperti mode Spike Rush yang ditranslasi sebagai Spike Segera dalam bahasa Indonesia. Namun secara umum, saya tetap merasa bahwa translasi yang dikerjakan secara serius ini adalah salah satu bentuk komitmen Riot Games terhadap komunitas gamers Indonesia.

Tapi bukan berarti translasi bahasa Indonesia di Valorant tanpa cacat. Contoh paling terasa lansgung tampil di depan mata. Dalam bahasa Inggris ini seharusnya bertuliskan Episode 1: Ignition. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Tapi bukan berarti translasi bahasa Indonesia di Valorant tanpa cacat. Contoh paling terasa lansgung tampil di depan mata. Bertuliskan Ignition: Episode 1 dengan bahasa Inggris, translasi menjadi “Nyala: Babak 1” justru membuat tulisan tersebut seolah tak punya arti. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Translasi bahasa sudah jadi pertanda positif bagi komunitas gamers di Indonesia, lalu apa langkah selanjutnya dari Riot terhadap komunitas di Indonesia? Sejujurnya, Justin belum bisa menjelaskan secara terperinci soal apa-apa saja rencana yang akan Riot lakukan untuk komunitas di Indonesia saat saya wawancara hari Kamis 4 Juni 2020 kemarin. Selain karena game ini baru rilis 2 Juni 2020 kemarin, pandemi COVID-19 juga jadi alasan lainnya.

“Ini jujur ya, jika saja tidak ada pandemi COVID-19, saya mungkin saat ini sudah berada di Indonesia… Haha. Saya mungkin sudah berkeliaran mencoba mencari tahu kira-kira dukungan apa yang bisa diberikan oleh Riot agar Valorant mendapat penerimaan yang lebih baik di komunitas Indonesia.” Ucap Justin kepada saya.

Namun, untungnya Justin sempat membagikan beberapa pandangan dan rencana yang mungkin akan ia lakukan untuk mengembangkan komunitas Valorant di Asia Tenggara dan Indonesia. “Pertama-tama, kami ingin memastikan Valorant siap dari sisi server dan dapat menampung Anda semua yang ingin memainkan game terbaru dari kami.” Justin membuka pembahasan. “Baru beberapa bulan setelahnya kami mendorong lebih jauh, melakukan lebih banyak hal agar Valorant bisa diterima lebih banyak orang.”

Justin mengatakan, bahwa bentuk dukungan yang diberikan bisa berbeda-beda, tergantung kebutuhan dari komunitas di masing-masing negara. “Sebagai contoh, saya sadar betul bagaimana warnet atau iCafe masih memegang peran penting dalam pasar PC gaming di Indonesia dan Filipina, negara tempat saya berasal. Jadi kalau memang demikian, apa yang kami lakukan adalah dengan mengajak iCafe untuk bekerja sama agar bisa menyajikan Valorant ke lebih banyak gamers di komunitas lokal.” Ujar Justin.

Rencana Esports Valorant di Asia Tenggara dan Indonesia

Setelah kita bicara soal cara Riot Games menyajikan Valorant untuk komunitas di Indonesia, esports jadi topik lain yang tak kalah menarik untuk dibahas. Apalagi karena sampai saat ini, nama besar Riot Games tercipta karena esports untuk League of Legends. Seperti Anda, saya juga jadi berpikir bahwa kemungkinan besar Valorant dipersiapkan oleh Riot Games untuk menjadi esports kelas dunia layaknya League of Legends.

Sejak awal Riot sempat mengatakan bahwa mereka tidak akan menangani esports Valorant secara langsung untuk sementara waktu. Tetapi apakah ini artinya tidak akan ada esports untuk Valorant? Justin lalu menyatakan bahwa sustanability dan ekosistem lokal yang sehat menjadi fokus awal bagi dirinya dan tim Riot Games di Asia Tenggara, sebelum menuju ke perkara esports.

Justin Hulog (Kiri) bersama dengan Jennifer Poulson, yang tempo hari juga sempat Hybrid wawancari. Sumber: IGN SEA
Justin Hulog (Kiri) bersama dengan Jennifer Poulson (kanan) yang juga sempat Hybrid wawancarai tempo hari. Sumber: IGN SEA

“Kami mungkin bisa saja mengucurkan dana besar-besaran untuk turnamen, dan secara instan menciptakan esports global. Tetapi tanpa ekosistem lokal yang kuat, hal tersebut akan jadi tidak berarti dan mungkin jadi investasi yang tidak berarti. Yang saya maksud dengan ekosistem lokal kuat adalah termasuk, sekelompok pemain yang mencintai game tersebut dan memainkannya setiap saat ataupun kompetisi untuk sekelompok pemain amatir yang nantinya punya kesempatan untuk menjadi semi-pro lalu profesional.” Justin memberi pandangannya.

Saya mengerti apa yang dimaksud Justin di sini. Alih-alih membuat esports secara tiba-tiba, Riot Games ingin membiarkan pemain kenalan terlebih dahulu dengan game yang dibesut. Lalu jika bicara esports, Riot juga ingin membuat esports Valorant lahir dari yang paling mendasar yaitu komunitas.

“Maka dari itu fokus saya pada tahun ini untuk regional SEA adalah memastikan nantinya regional ini memilki tim dan liga lokal yang kuat. Agar jika nanti menjadi besar, esports Valorant tak hanya sukses untuk sesaat, tetapi juga bisa sustainable dan bertahan lama.” Justin memperjelas pandangannya.

Mungkin sampai saat ini, baru itu saja yang bisa dibagikan Riot Games kepada komunitas Indonesia terkait rencana mereka untuk mengembangkan Valorant. Namun, cukup melegakan mendengar bagaimana penjelasan dan pandangan dari Justin. Setidaknya kita bisa sedikit yakin dengan satu hal, yaitu Riot tidak lagi meninggalkan para gamers di Asia Tenggara dan Indonesia untuk kedua kalinya.

Jadi, bukan tidak mungkin jika Valorant nantinya akan memiliki liga atau kompetisi lokal, atau mungkin berbagai event seru yang bisa dinikmati oleh para pemain di iCafe terdekat.

Profil Nintendo: Perusahaan Berumur 130 Tahun yang Dekat di Hati Setiap Generasi

Pada 2020, nilai industri game diperkirakan akan mencapai lebih dari US$159 miliar. Jadi, jangan heran jika muncul banyak perusahaan raksasa di industri game. Salah satunya adalah Nintendo. Selain umurnya — Nintendo akan merayakan ulang tahunnya yang ke-131 pada September 2020 — perusahaan Jepang ini juga memiliki beberapa keistimewaan.

Bagi saya, Nintendo spesial karena produk merekalah yang pertama kali memperkenalkan saya pada dunia gaming. Saya mendapatkan konsol pertama, Super Nintendo, sebagai hadiah saat saya berulang tahun ke-6. Sejak saat itu, bermain game jadi salah satu hobi saya (walau sekarang saya lebih sering menulis tentang game daripada bermain game).

Sementara bagi sebagian orang, keunikan Nintendo adalah karena mereka tidak menganggap diri mereka sebagai perusahaan game namun perusahaan pembuat mainan. Karena itulah, Nintendo sering muncul dengan produk yang unik, seperti Nintendo Labo dan Wii. Saat membuat konsol pun, daya komputasi bukan menjadi prioritas utama Nintendo. Lihat saja Switch. Jika dibandingkan dengan PlayStation 4, daya komputasi Switch jelas lebih rendah. Meskipun begitu, Switch memiliki keunikan sendiri, yang justru membuatnya tampil beda dari para pesaingnya.

Lalu, bagaimana Nintendo bisa menjadi perusahaan raksasa seperti sekarang?

Sejarah Nintendo

Nintendo didirikan oleh seniman dan pengusaha Fusajiro Yamauchi pada 23 September 1889. Yamauchi menjadikan Kyoto — yang ketika itu merupakan ibu kota Jepang — sebagai markas Nintendo. Produk pertama Nintendo adalah kartu permainan yang disebut Hanafuda — secara harfiah berarti kartu bunga. Kartu Hanafuda buatan Yamauchi laris manis. Dia pun merekrut staf untuk membantunya membuat kartu tersebut.

Kartu Hanafuda buatan Nintendo.
Kartu Hanafuda buatan Nintendo. | Sumber: BBC

Selama 70 tahun ke depan, bisnis Nintendo adalah membuat kartu Hanafuda. Dan memang, kartu buatan Nintendo populer di Jepang. Sayangnya, lama-lama permainan kartu Hanafuda menjadi identik dengan judi dan Yakuza, mafia Jepang. Para anggota Yakuza bahkan punya tato yang terinspirasi dari ilustrasi kartu buatan Nintendo. Nintendo berhenti membuat kartu Hanafuda pada sekitar tahun 1960-an, ketika permainan Hanafuda mendapatkan stigma buruk dari masyarakat.

Saat itu, Nintendo dimpimpin oleh Hiroshi Yamauchi, cicit dari Fusajira Yamauchi. Dia mengambil alih tampuk kepemimpinan Nintendo pada 1950, saat dia masih berumur 22 tahun. Sebagai pemimpin, dia dikenal dengan keberaniannya walau juga terkadang ditakuti. Namun, dia punya semangat membara dan pemikiran yang inovatif. Dia memiliki impian untuk melakukan ekspansi sehingga Nintendo tidak hanya bergelut dalam membuat kartu Hanafuda, tapi juga membuat mainan serta arcade.

Arcade. | Sumber: Wikimedia Commons
Game-game arcade. | Sumber: Wikimedia Commons

Menariknya, Hiroshi sendiri tidak terlalu suka bermain game. Dia hanya memainkan satu game sepanjang hidupnya. Keputusan Hiroshi untuk membuat game elektronik berbuah manis: Nintendo mendapatkan untung besar. Pada sekitar 1970-an, video game mulai populer. Tren ini justru mendorong Nintendo menjadi perusahaan internasional. Namun, Nintendo bukan satu-satunya perusahaan yang tertarik dengan video game. Selain Nintendo, saat itu, perusahaan seperti Atari, Mattel (perusahaan pembuat Barbie), dan Taito juga mulai mencoba memasuki pasar video game.

Nintendo memulai proses pembuatan video game pertama mereka pada 1975. Tiga tahun kemudian, jadilah game pertama mereka yang merupakan bentuk video game dari permain klasik Othello. Hal tersebut menjadi awal dari kesuksesan Nintendo sebagai perusahaan game. Pada 1980, artist Nintendo, Shigeru Miyamoto membuat game Donkey Kong, yang laku keras. Penjahat dalam game tersebut adalah gorila raksasa yang menggunakan tong sebagai senjatanya. Sementara jagoannya adalah seorang pria bertopi merah yang saat itu dinamai Jumpman. Karakter tersebut akan menjadi salah satu karakter paling ikonik dari Nintendo dan juga sepanjang sejarah video game secara luas.

Dalam Donkey Kong, Anda akan bermain sebagai Jumpan. | Sumber: BBC
Dalam Donkey Kong, Anda akan bermain sebagai Jumpan. | Sumber: BBC

Sebagai game arcade, Donkey Kong begitu cepat meraih popularitas. Nama Jumpman pun diganti menjadi Mario. Nintendo mendapatkan inspirasi dari nama pemilik gedung yang menjadi markas Nintendo di Amerika Serikat, Mario Segale. Setelah itu, Nintendo membuat beberapa game baru, termasuk Donkey Kong Jr, The Legend of Zelda, dan Super Mario Bros.

Konsol-Konsol Buatan Nintendo

Setelah sukses dengan video game, Nintendo mulai tertarik untuk membuat konsol. Nintendo meluncurkan konsol game pertamanya, Famicom, pada Juli 1983 di Jepang. Dua tahun kemudian, pada 1983, Nintendo meluncurkan konsol tersebut di Amerika Serikat dengan nama Nintendo Entertainment System alias NES. Sementara konsol handheld pertama dari Nintendo, Game Boy, diluncurkan pada 1989. Game Boy bukanlah konsol handheld pertama di dunia. Konsol handheld pertama diluncurkan 10 tahun sebelum peluncuran Game Boy. Hanya saja, Game Boy jauh lebih populer. Alasannya, Game Boy memiliki desain yang unik dan baterai yang awet.

Konsol berikutnya dari Nintendo adalah Super Nintendo Entertainment System (SNES). Di Jepang, konsol tersebut dirilis dengan nama Super Famicom pada November 1990. Konsol ini dirilis pada Agustus 1991 di Amerika Utara dan April-Juni 1992 di Eropa. Total penjualan SNES yang mencapai 61,91 juta unit menjadikannya sebagai konsol Nintendo paling laris nomor dua sepanjang sejarah. Di masanya, penjualan SNES juga mengalahkan pesaingnnya, Mega Drive dari SEGA. Sampai saat ini, SNES dikenang berkat sejumlah game favorit, seperti seperti Super Metroid, Yoshi’s Island, Earthbound, dan Final Fantasy 6.

Prototipe SNES dengan CD-ROM. | Sumber: The Verge
Prototipe SNES dengan CD-ROM. | Sumber: The Verge

Beberapa tahun sebelum peluncran SNES, tepatnya di 1988, Nintendo menandatangani kerja sama dengan Sony. Melalui kerja sama ini, Sony akan membuat aksesori CD-ROM untuk SNES. Dengan aksesori itu, SNES juga bisa digunakan untuk memainkan game dalam bentuk Super Disc dan tidak hanya dalam bentuk cartridge. Hanya saja, Sony tetap memegang hak atas format Super Disc. Itu artinya, sebagian besar kendali atas lisensi game konsol SNES dipegang oleh Sony dan bukannya Nintendo. Tak hanya itu, keuntungan yang didapat dari lisensi film dan musik terkait game SNES akan jatuh ke tangan Sony sepenuhnya. Hal inilah awal dari ketidaksukaan Nintendo akan Sony. Jadi Nintendo memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan Philips, yang merupakan pesaing Sony.

Pada Juni 1991 di ajang Consumer Electronic Show (CES), Sony mengumumkan konsol SNES yang kompatibel dengan CD, dinamai “PlayStation”. Namun, keesokan harinya, Nintendo mengumumkan kerja samanya dengan Philips, mengejutkan para penonton dan Sony. Keputusan Nintendo merusak hubungannya dengan Sony. Pada 1992, Sony mendapatkan hak untuk membuat hardware yang kompatibel dengan SNES. Namun keuntungan dan kendali atas game yang bisa dimainkan di perangkat itu tetap jatuh ke tangan Nintendo. Pada akhirnya, Sony memutuskan untuk berhenti mengembangkan hardware terkait SNES dan mulai membuat konsol mereka sendiri, yaitu PlayStation, yang justru akan menjadi pesaing berat Nintendo.

Pada 1995, Nintendo meluncurkan Virtual Boy, sebagai usaha untuk membuat headset Virtual Reality. Sayangnya, produk buatan Nintendo itu dianggap gagal total. Jumlah penjualan Virtual Boy hanya mencapai 770 ribu. Sementara Nintendo sendiri tampaknya lebih fokus untuk mengembangkan konsol mereka berikutnya, yaitu Nintendo 64.

Nintendo 64. | Sumber: Wikimedia Commons
Nintendo 64. | Sumber: Wikimedia Commons

Saat ini, Nintendo 64 dianggap sebagai salah satu konsol terbaik Nintendo. Hanya saja, ketika ia pertama kali diluncurkan, Nintendo mengalami berbagai masalah. Peluncuran Nintendo 64 sempat tertunda selama 6 bulan. Jadi, saat Nintendo 64 baru muncul, PlayStation buatan Sony telah beredar di pasar selama 1 tahun. Keputusan Nintendo untuk bertahan menggunakan cartridge juga menimbulkan kontroversi. Pasalnya, hal tersebut menyulitkan developer pihak ketiga untuk membuat game Nintendo 64. Padahal, mereka sudah keberatan dengan biaya lisensi yang dikenakan oleh Nintendo. Penggunaan cartridge juga membuat harga game Nintendo 64 menjadi mahal. Para developer game lalu berpindah mendukung Sony. Namun, harus diakui, Nintendo 64 memang memiliki daya komputasi yang mumpuni. Konsol ini juga memiliki game-game populer sepreti Legend of Zelda: Ocarina of Time dan Super Mario 64.

Pada 2001, Nintendo meluncurkan Game Boy Advanced. Kali ini, mereka bermain aman. Tidak heran, mengingat saat itu, mereka masih menguasai pasar konsol handheld. GBA menawarkan komputasi yang lebih baik dari pendahulunya dengan harga yang oke. Hanya saja, konsol ini tidak memiliki fitur baru yang khusus. GBA juga memiliki banyak game buatan developer pihak ketiga yang legendaris seperti Golden Sun, Metroid Fusion, The Legend of Zelda: A Link to the Past and Four Sword, Mario & Luigi: Superstar Saga, ataupun Fire Emblem.

Pada tahun yang sama, Nintendo meluncurkan GameCube. Secara total, konsol ini terjual sebanyak 22 juta unit. Namun, GameCube dianggap sebagai kegagalan lain bagi Nintendo. Alasannya, saat konsol ini diluncurkan, Sony telah mendominasi dengan PlayStation 2. GameCube juga dianggap sebagai konsol untuk anak-anak karena ia hadir dengan warna ungu.

Tiga tahun kemudian, pada 2004, Nintendo meluncurkan DS. Konsol ini adalah konsol pertama yang diluncurkan di bawah kepemimpinan Presiden Satoru Iwata. Karena itulah, peluncuran DS menarik perhatian banyak orang karena mereka ingin tahu apakah haluan Nintendo sebagai perusahaan akan berubah di bawah kepemimpinan presiden baru. Sebelum peluncurannya, DS banyak mendapatkan ejekan, khususnya soal dua layar pada konsol ini. Selain itu, konsumen juga tidak bisa membayangkan menggunakan touchscreen untuk bermain game. Namun, pada akhirnya. DS menjadi salah satu produk Nintendo yang paling laku. Secara total, DS terjual sebanyak 154 juta unit.

Nintendo meluncurkan Wii pada 2006. Lagi-lagi, mereka mendapatkan ejekan karena nama Wii yang dianggap konyol. Hal lain yang dipermasalahkan adalah controller Wii yang mirip dengan remote control TV. Namun, Nintendo berhasil kembali membuktikan dirinya. Wii menjadi konsol Nintendo yang paling laris sepanjang sejarah. Dengan total penjualan mencapai 101 juta unit, Wii berhasil mengalahkan Xbox 360 dan PlayStation 3. Walau tak populer di kalangan gamer, Wii berhasil memenangkan hati anak-anak dan non-gamer yang senang bermain Wii Sports.

Nintendo DS. | Sumber: Wikimedia Commons
Nintendo DS. | Sumber: Wikimedia Commons

Nintendo meluncurkan konsol handheld baru, 3DS, pada 2011. Konsol ini cukup sukses dan berhasil terjual sebanyak 65 juta unit. Meskipun begitu, ada masalah pada awal peluncurannya. Salah satunya adalah terkait harga. Harga 3DS dianggap terlalu mahal. Nintendo menghargai 3DS US$200, sama seperti home console. Beberapa bulan kemudian, harga 3DS dipotong. Smartphone menjadi masalah lain yang harus dihadapi oleh Nintendo. Untungnya, 3DS memiliki beberapa game eksklusif, seperti Pokemon dan Monster Hunter dari Capcom. Pada akhir 2012, Nintendo meluncurkan Wii U. Terjual hanya 13 juta unit, Wii U dianggap sebagai salah satu produk gagal Nintendo. Karena itu, peredaran Wii U di pasar terbilang sebentar.

Konsol terbaru dari Nintendo saat ini adalah Switch, yang menawarkan konsep unik 2-in-1. Switch memiliki docking yang memungkinkan Anda untuk memainkannya layaknya home console lain seperti PlayStation dan Xbox. Namun, Switch juga bisa dimainkan layaknya konsol handheld. Keunikan ini membuat Switch laku keras. Pada laporan keuangan terbarunya, Nintendo mengungkap bahwa total penjualan Switch — termasuk Switch Lite dan Pro — mencapai 55,8 juta unit sejak diluncurkan pada Maret 2017. Dengan ini, Switch menjadi konsol Nintendo dengan penjualan terbanyak ketiga setelah Wii dan NES.

Keputusan Nintendo untuk Masuk ke Pasar Smartphone

Tahun demi tahun, smartphone menjadi semakin mumpuni dan harganya juga semakin terjangkau. Bagi Nintendo, popularitas smartphone justru menjadi batu sandungan. Pasalnya, awalnya Nintendo berkeras untuk tidak merilis mobile game. Namun, pada 2016, Nintendo akhirnya memutuskan untuk berdamai dan merambah ke perangkat mobile dengan meluncurkan Miitomo.

Miitomo adalah aplikasi jejaring sosial yang memungkinkan penggunanya untuk saling berkomunikasi dengan satu sama lain menggunakan avatar. Dalam waktu satu bulan sejak Miitomo diluncurkan, aplikasi ini telah diunduh sebanyak lebih dari 10 juta kali. Namun, Nintendo akhirnya memutuskan untuk menutup Miitomo pada Mei 2018.

Miitomo adalah aplikas mobile pertama dari Nintendo. | Sumber: PCMag
Miitomo adalah aplikas mobile pertama dari Nintendo. | Sumber: PCMag

Super Mario Run menjadi mobile game pertama dari Nintendo. Game itu diluncurkan pada Desember 2016 untuk iOS dan Maret 2017 untuk Android. Hanya saja, ketimbang menggunakan model freemium yang banyak digunakan oleh mobile game, Nintendo memutuskan untuk menjadikan Super Mario Run sebagai game berbayar.

Memang, Anda bisa mengunduh Super Mario Run secara gratis dan memainkan beberapa stage-nya. Namun, jika Anda ingin memainkan game ini sepenuhnya, Anda harus membayar Rp149 ribu, yang dianggap mahal oleh pengguna smartphone. Sebenarnya, Super Mario Run cukup sukses. Buktinya, game itu diunduh sebanyak lebih dari 200 juta kali pada 2018. Hanya saja, pendapatan dari Super Mario Run tak terlalu besar. Pada 2018, game itu hanya memberikan kontribusi sebesar US$7 juta (sekitar 2,4 persen) dari total pemasukan Nintendo pada 2018.

Nintendo lalu meluncurkan Fire Emblem Heroes pada Februari 2017. Kali ini, Nintendo menggunakan model free-to-play dengan in-game purchase dalam bentuk Orbs. Orbs tersebut bisa Anda gunakan untuk men-summon karakter secara random. Formula ini terbukti sukses. Sepanjang 2018, Fire Emblem Heroes memang hanya dunduh sebanyak lebih dari 10 juta kali. Namun, game itu memberikan kontribusi sekitar US$200 juta atau dua per tiga dari total pemasukan Nintendo pada tahun 2018. Ketika pendapatan Nintendo dari mobile game menembus US$1 miliar, Fire Emblem Heroes juga menjadi game dengan kontribusi terbesar.

Fire Emblem Heroes. | Sumber: Sensor Tower
Fire Emblem Heroes. | Sumber: Sensor Tower

Pendapatan Nintendo

Dalam laporan keuangan terbarunya, Nintendo mengumumkan, sepanjang tahun fiskal yang berakhir pada 31 Maret 2020, pemasukan mereka mencapai US$12,31 miliar, naik 9 persen dari US$11,3 miliar pada tahun sebelumnya. Dalam satu tahun, keuntungan operasional mereka naik 41 persen, dari US$2,34 miliar menjadi US$3,31 miliar. Sementara laba bersih naik dari US$1,82 mliiar tahun lalu menjadi US$2,43 miliar. Franchise Pokemon dan Animal Crossing menjadi salah satu faktor di balik kesukesan Nintendo pada tahun lalu.

Memang, Nintendo sempat mengalami masalah dengan proses produksi dan pengiriman Switch. Konsol Switch bahkan sempat menjadi barang langka sebelum Nintendo memutuskan untuk menambah jumlah produksi konsol tersebut. Tak hanya dalam penjualan hardware, Nintendo juga sukses dalam penjualan game. Salah satu game terbaru dari Nintendo, Animal Crossings: New Horizon bahkan memecahkan rekor penjualan digital game konsol.

Kesimpulan

Perjalanan Nintendo mengajarkan saya bahwa memegang teguh tradisi memang penting. Namun, beradaptasi dengan kemajuan zaman juga sama pentingnya. Walau Nintendo sukses dengan konsol buatan mereka, mereka tetap memutuskan untuk masuk ke industri mobile game. Dan keputusan mereka ini membuat mereka menjadi kian sukses. Hal lain yang saya pelajari dari sejarah Nintendo adalah untuk tidak sembarangan mencari musuh. Keputusan Nintendo untuk bekerja sama dengan Philips — merusak hubungannya dengan Sony — justru membuat Sony menjadi salah satu pesaing terberat mereka.

Jika Anda merasakan dorongan untuk menghina orang lain — yang mungkin terlihat seperti bukan siapa-siapa — sebaiknya Anda mengurungkan niat tersebut. Siapa tahu, hinaan Anda justru menjadi motivasi bagi orang tersebut untuk jadi lebih sukses.

Sumber: BBC, Eurogamer, Nintendo Life, Newzoo, VentureBeat

Sumber header: GoNintendo

Review SteelSeries Apex 7: Sang Adik yang Cantik Meski Tak Seseksi Kakaknya

Artikel ini saya update di 25 Januari 2021 saat saya menemukan masalah dengan keyboard ini.

Saya masih ingat betul beberapa tahun silam ketika sejumlah produsen periferal gaming berlomba-lomba merilis keyboard gaming mechanical-nya masing-masing. Razer merilis Blackwidow di tahun 2010. SteelSeries sendiri juga sudah meluncurkan keyboard gaming mechanical generasi pertama mereka lewat 7G (2008) dan 6Gv2 (2011) — koreksi saya tahun rilisnya jika salah.

Karena kebetulan kala itu saya juga sudah bekerja di sebuah majalah PC gaming, saya juga sempat mereview hampir semua keyboard gaming mechanical generasi awal — setidaknya yang masuk ke Indonesia. Saat itu, keyboard gaming mechanical sedikit membosankan karena semuanya menggunakan switch dari Cherry MX — seperti Blackwidow yang menggunakan Cherry MX Blue ataupun 7G yang menggunakan Cherry MX Black.

Namun demikian, penggunaan switch mekanikal tadi memang sungguh revolusioner buat para gamer PC. Saya masih ingat betul betapa kagum saya dengan kecepatan respon yang ditawarkan oleh SteelSeries 7G. Berhubung dari 2008 saya juga sudah jadi penulis/jurnalis, mengetik dengan menggunakan Cherry MX Blue juga menjadi sebuah nikmat yang tak dapat didustai.

Beberapa tahun berselang, produsen periferal gaming pun merilis beberapa keyboard mereka dengan mechanical switch-nya masing-masing. Salah satunya adalah SteelSeries Apex 7 ini, yang baru saya beli beberapa hari yang lalu. Maksudnya bukan hanya pamer (wkakwkakaw) tapi review ini bukan barang kiriman/pinjaman.

Sebelum kita masuk ke beberapa aspek di review SteelSeries Apex 7 kali ini, saya harus memberikan penafian bahwa semua review gaming periferal tentu saja sangat subjektif — tergantung dari reviewer-nya. Pasalnya, komponen/hardware PC punya software atau benchmark yang bisa dijadikan acuan objektif. Namun tidak demikian dengan periferal PC. Belum lagi ukuran tangan, kecepatan mengetik, kecakapan bermain game, perangkat yang biasa digunakan, dan lain sebagainya tentunya akan berbeda-beda untuk setiap orang.

Oleh karena itu, semoga pengalaman saya mereview puluhan periferal gaming dan menggunakan belasan produk SteelSeries (baik itu beli sendiri ataupun kiriman barang review) sejak 2008 bisa menjadi justifikasi untuk memberikan penilaian yang cukup fair untuk SteelSeries Apex 7 ini.

Bodi dan Fisik

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Untuk bodi Apex 7 ini, ia terlihat cukup seksi dan menawan. Ia cukup ramping meski saya membeli yang versi full size (bukan TKL). Tidak ada frame yang terlalu lebar dan juga tak ada tombol khusus makro (yang biasanya di sebelah kiri tombol CAPS LOCK dan Tab) membuatnya ideal bagi Anda yang mungkin tak punya meja berukuran besar.

SteelSeries juga menggunakan metal frame yang disebut aircraft grade aluminum alloy untuk fondasi dari keyboard yang satu ini — sama seperti yang digunakan di versi yang lebih mahal, Apex Pro. Saat saya pegang sendiri, bahannya memang terasa sangat solid dan durable. Kecuali Anda memang atlet pencak silat yang suka mematahkan batu bata, saya rasa frame dari Apex 7 ini tidak akan mudah dipatahkan. Untuk harganya yang mungkin cukup premium untuk sebagian orang (Rp2,6 jutaan), build quality Apex 7 ini saya rasa cukup sepadan.

Ia juga dilengkapi dengan wrist rest yang cukup nyaman. Sebelum menggunakan keyboard ini persis, saya menggunakan Razer Ornata yang juga memiliki bantalan pergelangan tangan. Namun bantalan Ornata tadi terbuat dari busa yang dilapisi karet kulit, yang kempes busanya dan terkelupas kulitnya sebagian saat saya gunakan lebih dari satu tahun. Wrist rest dari Apex 7 ini harusnya akan lebih awet karena memang tidak menggunakan busa dan kulit. Meski begitu, ia tetap menggunakan lapisan yang halus dan sangat nyaman digunakan untuk berlama-lama. Saya bisa mengetik dan bermain game selama 8 jam terus menerus dengan Apex 7 ini tanpa merasa pegal ataupun sakit dengan dudukannya.

Kenyamanan dan Kecepatan Tombol

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Seperti yang saya tuliskan di bagian awal artikel ini, meski pilihan switch-nya adalah Red dan Blue (saya tidak menemukan opsi Brown di beberapa toko saat ingin membeli), Apex 7 tidak menggunakan Cherry MX. Keyboard ini menggunakan switch-nya sendiri (SteelSeries QX2 Mechanical RGB Switch). Hal ini mungkin bisa jadi membingungkan buat sebagian orang. Jujur saja, saya lebih suka penamaan switch mekanikal dari Razer (Green, Orange, Yellow) karena jadi tidak membingungkan dengan sistem penamaan yang sudah digunakan Cherry MX.

Saya pun membeli yang Blue Switch, yang tactile (yang berbunyi klik saat dipencet). Saat digunakan untuk bermain game, tombol-tombolnya sangat nyaman digunakan dan responnya pun cepat. Kenyamanan dan kecepatan tombolnya sungguh sempurna untuk bermain game — setidaknya saya tidak menemukan masalah apapun. Responnya jelas lebih cepat dari keyboard yang masih menggunakan membran dan sesuai ekspektasi saya atas produk SteelSeries.

Namun demikian, jika digunakan untuk mengetik, jujur saya lebih suka dengan Blue Switch dari Cherry MX karena feel-nya terasa lebih mantap. Tentunya hal ini bisa jadi pertimbangan sendiri untuk Anda. Saya tahu Apex 7 memang dibuat untuk bermain game namun saya kira kebanyakan orang tidak akan memiliki 2 keyboard, satu khusus untuk bermain dan satu lagi khusus untuk mengetik.

Mengingat ini juga bukan switch dari Cherry MX, saya pun belum bisa berbicara banyak soal durabilitasnya. Untuk keyboard yang menggunakan Blue Switch dari Cherry MX yang pernah saya miliki, saya bisa menggunakan keyboard tersebut lebih dari 3 tahun tanpa masalah — sampai saya bosan sendiri dan ingin ganti. Mungkin, jika saya tidak lupa, saya akan meng-update artikel ini satu tahun setelah saya menggunakannya atau setelah saya menemukan masalah dengan tombol-tombolnya.


View this post on Instagram

A post shared by Yabes Elia (@elia.yabes)

Update 25 Januari 2021: Switch untuk tombol Enter yang ada di keyboard ini sudah tidak berfungsi normal meski belum satu tahun saya gunakan — tanggal pembelian saya 27 Mei 2020. Memang keyboard ini diklaim menawarkan garansi 1 tahun dari tanggal pembelian, saya tidak tahu apakah masalah yang saya alami ini mencakup aturan main garansi dari SteelSeries.

Misalnya pun masih masuk garansi, jujur saja, saya sebenarnya malas mengurus hal-hal semacam ini karena membuang waktu saya. Saya lebih berharap dengan membeli keyboard premium, saya tak perlu dipusingkan dengan masalah peripheral yang rusak.

SteelSeries memberikan klaim bahwa switch Apex 7 ini bisa bertahan sampai dengan 50 juta kali pencetan. Dibandingkan dengan produsen lainnya, switch dari Razer diklaim mampu bertahan sampai dengan 80 juta kali. Sedangkan Logitech malah tidak menyebutkan berapa kali switch-nya bisa bertahan.

Ukuran SteelSeries Apex 7 relatif dengan objek-objek di sekitar. Dokumentasi: Hybrid
Ukuran SteelSeries Apex 7 relatif dengan objek-objek di sekitar. Dokumentasi: Hybrid

Jika boleh jujur, saya sebenarnya sedikit menyesal membeli Apex 7 ini. Bukan karena keyboard ini mengecewakan juga tapi karena Apex Pro dibanderol dengan harga yang tidak jauh berbeda. Saat artikel ini ditulis, Apex Pro dibanderol di kisaran harga Rp3 juta. Jadi, selisih harganya hanyalah Rp400 ribuan antara Apex 7 dan Apex Pro. Selisih harga ini mungkin saja tidak berarti buat orang-orang yang mampu membeli keyboard seharga Rp2,5 juta ke atas.

Memang salah saya juga sih yang kelewatan cek harga SteelSeries Apex Pro. Waktu saya ingin membeli Apex 7 ini, saya justru lebih membandingkan harganya dengan Razer Huntsman Elite (Rp4,5 juta) dan Corsair K95 RGB Platinum XT (Rp3,5 juta). Kedua produk tadi adalah flagship dari Razer dan Corsair. Makanya, awalnya saya kira Apex Pro yang merupakan flagship dari SteelSeries akan berada di kisaran harga yang setara dengan dua produk tadi. Saya baru menyadari setelah membelinya, ternyata saingan terberat produk ini justru datang dari saudaranya sendiri.

Dengan harga Rp400 ribu lebih mahal, Anda bisa mendapatkan Apex Pro yang super canggih karena kecepatan dan kedalaman switch tombolnya bisa disesuaikan dengan selera Anda. OmniPoint Switch yang digunakan di SteelSeries Apex Pro juga diklaim mampu bertahan sampai dengan 100 juta pencetan. Jadi, ada yang mau bayarin Apex 7 saya? Sebelum saya ganti ke Apex Pro? Wkwkwkwkkw… 

Fitur Tambahan SteelSeries Apex 7

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Ini aspek terakhir yang akan saya bahas di review kali ini. Apex 7 memiliki beberapa fitur tambahan yang cukup menarik sebenarnya. Ada USB passthrough port, ada cable routing di bagian bawah keyboard, dan ada juga beberapa tombol untuk fungsi multimedia di bagian kanan atas.

Dari 3 fitur tadi, yang berguna buat saya hanyalah tombol volume multimedianya. Saya sudah menggunakan casing dengan 4 port USB di depan dan saya sudah punya banyak cable ties dan velcro untuk merapihkan kabel. Namun demikian, mungkin saja, fitur-fitur tambahan tadi bisa berguna buat Anda.

Selain itu, Apex 7 juga menawarkan layar OLED meski sayangnya tidak secanggih yang saya bayangkan. Jika Anda bermain CS:GO ataupun Dota 2, layar OLED nya bisa digunakan untuk menampilkan beberapa informasi menarik seperti KDA. Anda bisa membaca sendiri hal-hal apa saja yang bisa dilakukan dengan layar OLED tadi di blog resmi dari SteelSeries.

Buat saya pribadi, sayangnya, saya adalah tipe gamer yang lebih suka menyelesaikan singleplayer campaign — saat ini saya sedang bermain XCOM: Chimera Squad, setelah baru saja menyelesaikan Assassin’s Creed Odyssey sampai 100%. Atau, saya juga lebih berharap layar OLED nya bisa menampilkan informasi suhu CPU, GPU atau monitoring jeroan lainnya. Jadinya, saya hanya bisa memanfaatkan layar OLED tadi untuk GIF saja.

Screenshot dari SteelSeries Engine 3.
Screenshot dari SteelSeries Engine 3.

Selain itu, di sini saya juga ingin membahas soal SteelSeries Engine. Buat sebagian besar orang, software dari gaming peripheral mungkin memang tidak diperhatikan. Namun saya suka saja iseng bermain-main dengan fungsi makro. Sayangnya, jika saya membandingkan fungsi makro antara SteelSeries Engine (versi 3.17.8) dan Razer Synapse (versi 3.5.531) — sama-sama update terbaru saat artikel ini ditulis — Razer lebih unggul.

Karena Razer Synapse bisa merekam pergerakan mouse — bukan hanya tombol-tombol yang dipencet. Karena itu, dengan Razer Synapse, saya bisa menetralisir recoil di game FPS. Di luar itu, SteelSeries Engine sebenarnya juga tidak jelek dan sangat lengkap fungsi makronya. Anda bisa merekam tombol mouse di keyboard, mengganti delay antar tombol, dan mengedit sendiri makro yang sudah di-record. Saya berani bertaruh untuk berkata bahwa SteelSeries Engine adalah salah satu yang terbaik soal fungsi makro — meski sayangnya tadi ada satu fitur dari Razer Synapse yang tak ada di sini.

Terakhir, untuk urusan RGB, Apex 7 dan SteelSeries Engine juga cukup komprehensif. Saya saja sungguh kewalahan dengan konfigurasi lampu-lampu yang ada untuk Apex 7 — mengingat juga saya sebenarnya lebih tertarik dengan memainkan fitur makro ketimbang lampu-lampu RGB.

Kesimpulan

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Jadi, apakah Apex 7 ini layak dibeli? Jika saya tidak mengalami masalah dengan keyboard ini, Apex 7 sangat menyenangkan untuk digunakan. Sayangnya, saya salah satu orang yang tidak beruntung. Saingan ketatnya justru datang dari saudaranya sendiri, Apex Pro. Jika selisih harga Rp400 ribu tidak jadi masalah untuk Anda, Apex Pro lebih menggiurkan untuk dibawa pulang. Sedangkan untuk saingannya yang punya banderol harga sedikit lebih murah, mungkin datang dari Corsair K70 RGB MK.2 yang menggunakan switch Cherry MX.

Namun demikian, sentimen di dunia maya untuk Apex 7 lebih positif ketimbang Corsair K70 RGB MK.2. Jika tidak percaya silakan googling SteelSeries Apex 7 problems” dan “Corsair K70 RGB MK.2 problems“. Meski begitu, sentimen ini mungkin juga tidak bisa dijadikan satu-satunya tolak ukur soal durabilitas.

Satu hal yang pasti, saya sangat puas menggunakan Apex 7 ini — meski memang punya beberapa kekurangan dan sedikit menyesal melewatkan Apex Pro…

Spesifikasi SteelSeries Apex 7

Sumber: SteelSeries
Sumber: SteelSeries
Sumber: SteelSeries
Sumber: SteelSeries