Antara Prestasi dan Konten Tim Esports, Mana yang Lebih Penting?

Memiliki tim esports papan atas mungkin menjadi salah satu mimpi besar dari para penggemar esports. Aktualisasi diri sebagai gamers terbaik, banyak uang, dan dikagumi banyak orang, jadi beberapa alasan kenapa punya tim esports menjadi hal yang diimpikan. Tetapi membangun organisasi esports bukanlah perkara yang mudah.

Nyatanya butuh modal yang besar untuk mencapai kejayaan tersebut. Misal jika Anda bercita-cita punya tim yang menjadi juara Dota 2 The International, Anda butuh modal pada kisaran ratusan juta rupiah untuk PC High-End, internet, gaji pemain, gaming house, dan berbagai tetek-bengek biaya operasional lainnya.

Namun, selain mengejar prestasi, konten mungkin bisa dibilang menjadi alternatif yang relatif murah-meriah untuk mengumpulkan modal. Kisah sukses ini sempat saya bahas saat menulis profil FaZe Clan, sebuah organisasi esports yang mengawali hidupnya sebagai clan hura-hura dengan channel YouTube berisikan sajian konten trickshot keren.

Pada sisi lain ada juga kisah sukses tim esports lain yang mengawali perkembangannya dari prestasi. Kisah sukses tersebut datang dari Team Liquid, yang sedari awal memang diciptakan sebagai clan gaming kompetitif, dan menuai sukses dari dominasinya di ragam skena esports di dunia.

Prestasi vs Konten, jadi juara atau menjaring exposure, apa sebenarnya resep membangun organisasi esports yang sukses? Berikut pembahasan saya.

Biaya Untuk Mengelola Sebuah Tim Juara

Mengumpulkan prestasi, mungkin jadi satu resep paling umum yang dilakukan organisasi esports untuk menjadi sukses. Contoh saja T1, yang selama tahun 2020 dapat banyak sekali sponsor karena prestasi, mulai dari Nike, Logitech G, sampai monitor Samsung. Memang sih, sepertinya agak muluk-muluk jika kita ingin seperti T1 yang juara dunia 3 kali berturut-turut di salah satu skena esports paling populer di dunia, League of Legends.

Supaya tidak kejauhan, mari kita coba intip dari kacamata lokal saja. Sebagai contoh kasus di skena lokal, saya menggunakan divisi AOV milik EVOS Esports, yang pencapaiannya mirip T1, cuma saja di tingkat nasional… Hehe.

EVOS AOV mencatatkan rekor juara 3 kali berturut-turut di turnamen tingkat nasional lewat gelaran AOV Star League Musim pertama, kedua, dan ketiga.

Kemenangan ini menjadi pundi-pundi pendapatan yang cukup besar bagi manajemen EVOS Esports. Tercatat EVOS AOV menerima Rp500 juta dari ASL Season 1 juga 2, dan Rp355 dari ASL Season 3. Jika hanya menghitung hadiah ASL saja, maka EVOS AOV sudah mengumpulkan pundi-pundi sebesar Rp1,3 miliar. Kami juga pernah menuliskan total pendapatan EVOS dari hadiah kemenangan selama tahun 2019.

Jumlah yang besar?

Sepertinya sih lumayan, tapi coba kita lihat berapa biaya operasional untuk mengelola tim tersebut. Untuk mengetahui hal ini, saya mewawancarai sahabat saya, Hilmy Khairy yang juga dikenal sebagai Hiruma, Deputy of Esports di EVOS Esports. Sebelum menempati jabatannya sekarang, ia merupakan manajer tim EVOS AOV.

Lalu saya bertanya, kira-kira berapa biaya operasional yang dibutuhkan oleh tim EVOS AOV? “Wah ini rahasia sih, tapi setiap bulan kurang lebih ada total puluhan juta rupiah dikeluarkan untuk operasional tim.” Jawabnya.

Lebih lanjut, Hilmy lalu menjelaskan apa saja biaya yang dikeluarkan oleh manajemen EVOS untuk mengelola divisi AOV. “Yang pasti gaji pemain dan staf, biaya gaming house, internet, pemeliharaan rumah, air dan listrik, serta biaya sehari-hari, dan biaya katering.”

Itupun belum semua, masih ada biaya-biaya tak terduga, yang biasanya muncul ketika tim tersebut menjalani pertandingan tatap muka. “Kalau tanding offline biasanya ada biaya tambahan, seperti uang transpor untuk datang ke menuju ke dan pulang dari event, ada juga cemilan untuk mood booster ketika tanding. Kalau hotel dan akomodasi untuk pertandingan di luar kota atau luar negeri biasanya ditanggung oleh penyelenggara acara.” Tambah Hilmy.

Dari apa yang dijelaskan, mari kita kira-kira berapa biaya operasional untuk tim seperti EVOS AOV. Pertama-tama, gaji pemain. Hilmy memang tidak memberikan angkanya, namun ia mengatakan bahwa gaji tim EVOS AOV bervariasi mulai dari lebih dari UMR sampai 2 kali UMR.

UMR Jakarta saat ini adalah Rp4.276.349.906, kita bulatkan jadi Rp4,3 juta. Supaya lebih mudah, anggap saja semua gaji pemain EVOS AOV adalah 2 kali UMR yang berarti Rp8,6 juta dikalikan 5 orang. Baru menghitung gaji saja, kita sudah menyentuh angka pengeluaran sebesar Rp43 juta setiap bulannya.

Ini kita belum menghitung biaya sewa gaming house, internet, listrik dan air, laundry, katering, serta operasional bulanan lainnya. Anggap saja, jika ditotal semua, angka kasarnya bisa mencapai kisaran Rp80 juta setiap bulan. Dengan angka tersebut setiap bulannya, maka biaya operasional dari tim juara seperti EVOS AOV adalah Rp960 juta per tahun.

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
EVOS AOV saat memenangkan gelarn juara nasionalnya yang ketiga dalam gelaran ASL Indonesia Season 3. Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Angka yang cukup mengejutkan, apalagi pendapatan turnamen EVOS AOV dari turnamen AOV Star League cuma Rp1,3 miliar. Itupun didapatkan selama 3 musim yang berjalan selama satu setengah tahun. ASL Season 1 dan 2 diadakan pada tahun 2018, yang berarti EVOS AOV mendapatkan Rp1 miliar selama seathun dari turnamen.

Manajemen tim tidak mengambil semua hadiah turnamen, mereka hanya mengambil sebagian saja dari hadiah yang didapatkan. Hilmy menceritakan, organisasi esports punya sistem potongan hadiah yang bervariasi mulai dari 20% hingga 40%. Dengan asumsi EVOS menggunakan potongan yang terbesar, ini berarti manajemen hanya mendapat Rp400 juta saja. Jika hanya mengandalkan hadiah turnamen, sudah pasti manajemen tidak dapat menutup biaya operasional tahunan tim tersebut.

Tetapi memang pada kenyataannya pendapatan bagi organisasi esports sebesar seperti EVOS Esports tidak terbatas pada satu tim saja dan juga tidak berasal hanya dari satu muara saja. Pembahasan singkat tadi mungkin bisa menjadi gambaran yang sangat kasar, bahwa biaya operasional tim itu besar dan hadiah turnamen tidak dapat menutupnya.

Namun itu harusnya tidak masalah. Menurut asumsi saya, semua biaya yang dikeluarkan tersebut lebih bersifat investasi, yang timbal baliknya bisa sangat beragam bagi sang organisasi di masa depan nanti.

Mengintip Sumber Pemasukan Tim Esports

Sebelum kita melaju ke pembahasan berikutnya, mari kita bahas dulu, sebenarnya apa saja ladang bisnis dari tim esports. Memang sebenarnya asumsi bahwa organisasi esports hanya mengandalkan hadiah turnamen sebagai satu-satunya sumber pendapatan adalah penyederhanaan yang kelewatan. Mungkin hanya tim amatir atau semi-pro yang melakukan praktik seperti itu.

Organisasi esports sebesar seperti EVOS Esports, Rex Regum Qeon, BOOM Esports, atau Bigetron Esports, biasanya punya lebih dari satu sumber pendapatan. Bahkan, hadiah turnamen mungkin bukan dianggap sebagai sumber pendapatan, melainkan hanya bonus atas kerja keras yang dilakukan manajemen dan pemain saja.

Dalam sebuah artikel blog milik penasihat investasi asal Amerika Serikat, Roundhill Investment, disebutkan bahwa setidaknya ada 6 sumber pemasukan lain dari sebuah organisasi esports. Dalam artikel berjudul “How Esports Teams Make Money”, dikatakan bahwa sumber pemasukan organisasi esports termasuk sponsorship, advertising, merchandise, league revenue sharing, dan ticket sales.

Sponsorship mungkin jadi satu pemasukan terbesar. Anda pembaca setia Hybrid.co.id mungkin sadar akan hal ini. Berita soal sponsorship menjadi salah satu berita yang paling sering berseliweran di portal kami. Dari ekosistem lokal terakhir kali kita melihat EVOS disponsori oleh Lazada pada 15 April 2020 lalu. Dari ekosistem internasional biasanya lebih banyak lagi berita-berita sponsorship terhadap tim esports.

Mengutip data dari Newzoo, sponsorship ternyata memang sumber pemasukan terbesar esports, baik bagi organisasi esports atau penyelenggara turnamen esports. Menurut catatan sponsorship menyumbangkan pemasukan sebesar US$636,9 juta (sekitar Rp9,3 triliun) sampai Februari 2020 kemarin. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang terbanyak, dibanding sumber pemasukan lainnya.

Lalu penjualan merchandise. Ini juga menjadi satu sumber pemasukan yang menggiurkan, terutama jika tim esports tersebut punya derajat yang tinggi di dalam skena, dan dilengkapi dengan ragam rancangan busana yang mencerminkan personalita para penggemarnya.

Di luar negeri, FaZe Clan jadi organisasi esports yang giat menjalankan bisnis merchandise. Mereka bahkan dengan berani menyatakan ambisinya untuk menjadi Supreme-nya esports. Di Indonesia, EVOS jadi salah satu organisasi esports yang meraup cukup banyak dari bisnis merchandise. Menurut laporan terakhir, EVOS dikabarkan menerima Rp150 juta hanya dari penjualan merchandise selama M1 dan MPL ID Season 4.

Selanjutnya, bagi hasil kompetisi liga dan penjualan tiket mungkin jadi sumber pemasukan yang masih gelap di kancah lokal. Sejauh ini, belum ada pertandingan esports dalam negeri yang berhasil untung besar dari penjualan tiket. Sehingga kita masih belum bisa membahas penjualan tiket sebagai sumber pemasukan tim esports.

Lalu kalau soal bagi hasil, MPL Indonesia menerapkan sistem liga franchise pada musim keempat yang juga menerapkan sistem bagi hasil antara tim-tim yang berlaga.

Jumlahnya tidak diketahui, namun Senior Editor Hybrid Esports, Yabes Elia sempat berbincang dengan Chandra Wijaya, Managing Director ONIC Esports membahas buah investasi slot MPL ID Season 4. Jika Anda penasaran bagaimana dampak franchise league MPL ID S4 kepada aspek bisnis sebuah tim esports, Anda bisa menyaksikan video interview tersebut di bawah ini.

Dari semua beragam sumber pemasukan tim esports, bagaimana konten berperan dalam perkembangan tim esports? Mari kita bahas pada bagian berikutnya.

Konten Sebagai Sumber Pemasukan Tim Esports

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita samakan persepsi terlebih terhadap apa yang dimaksud dengan konten. Dalam pembahasan ini, kita akan membatasi pembahasan konten kepada konten kanal media sosial Instagram, konten video kreatif pada platform YouTube, dan juga konten video live-streaming.

Dari sumber pemasukan tim esports yang kita bahas sebelumnya, pemasukan yang bisa didapatkan oleh konten mungkin bisa dibilang di dalam irisan pemasukan advertising dan juga sponsorship. Mengapa demikian? Karena sponsorship bisa menyertakan kerja sama konten di dalamnya dan konten juga bisa mendapat pemasukan khusus berupa advertising atau iklan brand dalam satu konten milik tim esports.

Jika kita berkaca kepada esports di luar negeri, FaZe Clan mungkin bisa dibilang menjadi contoh paling ideal dari bagaimana sebuah organisasi esports memanfaatkan konten sebagai sumber pemasukan mereka. Jika kita merujuk kepada situs analitik media sosial, Socialblade, kita bisa melihat bahwa channel YouTube milik FaZe Clan merupakan salah satu yang terbesar dalam kategori gaming. Tercatat channel YouTube FaZe Clan sudah di-subscribe oleh 7 juta orang dan bisa menghasilkan sampai dengan US$1,5 juta (sekitar Rp22 juta).

Namun estimasi penghasilan tersebut sebenarnya baru berasal dari Google AdSense saja. Terlebih, walau terlihat sangat besar, jumlah tersebut sebenarnya belum seberapa bagi organisasi esports yang, menurut Forbes, memiliki nilai valuasi sebesar US$240 juta (sekitar Rp3,5 triliun).

Walau secara estimasi pemasukan Google AdSense tidak sebegitu besar, namun sajian konten menghibur yang dinikmati oleh banyak orang dari FaZe Clan membuka peluang bisnis lain. Seperti yang saya sebut di awal, yaitu sponsorship dan advertising. Contoh nyata dari hal ini adalah kolaborasi antara FaZe Clan dengan Manchester City.

Dalam kerja sama Co-Branding tersebut dikatakan bahwa penggunaan jersey Manchester City dengan elemen brand Faze Clan menjadi salah satu hal yang dilakukan dalam kerja sama ini. Namun selain itu, ada juga kerja sama konten yang dilakukan oleh keduanya. Dengan jutaan view dari setiap konten yang diungga oleh FaZe Clan, tak heran jika sponsor berebut ingin dapat kesempatan berkolaborasi dengan organisasi esports yang mengawali perjalanannya dari Call of Duty tersebut.

Melihat industri gaming dan esports yang sedang “panas” belakangan. Tak heran jika berbagai brand, baik endemik dan non-endemik, ingin merebut perhatian sebagian dari seluruh penonton esports yang menurut Newzoo mencapai 495 juta orang di dunia.

Selain konten di YouTube, bidang lain yang tak kalah menjanjikan dari aspek konten bagi organisasi esports adalah live-streaming. Twitch sebagai platform yang paling menonjol dengan total waktu tonton mencapai 3 miliar jam pada Q1 2020 lalu, menjadi wadah terbaik bagi organisasi esports untuk menjangkau para penggemarnya.

Pada ekosistem esports luar negeri, tak heran jika kita melihat organisasi esports memiliki seorang streamer yang melakukan streaming dengan menggunakan nama organisasi tersebut. Team SoloMid misalnya, punya Ali Kabbani (Myth) sebagai kreator konten serta streamer untuk mewakili brand organisasi esports asal Amerika Serikat tersebut. FaZe Clan juga, yang dahulu memiliki Turner Tenney (tfue) sebagai streamer serta konten kreator andalan mereka, walaupun akhirnya ditinggal karena skandal kontrak yang eksploitatif.

Dari contoh kasus di atas, kita melihat bagaimana konten juga menjadi sumber pemasukan yang menjanjikan bagi organisasi esports. Lalu bagaimana dengan organisasi esports di Indonesia? Jika bicara live-streaming, satu perbedaan yang paling terasa adalah posisi Twitch yang tidak relevan bagi pasar gaming Indonesia.

Mengutip laporan Esports Markets Trend yang dirangkum oleh DSResearch pada September 2019 lalu, 84,6 persen dari 1.445 total responden masih memilih YouTube sebagai platform favorit untuk menonton konten gaming.

Untuk melihat peran konten bagi organisasi esports Indonesia, saya mengmbil contoh Rex Regum Qeon, yang punya kanal YouTube dengan 1,49 juta subscriber, salah satu yang terbanyak di Indonesia. Jika mengutip data Socialblade, channel milik salah satu tim esports papan atas Indonesia ini ternyata bisa menghasilkan paling banyak sebesar US$17,4 ribu (sekitar Rp258 juta) per bulan dengan total US$208,5 ribu (sekitar Rp3 miliar) per tahun dari Google AdSense.

Lucunya angka tersebut ternyata bersaing dengan total hadiah kemenangan yang didapat RRQ sepanjang tahun 2019 yang setidaknya mencapai Rp5,7 miliar. Apalagi, seperti yang sudah kita bahas di awal artikel tadi, tim esports biasanya tidak mengambil semua hadiah turnamen, melainkan paling banyak hanya 40% bagian saja.

Jadi, jika dengan asumsi RRQ memotong 40% bagian dari hadiah turnamen yang didapat pemain, manajemen RRQ berarti hanya menerima Rp2,2 miliar, Rp800 juta lebih kecil dibanding dari pendapatan Google AdSense YouTube Channel yang mereka miliki.

Lalu bagaimana soal pengeluaran untuk membuat konten? Gaji untuk seorang streamer bisa jadi lebih mahal atau lebih murah ketimbang gaji yang dibutuhkan untuk satu tim esports. Anggaplah tadi gaji untuk tim AOV untuk EVOS ada di kisaran Rp43 juta sebulan atau gaji minimal untuk tim MPL ID adalah Rp45 juta sebulan (Rp7,5 juta x6), nominal ini juga bisa jadi sama besarnya untuk membayar gaji bulanan streamer beserta tim produksinya (video editor, videografer, dkk.). Belum lagi jika kita berbicara soal alat-alat yang dibutuhkan, seperti kamera, webcam, PC untuk editing video. Modal awal untuk kebutuhan peralatan tadi mungkin saja mencapai Rp50-100 jutaan untuk sebuah kanal konten video. Untungnya, modal untuk peralatan ini mungkin memang tidak rutin — kecuali setiap bulan banting kamera.

Meski pengeluaran untuk tim esports dan tim kreator konten bisa jadi sama besar atau bahkan lebih mahal tim konten-nya (tergantung dari prestasi para pemain tim esports-nya), satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah membangun tim juara itu mungkin lebih sulit dilakukan ketimbang membangun tim konten yang populer.

Sumber: PUBG Mobile Esports
Sumber: PUBG Mobile Esports

Kenapa? alasannya ada 2. Pertama, industri konten sudah jauh lebih matang dan tua ketimbang industri esports. Para profesional yang piawai merekam video atau mengedit bisa ditemukan dari industri-industri hiburan di luar esports. Demikian juga peralatannya. Misalnya, Anda bisa saja menemukan setiap komponen untuk merakit desktop PC kelas proletar sampai kelas sultan di Indonesia. Sedangkan di esports, para pemain yang masuk di kategori papan atas masih sangat terbatas. Demikian juga dengan pelatihnya, misalnya. Anda tidak bisa merekrut pelatih sepak bola untuk melatih tim Dota 2 dan berharap ia bisa dengan mudah beradaptasi — tidak seperti videografer atau video editor dari industri hiburan di luar esports.

Alasan kedua kenapa membangun tim juara lebih sulit karena memang caranya cuma satu; yaitu memiliki kemampuan yang hebat agar bisa jadi juara. Kemampuan ini kemungkinan besar tidak akan bisa didapat dengan cara instan. Kekompakan tim saat bertanding juga demikian.

Sedangkan popularitas konten? Ada banyak cara untuk bisa mencari popularitas. Para streamer perempuan bisa saja memanfaatkan eksplorasi tubuh dan wajah. Faktanya, wajah cantik ataupun bodi ciamik bisa didapatkan dengan mudah — jika Anda beruntung dalam undian genetik. Ada juga streamer yang lebih suka memanfaatkan perilaku menyimpang dan kata-kata kasar untuk memancing popularitas. Kenyataannya, popularitas itu memang seringnya tidak berbanding lurus dengan kapabilitas. Anak kecil makan bakso saja bisa jadi populer tanpa perlu ribuan jam berlatih layaknya tim esports. Sebaliknya, Anda tidak bisa jadi juara kompetisi hanya dengan menunjukkan belahan dada — kecuali mungkin memang kompetisinya soal itu…

Batasan etika dari definisi juara itu memang jauh lebih sempit, ketimbang populer. Faktanya, organisasi esports juga memanfaatkan gadis-gadis cantik untuk mendulang popularitas — yang sebelumnya juga pernah kami bahas.

Kesimpulan

Melalui pembahasan yang telah kita lakukan, kita setidaknya bisa mendapat gambaran kasar, apa yang bisa didapatkan organisasi esports atas prestasi yang mereka kejar dan konten-konten kreatif yang mereka produksi.

Jadi, prestasi atau konten? Sepertinya keduanya seperti dua sejoli yang tak terpisahkan dan saling melengkapi dalam proses perkembangan sebuah organisasi esports.

Toh tim yang berat ke konten seperti FaZe Clan, pada akhirnya juga berambisi menjadi juara, sampai-sampai rela keluar US$700.000 pada tahun 2016 hanya untuk membeli roster CS:GO. Team Liquid yang gencar mengejar prestasi juga tetap membuat konten agar mereka tetap eksis di dunia maya.

Bahkan RRQ yang punya orientasi menjadi juara, tetap memanfaatkan popularitas atas kemenangan mereka sebagai konten agar tetap menghasilkan pundi-pundi untuk membantu membawa RRQ kepada kesuksesan.

Apalagi, faktanya, membangun tim juara itu tetap butuh waktu yang panjang — setidaknya tidak sesingkat menemukan gadis-gadis berparas menarik ataupun streamer yang lucu dan kontroversial.

Beban Mental Atlet Esports Profesional dan Cara Menanggulanginya

Siapa yang tak ingin bekerja sesuai dengan passion mereka? Bagi gamer, menjadi pemain esports profesional tentunya adalah sebuah impian. Bisa bermain game yang disukai setiap hari, bertanding di depan ribuan atau bahkan ratusan ribu orang dan menjadi populer, dibayar pula. Gamer mana yang tak tergiur dengan itu semua? Sayangnya, menjadi pemain esports tidak melulu menyenangkan. Ada pengorbanan yang harus para atlet esports profesional lakukan.

Jika Anda berpikir, “Ah, kan tinggal main aja, gampang!” Bagi seorang gamer, bermain game tentu saja terasa menyenangkan. Tapi ingat, menurut Hukum Gossen: “Jika pemuasan kebutuhan terhadap satu hal dilakukan terus-menerus, kenikmatannya akan terus berkurang sampai akhirnya mencapai titik jenuh.” Ini contoh mudahnya. Misalnya, makanan favorit Anda adalah nasi goreng. Ketika Anda memakan nasi goreng, Anda tentu akan senang. Namun, bayangkan jika setiap hari — pagi, siang, dan malam — Anda hanya bisa makan nasi goreng. Bayangkan jika itu terjadi selama satu minggu, satu bulan, atau mungking satu tahun! Lama-kelamaan, Anda akan merasa bosan dengan nasi goreng, walau tadinya, itu adalah makanan favorit Anda. Begitu juga dengan bermain game.

Apa Masalah yang Dihadapi Pemain Esports Profesional?

Sebelum ini, Hybrid.co.id pernah membahas tentang berbagai masalah yang harus dihadapi oleh para pemain esports dalam meniti karir mereka. Salah satu masalah yang harus mereka hadapi adalah stres dan burnout. Menurut riset yang dilakukan oleh University of Chichester, para atlet esports menghadapi tantangan mental yang serupa dengan atlet olahraga tradisional. Jadi, jangan mengira menjadi atlet esports profesional mudah karena mereka “hanya” duduk di hadapan layar untuk bertanding.

Pemain esports punya tekanan untuk memuaskan fans. | Sumber: The Esports Observer
Pemain esports punya tekanan untuk memuaskan fans. | Sumber: The Esports Observer

Menurut Yohannes Paraloan Siagian, pemegang gelar M.M dari Universitas Indonesia dan M.B.A. dari I.A.E de Grenoble, Universite Piere Mendes, yang pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA 1 PKSD dan Vice President EVOS Esports, beban mental para atlet esports justru lebih berat daripada atlet olahraga biasa. Pasalnya, atlet olahraga biasanya hanya dituntut untuk memberikan performa terbaik dalam satu ajang olahraga saja. Sementara atlet esports bisa mengikuti beberapa turnamen atau liga dalam satu tahun. Itu artinya, mereka harus memberikan performa terbaik mereka lebih dari satu kali atau mereka harus menjaga agar performa mereka stabil selama waktu yang lebih lama dari atlet olahraga biasa.

“Kemudian, feedback dari publik jauh lebih cepat sampai ke player di dunia esports daripada di olahraga tradisional,” ujar pria yang akrab dengan panggilan Joey ini saat dihubungi melalui pesan singkat. “Memang, di zaman medsos, ini sudah mulai umum. Tapi, perbedaannya adalah atlet esports ‘hidup’ di dunia online: streaming, media sosial, bahkan in-game chat. Hal-hal tadi adalah jalur komunikasi publik yang cepat dan tidak terfilter. Ini berarti, semua pujian bisa cepat sampai. Tapi, semua hinaan, kata-kata kasar, dan lain sebagainya… juga bisa langsung ke player. Dan toxicity netizen Indonesia sudah bukan rahasia lagi…”

Ilustrasi. | Sumber: Shutterstock via Kompasiana
Ilustrasi. | Sumber: Shutterstock via Kompasiana

Selain tuntutan untuk bermain maksimal, hal lain yang bisa menjadi beban mental atlet esports adalah kontrak dengan tim profesional. Joey mengatakan, saat ini, di Indonesia, kebanyakan kontrak antara pemain profesional dan tim cenderung menguntungkan tim. Para pemain bisa dilepas atau dinonaktifkan kapan saja. “Masih mending kalau dilepas dan bisa main di itm lain. Kalau hanya dinonatkfikan dan tidak bisa bermain?” kata Joey. “Kemungkinan diganti setelah satu atau dua performa buruk itu akan menjadi beban besar bagi player manapun, dan berlaku di cabang manapun. Tapi, di esports, saat ini ancaman itu lebih besar. Dan jika terjadi, jalur kembali ke tim utama seringkali tidak jelas.”

Hal lain yang bisa menambah beban mental pemain esports adalah masalah “META (Most Effective Tactics Available)”. Berbeda dengan basket, sepak bola, atau olahraga tradisional lainnya, perubahan META di esports sangat cepat. “Misalnya, ada teknologi VAR (Video Assistant Referees) di sepak bola. Ini akan dibahas selama beberapa tahun, baru dites, dan setelah itu baru diimplementasi. Contoh lainnya, perubahan taktik tim basket yang bisa dilihat melalui video dan terpantau melalui scouting dan observasi,” ujar Joey. Sebagai perbandingan, perubahan META di game-game esports tidak hanya cepat, tapi juga sering.

Saat developer game merilis update atau patching, maka biasanya akan ada karakter yang di-buff atau di-nerf. Tak tertutup kemungkinan, ada mekanisme game yang juga berubah. Misalnya, ketika update Outlanders dirilis untuk Dota 2. “Ini membuat pemain esports harus selalu up to date dan beradaptasi ke semua perubahan yang terjadi, karena di esports, perubahan kecil saja di satu aspek bisa memengaruhi seluruh META dengan drastis. Tuntutan harus up to date ini juga jadi beban besar yang tidak bisa disepelekan,” kata Joey. “Semua ini, digabung dengan kenyataan bahwa atlet esports tidak punya ‘offseason‘, memberikan tekanan mental yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan olahraga tradisional.”

Update Outlanders mengubah banyak hal dalam Dota 2.
Update Outlanders mengubah banyak hal dalam Dota 2.

Mia Stellberg, psikolog esports yang pernah bekerja untuk Astralis, salah satu tim Counter-Strike: Global Offensive terbaik dunia, juga mengatakan hal yang sama. “Secara umum, menjadi atlet esports memiliki beban yang lebih berat daripada atlet olahraga tradisional,” ujar Stellberg dalam wawancara dengan RedBull. Dia mengungkap, ada banyak tanggung jawab atlet esports yang tak terlihat oleh masyarakat awam. Bagi tim internasional, mereka harus sering berpergian ke luar negeri. Dan pergi ke luar negeri untuk ikut serta dalam turnamen esports tentunya tidak sama dengan pergi untuk tamasya. Seorang atlet esports juga dituntut untuk tetap memberikan performa terbaik meskipun mereka mengalami jet lag.

Pentingnya Mengendalikan Emosi Bagi Atlet Esports

Saat bekerja untuk Astralis, Stellberg menjelaskan, tugasnya adalah untuk mengetahui keadaan para pemain dan membantu mereka untuk menjadi lebih baik lagi. Salah satunya dalam hal mengendalikan emosi. Jika Anda sering bermain game kompetitif, Anda pasti akrab dengan istilah “rage quit“. Sayangnya, pemain esports tak mungkin melakukan itu, apalagi ketika mereka tengah bertanding.

Selain itu, seseorang biasanya merasa frustasi ketika dia melakukan kesalahan atau kalah — apalagi kalau musuh ikut mengolok-olok. Jika tak terkendali, rasa frustasi ini justru bisa membuat seorang atlet esports membuat lebih banyak kesalahan. Membuat kesalahan, kemudian merasa frustasi, yang berakhir pada lebih banyak kesalahan, dan meningkatkan rasa frustasi; seperti terjebak dalam lingkaran setan. Karena itulah, Stellberg mencoba untuk mengajarkan para pemain esports untuk berpikir rasional dan tetap rileks bahkan setelah mereka melakukan kesalahan. Dengan begitu, mereka tetap bisa fokus untuk bermain dengan baik.

“Saya ingin mengajarkan para pemain cara mengendalikan emosi mereka sehingga mereka bisa berpikir lebih rasional. Jika Anda emosional, ini mungkin menyebabkan masalah saat bermain game,” ujar Stellberg. “Agar bisa memberikan performa terbaik, Anda harus bisa berpikir dengan jernih. Karena jika Anda merasa stres, hal ini akan memengaruhi koordinasi mata-tangan dan reaction time Anda. Rasa percaya diri Anda juga memengaruhi performa Anda. Karena, jika Anda tidak merasa percaya diri, Anda akan lebih mudah merasa stres.”

Mia Stellberg ingin para pemain esports bisa mengatur emosinya. | Sumber: RedBull
Mia Stellberg ingin para pemain esports bisa mengatur emosinya. | Sumber: RedBull

Mengendalikan emosi tidak hanya penting ketika seorang atlet esports membuat kesalahan, tapi juga ketika mereka dalam posisi unggul. Ketika Anda merasa bahwa Anda sudah pasti akan menang, biasanya, Anda menjadi lebih santai. Dan jika tidak hati-hati, rasa percaya diri yang terlalu berlebihan ini justru bisa jadi senjata makan tuan.

CEO BOOM Esports, Gary Ongko Putera mengaku, rasa tidak percaya diri pemain bisa menjadi penghambat tim meraih kemenangan. Berdasarkan pengalamannya, pemain bisa merasa tidak percaya diri ketika menghadapi pemain lain yang dianggap lebih populer. Selain itu, atlet esports juga bisa merasa tertekan karena merasa harus memuaskan para fans. Ini semua bisa menyebabkan pemain atau tim bermain terlalu aman. “Istilahnya, jadi play to not lose bukannya play to win,” ujar Gary melalui pesan singkat. Menurutnya, mental pemain esports juga diuji ketika mereka tak kunjung meraih tujuan mereka, misalnnya memenangkan turnamen.

“Nggak semua orang kuat bisa menerima kegagalan di fase yang sama berturut-turut. Misalnya, kalah di open atau closed qualifier melulu,” kata Gary. “Awal-awal mungkin semangat, tapi habis tiga atau empat kali gagal, mungkin justru akan meragukan diri sendiri atau ketika bermain merasa ada pressure. Atau kebalikannya, sudah pernah ke luar negeri untuk mewakili Indonesia, tiba-tiba mau mewakili Indonesia lagi, jadi merasa ada pressure.”

Bagaimana Cara Pemain Esports Mengatasi Stres?

Masing-masing pemain esports bisa memiliki sumber stres yang berbeda-beda. Joey memberikan contoh, bagi pemain esports yang berasal dari keluarga berada mungkin lebih peduli akan reputasinya daripada penghasilannya. Sementara pemain yang datang dari keluarga kurang mampu mungkin akan lebih cemas dia akan kehilangan sumber penghasilannya jika performanya buruk dan dia dikeluarkan dari tim.

“Jadi, dalam menghadapi keadaan seperti ini, pertama, harus dimulai dari hal-hal yang global,” kata Joey. “Misalnya, membangun rasa percaya diri, mengajari cara melepaskan tekanan agar proses pelepasan tekanan tidak berbahaya.” Dia menjadikan balon sebagai metafor. Jika balon terus ditiup tanpa membiarkan udara di dalamnya keluar, balon akan meledak. Sementara jika udara di dalam balon dikeluarkan begitu saja, balon bisa terbang tanpa arah yang jelas. Begitu juga dengan pelepasan stres bagi pemain esports. Mereka harus dapat melakukannya dengan cara yang tepat agar stres tidak menumpuk dan membuat mereka “meledak”.

Jika tak diatur dengan baik, stres bisa menyebabkan seseorang "meledak". | Sumber: The Coversation
Jika tak diatur dengan baik, stres bisa menyebabkan seseorang “meledak”. | Sumber: The Coversation

Masing-masing atlet esports punya caranya sendiri dalam melepas stres. “Ada pemain yang larinya ke rohani dan iman. Sebelum stream atau latihan atau bertanding selalu berdoa. Ada yang memilih untuk mencari kegiatan refreshing. Ada yang memilih untuk menghabiskan waktu lebih bannyak dengan keluarga,” ungkap Joey. Sayangnya, tidak sedikit juga pemain esports yang memilih melepaskan stres dengan cara yang kurang sehat. “Tidak sedikit pemain profesional yang terlihat sangat akrab dengan alkohol, vape, dan lain sebagainya. Seringkali, jawaban yang diberikan ketika ditanya kenapa mereka sering minum adalah untuk ‘menenangkan pikiran’.”

Padahal, gaya hidup yang tidak sehat — mengonsumsi junk food, rokok, alkohol, dan pola tidur tak teratur — justru bisa menyebabkan kondisi fisik memburuk. Semua itu juga bisa menurunkan kondisi mental seseorang, sehingga mereka lebih muda merasa stres karena tekanan. Dan saat stres, pemain cenderung mencari jalan pintas untuk menghadapi tekanan, yaitu mengonsumsi junk food, rokok, dan alkohol.

Kebanyakan pemain esports masih sangat muda. Tidak jarang, pemain esports sudah mengundurkan diri pada pertengahan umur 20-an. Secara legal, anak di bawah umur 21 tahun, menjadi tanggung jawab orangtua. Artinya, mereka tidak akan bisa menjadi pemain profesional tanpa persetujuan orangtua. Jadi, jika orangtua setuju anaknya meniti karir sebagai pemain profesional, mereka seharusnya juga bertanggung jawab dalam membantu sang anak/remaja untuk mengatasi stres dengan cara yang sehat.

“Tapi, menurut saya, secara etis dan moral, ini merupakan tanggung jawab tim yang seharusnya mereka penuhi,” ujar Joey. “Kalau sudah membawa anak muda ke satu lingkungan saat dia harus memberikan performa maksimal, ya seharusnya tim memberikan dukungan full. Tim juga akan bisa lebih untung karena atlet akan bisa bermain dengan maksimal dan mengangkat nama tim.”

Menurut Joey, tim esports profesional seharusnya memiliki psikolog yang bertanggung jawab dalam mengatasi masalah mental dalam organisasinya. Tak hanya itu, atlet profseional juga sebaiknya rela mengeluarkan uang lebih untuk mendapatkan jasa psikolog untuk membantunya mengatasi berbagai masalah mental yang dia alami. “Di luar negeri, atlet sepak bola misalnya, memiliki trainer fisik pribadi, koki pribadi, psikolog pribadi dan lain sebagainya,” kata Joey. Dia sadar, hal ini mungkin tidak bisa diterapkan di Indonesia begitu saja. “Tapi, saya merasa, atlet seharusnya paham bahwa dirinya adalah sumber daya yang perlu dia kembangkan dengan investasi. Hal ini akan membantu untuk menaikkan level mereka.”

Sementara itu, menurut Stellberg, sangat penting bagi para pemain esports untuk bisa menyeimbangkan kehidupan profesional dan kehidupan pribadi mereka. Memang, atlet esports biasanya hobi bermain game. Namun, saat menjadi pemain profesional, bermain tak lagi sekadar menjadi hobi, tapi sebuah pekerjaan. Stellberg percaya, menghabiskan waktu lebih dari 10 jam setiap hari selama seminggu penuh di depan komputer untuk latihan bukanlah ide bagus. Pemain esports sebaiknya menghabiskan waktu istirahat mereka bersama teman, keluarga, atau kekasih mereka.

“Salah satu tugas saya adalah membantu para pemain untuk menyeimbangkan kehidupan profesional dan pribadi mereka,” ujar Stellberg. “Saya merasa, tidak peduli apa pekerjaan Anda, Anda seharusnya tetap memiliki kehidupan pribadi dan kehidupan sosial dan mungkin, seorang kekasih.”

Kesimpulan

Jika Anda sering menonton pertandingan sepak bola, Anda pasti pernah mendengar seorang fans mengeluh, “Seharusnya si A melakukan XYZ!” Atau mungkin, Anda adalah orang yang meneriakkan kata-kata itu ke layar televisi? Sekedar berbicara memang jauh lebih mudah dari melakukan sesuatu. Begitu juga dengan esports. Meskipun para atlet esports terlihat hanya duduk di depan layar dan bermain, mereka juga menghadapi berbagai masalah yang mungkin tidak terlihat, termasuk tekanan mental.

Memang, mengatur stres dan tekanan mental adalah tanggung jawab para pemain esports profesional. Namun, sebagai fans, tidak ada salahnya untuk menjadi lebih baik.

Sumber header: Fortune

5 Perbedaan antara Esports dan Olahraga yang Harus Disadari

Dengan sekian banyak paradigma negatif yang menempel pada game, banyak orang-orang yang mencoba menekan sentimen negatif esports dengan menyamakannya ke olahraga. Tidak sedikit juga orang-orang yang bahkan mencoba melepaskan korelasi antara game dan esports untuk tujuan tadi — meski faktanya ekosistem esports akan selalu masuk dalam lingkup industri game.

Di sisi lainnya, tak dapat dipungkiri juga bahwa esports itu memang punya sekian banyak kesamaan dengan olahraga di beberapa aspek. Keduanya sama-sama menuntut stamina dan daya juang tinggi.

Esports juga lebih mirip dengan olahraga dalam hal kegiatannya yang lebih bersifat sosial ketimbang game secara umum — mengingat sebagian besar game dapat dinikmati seorang diri (singleplayer) seperti The Outer Worlds, Skyrim, The Witcher 3, ataupun Final Fantasy 7 Remake misalnya. Di game-game non-esports, bahkan di game-game multiplayer sekalipun, Anda tetap bisa menikmati permainannya tanpa berinteraksi dengan pemain lainnya seperti di Monster Hunter: World, Borderlands 3, GTA V, RDR2, Animal Crossing: New Horizons dan kawan-kawannya. MMO yang bahkan dibangun atas fondasi multiplayer sekalipun juga bisa dimainkan tanpa harus bersosialisasi dengan pemain lainnya — meski memang Anda akan kehilangan sejumlah fitur, seperti PvP (player versus player) atau yang lainnya.

Game-game esports, bahkan yang tidak berbasis tim sekalipun, menuntut Anda untuk terus mencari lawan pemain lain untuk berkembang.

RDR 2 via Gamebyte
RDR 2 via Gamebyte

Saya yakin masih banyak contoh lainnya yang bisa disebutkan ketika kita harus menyebutkan kesamaan antara esports dan olahraga. Sayangnya, di sisi lain, banyak salah kaprah di kalangan ekosistem esports Indonesia dan yang terkait dengannya tentang sebuah romantisasi bahwa esports akan jadi serupa dengan olahraga. Faktanya, hal tersebut tidak akan terjadi. Dari 5 perbedaan antara esports dan olahraga kali ini, 3 perbedaan bersifat fundamental — yang mungkin tak akan berubah dalam waktu yang sangaaaaaaaaaaaaaaaaaat lama…

Sebelum kita masuk ke daftarnya, mungkin ada dari Anda yang tidak menyadari pentingnya mengetahui perbedaan-perbedaannya. Sama seperti saat saya menuliskan soal salah kaprah soal pemahaman pasar esports Indonesia, harapan saya adalah memahami dan menyadari lebih jauh tentang industri esports dapat membantu Anda terjun atau terus berkecimpung di sini.

Usia Karier di Esports Lebih Pendek Dibanding Olahraga

Sebelum kita masuk ke dalam 3 perbedaan fundamentalnya, izinkan saya menuliskan 2 perbedaan terbesar antara esports dan olahraga yang juga penting untuk disadari. Perbedaan pertama adalah soal usia produktif berkarir sebagai pemain di esports dan atlet olahraga.

Rivaldo saat bermain untuk Barcelona. Sumber: Marca
Rivaldo saat bermain untuk Barcelona. Sumber: Marca

Di sepak bola, misalnya, banyak pemain bola yang masih bermain saat mereka berada di usia 40an. Teddy Sheringham, Rivaldo, Kazuyoshi Miura dan kawan-kawannya adalah segelintir contoh dari pemain bola yang masif aktif di tingkatan kompetisi resmi saat mereka sudah menginjak usia 40an. Miura bahkan berusia 53 tahun sekarang dan masih bertanding di liga Jepang (FC Yokohama).

Di bidang olahraga lainnya, di Olimpiade misalnya, tidak sedikit juga atlet-atlet yang masih berkompetisi meski sudah berusia lebih dari 60 tahun. Anda bisa melihat daftarnya di tautan ini.

Di sisi lain, meski memang ada gamer-gamer yang berusia 60 tahun ke atas, kebanyakan dari mereka tidak bertanding di turnamen-turnamen bergengsi ataupun resmi; The International buat Dota 2, Overwatch League buat Overwatch, World Championship buat League of Legends (LoL), MPL buat Mobile Legends (MLBB), PMPL buat PUBG Mobile (PUBGM), misalnya.

Hal ini memang menarik karena olahraga menuntut kebugaran fisik yang lebih tinggi ketimbang esports. Kami juga pernah menuliskan soal keterbatasan usia produktif untuk para pemain profesional di esports beberapa waktu lalu. Meski begitu, saya pribadi percaya hal ini bisa jadi berubah seiring waktu karena memang tidak fundamental. Usia rata-rata untuk atlet yang bertanding di Olimpiade bahkan sudah berubah dari waktu ke waktu. Riset tadi menyebutkan bahwa usia rata-rata atlet yang bertanding di beberapa cabang Olimpiade semakin muda seiring waktu.

Kebanggaan Daerah yang Berbuah Monetisasi

Di sepak bola, satu klub biasanya mewakilli kota-kota tertentu. Mereka bahkan memiliki stadionnya masing-masing dan bisa mewujudkan pertandingan kandang-tandang.

Kebanggaan daerah ini bahkan bisa berbuah manis jadi pendapatan buat klub tersebut. Persija misalnya, mereka bisa mendapatkan pendapatan sebesar Rp4-5 miliar jika bertanding di kandang. Mereka juga bisa meraup sekitar Rp50 juta per laga dari penjualan merchandise. Meski memang klub sepak bola juga sama-sama mendapatkan revenue terbesar dari sponsor (layaknya tim esports), pertandingan esports di Indonesia belum mampu mendatangkan pendapatan yang signifikan dari sisi penjualan tiket.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
MPL Indonesia. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Faktor kandang-tandang dan kebanggaan daerah tadi, menurut saya, sedikit banyak berpengaruh terhadap perilaku fans olahraga dalam merogoh kocek saat ingin mendukung tim jagoannya. Di esports Indonesia, setahu saya, belum ada tim yang memang menjual kebanggaan daerah tertentu. Ditambah lagi, kebanyakan tim esports besar memang bermukim di Jakarta.

Di tingkatan global, tim-tim besar kelas internasional bahkan memiliki pemain dari berbagai negara berbeda. Turnamen-turnamen di esports yang mengharuskan kewarganegaraan yang sama dalam satu tim bahkan jarang ditemukan dan mungkin tak bisa dianggap sebagai kompetisi yang paling bergengsi di game-nya masing-masing. Bahkan MPL, M1, ataupun MSC (untuk MLBB) juga tidak melarang tim-tim untuk mendatangkan pemain dari luar negeri — meski ada batasan jumlahnya.

Hal ini juga mungkin berubah di kemudian hari. Apalagi Overwatch League juga sudah mencoba menerapkan sistem kandang-tandang dan menuntut tim-tim yang bertanding di sana memiliki stadionnya masing-masing. Namun saat ini, stadion dan venue esports saja masih memiliki keruwetan yang harus diurai sebelumnya.

Tontonan Olahraga Lebih Bisa Dinikmati Kalangan Luas

Setelah dua perbedaan besar yang mungkin bisa berubah tadi, kali ini kita akan membahas ke 3 perbedaan fundamental yang mungkin tidak akan berubah dalam waktu yang sangat lama. Perbedaan pertama adalah soal olahraga dan esports sebagai tontonan.

Memang, saya tahu bahwa tidak semua orang bisa menikmati pertandingan sepak bola dari awal sampai akhir. Demikian juga dengan olahraga-olahraga lainnya. Meski begitu, kompilasi video dari aksi atlet olahraga yang fantastis, misalnya, bisa membuat banyak orang berdecak kagum meski orang-orang tersebut tidak tahu aturan main olahraga tersebut. Silakan cek video di bawah ini, jika tidak percaya.

Video di atas adalah soal olahraga bola voli yang mungkin bukan yang paling populer di Indonesia. Saya juga yakin lebih banyak dari Anda yang tidak tahu sistem skoring di voli, ketimbang yang tahu. Namun demikian, Anda tetap bisa dibuat kagum dengan aksi-aksi atlet voli di video tadi. Anda juga bisa mencari-cari video dari olahraga-olahraga lain yang sejenis di atas dari cabang tenis meja, atletik, tinju, ataupun yang lainnya untuk mendapatkan pengalaman hiburan yang tak jauh berbeda — terlepas Anda bermain olahraga tersebut atau tidak.

Hal tersebut membuktikan bahwa permainan olahraga bisa lebih dinikmati orang-orang di luar komunitasnya. Ada 2 alasan kenapa olahraga bisa dinikmati oleh kalangan yang lebih luas. Pertama, tontonan olahraga lebih terlihat dari fisik sang atletnya. Hal ini jadi lebih menarik karena saya kira setiap kita tahu batasan fisik kita masing-masing. Kita tahu seberapa kencang kita bisa berlari, seberapa tinggi kita melompat, seberapa cepat kita bereaksi, ataupun seberapa lincah kita bergerak. Maka dari itu, kita kagum saat melihat atlet-atlet di olahraganya masing-masing saat bisa melakukan hal-hal yang jauh di atas batasan fisik kita.

Sebaliknya, tontonan esports biasanya lebih ke in-game. Bukan ke pergerakan fisik para pemainnya. Karena itulah, kita yang harus bisa membayangkan bagaimana pergerakan sang pemain untuk bisa melakukan sebuah trik di dalam game. Keterbatasan pengetahuan kita di game tersebut yang membuat banyak trik pro player jadi seolah biasa saja. Misalnya saja seperti ini, buat yang tahu bagaimana susahnya bergerak di game-game MOBA di PC, kita akan lebih kagum melihat kelincahan para pro player Dota 2 ataupun LoL.

Buat yang hanya pernah bermain MOBA di mobile atau tak pernah bermain MOBA di PC, mereka tidak akan pernah tahu seberapa susahnya melakukan last-hit, orb-walking, juking, dan segudang manuver lainnya dalam kondisi pertempuran yang bertempo cepat nan kompleks.

Bahkan di FPS sekalipun, yang mungkin kelihatannya lebih bisa dikonsumsi kalangan luas, jika Anda melihat sendiri bagaimana pro player CS:GO menggerakkan mouse mereka; saya yakin Anda akan lebih takjub. Karena hal ini juga yang saya rasakan. Saya juga bermain Counter Strike bahkan dari zaman 1.6 (silakan baca sejarah Counter-Strike yang pernah kami tuliskan beberapa waktu lalu). Saya juga tahu betapa hebatnya kawan-kawan saya dari TEAMnxl> di era kejayaannya. Namun demikian, saya jadi lebih takjub saat melihat dengan mata saya sendiri bagaimana Richard Permana, Hansel Ferdinand, Albert Giovanni, Baskoro Dwi Putra, Kevin Susanto, ataupun para pemain CS:GO profesional lainnya menggerakkan mouse.

Saya juga merasakan yang sama saat melihat langsung para pemain game fighting, seperti Bram Arman ataupun Christian Samuel,  menggerakkan lengan dan jari jemari mereka ketika bermain Tekken 7. Dengan melihat langsung bagaimana mereka bergerak fisiknya, saya jadi semakin sadar sejauh mana kemampuan saya dibanding mereka (baik di Tekken 7 ataupun CS:GO tadi). Wkwkkwkwkw… 

Sayangnya, hal ini justru jarang diangkat di esports. Silakan cari sendiri video-video yang mampu menunjukkan bagaimana para jagoan di esports bergerak fisiknya. Kebanyakan yang bisa Anda temukan adalah bagaimana mereka bergerak in-game.

Selain soal pergerakan fisik yang jarang kelihatan, ketika kita tidak memainkan game tersebut, kita jadi kesulitan bagaimana menerjemahkan kemampuan seseorang di dalam permainan. Misalnya saja skill hook dari Pudge di Dota 2, Blitzcrank di LoL, ataupun Franco di MLBB. Jika Anda hanya melihat di dalam game tanpa pernah bermain sendiri, Anda tidak akan tahu seberapa sulitnya mendaratkan skill tersebut di waktu dan target yang tepat. Pasalnya, Anda harus menghitung (atau membiasakan diri) dengan kecepatan gerak musuh dan skill itu sendiri.

Hal ini juga sebenarnya terlihat di ranah bermusik. Jika Anda tidak pernah belajar bermain drum, Anda mungkin tak bisa menghargai kemampuan Mike Portnoy, Akira Jimbo, ataupun para drummer legendaris lainnya. Demikian juga dengan pemain bass legendaris seperti Victor Wooten. Faktanya, keterbatasan kita yang berpengaruh pada apresiasi kita melihat orang-orang yang hebat di bidang tersebut.

Di olahraga, selain pergerakan fisiknya terlihat di layar, setiap kita yang pernah sekolah juga pasti mendapatkan mata pelajaran olahraga. Dengan demikian, kita jadi tahu dasar dan tujuan dari permainan olahraga tadi. Misalnya, harusnya Anda tahu bahwa bermain basket adalah soal memasukkan bola ke dalam ring lawan. Sebaliknya, tidak semua orang tahu bahwa battle royale adalah soal bertahan hidup selama mungkin. Dengan demikian, strategi-strategi di pertandingan esports pun jadi tak terlihat istimewa buat mereka-mereka yang tidak paham dengan game tersebut.

Kenapa hal ini tidak akan berubah dalam waktu singkat? Karena esports mungkin tidak akan bisa masuk ke kurikulum pendidikan yang jadi penetrasi pasar paling efektif ke khalayak ramai, layaknya olahraga. Hal ini berhubungan dengan perbedaan fundamental berikutnya yang akan saya bahas.

Privatisasi Esports

Olahraga adalah milik semua orang. Sedangkan esports, tidak bisa dikatakan demikian. Esports adalah milik segelintir orang, khususnya publisher game (dan juga mungkin developer game) yang memiliki ‘lapangan’ utama berkompetisi. Sederhananya seperti ini, ekosistem esports LoL di Indonesia bisa dibilang sudah mati. Demikian juga dengan Dota 2 yang sudah bisa dibilang sekarat di Indonesia — setidaknya saat saya menulis artikel ini. Keduanya punya penyebab terbesar yang tak jauh berbeda (meski memang bukan cuma satu penyebab saja jika ingin dibahas mendalam) — keengganan sang publisher untuk membesarkan ataupun mempertahankan ekosistem esports-nya di Indonesia.

Sumber: MPL Indonesia
Sumber: MPL Indonesia

Di ekosistem MLBB juga demikian. Di 2018, hampir semua turnamen esports multi-game di Indonesia pasti ada MLBB sebagai salah satu game yang dipertandingkan. Hal ini berubah ketika Moonton mulai membatasi turnamen-turnamen tersebut. Saya pribadi memang setuju dengan pembatasan tersebut sebenarnya karena terlalu sering juga akhirnya menurunkan nilai kelangkaan dari turnamennya. Namun demikian, hal tersebut membuktikan bahwa memang esports bukan milik semua orang.

Demikian juga soal pengakuan tingkat kompetisinya. Di Dota 2, kompetisi paling bergengsi memang hanya The International karena resmi besutan Valve. Andaikan Dota 2 pun ada di Olimpiade, saya kira hal tersebut tidak akan berubah. Demikian juga dengan turnamen-turnamen esports lainnya yang resmi dibuat oleh masing-masing publisher-nya.

Di sepak bola, saya kira gengsi menjadi juara Liga Champion dan menjadi juara Piala Dunia itu sama tingginya (bisa jadi saya salah karena saya memang bukan penggemar bola fanatik) meski penyelenggaranya berbeda. Setiap orang juga berhak mengadakan kompetisi olahraganya masing-masing karena memang tidak ada hak cipta atas satu cabang olahraga. Namun hal ini tidak demikian dengan esports. Misalnya saja, satu hari, Moonton memutuskan untuk menutup server MLBB di seluruh dunia, apa yang akan terjadi dengan ekosistem esports-nya?

Sumber: NBA
Sumber: NBA

Misalnya FIFA memutuskan untuk tidak lagi mengurus sepak bola ataupun NBA tak lagi menggelar liga basket, apakah sepak bola dan basket akan menghilang dari muka bumi? Saya yakin tidak. Meski kehidupan ekosistem esports memang tak bergantung pada satu pihak, kematiannya bisa ditentukan kapanpun oleh sang publisher.

Privatisasi esports ini juga bergantung pada investasi jangka panjang untuk pihak-pihak yang ingin bergelut di dalamnya. Setidaknya, ada beberapa tambahan variabel yang harus dipikirkan — seperti sentimen terhadap sang publisher game ataupun dinamisnya industri gaming dan esports. Inilah yang saya maksud di bagian sebelumnya, kenapa kecil kemungkinannya esports bisa masuk ke kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah itu memang nyatanya tidak sedinamis itu… Koreksi saya jika salah, namun ada beberapa bagian dalam sejarah Indonesia yang sebenarnya hanyalah bentuk hegemoni dari penguasa sebelumnya namun masih juga diajarkan di zaman sekarang. Saya takut hilang jika harus menyebutkan yang mana… Wkwkwkkwkw… 

Kurikulum sekolah memang faktanya tidak sedinamis itu. Padahal esports dan game adalah industri yang begitu dinamis. Dota 2, misalnya, sempat menjadi esports paling laris di Indonesia beberapa tahun silam. Namun sekarang? MLBB, Free Fire, ataupun PUBGM juga belum ada di tahun 2016 namun sekarang bisa dibilang menguasai industri esports Indonesia. Selain itu, aneh juga misalnya jika Free Fire masuk kurikulum tapi MLBB dan PUBGM tidak — atau sebaliknya.

Kebutuhan Infrastruktur yang Jauh Berbeda

Terakhir, perbedaannya mungkin tak sekompleks pemahaman dua perbedaan sebelum ini. Kebutuhan infrastruktur dasar yang jauh berbeda antara esports dan olahraga adalah perbedaan terakhir yang mungkin harus disadari.

Satu kali, saat saya diundang jadi pembicara di Planet Esports dari RevivalTV, satu pertanyaan yang ditanyakan ke saya adalah soal peran pemerintah untuk mendukung esports Indonesia. Bagi saya, jawaban paling tepat adalah soal infrastruktur. Saya sebenarnya pernah menuliskan juga soal apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk esports Indonesia.

Sama seperti di artikel saya tadi, jawabannya memang ada macam-macam jika pertanyaan ini ditanyakan ke banyak orang — mengingat sepertinya banyak orang punya ekspektasi yang terlalu tinggi dan banyak ke negara. Namun, infrastruktur digital adalah satu-satunya yang tak mungkin dilakukan oleh pihak lain selain pemerintah. Regenerasi mungkin memang lebih mudah dilakukan oleh negara namun hal ini masih bisa dilakukan oleh para pelaku industri dan ekosistem.

Di olahraga, infrastruktur dasar utama yang dibutuhkan adalah lapangannya. Lapangan sepak bola, bulu tangkis, voli, dan lain-lainnya jadi kebutuhan pertama untuk mengembangkan industri dan ekosistem olahraga. Tanpa lapangannya, tentu perkembangannya jadi tak bisa dilanjutkan. Jangan salah kaprah, memang bukan hanya lapangan saja yang dibutuhkan untuk membesarkan ekosistem olahraga namun lapangan ini menjadi landasan dasar kebutuhan pertama yang harus dipenuhi sebelum beranjak ke yang lainnya.

Di esports, infrastruktur dasar utama yang dibutuhkan adalah jaringan internet (selain game dan publisher-nya tadi). Faktanya, tanpa koneksi internet, esports tak bisa berjalan. Tanpa koneksi internet yang mumpuni, esports juga tidak akan berkembang pesat — setidaknya tidak akan pernah menyamai capaian yang ada di negara-negara kiblat esports seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, Tiongkok, ataupun beberapa negara Eropa.

Sayangnya, melihat fokusnya yang lebih seputar moralitas dan agama, membiarkan monopoli, dan mengacuhkan pemerataan, mungkin perkembangan esports Indonesia tak akan cukup jauh selama hal-hal tersebut belum dibenahi.

Penutup

Akhirnya, saya harap 5 perbedaan antara esports dan olahraga tadi berguna untuk Anda dalam memahami lebih jauh — yang mungkin berguna juga untuk menjawab prediksi masa depan esports Indonesia, beberapa masalah, ataupun jadi mendapatkan ide apa yang bisa dilakukan.

Namun yang pasti, menyamakan esports dan olahraga adalah sebuah penyederhanaan yang keterlaluan dan bebal.

Esports Selama Pandemi: Tanpa Keramaian dan Penuh Tantangan

Belakangan, ekosistem esports sedang menunjukkan perkembangan yang begitu pesat. Menurut proyeksi Newzoo, esports sebenarnya bisa berkembang menjadi bisnis senilai US$1,1 miliar (sekitar Rp16 triliun) pada tahun 2020 ini. Proyeksi tersebut merupakan pertumbuhan 15,7% dari tahun 2019 yang diperkirakan memiliki nilai sebesar US$950,6 juta (sekitar Rp14 triliun).

Tetapi apa mau dikata, pandemi COVID-19 yang bibitnya sudah dimulai sejak 31 Desember 2019 kini melanda dunia. Dampak pandemi ini pada akhirnya menjadi semakin parah saat memasuki pertengahan tahun 2020. Untuk menekan laju persebaran virus, pemerintah di berbagai negara menerapkan pembatasan perjalanan luar negeri serta pembatasan fisik yang ketat.

Hal tersebut secara langsung berdampak kepada ekonomi dan juga ekosistem banyak industri. Selain industri olahraga, esports yang juga kerap mengumpulkan massa dalam jumlah besar di satu tempat juga jadi terpaksa menghentikan banyak aktivitasnya. Awal WHO menetapkan COVID-19 sebagai pandemi, banyak turnamen internasional yang seharusnya diselenggarakan tatap muka jadi dibatalkan.

Namun esports masih punya nyawa, pertandingan esports masih bisa dilakukan secara online, yang membuat industri ini masih tetap berdenyut walau pandemi membuat ekonomi melambat. Namun ini membuat esports selama pandemi tetap harus berjalan dengan berbagai tantangannya.

Membahas ini, saya berbincang dengan beberapa elemen ekosistem lokal. Ada Moonton yang diwakili Reza Ramadhan selaku Head of Broadcast and Content sebagai wakil dari elemen penyelenggara turnamen esports, Andrian Pauline CEO RRQ dari elemen organisasi esports, dan Palson Yi selaku Marketing Director Realme Indonesia dari elemen sponsor ekosistem esports.

Mari simak perbincangan saya dengan beberapa elemen tersebut membahas bagaimana industri esports berjuang selama pandemi terjadi.

Ketika Format Pertandingan Berubah Menjadi Online

Bisa berjalan secara online tidak serta-merta membuat esports tetap perkasa selama pandemi. Berhubung pertandingan dilakukan secara online di gaming house masing-masing peserta, ada hal-hal yang tak bisa dikendalikan oleh penyelenggara. Tak heran jika penyelenggaraan kompetisi online sarat tantangan, baik dari segi teknis atau dari segi sportivitas turnamen.

Mobile Legends Professional League Season 5 adalah salah satu turnamen esports yang terdampak akan hal ini. Setelah kurang lebih 4 pekan pertandingan berjalan secara offline, MPL ID Season 5 secara bertahap membatasi interaksi sosial sejak dari bulan Maret.

Mulai pekan 5, MPL ID Season 5 berjalan dengan tanpa penonton. Seiringan dengan penerapan protokol Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), MPL ID akhirnya diselenggarakan secara fullonline, menyisakan tim broadcast dan para shoutcaster saja di studio MPL Indonesia pada pekan ke-7.

Reza menjelaskan, alasan utama MPL ID diselenggarakan sepenuhnya secara online adalah karena mengikuti anjuran pemerintah. “Sehingga pada waktu itu kami memutuskan untuk menjalankan MPL ID Season 5 sepenuhnya online. Jadi hanya menyisakan crew broadcast dan shoutcaster saja di studio MPL, itupun jumlahnya sangat kami batasi.”

Karena perubahan format yang dilakukan MPL ID Season 5, tentu saja tim peserta juga jadi kena akibatnya. Rex Regum Qeon (RRQ) salah satu tim peserta MPL ID Season 5 menjadi salah satu yang terdampak.

Andrian Pauline Husen (AP), CEO RRQ menceritakan walau perubahan ini membatasi dan memaksa banyak pihak harus melakukan adaptasi hidup namun AP dan manajemen RRQ mengaku masih mensyukuri keadaan.

“Sebetulnya lumayan bersyukur karena pertandingan esports masih bisa dilakukan secara online. Walau tidak bisa menikmati riuh-rendah dukungan penggemar RRQ secara langsung, namun berhubung pertandingan masih bisa dilakukan secara online, jadi kami masih bisa memberi sajian permainan kami kepada pecinta esports tanah air.” Cerita sosok yang kerap disapa pak AP.

Sumber: Andrian Pauline via Instagram
Andrian Pauline, CEO dari tim RRQ. Sumber: Andrian Pauline via Instagram

Lebih lanjut, AP menjelaskan bahwa perubahan ini tidak terlalu banyak berdampak kepada cara kerja manajemen dalam mengasuh pemain-pemain RRQ yang harus bertanding.

“Dari RRQ dampaknya tidak terlalu signifikan secara alur kerja. Paling, apa yang dilakukan manajemen adalah menerapkan peraturan pembatasan mobilitas pemain. Jadi mereka tidak boleh keluar gaming house seenaknya, hanya jika ada urusan yang penting dan mendesak saja.” Tambah AP.

Namun AP menceritakan, bahwa keadaan ini sedikit banyak juga tetap berdampak kepada para pemain. “Keadaan ini memang lumayan membuat stress banyak pihak, termasuk pemain-pemain RRQ. Tapi untungnya masih bisa disiasati dengan melakukan aktivitas hiburan contohnya dengan membuat konten. Kalau bicara motivasi pemain bisa dibilang tidak terlalu banyak berpengaruh, karena kami tetap fokus latihan seperti biasa.”

Menyajikan Esports Secara Online Dengan Segala Keterbatasannya

Manajemen dan cara kerja, mungkin bisa dibilang jadi satu perubahan yang masih bisa dikendalikan oleh pihak terkait. Dengan adaptasi yang tepat, walau keadaan memaksa pertandingan esports jadi diselenggarakan online, semuanya bisa kembali berjalan normal dengan beberapa perubahan.

Namun perubahan ini memberikan tantangan baru bagi esports. Dalam pertandingan online, internet sebagai elemen krusial, menjadi tantangan paling berat bagi semua pihak. Jika bermain game online secara casual, sedikit lag atau disconnect mungkin tidak jadi masalah. Tetapi jadi beda cerita jika kita bicara bermain game dalam pertandingan esports, lag walau sedikit sekalipun tidak bisa ditolerir, apalagi disconnect.

Masalah ini pun seperti buah simalakama bagi para penyelenggara turnamen esports, karena mereka tidak terlalu banyak bisa mengendalikan hal ini. Dalam pertandingan tatap muka, semua pemain menggunakan satu internet yang sama yang disediakan oleh penyelenggara.

Tetapi dalam pertandingan online yang dilakukan tim peserta di gaming house masing-masing, kemampuan koneksi internet jadi sangat bervariasi, tergantung lokasi gaming house masing-masing peserta. Ini tentu menjadi masalah besar yang sulit untuk diatasi oleh penyelenggara.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Ajie Zata
Reza Ramadhan, Head of Broadcast and Content of Moonton. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Ajie Zata

“Gue setuju banget bahwa masalah internet ini adalah yang paling sulit untuk diatasi.” Reza membuka pembahasan. “Karena ada banyak pihak yang terdampak ketika pertandingan dilakukan dari gaming house masing-masing, dan salah satu internet pemain bermasalah. Jadi kami selaku penyelenggara harus memutar otak untuk menjaga kenyamanan, serta mencari jalan tengah terbaik agar para tim dan juga para penonton bisa tetap nyaman.”

Maka dari itu, butuh tindakan mitigasi jika ada masalah terjadi baik itu internet atau masalah lain. Reza lalu menceritakan beberapa bentuk tindakan penanggulangan yang dilakukan oleh MPL ID Season 5, jika ada masalah koneksi terjadi saat pertandingan sedang berlangsung.

Salah satu caranya adalah dengan mewajibkan manajer tim bersiap siaga di dalam voice channel Discord. Lalu alur komunikasi juga dibuat menjadi satu pintu melalui sang manajer.

“Jadi manajer tim harus standby dengan salah satu perwakilan dari tim broadcast. Kalau ada salah satu anggota tim mengalami kesulitan koneksi, perwakilan broadcast akan segera memanggil manajer, lalu melakukan tindakan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, pause permainan contohnya.” Reza menceritakan.

Sumber: Youtube Mobile Legends Bang-Bang
Tampilan pause game sudah menjadi pemandangan yang umum selama MPL ID Season 5 diselenggarakan secara online mulai pekan 7 hingga babak Grand Final. Sumber: Youtube Mobile Legends Bang-Bang

Lebih lanjut Reza juga menjelaskan sedikit soal peraturan pause di MPL ID Season 5 selama pertandingan dilakukan secara online. “Ketika ada satu masalah, setiap tim diperkenankan untuk melakukan pause, dengan total durasi pause maksimal 5 menit dalam satu kali pertandingan. Selain itu, hanya manajer yang boleh bicara selama pause berlangsung. Sesama pemain tidak diperkenankan berdiskusi selama pause, dan mereka diawasi percakapannya, demi mempertahankan pertandingan yang adil dan sportif.”

Jika pihak penyelenggara sudah berusaha habis-habisan untuk menanggapi masalah internet yang terjadi, lalu bagaimana dari pihak tim peserta? AP lalu menceritakan bahwa pihak manajemen RRQ juga melakukan tindakan pencegahan selama pertandingan berjalan, terutama dari sisi teknis internet.

“Saat babak Playoff kami melakukan tindakan tambahan untuk mencegah terhentinya pertandingan karena internet. Untuk itu kami melakukan dua hal, yaitu mempersiapkan internet cadangan dan juga meminta satu orang teknisi dari provider internet yang kami gunakan untuk siap siaga di gaming house divisi Mobile Legends kami.” AP menjelaskan. “Tapi sejauh ini internet tidak terlalu jadi masalah dalam pertandingan online yang kami lakukan, soalnya internet milik Biznet (sponsor tim RRQ) sudah mumpuni… Haha.” Ucap AP seraya bercanda.

Selain internet, masalah kedua yang menghadang turnamen esports saat diselenggarakan secara online adalah soal sportivitas. Ketika turnamen diselenggarakan secara remote, dan pemain bermain dari gaming house masing-masing, kecurangan tentu jadi rentan terjadi karena para pemain bisa lebih leluasa melakukan berbagai macam hal.

Moonton selaku penyelenggara turnamen sudah mempersiapkan semua rencana dari A sampai Z, untuk mencegah berbagai hal yang terjadi. Bahkan salah satunya Moonton juga menyiapkan CCTV yang merekam ruangan tempat pemain bertanding, untuk mengawasi perbincangan, serta gerak gerik pemain. Lalu bagaimana dari sisi manajemen tim peserta?

Sumber: Youtube Mobile Legends Bang-Bang
Menunjukkan layar HP ke CCTV merupakan salah satu peraturan yang diterapkan Moonton untuk menjaga sportivitas selama MPL ID Season 5 diselenggarakan secara online. Sumber: Youtube Mobile Legends Bang-Bang

“Kami selalu berusaha untuk selalu patuhi peraturan, dan para pemain juga memang ingin menunjukan yang terbaik dengan cara-cara yang sportif dan jujur.” Cerita AP soal bagaimana nilai sportivitas menjadi yang utama di dalam tim RRQ.

Tapi walau pihak Moonton dan tim peserta sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga integritas kompetisi, kontroversi turnamen online tetap sulit dihindari. Terkadang penonton punya kecurigaaan berlebihan, karena turnamen online dianggap lebih rentan menciptakan kecurangan. Terlebih jika terjadi satu kejadian yang dianggap tidak biasa.

Satu yang kejadian yang sempat ramai diperbincangkan adalah pertandingan antara Bigetron Alpha vs AURA Esports di pekan 8 MPL ID Season 5. Kisruh ini terjadi karena Bigetron Alpha mengalami masalah teknis berupa bug. Awalnya Bigetron Alpha hanya melakukan pause, tapi akhirnya rematch terpaksa dilakukan, namun dengan hero berbeda. Keadaan ini dianggap janggal oleh penonton, karena pertandingan sudah berjalan selama 8 menit 28 detik.

Reza menjelaskan bahwa sebelum pertandingan, Moonton sudah melakukan meeting dengan para manajer untuk mendiskusikan berbagai aturan. Peraturan itu juga sudah disetujui oleh banyak pihak. Kontroversi Bigetron Alpha vs AURA Esports sendiri sebenarnya sudah ditanggapi dengan benar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Namun seperti apa yang saya sebut di atas, pertandingan online secara tidak langsung mengundang ketidakpercayaan penonton, dan itu menjadi salah satu tantangan dari format kompetisi seperti ini.

Patrick Christian selaku manajer tim Bigetron Alpha sempat menjelaskan kronologi kejadian ini kepada saya dalam sesi bincang-bincang Hybrid Talk. Jika Anda penasaran, saya sematkan percakapan saya dengan Patrick, yang bisa Anda saksikan pada video di bawah ini.

Dengan segala keterbatasan, sajian pertandingan online MPL ID Season 5 akhirnya berjalan lancar. Selama pertandingan, penonton mungkin sedikit jemu karena banyak kejadian pause yang tak terhindarkan. Namun animo penonton terhadap MPL ID Season 5 tetap tinggi. Mengutip Esports Charts, jumlah penonton terbanyak selama MPL ID Season 5 adalah sebanyak 1.163.007, dengan total 26.809.501 juta jam konsumsi konten.

Lalu, bagaimana cara para penyelenggara turnamen bisa menyajikan sajian esports yang menarik, walau format pertandingan online hadir dengan segala keterbatasannya?

Tantangan Konten, dan Relasi Sponsor Dengan Esports Selama Pandemi

Selain tantangan dari segi teknis, tantangan lain yang dihadapi oleh esports semasa pandemi adalah dari segi konten dan sponsor. Dengan semua dilakukan secara remote, penyelenggara harus putar otak mencari cara agar sajian konten bisa tetap menarik walau cara menyajikannya terbatas selama masa pandemi ini.

Reza sebagai Head of Broadcast and Content di Moonton mengakui, bahwa menyajikan tayangan esports yang menarik menjadi lebih menantang semasa pandemi ini. “Untungnya kami sudah memiliki video dan footage yang diambil saat pertandingan offline Regular Season MPL ID Season 5 berjalan. Jadi konten tersebut masih bisa kami gunakan, contohnya sebagai pengganti entrance pemain sebelum mulai pertandingan.” ucap Reza.

“Selain dari itu, supaya tayangan esports tetap menarik saya juga bereksperimen membuat konten support message. Kami mencoba menghubungi orang terdekat dari para pemain, meminta mereka merekam pesan untuk para pemain. Saya merasa bersyukur, ide tersebut ternyata disambut dengan baik, sehingga para orang tua ataupun orang terdekat mau meluangkan waktu untuk memberikan pesan.” Tambah Reza.

Tantangan lain yang juga dihadapi bisnis esports selama pandemi adalah soal sponsor. Hal ini sebenarnya menarik, karena pada satu sisi masyarakat getol mengkonsumsi tayangan esports sebagai sarana hiburan selama isolasi diri. Namun di sisi lain sponsor dan brand cenderung mengurangi budget marketing mereka, agar bisa tetap bertahan menghadapi keadaan serba tidak pasti ini.

Sebelumnya, saya sempat membincangkan ini bersama dengan Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer RevivalTV dan Tommy Bambang, Chief Communication Officer INDOESPORTS. Pada awal perbincangan, mereka berdua bercerita bagaimana pandemi sedikit banyak berdampak kepada RevivalTV dan INDOESPORTS.

“Selama masa pandemi ini keadaan memang lebih berat, karena dampaknya dirasakan oleh jajaran tim mulai dari atas sampai bawah. Terlebih, keadaan ini tidak hanya berdampak kepada esports, tapi juga rekan-rekan dari esports company seperti INDOESPORTS. Jadi kita harus lebih putar otak untuk cari celah agar bisnis tetap lancar.” Tommy Bambang menjelaskan.

“RevivalTV juga cukup goyah menghadapi keadaan ini, melakukan adaptasi di sana dan sini, mencari produk yang bisa dijual kepada para brand. Tapi memang walau esports bisa tetap berjalan secara online, kenyataannya para brand juga sedang saving money. Jadi kita harus pintar mencari celah bisnisnya.” Tambah Irli.

Membahas soal ini saya juga bicara dengan Palson Yi, Marketing Director Realme Indonesia. Realme beberapa waktu lalu menjadi sponsor untuk gelaran esports, terutama Mobile Legends. Tahun lalu mereka mensponsori MSC 2019 di Filipina. Tak hanya itu, mereka juga menjadi sponsor utama dari gelaran MPL ID Season 5 2020 .

Senada dengan apa yang dikatakan Irli, Palson Yi menjelaskan strategi Realme dalam mensponsori memang acara esports. “Tentunya kami akan lebih strategis dalam memilih acara esports yang tepat. Maka dari itu kami hanya memilih acara esports yang memanjakan komunitas game anak muda, serta penggemar esports di Indonesia untuk menikmati kompetisi yang seru, adil, serta acara esports yang memilki pengalaman yang sejalan dengan slogan kami yaitu semangat Dare-to-Leap.”

Ini menjadi pilihan yang wajar bagi Realme sebagai sponsor, apalagi perubahan pertandingan esports dari offline ke online, sedikit banyak mengorbankan beberapa hal. “Karena pertandingan berubah dari offline menjadi online, kami jadi mengorbankan beberapa hal ketika menjadi sponsor acara esports, salah satunya adalah kesempatan memberikan experience langsung kepada penggemar untuk bermain game menggunakan seri smartphone terbaru dari kami.” Ucap Palson Yi.

Sumber: Twitter Realme Indonesia
Palson Yi, Marketing Director Realme Indonesia. Sumber: Twitter @realmeindonesia

“Namun perubahan ini mendorong kami untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk tetap menyampaikan pesan kepada potential customer melalui aktivitas online yang sudah didiskusikan.” Palson Yi menjelaskan lebih lanjut.

Reza lalu menambahkan, bahwa MPL juga jadi menambahkan beberapa segmen khusus untuk sponsor agar exposure para sponsor tetap terjaga. Video advertising mungkin sudah jadi hal yang biasa dilakukan dalam kerja sama sponsorship. Namun selain itu Reza bercerita bahwa mereka juga melakukan konten interaktif dengan para fans yang melibatkan sponsor, sebagai cara agar sponsor tetap mendapat porsinya tersendiri di dalam gelaran MPL.

Masih soal sponsor, Andrian Pauline juga turut menjelaskan kasus relasi sponsor dengan ekosistem esports dari perspektif RRQ sebagai organisasi esports. AP menceritakan, bahwa RRQ juga turut menerima dampak peningkatan konsumsi masyarakat terhadap konten esports.

“RRQ mungkin sedikit diuntungkan karena kemarin juara MPL ID Season 5, jadi lumayan bagus peningkatan engagement media sosial kami… Haha.” Ucapnya kembali sembari bercanda. “Tapi kenaikan engagement bukan berarti secara langsung memudahkan kita mendapat sponsor. Pada masa pandemik ini, sponsor jadi berpikir 3 kali sebelum masuk ke esports, karena mereka harus menata ulang semua rencana mereka dari awal.”

Lalu apakah RRQ kena dampak akan hal tersebut? AP menjelaskan bahwa hingga saat ini tidak ada satupun sponsor dari tim RRQ yang undur diri ataupun mengubah kesepakatan. “Jadi belum bisa dibilang bahwa RRQ mengalami kerugian secara bisnis gara-gara pandemi. Sejauh ini yang terjadi hanya diskusi ulang saja dengan sponsor. Karena keadaan seperti ini, beberapa kegiatan yang sudah kita rencanakan dari awal tahun jadi harus diubah untuk menyesuaikan dengan keadaan, dan agar tetap engaging bagi sponsor.” Tutup AP.

Tak bisa dipungkiri bahwa pandemi ini memberi dampak yang lebih besar dari apa yang kita bayangkan. Anda para penggemar saat ini mungkin bisa dengan santai menonton tayangan pertandingan esports dari rumah. Tapi nyatanya tayangan yang Anda tonton tersebut datang dari perjuangan para pelaku bisnis esports yang menghadapi banyak sekali tantangan selama masa pandemi ini.

Namun demikian, baik Anda para pembaca, saya, para pelaku bisnis esports, dan juga rekan-rekan sponsor yang terlibat mungkin setuju akan satu hal di dalam pembahasan ini. Bahwa kita semua rindu akan gemuruh para penonton, rindu berteriak mendukung tim atau pemain kesayangan, dan rindu bertemu kawan-kawan komunitas saat mendatangi laga esports offline.

Mari kiat berdoa agar pandemi segera mereda, keadaan bisa berangsur membaik, agar kita semua bisa kembali beraktivitas dengan normal, dan bisa kembali menikmati esports seperti bagaimana mestinya.

Antara TikTok dan Esports: Bagaimana Keduanya Berpeluk Mesra Merenda Tawa

Tim olahraga tradisional, seperti kesebelasan sepak bola, biasanya punya kota yang mereka sebut sebagai rumah. Misalnya, Jakarta adalah markas Persija sementara Persib di Bandung. Ini memudahkan tim-tim tersebut untuk mendapatkan penggemar di kota asalnya, seperti Persija dengan The Jakmania. Namun, tidak begitu dengan organisasi esports. Fans tim atau organisasi esports bisa datang dari mana saja, terlepas dari kota atau negara asal tim atau organisasi tersebut. Tentu saja, lain ceritanya ketika tim esports membawa nama negara, seperti dalam Asian Games atau SEA Games.

Hal lain yang membedakan esports dengan olahraga tradisional adalah pertandingan esports diadakan secara digital dan biasanya disiarkan di platform streaming seperti YouTube, Facebook, atau Twitch. Karena itu, bagi organisasi esports, media sosial adalah cara paling sesuai untuk mengumpulkan dan berinteraksi dengan fans. Pertanyaannya, media sosial yang mana? Kini, ada beberapa media sosial populer, seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan  TikTok. Masing-masing platform memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Dari semua media sosial itu, TikTok adalah yang paling baru. Lalu, bagaimana peran TikTok dalam industri gaming dan esports saat ini?

Apa Uniknya TikTok?

TikTok adalah platform media sosial buatan ByteDance, perusahaan asal Beijing, Tiongkok. TikTok mengkhususkan diri untuk menyajikan konten berupa video pendek dengan durasi 3 sampai 60 detik. Satu hal yang membedakan TikTok dari media sosial lainnya adalah cara mereka menggunakan artificial intelligence. Kebanyakan media sosial, seperti Facebook dan Instagram, menggunakan algoritma untuk menentukan konten yang tampil di lini masa pengguna.

TikTok kini menjadi semakin populer. | Sumber: 9to5mac
Cara TikTok menggunakan AI menjadi salah satu keunikannya. | Sumber: 9to5mac

Sementara itu, TikTok akan menganalisa ketertarikan dan preferensi pengguna berdasarkan interaksi mereka dengan konten. Jadi, video yang muncul di lini masa TikTok Anda ditentukan berdasarkan pada berapa lama Anda menonton sebuah video. Semakin lama Anda menonton, itu berarti ketertarikan Anda semakin tinggi. Ini bukan berarti TikTok adalah satu-satunya platform yang menggunakan AI. Jangan salah, media sosial atau platform streaming seperti YouTube dan Spotify juga tetap menggunakan AI. Hanya saja, biasanya pengguna tetap diminta untuk memilih genre atau tipe konten yang mereka sukai.

Oke, reputasi TikTokmemang tidak sepenuhnya cemerlang. Maaf saja, saya sendiri masih sering mengidentikkan TikTok dengan konten alay. Saya yakin saya bukan satu-satunya yang berpikir begitu. Namun, tak bisa dipungkiri TikTok digemari begitu banyak orang. Menurut data dari Sensor Tower per April 2020, TikTok telah diunduh sebanyak 2 miliar kali di Apple App Store dan Google Play Store. Pandemi virus corona menjadi salah satu pendorong pertumbuhan jumlah install TiKTok. Sepanjang Q1 2020, TikTok telah diunduh sebanyak 315 juta kali di App Store dan Google Play. Sementara menurut Datareportal, jumlah pengguna aktif bulanan TikTok mencapai 800 juta orang.

Jumlah pertumbuhan donwload TikTok. | Sumber: Sensor Tower
Jumlah pertumbuhan donwload TikTok. | Sumber: Sensor Tower

India menjadi negara dengan total install TikTok terbesar, mencapai 611 juta download atau sekitar 30,3 persen dari total unduhan. Sementara Tiongkok duduk di posisi nomor 2 dengan total install mencapai 196,6 juta (9,7 persen). Amerika Serikat ada di posisi ketiga dengan total unduhan 165 juta (8,2 persen). Sementara itu, untuk kawasan Asia Tenggara, Sensor Tower memperkirakan bahwa total install aplikasi TikTok mencapai 190 juta pada Mei 2019, menurut laporan Strait Times. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan jumlah install TikTok terbanyak. Mengingat Indonesia adalah negara dengan populasi terbanyak ke-4 di dunia, hasil itu tidak aneh.

TikTok di Dunia Gaming dan Esports

Setelah sukses mendapatkan audiens dengan TikTok, ByteDance — perusahaan induk TikTok — mulai tertarik untuk masuk ke industri game. Beberapa tahun belakangan, ByteDance telah merilis game-game kasual yang menggunakan iklan sebagai sumber pemasukan. Biasanya, game-game tersebut dipopulerkan melalui TikTok. Namun, pada Januari 2020, ByteDance dikabarkan akan membuat divisi game. Pasalnya, mereka ingin menggarap game yang lebih serius. Lewat game ini, ByteDance hendak menyasar kalangan gamer hardcore yang rela mengeluarkan uang untuk membeli item dalam game.

Masih pada Januari 2020, TikTok juga bekerja sama dengan Fortnite untuk menyelenggarakan acara #EmoteRoyaleContest. Sementara pada April 2020, TikTok menggandeng Collegiate StarLeague (CSL) untuk mengadakan turnamen esports bertajuk TikTok Cup. Dalam turnamen tingkat universitas ini, ada 4 game yang dipertandingkan, yaitu Fortnite, League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive, dan Rocket League.

Sementara itu, di Indonesia, TikTok menggandeng WHIM Indonesia, perusahaan manajemen yang mengelola organisasi esports EVOS Esports dan influencer mereka. Hartman Harris, Chief of Business Operation EVOS Esports mengatakan bahwa melalui kerja sama ini, EVOS ingin mengembangkan bisnis influencer mereka. “Kita yakin bahwa TikTok akan lebih menarik untuk fans kami, termasuk EVOS Esports, terutama mereka yang berasal dari Gen Z yang suka dengan lagu hits tapi dengan penyajian format konten yang berbeda,” kata Hartman.

Hartman menjelaskan, masing-masing platform media sosial memiliki market dan fungsi yang berbeda-beda. Meskipun begitu, dia mengaku pasti ada audiens yang overlap antara satu media sosial dengan yang lain. “Karena itu, kita harus bikin setiap konten menarik dan bikin penasaran,” ujarnya. “Fungsi setiap platform berbeda-beda, sehingga mood orang juga berbeda-beda saat pakai platform yang berbeda. Instagram kebanyakan untuk image, YouTube untuk video panjang, TikTok untuk video pendek dengan lagu yang hits dan lucu.”

Mengingat setiap platform media sosial memiliki fungsi yang berbeda, para kreator konten, termasuk influencer di WHIM, tidak bisa serta-merta membuat satu konten yang dibagikan ke seluruh media sosial. “Karena setiap platform itu berbeda-beda, kita harus customize setiap konten juga, untuk dicocokkan dengan audiensnya, tapi semua ada benang merahnya,” jelas Hartman.

Emperor jadi salah satu influencer di bawah EVOS. | Sumber: Esports.id
Emperor jadi salah satu influencer di bawah EVOS. | Sumber: Esports.id

WHIM Indonesia membawahi sejumlah influencer ternama di dunia gaming, seperti Jonathan “Emperor” Liandi, Dyland Maximus Zidane alias Dyland PROS, Anastasia “Angel” Angelica, dan Jeanice Ang aka Jeanice. Masing-masing influencer tentu memiliki daya tarik yang berbeda-beda. Hartman mengungkap, ciri khas masing-masing influencer di WHIM biasanya memang sesuai karakter mereka sendiri. “Setiap orang punya khas sendiri, kita hanya bantu memoles,” ungkapnya. Sementara soal pembuatan konten, semua melalui tim kreatif WHIM. “Diawalin dengan process planning, lalu production, lalu edit.”

Ketika ditanya soal tujuan kerja sama antara WHIM Indonesia dan TikTok, melalui pesan singkat, Hartman menjawab, “Untuk bisa menjalin hubungan yang lebih erat dan membangun industri kreator konten di Indonesia melalui TikTok, platform yang sangat besar.” Lebih lanjut dia berkata, “Kami ingin bisa menghubungkan lebih banyak konten kreator dengan para brand. Agar konten kreator mudah mendapat brand, dan para brand bisa mendapat kreator yang tepat.” Selain itu, melalui kerja sama ini, WHIM Indonesia juga akan mendapatkan berbagai insight dari TikTok, mulai dari cara membuat video yang lebih engaging sampai tren konten TikTok di luar negeri yang bisa diterapkan di pasar lokal.

Seperti Apa Konten di TikTok?

EVOS Esports memiliki akun resmi di TikTok, lengkap dengan centang biru. Mereka sudah mengunggah 141 video dan mengumpulkan 249,9 ribu pengikut. EVOS bukanlah satu-satunya tim esports Indonesia yang punya akun TikTok. Dua tim seports lain yang juga memiliki akun di TikTok adalah Bigetron Esports yang telah mengunggah 41 video dan mendapatkan 49,9 ribu pengikut, serta Onic Esports dengan 21 video dan 8 ribu pengikut.

EVOS, Bigetron, dan Onic juga memiliki akun Instagram, yang fokus pada gambar dan video. Lalu, konten seperti apa yang disajikan di TikTok? Hartman menyebutkan bahwa EVOS membedakan konten yang mereka unggah di akun media sosial yang berbeda-beda. Untuk memastikan kebenaran pernyataan itu, saya lalu mencari tahu tentang konten buatan EVOS di TikTok dan membandingkannya dengan konten di Instagram. Di akun Instagram resmi EVOS, Anda akan menemukan konten seperti ucapan selamat ulang tahun untuk anggota tim, video kilas balik pada momen-momen menarik, give away, atau pengumuman pengunduran diri pemain. Namun, di TikTok, konten buatan EVOS jauh lebih… nyeleneh santai.

Salah satu video dengan view terbanyak di akun TikTok EVOS adalah video dari Dyland PROS saat dia melakukan Lalala Challenge. Video pendek tersebut berhasil mendapatkan 159,5 ribu view dan lebih dari 4,5 ribu komentar. Bagi Anda yang tidak tahu (seperti saya sebelum menulis artikel ini), Lalala Challenge menantang Anda untuk membuat gerakan tangan sesuai dengan serangkaian emoji. Tentu saja, gerakan yang Anda buat harus sesuai dengan ritme lagu.

Contoh orang-orang yang melakukan Lalala Challenge. | Sumber: YouTube
Contoh orang-orang yang melakukan Lalala Challenge. | Sumber: YouTube

Contoh konten lainnya di akun TikTok resmi EVOS adalah Pass the Brush Challenge. Di sini, para ML Ladies menunjukkan tampilan mereka sebelum dan sesudah menggunakan makeup sebelum mereka “menyerahkan” kuas makeup ke rekan mereka. Jika Anda berpikir konten-konten tersebut nirfaedah, saya tidak akan menyalahkan Anda. Tapi, tak bisa dipungkiri itu menghibur banyak orang. Di tengah pandemi seperti sekarang, kita tahu betapa pentingnya hiburan.

Dan jangan salah, organisasi-organisasi esports yang membuat akun TikTok tak terbatas pada organisasi esports lokal. Organisasi esports global sekalipun juga punya akun di TikTok. Ini beberapa daftar organisasi esports global yang memiliki jumlah pengikut hingga puluhan atau bahkan ratusan ribu di TikTok.

  • Team SoloMid – 544,9 ribu pengikut
  • 100 Thieves – 286,5 ribu pengikut
  • G2 Esports – 286,1 ribu pengikut
  • Spacestation Gaming – 100,1 ribu pengikut
  • Cloud9 – 42,6 ribu pengikut
  • FaZe Clan 30,5 ribu pengikut
  • Fnatic R6 – 10 ribu pengikut

Tak hanya organisasi esports, beberapa streamer ternama juga memiliki akun TikTok, seperti Tyler “Ninja” Blevins yang memiliki 2,5 juta pengikut atau Imane “Pokimane” Anys dengan 2 juta pengikut. Para penyelenggara turnamen juga bekerja sama dengan TikTok untuk mempopulerkan turnamen mereka. Misalnya, dalam League of Legends World Championship 2019, Riot Games bekerja sama dengan TikTok untuk merilis lagu original berjudul “GIANTS”. Lagu tersebut bisa digunakan oleh pengguna TikTok sebagai latar belakang musik dari konten yang mereka buat.

“Sebagai tambahan, para influencer di TikTok juga menghadiri turnamen secara langsung, mendorong terciptanya konten yang otentik, sehingga jumlah view naik dengan cepat dan kini telah menembus 1 miliar view,” kata Alay Joglekar, Social Media Lead, Riot Games pada The Esports Observer. Dia merasa, Riot mendapatkan pelajaran berhraga dari kerja sama tersebut. “Setelah kerja sama pertama, kami berencana untuk menjalin kerja sama yang lebih erat lagi dengan TikTok agar kami bisa memberikan pengalaman yang lebih menarik bagi fans lama dan baru kami.”

Pada April 2020, ESL juga bekerja sama dengan TikTok. Perusahaan penyelenggara turnamen itu membuat dua channel. Satu channel untuk menunjukkan highlight dari pertandingan Counter-Strike: Global Offensive dan satu channel lain untuk konten esports umum. Selain itu, ESL dan TikTok juga membuat dua tagar khusus: #progamer dan #mygaminglife. ESL mengatakan, dua channel mereka mendapatkan total view 2,3 juta hanya dalam waktu 4 hari. Sementara dalam waktu 10 hari, mereka berhasil mendapatkan 2,5 miliar view. ESL mengaku, melalui kerja sama ini, mereka memang menargetkan generasi Z, yang terlahir pada sekitar pertengahan 1990-an sampai awal 2010-an.

Kesimpulan

Pada awalnya, TikTok mungkin memiliki reputasi sebagai media sosial untuk anak-anak alay. Sampai sekarang, reputasi itu mungkin belum sepenuhnya menghilang. Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa TikTok kini menjadi media sosial yang sangat populer, khususnya di kalangan gen Z. Dan coba tebak industri apa yang penontonnya juga datang dari generasi milenial dan gen Z? Esports. Jadi, jangan heran jika para pelaku esports bekerja sama dengan TikTok, mengingat audiens keduanya memiliki kemiripan.

Besides, if you can’t beat them, join them!

Sumber header: CNET/Angela Lang

Berapakah Gaji Minimal buat Para Pemain MPL Indonesia?

Industri olahraga elektronik atau yang lebih dikenal dengan esports merupakan industri yang sedang berkembang pesat di Indonesia. Pebasket legendaris seperti Shaquille O’Neal pun memiliki timnya sendiri (NRG Esports) di Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri juga mulai banyak selebritas yang membangun tim esports-nya mereka sendiri. Selebritas seperti Ariel Noah dan Edho Zell pun sudah meresmikan timnya masing-masing dan bertanding di liga-liga esports terbesar yang dijalankan di Indonesia.

Tetapi, jika Anda penggemar esports, tentu Anda tahu bahwa salah satu liga paling populer di Indonesia adalah Mobile Legends Professional League (MPL). Liga ini sempat membuat gempar industri esports ketika masuk ke musim ke-4. Pasalnya, liga ini menerapkan sistem franchising dengan nilai investasi termahal yang pernah ada di sejarah industri esports Indonesia. Kerap banyak yang bertanya, bagaimanakah tim-tim ini akan balik modal setelah membayar US$1 juta (ekuivalen dengan 15 Milyar Rupiah pada saat itu) untuk memiliki slot di Liga MPL ini, mengingat jumlahnya yang setara dengan 5 buah rumah di kawasan Tomang.

Eits, tunggu sebentar. Apakah benar hanya US$1 juta yang harus dikeluarkan dari kocek para pemilik tim peserta MPL? Ternyata dalam peraturan yang muncul untuk berpartisipasi dalam liga ini, Moonton juga menetapkan gaji minimum untuk para pemain dari setiap tim. Gaji minimum ini juga berlaku kepada para pemain cadangan yang bahkan hanya bermain sekali atau dua kali dalam satu musim.

Mari kita berhitung sedikit tentang berapa banyak yang harus dikeluarkan satu tim untuk mengikuti MPL. Berdasarkan peraturan partisipasi MPL pada musim ke-4, gaji minimum seorang pemain adalah Rp7,5 juta setiap bulan. Liga MPL berjalan selama 8 minggu + playoffs. Setiap tim juga berkewajiban untuk membayar setidaknya 3 bulan gaji seorang pemain. Dalam rulebook MPL juga ditulis bahwa satu tim harus terdiri dari 5 pemain utama dan setidak-tidaknya 1 pemain cadangan. Maka, total pemain yang harus digaji oleh suatu tim adalah paling sedikit 6 pemain.

Maka, jika ditotal semuanya, jumlah yang harus dibayarkan untuk musim pertama adalah:

A. Rp15 miliar (nominal investasi masuk ke MPL)
B. 6 Pemain x Rp7,5 juta = Rp45 juta
C. Rp45 juta x 3 bulan = Rp135 juta
Totalnya, Rp15,135 miliar.

Jadi, jika Anda ingin membentuk tim Mobile Legends Anda sendiri dan ingin bertanding di MPL, Rp15,135 miliar adalah jumlah minimum yang harus Anda keluarkan untuk musim pertama. Jumlah ini memang masih terlalu kasar penyederhanaannya karena belum menghitung gaji seorang pelatih, manager, tempat tinggal buat para pemain, dan tentunya pemain-pemain bintang yang gajinya di atas gaji minimum yang tertera di atas. Apakah Anda siap ikut MPL Indonesia?

Tulisan ini adalah tulisan dari Wibi Irbawanto dan diedit oleh Yabes Elia. Publikasi dan koreksi tulisan telah mendapatkan izin dari penulis.

Bagaimana Team Liquid Menguasai Dunia Esports, Dari MOBA, Fighting Games, Hingga FPS

Bisnis organisasi esports bisa dibilang menjadi salah satu yang menjanjikan pada ranah esports hingga saat ini. Walau sempat ada laporan yang menyatakan tim seperti Fnatic mengalami kerugian, namun demikian bisnis tim esports tetap tumbuh subur. Sebagai contoh, di tahun 2020 ini saja kita sudah melihat ada 5 tim esports baru bermunculan di Indonesia.

Namun demikian, jika kita menilik ke pasar internasional, organisasi esports yang menjadi besar hingga saat ini kerap kali memiliki sejarah panjang, dengan ciri-khas mereka masing-masing yang membuat mereka bertahan hingga kini.

FaZe Clan contohnya, yang sudah ada sejak awal tahun 2000an, tim ini memulai perjalanannya dari channel kreasi konten gameplay trickshot di YouTube. Seiring waktu, mereka terjun ke dunia esports, sembari membuat konten hiburan lewat sajian showbiz dari sosok personalita yang direkrut ke dalam organisasi.

Selain dari FaZe Clan, organisasi esports internasional lain yang juga punya perjalanan sejarah panjang adalah Team Liquid. Anda penggemar esports Dota, penikmat esports League of Legends, ataupun penonton esports CS:GO tentu kenal betul dengan nama ini.

Namun demikian, Team Liquid ternyata punya awal mula yang tak kalah menarik, bagaimana Team Liquid bisa berkembang segitu besar hingga menjadi seperti sekarang?

Dari Clan, Forum Wadah Komunitas StarCraft, Hingga Liquipedia

Cerita kesuksesan Team Liquid tidak akan terjadi jika sang founder, Victor Goosens yang dikenal sebagai Nazgul di dalam game, tidak membuat clan di StarCraft di akhir tahun 2000.

Nazgul sendiri merupakan seorang pemain StarCraft ternama di komunitas ketika itu. Ia merupakan salah satu pemain asing pertama yang bermain secara profesional di Korea Selatan, tempat yang bisa dibilang menjadi kiblat skena kompetitif StarCraft dunia.

Victor Goosens masih berusia 17 tahun ketika memulai clan tersebut. Saat itu ia mungkin tidak berpikir bahwa clan miliknya akan menjadi bisnis besar seperti sekarang. Awalnya hanya beranggota 4 orang pada tahun 2000, jumlah anggotanya berkembang jadi 8 di tahun berikutnya. Pada 1 Mei 2001, Nazgul bersama Liquid Meat akhirnya mencetuskan sebuah forum dengan domain teamliquid.cjb.net, yang sekarang berubah menjadi TL.net.

Co-CEO Team Liquid, Victor Goossens. | Sumber: CNBC
Co-CEO Team Liquid, Victor Goossens. | Sumber: CNBC

Setelah beberapa waktu, seiring Nazgul berkompetisi di kancah Starcraft, forum Team Liquid terus berkembang. Tahun demi tahun berlalu, forum ini lalu menjadi pusat informasi bagi para penggemar StarCraft dari berbagai belahan dunia untuk mencari informasi seputar perkembangan skena kompetitif StarCraft, terutama skena di Korea Selatan. Apalagi Mengingat posisi Korea Selatan yang jadi kiblat kompetitif StarCraft dan Nazgul sebagai seorang pemain profesional yang bertanding di sana, tak heran jika forum TL.net menjadi magnet bagi para penggemar StarCraft.

Orang-orang pun mencari berita, informasi seputar perkembangan skena kompetitif StarCraft, video strategi, dan replay StarCraft untuk mereka belajar di TL.net. Akhirnya selama beberapa tahun, forum TL.net seakan menjadi salah satu pusat dari perkembangan skena kompetitif StarCraft.

Setelah 7 tahun berjalan, posisi Team Liquid sebagai kiblat dari esports diperkuat ketika mereka memperkenalkan Liquipedia pada 5 Juni 2009. Anda penggemar esports, terutama Dota 2 tentu sudah sangat tidak asing dengan Liquipedia.

Seperti wikipedia, Liquipedia berperan sebagai ensiklopedia yang berisikan database bagi mayoritas pemain esports. Pada awalnya Liquipedia hanya berisikan database informasi seputar StarCraft Brood War. Beberapa tahun berlalu, kini Liquipedia.net sudah punya database informasi seputar game, pemain, dan turnamen untuk 25 cabang game esports yang ada di dunia, mulai dari StarCraft hingga Artifact.

Forum Team Liquid juga berkembang begitu pesatnya sampai-sampai mereka bisa memiliki dua orang staf yang bersifat full-time. Hal ini pertama kali diumumkan pada 24 November 2010. Dari dua orang yang dipekerjakan, salah satunya adalah Ken Chen (Hot_Bid) sosok produser konten pada salah satu penyelenggara turnamen ternama di kancah Dota 2, Beyond the Summit.

Perkembangan Team Liquid sebagai sumber informasi esports berkembang lagi pada tahun 30 Agustus 2012, ketika TL.net memperkenalkan sub-bagian Dota 2. TL sebagai forum dan pusat informasi komunitas kembali mengulang kesuksesan yang sama.

Sumber: Liquidpedia
Sumber: Liquipedia

Forum TL menjadi pusat bagi para pecinta Dota untuk mencari informasi seputar esports, entah itu rumor pergantian roster, interview pemain, ataupun strategi serta tips dan trik seputar Dota. Pada tahun yang sama Team Liquid juga memperkenalkan roster Dota 2 mereka untuk pertama kalinya.

Akhirnya hingga kini, TL.net dan Liquipedia ibarat menjadi almanak dari esports. Bagi beberapa orang, terutama esports writer seperti saya, jasa Liquipedia hampir tidak tergantikan. Hampir semua informasi seputar esports ada di sana, entah itu biografi singkat pemain serta tim, jadwal serta format turnamen, dan histori pencapaian dari pemain ataupun tim.

Liquipedia dan TL.net pada akhirnya menjadi satu elemen penting di dalam perkembangan ekosistem esports secara internasional hingga kini.

Lambang Kuda dan Asal Usul Nama Liquid

Anda para penggemar Team Liquid, mungkin cukup penasaran dengan asal usul nama Team Liquid dan lambang kuda yang digunakan oleh tim dengan jumlah penonton terbanyak di tahun 2019 ini.

Lewat sebuah blog post resmi yang diterbitkan 22 Juli 2019, Team Liquid sempat menceritakan soal asal nama Team Liquid serta logo kuda yang digunakan. Soal nama, sebetulnya ini dimulai dari kekonyolan sosok Nazgul saat muda.

Sebagai seorang gamers berusia 17 tahun, Victor Goosens sebenarnya tidak terlalu berfilosofi ketika memikirkan nama clan StarCraft yang ia buat. Apa yang ia pikirkan hanyalah ingin tampil beda dari kebanyakan nama clan yang biasanya tiga huruf singkatan dari nama panjang tim tersebut (Contohnya XCN kepanjangan dari Executioners).

Jadi apa yang muncul di kepalanya ketika itu adalah Liquid, nama yang menurutnya memiliki “suatu arti” dan “terdengar keren”. Pada blog post tersebut, Victor Goosens juga menjelaskan kenapa lebih memilih imbuhan “Team” daripada Clan. Ia merasa bahwa kata “Team” memiliki konotasi yang lebih baik daripada Clan.

Selain itu ia juga mengatakan bahwa kata Team terasa lebih berani yang mengejawantahkan konsep kerja sama. Dan… seperti sulap, terciptalah nama “Team Liquid”, nama yang kini mungkin akan membuat organisasi esports lainnya bergidik ketika menghadapinya.

Lalu bagaimana dengan kuda sebagai lambang tim asal Belanda ini? Seperti saat mencetuskan nama, lagi-lagi lambang tim juga datang dari sebuah ide konyol. Sebagai informasi, cikal bakal kuda sebagai lambang Team Liquid sebenarnya sudah muncul sejak dari tahun 2001.

Pada saat forum Team Liquid mengudara untuk pertama kalinya, gambar kuda sudah menjadi backgroud banner website Team Liquid.

Sumber: teamliquid.com
Logo banner TL.net yang ikonik hingga tahun 2010. Sumber: teamliquid.com

Menariknya, background banner ini sebenarnya adalah lukisan bernama “Avalanche”, karya seorang seniman bernama Jim Warren. Gambar banner Team Liquid dicaplok seorang pengguna forum bernama Smorrie untuk dijadikan background dari tulisan Team Liquid.

“Saya menemukan gambar kuda berlari melalui salju dan berpikir bahwa gambar ini keren sekali. Melihat gambar kuda berlari berbarengan melambangkan kata Team dan saljunya sebagai, umm… Liquid.” Smorrie menceritakan alasannya yang mungkin sedikit terdengar konyol.

Lucunya, walau banner Team Liquid di tahun 2001 terlihat norak untuk tahun 2020 ini, tetapi banner tersebut terus digunakan, setidaknya sampai tahun 2010. Bahkan, banner lukisan kuda tersebut pada akhirnya menjadi ciri khas Team Liquid, dan digunakan sebagai logo tim.

Sumber: teamliquid.com
Beberapa iterasi logo Team Liquid sebelum menjadi seperti sekarang. Sumber: teamliquid.com

Seiring Team Liquid terus berkembang, iterasi logo terus terjadi sembari mencari logo terbaik untuk menggambarkan tim yang menjadi salah satu kiblat dunia kompetitif StarCraft pada masanya.

Sampai akhirnya Agustus 2010 terciptalah logo yang mendefinisikan Team Liquid hingga kini. Kuda akhirnya menjadi ciri khas Team Liquid, menggambarkan kekuatan dari tim, serta lambang dari komunitas yang solid, dari dulu hingga sekarang.

Merintis Esports Dari StarCraft, Dota, League of Legends, FGC, hingga CS:GO

Seiring forum Team Liquid terus berevolusi hingga menjadi elemen penting di dalam perkembangan ekosistem esports internasional, Team Liquid secara esports juga terus berkembang.

Perjalanan Team Liquid secara esports juga dimulai dari komunitas. Pada awalnya, Nazgul dan kawan-kawan justru tidak langsung memulai dari mengikuti kompetisi, melainkan dengan membuat kompetisi.

Pada masa Brood War, Team Liquid membuat kompetisi bertajuk TL Attack, yang sangat populer pada awal tahun 2000an, dan membuat komunitas dan pemain jadi merasa terikat dengan Team Liquid. Ini berlanjut sampai pada tahun 2008 Team Liquid membuat gelaran Team Liquid StarLeague (TSL). Kompetisi TSL segera menjadi salah satu kiblat kompetisi StarCraft di barat, yang diikuti oleh 1000 orang lebih dan merupakan kompetisi di luar Korea Selatan dengan total hadiah terbesar.

Pada saat StarCraft 2 beta muncul, Team Liquid mendapat kesempatan untuk dapat terlibat sejak awal perkembangan. Team Liquid kembali memulai dengan sebuah kompetisi. Menariknya pada saat itu, turnamen invitational yang dibuat membuahkan seorang moderator bernama Jonathan Walsh (Jinro). Sosok tersebut bukan sekadar bocah random yang ingin menjadi moderator, melainkan seorang pemain yang cukup ternama di komunitas.

Sumber: ELEAGUE
Chris Loranger (HuK), mantan pemain StarCraft, yang juga sempat menjadi shoutcaster di Overwatch League. Sumber: Blizzard Entertainment.

Selain Jinro, mereka juga membawa pemain lain ternama di komunitas seperti TLO, dan HayprO yang merupakan juara DreamHack tiga kali berturut-turut. Berkat roster mentereng tersebut, Team Liquid segera mendapat sponsor dari organisasi asal Korea Selatan bernama Old Generations.

Berkat sponsor dari Old Generation, Team Liquid menjadi tim asing pertama yang mendapat kesempatan untuk terlibat di dalam skena kompetitif SC2 Korea Selatan. Fokus kepada skena Korea berbuah manis kepada prestasi divisi SC2 Team Liquid, karena Jinro membawa kemenangan besar setelah menjadi juara di MLG Dallas 2010.

Pada zaman ini Team Liquid juga merekrut pemain bernama HuK, yang memenangkan DreamHack Summer 2011 walau masih baru direkrut. Tahun 2011 juga menjadi momen keemasan bagi Team Liquid. Salah satunya pada turnamen MLG Dallas 2011, ketika HuK menunjukkan permainan brilian saat berhadapan dengan Idra dari Evil Geniuses. Pertemuan ini menciptakan salah satu rivalitas terbesar di komunitas StarCraft yaitu antara Team Liquid dengan Evil Geniuses. Menariknya, beberapa tahun berlalu, rivalitas tersebut ternyata berlanjut sampai ke kancah Dota 2.

Setelah berbagai kejayaan yang mereka dapatkan di skena StarCraft II, Team Liquid mulai mengembangkan sayap ke kancah Dota 2. Ekspansi ini dilakukan untuk pertama kalinya lewat sub-bagian forum terlebih dahulu, yang diumumkan pada 30 Agustus 2012.

Lalu setelah beberapa saat berlalu, baru pada 7 Desember 2012 Team Liquid mengumumkan roster Dota 2 untuk pertama kalinya demi dapat menyabet prestasi di Dota 2 The International 2013. Roster Dota Team Liquid yang pertama adalah Brian Lee (FLUFFNSTUFF), Sam Sosale (Bulba), Steven Ashworth (Korok), Tyler Cook (TC), dan Michael Ghannam (ixmike88).

Sumber: Valve
Roster Dota 2 Team Liquid yang pertama. Dari kiri, FLUFFNSTUFF, Bulba, ixmike, TC, dan Korok. Sumber: Valve

Memang, daftar nama itu bukan yang paling bersinar pada masanya, ketika Danil Ishutin (Dendi) dan Jonathan Berg (Loda) sedang dalam masa keemasannya. Namun roster ini membuktikan satu hal kepada para penonton, yaitu kebanggaan dan harga diri komunitas Dota 2 Amerika Serikat.

Pada lower bracket ronde 2, mereka berhadapan dengan LGD Gaming, tim kuat pada masa itu, tim yang difavoritkan untuk menang. Sementara Team Liquid hanyalah tim underdog. Namun Bulba membuktikan bahwa semuanya salah. Menggunakan Clockwork, Bulba bermain begitu gemilang, mendapat kill demi kill, mengeksekusi pemain demi pemain dari LGD.

Momentum Bulba dan Team Liquid tak terhentikan, sampai akhirnya mereka berhasil memulangkan LGD Gaming dan mempertahankan harga diri komunitas Dota 2 Amerika Serikat. Momen itu juga yang menciptakan teriakan “Sylar to fall, Liquid are doing it!” yang menjadi salah satu momen ikonik dari shoutcaster David Gorman (LD).

Sayang momen kemenangan tersebut hanya terjadi satu kali saja, karena perjuangan Team Liquid setelahnya dihentikan oleh Invictus Gaming. Pasca The International 2013 menjadi masa-masa kelam bagi roster Dota Team Liquid.

Ixmike dan Korok meninggalkan roster, membuat roster Team Liquid compang-camping hingga tahun 2014. Team Liquid gagal mendapatkan hasil gemilang di The International 2014. Roster Team Liquid semakin berantakan sampai ditinggal oleh hampir semua pemainnya pada akhir 2014, yaitu Jimmy Ho (Demon), TC, Max Brocker (qojqva), Peter Nguyen (waytosexy), bahkan Bulba sekalipun. Divisi Dota 2 Team Liquid akhirnya vakum sampai tahun 2015.

Seiring dengan perjuangan divisi Dota 2 dan StarCraft, Team Liquid juga sedang membidik untuk masuk ke dalam skena League of Legends. Namun, awal perjuangan si kuda biru di League of Legends bukan dimulai oleh mereka sendiri, melainkan oleh sosok Steve Arhancet (Liquid112) dan tim bernama Curse yang ia kelola. Curse dirintis dan berjuang sendiri oleh Steve, tanpa ada bantuan Team Liquid sedikitpun sampai tahun 2015.

Curse memasuki skena dengan jajaran nama yang mentereng pada masanya, seperti Eugene Park (Pobelter) Joedat Esfahani (Voyboy) bahkan termasuk Yilian Peng (Doublelift). Walau punya jajaran pemain yang luar biasa, mereka seakan terkutuk di kompetisi. Berkali-kali dapat peringkat 4 mulai dari kompetisi MLG Raleigh 2011, bahkan termasuk LCS Season 3 dan 4.

Kutukan ini membuat Curse menjadi meme di komunitas League of Legends, sehingga peringkat 4 menjadi kata pengganti bagi Team Curse. Namun demikian, secara bisnis Curse terus berkembang, mereka melakukan ekspansi dengan membuat Curse Academy dan Curse EU. Perkembangan ini akhirnya berlabuh kepada akuisisi Team Liquid terhadap Curse pada 6 Januari 2015.

Dalam pengumuman akuisisi, Nazgul menceritakan secara singkat bagaimana Curse akhirnya menjadi bagian Team Liquid.

“Steve (liquid112) melakukan pendekatan kepada saya pada awalnya, ketika ia sedang merencanakan masa depan organisasinya menghadapi 2015. Pada titik itu ia sudah menjalankan Curse Esports selama 3 tahun, membuatnya dari awal hingga menjadi tim kuat di LCS. Sementara saya sendiri tidak terlalu tahu banyak soal tim mereka, tetapi satu hal yang saya ketahui adalah mereka memperlakukan pemain dengan baik dan banyak berinvestasi untuk meningkatkan kemampuan squad mereka.” ucap Victor Goossens.

Akhirnya sejak tahun 2015, roster Curse Gaming bertanding dengan membawa bendera Team Liquid, tim League of Legends yang sekarang jadi salah satu yang terkuat di Amerika Serikat saat ini. Akuisisi Curse juga membawa beberapa pemain yang dari kalangan FGC. Ketika itu ada Du Dang (NuckleDu) pemain Street Fighter asal Amerika Serikat, dan Juan Biedema (HungryBox) pemain Super Smash Bros. Melee.

Masih pada sekitar tahun yang sama Team Liquid melakukan ekspansi ke CS:GO. Roster pertama mereka ketika itu adalah Dauren Kystaubayev (AdreN), Damian Steele (daps), Nicholas Canella (nitr0), Keith Markovic (NAF), dan Jacob Medina (FugLy).

Kisaran tahun 2014 – 2015 menjadi tahun ekspansi besar-besaran Team Liquid, memiliki tim di berbagai cabang game esports dengan skena yang besar di tingkat global. Berawal dari rintisan ini, siapa yang menyangka bahwa hampir semua divisi membawa kejayaan kepada Team Liquid di tahun-tahun berikutnya.

Dominasi Global Team Liquid, di Berbagai Divisi, dan Investasi Axiomatic

Satu tahun setelahnya Team Liquid segera mendapat buah prestasi yang mereka idam-idamkan. Kemenangan NuckleDu di Capcom Cup 2016 melawan Ricki Ortiz menjadi prestasi gemilang pertama Team Liquid.

Pada tahun yang sama HungryBox juga mendapatkan kemenangan yang monumental. Ini karena kemenangan pertama HungryBox di EVO 2016, meski sudah tiga kali berturut-turut masuk babak final.

Kemenangan HungryBox ternyata tidak berhenti pada EVO 2016 saja, karena ia berhasil mencatatkan kemenangan di 33 turnamen berbeda setelahnya. Bahkan ia hanya kalah 3 set saja dari tujuh bulan berkompetisi.

Berkat ragam prestasi yang mereka dapatkan, Team Liquid mendapatkan investasi dari sosok-sosok ternama pada tahun 2016. Investasi datang dari beberapa sosok yaitu pebisnis Peter Guber, Ted Leonsis, Bruce Stein, dan pebasket legendaris Magic Johnson. Investasi tadi menciptakan perusahaan induk dari Team Liquid yang diberi nama aXiomatic Esports, yang berisikan para investor tersebut.

Melaju ke tahun 2017 Team Liquid sekali lagi mendapatkan kejayaan yang gemilang, kali ini dari kancah kompetitif Dota 2. Setelah sempat vakum di tahun 2014, Team Liquid comeback di tahun 2015 dengan mengambil roster 5Jungz yang berisikan Kuro Salehi Takhasomi (Kuroky), Lasse Urpalainen (MATUMBAMAN), Ivan Borislavov Ivanov (Mind_Control), Adrian Trinks (FATA-), dan Jesse Vainikka (Jerax).

Dengan roster ini, Team Liquid Dota sudah mendapatkan beberapa prestasi, namun masih cukup berjuang keras. Sampai pada tahun 2016, ditinggal Jerax bulan Agustus ternyata berbuah manis berupa pemain wonderkid Amer Al-Barkawi (Miracle-) yang ia dapat dari OG. Bulba juga gabung kembali pada September 2016, tapi sayangnya ia kembali meninggalkan Team Liquid di 2017, digantikan dengan Maroun Merhej (GH).

Siapa yang menyangka bahwa kombinasi roster ini menjadi kombinasi yang tepat bagi kemenangan Team Liquid di The International 2017. Namun, perjuangan Kuroky begitu keras pada saat itu. Walau berhasil mendominasi babak grup, Team Liquid tergeser ke lower-bracket saat babak Playoff.

Mereka merangkak dari bawah, memenangkan pertandingan demi pertandingan, menghadapi lawan yang berat pada zaman itu. Mulai dari Team Secret, Virtus Pro, sampai LGD Gaming. Namun, perjuangan tersebut akhirnya membuahkan hasil. Babak final, bertemu dengan Newbee, Team Liquid berhasil menjadi juara dengan cukup mudah. Miracle- dan kawan-kawan berhasil babat habis tim asal Tiongkok tersebut 3-0 tanpa balas.

Sementara tim Dota mendominasi The International 2017, divisi League of Legends juga pada akhirnya memecahkan kutukan peringkat 4 di LCS. Pada tahun 2018 hingga 2019, Team Liquid memenangkan tiga gelar LCS berturut-turut. Momentum ini dimulai pada NA LCS 2018 Spring, dan berlanjut hinggal NA LCS Summer 2018, LCS 2019 Spring, hingga LCS 2019 Summer.

Momentum kemenangan tersebut akhirnya terhenti di tahun 2020 ini, ketika Cloud9 berhasil merebut kemenangan dan menjadi juara LCS 2020 Spring. Kemenangan Team Liquid di League of Legends juga membawa pencapaian individual dari seorang Doublelift, saat ia mendapatkan 6 titel LCS selama perjalanannya.

Roster CS:GO Team Liquid juga menyabet segambreng prestasi di tahun 2019. Mereka memenangkan berbagai kompetisi besar, seperti ESL One: Cologne, IEM XIV – Chicago, IEM XIV Sydney, DreamHack Masters Dallas 2019, dan BLAST Pro Seires: LA 2019.

Dengan berbagai prestasi yang mereka dapatkan, Team Liquid juga menyabet berbagai sponsor mulai dari brand gaming seperti HyperX, brand otomotif Honda, perusahaan analitik SAP, bahkan termasuk Marvel Entertainment untuk buat jersey Team Liquid edisi superhero Marvel. Yang terbaru, untuk merayakan ulang tahun yang ke-20, Team Liquid juga berkolaborasi dengan Secretlab, dan membuat kursi gaming Secretlab TITAN edisi khusus Team Liquid.

Perjalanan Team Liquid hingga saat ini telah berhasil membuat sebuah clan kecil StarCraft, menjadi sebuah fenomena global. Bahkan, Team Liquid kini bisa dibilang sudah mencicipi prestasi, hampir di semua skena esports di panggung dunia, mulai dari Dota 2, League of Legends, CS:GO, sampai FGC.

Dari perjalanan ini, mungkin kita bisa belajar bagaimana passion dan memilih rekan yang tepat bisa membawa perkembangan diri hingga mencapai puncaknya. Dalam kasus Team Liquid, mulai dari forum komunitas, sampai menjadi sebuah tim esports yang disegani secara global.

Peran IMI di Pengembangan Ekosistem Sim Racing Indonesia

Beberapa bulan belakangan, dunia disibukkan oleh pandemi virus corona. Satu per satu, kegiatan non-esensial dihentikan, termasuk pertandingan olahraga. Berbagai liga sepak bola terpaksa harus dihentikan, begitu juga dengan kompetisi NBA dan balapan. Di tengah kemandekan ini, esports muncul sebagai secercah harapan, baik bagi fans olahraga maupun penyelenggara turnamen. Berbeda dengan kebanyakan kompetisi olahraga yang harus diadakan secara offline, pertandingan esports bisa diadakan secara online. Jadi, seseorang tetap bisa berkompetisi tanpa harus keluar dari rumah dan mengambil risiko terpapar virus corona.

Berbagai balapan pun diubah formatnya menjadi balapan virtual, mulai dari Formula 1, NASCAR, sampai Formula E. Menariknya, balapan virtual ini tidak hanya menarik para pembalap profesional serta gamer atau influencer. Ada juga atlet dari bidang olahraga lain yang tertarik untuk ikut serta. Sebut saja striker Manchester City, Sergio Aguero. Saat disiarkan di televisi, balapan virtual ini juga sukses mendapatkan penonton hingga ratusan ribu orang. Ini membuat sim racing menjadi kembali hype, tidak hanya di dunia, tapi juga di Tanah Air.

Lalu, bagaimana potensi sim racing di Indonesia?

Awal Mula IMI Terjun ke Sim Racing

Di Indonesia, sim racing alias balap virtual merupakan ranah di bawah naungan Ikatan Motor Indonesia (IMI). Memang, IMI adalah asosiasi yang menaungi semua jenis kompetisi balap otomotif di Tanah Air. IMI sendiri mulai tertarik untuk masuk ke sim racing alias digital motorsport pada tahun 2018. Pasalnya, ketika itu, FIA (Federation Internationale de l’Automobile) juga kembali memerhatikan sim racing.

Indra Feryanto, Ketua Komisi Digital Motorsport dari IMI menjelaskan, “Pada 2018 tuh, FIA sudah mulai menggalakkan lagi soal sim racing. Kebetulan, di pengurusan IMI ada beberapa yang memang into sim racing.” Pada tahun itu, IMI mengajukan ide pembentukan komisi khusus sim racing. Ide tersebut disetujui oleh sebagian besar anggota. Itulah awal dari Komisi Digital Motorsport di IMI. “Di kita (Indonesia), sim racing itu kan mulai berkembang pada 2017. Pada 2018-2019, perkembangan sim racing pesat sekali. Kita ingin tangkap momentum itu, kita bisa regulasi, agar bisa lebih terarah,” ujar Indra saat dihubungi melalui telepon.

Indra Feryanto (kanan) bersama Anes Budiman, Channel Manager untuk AMD Indonesia Anes Budiman. | Sumber: AMD
Indra Feryanto (kanan) bersama Anes Budiman, Channel Manager untuk AMD Indonesia Anes Budiman (kiri). | Sumber: AMD

Semenjak komisi digital motorsport dibentuk, mereka telah melakukan berbagai kegiatan, seperti pameran dan bahkan kejuaraan nasional. Pada bulan Maret 2019, IMI menggelar Racing Simulator Festival bersama berbagai pelaku ekosistem simulasi balap, mulai dari Techno Solution, yang merupakan distributor resmi Thrustmaster, organizer balap GT-Sim.ID, Alien Needs, Harris Muhammad Engineering, dan Komunitas Sim Racing Indonesia. Selain mengumumkan keberadaan kejurnas, acara tersebut juga bertujuan untuk mengenalkan balapan virtual pada masyarakat luas serta komunitas gamer dan IT. Perkenalan itu mencakup pembahasan tenatng game, kompetisi, serta alat pendukung sim racing.

Pada tahun 2019, IMI juga mengadakan kejuaraan nasional, yaitu Indonesia Digital Motorsport Championship (IDMC). Indra mengatakan, jumlah peserta yang masuk dalam IDMC “lumayan”. Dan yang paling penting, ungkapnya, mereka berhasil menemukan orang yang pantas menyandang gelar “juara nasional”. Berakhir pada Desember 2019, IDMC dimenangkan oleh Andika Rama Maulana, yang mewakili tim GT-Sim.ID.

Rencananya, tahun ini, IMI akan kembali mengadakan IDMC. “Kami juga melihat adanya pandemi ini sebagai blessing. Karena kebanyakan orang harus diam di rumah, kegiatan sim racing bisa mengisi waktu,” ujar Indra. Faktanya, dia mengatakan, para pembalap nasional berinisiatif untuk membuat kegiatan balapan virtual, yaitu Ramadhan Balap Indonesia.

Apa Tujuan IMI Masuk ke Sim Racing?

Ketika ditanya apa tujuan IMI untuk ikut turun dalam mengembangkan ekosistem sim racing, Indra berkata, “Pembalap itu nggak lepas dari simulator. Mereka butuh latihan, agar bisa tahu cara cari waktu lebih cepat, berkendara lebih aman,” ujarnya. Dan menggunakan simulator adalah cara paling mudah dan murah untuk berlatih balapan. Pendapat Indra senada dengan omongan Rama. Dalam Hybrid Talk — yang videonya bisa Anda tonton di bawah — Rama berkata bahwa sim racing bisa membuka jalan untuk meraih cita-cita bagi orang-orang yang ingin menjadi pembalap.

“Seperti kita tahu, dunia motorsport, apapun olahraganya, mau mobil, motor, sepeda, itu sangat makan duit. Jangankan beli mobil, beli bensin juga mahal,” celoteh Rama. “Belum ban, belum rem. Dengan adanya sim racing, yang sudah diakui karena punya komisi sendiri, ini bisa jadi satu cabang balapan baru. Ini bisa juga jadi solusi untuk orang-orang yang mau terjun ke dunia balap profesional, tapi punya budget terbatas.”

Lebih lanjut Indra menjelaskan, salah satu agenda Divisi Digital Motorsport IMI adalah untuk melakukan pendidikan. “Ke depan, kita bisa bantu kembangkan atlet atau individu yang memang punya bakat agar pengembangan bakatnya terarah,” ungkap Indra. “Buat jadi pembalap, kan mahal modalnya. Jadi, kita mulai dengan simulator.” Masalahnya, jika Anda ingin menjadi pembalap, untuk berlatih, Anda harus bisa mendapatkan akses ke mobil balap dan sirkuit. “Nggak semua orang punya luxury itu. Simulator itu bisa jadi tempat latihan, tanpa orang harus pergi jauh-jauh (ke sirkuit). Kalau mau investasi, biayanya juga nggak terlalu besar. Dari segi skill, bisa dikembangkan dan jadi pembalap beneran,” jelas Indra.

Tujuan lain IMI mengembangkan ekosistem digital motorsport adalah untuk memajukan cabang olahraga tersebut. Diharapkan, ini akan membuat olahraga motorsport lainnya menjadi ikut populer. Memang, banyak perusahaan non-endemik yang masuk ke dunia esports — baik sebagai investor atau sponsor — untuk mendekatkan diri dengan generasi muda. Tidak heran, mengingat sebagian besar penonton dan pemain esports adalah generasi milenial atau gen Z.

Sejauh ini, salah satu tujuan IMI yang sudah tercapai adalah menyelenggarakan kejuaraan nasional. Mereka berhasil merealisasikan hal ini ketika mereka mengadakan IDMC pada tahun lalu. Tahun ini, IMI berencana untuk kembali menyelenggarakan IDMC. Selain itu, IMI juga berencana untuk mengadakan berbagai kegiatan lain dalam kalender nasional mereka.

Potensi Sim Racing di Indonesia dan Halangan yang Dihadapi IMI

Menurut Indra, dari segi bisnis, potensi sim racing sangat menjanjikan. Hal ini terlihat dari fakta bahwa orang-orang yang tertarik dengan sim racing tak melulu penduduk Pulau Jawa. “Sekarang, sim racing itu nggak hanya terfokus di Pulau Jawa,” kata Indra. “Kalimantan dan Sulawesi pun berlomba-lomba dalam digital motorsport.” Sementara kalau dari segi kegiatan perlombaan, dia mengungkap, pembalap Indonesia juga sudah mulai diperhitungkan di kompetisi tingkat global. “Ada sim racer yang juga sudah berkiprah di luar negeri,” aku Indra.

Pembalap tak pernah lepas dari simulasi. | Sumber: Automobilsport
Pembalap tak pernah lepas dari simulasi. | Sumber: Automobilsport

Hype sim racing di Indonesia kini juga cukup tinggi. Sambil tertawa, Indra berkata, “Tahun lalu, banyak orang yang menyesal tidak ikut. Sampai sekarang, ada banyak orang yang mau membeli simulator, tapi sudah habis. Distributor juga kehabisan. Selama ini, orang jarang mencari, tapi sekarang malah banyak yang nyari.” Sementara itu, soal software yang digunakan, Indra mengatakan, IMI menjadikan rFactor 2 sebagai standar. “Untuk keperluan dari IMI, platform yang kita pilih adalah rFactor 2, yang bisa memenuhi kriteria kami,” ujarnya.

Tentu saja, usaha IMI dalam mengembangkan ekosistem sim racing di Indonseia tak berjalan mulus sepenuhnya. Bagi Indra, masalah nomor satu adalah keterbatasan alat. “Belum banyak yang memproduksi alat sim racing secara lokal,” ujarnya. “Kalau harga itu beragam. Mulai dari yang murah sampai yang mahal, terserah, sesuai pilihan Anda.” Masalah lainnya adalah kebanyakan orang yang tertarik dengan digital motorsport hanya tertarik untuk menjadi pembalap. Tidak heran, mengingat di dunia sim racing pun, pembalap tetap menjadi bintang utama. Sayangnya, itu berarti tidak banyak orang yang tertarik dengan posisi di belakang layar, hakim yang mengatasi dispute.

Di masa depan, Indra mengatakan, IMI berharap bahwa mereka akan bisa mengasah talenta muda untuk menjadi pembalap. “Jika ada driver yang potensial, punya prestasi yang bagus, kita bisa tawarkan untuk menjadi pembalap di luar negeri,” ujarnya. Untuk merealisasikan hal ini, IMI kini tengah menggodok wacara pembentukan Digital Motorsport Academy. Dengan adanya akademi ini, diharapkan orang-orang yang bercita-cita sebagai pembalap akan memiliki jalan yang jelas dalam mencapai cita-cita mereka.

Kesimpulan

Di tengah pandemi, semua kegiatan olahraga terhenti. Ini menjadi waktu yang tepat bagi esports untuk menarik hati masyarakat mainstream. Sementara di dunia balapan, balapan virtual bisa menjadi alternatif tontontan bagi fans balap yang merasa kehilangan karena dibatalkannya berbagai kompetisi balap.

Untungnya, di Indonesia, sim racing sudah menjadi perhatian dari IMI, yang merupakan ASN (Aparatur Sipil Negara). Dengan masuknya IMI dalam pengembangan ekosistem sim racing, ini berarti, pemerintah telah ikut turun tangan. Harapannya, IMI dapat membuat ekosistem sim racing berkembang, membuka jalan bagi anak-anak yang ingin menjadi pembalap untuk meraih cita-citanya.

Sumber header: Steam

Review The Outer Worlds: Ketika Narasi dan Visualisasi Tak Cukup Penuhi Ekspektasi

Obsidian. Buat yang suka dengan game-game PC berbobot dari segi kekuatan dan kekayaan narasi, Anda harusnya sudah tidak asing dengan nama tadi. Star Wars: Knights of the Old Republic 2 (2004), Neverwinter Nights 2 (2006), Fallout: New Vegas (2010), South Park: Stick of Truth (2014), Pillars of Eternity (2015), Tyranny (2016), dan Pillars of Eternity 2: Deadfire (2018) adalah sejumlah game-game legendaris besutan Obsidian.

Sebelum kita masuk ke dalam review The Outer Worlds kali ini, jujur saja saya katakan di awal, saya adalah penggemar fanatik dari game-game Obsidian. 7 game yang saya sebutkan tadi, saya sudah menyelesaikannya semua. Saya bahkan sempat menuliskan review Tyranny dan PoE2: Deadfire di blog pribadi saya beberapa tahun silam. Kenapa saya suka dengan Obsidian? Ada 3 alasan besar yang membuat game-game Obsidian selalu layak dimainkan.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Pertama, kekuatan plot cerita, penyajiannya, karakteristik karakter-karakter di dalamnya dan segala macam aspek kekuatan narasi dari setiap game Obsidian adalah salah satu yang terbaik sepanjang pengalaman saya bermain game dari tahun 1997 dan bekerja di media game sejak 2008.

Kedua, tentu saja gameplay jadi elemen yang paling penting buat saya. Makanya, biasanya, saya kurang suka dengan game-game ber-genre interactive visual novel seperti game-game besutan Telltale Games. Saya memang menyukai gameplay yang memuaskan dan kompleks untuk dipelajari dan itulah yang selalu disuguhkan dari setiap game-game Obsidian.

Faktor ketiga adalah salah satu faktor terbesar yang membedakan game PC dengan game-game dari platform lainnya, yaitu game modding. Buat Anda yang tidak tahu apa itu game modding, ada tulisan dari NVIDIA yang cukup lengkap untuk menjelaskan soal game modding.

Kenapa saya menjelaskan 3 faktor ini lebih dulu sebelum saya masuk ke penilaian setiap aspek? Karena sayangnya, di game ini, Obsidian hanya bisa menyuguhkan 2 dari 3 faktor tadi…

Terakhir, sebelum kita masuk ke setiap bagian, saya memainkan game ini di PC dan berikut adalah spesifikasi PC yang saya gunakan (sekalian pamer wkwkwakwka…):

CPU: AMD Ryzen 5 3600
Motherboard: GIGABYTE AB-350 Gaming 3
Kartu Grafis: Palit GeForce RTX 2070 Super JS
Memory: G Skill 16GB 3200MHz (running @3600MHz).
Storage: ADATA SX8200 PCIe SSD 1TB
Monitor: ASUS VG258QR (@144Hz)

Visualisasi Grafis dan Audio: 94/100

Jika Anda rindu dengan game-game macam seri Fallout modern, Anda mungkin memang perlu menghindari Fallout 76. Untungnya, The Outer Worlds (TOW) bisa mengobati kerinduan Anda tadi. Visualisasi dari TOW menawarkan atmosfir yang tak jauh berbeda dengan yang biasanya disuguhkan di seri Fallout (Fallout 3, New Vegas, dan Fallout 4). Namun demikian, TOW menyajikan grafis dengan saturasi lebih tinggi ketimbang Fallout.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Selain grafisnya yang mampu menawarkan atmosfir yang immersive, faktor suara dan voice acting di TOW juga layak diacungi jempol. Bagi saya, faktor penyajian audio dan visual yang istimewa itu tak hanya sedap dipandang dan memanjakan telinga namun juga mampu mendukung kekuatan imersifitas atmosfir dunia dan cerita yang disuguhkan. Obsidian mampu menyuguhkannya dengan sempurna di game ini.

Meski memberikan visualisasi yang ciamik, game ini juga tidak berat dari sisi performanya. Dengan spesifikasi PC saya di atas, saya tidak kesulitan sama sekali untuk menyentuh kisaran 90-120 fps. Kawan saya, Glenn Kaonang yang juga penulis untuk DailySocial dan Hybrid, juga masih lancar memainkan game ini (60 fps) di setting grafis Medium meski masih menggunakan kartu grafis GeForce GTX 960.

Plot Cerita dan Karakter: 81/100

Seperti yang saya tuliskan tadi, kekuatan narasi adalah salah satu keunggulan dari setiap game-game Obsidian. Aspek ini juga masih bisa Anda dapatkan di TOW. Lore building di TOW sungguh nyaris sempurna. Sayangnya, game ini memang masih belum bisa menawarkan dunia yang sekompleks seri Pillars of Eternity (PoE). Demikian juga soal alur ceritanya. Jika dibandingkan dengan seri PoE (baik 1 dan 2), alur cerita di TOW lebih mudah ditebak — setidaknya buat saya pribadi. Untungnya, kelebihan dari aspek cerita di TOW ada di penyajiannya yang lebih menarik ketimbang seri PoE tadi.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Saya kira plus dan minus tadi karena memang genre yang berbeda antara TOW dan seri PoE. Seri PoE ber-genre cRPG yang memang bukan untuk semua orang namun, biasanya, mampu membangun dunia yang begitu komprehensif lewat banyaknya wall-of-text di game-nya. Sedangkan TOW lebih mirip dengan seri Fallout modern ataupun The Witcher (action RPG) yang lebih ramah untuk kaum mainstream karena menyajikan cerita lewat cut-scene dan dialog antar karakter.

Dari sisi karakter-karakternya, TOW juga sangat menarik. Tidak ada karakter yang serba sempurna di sini yang mampu menjalankan semua Dasa Dharma Pramuka dalam setiap langkah hidupnya. Setiap karakter Companion (NPC yang menemani dan bergabung di tim Anda) mampu memberikan impresi yang unik buat para pemainnya. Sejumlah karakter-karakter penting juga memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

TOW pun memiliki beberapa alur cerita tergantung dari pilihan Anda. Sayangnya, karena mudah ditebak dan dibayangkan, saya jadi malas bermain campaign baru untuk yang kedua kalinya untuk mencoba alur cerita yang berbeda. Kembali lagi, jika saya bandingkan saat bermain Deadfire, saya bahkan menamatkan game tersebut lebih dari 5 kali hanya untuk mencoba alur cerita yang berbeda-beda.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Satu hal yang pasti, jika dibandingkan dengan seri PoE, TOW memang inferior. Namun aspek ini sebenarnya juga sudah sangat baik dan superior jika dibandingkan game-game lainnya yang dirilis belakangan ini. Hanya saja, karena game ini besutan Obsidian, saya jadi punya ekspektasi yang lebih tinggi.

Gameplay 70/100

Para pemain Fallout modern pasti tahu yang namanya VATS yang mengijinkan Anda menghentikan waktu dan membidik bagian-bagian musuh yang spesifik (kepala, tangan, badan, ekor, dkk.). Fitur serupa juga bisa Anda temukan di sini. Anda bisa menggunakan kekuatan slow motion agar musuh bergerak pelan sehingga Anda bisa lebih akurat dalam membidik lawan.

Companion Anda juga punya active ability masing-masing yang bisa dikeluarkan dengan menekan tombol. Sayangnya, active ability yang dimiliki oleh karakter Anda tidak banyak — hanya ada slow motion tadi dan dodge. Untungnya, karakter Anda bisa menggunakan berbagai senjata yang cukup variatif mekanismenya meski memang jauh lebih terbatas jika dibandingkan dengan Borderlands 3. Anda juga bisa menggunakan senjata melee yang punya beberapa variasi serangan.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Di sini juga ada mekanisme stealth yang bisa Anda gunakan. Sayangnya, jika dibandingkan dengan Skyrim ataupun seri Dishonored, mekanisme stealth di sini kurang memuaskan.

Oh iya, di sini, equipment Anda juga memiliki beberapa efek pasif yang bisa mengubah gaya bermain Anda. Sayangnya, lagi-lagi, hal ini tidak dilakukan dengan optimal. Pasalnya, efek-efek dari equipment di sini sangat terbatas variasinya. Lebih banyak efek-efek pasif yang membosankan seperti menambah status (Lockpick +10, Dialog +5, atau stats lainnya). Jumlah variasi efek-efek build di sini bahkan lebih sedikit juga jika dibandingkan dengan Assassin’s Creed Odyssey.

Entahlah, menurut saya, Obsidian terlalu banyak implementasi ide gameplay di TOW namun eksekusinya seperti setengah hati. Misalnya saja jika dibandingkan dengan Borderlands 3 (BL3). BL3 memang tidak ada mekanisme stealth. Namun ia punya kekayaan variasi efek dari equipment (seperti Cooldown Reduction, Accuracy, Handling, Fire rate, AoE radius, dan lainnya) yang bahkan mencapai puluhan efek. Doom Eternal juga tidak punya sistem Companion, variasi build layaknya RPG, ataupun mekanisme Stealth namun game ini sungguh superior dalam implementasi pertempurannya.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Fitur Tambahan dan Durasi Permainan: 20/100

Jika aspek gameplay dari TOW memang kurang maksimal, masih ada lagi aspek yang menyedihkan dari game ini. Durasi permainannya yang sangat pendek buat genre RPG. Durasi saya memainkan game ini setelah menamatkannya tercatat di EGS (Epic Game Store) hanya 37 jam. Apalagi, game ini juga tidak menawarkan banyak aktivitas layaknya game-game open world macam seri Assassin’s Creed ataupun GTA. HowLongToBeat bahkan mencatat angka rata-rata durasi permainan di TOW hanya 25 jam dengan durasi Main Story saja sebesar 12 jam.

Durasi permainan sebenarnya bisa jadi penting atau tidak penting dari sebuah game. Misalnya saja, Mad Max memang menawarkan banyak aktivitas open world layaknya seri Far Cry, Just Cause, ataupun yang lainnya. Namun saya sendiri merasa bosan dan tidak memiliki keinginan untuk melakukan semuanya. Catatan waktu saya bermain Mad Max di Steam hanyalah 41 jam. Jujur saja, mungkin memang saya belum puas bermain TOW namun saya kehabisan konten yang bisa dilakukan — mengingat saya tidak mau juga menjalankan campaign baru karena sudah bisa dibayangkan ceritanya.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Selain itu, dari 3 aspek yang saya suka dari Obsidian, aspek modding tak ada di sini. Hal ini berbanding terbalik dengan PoE2: Deadfire. Jika tidak percaya, lihat saja di NexusMods. Outer Worlds hanya memiliki 46 file, itu pun sebagian besar hanyalah template ReShade. Sedangkan PoE2: Deadfire punya 348 file dengan hanya 2 file di kategori ReShade & ENB. Sungguh, TOW sangat menyedihkan dari sisi game modding, mengingat Deadfire adalah game sebelum TOW dari Obsidian. Modding di Deadfire bahkan sangat mudah dilakukan. Saya juga sebelumnya sempat menuliskan tutorialnya. Obsidian sendiri bahkan memberikan dokumentasi modding untuk Deadfire.

Saya tahu modding mungkin bukan faktor penentu buat sebagian besar game namun, buat saya pribadi, ada 3 alasan subyektif kenapa hal ini jadi penting saya bahas di review The Outer Worlds kali ini.

Pertama, ekspektasi saya atas game-game Obsidian itu memang ramah terhadap komunitas game modding. Dari 7 game yang saya sebut di bagian awal artikel ini, hanya Tyranny yang tidak ramah terhadap game modding. Bahkan Stick of Truth punya 90 files di Nexus Mods. Saya tidak tahu apakah ini ada hubungannya atau tidak, namun penting diketahui bahwa Obsidian diakuisisi oleh Microsoft di 2018. Beritanya muncul di bulan November 2018.

Sedangkan Deadfire dirilis bulan Mei 2018 yang berarti, kemungkinan besarnya, Obsidian belum diakuisisi saat proses pembuatannya yang dimulai sejak 2016 dan mendapatkan total investasi lewat campaign crowdfunding-nya di 2017. Sekali lagi, saya juga tidak yakin apakah akuisisi tadi yang jadi penyebabnya. Apalagi mengingat Minecraft (Mojang) dan State of Decay (Undead Labs), yang juga di bawah Microsoft, cukup ramah terhadap komunitas modding. Namun satu hal yang pasti, perbedaan terbesar (setidaknya yang terlihat) dari Obsidian saat membuat TOW dan game-game sebelumnya adalah akuisisi Microsoft tadi.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Kedua, game modding membuat game singleplayer jadi bisa dimainkan dalam waktu yang sangat lama. Sebagai perbandingan, saya sudah memainkan Deadfire selama 517 jam (menurut catatan dari Steam) sedangkan untuk TOW hanya 37 jam seperti yang saya tulis tadi. Meski memang durasi bermain yang singkat ini juga dipengaruhi oleh keterbatasan konten dan ragam alur cerita yang tidak sekompleks Deadfire, saya bisa membayangkan jika saya akan bermain game ini jauh lebih lama jika akses modding-nya semudah seri Fallout modern (kecuali Fallout 76 tentunya).

Ketiga, seperti yang saya katakan tadi, alasannya memang sangat subjektif; karena saya memang suka sekali merasakan proses modding dan saya tidak bisa mendapatkan itu dari TOW — yang biasanya saya dapatkan dari game-game Obsidian. Saya sungguh merindukan saat-saat modding seperti yang dulu saya lakukan saat bermain Deadfire, Fallout New Vegas, dan Neverwinter Nights 2; dan game-game yang bukan besutan Obsidian seperti, Skyrim, The Witcher 3, GTA San Andreas, ataupun yang lain-lainnya.

Average Score: 66.25/100

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Akhirnya, jika Anda memang tidak peduli soal modding, TOW memang sangat layak dimainkan. Apalagi jika Anda tidak ada masalah dengan durasi bermain. Grafis dan cerita yang ditawarkannya sungguh layak diacungi jempol. Faktor gameplay-nya juga tidak bisa dibilang buruk meski tidak istimewa. Sayangnya, mungkin karena saya juga yang sudah punya banyak kenangan berkesan memainkan serta merasakan asyiknya modding game-game Obsidian, TOW jadi terasa tak mampu memenuhi ekspektasi.

Harga TOW saat artikel ini ditulis ada di $44.99 (sekitar Rp660 ribuan) di EGS. Apakah jadi layak dibeli? Saya sendiri merasa tidak menyesal membelinya karena Obsidian nya yang sudah sering menemani saya dan memberikan berbagai kenangan manis — meski sedikit masam dengan TOW. Saya berharap game selanjutnya dari Obsidian bisa lebih sesuai dengan ekspektasi. Plus, semoga sejarah Bioware juga tak terulang dengan Obsidian…

Review Legends of Runeterra: Game Kartu Digital yang Nyaris Sempurna?

Jelang akhir 2019, Riot Games memamerkan jajaran game terbaru yang akan mereka rilis seraya merayakan ulang tahunnya yang ke-10. Setelah sepuluh tahun hanya mengembangkan satu game saja, pengembang yang berbasis di Los Angeles tersebut akhirnya melebarkan sayap, menciptakan game untuk genre lain.

Ada beberapa game yang mereka pamerkan ketika itu, FPS bernama project A yang kini dikenal dengan Valorant, game kartu Legends of Runetera, iterasi LoL di Mobile bernama Wild Rift, Teamfight Tactics untuk mobile, dan sebuah proyek game fighting. Setelah beberapa waktu berlalu, game kartu digital Legends of Runeterra yang rilis pada 1 Mei 2020 kemarin, mungkin jadi game pertama dari jajaran tersebut yang rilis secara penuh.

Walau memiliki genre Collectible Card Games (CCG) yang cenderung niche, tapi game ini ternyata mendapat antusiasme yang cukup baik dari para gamers, dengan total download mencapai 1 juta lebih di Play Store saat artikel ini ditulis. Mungkin Anda saat ini sudah terpincut untuk memainkannya, namun masih urung karena satu dan lain hal.

Mungkin Anda urung main karena belum pernah main CCG sebelumnya dan takut dihadapkan dengan permainan strategi yang ruwet? Atau urung main karena takut dihadapkan skema permainan pay-to-win yang mengharuskan Anda gacha sampai lemas demi mendapat kartu yang diidam-idamkan?

Tetapi, apakah Legends of Runeterra merupakan game kartu digital yang seperti itu? Game kartu yang akan mengintimidasi calon pemain baru karena mekanik yang rumit atau gacha kartu yang tidak ada habisnya?

Untuk memutuskan apakah Anda akan mulai menginvestasikan waktu (dan uang) terhadap game ini, mari kita berkenalan terlebih dahulu dengan game kartu digital besutan Riot ini. Simak review Legends of Runeterra berikut ini.

CCG Dengan Rasa MOBA

Legends of Runeterra (setelahnya disebut Runeterra) merupakan game kartu yang berbasis kepada cerita salah satu game MOBA terpopuler di dunia. Jika Anda pemain League of Legends sudah pasti Anda akan melihat wajah familiar di dalam game ini, seperti Ashe, Garen, ataupun Lux .

Jika Anda melihat trailer pertama dari Runeterra, Anda juga sudah dapat melihat bagaimana karakter Champion League of Legends berubah menjadi kartu-kartu di dalam permainan, yang disebut sebagai kartu terkuat di dalam Runeterra.

Hal ini juga yang membuat saya mengatakan bahwa game kartu Runeterra memiliki rasa MOBA di dalam mekanik permainannya. Bukan, ini bukan sekadar karena ada Champion League of Legends di dalam Runeterra, tetapi juga karena cara kerja kartu Champion di dalam game ini.

Kalau Anda juga bermain MOBA League of Legends, Anda tentu paham tugas Anda di MOBA adalah menaikkan level Champion agar punya skill yang lebih kuat, sembari mengumpulkan gold agar mendapatkan item untuk memperkuat serangan fisik atau magic. Menariknya, Runeterra juga punya mekanik permainan seperti MOBA, yaitu menaikkan level untuk membuat kartu Champion menjadi lebih kuat.

Tapi bedanya, menaikkan level Champion di Runeterra tidak sesederhana memukul Minion. Masing-masing Champion punya syarat yang berbeda agar dapat naik level. Misal, Garen harus menyerang sebanyak dua kali atau Braum bisa naik level jika sudah menahan serangan musuh. Champion yang sudah naik level akan memberi damage ataupun efek yang lebih mematikan.

Hal lain yang membuat game kartu Runeterra semakin terasa seperti MOBA adalah dari cara pemain mendapatkan kemenangan. Dalam MOBA, setelah karakter Anda jadi kuat, tugas berikutnya adalah terus menerjang, hancurkan Turret demi Turret hingga mencapai bangunan inti yang harus dihancurkan, Nexus.

Begitu juga dalam Runeterra. Masing-masing pemain punya tujuan untuk menghancurkan Nexus musuh dan ada sejumlah cara yang bisa dilakukan. Cara paling sederhana adalah dengan memanggil atau summon atau meletakkan kartu Anda di meja atau field. Lalu perintahkan kartu untuk menyerang ke arah Nexus. Hit Point (HP) Nexus ada 20, yang lebih dulu habis akan kalah.

Bagiamana mudah bukan?

Mudah atau tidak akan kita bahas pada bagian selanjutnya. Tetapi secara umum, menghancurkan Nexus di Runeterra sebenarnya tidak sesederhana itu, karena ada tiga jenis kartu dalam game ini, yaitu Champion, Follower, dan Spells.

Champion dan Follower punya power di kiri bawah kartu yang menandakan kekuatan serang, dan HP di kanan bawah kartu yang menandakan kekuatan bertahan. Dua kartu itu akan tetap berada di meja selama masih punya HP. Jika HP habis, maka kartunya akan hilang dari permainan; kecuali dipanggil lagi dengan efek khusus. Sementara di sisi lain Spell biasanya hanya bisa diaktifkan satu kali, lalu akan hilang setelah diaktifkan.

Ini adalah contoh bentuk kartu Champion, dengan power yang menandakan kekuatan serang di bawah kiri dan HP yang menandakan kekuatan bertahan di bawah kanan.
Ini adalah contoh bentuk kartu Champion, dengan power yang menandakan kekuatan serang di bawah kiri dan HP yang menandakan kekuatan bertahan di bawah kanan. Sumber: Tangkapan layar pribadi.

Tugas Anda sebagai pemain di sini adalah memanfaatkan ketiga jenis kartu tersebut dengan maksimal agar bisa menghancurkan Nexus musuh. Champion dan Follower punya fungsi yang paling sederhana, yaitu menyerang Nexus.

Sementara fungsi Spell lebih Variatif karena ada yang bisa langsung memberi damage ke Nexus, memberi damage ke Champion atau Follower, atau memberi efek mengganggu musuh.

Secara umum, cara main Runeterra kurang lebih mirip seperti game kartu TCG Yu-Gi-Oh. Anda panggil kartu ke meja, lalu suruh monster tersebut menyerang. Kalau tidak ada monster di meja musuh, Anda bisa menyerang langsung (kalau dalam Runeterra ke arah Nexus). Anda bisa panggil Spell Card untuk menyerang atau membantu membuat kartu Anda jadi lebih kuat.

Lalu kalau di Yu-Gi-Oh ada Trap Card, bagaimana dengan di Runeterra? Hal menarik lain di Runeterra, yang juga membuatnya terasa seperti pertarungan MOBA, adalah urutan jalan yang terus berganti-gantian.

Dalam setiap turn, pemain secara bergantian memegang Attack Token sebagai tanda bahwa Anda punya hak jalan pertama dan menyerang. Lalu, setiap kali Anda melakukan sesuatu (memanggil Champion/Follower atau mengaktifkan Spell) musuh mendapat giliran untuk merespon dengan apapun yang mereka punya.

Jika menggunakan analogi Yu-Gi-Oh, maka bisa dibilang Spell di Runeterra berfungsi layaknya gabungan Trap dan Magic Card. Karena berjalan secara bergantian secara terus menerus, Spell jadi bisa diaktifkan kapan saja. Maka dari itu, Runeterra punya tiga tingkat kecepatan Spell yaitu Slow, Fast, dan Burst.

Slow Spell hanya dapat diaktifkan di luar fase pertarungan. Ketika diaktifkan, musuh dapat merespon dengan Spell yang mereka miliki. Fast Spell dapat diaktifkan sebelum ataupun pada fase pertarungan, musuh juga bisa merespon terhadap Spell ini. Terakhir Burst Spell, bisa diaktifkan kapanpun, langsung aktif saat itu juga, dan tidak dapat direspon oleh musuh.

Tindakan saling merespon tersebut berhenti ketika pemilik Attack Token memajukan pasukan (Champion/Follower) dan memasuki fase bertarung. Pada fase bertarung, pemain bertahan tidak bisa lagi memanggil pasukan apapun, hanya bisa melakukan Block dengan pasukan yang sudah ada di field, atau merespon dengan Fast Spell.

Kartu Spell punya bentuk yang lebih sederhana. Hanya berisi properti kecepan Spell dan deskripsi kegunaanya.
Kartu Spell punya bentuk yang lebih sederhana. Hanya berisi properti kecepan Spell dan deskripsi kegunaanya. Sumber: Tangkapan layar pribadi.

Setelah pemain bertahan mengaktifkan Spell, memilih pasukan musuh yang ingin ditahan serangannya, pemilik Attack Token lalu menyerang, jumlah damage dihitung, lalu pemilik Attack Token memiliki kesempatan terakhir untuk melakukan satu aksi lagi, yang juga masih dapat direspon oleh musuh.

Pada saat menyerang, Legends of Runeterra juga menghadirkan fitur menarik bernama Oracle Eye. Fitur ini bisa berada di tengah antara dua Nexus pada fase menyerang.

Fitur ini memungkinkan Anda melihat ke masa depan, hasil dari semua pertarungan pasukan dan Spell yang diaktifkan. Jika Anda kurang pandai menghitung atau tidak yakin bagaimana efek dari Spell yang akan Anda gunakan, fitur ini sangat membantu Anda memahami hasil dari jalannya pertempuran.

Semua tindakan memanggil pasukan dan mengaktifkan Spell akan menggunakan Mana. Permainan dimulai dengan 1 Mana, dan terus bertambah 1 mana pada setiap ronde. Jika Anda tidak melakukan apapun, Mana akan tersimpan sebagai tambahan untuk mengaktifkan Spell nantinya.

Attack Token baru berpindah tangan setelah sang pemilik memilih untuk End Round atau kehabisan Mana yang membuat dirinya jadi tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

Mekanik giliran permainan yang berganti-gantian ini juga menurut saya membuat Runeterra jadi terasa seperti pertarungan MOBA. Karena dalam MOBA Anda harus lihai dalam mengelola sumber daya yang Anda miliki, Skill ataupun Mana, begitupun seperti dalam Runeterra.

Apakah Runeterra Ramah Bagi Pemula?

Soal ini jadi penting dalam pembahasan sebuah game, terutama game CCG seperti Runeterra. Kerumitan permainan biasanya akan membuat pemain jadi mengurungkan niat mencoba. Apalagi genre CCG kerap dicap sebagai “game mikir”, yang membuat banyak pemain sudah malas di awal karena tidak ingin berpikir ketika main game.

Setelah membaca penjelasan saya di atas soal mekanik umum permainan, apakah Anda sudah pusing? Oh tenang, itu belum semuanya, karena semakin lama Anda bermain, semakin Anda harus menerima kenyataan bahwa Runeterra akan membawa Anda menyelam ke dalam mekanik yang rumit nan seru.

Walau game ini rumit, tapi saya masih bisa bilang bahwa Runeterra itu ramah bagi pemula. Salah satu alasannya karena usaha Riot Games menjelaskan cara main Runeterra lewat sajian satu set tutorial yang intensif.

Challenges yang membantu Anda mengenal berbagai macam efek Keywords di Runeterra.
Challenges yang membantu Anda mengenal berbagai macam efek Keywords di Runeterra. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Semua yang saya bahas di awal artikel akan diajarkan ketika Anda pertama kali login ke dalam game. Anda akan diajarkan apa itu Nexus, bagaimana cara menyerang dan bertahan, cara kerja Champion, Attack Token, apa itu Mana Point, serta cara mengaktifkan dan klasifikasi Spell.

Walau demikian, Runeterra mungkin tetap kurang menarik bagi gamers Indonesia, karena semua tutorial menggunakan bahasa Inggris (Riot pls, tambahkan opsi bahasa Indonesia jika ingin lebih banyak yang bermain Runeterra), dan mengharuskan pemain menyimak dengan seksama cara kerja permainan Runeterra.

Tetapi salut untuk Riot Games yang berusaha keras untuk mengajarkan mekanisme permainan Runeterra kepada pemainnya. Ketika Anda sudah masuk ke dalam permainan, pada menu Play, Anda bisa memilih menu Challenges yang berisikan satu kursus intensif untuk memahami cara kerja ragam kartu di Runeterra.

Pada bagian tersebut Anda akan diajari cara kerja berbagai Keywords, alias kata kunci dari efek kartu di dalam game. Misal, Challenge berjudul Overwhelming Force mengajarkan Anda cara kerja, dan efektivitas menggunakan kartu dengan kata kunci Overwhelm. Kartu dengan Overwhelm (Champion Darius contohnya) bisa memberi damage yang menembus ke arah Nexus jika punya selisih angka Power kartu penyerang dengan HP kartu bertahan.

Riot juga mendorong pemain untuk melakukan Challenge karena kita akan menerima hadiah XP untuk menaikkan progress rewards, yang nanti akan saya jelaskan pada bagian soal skema monetisasi Legends of Runeterra. Challenge baru juga akan selalu hadir, ketika Runeterra mengenalkan Keywords baru.

Contohnya pada saat update Rising Tides hadir saat perilisan resmi Runeterra mengenalkan region Bilgewater, Riot segera menghadirkan 4 Challenges baru: The Deep Dive untuk mengenalkan efek Keywords Deep, Plunder Pays untuk efek Keywords Plunder, Easy Pickings untuk mengenalkan Keywords Vulnerable, dan Barrel to Victory yang mengenalkan cara kerja mekanisme Powder Keg.

Jangan khawatir, apa yang ada di Challenges hanyalah permukaan dari keseluruhan ragam Keywords di dalam Runeterra. Karena hingga saat ini, kurang lebih ada sekitar 40 lebih Keywords di dalam Runeterra yang harus Anda pahami dan pelajari.

Sudah pening? Sama saya juga. Tapi tak usah khawatir, pada awal permainan Anda diberikan “Starter Deck” dari 6 region awal di Runeterra, untuk belajar cara main dan mengoptimalkan kartu-kartu dasar.

Mungkin satu yang kurang dari Challenges adalah ia tidak mengajarkan karakteristik dan interaksi antar-Region. Mekanisme Region merupakan cara game kartu Runeterra menceritakan dunia League of Legends. Hingga saat ini, ada 7 Region di dalam game kartu Runeterra, ada Bilgewater, Demacia, Freljord, Ionia, Noxus, dan Shadow Isle.

Masing-masing Region punya karakteristik masing-masing yang bisa dikombinasikan dengan Region lain. Contohnya jika Anda ingin buat musuh tak bisa gerak, Anda bisa kombinasikan Region Freljord yang bisa hentikan pergerakan musuh dengan Ionia yang juga punya banyak mekanik yang bikin musuh kelimpungan.

Tapi yang pasti, pengalaman bermain League of Legends juga akan membantu Anda untuk bisa memahami game ini dengan lebih cepat. Sudah bermain League of Legends sejak tahun 2012 lalu, membantu saya memahami gambaran cara kerja Champion. Jadi karena saya tahu bahwa Braum merupakan hero Tank yang hobi menahan serangan, maka saya sudah punya gambaran bagaimana memanfaatkan Braum dengan maksimal di Runeterra.

Hal lain yang membuat saya jadi lebih mudah memahami Runeterra mungkin adalah pengalaman saya main game kartu Yu-Gi-Oh di zaman PlayStation. Minimal, ketika mulai bermain saya bisa segera bergumam, “Oh ternyata game ini mirip Yu-Gi-Oh,” dan tak perlu bingung lagi.

Animasi Ciamik, Artwork Mengagumkan, dan Ragam Visual yang Memanjakan Mata

Oke Anda mungkin sudah cukup kelelahan membaca pembahasan mekanik permainan Runeterra yang awalnya sederhana, tapi menjadi semakin…membingungkan. Sedikit rehat, mari sejenak kita melihat bagaimana Riot menyajikan Legends of Runeterra secara audio dan visual.

Satu yang paling saya suka adalah bagaimana ketika Anda membuka permainan segera permainan dengan gambar Ashe berdiri di atas gunung es dengan matahari terbit di ufuk timur, sembari diiringi lagu dengan biola yang syahdu layaknya musik khas kerajaan elf di film kolosal Lord of the Ring.

Menu utama juga tak kalah nikmat dipandang. Pada satu waktu Anda akan dihadapkan dengan pemandangan Jinx di atap rumah melihat suasana kota Piltover di malam hari yang tenang. Pada waktu lain semangat Anda juga bisa dipicu dengan gambar Darius sedang meneriakkan teriakan perang kepada pasukan Noxus yang bersiap menjajah Region lain di Runeterra.

Menu utama yang kadang bisa membuat tenang tapi juga bersemangat untuk bertarung lewat artwork yang disajikan.
Menu utama yang kadang bisa membuat tenang tapi juga bersemangat untuk bertarung lewat artwork yang disajikan. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Artwork dari masing-masing kartu juga menjadi aspek visual lain di dalam Runeterra yang berhasil memanjakan mata. Jadi mungkin, jika Anda jemu bermain karena terus-terusan kalah, Anda bisa berhenti sejenak, membuka menu Cards, dan melihat Artwork dari masing-masing kartu. Terlebih, Artwork kartu juga dilengkapi dengan cerita yang semakin membawa Anda menyelami dunia Runeterra.

Satu kartu yang paling saya suka secara Artwork dan cerita adalah kartu Cithria of Cloudfield dari Region Demacia. Visual dan penjelasan kartu ini berhasil menyajikan suasana dari cerita seorang anak perempuan yang bercita-cita ingin menjadi pasukan tentara Demacia, karena mendengar cerita heroik sang ibu bertarung di medan perang membela nama kerajaan Demacia.

Sayang, sajian artwork memanjakan mata di Runeterra hanya terbatas pada Champion dan Followers saja. Pada kartu Spell, walau tetap menyajikan deskripsi yang memiliki cerita, namun visual yang disajikan terbilang cukup terbatas karena tidak menyajikan Artwork layar penuh layaknya pada kartu Champion atau Follower.

Artwork kartu disertai deskripsi yang tak hanya menyejukkan mata, tapi juga membantu kita mengenal cerita dunia Runeterra.
Artwork kartu disertai deskripsi yang tak hanya menyejukkan mata, tapi juga membantu kita mengenal cerita dunia Runeterra. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Hal berikut yang menurut saya tak kalah menggugah secara visual adalah animasi ciamik yang disajikan dalam Runeterra. Visual menggugah tersebut sudah juga sudah terasa sejak kita berada di menu utama. Transisi antar menu selalu dihiasi dengan animasi yang sederhana, namun sedap dipandang.

Melaju ke dalam pertarungan, menurut saya setidaknya ada dua hal dari sisi animasi yang membuat Legends of Runeterra jadi menggugah secara visual. Pertama adalah kehadiran Guardian yang interaktif menemani kita di kala duel sedang dilakukan.

Guardian sebetulnya bukan fitur yang mempengaruhi apapun di dalam permainan, melainkan hanya sekadar penyejuk mata yang menghiasi papan Anda. Lucunya, Guardian berisfat interaktif, yang akan beraksi jika Anda melakukan swipe atau tap di atasnya.

Guardian Poro yang dimiliki secara gratis misalnya, akan memberi respon mengambek atau menguap besar jika Anda tap di atas kepalanya secara cepat dan terlalu sering. Walau tidak membantu di dalam permainan, setidaknya Poro bisa menjadi pelipur lara di kala tangan Anda sedang jelek, atau musuh menunjukkan permainan yang mendominasi.

Selain dari Guardian, tambahan visual lain yang tak kalah menarik adalah Sticker dan juga skin untuk Board tempat Anda bermain. Sticker merupakan satu-satunya sarana Anda berkomunikasi dengan musuh. Biasanya ini digunakan untuk bercanda dengan musuh apabila ada momen menggemaskan di dalam permainan.

Skin Jinx's untuk Field
Skin Jinx’s Mayhem untuk Field yang tidak hanya ciamik secara visual, tapi juga diiringi dengan lagu yang menggambarkan karakter Champion Jinx. Sumber: tangakapan layar pribadi.

Skin untuk Board tempat bermain juga jadi visual lain yang memanjakan mata. Skin Board paling dasar adalah Summoner’s Riftt, namun Anda bisa membeli skin untuk Board ini, mulai dari yang bertemakan Region di Runeterra ataupun Champion tertentu. Setiap Board tak hanya memanjakan visual, tapi juga memiliki lagu khas dari masing-masing yang memanjakan telinga.

Sejauh ini Jinx’s Mayhem jadi skin Board favorit saya, karena tidak hanya nyentrik secara visual, tapi juga punya lagu tema bergenre dark-electro yang senada dengan kepribadian dari Champion Jinx.

Pay or Grind to Win?

Banyak yang beranggapan kalau game kartu biasanya pay-to-win. Anda yang sudah beberapa kali main atau punya teman yang main permainan TCG atau CCG mungkin sudah familiar dengan Booster Pack atau Loot Box, kotak gacha yang berisi kartu random. Menariknya Legends of Runeterra justru punya skema monetisasi yang cukup berbeda.

Mungkin Runeterra menjadi game kartu CCG yang tidak menggunakan sistem Booster Pack. Semua kartu di sini bisa dibeli dengan 3 pilihan mata uang, yaitu Wildcard, Shards, atau Coins (mata uang Premium). Wildcard dan Shards bisa didapatkan dengan cara bermain dengan rajin atau grinding.

Sumber utama Wildcard dan Shard datang dari Region Rewards. Region Rewards berfungsi kurang lebih seperti Battle Pass di Dota 2, yang punya banyak level, dan memiliki hadiah menarik setiap level-nya. Level Region Rewards bisa didapatkan dengan terus bermain.

Anda bisa mendapatkan XP saat Anda bermain, entah itu menang atau kalah, melakukan quest harian, atau memainkan Challenge. Namun jumlah XP yang didapatkan dalam satu hari ada batasnya. Jika sudah mencapai batas, Anda hanya akan mendapat sekitar 100 XP saja jika menang, dan tidak mendapat apapun ketika kalah.

Region Rewards yang bisa Anda ganti-ganti sesuai keinginan.
Region Rewards yang bisa Anda ganti-ganti sesuai keinginan. Sumber: tangkapan layar pribadi

Tak hanya itu, masih ada sumber lain yang memudahkan Anda untuk melengkapi koleksi kartu di dalam Runeterra. Ada Daily Login yang sudah menjadi ciri khas dari banyak game mobile, Weekly Vault yang sama-sama dikumpulkan melalui XP, dan terakhir adalah Expedition,

Expedition sendiri bisa dibilang seperti Draft Mode. Mode permainan Expedition bisa diikuti dengan menggunakan Coin, Shards, atau Expedition Token yang didapat dari Weekly Vault. Pada Expedition Mode Anda diminta membuat deck dari beberapa pilihan kartu yang disajikan oleh sistem. Setelah deck selesai, Anda akan diadu oleh pemain lain yang juga mengikuti mode ini. Semakin banyak menang, maka semakin bagus hadiah yang Anda terima. Sebaliknya, jika sudah 4 kali kalah, maka perjalanan Anda akan berhenti dan mendapat hadiah yang sedikit.

Riot Games sepertinya tidak omong kosong saat bicara ingin membuat Runeterra menjadi game kartu yang adil, baik bagi pemain free-to-play ataupun mereka yang investasi membeli kartu. Dengan sistem ini, pemain casual yang sifatnya free-to-play jadi masih punya dapat kesempatan untuk berkompetisi dengan pemain berbayar, asalkan mereka rajin bermain.

Terlebih, menjadi pemain berbayar juga tidak merugikan di dalam Runeterra. Karena pemain tidak perlu dipusingkan karena gacha di hari-hari yang kurang beruntung. Anda bisa dengan bebas membuat deck apapun dan langsung membeli kartu yang Anda butuhkan, tanpa perlu kerepotan mengais Loot Box atau Booster Pack.

Melihat mekanisme ini, sepertinya satu yang membedakan antara pemain gratis dengan pemain berbayar hanyalah waktu. Pemain gratis butuh waktu lebih lama untuk mendapat kartu yang ia inginkan, sementara pemain berbayar cukup satu kali klik (dengan bermodal Rupiah tentunya) untuk mendapat kartu.

Versi 1.0 yang Masih Banyak Kekurangan

Legends of Runeterra memasuki versi 1.0 saat dirilis pada 1 Mei 2020 kemarin. Walau sudah dirilis secara resmi, namun saya masih merasa Legends of Runeterra seperti berada dalam fase open-beta.

Kenapa? Karena memang menurut saya masih banyak fitur-fitur yang sebenarnya penting, namun belum dihadirkan dalam Legends of Runeterra. Beberapa fitur yang sempat jadi perbincangan di komunitas adalah ketidakhadiran match history, replay, statistics, dan spectate friend.

Memang 3 fitur tersebut menjadi sesuatu yang penting, apalagi jika bicara kesiapan Legends of Runeterra sebagai esports. Dalam kompetisi, terutama yang bersifat online, match history jadi satu-satunya bukti untuk melaporkan kemenangan. Walau sudah ada fitur untuk menantang teman yang ada di friend list, namun tanpa Match History kemenangan jadi tidak bisa dibuktikan.

Lalu selain itu, fitur seperti statistik, replay, atau spectate friend juga jadi fitur penting lain untuk menjadikan Runeterra sebagai game yang kompetitif. Statistik dan replay bisa membantu pemain untuk mempelajari permainannya sendiri.

Kapan ia salah langkah? Apa yang bisa diperbaiki dari kekalahan yang ia alami sebelumnya? Kartu apa yang tidak efektif dan harus diganti? Ketiganya menjadi beberapa hal yang bisa pemain lakukan dengan kehadiran fitur statistik dan replay.

Sementara spectate friend merupakan fitur penting untuk membuat pertandingan di Runeterra menjadi bisa ditonton oleh khalayak banyak. Karena jika kita bicara esports, kita tidak hanya bicara soal kompetisi saja, tetapi juga bicara soal bagaimana agar pertandingan tersebut bisa disajikan ke para penonton.

Sejauh ini, dari friend list Anda hanya bisa ngobrol lewat chat dan fitur challenges untuk menantang kawan bermain.
Sejauh ini, dari friend list Anda hanya bisa ngobrol lewat chat dan fitur challenges untuk menantang kawan bermain. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Terakhir, walau mungkin tidak sebegitu penting, namun saya merasa Legends of Runeterra masih kekurangan koleksi barang-barang kosmetik entak audio atau visual yang bisa dinikmati. Salah satu contohnya seperti jenis kosmetik Board, Guardian, dan Card Back yang masih terbilang terbatas. Ini tentunya diharapkan akan semakin bertambah seiring waktu, karena selain membeli kartu, item kosmetik juga jadi hal yang tak kalah penting dalam menambah kesenangan dalam pengalaman bermain.

Hal paling terakhir mungkin adalah soal optimasi grafis. Untuk saat ini sebenarnya optimasi grafis dari Runeterra sudah cukup baik, namun masih ada hal yang sebenarnya bisa lebih diperbaiki lagi. Salah satu contohnya adalah animasi saat Champion naik level.

Pada platform mobile, beberapa kali terjadi frame-drop saat Champion naik level, karena animasinya yang memang terlihat butuh komputasi grafis yang intensif. Hal lain dari optimasi grafis frame-rate untuk platform mobile. Legends of Runeterra sendiri merupakan game yang bersifat cross-platform antara PC dengan Mobile. Namun sayangnya frame-rate 60 fps untuk saat ini hanya tersedia untuk platform PC, sementara frame-rate platform Mobile dikunci pada 30 fps.

Kesimpulan

Pada akhirnya Legends of Runeterra mungkin menjadi satu-satunya CCG yang berhasil menghasut saya untuk mencoba, bahkan jadi ketagihan untuk memainkannya. Saya merasa setidaknya ada beberapa faktor yang membuat Runeterra jadi menarik bagi saya yang sebenarnya lebih suka permainan dengan tempo cepat seperti FPS dan MOBA. Faktor tersebut adalah:

  1. Tema League of Legends yang membuat saya pemain game tersebut jadi penasaran untuk mengetahui cerita dunia Runeterra lebih dalam lagi
  2. Gameplay interaktif bertempo cepat yang memungkinkan Anda untuk tetap melakukan sesuatu meski sedang bertahan
  3. Animasi ciamik dari pertarungan, yang kadang membuat saya lupa bahwa ini adalah game kartu
  4. Sistem Daily Login, Daily Quest, dan Region Rewards yang berhasil membuat saya termotivasi untuk terus main demi mendapat kartu-kartu baru dan memperkuat deck saya.
  5. Fitur Booster Pack dan Loot Box yang dihilangkan membuat pemain berbayar jadi tidak harus dipusingkan dengan Gacha.

Tapi bukan berarti Runeterra adalah game yang tanpa celah. Saya merasa masih ada beberapa kekurangan di dalam game ini, yang meski sedikit, namun cukup terasa. Beberapa di antaranya termasuk:

  1. Pilihan kosmetik yang masih terbatas.
  2. Belum ada pilihan high frame-rate untuk mobile.
  3. Mode Challenge yang kurang menjelaskan interaksi antar Region.
  4. Absennya fitur-fitur untuk kebutuhan esports pada versi 1.0 Legends of Runeterra seperti match history, replay, statistik, ataupun spectate friend.
  5. Kurangnya bahasa yang mungkin akan membuat pemain-pemain di Indonesia jadi enggan mencoba karena kesulitan mempelajari mekanisme permainan Legends of Runeterra yang cukup rumit.
  6. Banyaknya jumlah keywords, yang mungkin akan membuat permainan akan menjadi semakin rumit lagi nantinya.

Jadi apakah Runeterra patut dicoba? Menurut saya ini menjadi game yang sayang sekali untuk dilewatkan, apalagi bagi Anda pecinta League of Legends. Jika tidak main League of Legends sekalipun, game ini tetap patut dicoba karena menawarkan konsep yang cukup segar di dalam game bergenre CCG.