Startup Unik di Gelaran Jogja Geek Fair 2017

Jogja Geek Fair 2017 telah selesai diselenggarakan. Acara tahunan di kota Gudeg tersebut tahun ini diramaikan oleh banyak perusahaan digital dan startup, juga beberapa komunitas. Total kurang lebih 3018 geek dan tech enthusiast hadir meramaikan acara ini.

Dari 50 startup yang melakukan showcase berikut enam di antaranya yang tergolong unik dan berbeda.

Wemary

Sesuai namanya Wemary merupakan sebuah portal one stop service khusus untuk pernikahan.  Konsep dari Wemary adalah menyediakan layanan end-to-end dari proses pre-wedding hingga post-wedding, mulai untuk mempersiapkan acara, konsep dan vendor mereka.

Selain itu, Wemary juga memiliki layanan menayangkan secara langsung acara pernikahan di situs web yang dibuat khusus untuk pengantin. Jadi, teman atau keluarga yang tidak hadir bisa melihat langsung acaranya. Wemary sendiri juga sering terlibat dalam kegiatan sosial di Yogyakarta, yaitu “golek garwo” dan nikah masal yang bekerja sama dengan komunitas dan pemerintah setempat.

JuruParkir

Startup berikutnya adalah JuruParkir, aplikasi yang bisa membantu pengelolaan tempat parkir di sebuah lokasi. Dengan aplikasi ini pengelola tempat parkir bisa mengetahui siapa juru parkir yang bertugas dan beberapa transaksi yang terjadi. Setiap tukang parkir yang menggunakan layanan JuruParkir akan mendapatkan printer yang dapat dioperasikan melalui smartphone sehingga mempermudah mereka mencatat kendaraan dan pendapatan mereka.

JuruParkir dikembangkan oleh Tlab, sebuah software house di Yogyakarta. Dan saat ini, mereka fokus bekerja sama dengan pemerintah daerah. JuruParkir juga merupakan finalis dari The Next Dev 2016, besutan program Telkomsel.

Gablind

Startup ketiga yang menarik perhatian adalah Gablind. Startup ini menyediakan layanan Internet of Things (IoT) untuk mempermudah para tuna netra untuk menentukan arah ketika berjalan. Gablind merupakan nama perangkat bantu yang terdiri atas sebuah kacamata dan sepatu canggih yang dipasangi sensor dan terintegrasi dengan board Arduino yang dilengkapi dengan sensor tajam. Saat ini, Gablind masuk dalam inkubasi bisnis Amikom Business Park.

Blumbangreksa (ATNIC)

Startup IoT lainnya yang menarik perhatian adalah Blumbangreksa. Sebuah perangkat pintar yang bisa membantu para peternak udang untuk memonitor keadaan tambang udang 24 jam sehari sehingga mampu mengurangi risiko gagal panen yang merugikan.

Konsep Blumbangreksa ini adalah dengan memasukkan perangkat yang memiliki sensor untuk mengetahui kondisi air di tempat udang berada, dan menghubungkan dengan ponsel pintar. Sensor akan membaca kondisi kolam secara real-time, dan melaporkannya melalui notifikasi aplikasi ponsel dan SMS. Blumbangreksa ini juga merupakan kontestan The ASME Innovation Showcase di India.

JogjaRunning

Jika Anda memiliki hobi berlari maka JogjaRunning mungkin bisa membuat Anda tertarik. JogjaRunning merupakan sebuah portal layanan yang menyediakan rute menarik untuk berlari di wilayah Yogyakarta. Anda bisa memilih area lari seperti kota, alam terbuka, bahkan pegunungan. Selain itu pengguna juga bisa memilih jarak lari, seperti 5 km, 10 km atau marathon.

Angon

Startup ke enam yang unik adalah angon. Angon merupakan kata dari bahasa Jawa yang berarti menggembala. Sesuai dengan namanya aplikasi ini memiliki konsep crowdfunding yang memungkinkan para peternak kambing, domba dan sapi mendapatkan modal dari investor, baik dalam bentuk finansial maupun kandang ternak. Dua hal yang dinilai menjadi salah satu masalah utama peternak di Indonesia. Angon sendiri merupakan hasil inkubasi dari Indigo Creative Nation.

Selain showcase startup, terselenggara juga acara talkshow bersama Larry Chua (Caption Hospitality), Karina Akib (Google Indonesia), dan Erry Punta (Direktur Telkom Indigo Creative Nation) tentang Yogyakarta dan Perkembangan Digital Startup di Indonesia yang dipandu langsung oleh CEO DailySocial Rama Mamuaya.

Di sesi lainnya juga terdapat talkshow dengan tema yang berbeda yang menghadirkan Lanny Wijaya (Linkedin), Teresa (UC News Alibaba Group), Panji Gautama (KUDO Indonesia), Alexander Lukman (Ralali), Syafri Yuzal (AINO), Ghufron Mustaqim (Salestock Indonesia), Rahmad Purwanto (Bank Indonesia), dan Johnathan Tarigan (Balai Sertifikasi Negara).

Disclosure: DailySocial merupakan media partner dari Jogja Geek Fair 2017.

 

Bagaimana Perempuan Menjadi Bagian Sebuah Startup (Bagian 2)

Tulisan ini menjadi lanjutan dari artikel di tahun 2015 berjudul “Bagaimana Perempuan Menjadi Bagian Sebuah Startup”. Kala itu kami mewawancara tiga orang yang terlibat langsung dalam sebuah bisnis startup, dari sisi investor, pengembang bisnis dan juga developer. Dalam artikel tersebut dijabarkan beberapa hal teknis terkait keterlibatan perempuan dalam sebuah bisnis teknologi.

Dalam sebuah kesempatan, pada pagelaran Women in Tech yang diinisiasi oleh ADITIF (Asosiasi Digital Kreatif), sebuah diskusi terkait peran perempuan dalam industri teknologi dibahas. Kali ini fokus pada kultur kerja dan juga lingkungan yang berkorelasi dengan kenyamanan pekerja perempuan dalam bisnis teknologi, khususnya dalam ukuran startup.

Dalam kesempatan tersebut hadir GKR Hayu sebagai penanggung jawab TIK di Keraton Yogyakarta, Founder & CEO Fitinline Istofani Api Diany, Co-Founder & CEO JakPat Anggit Tut Pinilih dan CEO WeMarry Mugi Rahayu Wilujeng.

Salah satu yang melatarbelakangi diskusi ini adalah hasil survei Harvard Business Review (HBR) yang mengemukakan fakta untuk dalam industri teknologi. Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2016 tersebut, dituliskan perbandingan keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam industri teknologi adalah dua banding delapan. Hanya 9 persen dari total entrepreneur adalah perempuan.

Di sisi investasi pun juga angkanya sangat signifikan jaraknya. Data dari Entrepreneur.com mengemukakan 89 persen investor adalah laki-laki dan mereka berinvestasi pada (kebanyakan) perusahaan yang dikelola oleh laki-laki. Hanya 7 persen founder perempuan yang mendapatkan suntikan investasi dari venture capital.

Kultur yang menahun dianggap sebagai sebuah kepastian

Mengawali pemaparannya Hayu menceritakan pengalamannya masuk menjadi tim IT sebuah perusahaan perbankan diteruskan menjadi manajer produk di sebuah perusahaan pengembang game. Berbicara dari sisi kemampuan teknis, anggapan miring seputar kompetensi pekerja perempuan sudah sangat akrab ia terima. Hayu mengatakan masih sering menemui kebiasaan yang memposisikan perempuan selalu harus berada di role pekerjaan yang non-teknis. Itu jika berbicara dari sisi kapabilitas dan di lingkungan kerja menurutnya ada hal lebih mendasar yang justru mengganggu kemajuan karier perempuan di industri teknologi, yaitu lingkungan pekerjaan.

“Kantor di perusahaan IT sering kali kurang memberikan kenyamanan kepada perempuan. Hal ini terbangun secara alamiah karena umumnya perusahaan IT didominasi laki-laki. Sementara itu perempuan memiliki sifat kurang merasa aman ketika harus di lingkungan seperti itu,” ujar Hayu membuka diskusi.

Sebagai CEO, Anggit mengonfirmasi keadaan yang disebutkan dalam riset HBR di atas. Beberapa kali ia ketemu investor, tidak jarang yang menyampaikan sikap acuh dan underestimate. Namun jika dalam perspektif lingkungan kerja, karena di startup yang ia pimpin porsi jumlah perempuan dan laki-laki hampir seimbang, proses bisnis justru bisa saling melengkapi.

“Sering kali terjadi perbedaan pendapat terutama ketika mengembangkan produk. Karena tim pengembang laki-laki sering kali memfokuskan pada fitur, sedangkan perempuan lebih banyak mengulas tentang detail dan sudut pandang dari calon pengguna. Namun dari situ malah saling melengkapi,” ungkap Anggit menceritakan kultur kerja di kantornya.

Diskusi tentang Women in Tech dari Aditif

Edukasi perlu dilakukan dari sudut pandang laki-laki

CEO portal pernikahan WeMarry Mugi Rahayu Wilujeng atau akrab disapa Ajeng memberikan pendapat bahwa untuk meningkatkan awareness tentang kesetaraan ini, perlu dilakukan banyak kegiatan edukasi di sisi laki-laki. Kepekaan mereka dan mindset untuk bisa terbuka dinilai akan memberikan dampak signifikan pada meningkatnya persentase perempuan yang terjun dalam bisnis digital.

Istofani mengomentari hal yang sama. Kaitannya dengan kultur yang sudah terlanjur dianggap menjadi sebuah kebenaran, bahwa perempuan kurang pas jika harus berjibaku dengan urusan yang sangat teknis. Sulit untuk diubah, namun dengan memberikan role model yang banyak sedikit demi sedikit pandangan ini akan terkikis.

“Menariknya 90 persen customer Fitinline, yang banyak dinilai sebagai startup yang cewek banget, justru laki-laki. Ketika berhadapan dengan customer laki-laki so far tidak ada masalah. Justru ketika mereka mengetahui bahwa kita adalah perempuan, mereka dapat bersikap lebih lembut,” papar Istofani.

Pada akhirnya diskusi tersebut menyimpulkan bahwa dengan penempatan pada lingkungan yang baik (dalam startup teknologi) perempuan akan dapat berpartisipasi besar dalam proses pengembangan produk, khususnya pada bagian teknis. Kendati jumlahnya masih sangat sedikit, mengingat demand mahasiswi di bidang TIK juga tidak banyak, tantangan saat ini adalah menunjukkan panutan sebanyak- banyaknya tentang kisah sukses perempuan yang berkiprah di industri atau startup teknologi.