Rekap MPL ID Week 6 dan PMPL ID Week 2: Amukan Genflix Aerowolf dan Bigetron RA

Pekan lalu adalah pekan ke-6 bagi MPL Indonesia Season 7 dan pekan ke-2 bagi PMPL Indonesia Season 3. Dari sisi MPL ada Genflix Aerowolf yang sedang prima di pekan ini dan kemunculan bibit kebangkitan AURA Fire. Pada sisi PUBG Mobile, Bigetron RA menunjukkan amukannya pekan ini dengan penampilannya yang luar biasa. Berikut rekap dari MPL Indonesia dan PMPL Indonesia.

Rekap MPL Indonesia Season 7 Week 6

Pertandingan MPL pekan ke-6 dibuka dengan pertemuan antara Genflix Aerowolf melawan ONIC Esports. Awalnya ONIC Esports berhasil mendapatkan keunggulan, namun momentum tidak berhasil dipertahankan. Genflix Aerowolf bermain dengan sabar hingga akhirnya mereka merebut momentum tersebut dan dibalikkan menjadi kemenangan bagi Watt dan kawan-kawan. Momen tersebut terjadi di dua game berturut-turut, Genflix Aerowolf pun mengamankan kemenangan 2-0.

Pertandingan berikutnya adalah Alter Ego melawan EVOS Legends. Pekan lalu Alter Ego baru mengalami kekalahan yang cukup menyesakkan dalam pertarungan sengit melawan Genflix Aerowolf. Walaupun demikian Alter Ego memulai pekan pertandingan ini dengan semangat yang baru. Alter Ego tampil kuat dan percaya diri sehingga berhasil mencuri game pertama dengan cepat. EVOS Legends ternyata tidak gentar begitu saja. Kini gantian, giliran EVOS Legends tampil garang dan mencuri angka dari Alter Ego di game dua lewat pertandingan yang cukup panjang yaitu dengan durasi 21 menit. Alter Ego ternyata tidak berhasil bangkit di game ketiga. EVOS Legends pun segera melahap Celiboy dan kawan-kawan, memenangkan dan menyelesaikan permainan dalam 12 menit saja. EVOS Legends menang 2-1 atas Alter Ego.

Pertandingan hari kedua menampilkan RRQ Hoshi vs Geek Fam ID, AURA Fire vs Bigetron Alpha, dan EVOS Legends vs Genflix Aerowolf. Geek Fam sepertinya sedang underperform di pekan ini. Pada sisi lain RRQ Hoshi juga bermain solid dan percaya diri. Alhasil RRQ Hoshi berhasil melibas dua game dengan cepat, masing-masing di bawah 15 menit. RRQ Hoshi menang 2-0 atas Geek Fam ID.

Berlanjut ke pertandingan kedua, AURA Fire memunculkan bibit-bibit kebangkitan. Walau akhirnya AURA Fire akhirnya kalah, tapi mereka berhasil mengimbangi permainan Bigetron Alpha di game 1 dan membuat permainan berjalan hingga 23 menit. Sayangnya AURA Fire tidak berhasil mempertahankan momentumnya di game kedua. Bigetron Alpha pun merebut game 2 dengan cepat dalam durasi 13 menit. Bigetron Alpha pun menang 2-0 atas AURA Fire.

Pertandingan penutup di hari kedua adalah antara Genflix Aerowolf melawan EVOS Legends, serigala melawan harimau. Genflix Aerowolf sedang prima setelah kemenangan di hari pertama dan tidak terlihat akan menghentikan lajunya. EVOS Legends mendapat keunggulan di awal game pertama, bahkan mendesak hingga turret terdalam Genflix Aerowolf.  Walaupun begitu Rinazmi dan kawan-kawan tidak gentar, mereka membalikkan keadaan sampai turret milik EVOS Legends habis juga. Kondisi tersebut membuat Genflix Aerowolf semakin percaya diri sehingga mereka berhasil amankan game 1 di menit ke-27. Kepercayaan diri Genflix Aerowolf semakin memuncak di game kedua. Mereka pun berhasil mengamankan kemenangan cepat yaitu 13 menit saja di game kedua. Genflix Aerowolf menang 2-0 atas EVOS Legends..

Pertandingan hari terakhir adalah antara Bigetron Alpha vs Geek Fam ID. Bigetron Alpha tampil sangat kuat di game 1, bahkan berhasil mencuri angka dalam durasi 11 menit saja. Namun Bigetron Alpha tampak sedikit lengah di game kedua sehingga membuat Geek Fam mencuri balik kemenangan dalam durasi yang lebih cepat lagi yaitu 10 menit 40 detik. Bigetron Alpha bangkit lagi di game ketiga. Keunggulan di fase awal mereka manfaatkan dengan baik. Mereka pun memenangkan permainan di menit 12 dalam satu kali dorongan Lord saja.

Pertandingan penutup di pekan ini adalah antara RRQ Hoshi melawan AURA Fire. AURA Fire memunculkan kejutan dengan menghadirkan Facehugger di dalam line-up pemain. Kejutan tersebut tidak terlalu terasa di game pertama, karena RRQ Hoshi bermain solid dan memenangkan game 1 dalam 11 menit. Namun kehadiran Facehugger sepertinya memberi energi positif kepada AURA Fire.

Permainan mereka membaik di game kedua dan bahkan mencuri kemenangan dari RRQ Hoshi setelah satu kali dorongan Lord dan usaha paksa menghancurkan base di menit 14. Setelah 6 pekan MPL ID Season 7 berjalan, AURA Fire akhirnya berhasil mencuri 1 poin kemenangan setelah secara berturut-turut kalah 0-2 di pertandingan-pertandingan pekan sebelumnya. Momentum kemenangan AURA Fire bertahan hingga game ketiga.

Walau RRQ Hoshi merebut keunggulan di fase awal permainan sampai hampir menjebol turret dalam milik AURA Fire, namun god1va dan kawan-kawan bertahan dengan kuat dan tenang hingga berhasil menjebol satu turret dalam di lane atas pada menit 13. AURA Fire berhasil membuat turret dalam RRQ Hoshi botak di menit 21, namun RRQ Hoshi berhasil merebut Lord beberapa menit setelahnya. Lord ternyata menjadi akhir bagi perjuangan AURA Fire di pekan ini. RRQ Hoshi pun memenangkan pertandingan dengan skor 2-1 atas AURA Fire.

Rekap PMPL Indonesia Season 3 Week 2

Pertandingan PMPL Indonesia kini sudah memasuki pekan kedua. Bigetron RA tampak seperti telah selesai dengan “pemanasan” yang dilakukan di pekan lalu dan menggila pekan ini. Hal tersebut terlihat sejak dari babak weekdays di mana Ryzen, Zuxxy, Luxxy, dan Liquid berhasil mendapatkan 4 WWCD dari total 10 pertandingan yang mereka jalani. Ketika tidak mendapatkan WWCD, Bigetron RA bahkan masih mendapatkan posisi top 3 di 2 pertandingan lainnya dengan jumlah kill yang lumayan.

BOOM Esports menjadi pesaing terberat mereka di pekan kedua kemarin. Hijrah dan kawan-kawan Hungry Beast berhasil menempel di peringkat kedua, walau mereka hanya dapat 3 kali WWCD dan sempat 2 kali Too Soon di peringkat 14. EVOS Reborn terlihat tampil kurang prima di babak weekdays pekan ini. Total poin yang mereka kumpulkan menempatkan Microboy dan kawan-kawan di peringkat 9. Terlepas dari itu, EVOS Reborn tetap berhasil lolos ke babak Super Weekend. Selain tim-tim tersebut, tetap ada empat tim yang tidak lolos dari babak Weekdays. Pekan ini ada ONIC Esports, TAKAE, MORPH Team, dan 69 Esports yang tidak lolos ke babak Super Weekend.

Masuk babak Super Weekend, Bigetron RA menggila lagi. Walau cuma mendapatkan 3 kali WWCD saja tapi permainan mereka begitu konsisten terutama hingga ronde ke-8. Kalaupun tidak WWCD, Bigetron RA masih berhasil mendapatkan peringkat ke 2 atau 3 dengan perolehan poin yang lumayan. Dengan segala jerih payah mereka, Bigetron RA berhasil mengumpulkan total 197 poin dari Super Weekend ke-2 ini.

Pesaing berat mereka adalah Genesis Dogma Gids. Walau penampilan mereka tergolong kurang konsisten, namun GD Gids berhasil dapatkan satu kali WWCD dengan beberapa kali posisi bagus di top 5. Walau berhasil menempel posisi Bigetron RA di peringkat 2, namun GD Gids hanya mendapatkan total 117 poin saja di akhir Super Weekend ke-2, terpaut 80 poin dari Liquid dan kawan-kawan.

Setelah Super Weekend ke-2 selesai, kini ada Bigetron RA di peringkat 1 (292 poin) , EVOS Reborn di peringkat 2 (228 poin), dan BOOM Esports di peringkat 3 (221 poin) dari klasemen keseluruhan sementara PMPL Indonesia. PMPL Indonesia Super Weekend ke-2 kemarin menunjukkan bagaimana Bigetron RA ternyata masih tampil kuat walau harus mengalami sedikit perubahan di dalam roster tim. Kira-kira, akan bagaimana PMPL ID pekan ke-3 nanti? Mampukah tim-tim lain menyaingi buasnya permainan dari Bigetron RA?

Jasa Coaching Esports di Indonesia: Diperlukan atau Dilupakan?

Esports coaching platform adalah fenomena besar di luar negeri sana, terutama di negara-negara barat. Penyedia jasanya bahkan bukan cuma pemain atau pelatih esports profesional saja, tetapi juga termasuk pemain amatir yang memiliki rank tinggi. Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Dalam artikel ini saya berbincang dengan manajemen RRQ Academy dan mantan pelatih EVOS AOV yaitu Priyagung “Ruichen” Satriono untuk mengupas bagaimana kondisi ladang bisnis esports coaching di Indonesia.

Sebelum menuju pembahasan tersebut, mari kita melihat terlebih dahulu bagaimana perkembangan esports coaching platform di luar negeri.

 

Esports Coaching di Luar Negeri: Mulai dari Dilatih Manusia sampai Dilatih oleh AI

Jasa coaching atau pelatihan atau kursus dalam ranah gaming dan esports berkembang pesat di negara-negara barat. Dalam perkembangannya, jasa kursus gaming dan esports di negara barat bahkan sampai melibatkan teknologi (baik AI ataupun software khusus) demi memenuhi kebutuhan pasar. Tetapi memang, kebutuhan jasa coaching gaming dan esports tidak berkembang secara tiba-tiba. Saya merasa hal tersebut terjadi karena memang berlatih bermain game sudah lama diperkenalkan di wilayah barat, terutama Amerika Serikat.

Nintendo Game Play Counselor mungkin adalah kasus pertama yang menjadi bibit terciptanya kebiasaan kursus belajar bermain game. Pada tahun 80an, menamatkan game seperti Mario Bros atau Zelda tergolong sulit. Apalagi informasi tips dan trik serta guide belum dapat diakses mudah seperti pada era internet sekarang. Ditambah lagi, kebanyakan pemain game tersebut juga adalah anak-anak berusia 8-13 tahun.

Sumber Gambar - Twitter @ArtofNP
Nintendo Game Play Counselor yang ditampilkan dalam dokumenter di dalam Netflix. Pekerjaan sebagai Game Play Counselor bisa dibilang menjadi bibit-bibit jasa game coaching yang populer saat ini. Sumber Gambar – Twitter @ArtofNP

Karenanya, Nintendo menciptakan Game Play Counselor untuk “melatih” anak-anak tersebut agar bisa melewati bagian sulit dari suatu permainan. Pemain cukup menelpon nomor hotline yang disediakan, mengutarakan di bagian game mana mereka mengalami kesulitan, lalu para Counselor akan mengajari serta memberi tips untuk melewati bagian sulit tersebut.

Kini semua hal tersebut mungkin bisa teratasi dengan menonton video YouTube atau membaca artikel tips dan trik. Namun ternyata jasa coaching tersebut tetap dibutuhkan, salah satunya mungkin karena kehadiran fenomena esports.

Apabila Anda pergi ke fiverr.com (situs penyedia jasa freelance), tulis “gaming coach” di boks pencarian, Anda bisa menemuan sekitar 192 (48 penyedia jasa di 4 halaman pencarian) lebih penyedia jasa yang akan melatih Anda bermain game (entah itu catur, VALORANT, Overwatch, sampai Roblox). Harganya pun beragam, mulai dari US$5 (sekitar Rp72 ribu) sampai US$25 (sekitar Rp425 ribu). Apabila Anda mencari yang lebih spesifik, misalnya “League of Legends coach”, jumlah penyedia jasanya malah bisa lebih banyak lagi.  Sejauh penemuan saya, pencarian “League of Legends coach” berisi sekitar 528 penyedia jasa (48 penyedia jasa di 11 halaman).

Seperti tadi saya sebut, harga jasa pelatih di fiverr beragam. Beda harga juga beda pelatih dan beda pelatihan yang diberikan. Contoh jasa coaching US$5 dari Vahele misalnya. Dengan harga tersebut, Vahele hanya mengajarkan hal-hal dasar seperti map awareness, cara last-hit yang efektif, warding, dan lain sebagainya. Vahele juga hanya seorang pemain League of Legends dengan rank Diamond saja.

Ada juga jasa coaching League of Legends seharga US$50. Sosok yang menawarkan jasa tersebut juga berbeda. Pelatihnya adalah seseorang dengan nickname Nalu yang sudah punya 7 tahun pengalaman melatih League of Legends dan sempat melatih tim Origen juga.  Dengan harga US$50, Anda cuma dapat satu jam pelatihan, namun dengan isi pelatihan yang lebih mendalam. Dari laman fiverr miliknya, Anda akan mendapat pelatihan makro (map awareness misalnya) yang lebih mendalam, pelatihan mikro (mekanik Champion misalnya), bahkan sampai pelatihan mental serta tips cara berlatih yang efisien.

Di luar dari fiverr, ada juga berbagai platform yang menyediakan jasa coaching game dan esports. Salah satu yang besar mungkin adalah GamerzClass.com dan Proguides.com. Esports coach platform biasanya menggunakan sistem pembayaran berlangganan. GamerzClass memiliki biaya langganan sebesar US$9.99 per bulan. Dengan harga tersebut, GamerzClass menjanjikan pelatihan dari pemain-pemain profesional seperti N0tail dari tim OG Dota 2 atau Jensen dari Team Liquid League of Legends. Tetapi melihat dari laman resminya, bentuk pelatihan yang diberikan sepertinya hanya video online course yang bisa Anda tonton untuk belajar.

Harga yang dikenakan untuk berlangganan GamerzClass. Sumber Gambar - GamerzClass website
Harga yang dikenakan untuk berlangganan GamerzClass. Sumber Gambar – GamerzClass website

Proguides.com menawarkan harga yang lebih murah, yaitu US$7.99 yang ditagih secara tahunan. Dengan biaya yang lebih murah, Proguides.com menawarkan jasa yang tergolong lebih banyak. Selain dari video online course yang bisa ditonton, Proguides.com juga menawarkan sesi konsultasi dari para pelatih. Mengutip dari laman resminya, sesi konsultasi dibatasi sekitar 4 jam setiap bulannya. Di luar dari jasa coaching online yang berbayar, Proguides.com juga menawarkan beberapa konten-konten tips dan trik yang bisa diakses gratis via YouTube.

Proguides.com dan GamerzClass.com masih memanfaatkan jasa dari pemain lainnya untuk menyediakan pelatihan. Selain itu, ada juga esports coaching platform yang memanfaatkan teknologi. Beberapa contohya seperti Gosu.ai, aplikasi Aim Lab, atau bahkan Dota Plus. Platform tersebut mungkin tidak bisa sepenuhnya disebut coaching platform, namun tiga program tersebut tetap merupakan sebuah platform yang dapat digunakan oleh pemain untuk bermain lebih baik.

Harga yang dikenakan untuk menikmati esports coaching platform Proguides.com. Sumber Gambar - Website Proguides.com.
Harga yang dikenakan untuk menikmati esports coaching platform Proguides.com. Sumber Gambar – Website Proguides.com.

Gosu.ai misalnya, menggunakan teknologi AI dan API yang disediakan oleh game terkait. Dengan menggunakan dua teknologi tersebut, pemain yang sudah memiliki akun akan diberi informasi detil dari permainan sebelumnya yang sudah dianalisis. Saya sempat menggunakan Gosu.ai agar dapat bermain PUBG (PC) dengan lebih baik. Setiap kali selesai permainan, Gosu.ai akan memberi data yang berisikan di area mana dan berapa lama Anda bertahan hidup, tingkat akurasi senjata yang Anda gunakan, ke bagian tubuh mana saja tembakan Anda mendarat, dan lain sebagainya.

Aim Lab berbeda lagi. Aim Lab bersifat sebagai sebuah training platform yang fungsinya untuk melatih kemampuan pemain menggunakan mouse untuk membidik musuh di game FPS.  Berhubung hanya training platform, Anda harus berlatih sendiri di Aim Lab. Namun Aim Lab menyediakan beragam porsi latihan yang dibutuhkan untuk melatih aspek-aspek kemampuan menembak. Misalnya untuk berlatih flickshot, Anda akan diberikan tantangan untuk menembak satu target ke target lain dengan cepat. Lalu untuk melatih akurasi, target akan datang lebih lambat namun ukurannya jadi kecil sekali.

Dota Plus berbeda lagi. Dota Plus mungkin bisa dibilang satu-satunya training platform yang disediakan oleh pihak pertama yaitu Valve sendiri sebagai developer game Dota 2. Mirip seperti Gosu.AI, Dota Plus akan menyediakan data-data mendalam yang dapat membantu pemain membuat keputusan dalam memenangkan permainan. Data-data yang diberikan seperti termasuk harus pakai hero apa, skill apa yang harus dinaikkan, item apa yang harus dibeli, dan lain sebagainya. Dota Plus dijual seharga US$3.99 setiap bulan yang juga berisi berbagai macam kosmetik untuk mempercantik beberapa aspek di dalam permainan.

 

Melihat Lanskap Bisnis Esports Coaching di Indonesia: Terbentur Sumber Daya dan Perkara Edukasi Market

Dari sedikit penjelasan deskriptif saya di atas, Anda bisa melihat sendiri banyaknya tawaran dari berbagai pihak terhadap jasa pelatihan gaming (entah dalam bentuk pelatih berupa pemain profesional atau dalam bentuk program yang menyajikan data-data) di luar sana. Banyaknya penawaran jasa coaching sedikit banyak bisa menggambarkan tingkat permintaan jasa coaching gaming dan esports di sana. Lalu bagaimana dengan pasar lokal Indonesia sendiri?

Esports 2.0 di Indonesia sendiri bisa dibilang baru mulai berkembang pesat sekitar 3 sampai 4 tahun belakangan. Karena itu, membayar untuk jasa coaching di bidang gaming dan esports mungkin masih dirasa asing. Sejauh yang saya tahu, baru ada dua buah esports coaching platform yang ada di Indonesia. Dua platform tersebut adalah RRQ Academy dan juga Aegis.gg. Di luar dari dua esports coaching platform tersebut, ada juga beberapa sosok pelatih esports yang menjajakan jasa pelatihan secara freelance.

Untuk menakar kondisi serta potensi bisnis jasa esports coaching di pasar lokal, saya mencoba menghubungi manajemen RRQ Academy dan Priyagung “Ruichen” Satriono sebagai dua narasumber. RRQ Academy diwakili oleh Ajeng Hendarmin selaku Head of RRQ Academy dan Ahmad Zaki Zunnuroin selaku Head of Curriculum RRQ Academy. Lalu Priyagung “Ruichen” Satriono sendiri sebelumnya merupakan salah satu sosok di balik layar dari kesuksesan EVOS AOV. Setelah EVOS AOV bubar, Agung (panggilan akrab Ruichen) kini sedang mencoba menjajaki bisnis jasa esports coaching secara freelance untuk game genre MOBA secara umum.

Pertama-tama saya mewawancara manajemen RRQ Academy terlebih dahulu. Saya menanyakan terlebih apa itu RRQ Academy secara umum. Setelahnya lalu dijelaskan oleh Ajeng dan Zaki. “RRQ Academy adalah semacam tempat kursus yang dibuat dengan harapan untuk meningkatkan standar kualitas pemain esports di Indonesia. Dibuatnya RRQ Academy sendiri sebenarnya juga bisa dibilang sebagai cara bagi kami untuk memberikan kembali bagi komunitas RRQ ataupun komunitas game secara umum.”

Berhubung Ajeng dan Zaki mengatakan bahwa RRQ Academy adalah lembaga kursus, maka para calon murid pun harus membayar sejumlah uang apabila ingin mengikuti kelasnya. Berapa biaya yang dibayarkan? Ajeng dan Zaki mengatakan bahwa biaya untuk kelas reguler adalah Rp199.000 per orang. RRQ Academy memiliki beberapa tingkatan harga bagi para pesertanya.

Sumber Gambar - Website RRQ Academy
Pendaftaran bahkan kini sudah masuk gelombang ke-12. Sumber Gambar – Website RRQ Academy

Mengutip laman resminya, Kelas Reguler (di website diberi nama Kelas Semi-Pro) memiliki harga lain yaitu Rp250.000, Rp385.000, Rp460.000, dan Rp750.000. Semua tingkatan memiliki kurikulum yang sama, namun dengan benefit yang berbeda. Untuk harga Rp250.000, kursus menyertakan sertifikat cetak dan lanyard. Harga Rp385.000 menyertakan jersey RRQ Academy dengan custom nickname. Harga Rp460.000 menyertakan jersey custom nickname beserta sertifikat cetak, sementara harga yang terakhir yaitu Rp750.000 ditujukan untuk tim.

Dengan patokan harga yang cukup tinggi untuk pasar Indonesia, kira-kira berapa jumlah peminat jasa coaching yang disediakan oleh RRQ Academy sendiri. Ajeng dan Zaki tidak bisa menyebut angka pastinya, namun kurang dan lebihnya jumlah pendaftar RRQ Academy sendiri sudah mencapai angka ribuan menurut mereka.

Sebagai gambaran lain antusiasme calon peserta terhadap kelas RRQ Academy, kita mungkin bisa juga melihat sudah sampai di gelombang ke berapa dari masing-masing kelas. Saat ini RRQ Academy membuka kelas untuk empat game: MLBB, Wild Rift, PUBG Mobile, dan Free Fire. MLBB sudah menutup kelas gelombang ke-10 dan 11, Wild Rift baru akan memulai kelas gelombang pertama, PUBG M sudah menutup kelas gelombang ke-5 dan Free Fire telah menutup pendaftaran kelas gelombang ke-2. Dari jumlah gelombangnya, kita bisa melihat langsung bagaimana antusiasme para pemain terhadap jasa esports coaching ternyata cukup tinggi.

Lebih lanjutnya Ajeng dan Zaki juga menjelaskan. “Sejauh pengamatan saya, kebanyakan tim yang mengikuti turnamen semi-profesional itu bersedia membayar jasa esports coaching. Namun memang bagi kebanyakan tim yang masih bersifat swadaya, soal biaya itu sendiri adalah tantangannya. Karena itu kelas RRQ Academy memang sengaja kami rancang memiliki harga yang terjangkau. Jadi, walau sifatnya bukan privat, tetapi kami berharap murid-muridnya di sini jadi punya akses untuk berdiskusi dengan para pelatih yang profesional.”

Lalu apa saja yang diajarkan RRQ Academy kepada para murid-muridnya? Ajeng dan Zaki bercerita bahwa ilmu, pengalaman, serta tips dan trik game hanyalah satu bagian pengajaran saja. “Selain itu kami juga memberi materi komunikasi tim dan juga materi nilai profesionalisme sebagai persiapan mereka apabila terjun ke kancah profesional. Selain dari itu, RRQ Academy juga memasangkan pendaftar yang bersifat individual ke dalam satu tim.”

Ajeng dan Zaki juga menjelaskan bahwa isi pengajarnya adalah pelatih dari tim esports aktif, mantan pemain profesional, dan juga analis. Namun satu yang patut disadari, walau semua pengajar yang jadi pelatih punya pengalaman yang bagus dalam memahami permainan, kemampuan mengajar bisa dibilang sebagai kemampuan terpisah yang belum tentu dimiliki orang-orang tersebut.

Terkait hal tersebut manajemen RRQ Academy pun menceritakan. “Satu hal yang pasti, sebelum kelas dimulai, jajaran pengajar RRQ Academy akan saling tukar pikiran terlebih dahulu. Tukar pikiran tersebut membahas soal hal apa yang bisa diberikan kepada para murid nantinya. Kalau terkait ‘cara mengajari’, kebanyakan pelatih yang ada di RRQ Academy sendiri sudah memiliki kemampuan tersebut.” Tuturnya.

Menutup pembahasan, saya sendiri penasaran dengan cerita-cerita sukses dari para peserta RRQ Academy serta pendapat manajemen terhadap prospek serta tantangan bisnis jasa esports coaching. Dalam hal cerita sukses, manajemen RRQ Academy berkata bahwa sudah ada beberapa murid yang mencapai sesuatu setelah lulus dari RRQ Academy.

“Ada yang namanya Cello, dia pernah menjadi peserta Esports Star Indonesia. Ada juga beberapa nama yang masuk tim, walau mungkin bukan yang tier 1 seperti ‘Raja‘ yang sekarang membela XCN di MDL. Beberapa yang lain ada juga yang menjadi bagian RRQ pada divisi RRQ Streamers. Tetapi memang, untuk saat ini, belum ada satupun lulusan akademi yang tembus rekrutmen tim utama RRQ ataupun tim profesional lainnya.” Tutur manajemen RRQ Academy. Dalam hal potensi, manajemen RRQ Academy menjawab, “saya merasa bisnis jasa esports coaching punya prospek yang sangat menjanjikan walau tantangannya adalah jumlah sumber daya manusia untuk melatih yang masih belum banyak.”

Setelah selesai dengan RRQ Academy, narasumber berikutnya adalah Priyagung “Ruichen” Satriono. Sosok Ruichen sendiri memang sudah punya pengalaman yang malang melintang sebagai pelatih, walau lingkupnya mungkin hanya AOV saja. Dirinya bersama EVOS AOV telah berhasil membawa tim tersebut memenangkan liga AOV Indonesia (ASL) selama beberapa musim berturut-turut dan membawa timnas AOV Indonesia mendapatkan medali perak di SEA Games 2019. Setelah EVOS AOV bubar bulan Oktober 2020 lalu, Ruichen pun melanjutkan karirnya sebagai pelatih, namun kini sebagai freelance yang menyediakan jasa esports coaching game MOBA secara umum kepada tim.

Berbeda dengan RRQ Academy yang bergerak sebagai satu divisi, Ruichen hanya seorang diri di sini. Mungkin karena hal tersebut juga, jumlah orang yang mengikuti jasa esports coaching dari Ruichen cenderung lebih sedikit. “Kalau ditanya soal demand coaching di Indonesia, menurut gue sih sedikit. Mungkin karena menurut para penggunanya masih terlalu mahal juga. Kalau ditanya berapa orang yang pernah ikut kelas coaching dari gue, yang jelas masih di bawah 100 orang.”

Satu yang saya cukup penasaran sebenarnya mungkin adalah soal orang yang menggunakan jasa pelatih esports tersebut. Apabila kita mundur ke tahun 2018 lalu, sempat ada fenomena ketika banyak orang tua di Amerika Serikat mempekerjakan esports coach untuk melatih anaknya bermain Fortnite. Hal tersebut sepertinya agak tidak mungkin terjadi di Indonesia, mengingat beberapa orang tua Indonesia juga belum bisa menerima fenomena esports. Tetapi, apakah ada orang yang menggunakan jasa pelatihan hanya agar dapat bermain lebih baik saja?

Dalam kasus Agung, dirinya menceritakan bahwa pernah ada orang seperti itu yang menggunakan jasa pelatihannya. “Kalau ditanya siapa yang menggunakan jasa coaching gue, kebanyakan adalah pemain yang ingin naik ke jenjang karir pemain profesional. Kalau pemain casual yang sekadar ingin naik rank sih ada, tapi sejauh perjalanan gue sendiri baru ada satu orang saja.”

Selanjutnya saya juga menanyakan soal biaya yang dikenakan agar dapat dilatih oleh seorang Ruichen. “Coaching dari gue sendiri memiliki rate harga sekitar Rp350 ribu sampai 500 ribu setiap sesi. Dalam satu sesi bisa berjalan selama 1,5 sampai 3 jam, tergantung dari kesepakatan awal antara saya dengan tim/orang yang ingin dilatih. Semisal tim/orang tersebut ingin rutin dilatih beberapa sesi dalam setiap bulan, rate harga tentu masih bisa nego nantinya.” Tuturnya.

Di luar dari itu, saya juga sedikit berdiskusi soal berapa harga yang pas untuk sebuah sesi esports coaching. Pada kasus RRQ Academy kita bisa melihat sendiri bahwa mereka sudah hampir mendapatkan ribuan peserta dengan harga Rp200.000. Harga tersebut lebih murah ketimbang jasa esports coaching milik Ruichen yang harganya sekitar Rp350 ribu namun hanya dalam sesi satu jam saja.

Sumber: Agung "RuiChen" pelatih divisi AOV dari tim EVOS Esports.
Sumber: Agung “RuiChen” pelatih divisi AOV dari tim EVOS Esports pada zamannya.

“Kalau soal harga coaching, jujur ini sih gue masih kurang tahu ya. Tetapi menurut pengamatan gue, kebanyakan orang saat ini masih cenderung memandang rendah soal pentingnya pemahaman sebuah game. Orang-orang hanya berpikir untuk sekadar main saja.” Tutur Agung memberi pendapatnya.

Lebih lanjut, Agung juga menjelaskan soal metode pelatihannya. “Ada beberapa tim yang gue ajari dari hal yang paling mendasar: seperti soal tanggung jawab, tujuan, serta maksud dari pemain profesional itu sendiri. Semisal yang minta dilatih adalah tim profesional (sempat diminta oleh tim luar negeri), biasanya mereka lebih butuh vod review sama konsultasi saja. Namun demikian, hari pertama latihan akan tetap gue ajari hal dasar seperti itu juga. Kalau ditanya bagaimana metode gue dalam melatih, mungkin penjelasaannya begini. Ibarat mau makan, gue cuma menyediakan piring, nasi, sendok, dan memberi tahu bagaimana caranya makan. Tetapi apabila ingin makan, maka orang itu (pengguna jasa coaching) harus makan sendiri, bukan disuapi.”

Terakhir menutup perbincangan kami, saya juga menanyakan pendapatnya soal potensi masa depan bisnis esports coaching di Indonesia? “Kalau di Indonesia sepertinya masih susah.” Ucapnya membuka pembahasan.

“Kalau di luar negeri, potensinya sudah sangat besar. Di luar negeri sana sudah banyak sekali platform jasa esports coaching. Lalu kalau dalam kasus gue sendiri, gue bahkan sempat dapat client dari luar yang minta dilatih langsung dengan share-screen sembari gue memantau dan memberi tahu dia skill apa yang harus digunakan. Jadi sebetulnya kalau ditanya bagaimana potensi jasa coaching untuk jadi bisnis di masa depan, menurut gue potensinya ada aja. Cuma sepertinya kalau untuk saat ini belum cocok untuk dijadikan sebagai pekerjaan utama. Menurut gue, Indonesia masih butuh lebih banyak edukasi soal jasa coaching dan konsultasi esports ini. Soalnya gue merasa masih banyak yang memandang remeh perkara mental dan pentingnya konsultan.” Jawab Agung menutup perbincangan.

 

Pada Akhirnya

Apabila melihat dari penjelasan dua narasumber terkait, bisnis esports coaching sepertinya punya posisi yang menarik. Pada satu sisi, esports yang kini sedang melaju pesat di Indonesia sepertinya memang berhasil menciptakan keinginan para penontonnya untuk mencapai posisi yang sama seperti sosok-sosok yang ditontonnya. Minat untuk menjadi pemain esports yang tinggi secara tidak langsung mungkin meningkatkan minat untuk menggunakan jasa coaching esports. Salah satu contoh hal tersebut mungkin bisa kita lihat dari sisi RRQ Academy. Menggunakan nama besar RRQ di Indonesia, RRQ Academy cenderung menarik minat lebih banyak orang untuk menggunakan jasa esports coaching.

Pada sisi lain, apa yang dikatakan oleh Agung mungkin ada benarnya. Jasa coaching esports berbayar bisa dibilang sebagi bisnis jasa yang masih baru di ekosistem gaming/esports Indonesia. Karenanya masih butuh lebih banyak edukasi lagi kepada calon penggunanya, agar dapat memahami pentingnya jasa coaching seperti apa yang diberikan oleh Agung.

Lalu, apakah biaya menjadi masalah? Apabila melihat penjelasan Agung serta manajemen RRQ Academy beberapa pengguna jasa coaching esports sebetulnya tidak terlalu mempermasalahkan biaya. Pada RRQ Academy misalnya, kelas tersebut bahkan kini sudah mencapai pendaftaran gelombang ke-12 walau punya banderol harga jasa sebesar Rp199.000. Begitu juga dengan jasa coaching esports yang ditawarkan Agung. Dengan banderol harga yang ditetapkan, ia masih bisa mendapatkan banyak orang yang ingin menggunakan jasa esports coaching yang diberikan.

Bagaimana dengan potensi masa depan bisnis platform atau jasa coaching esports? Saya di sini mencoba menggabungkan pendapat manajemen RRQ Academy dan Agung. Jawabannya mungkin adalah, potensinya ada namun masih butuh dikembangkan lebih lanjut dengan cara edukasi seraya menambahkan kuantitas dan kualitas sumber daya pelatih di esports sendiri.

Sumber Gambar Utama – DotEsports

Review Razer Blackshark V2 Pro Wireless: Lebih Garang Dari Razer Biasanya

Menjadi yang terbaik di ranah gaming kompetitif terkadang bukan hanya butuh kemampuan saja. Apabila sudah punya bekal kemampuan bermain yang hebat, melengkapi diri dengan berbagai perlengkapan terbaik juga tak kalah penting untuk mengurangi peluang kekalahan. Ibaratnya, tentara dengan kemampuan paling hebat tentu akan butuh persenjataan yang lebih baik juga.

Ketika bicara gaming kompetitif, kebutuhan perangkat terbaik bukan hanya dari sisi mouse atau keyboard saja. Produk audio yang mumpuni juga tak kalah penting, mengingat bermain game adalah kegiatan yang tidak hanya mengutamakan respon visual tapi juga respon audio. Kali ini saya dipinjamkan satu unit headset gaming Razer Blackshark V2 Pro. Kira-kira, sebagus apa headset yang diberi julukan sebagai “The Sound of Esports” ini?

Setelah beberapa saat saya menggunakannya untuk berbagai aktivitas gaming dan produktivitas sehari-hari, jujur saya cukup kagum dengan kemampuan reproduksi suara ataupun kualitas produk ini secara keseluruhan. Lebih lengkap dan tanpa berlama-lama lagi, berikut hasil ulasan saya untuk Razer Blackshark V2 Pro.

 

Produk Razer yang Terasa “Kurang Razer”

Apa yang Anda ingat apabila saya mengatakan produk peripheral gaming buatan Razer? Warna hijau mencolok dan LED RGB warna-warni yang manis dari teknologi Razer Chroma mungkin jadi dua hal paling khas yang akan Anda ingat dari produk buatan Razer. Menariknya, dua hal tersebut tidak hadir sedikitpun di dalam Razer Blackshark V2 Pro. Karenanya saya mengatakan bahwa produk ini terasa kurang Razer.

Razer Blackshark V2 Pro ini seperti ingin menunjukkan kesan serius dan terlihat ingin menyasar segmentasi gamer esports. Pada Razer Blackshark V2 X dan Razer Blackshark V2, Anda masih bisa melihat elemen warna hijau khas Razer pada kabel ataupun earcup. Namun Razer Blackshark V2 Pro memberi warna seluruh material headset dengan warna hitam doff, mulai dari bagian headband yang terbuat dari kulit sintetis, kabel-kabel yang bersifat detachable, hingga bagian earcup yang terbuat dari plastik. Walau berwarna hitam doff, kedua bagian tersebut tetap memiliki branding Razer berupa logo ular khas yang dibuat reflektif pada bagian earcup dan tulisan Razer di bagian headband.

Branding Razer yang terselubung di bagian headband dari Razer Blackshark V2 Pro. Foto oleh Akbar Priono - Hybrid.co.id
Branding Razer yang terselubung di bagian headband dari Razer Blackshark V2 Pro. Foto oleh Akbar Priono – Hybrid.co.id

Lalu apa kabar dengan LED RGB? Elemen tersebut juga absen dari headset ini. Satu-satunya bagian yang memancarkan cahaya lampu hanyalah indikator on-off yang ada di bawah kiri headset saja, warnanya bahkan biru standar bukan hijau khas Razer.

Seperti yang saya sebut barusan, headset ini terlihat ingin menyasar gamer esports profesional. Karena segmentasi yang dikejar, Blackshark V2 Pro tampil sangat serius bahkan sampai-sampai menghilangkan warna hijau yang jadi ciri khas. Bentuknya sekilas juga mirip seperti headset untuk komunikasi di dalam helikopter yang mungkin tidak keren bagi beberapa kalangan gamers.

Walaupun headset Blackshark V2 Pro terlihat kurang keren, namun Razer menyajikan material solid yang membuatnya terasa premium ketika dipegang. Lalu bagaimana rasa material-material tersebut ketika dikenakan. Kesan saya saat pertama kali menggunakan headset tersebut adalah niqmaaat

Beberapa kontrol yang ada di sisi kiri headset. (Dari atas ke bawah) ada tombol power, on-off microphone, micro-usb untuk charging, jack 3.5mm untuk audio output, dan jack 3.5mm untuk detachable mic.
Tampak dekat bantalan headset dan beberapa kontrol yang ada di sisi kiri. (Dari atas ke bawah) ada tombol power, on-off microphone, micro-usb untuk charging, jack 3.5mm untuk audio output, dan jack 3.5mm untuk detachable mic. Foto oleh Akbar Priono – Hybrid.co.id.
Sisi kiri headset tanpa mic.
Sisi kiri headset tanpa mic.
Sisi kiri headset dengan mic.
Sisi kiri headset dengan mic.

Terlepas dari bentuknya yang garang, headset ini ternyata terasa ringan saat dikenakan di kepala. Usut punya usut, Razer memang merancang Blackshark V2 Pro jadi bersifat lightweight dengan bobot sebesar 320 gram saja. Pelapis cushion atau bantalan headset terbuat dari kain. Mengutip dari laman resmi Razer, kain tersebut dirancang menggunakan teknologi Flowknit untuk meminimalisir rasa panas yang terasa apabila kita menggunakan headset dalam jangka waktu lama.

Setelah saya mencobanya, ternyata benar. Saya sempat mengenakan headset selama kurang lebih 5 jam non-stop. Selama durasi tersebut, saya tidak merasakan panas ataupun clamping (rasa terjepit di area kepala) yang berlebihan. Panas tetap ada, begitupun rasa berat di telinga setelah penggunaan durasi yang lama. Tapi seperti yang saya bilang, rasanya tidak berlebihan dan masih sangat bisa ditoleransi. Dalam hal clamping, Razer sendiri memang menggunakan memory foam sebagai isi bantalan headset yang membuatnya terasa empuk di telinga.

Tampak jelas dari apa saja yang ada di dalam box Razer Blackshark V2 Pro. (Dari kiri ke kanan) Micro-USB untuk charging, unit headset, USB Wireless 2.4 Ghz, dan detachable 3.5mm untuk audio output.
Tampak jelas dari apa saja yang ada di dalam box Razer Blackshark V2 Pro. (Dari kiri ke kanan) Micro-USB untuk charging, unit headset, USB Wireless 2.4 Ghz, dan detachable 3.5mm untuk audio output.

Selain itu isolasi yang diberikan headset cushion juga tergolong cukup kedap. Ketika saya menggunakan headset, suara di sekitar jadi berkurang mungkin sekitar 30% dari biasanya. Suara yang besar akan tetap tembus ke dalam headset, tetapi suara kecil seperti suara hujan di luar kamar cenderung jadi tidak terdengar dengan isolasi yang diberikan oleh bantalan headset.

Sedikit kekurangannya mungkin adalah posisi headset yang kadang melorot apabila digunakan dalam durasi waktu yang lama. Tetapi patut diketahui bahwa hal tersebut terjadi bukan semerta-merta hanya gara-gara headset-nya saja. Bisa jadi memang ukuran kepala saya yang cenderung lebih kecil, sehingga hal tersebut terjadi. Melorotnya headset juga tergolong tidak berlebihan, hanya perlu menaikkan sedikit saja headset-nya.

Setelah mengulas soal material dan kulit luar si Blackshark V2 Pro, mari kita beralih ke urusan suara Blackshark V2 Pro.

 

Suara Menggelegar THX Spatial Audio dan Razer Triforce Titanium

Kalau harus menjelaskan bagaimana suara Razer Blackshark V2 Pro dalam satu kalimat, jawaban saya adalah “suaranya sangat membohongi”. Sebelum menjelaskannya, satu yang patut diketahui juga bahwa Razer menawarkan dua jenis audio output.

Anda bisa menggunakan jack 3.5mm untuk menikmati audio output driver sang headset yaitu Razer Triforce Titanium 50mm. Anda juga bisa menggunakan USB Wireless 2,4 Ghz untuk bisa menikmati audio output dari DAC eksternal milik Razer dan bantuan software THX Spatial Audio. Selain itu sebagai tambahan informasi juga, sejujurnya ini adalah kali pertama saya menulis ulasan sebuah produk audio. Walaupun begitu, saya mengamati betul kualitas produk audio yang saya miliki dan juga sedikit banyak mengikuti perkembangan hobbyist audio melalui beberapa forum.

Oke, saatnya kembali ke pembahasan. Lalu kenapa suaranya membohongi? Maksud bohong di sini bukan dalam artian negatif, tetapi maksudnya begini. Sesaat setelah menerimanya unit review-nya, saya langsung menggunakan si Blackshark V2 Pro untuk mendengarkan musik sembari menyelesaikan artikel-artikel saya di Hybrid.co.id.

Razer Hyperspeed Wireless yang menggunakan teknologi radio 2.4 Ghz.
USB untuk menghubungkan headset dengan PC yang menggunakan Razer Hyperspeed Wireless berteknologi radio 2.4 Ghz.

Pada percobaan pertama, jujur saja, rasanya kecewa berat mendengar kualitas reproduksi suara yang dihasilkan Razer Blackshark V2 Pro. Kualitas suaranya tidak jelek, hanya saja tidak mencerminkan banderol harga Rp2,999 juta yang ditawarkan oleh headset tersebut. Ketika baru keluar dari kotak, reproduksi suara yang dihasilkan cenderung v-shape, hanya kuat di sisi bass dan treble, cempreng, dan cenderung lemah dari sektor suara mid (biasanya suara vokal).

Hari demi hari berlalu, saya pun mulai merasa “dibohongi” karena suaranya berubah ke arah yang lebih baik. Seiring dengan waktu, treble cempreng yang menusuk jadi terkendali. Kini sektor mid mulai mengimbangi sehingga suara artikulasi vokal jadi semakin jelas. Sektor bass tetap kuat, namun berkat sektor mid yang meningkat, suara bass-nya jadi bergaung nikmat (sedikit boomy) namun tetap mendentum (tetap punchy) pada saat mendengarkan musik-musik rock keras yang punya suara bass drum cepat.

Deskripsi suara di atas saya rasakan pada saat saya menggunakan audio output berupa jack 3.5mm (ke laptop ataupun smartphone) dan menggunakan Razer Hyperspeed Wireless 2.4 Ghz untuk mendengar musik. Lalu bagaimana dengan gaming? Blackshark V2 Pro pun kembali membuat saya kagum pada saat digunakan untuk gaming.

Saya mencobanya dalam dua skenario. Skenario pertama adalah gaming di PC dengan menggunakan USB wireless. Skenario kedua adalah gaming di mobile dengan menggunakan jack 3.5mm.

Selain untuk gaming PC, Razer Blackshark V2 Pro juga menyediakan output jack 3.5mm yang bisa digunakan untuk gaming mobile ataupun konsol.
Selain untuk gaming PC, Razer Blackshark V2 Pro juga menyediakan output jack 3.5mm yang bisa digunakan untuk gaming mobile ataupun konsol.

Untuk gaming PC, saya mencoba memainkan game VALORANT sembari menggunakan teknologi THX Spatial Audio. Pada percobaan skenario pertama, awalnya saya berpikir bahwa software tidak akan sebegitu signifikan membantu memberi pengalaman audio yang imersif saat bermain game. Ternyata saya salah besar. THX Spatial Audio tidak hanya membuat reproduksi suara jadi lebih menggelegar, tetapi juga memberi reproduksi titik suara yang akurat.

Hanya bermodal audio dari Blackshark V2 Pro, saya segera bisa mengetahui di mana posisi musuh berdasarkan dari suara step yang mereka keluarkan. Reprduksi suara tidak hanya memberi informasi dari arah mana (kiri/kanan/depan/belakang) lawan akan datang, tetapi juga bisa memberi informasi jarak (jauh atau dekat) posisi lawan. Selain itu, bantuan software pada Blackshark V2 Pro Wireless juga tergolong terasa natural, tidak artificial seperti penambahan gaung-gema berlebihan seperti pada beberapa headset gaming pada kelas harga low-end.

Lalu bagaimana dengan skenario percobaan yang kedua? Untuk percobaan kedua saya mencoba bermain PUBG Mobile di smartphone dengan menggunakan jack 3.5mm. Saya pun kembali berdecak kagum kedua kalinya saat mencoba Blackshark V2 Pro untuk bermain PUBG Mobile. Kemampuan headset untuk memberi informasi arah serta jarak musuh ternyata tetap bertahan walaupun menggunakan jack 3.5mm berarti hanya mengandalkan driver milik headset saja.

Biasanya suara langkah musuh akan saling bertabrakan apabila saya bermain PUBG Mobile dengan menggunakan audio output dari earphone atau IEM. Blackshark V2 Pro dengan driver Razer Triforce Titanium 50mm ternyata berhasil mengatasi masalah tersebut. Walaupun saya melakukan hot-drop (turun di kota ramai seperti Pochinki) Blackshark V2 Pro berhasil membagi suara dengan detil. Karena headset yang saya gunakan, saya jadi tahu kondisi sekitar dengan cukup detil, berapa orang musuhnya, di mana dan seberapa jauh posisinya.

Terakhir soal mikrofon. Masih dari laman resmi Razer, dikatakan bahwa Blackshark V2 Pro menggunakan teknologi Hyperclear Supercardio Mic. Pada saat saya mencobanya, ternyata mikrofon dari Razer ini tergolong tidak sebegitu istimewa walau suaranya sebenarnya tetap bagus. Selama masa work from home, saya rutin ngobrol online dengan kawan menggunakan Discord. Ketika berganti ke Blackshark V2 Pro, saya bertanya kepada kawan-kawan saya bagaimana suaranya, dan banyak yang mengatakan bahwa hasil suaranya tidak sebegitu beda jauh. Memang agak sulit dalam membicarakan kualitas suara yang dihasilkan dari mikrofon, karenanya Anda bisa melihat video dari reviewer di bawah ini untuk mengetahui bagaimana hasil suara mikrofon dari Razer Blackshark V2 Pro.

Bagaimana dengan teknologi wireless-nya? Jawabannya satu kata, “flawless”! Saya hampir tidak pernah merasa ada delay sedikitpun pada saat menggunakan Blackshark V2 Pro, baik saat digunakan untuk mendengarkan musik ataupun bermain game. Jarak wireless-nya juga cukup jauh. Saya sempat mencoba meletakkan laptop di ruangan yang berbeda dengan posisi saya dan suara ke headset masih jelas, lancar, dan tidak putus-putus.

 

Razer Synapse dan Beragam Kustomisasinya

Seperti biasanya, selain dari segi hardware, Razer juga menawarkan kecanggihan dari sisi software lewat Razer Synapse. Walaupun tidak ada LED RGB pada headset ini, namun Razer Synapse tetap menawarkan kustomisasi yang sangat luar biasa terhadap audio output ataupun input dari Blackshark V2 Pro.

Anda bisa edit sendiri arah suara hasil reproduksi software THX Spatial Audio apabila Anda masih merasa kurang cocok dengan pengaturan default. Selain edit sendiri, Razer Synapse juga menyajikan beberapa preset untuk Anda yang tidak mau pusing. Selain itu Razer Synapse juga memberikan pengguna kebebasan untuk menentukan bagaimana output suara dari si headset. Ada fitur Enhance Bass, Normalization, Voice Clarity, dan Equalizer yang masing-masing bisa diatur kuantitasnya. Saya sempat mencoba fitur Voice Clarity, namun suara headset justru jadi cenderung kurang nikmat. Suara treble kembali menusuk tajam. Walau hal tersebut membantu kita untuk bisa mendengar suara orang berbicara dengan lebih jelas, tetapi cenderung terasa tidak enak jika digunakan untuk gaming.

Dari sisi audio input, Anda bisa mengkustomisasi volume mikrofon, Enhancement Vocal Clarity, bahkan juga punya mic equalizer. Fitur ini juga sempat saya coba-coba, tetapi kebanyakan kawan Discord saya malah mengatakan suara saya cenderung tidak berubah banyak ketika saya menggunakan fitur-fitur tersebut.

Walau Razer Synapse punya berbagai kustomisasi, jujur saya merasa Razer Blackshark V2 Pro sudah sangat baik kualitas suaranya tanpa tambahan kustomisasi apapun. Namun demikian, saya rasa kustomisasi dari Razer Synapse tetap jadi nilai tambah yang bagus

 

Kesimpulan

Apakah Razer Blackshark V2 Pro sudah mencerminkan kualitas dari banderol harga sebesar Rp2,999 juta yang ditawarkan? Jawabannya adalah iya, mulai dari sisi material yang digunakan, hingga reproduksi suara yang dihasilkan baik dari sisi DAC eksternal (USB Wireless) serta THX Spatial Audio sebagai software enchancement eksternal ataupun suara murni dari Razer Triforce Titanium 50mm Drivers.

Tetapi kalau pertanyaannya apakah Blackshark V2 Pro ini patut dibeli, jawabannya tetap tergantung dari prefrensi Anda masing-masing.

Dalam ranah competitive gaming, saya merasa Blackshark V2 Pro ini jadi patut dibeli karena menciptakan reproduksi suara yang sangat luar biasa ketika digunakan untuk gaming. Seperti yang saya ceritakan di atas, Blackshark V2 Pro mampu pinpoint arah dan jarak suara dengan akurat.

Kemampuannya untuk pinpoint arah dan jarak suara bahkan tidak terbatas hanya saat digunakan dengan USB Wireless saja, tetapi juga ketika digunakan dengan jack 3.5mm di smartphone. Razer Blackshark V2 Pro juga tergolong sudah cukup enak digunakan untuk mendengarkan musik, walau kualitasnya bisa jadi kalah dengan headset atau headphone yang memang diciptakan untuk pecinta audio.

Walau punya material kokoh dan reproduksi suara yang bagus, Blackshark V2 Pro memang bisa jadi kurang apik penampilannya. Bagi sebagian orang, headset hitam polos tanpa ornamen led RGB itu bisa jadi jelek. Bentuknya juga tergolong kuno bagi sebagian orang karena terlihat seperti headset untuk berkomunikasi di helikopter. Tapi apabila Anda memang suka dengan penampilan minimalis nan profesional, bentuk dan warna hitam doff Blackshark V2 Pro itu justru bagus dan elegan.

Sekian ulasan saya terhadap Razer Blackshark V2 Pro Wireless. Semoga ulasan ini dapat membantu untuk menentukan headset yang akan Anda beli untuk memenuhi kebutuhan gaming ataupun produktivitas sehari-hari.

Sang Director Ceritakan Kisah di Belakang Layar Pembuatan Karakter Street Fighter

Nama Street Fighter mungkin sudah menjadi ikon dalam ranah game fighting. Salah satu alasannya adalah karena game tersebut jadi pionir di genre fighting. Pertama kali diciptakan tahun 1987 untuk mesin arcade, seri Street Fighter bahkan masih bertahan hingga kini, sekitar 34 tahun dari game tersebut pertama dibuat. Mempertahankan ciri khas dan kesuksesan sebuah game dalam jangka waktu yang begitu panjang tentu bukan proses mudah.

Street Fighter V, iterasi ke-32 dari Street Fighter, sudah ada sejak 2016 lalu. Beberapa bulan lalu, Street Fighter V baru merilis Season 5 yang berisi beberapa karakter dan konten baru. Mengutip dari InvenGlobal, Takayuki Nakayama selaku Director of Street Fighter V pun berbagi seputar proses pembuatan karakter Street Fighter V.

Takayuki Nakayama telah terlibat di dalam pengembangan seri Street Fighter selama 9 tahun. Takayuki pun bercerita soal bagaimana tim pengembang Capcom menyajikan sebuah karakter (baik karakter lama atau karakter baru) ke dalam Street Fighter V. Ia berkata bahwa proses pembuatannya mempertimbangkan banyak faktor, mulai dari aspek teknis seperti struktur gerakan dan strategi bermain satu karakter, sampai kepada aspek kreatif seperti kepribadian ataupun asal muasal sang karakter.

Sumber Gambar - Capcom Official YouTube.
Takayuki Nakayama pada saat menjelaskan Summer Update tahun 2020 lalu. Sumber Gambar – Capcom Official YouTube.

“Kami melakukan riset dan review atas rekaman pertandingan dari suatu karakter untuk melihat ragam gerakannya. Bersamaan dengan hal tersebut, kami juga memikirkan bagaimana perjalanan karakter itu sejauh ini, bagaimana mereka (karakter-karakter yang dibuat) bisa punya cerita yang tersambung dengan masa lalu ataupun masa depan dari dunia Street Fighter. Kombinasi dua aspek tersebut lah yang menjadi proses tersajinya berbagai karakter di dalam Street Fighter V.”

Takayuki juga menambahkan bahwa dirinya dan tim juga mempertimbangkan hal apa yang mungkin dilakukan dengan grafis 3D yang diusung SF V saat ini. Hal tersebut mengingat Street Fighter terdahulu dibuat dengan grafis 2D yang menampilkan visual ala kartun.

Setelahnya, Takayuki pun bercerita secara lebih detil soal tantangan dan peluang dalam membuat karakter terbaru yang hadir di Season V yaitu Dan, Rose, Oro, serta Akira.

Dalam menciptakan karakter yang konyol seperti Dan, Takayuki bercerita bahwa salah satu proses yang paling banyak dikerjakan adalah membuat ekspresi wajah. “Kami banyak menempatkan usaha kami dalam membuat ekspresi wajah seorang Dan Hibiki, mempersiapkan animasi wajah sedihnya, dan juga mempersiapkan efek unik yang akan muncul ketika Dan melakukan sesuatu, contohnya seperti gerakan Legendary Taunt.”

https://twitter.com/StreetFighter/status/1371899146580398089

Selain soal wajah dan gerakannya, Takayuki juga menceritakan sedikit soal penciptaan kostum milik Dan. Takayuki bercerita, dalam membuat kostum Dan, ia dan tim mencoba memikirkan cerita latar dari sang karakter seraya berusaha menonjolkan personalita seorang Dan Hibiki. Karenanya, ada kostum alternatif yang terlihat casual karena hubungan karakter Dan Hibiki dengan Blank serta Sakura. Selain itu, warna alternatifnya juga dibuat untuk mengingatkan pemain dengan sosok ayah seorang Dan Hibiki yaitu Gou hibiki yang diceritakan meninggal di beberapa seri Street Fighter sebelumnya.

Berikutnya soal Rose. Karakter tersebut sudah sempat muncul di beberapa seri Street Fighter. Walau begitu, Takayuki menceritakan bahwa mereka tetap membuat ulang karakter tersebut agar sesuai dengan zaman. “Kami ingin karakter Rose menampilkan kesan bermartabat dan kalem. Karenanya kami sangat teliti dengan gerakan-gerakannya, berusaha membuat berbagai elemen gerakannya tetap mempertahankan kepribadian tersebut.” Ucap Takayuki kepada InvenGlobal.

Capcom sendiri menggunakan teknologi motion capture dalam menciptakan gerakan-gerakan karakter di Street Fighter V. Membahas hal tersebut, Takayuki mengatakan bahwa mereka banyak melakukan diskusi pada saat memperagakan sebuah gerakan karakter. Dalam prosesnya, bukan hanya tim kreatif Capcom yang memikirkan gerakannya, para profesional yang bekerja sebagai aktor mo-cap terkadang juga turut memberi saran soal bagaimana suatu gerakan dilakukan.

“Selain itu juga, kami kerap mengundang martial artist profesional ke dalam tempat syuting. Kehadiran sosok profesional tersebut sangatlah membantu kami, terutama untuk memberi pengetahuan tambahan bagi tim developer. Lalu selain itu, apabila Anda sadar, beberapa gerakan terlihat tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa. Karenanya, kami juga menggunakan kabel besi atau memecah satu gerakan ke dalam beberapa gerakan kecil saat melakukan motion capture.”

Menutup perbincangan antara Takayuki Nakayama dengan InvenGlobal, sosok Director of Street Fighter V tersebut juga membicarakan soal pembuatan Oro dan Akira. Dalam hal Oro, Takayuki berkata bahwa menciptakan karakter tersebut sangatlah sulit. Salah satu alasannya adalah karena penggemar fanatik karakter tersebut dari game Street Fighter sebelumnya. Alasan lainnya adalah karakter Oro yang bertarung dengan satu tangan saja di ruang 2D menciptakan kesulitan teknis tersendiri pada saat tim developer ingin menuangkannya ke dalam ruang 3D.

Dalam hal Akira, Takayuki justru mengatakan bahwa menciptakan karakter tersebut tergolong lebih mudah walau karakter tersebut datang dari game lain. “Karena Rival Schools: United by Fate masih tersambung dengan dunia SF, maka membuat karakter tersebut jadi tidak terlalu sulit. Rasanya sangat menyenangkan sekali bisa menyertakan sebuah elemen yang akan diapresiasi oleh para penggemar seri Rival Schools.” Tuturnya.

Season Pass 5 dari SF V sendiri sebenarnya sudah tersedia sejak dari bulan Februari 2021 lalu. Terlepas dari itu, wawancara terhadap Takayuki Nakayama sendiri tentunya menjadi gambaran bagaimana menghadirkan sebuah karakter bukan proses mudah yang melibatkan aspek teknis dan aspek kreatif.

Rekap MPL ID Week 5 dan PMPL ID Week 1: Kejayaan Tim-Tim Kuda Hitam

Esports Indonesia menjadi semakin panas pekan ini. Selain kehadiran MPL Indonesia (MLBB), akhir pekan ini ada juga PMPL Indonesia (PUBG Mobile) yang sudah memasuki musim ketiganya. Dua liga tersebut memunculkan satu cerita yang mirip pekan ini, tim-tim kuda hitam yang berjaya. MPL ID punya Genflix Aerowolf yang kembali mencuat saat lawan Alter Ego dan kehadiran pertandingan Royal Derby antara RRQ Hoshi vs ONIC Esports. PMPL ID pekan perdana juga menampilkan cerita yang sama. Dimulai dari mencuatnya VOIN V88 dan Genesis Dogma di laga weekdays, sampai BOOM Esports yang kembali mendapatkan permainan terbaiknya di babak Super Weekend.

Rekap MPL Indonesia Season 7 Pekan ke-5

Akhir pekan lalu (26-29 Maret 2021) menjadi pekan ke-5 dari Mobile Legends Profesional League Indonesia Season 7. Hari pertandingan pertama menyajikan pertemuan Bigetron Alpha vs Genflix Aerowolf dan Geek Fam ID vs Alter Ego.

Genflix Aerowolf kembali harus menelan kekalahan 0-2 walau telah mencoba melakukan berbagai hal. Namun memang, apa yang dilakukan Genflix Aerowolf pekan kemarin tergolong eksperimental lewat percobaan strategi “Diggie feeder”.

Pertandingan kedua ada Geek Fam ID menghadapi lawan berat yaitu Alter Ego. Geek Fam ID mungkin memang sedang dapat tempo permainannya sejak pekan lalu, tetapi Alter Ego masih kuat dan konsisten belakangan ini. Geek Fam ID telah mencoba dengan berbagai cara, mulai menggunakan hero andalan tim seperti Uranus untuk RenV sampai melakukan percobaan dengan memainkan Natalia untuk Frzz. Tetapi apa mau dikata, permainan pun berakhir dengan skor 2-0 untuk Alter Ego.

Hari pertandingan kedua dibuka dengan pertemuan ONIC Esports melawan AURA Fire. Chang’e yang dimainkan oleh CW dari ONIC Esports terbukti menjadi momok di dua pertandingan yang terjadi. Pada sisi lain, AURA Fire kali ini juga mencoba sedikit eksperimental dengan memainkan hero Selena. Terlepas dari semua percobaan, AURA Fire kembali harus tertekuk cepat dengan skor 0-2, kali ini oleh ONIC Esports.

Pertandingan kedua adalah antara RRQ Hoshi melawan Bigetron Alpha. Pertemuan yang satu ini agak sulit ditebak, karena keduanya tergolong masih sama-sama meraba line-up dan META terbaiknya. Tetapi RRQ Hoshi tampil kuat pekan ini sehingga mereka berhasil amankan skor 2-0. Pada sisi lain, Bigetron Alpha sepertinya sedang kurang prima pekan ini. Hal tersebut terlihat dari salah satu pemain andalannya yaitu Branz, yang beberapa kali melakukan kesalahan yang terlihat sepele namun penting bagi kemenangan tim.

Pertandingan terakhir di hari kedua adalah antara Genflix Aerowolf melawan Alter Ego. Pertemuan kedua tim tersbut cukup tidak terduga. Genflix Aerowolf memaksa permainan imbang hingga skor jadi 1-1 dari best of 3. Padahal Genflix Aerowolf baru kalah 0-2 di hari sebelumnya sementara Alter Ego menang 2-0. Genflix Aerowolf semakin mengamuk lagi di game ketiga. Keunggulan yang mereka dapat di awal permainan terus menggulung menjadi besar layaknya bola salju sampai base Alter Ego hancur cepat di menit 11:46. Genflix Aerowolf pun memenangkan seri pertandingan melawan Alter Ego dengan skor 2-1.

Pertandingan hari ketiga adalah pertemuan antara AURA Fire vs EVOS Legends dan The Royal Derby antara RRQ Hoshi vs ONIC Esports. Momen unik terjadi di game kedua antara AURA Fire vs EVOS Legends. Entah tidak sengaja atau memang strategi, AURA FIre secara mengejutkan tidak membawa Retribution di game kedua. Tapi terlepas dari percobaan tersebut, EVOS Legends tetap tampil solid dan berhasil mendapat kemenangan penuh dengan skor 2-0.

Royal Derby kali ini adalah pertemuan yang kedua antara ONIC Esports dengan RRQ Hoshi. Terakhir kali, ONIC Esports berhasil menang 2-0. RRQ Hoshi tidak terpengaruh dengan hasil yang didapat sebelumnya dan tetap main lepas di pertandingan kali ini. Game 1 dimenangkan RRQ Hoshi di menit 17:46. Ketika itu RRQ Hoshi amankan keunggulan awal, namun ONIC Esports bertahan dengan kuat. Game 2 kembali berjalan alot, walau RRQ Hoshi lagi yang berhasil amankan kemenangan di menit 23:12. Ketika itu ONIC Esports berhasil amankan keunggulan di fase awal, namun RRQ Hoshi berhasil lepas dari belenggu sehingga mereka bisa membalikkan keadaan.

Rekap PMPL ID Season 3 – Super Weekend 1

Selain pertandingan MPL Indonesia, akhir pekan lalu juga menjadi pertandingan perdana dari PUBG Mobile Pro League Indonesia Season 3 (PMPL ID Season 3). Seperti biasa, pertandingan liga pertandingan dibuka dengan weekdays match di hari Kamis dan Jumat, lalu ditutup dengan match Super Weekend di hari Sabtu dan Minggu.

Pekan pertama PMPL memang kerap menjadi kejutan bagi para penonton. Beberapa tim yang sebelumnya terlihat biasa saja, mencuat memuncaki klasemen sementara. Pada laga weekdays, ada Genesis Dogma GIDS dan VOIN V88 yang muncul ke permukaan.

Dengan nama, logo, dan semangat baru, VOIN V88 berhasil tampil dengan konsisten. Walau cuma mengamankan 2 Chicken Dinner sepanjang laga weekdays, tetapi mereka konsisten berada di 5 besar pada beberapa ronde selanjutnya. Pada sisi lain, GD GIDS yang kini diasuh oleh Bennymozza juga tampil impresif di laga weekdays. Chicken Dinner mereka memang cuma satu, tapi mereka berhasil tiga kali konsisten di posisi runner-up dan beberapa kali bertahan di posisi 5 besar. Pada sisi lain, RRQ Ryu dan MORPH Team yang kini memainkan roster baru ternyata masih belum menemukan tempo terbaiknya. Mereka berdua pun gagal lolos ke Super Weekend bersama 69 Esports dan Geek Fam ID.

Babak Super Weekend pun tidak kalah menarik. Lagi-lagi, tim yang di musim sebelumnya tidak terlalu mendominasi mencuat ke permukaan. Super Weekend kali ini menampilkan BOOM Esports dan Bonafide yang tampil konsisten sehingga berhasil mengamankan peringkat 1 dan 2. BOOM Esports mengamankan 3 kali Chicken Dinner sepanjang 12 ronde pertandingan Super Weekend dengan beberapa kali posisi 4 besar. Sementara Bonafide hanya mengamankan satu kali Chicken Dinner, namun dengan beberapa posisi 5 besar.

Selain dua tim tersebut, EVOS Reborn yang kini diperkuat Microboy, Redfacen, dan kawan-kawan juga berhasil membuktikan kekuatannya. EVOS Reborn finish di peringkat tiga dengan satu kali Chicken Dinner dan beberapa kali konsisten di peringkat 5 besar.

Lalu apa kabar dengan Bigetron RA? Pekan ini sepertinya belum menjadi pekannya Bigetron RA. Sang Red Aliens juga memainkan line-up baru dengan Liquid menggantikan Microboy dan menghadirkan mantan pemainnya terdahulu yaitu Kingzz. Bigetron RA sebenarnya tampil konsisten sepanjang laga weekdays dan Super Weekend. Tetapi dewi fortuna sepertinya masih belum memihak kepada mereka, sehingga mereka finish di peringkat 8 pada laga weekdays dan finish di peringkat 7 di laga Super Weekend.

Kisah Upik Abu Kesuksesan Moonton dan Mobile Legends di Indonesia

Berita akuisisi Moonton oleh Bytedance membuat kita bertanya-tanya, akan ke arah mana perkembangan Moonton ke depannya? Bagaimana nasib MLBB dan ekosistem esports di dalamnya? Dalam artikel ini, ada Aswin Atonie selaku Brand Manager Moonton Indonesia membagikan soal arah perkembangan Moonton di masa depan nantinya. Namun sebelum itu, mari kita sedikit melakukan napak tilas, melihat perjalanan macam apa yang harus ditempuh Moonton untuk mencapai titik kesuksesan seperti sekarang.

 

Jalan Berbatu Moonton Membesarkan Anak Kesayangannya, Mobile Legends: Bang-Bang

Mengutip dari laman LinkedIn resmi milik Moonton Games, dikatakan bahwa Shanghai Moonton Co., Ltd berdiri tahun 2014 lalu sebagai sebuah perusahaan software. Seiring perkembangannya, Moonton berkembang ke arah pengembang game untuk platform mobile. Game pertama mereka adalah Magic Rush: Heroes. Game tersebut punya gameplay seperti kebanyakan game mobile yang ada di pasaraan, yaitu mengumpulkan hero sebanyak-banyaknya dengan melakukan gacha.

Satu tahun berlalu, Moonton merilis game baru. Game tersebut adalah game yang kini menjadi nafas baru bagi perkembangan esports di Indonesia, yaitu Mobile Legends. Kala itu game tersebut dirilis dengan nama Mobile Legends: 5v5 MOBA tahun 2016 silam dan segera berubah menjadi Mobile Legends: Bang Bang setelahnya.

Game mobile kompetitif (terutama genre MOBA) masih belum berkembang begitu pesat tahun 2016 silam. Namun memang, sudah ada beberapa developer yang mengincar peluang tersebut. Karenanya sudah ada beberapa game MOBA di mobile pada tahun 2016. Contohnya ada Vainglory yang dikembangkan oleh developer baru bernama Super Evil Megacorp. Selain itu ada juga Heroes of Order and Chaos yang dikembangkan oleh developer mobile games kawakan yaitu Gameloft.

Sayangnya, perjalanan Moonton merintis Mobile Legends tidak selalu mulus. Mobile Legends menghadapi sejumlah kontroversi di tahun awal perjalanannya. Namun memang, kontroversi tersebut bukan terjadi tanpa sebab.

Mobile Legends, pada awal masanya, bisa dibilang bukan game yang paling orisinil penampilannya. Alucard pada zaman itu terlihat sangat mirip dengan Dante dari seri Devil May Cry. Akai masih berbentuk binatang panda berjalan dua kaki tanpa pakaian membawa bola besi besar, yang sekilas mirip Po dari film Kung Fu Panda. Franco pada masa itu bahkan punya skill dan bentuk yang sama persis dengan Pudge dari Dota 2.

Walaupun demikian, pihak-pihak terkait yang saya sebut di atas tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Tetapi di sisi lain, ada developer game MOBA lain yang merasa game buatannya telah ditiru. Developer tersebut adalah Riot Games yang merupakan pencipta game League of Legends.

Riot Games meluncurkan tuntutan kepada Moonton ke pengadilan pusat California, Amerika Serikat, pada 7 Juni 2017. Kala itu Riot Games menuduh game Mobile Legends: 5v5 MOBA dan Magic Rush buatan Moonton telah meniru League of Legends. Dalam dokumen pengadilannya, Riot Games memberi contoh tangkapan gambar yang menunjukkan seberapa mirip konten yang ada di Magic Rush dan Mobile Legends dengan konten yang ada di League of Legends. Mengutip dari dokumen pengadilannya, berikut beberapa kemiripan Mobile Legends terhadap LoL yang dituduhkan Riot Games kepada Moonton.

Sumber: Dot Esports
Beberapa cuplikan tuduhan plagiasi di dalam dokumen penuntutan hukum Riot Games kepada Moonton tahun 2017 lalu. Selain Mobile Legends, Riot Games juga menganggap Magic Rush: Heroes telah meniru League of Legends. Sumber: Dot Esports
Sumber: Dot Esports.
Cuplikan lain yang ada di dalam dokumen penuntutan Riot Games ke Moonton. Kali ini Riot Games menunjukkan beberapa konten di dalam Mobile Legends yang dianggap telah meniru League of Legends. Sumber: Dot Esports

Mengutip dari artikel Dot Esports yang terbit tahun 2018, tuntutan dari Riot Games ke pengadilan California berakhir dengan keadaan forum non conviens. Dalam keadaan tersebut, tuntutan dikesampingkan karena pengadilan Kalifornia menganggap kasus tersebut lebih baik diselesaikan di area yuridiksi atau pengadilan lain yang lebih tepat sasaran. Berhubung Moonton berbasis di Tiongkok, maka maksud pengadilan yang lebih tepat sasaran adalah pengadilan tinggi di Tiongkok.

Setelah tuntutan Riot Games ke Moonton selesai tahun 2017, Moonton kembali menghadapi tuntuntan hukum lain pada tahun 2018. Tuntutan kali ini dilayangkan oleh Tencent terhadap Xu Zhenhua yang dikatakan sebagai salah satu perwakilan dari Moonton.

Masih dari Dot Esports, Xu Zhenhua dituntut karena dianggap telah melanggar perjanjian non-disclosure (larangan menyampaikan suatu informasi yang bersifat rahasia) dan non-compete (larangan pindah ke perusahan saingan yang biasanya berada di bidang yang sama). Tuntuntan tersebut awalnya berakhir dengan denda sebesar 2,6 juta Yuan (sekitar Rp5,5 miliar) dikenakan kepada Xu Zhenhua. Tetapi setelahnya dikatakan bahwa denda yang dikenakan menjadi sebesar 19,4 juta Yuan (sekitar Rp42 miliar) tanpa ada penjelasan lebih lanjut berdasarkan dari sumber internal yang tidak disebut namanya oleh Dot Esports.

Terlepas dari segala jalan berbatu yang dilalui Moonton dalam mengasuh anak kesayangannya, MLBB akhirnya berhasil sukses besar sampai seperti sekarang ini. Sebelum membahas alasan kesuksesannya, mari kita lihat dulu nasib “anak-anak” lain Moonton.

 

Menilik Game-Game Besutan Moonton dan Alasan Gaungnya Tidak Sebesar MLBB

Seperti yang saya sebut di awal, kiprah Moonton di industri mobile games sebenarnya tidak hanya terbatas pada MLBB saja. Moonton masih punya beberapa judul mobile games lain. Selain Magic Rush: Heroes, Moonton juga punya Mobile Legends: Adventure dan Sweet Crossing: Snake.io. Walaupun begitu, tiga game tersebut bisa dikatakan berada di luar dari DNA Moonton yang sukses di MLBB berkat esports.

Mobile Legends: Adventure tergolong sebagai game casual. Mirip seperti Magic Rush, gameplay ML: Adventure berkutat pada turn-based RPG yang bisa diotomasi dan konsep hero-collection dengan metode gacha. Sweet Crossing: Snake.io juga tergolong casual. Game tersebut punya gameplay seperti Snake.io yang sempat populer di antara para streamer lokal, namun dalam visual berupa karakter binatang lucu sebagai kepala ular dengan kue-kue manis sebagai buntut ularnya.

Walaupun punya beberapa game, tapi kesuksesan tiga game tersebut tergolong beda jauh ketimbang MLBB. Mengutip dari laman Google Play, baik Sweet Crossing, ML: Adventure, ataupun Magic Rush, hanya menyentuh angka 10 juta++ install saja pada saat artikel ini ditulis. Pada sisi lain, MLBB telah mencapai 100 juta++ install pada saat artikel ini ditulis.

Susmber Gambar - Google Play Store.
Sweet Crossing, salah satu game besutan Moonton yang terasa “melenceng” dari jalannya. Sumber Gambar – Google Play Store.

Total download per bulan dari tiga game tersebut sebenarnya tergolong masih cukup baik. Menggunakan data dari Sensor Tower, Sweet Crossing mencatatkan total 1 juta download di Google Play Store secara worldwide pada bulan Februari 2021 kemarin. Mobile Legends: Adventure mencatatkan total 400 ribu download secara worldwide di Google Play Store pada bulan Februari 2021. Magic Rush: Heroes mencatatkan total 20 ribu download di Google Play Store pada bulan Februari 2021. Namun angka tersebut memang tergolong sangat kecil jika dibandingkan dengan MLBB yang berhasil mencatat total 5 juta download di Google Play Store pada bulan Febaruari 2021.

Dari paparan-paparan saya di atas, Anda bisa lihat sendiri bagaimana angka download Sweet Crossing, Magic Rush, dan ML: Adventure sebenarnya masih cukup baik walau tetap kalah jauh ketimbang MLBB. Ditambah juga, mencapai angka 10 juta ++ install bukanlah sesuatu yang mudah. Jadi sebenarnya terasa tidak adil apabila kita bilang tiga game tersebut kurang sukses. Walau begitu, satu hal yang mungkin bisa saya katakan adalah gaung tiga game tersebut yang kalah ketimbang MLBB.

Seperti yang kita tahu, MLBB sudah hampir layaknya oksigen bagi nafasnya gamers Indonesia. Selalu ada informasi seputar MLBB setiap hari, mulai dari bangun di pagi hari sampai tidur di malam hari. Informasi yang hadir pun berbagai macam. Mulai dari informasi seputar game-nya seperti Hero baru, Starlight Member atau Skin terbaru, sampai konten seputar esports seperti rumor, gosip, ataupun komentar-komentar seputar esports dari para pemainnya. Informasi tidak hanya disajikan pihak Moonton sendiri, tetapi juga oleh konten kreator, media, ataupun partner-partner Moonton.

Lalu kenapa game lainnya kalah gaung ketimbang Mobile Legends, walau angka download ataupun followers media sosial dari masing-masing game sebenarnya tidak sebegitu buruk?

Menurut opini saya, esports menjadi salah satu alasan terbesarnya. Kehadiran esports membuat topik pembahasan game Mobile Legends menjadi lebih lebar. Tanpa esports, pembahasan Mobile Legends mungkin hanya terbatas kepada update patch, hero baru, tips dan trik, Skin baru, ataupun konten Starlight member.

Tetapi dengan kehadiran esports, game Mobile Legends jadi punya berbagai topik pembahasan yang menarik, mulai dari rumor atau gosip, tanggapan pemain atas satu topik (tim yang akan dihadapi, META di dalam game, dan lain sebagainya), wawancara pasca pertandingan, dan berbagai perbincangan lainnya.

Apalagi esports MLBB di Indonesia juga hadir dalam format liga yang rutin dilaksanakan setiap pekan. Karena hal tersebut, perputaran konten seputar MLBB dan esports-nya jadi semakin cepat dan selalu ada topik baru untuk diperbincangkan yang membuat gaung game tersebut terdengar konsisten setiap harinya.

Sumber Gambar - Facebook Nimo TV
Kehadiran liga esports membuat MLBB jadi tak berhenti dibicarakan. Apalagi ditambah juga dengan aktivitas nonton bareng seperti pada gambar di atas yang semakin memancing perbincangan baru seputar MLBB dan esports-nya. Sumber Gambar – Facebook Nimo TV

Pada sisi lain, tiga game besutan Moonton lainnya adalah game casual yang punya gameplay cenderung sederhana. Karena gameplay-nya cenderung sederhana, topik yang bisa dibahas atas game tersebut juga jadi lebih sedikit. Karena gameplay-nya sederhana, aspek kompetitif tiga game tersebut juga jadi lebih minim walau tetap bisa dipertandingkan.

Karenanya, aspek esports sebenarnya terbilang jadi hal yang membuat MLBB jadi semakin melejit lagi walau sebenarnya sudah cukup besar berkembang di Indonesia. Apabila Anda masih penasaran dengan dampak positif kehadiran esports bagi game free-to-play, saya sempat membahas soal kausalitas game gratis dengan esports yang dapat Anda baca pada tautan berikut ini.

Setelah kita berkelana melihat perjalanan Moonton merintis MLBB dan nasib game besutannya yang lain, kini mari kita beralih ke pembahasan berikutnya soal simbiosis mutualisme antara Moonton dengan MLBB dan perkembangan industri esports Indonesia.

 

Simbiosis Mutualisme Moonton, MLBB, dan Pasar Gaming Indonesia

Hubungan antara Moonton dengan MLBB dan industri esports Indonesia bisa disebut sebagai simbiosis mutualisme. Keduanya saling memberi keuntungan satu sama lain, bahkan mungkin sudah berada di titik saling ketergantungan hingga saat ini. Kenapa bisa demikian? Mari kita melihat perkembangan esports Indonesia dari perspektif Mobile Legends: Bang-Bang.

Saya mungkin sudah beberapa kali menjelaskan bagaimana esports di Indonesia “bangkit” berkat kehadiran esports MLBB. Salah satu momen kebangkitan tersebut terasa pada MSC 2017 dan MPL Season 1 pada tahun 2018 yang dilaksanakan di Mall Taman Anggrek.

Dua turnamen tersebut berhasil menunjukkan besarnya potensi pasar gaming dan esports di Indonesia. Saya sudah beberapa kali melakukan liputan ke event esports offline pada tahun itu. Karenanya saya bisa menakar bahwa turnamen esports, biasanya cuma akan membuat penuh atrium Mall Taman Anggrek lantai 1 saja.

Namun demikian, MSC 2017 dan MPL Indonesia Season 1 menembus semua perikiraan tersebut. Bukan hanya Atrium Mall Taman Anggrek yang penuh sesak oleh penonton MSC 2017, tapi juga sampai ke lantai-lantai di atasnya. Saking penuhnya, saya ingat perncah diceritakan bahwa ada penonton yang sengaja bertahan di dalam elevator demi mendapat view yang enak untuk menonton turnamen MLBB. Luar biasa bukan?

Beberapa tahun berlalu, saya juga sempat membahas posisi Indonesia yang jadi begitu superior apabila kita bicara esports game mobile. Apabila kita mengutip data dari Esports Charts, sudah berkali-kali kita melihat MPL Indonesia menyalip liga-liga esports besar. Pada Februari 2021 kemarin saja, MPL Indonesia berhasil menyalip viewership liga esports yang lebih tua seperti liga LoL Korea LCK ataupun turnamen CS:GO terakbar, IEM Katowice. Pada bulan Oktober 2020 lalu saya juga sempat membuat pembahasan soal posisi Indonesia yang mungkin akan jadi kiblat esports mobile di dunia gara-gara Mobile Legends.

Dari perjalanan tersebut kita bisa melihat sedikit fakta soal dampak kehadiran Moonton dan MLBB terhadap pasar esports dan gaming Indonesia. Walaupun sering dicibir “hanya populer di Indonesia saja”, namun ekosistem esports Indonesia mau tidak mau harus berterima kasih kepada Moonton dan MLBB. Berkat penetrasi Moonton ke pasar Indonesia, ekosistem gaming dan esports Indonesia pun jadi berkembang sampai menjadi seperti sekarang.

Berkembang yang bagaimana? Salah satu yang paling terasa menurut saya adalah jumlah game developer yang investasi langsung ke pasar lokal jadi bertambah. Sejauh yang saya tahu dan ingat, hampir tidak ada developer game yang berinvestasi langsung ke pasar Indonesia sebelum fenomena MSC 2017 terjadi walau sudah ada beberapa perusahaan lokal yang berperan sebagai publisher.

Namun setelahnya kita bisa melihat sendiri Tencent hadir melakukan penetrasi langsung di tahun 2018 dengan PUBG Mobile. Beberapa tahun setelahnya, tepatnya pada 2020, perusahaan sebesar Riot Games bahkan juga melakukan penetrasi langsung ke pasar lokal Indonesia lewat game VALORANT dan League of Legends mobile atau Wild Rift. Dalam kasus Wild Rift, pasar Indonesia (dan negara-negara Asia Tenggara) bahkan mendapat perlakuan khusus berupa perilisan beta yang lebih dulu ketimbang negara-negara barat atau Asia timur.

Selain dari sisi investasi, perkembangan tim-tim esports lokal Indonesia juga menjadi salah satu hal yang terasa perubahannya berkat kehadiran Moonton dan MLBB di ekosistem esports Indonesia. Selain jumlahnya yang semakin banyak, beberapa tim yang besar di kancah MLBB saat ini juga sangat bersaing dari segi prestasi dan popularitas dengan tim-tim dari negara lain. Salah satu contohnya mungkin dapat Anda lihat pada pembahasan singkat saya soal posisi RRQ Hoshi sebagai tim MLBB terpopuler.

RRQ punya fans yang loyal dan cukup fanatik. | Sumber: ONE Esports
Kehadiran MLBB juga bisa dibilang memiliki andil dalam berkembangnya basis penggemar RRQ. | Sumber: ONE Esports

Tadi kita membahas soal ekosistem esports Indonesia yang diuntungkan dengan kehadiran Moonton dan MLBB. Tetapi tidak bisa dikatakan simbiosis mutualisme apabila pihak lainnya tidak diuntungkan. Pada sisi lain, penetrasi yang sukses tersebut juga sangat menguntungkan Moonton dan MLBB.

Kenapa pasar Indonesia sangat menguntungkan bagi Moonton dan MLBB? Kenapa Moonton dan MLBB juga butuh Indonesia? Salah satunya adalah karena game MLBB yang tidak rilis di Tiongkok walau Moonton memiliki basis perusahaan di negeri tirai bambu tersebut.

Apabila Anda mengikuti perkembangan industri game melalui pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh Hybrid.co.id, Anda tentu tahu betul pentingnya pasar Tiongkok bagi para publisher game. Alasan kenapa Tiongkok jadi penting, salah satunya adalah karena pesatnya perkembangan budaya gaming dan teknologi di sana. Pembahasan lengkapnya bisa Anda baca pada pembahasan Hybrid.co.id yang dilakukan oleh Ellavie berikut ini.

Berkat perkembangan budaya gaming dan teknologi yang pesat, Tiongkok menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi banyak developer game. Seberapa menggiurkan? Sensor Tower sempat melaporkan mobile games dengan pemasukan terbanyak sepanjang tahun 2020 lalu. Dari laporan tersebut, ditemukan bahwa dua game yang berada di peringkat teratas adalah PUBG Mobile dan Honor of Kings.

PUBG Mobile dilirilis secara global (termasuk di Tiongkok) dan berhasil mengumpulkan US$2,6 miliar. Honor of Kings hanya rilis di Tiongkok dan berhasil mengumpulkan pendapatan sebesar US$2,5 miliar. Anda tidak salah baca, ada sebuah game yang cuma rilis di Tiongkok dan jumlah pemasukannya hampir mengalahkan game yang rilis secara internasional. Dari sana, Anda bisa melihat sendiri betapa menggiurkannya pasar game Tiongkok bagi para developer game, terutama game mobile.

Karena tidak rilis di Tiongkok, Moonton harus mencari negara lain yang berpotensi menjadi pasar untuk game besutannya dan Indonesia pun menjadi jawaban. Kami mewawancara pihak Moonton untuk mempertanyakan cerita di balik penetrasi pasar yang dilakukan Moonton ke Indonesia.

Moonton Indonesia diwakili oleh Aswin Atonie selaku Brand Manager menjawab, “penetrasi ke pasar Indonesia merupakan hal yang sudah direncanakan dengan matang. Kami melakukan berbagai riset dan analisa hingga akhirnya memahami bahwa masih banyak yang dapat dikembangkan di Indonesia, terutama dalam bidang gaming.”

Sumber Gambar - ONE Esports.
Aswin Atonie, Brand Manager Moonton Indonesia. Sumber Gambar – ONE Esports.

Lebih lanjutnya, Aswin Atonie juga menceritakan sedikit cerita di balik layar dari kehadiran MSC 2017. “Dengan persiapan matang tersebut, kami pun mulai mempersiapkan gebrakan berupa MLBB South East Asia Cup (MSC 2017) yang bahkan sudah disiapkan sejak dari MLBB diluncurkan pertama kali yaitu pada tahun 2016 di Indonesia. Karenanya gelaran tersebut jadi mendapatkan animo yang luar biasa dari penggemar di indonesia.”

Akhirnya usaha penetrasi tersebut pun berbuah manis bagi Moonton. Melalui wawancara yang dilakukan redaksi Hybrid.co.id, Aswin Atonie juga mengungkap bahwa Mobile Legends sudah mengumpulkan 1 miliar download dengan 100 juta pengguna aktif. Investasi Moonton ke pasar Indonesia juga berbuah manis. Moonton sempat mengungkap bahwa pemain Mobile Legends di Indonesia adalah sebanyak 31 juta pemain aktif, mengutip dari artikel milik ONE Esports yang terbit tahun 2019 lalu.

Pada akhirnya perjalanan dan perkembangan ekosistem esports Indonesia dengan Moonton menjadi sebuah simbiosis mutualisme yang saling ketergantungan hingga saat ini. Apabila MLBB tidak muncul menjadi fenomena di tahun 2017 lalu, pasar gaming dan esports Indonesia bisa jad stagnan tanpa ada perkembangan yang melejit. Begitupun dengan Moonton. Apabila Moonton tidak berhasil menemukan potensi pasar gaming Indonesia, Moonton dan game MLBB yang dibesutnya mungkin tidak akan berkembang hingga menjadi sebesar seperti sekarang.

Setelah melihat perjalanan dan hubungan antara Moonton dengan Indonesia, berikutnya adalah soal masa depan Moonton nantinya. Kira-kira akan ke arah mana perkembangan Moonton nantinya? Apakah akan bertahan dengan Mobile Legends saja? Atau berkembang lewat game-game baru dari genre yang sedang digandrungi?

 

Akuisisi Bytedance, Rencana Game Baru, dan Masa Depan Moonton

Topik terkait Moonton yang paling menarik untuk dibahas saat ini mungkin adalah sub-topik ini yaitu nasib masa depan Moonton. Dari sisi pengembangan game MLBB, kita melihat sendiri bagaimana MLBB berkembang secara positif lewat Project NEXT yang dilakukan. Berbagai elemen di dalam game diperbaiki, beberapa hero lama diperbarui jadi lebih modern, grafis game juga perlahan ditingkatkan MLBB sembari tetap mempertahankan sifat alami game-nya yang ringan untuk berbagai smartphone.

Dari sisi esports kita dapat melihat bagaimana Mobile Legends Professional League terus berkembang di Indonesia. Jumlah penontonnya terus meningkat, sisi kompetisinya terus berusaha diperbaiki, sisi komersilnya juga terus berkembang secara positif. Dari sisi bisnis, beberapa waktu Anda juga mungkin sempat membaca berita soal akuisisi Bytedance (perusahaan induk TikTok) terhadap Moonton.

tiktok bytedance

Dengan semua pencapaian yang berhasil didapat Moonton di titik ini, maka pertanyaan berikutnya adalah, ke mana langkah selanjutnya Moonton? Apalagi akuisisi yang terjadi juga semakin menambah pertanyaan kita.

Aswin Atonie banyak bicara soal ini pada saat saya wawancara, walau sayang belum bisa memberikan komentar terkait perubahan yang akan terjadi pasca akuisisi Bytedance. Namun di luar dari itu, Aswin memberi sedikit gambaran soal arah perkembangan Moonton. Pertama adalah soal rencana game baru. Memang seperti yang saya sebut di sub-topik awal, Moonton sebenarnya sudah punya Mobile Legends: Adventure dan Sweet Crossing. Namun demikian, saya sendiri tetap penasaran apakah Moonton punya rencana untuk bersaing di genre game kompetitif lainnya seperti Battle Royale, Digital Card Game, atau mungkin genre Shooter?

Terkait hal tersebut, Aswin menjelaskan. “Kami selalu ingin update dengan tren terkini di industri game, tetapi saat ini fokus kami masih berada di genre game MOBA. Salah satu alasannya adalah karena kami percaya masih banyak hal yang bisa kami kembangkan lewat game MLBB sendiri.”

“Dalam pengembangan game MLBB, fokus kami masih berusaha memberikan experience yang baik bagi semua pemain lewat ragam fitur, pembaruan in-game, dan event yang rutin kami lakukan seperti 515 e-Party, Project NEXT, Winter Gala, dan lain sebagainya. Tetapi di luar dari itu, di belakang layar, kami (Moonton) juga dalam tahap development beberapa game. Informasi terkait hal tersebut tentunya baru akan dibagikan saat game tersebut sudah dianggap siap nantinya.” Lanjut Aswin menjelaskan soal rencana selanjutnya Moonton dari sisi pengembangan game.

Pertanyaan berikutnya adalah soal ekspansi pasar MLBB ke negara-negara lain, baik dari sisi esports ataupun percobaan penetrasi pasar ke negara lain. Seperti yang selalu saya jelaskan sebelumnya, walupun MLBB sudah berkembang begitu luar biasa namun perkembangannya terbilang cukup terbatas di pasar Asia Tenggara saja untuk saat ini.

Aswin pun menjawab. “Kami tentu ingin terus melakukan ekspansi pasar. Karenanya kami telah membuat beberapa rencana untuk beberapa wilayah. Untuk saat ini kami memiliki dua tim besar yang bertanggung jawab untuk mengatur ‘Developed Area’ seperti Asia Tenggara dan ‘Developing Area’ seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Asia Timur.”

Lalu, akankah status “anak emas” bagi pasar Indonesia hilang dengan rencana ekspansi tersebut? Aswin pun menambahkan. “Kami masih terus berniat untuk mengembangkan ekosistem esports di Indonesia lewat edukasi kepada masyarakat untuk mengubah stigma negatif gamers, serta memberi inspirasi pada generasi muda untuk bermain dengan sebuah tujuan. Saya merasa sampai saat ini MLBB telah membuka begitu banyak peluang dan lapangan pekerjaan di sektor esports, entah sebagai atlet esports profesional, content creator gaming, esports team management, event management, dan lain sebagainya.”

Menutup perbincangan soal masa depan Moonton, saya pun jadi berandai-andai dan berpikir, “Apa mungkin Moonton akan membuat game PC atau konsol di masa depan?”. Bertanya soal hal tersebut, Aswin pun menjawab. “Sebagai pelaku bisnis industri game, kami percaya bahwa game PC dan konsol masih akan terus berkembang ke depan. Namun kita semua tahu bahwa era digital telah memobilisasi aktivitas kita. Maka dari itu untuk saat ini Moonton masih terus fokus untuk mengembangkan MLBB sebagai game mobile demi memberikan pengalaman yang terbaik bagi para pemain.”

Perjalanan Moonton menjadi sebesar sekarang ibarat seperti kisah Cinderella yang berkembang dari sebuah developer kecil menjadi salah satu developer mobile games raksasa di Asia Tenggara. Semoga kisah kesuksesan Moonton dapat menjadi referensi atau inspirasi bagi Anda yang sedang berkutat atau ingin terjun ke bisnis esports dan gaming saat ini.

Gambar Utama – Moonton Epic Con 2019 (Sumber Gambar – Moonton Official)

Bincang-Bincang dengan Juara Wild Rift SEA Icon Series – Preseason Indonesia, Bigetron Infinity

Pertandingan Wild Rift Icon Series – Preseason untuk kawasan Indonesia selesai tanggal 19-21 Maret 2021. Tim Bigetron Infinity yang berisikan punggawa-punggawa senior di kancah League of Legends berhasil menjuarai kompetisi tersebut dengan sempurna.

Mereka berhasil menyapu bersih semua tim yang dihadapi, mulai dari Alter Ego dengan skor 2-0 di quarterfinal, Victim Esports dengan skor 3-0 di babak semi-final, sampai menyapu MORPH Team dengan skor 4-0 dalam seri best-of-7 di babak final. Hasil sempurna yang didapat Bigetron Infinity jadi menarik karena mereka sempat mengalami hasil yang kurang baik di turnamen sebelumnya. Untuk itu, tim redaksi Hybrid.co.id pun berbincang dengan Bigetron Infinity, membicarakan perjalanan mereka di Wild Rift SEA Icon Series – Preseason kemarin dan persiapannya menghadapi Summer Season nanti.

Kebetulan hampir semua punggawa Bigetron Infinity (Dewa, Henry, Harry, Falp1, dan Nuts menjawab semua pertanyaan-pertanyaan saya terkait Icon Series kemarin. Berikut tanggapan-tanggapan dari mereka.

Bagaimana pendapat kalian terhadap Wild Rift SEA Icon Series – Preseason Kemarin?

BTR.Dewa: Seru banget!
BTR.Henry: Gue merasa turnamen tersebut sudah cukup baik, walau memang masih bisa jadi lebih baik lagi. Dari sisi kekurangannya, saya merasa Icon Series kemarin kurang dibuat hype dan diinformasikan. Semoga saja nanti Summer Season bisa lebih baik.
BTR.Harry: It was fun and good experience for a pre-season.
BTR.Falp1: Dari gue sebagai pemain asyik banget. Tetapi gue melihat dari sisi viewers, turnamen sepertinya masih bisa dibuat lebih menarik atau entertaining lagi.

Bigetron Infinity sempat terseok di turnamen sebelumnya, namun memuncak saat Wild Rift SEA Icon Series – Preseason. Apa yang terjadi di belakang layar? Apa persiapan yang dilakukan?

BTR.Henry: Aku merasa tidak ada persiapan ataupun perubahan yang terlalu drastis/signifikan. Pada intinya kami hanya berlatih untuk bermain dengan lebih konsisten.
BTR.Falp1:. Aku sendiri merasa kami berhasil belajar dan bounce back dari kekalahan tersebut, tapi mungkin bounce back-nya ketinggian kali ya…Hahaha. Kalau terkait persiapan, saya merasa kurang lebihnya sama seperti tim lain, yaitu dengan scrim, latihan, dan lain sebagainya.

Siapa lawan terberat di Wild Rift SEA Icon Series – Preseason dan kenapa?

BTR.Dewa: Sepertinya MORPH Team, karena mereka bisa tembus final.
BTR.Henry: Sepertinya Alter Ego. Salah satu alasanya karena komposisi Champ mereka selalu berhasil culik 1 orang. Karenanya kami kesulitan untuk bermain biasa-biasa saja.
BTR.Harry: Enggak ada sih. Tapi kalau harus memilh, mungkin Victim.
BTR.Falp1: MORPH Team kalau menurut gue. Karena kemarin mereka sempat berhasil mengalahkan kami di dalam momen teamfight 5v5.
BTR.Nuts: MORPH Team sih, alasannya karena mereka tembus final.

Setelah Wild Rift SEA Icon Series – Preseason kemarin, tier-list tim Wild Rift Indonesia menurut Bigetron Infinity?

BTR.Dewa: Sebetulnya agak unexpected, karena awalnya aku kira Victim atau Aerowolf yang bakal sampai final. Ternyata banyak tim lain yang taringnya lebih tajam.
BTR.Henry: Tier S tentu saja Bigetron. Tier A itu Victim, ONIC, Alter Ego, dan lainnya.
BTR.Harry: Ikutan yang lain aja deh.
BTR.Falp1: Kalau menurut gue sih Aerowolf, MORPH Team, Victim, ONIC, Alter Ego.
BTR.Nuts: Kalau menurut gue MORPH, Alter Ego, Victim, ONIC, Aerowolf, BOOM Esports, dan lain-lain.

Nantinya Wild Rift SEA Icon Series – Summer Season dilakukan secara Open Qualifier. Di luar dari tim invitation, apakah masih ada tim berbakat lain yang tersembunyi di luar sana?

BTR.Dewa: Ada, contohnya seperti e365, MBR, dan SES (Saudara E-Sports).
BTR.Henry: Pastinya ada. Kalau harus menyebut, aku rasa sih SES dan MBR adalah tim-tim yang seharusnya bisa menempati juara 2 atau 3 kalau ikut pre-season kemarin.
BTR.Harry: MBR sih gue rasa.
BTR.Nuts: Menurut gue sih MBR, e365, SES, dan Echo.

Menghadapi Wild Rift SEA Icon Series – Summer Season, apa saja persiapan yang akan dilakukan Bigetron Infinity. Dari angka 1-10, seberapa optimis kalian untuk bisa menyabet gelar perdana?

BTR.Falp1: Kalau persiapannya tentunya latihan, dilengkapi dengan diet yang sehat, olahraga, serta istirahat yang teratur. Terkait pertanyaan seberapa optimis, aku sih optimis di angka 10.
BTR.Henry: Seberapa optimis? Kalau saya berpikir nilainya 9 atau 10. Aku merasa semua anggota tim pun merasa demikian. Ditambah, walaupun kami berhasil menang kemarin, keseluruhan kami memang masih punya dorongan kuat untuk terus menjuarai turnamen-turnamen berikutnya. Salah satu alasannya juga karena memang tujuan kami bukan hanya jadi juara di sini (lokal) saja.

Selamat untuk Bigetron Infinity! Mengutip laman resmi esports Wild Rift Indonesia, babak final Wild Rift SEA Icon Series Indonesia – Summer Season akan diselenggarakan tanggal 5 hingga 6 Juni 2021 mendatang. Namun, babak kualifikasi yang terdiri dari empat gelombang sudah dimulai sejak pekan pertama bulan April 2021 dan akan berakhir di pekan ke-4 April 2021.

Kira-kira siapakah tim yang berhasil menyabet gelar juara nasional perdana di skena Wild Rift? Akankah Bigetron infinty mampu mempertahankan performanya? Atau mungkin akan ada tim lain yang mampu menyelak mereka?

Hybrid Cup Tarkam Series VALORANT Season 2 Dimenangkan Oleh Horyzone Hydra

Menindaklanjuti Hybrid Cup Tarkam Series VALORANT yang berjalan sukses bulan lalu, Hybrid.co.id pun kembali melangsungkan turnamen tersebut ke musim keduanya bulan ini. Hybrid Cup Tarkam Series telah selesai diselenggarakan pada tanggal 19-20 Maret 2021 kemarin. Bulan lalu ada tim Reckless Lads yang keluar sebagai pemenang. Bulan ini, kami mencoba melakukan sedikit perubahan dengan menerapkan peraturan maksimum rank di tingkat Diamond 1. Jadi seperti apa pertandingan Hybrid Cup Tarkam Series di bulan ini?

Setelah melalui pertandingan yang panjang dan persaingan yang ketat, ada tim Horyzone Hydra yang keluar sebagai pemenang di musim ini. Ingin kenal lebih dekat dengan tim yang keluar sebagai juara di Hybrid Cup Tarkam Series VALORANT Season 2, saya pun mewawancara Richardo Albert “sokdarth” Wijaya yang merupakan Duelist dari tim Horyzone Hydra.

 

Terjun Dunia Kompetitif Sebagai Penyaluran Hobi ke Arah yang Positif

Sebelum lebih lanjut membahas cerita dari Sokdarth, mari kita berkenalan dulu dengan punggawa tim Horyzone Hydra. Selain Sokdarth, empat anggota tim Horyzone Hydra sendiri adalah Mohammad “HYZO” Zaki sebagai Duelist, Luis Garcias “SilentSamurai27” Unggara sebagai Initiator, Dicky Hartanto “SARS” Wijaya sebagai Smoker, dan Ryan “V1zual” sebagai Sentinel.

Setelah memperkenalkan punggawa timnya, saya lalu menanyakan awal mula terbentuknya tim tersebut. Richardo bercerita bahwa awal terbentuknya tim adalah karena pertemanan dirinya dengan empat anggota lainnya.


View this post on Instagram

A post shared by Hybrid.IDN (@hybrid.dojo)

“Kami memang sudah lama dan sering main bareng. Lama kelamaan kami jadi berpikir ‘kenapa tidak mencoba mencari tim saja? Karena game adalah hobi kami, siapa tahu kami bisa menghasilkan sesuatu apabila mendapatkan tim.’ Akhirnya kami coba ikut seleksi tim Horyzone Esport, diterima, sampai akhirnya berposisi seperti sekarang.” Tutur Richardo menceritakan.

Dari sisi personal, Richardo sendiri menceritakan bahwa dirinya masih berstatus sebagai pelajar SMA. Mengingat usianya yang masih muda, Richardo bercerita bahwa dirinya memang secara aktif menceritakan hobinya kepada sang orang tua agar mendapat dukungan. “Kebetulan hal tersebut memang saya lakukan, supaya mendapat support, dan supaya orang tua dapat memahami hobi kami. Akhirnya sekarang pun orang tua saya mendukung hobi saya ini, pake banget! Tapi di luar dari itu, memang beberapa kawan satu tim saya masih ada yang kurang dapat dukungan dari orang tuanya.”

Richardo juga menjelaskan alasannya mencoba ikut Hybrid Cup Tarkam Series, pengalaman sebelumnya, serta pengalamannya mengikuti turnamen ini. Richardo mengatakan bahwa Hybrid Cup Tarkam Series adalah turnamen ke-6 yang pernah dia ikuti. Menariknya, peraturan pembatasan rank ternyata jadi motivasi Richardo untuk mengikuti Hybrid Cup Tarkam Series. “Kebetulan Rank kami setingkat dengan Rank maksimal yang ditetapkan sebagai syarat turnamen. Karena hal tersebut, kami melihat ada peluang. Selain itu kami juga berpikir turnamen ini bisa menjadi wadah mencari pengalaman.” Tuturnya.

Setelahnya ia pun menceritakan bagiamana perjalanannya di turnamen tersebut.

“Setelah berbagai persiapan, perjalanan kami di Hybrid Cup Tarkam Series dimulai dari hari pertama melawan XNL Ladies. Waktu itu kami puas karena berhasil menyelesaikannya dengan skor 13-1. Lalu setelahnya melawan tim ‘Saya Ayam’ yang menurut saya adalah tim terberat yang kami hadapi di turnamen tersebut. Kami berhasil menyelesaikannya dengan skor 13-11. Lalu lanjut melawan team HH, berhasil menang dengan skor 13-4 yang membawa kami ke babak semi-final yang ditandingkan esok harinya. Esok harinya kami bertanding melawan TMM, ternyata berhasil menang juga. Sampai akhirnya masuk Grand Final melawan TroubleFast dan menang juga, berhasil meraih juara pertama.” Richardo bercerita.

Pertandingan babak final sebenarnya juga tak kalah seru. Richardo dan kawan-kawan Horyzone Hydra sempat ketinggalan di game pertama. Namun mereka berhasil comeback sampai memenangkan game 1. Pada game kedua, kepercayaan diri Horyzone Hydra pun memuncak yang membuat mereka dapat mendapatkan kemenangan secara solid 2-0 dari seri best-of-3.

Terakhir, menutup perbincangan, Richardo atau Sokdarth pun menceritakan pendapatnya soal Hybrid Cup Tarkam Series dan apa yang jadi target mereka. “Kalau soal target, tindakan pastinya adalah kami ingin ikut lebih banyak turnamen lagi supaya bisa mendapat lebih banyak pengalaman. Kalau soal Hybrid Cup Tarkam Series, saya merasa turnamen ini bagus dan sudah dipersiapkan dengan baik. Kalau ada lagi, tentunya kami akan mengikutinya.” tutup Richardo.

 


Selamat untuk Horyzone Hydra yang berhasil menjadi juara Hybrid Cup Tarkam Series VALORANT Season 2. Semoga prestasinya terus melejit di masa depan dan bisa mewakili Indonesia di turnamen-turnamen besar nantinya. Hybrid Cup Tarkam Series sendiri akan kembali hadir di bulan depan. Ikuti media sosial Hybrid Dojo dan laman Hybrid.co.id agar tidak ketinggalan info seputar esports ataupun turnamen Hybrid Cup Tarkam Series berikutnya!

MPL Indonesia Season 7 Week 4: Alter Ego Terkulai Lemas

MPL Indonesia sudah masuk pekan ke-4. Pertandingan pun semakin seru. Namun pekan ini mungkin jadi pekan mengecewakan bagi penggemar Alter Ego karena hasil yang didapatkan. Di luar dari itu ada juga pertandingan menarik lainnya seperti pertarungan panjang antara Bigetron Alpha vs Geek Fam ID, ataupun Genflix Aerowolf yang menyalak galak ke EVOS Legends. Berikut rekapnya.

Pertandingan Hari Pertama (19 Maret 2021)

Pertandingan antara AURA Fire vs Geek Fam ID menjadi pembuka dari pekan ke-4. Dua tim tersebut masih ingin membuktikan diri lebih bahwa mereka pantas berada di MPL Indonesia. Geek Fam ID sedang panas belakangan, terbukti mereka bisa cukup mendominasi game 1 dan memenangkannya. Pada sisi lain bibit-bibit kebangkitan AURA Fire sepertinya mulai terlihat pekan ini.

God1va dan kawan-kawan berhasil mendapatkan keunggulannya di awal game kedua lewat ganking-ganking efektif berkat Selena yang digunakan. Keunggulan tersebut terus bergulir hingga Lord berhasil diamankan di menit 10. Lord tersebut berhasil membobol Turret atas dan Geek Fam masih sempat memberi perlawanan terbaiknya. Namun pada akhirnya Geek Fam ID tak kuasa lagi menahan setelah Lord kedua didapatkan AURA Fire.

Pertandingan pun dipaksa hingga game ketiga. Kedua tim cenderung bermain santai di fase early game ketiga. Namun memasuki pertengahan permainan, peperangan mulai pecah dengan dominasi dari Geek Fam ID. Dominasi tersebut memuncak sampai Geek Fam ID berhasil mendapatkan Lord dan langsung menyelesaikan permainan setelahnya di menit 11. Geek Fam ID pun memenangkan seri pertandingan 2-1.

Pertandingan kedua adalah ONIC Esports melawan Bigetron Alpha. ONIC Esports nampak kuat sejak dari fase-fase awal game 1. ONIC Esports melakukan ganking agresif yang efektif sehingga mereka unggul skor kill 7-2 dan memukul mundur punggawa Bigetron Alpha. Bigetron Alpha yang sudah kehabisan ruang gerak pun terpaksa memasrahkan Lord begitu saja di menit 10. ONIC Esports tak mau lagi berlama-lama, SANZ dan kawan-kawan pun segera memanfaatkan Lord untuk mengakhiri permainan di menit 11.

Bigetron Alpha mulai mendapatkan tempo permainannya di game kedua. Beda skor kill kedua tim begitu tipis, namun Bigetron Alpha unggul net-worth di menit 10 walau selisihnya =tidak lebar. Keadaaan terus imbang, berbagai perang kecil terjadi, sampai akhirnya peperangan besar pecah di menit 18. Bigetron Alpha kehilangan tiga pemainnya di peperangan besar tersebut sehingga para punggawa ONIC Esports yang masih utuh bisa mengambil Lord pertama dengan leluasa.

Lord pertama ternyata masih belum cukup membungkam Bigetron Alpha. Pertandingan berlanjut hingga akhirnya ONIC Esports kembali memenangkan peperangan di area atas untuk mendapatkan Lord kedua. Bigetron Alpha yang tak punya Turret lagi di dalam Base terpaksa pasrah melihat Lord yang berderap maju. Akhirnya ONIC Esports pun memenangkan pertandingan di menit 25, 2-0 untuk ONIC Esports.

Pertandingan Hari Kedua (20 Maret 2021)

Bigetron Alpha membuka pertandingan hari kedua. Lawan yang dihadapinya adalah Geek Fam ID. Pertandingan sudah sengit sejak Game 1. Geek Fam ID yang sudah unggul sejak awal dipaksa mengambil dua buah Lord untuk dapat menyelesaikan pertandingan. Lord kedua diamankan Geek Fam ID di menit 17 dan mengantarkan kemenangan kepada Geek Fam ID di menit 18.

Game kedua tambah sengit lagi. Lord pertama baru tumbang di menit 17 dengan BTR.Renbo berhasil mencuri Lord dari Geek Fam ID di tengah kemelut pertarungan. Pertarungan terus berlangsung ketat, bahkan Lord ketiga saja baru tumbang di menit 31. Lord tersebut juga menjadi Lord yang mengantarkan Bigetron Alpha memenangkan game 2 di menit 32.

Momentum kemenangan game kedua Bigetron Alpha ternyata terbawa hingga game ketiga. Renbo, Rippo, dan kawan-kawan sudah mengungguli pertandingan sejak awal. Tapi Geek Fam ID terus bertahan sekuat tenaga sampai memaksa Lord kedua keluar. Sayangnya Geek Fam ID tak mampu lagi menahan gempuran Lord kedua. Bigetron Alpha pun memenangkan pertandingan dengan skor 2-1.

Game 2 adalah AURA Fire melawan RRQ Hoshi. AURA Fire kembali mencoba memberi perlawanan terbaiknya di game ini. Namun dewi fortuna sepertinya masih belum berpihak kepada AURA Fire. RRQ Hoshi dengan permainan apiknya berhasil mendapatkan game pertama setelah melakukan Wipeout di menit 16. AURA Fire berusaha sekuat tenaga untuk merebut game kedua. Mereka menahanan RRQ Hoshi sampai menit ke 22, walau akhirnya ter-Wipeout dan harus pasrah dengan keadaan. 2-0 untuk RRQ Hoshi.

Sebagai penutup hari ada EVOS Legends melawan Alter Ego. Pertandingan ini jadi menarik karena Alter Ego merupakan pemuncak klasemen sementara yang masih belum terkalahkan. Tetapi EVOS Legends ternyata membuktikan bahwa Alter Ego masih bisa dikalahkan. EVOS Legends, walau kalah skor kill, berhasil menahan imbang Alter Ego hingga menit 10 dan bahkan merebut Lord di menit tersebut. Lord yang didapatkan menembus Turret dalam Lane atas milik Alter Ego, dilanjut dengan gempuran tanpa henti dari EVOS Legends yang tak terbendung. EVOS Legends amankan game 1.

EVOS Legends segera memanfaatkan momentum mental kemenangannya untuk mengungguli Alter Ego di early game kedua. Pada sisi lain, Alter Ego ternyata tidak berhasil bangkit dari kekalahannya. Alter Ego dilibas dengan skor kill 6-29 oleh EVOS Legends dan permainan diselesaikan cepat di menit 12.

Pertandingan Hari Ketiga (21 Maret 2021)

Pertandingan hari terakhir dibuka dengan EVOS Legends menghadapi Genflix Aerowolf. Walaupun Alter Ego terlibas 0-2, tapi Genflix Aerowolf ternyata menyalak lebih galak ke EVOS Legends. Pertandingan berjalan imbang hingga menit 10 di game 1. Tapi EVOS Legends terus menggerus Turret satu per satu hingga akhirnya Base juga dirobohkan di menit 14.

Kalah di game 1 tidak membuat si serigala putih gentar. Mereka justru lebih ngotot saat game kedua. Mereka bermain agresif, menculik satu demi satu pemain EVOS Legends hingga mereka unggul skor kill dan net-worth di menit 10. Lewat Lord dan gempuran tanpa henti, Genflix Aerowolf berhasil memenangkan game kedua. Sayangnya Genflix Aerowolf justru melunak setelah memenangkan pertandingan. EVOS Legends tampil galak di game ketiga dengan dominasinya yang berakhir dengan kemenangan cepat di menit 12.

Pertandingan terakhir adalah antara Alter Ego vs ONIC Esports. Alter Ego sepertinya masih belum bisa bangkit dari kekalahan kemarin. ONIC Esports pun segera mengungguli dan merebut Lord tanpa perlawanan di menit 10 pada game 1. Tanpa diduga, Lord tersebut memberikan kemenangan cepat kepada ONIC Espsorts di menit 11.

Alter Ego sempat memberi perlawanan sengit di game kedua, namun ONIC Esports tetap perkasa ketika itu. Lord pertama diamankan ONIC Esports setelah melibas 2 pemain Alter Ego di menit 10. Alter Ego kali ini bertahan lebih tangguh, berhasil mengulur permainan hingga menit ke-18. Tetapi ONIC Esports lagi-lagi tampil lebih solid sehingga SANZ dan kawan-kawan pun memenangkan game 2 dan mengamankan skor 2-0.

Sumber Gambar – MPL Official.

PUBG Mobile vs Free Fire: Data & Fakta, Ekosistem Esports, Serta Masa Depan

PUBG Mobile dan Free Fire adalah dua game yang kerap diperdebatkan soal siapa yang lebih baik atau keren. Namun konotasi “baik” atau “keren” sebenarnya relatif dan subjektif. Maka dari itu mari kita mencoba lebih objektif dalam membandingkan dua game tersebut. Dalam artikel ini kita akan bicara data dan fakta, serta membahas bagaimana perkembangan ekosistem esports-nya, sampai memprediksi nasib masa depan yang mungkin terjadi bagi kedua game tersebut.

Tanpa berlama-lama lagi, mari kita mulai membahas dua game Battle Royale terpanas di mobile tersebut, dimulai dari kulit terluarnya.

 

Mengupas Kulit Luar PUBG Mobile dan Free Fire

Sebelum membahas ke aspek yang lebih “dewasa”, mari kita bahas kulit terluar dari dua game tersebut terlebih dahulu yaitu gameplay. Dua game tersebut sama-sama Battle Royale. Apa itu Battle Royale? Bagaimana cara bermainnya?

Battle Royale adalah genre yang cukup unik, bahkan bagi para gamers sekalipun. Ketika konsep permainan tersebut pertama kali diperkenalkan 2017 lalu, konsep ini segera menjadi tren baru yang diadaptasi ke dalam berbagai bentuk oleh berbagai developer. Dalam ranah mobile, dua yang paling besar dan gencar persaingannya adalah PUBG Mobile dan Free Fire.

Apa bedanya Battle Royale dengan genre game lain? Game kompetitif pada umumnya menggunakan konsep permainan tim vs tim beranggotakan 5 orang. Pertandingan bisa dilakukan dalam permainan MOBA (Mobile Legends contohnya) atau First-Person Shooter (Point Blank atau Counter-Strike). Battle Royale sedikit berbeda.

Mode kompetitif Battle Royale mempertandingkan 14 tim sekaligus. Masing-masing tim berisikan 4 pemain. Tujuan yang harus dicapai masing-masing tim adalah menjadi tim yang bertahan hidup paling terakhir. Cara bertahan hidup bisa bervariasi, bisa dengan bersembunyi, ataupun secara agresif mengalahkan tim lain. Dalam PUBG Mobile dan Free Fire, cara mengalahkan tim lain adalah menembaki musuh-musuhnya dengan menggunakan senjata.

Lalu apa yang jadi perbedaan utama antara PUBG Mobile dengan Free Fire? Perbedaan tersebut datang dari sisi cara memainkan game-nya (disebut juga mekanik permainan). Sebagai game tembak-tembakkan, kemampuan pemain untuk mengarahkan lalu menembakkan senapan ke arah musuh sangatlah diutamakan.

Dalam Free Fire, proses mengarahkan dan menembak musuh banyak dibantu oleh sistem game-nya sendiri. Beberapa contoh bantuannya sendiri adalah: bidikan (crosshair) senjata yang akan berubah warna saat mengarah tepat ke musuh dan bantuan untuk mengarahkan kembali bidikan ke arah musuh apabila melenceng terlalu jauh (disebut juga aim-assist). Hentakan senjata (disebut juga weapon recoil) juga sengaja dibuat lebih bisa diprediksi agar pemain bisa menembaki musuhnya dengan lebih mudah.

Lalu bagaimana dengan PUBG Mobile? Mekanisme menembak di PUBG Mobile cenderung lebih sulit. Mekanismenya jadi lebih sulit karena minimnya bantuan dari sistem game. Bantuan yang seperti apa? Warna bidikan di PUBG Mobile akan tetap sama ke manapun arahnya, walau tetap memberi timbal balik visual apabila tembakan Anda mengenai orang lain atau objek-objek yang bisa dihancurkan (kendaraan misalnya). PUBG Mobile sebenarnya juga punya aim-assist, tetapi bantuan dari sistem game untuk mengarahkan kembali bidikan yang melenceng tergolong minim. Selain itu, fitur aim-assist di dalam PUBG Mobile juga bisa dimatikan, tidak seperti di Free Fire yang bersifat permanen. Hentakan senjata di PUBG Mobile juga dibuat layaknya senjata di dunia nyata sehingga pemain cenderung lebih sulit untuk menembaki musuh.

Karena perbedaan mekanisme perrmainan tersebut, PUBG Mobile dan Free Fire cenderung menciptakan segmentasi yang berbeda. PUBG Mobile cenderung lebih digandrungi oleh pemain yang kompetitif, suka tantangan, dan cenderung lebih dewasa. Pada sisi lain, Free Fire lebih digandrungi oleh pemain tipe casual yang cenderung lebih muda, walau tetap bisa dinikmati secara kompetitif juga.

Di luar dari gameplay, PUBG Mobile dan Free Fire juga punya beberapa perbedaan aspek visual. Tema visual dan perlengkapan persenjataan di dalam PUBG Mobile cenderung lebih realistis dan militaristik. PUBG Mobile tetap menyajikan skin warna-warni, tapi persenjataan di PUBG Mobile tetaplah persenjataan yang lazim digunakan di dunia milier (seperti granat, flashbang, dan berbagai jenis senjata api yang memang ada di dunia nyata).

Free Fire punya tema visual yang lebih berwarna-warni dan dilengkapi dengan beberapa perlengkapan yang bersifat futuristik dan fantasi. Free Fire sebenarnya tetap memiliki senjata yang berasal di dunia nyata, tetapi beberapa persenjataan lain adalah sesuatu yang bersifat fantasi. Beberapa contohnya seperti: Gloo Wall yang memungkinkan pemain memunculkan tembok es untuk bertahan, karakter yang punya berbagai macam kemampuan, ataupun kendaraan-kendaraan yang terlihat futuristik.

Setelah membahas kulit luarnya, mari kita menyelam ke dalam pembahasan “dewasa” yang tadi saya janjikan, yaitu aspek ekosistem esports, perkembangan jumlah pemain, dan pemasukan dari kedua game tersebut.

 

Ekosistem Esports PUBG Mobile vs Free Fire

Skema ekosisstem esports PUBG Mobile sudah sempat kita bahas pada kesempatan sebelumnya. Lalu bagaimana dengan ekosistem esports Free Fire? Ada turnamen apa saja? Bagaimana skema dari sisi kompetitifnya? Free Fire punya empat kompetisi di Indonesia. Ada Free Fire Masters League dan Free Fire Indonesia Masters sebagai dua kompetisi kasta utama yang dibuat oleh pihak pertama yaitu Garena Indonesia selaku publisher game. Free Fire Masters League bisa dikatakan sebagai babak Regular Season dari satu musim kompetisi, sementara Free Fire Indonesia Masters adalah babak Playoff-nya.

Selain dua kompetisi utama tersebut, Garena Indonesia juga punya dua jenis kompetisi lain. Ada Free Fire The One yang menjadi wadah kompetisi bagi solo player dan Free Fire Royale Combat sebagai wadah kompetisi tim-tim amatir. Sistem kompetisi esports yang diadopsi oleh skena Free Fire sendiri sebenarnya bisa dibilang sebagai sistem campuran.

Garena Indonesia menerapkan sistem tertutup untuk Free Fire Masters League. Liga FFML tergolong sebagai sistem tertutup karena seleksi dilakukan secara terbatas. Selain itu, tim yang ingin ikut serta juga tidak bisa cuma modal jago saja. Christian Wihananto selaku Produser Free Fire dari Garena Indonesia sempat menjelaskan proses masuk ke dalam FFML pada konfrensi pers peluncuran FFML Season 1 yang dilakukan pada awal Januari 2020 lalu. Chris menjelaskan adanya seleksi administratif dan keharusan buy-in slot seharga Rp50 juta bagi tim yang ingin masuk ke dalam liga FFML.

Skema Esports Free Fire Masters League.
Skema Esports Free Fire Masters League.

Tetapi ada sedikit perbedaan antara sistem tertutup yang diterapkan di Free Fire Masters League dengan Franchise League yang diterapkan Mobile Legends: Bang-Bang pada liga MPL. Model franchise dalam liga MPL menetapkan 8 tim yang bertanding di dalamnya sebagai peserta tetap, tanpa adanya sistem promosi ataupun relegasi.

Sementara investasi ke dalam Free Fire Masters League hanya berlaku untuk satu musim saja. Seiring perkembangannya, Free Fire Masters League di musim ke-3 bahkan memperkenalkan FFML Divisi 2 dan menyertakan sistem promosi-relegasi. Karenanya peserta FFML Divisi 2 yang memiliki performa baik akan punya kesempatan untuk naik ke divisi 1 dan sebaliknya (Tim divisi 1 yang berperforma buruk akan turun ke divisi 2 pada musim berikutnya). Maka dari itu liga FFML sendiri memang tidak bisa dibilang sebagai franchise league murni.

Dalam wawancara yang saya lakukan, Christian Wihananto mengatakan bahwa dirinya lebih suka menyebut liga FFML sebagai buy-in model. Selain itu, skena esports Free Fire juga menyertakan sistem terbuka lewat kompetisi Free Fire Indonesia Masters (FFIM). Kompetisi FFIM mempertandingkan 12 tim terbaik se-Indonesia. 12 tim yang bertanding terdiri dari 6 tim yang datang dari Free Fire Masters League dan 6 tim sisanya dari babak Play-Ins.

 

Skema Esports Free Fire Indonesia Masters bagi peserta umum.
Skema Esports Free Fire Indonesia Masters bagi peserta umum.

Bagaimana dengan ekosistem bisnis esports Free Fire? Model bisnis ekosistem esports Free Fire sebenarnya bisa dikatakan masih mirip dengan PUBG Mobile ataupun Mobile Legends: Bang-Bang. Kemiripannya terlihat dari besarnya peran publisher (yaitu Garena Indonesia) di dalam bisnis esports Free Fire. FFML, FFIM, sampai turnamen-turnamen tingkat grassroot seperti FFRC dan FF The One, semuanya diselenggarakan oleh Garena Indonesia sendiri.

Namun demikian, salah satu perbedaan cukup terlihat ketika kita membicarakan turnamen tingkat pelajar/mahasiswa di dalam skena PUBG Mobile dan Free Fire. Dalam ekosistem PUBG Mobile, kompetisi tingkat pelajar/mahasiswa juga diselenggarakan oleh Tencent Games selaku publisher game tersebut di Indonesia. Turnamen tersebut adalah PUBG Mobile Campus Championship atau PMCC.

Sementara pada sisi lain, kebanyakan turnamen pelajar di ekosistem Free Fire diselenggarakan oleh pihak ketiga, bahkan beberapa di antaranya melibatkan badan pemerintah. Beberapa contohnya adalah seperti Dunia Games Campus League (2019) dan IEL University Series (2020).

Selain itu, segmentasi dua game tersebut sebenarnya juga cukup terlihat dari penyelenggaraan kompetisi tingkat pelajar/mahasiswa. Seperti yang sebelumnya saya sebut, PUBG Mobile cenderung menyasar anak kuliahan lewat penyelenggaraan turnamen seperti PMCC.

Sementara itu kompetisi Free Fire cenderung menyasar anak sekolah. Selain dua contoh yang saya sebut di atas, Free Fire juga punya turnamen-turnamen yang diikuti oleh anak sekolah. Beberapa contohnya seperti Piala Pelajar (khusus pelajar setingkat SMA) atau Piala Menpora Esports (terbuka untuk pelajar setingkat SMA dan mahasiswa). Sama seperti sebelumnya, dua turnamen tersebut juga diselenggarakan oleh pihak ketiga.

Sumber Gambar - Piala Menpora Esports Official Website.
Sumber Gambar – Piala Menpora Esports Official Website.

Kelanjutan soal segmentasi akan saya bahas pada sub-pembahasan berikutnya. Sekarang mari kita melihat presensi global kedua game tersebut dari segi esports.

Tahun 2020 lalu dua game tersebut sama-sama menyelenggarakan turnamen internasional secara online. PUBG Mobile menyelenggarakan PUBG Mobile World League pada bulan Juli hingga Agustus 2020 lalu, sementara Free Fire mengadakan FF Continental Series di bulan November.

Dua turnamen tersebut sama-sama membagi pesertanya berdasarkan regional agar memudahkan teknis penyelenggaraan turnamen internasional secara online. PMWL membagi turnamennya menjadi dua bagian: East Region (negara-negara Asia dan sekitarnya) dan West Region (negara-negara barat dan sekitarnya). FFCS membagi turnamennya menjadi tiga bagian: EMEA (Timur tengah dan sekitarnya), Americas (Amerika Latin dan sekitarnya), dan Asia (SEA dan sekitarnya).

Walaupun Free Fire punya lebih banyak region pertandingan, tetapi PUBG Mobile ternyata punya lebih banyak perwakilan negara. Mengutip dari data Liquidpedia, tercatat ada 31 negara yang terwakilkan melalui pemain-pemain yang tergabung dalam PWML: West Region dan 13 negara untuk PMWL East Region. Maka dari itu, total ada 44 negara negara terwakili di dalam gelaran PMWL.

Masih mengutip dari Liquidpedia jumlah negara yang terwakilkan di FFCS lebih sedikit. Tercatat ada 12 negara terwakilkan melalui pemain-pemain yang jadi peserta di FFCS: Americas, 13 negara di FFCS: EMEA, dan 7 negara di FFCS Asia. Maka dari itu total ada 32 negara terwakilkan di dalam gelaran FFCS.

Presensi global esports kedua game tersebut juga bisa kita lihat salah satunya melalui jumlah tayangan bahasa lokal yang disajikan kedua turnamen tersebut. Mengambil data menggunakan fitur pro dari Esports Charts, PMWL memiliki total 16 tayangan bahasa lokal (tidak termasuk bahasa Inggris) dengan 9 bahasa untuk PMWL East dan 7 bahasa untuk PMWL West.

Beralih ke Free Fire, FFCS memiliki total 10 tayangan bahasa lokal (tidak menyertakan bahasa Inggris) dari 3 region yang dipertandingkan tersebut. Dari total 10 tayangan bahasa lokal tersebut, pembagiannya adalah 2 bahasa untuk FFCS: EMEA, 6 bahasa untuk FFCS: Asia, dan 2 bahasa untuk FFCS: Americas.

Sumber: Esports Charts
Data viewership FFCS: Asia. Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts
Data viewership PMWL: East Region. Sumber: Esports Charts

Lalu bagaimana jika bicara dari viewership secara internasional? Untuk bagian ini saya kembali menggunakan data dari Esports Charts. Secara angka, Free Fire memang punya jumlah viewers yang lebih banyak ketimbang PUBG Mobile. Namun keduanya memiliki kesamaan yaitu sama-sama memiliki basis penggemar terbesar di Asia. Menurut catatan Esports Charts, PMWL: East berhasil mebukukan 1,1 juta lebih peak viewers sementara FFCS: Asia membukukan 2,5 juta lebih peak viewers. Data lebih lengkapnya bisa Anda lihat pada gambar yang saya sajikan di atas.

 

Data Jumlah Pemain dan Pemasukan PUBG Mobile vs Free Fire

Dua game tersebut sedari awal memang sudah membedakan segmentasinya. Hal itu dapat kita lihat buktinya melalui laman Google Play. Dari laman Google Play, kita bisa melihat PUBG Mobile memiliki rating 16+ sementara Free Fire memiliki rating 12+. Karenanya jadi tidak heran juga kenapa Free Fire menyajikan gameplay yang lebih sederhana yang dilengkapi dengan aspek visual yang warna-warni, futuristik, juga bersifat fantasi.

Walaupun punya dua segmentasi yang berbeda, kedua game tersebut menjalani persaingan yang ketat dari segi angka. Mari kita lihat dulu dari segi jumlah pemain. Mengutip dari Invenglobal yang merujuk ke Business of Apps, jumlah pengguna harian PUBG Mobile sempat mencapai angka 65 juta pemain (peak Daily Active Users) pada tahun 2020 lalu.

Sumber: Google Play
Free Fire dipatok dengan rating 12+. Sumber: Google Play
Sumber: Google Play
PUBG Mobile dipatok dengan rating 16+. Sumber: Google Play

Untuk Free Fire, SEA (perusahaan induk Garena) sempat mempublikasikan laporan keuangan perusahaan mereka pada bulan Agustus 2020 lalu. Dalam laporan tersebut dituliskan bahwa Free Fire sempat mencapai 100 juta pengguna harian (peak Daily Active Users). Masih mengutip dari laporan keuangan tersebut, dikatakan juga bahwa Free Fire berhasil masuk daftar Top Grossing di Amerika Latin dan Asia Tenggara. Free Fire juga masuk peringkat 3 most downloaded dalam kategori mobile games secara global.

Setelah membahas jumlah pemainnya, sekarang mari melanjutkan pembahasan dari segi pendapatan dari kedua game. Walaupun PUBG Mobile kalah jumlah pemain, tapi game yang dikembangkan oleh Lightspeed & Quantum tersebut ternyata lebih menguntungkan ketimbang Free Fire, mengutip dari data pemasukan terakhir kedua game tersebut.

Sumber Data - Sensor Tower.
Sumber Data – Sensor Tower.

Sensor Tower melaporkan pada bulan Desember 2020 lalu bahwa PUBG Mobile berhasil mencetak US$2,6 miliar. Catatan pendapatan tersebut merupakan gabungan dari game PUBG Mobile yang dirilis secara global dan pendapatan dari Peacekeeper Elite yang merupakan versi lokal Tiongkok atas game tersebut. Dengan total pendapatan tersebut, PUBG Mobile pun menjadi game dengan pendapatan tertinggi di atas Honor of Kings (AOV versi Tiongkok), Pokemon GO, dan 3 game casual lainnya (Coin Master, Roblox, dan Monster Strike).

Sementara itu, Free Fire sempat berhasil membukukan pendapatan sebesar US$2,13 miliar berdasarkan dari data yang dikeluarkan oleh SuperData. Karenanya Free Fire digolongkan sebagai game free-to-play paling menguntungkan di tahun 2020 bersama dengan Pokemon GO, Roblox, League of Legends, dan lain sebagainya.

Dari kedua data tersebut, kita bisa melihat bahwa Free Fire dan PUBG Mobile tergolong punya kesuksesannya masing-masing di ranah genre Battle Royale untuk mobile. Free Fire berhasil menggaet banyak pemain berkat gameplay yang lebih casual dan beragam skin serta kolaborasi yang dilakukan. Pada sisi lain, walaupun punya jumlah pemain yang lebih sedikit, pemain PUBG Mobile cenderung lebih mudah untuk dikonversi menjadi paid-user yang mungkin terjadi berkat segmentasi pemainnya yang lebih dewasa.

Dengan berbagai kesuksesan yang mereka dapatkan di tahun 2020 lalu, bagaimana iklim perkembangannya di masa depan? Mari kita berlanjut ke sub-topik berikutnya untuk mendiskusikan masa depan kedua game tersebut dari sisi esports ataupun daya tarik masyarakat.

 

Menatap Masa Depan Battle Royale dan Iklim Perkembangan PUBG Mobile vs Free Fire.

Dari sisi iklim perkembangannya, game PUBG Mobile sebenarnya bisa dikatakan kurang beruntung. Game PUBG Mobile sempat mengalami banyak kontroversi secara internasional ataupun lokal.

Secara internasional, PUBG Mobile kerap kali dianggap sebagai game yang memberikan “dampak negatif.” PUBG Mobile sempat diblokir di Pakistan gara-gara hal tersebut. Selain itu, PUBG Mobile juga diblokir di India walau karena perkara yang berbeda. Lalu dari tingkat lokal, PUBG Mobile juga dicap haram oleh Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh sejak bulan Juni 2019 lalu.

Dalam kasus lokal, mengutip dari Kompas.com, PUBG Mobile diblokir karena dianggap menyebabkan kecanduan. Dalam kasus internasional, masalahnya juga sama. Mengutip India.com, dikatakan bahwa salah satu alasan Pakistan memblokir PUBG Mobile adalah karena masyarakat menganggap game tersebut bersifat adikfif dan berpotensi memberi dampak buruk terhadap kesehatan fisik dan psikis anak.

Pandangan negatif tersebut memang sering tercetus di masyarakat, terutama apabila membahas soal game online. Walaupun sering dicetuskan, namun pandangan negatif itu sebenarnya lemah argumentasinya. Pembahasan lebih panjangnya bisa Anda lihat pada artikel Hybrid.co.id yang satu ini.

Di luar dari itu, menurut opini saya pribadi, konten game yang cenderung realistis dan bersifat militaristik mungkin jadi alasan munculnya rasa paranoid atas PUBG Mobile. Apabila Anda memainkan PUBG Mobile tanpa skin, kosmetik, atau konten tambahan yang disajikan Lightspeed & Quantum, Anda bisa lihat sendiri bagaimana PUBG Mobile menyajikan dunia yang kelam, berisi peperangan, dan penuh kekerasan.

Gara-gara konten perang dan kekerasan tersebut, PUBG Mobile sendiri sebenarnya sempat diblokir di negara asal pengembangnya yaitu Tiongkok. Karena hal tersebut, PUBG Mobile pun kini berganti nama menjadi Peacekeeper Elite di Tiongkok dan meminimalisir konten kekerasan di dalamnya.

Tencent selaku publisher dan Lightspeed & Quantum selaku developer mungkin sadar bahwa salah satu alasan banyaknya kontroversi terhadap PUBG Mobile adalah karena konten peperangan yang disajikan. Maka dari itu, seiring perkembangannya, PUBG Mobile pun berusaha untuk memberi lebih banyak warna ke dalam game PUBG Mobile. Salah satu usaha untuk memberli lebih banyak warna ke dalam game adalah dengan menghiasi PUBG Mobile menggunakan berbagai skin bertema futuristik. Salah satu contohnya mungkin bisa Anda lihat dari konten Royale Pass Season 18 yang baru saja dirilis.

pubgm royale pass 18

Bagaimana dengan Free Fire? Walaupun sama-sama Battle Royale, Free Fire cenderung lebih minim kontroversi. Dari sisi konten, game Free Fire memang terlihat realistis pada awalnya. Namun seiring waktu, Free Fire juga terus berusaha mengembangkan kontennya ke arah game fantasi yang bersifat futuristik. Selain itu, Garena selaku publisher juga giat melakukan kolaborasi konten untuk semakin mengedepankan unsur fantasi ke dalam game tersebut.

Free Fire sempat berkolaborasi dengan serial Money Heist dari Netflix, pesepak bola Christiano Ronaldo untuk menghadirkan karakter Chronos, sampai anime Attack on Titan untuk menampilkan karakter Eren Jaeger ke dalam game. Free Fire sebenarnya juga sempat diblokir pemerintah India, namun pemblokiran tersebut lebih ke arah bentuk pemboikotan India terhadap produk-produk besutan Tiongkok yang terjadi karena masalah konflik perbatasan India-Tiongkok.

Sebagai pembahasan terakhir, hal yang menjadi pertanyaan mungkin adalah bagiamana nasib genre Battle Royale dan esports atas game tersebut ke depannya? Dari sisi esports, walaupun genre Battle Royale memang sempat mendapat kritik ketika saat dikompetisikan, namun perkembangan pesat Free Fire dan PUBG Mobile sebagai esports sebenarnya sudah jadi bentuk bukti minat pasar ke esports Battle Royale.

Namun demikian, seiring perkembangannya, baik PUBG Mobile ataupun Free Fire kerap kali melakukan perubahan format. Tetapi perubahan dan evolusi tersebut sebenarnya bisa dianggap positif mengingat posisi genre Battle Royale sebagai esports yang masih belia sehingga terus butuh perubahan untuk menemukan format terbaiknya.

Dalam kasus PUBG Mobile misalnya, saya sempat membuka diskusi membahas kemungkinan penggunaan mode First-Person Perspective untuk pertandingan esports-nya. Dari pembahasan tersebut, kita bisa melihat bahwa memang masih ada ruang untuk membuat esports genre Battle Royale jadi lebih baik lagi. Pembahasan tersebut masih baru satu aspek saja. Masih ada aspek lain yang sebenarnya juga bisa dipertanyakan seperti format turnamen yang tepat ataupun format pemberian poin yang adil baik untuk Free Fire ataupun PUBG Mobile.

Lalu bagaimana dengan genre Battle Royale sendiri? Apakah game dengan genre tersebut akan pudar popularitasnya di masa depan? Sebenarnya agak sulit untuk memprediksi hal tersebut.

Untuk menjawab perkara ini, sepertinya saya akan kembali mengutip pembahasan saya soal kausalitas antara game gratis dengan esportsDari pembahasan tersebut kita bisa menyadari bahwa memang kehadiran ekosistem esports bisa membuat sebuah game (atau genre game) jadi lebih panjang hajat hidupnya. Selama esports game Battle Royale masih ada, maka pemain baru untuk genre tersebut mungkin akan terus muncul, entah karena ingin menjadi pemain esports atau sekadar ingin menjajal gara-gara menonton pertandingannya.

Mengingat gameplay genre Battle Royale yang penuh aksi dan punya durasi yang pas, sepertinya dua game tersebut punya potensi untuk terus bertahan di dalam ekosistem esports sampai bertahun-tahun ke depan.