Bigetron RA Peringkat 5 PMGC 2020, Dua Pemain RRQ Athena Pensiun

Mengawali bulan Februari ini kita mendapatkan beberapa berita menarik seputar hasil pertandingan dan bursa transfer lokal, update game, dan berita esports luar negeri. Mulai dari hasil PMGC, DPC SEA 2021 pekan kedua, sampai bursa transfer PUBG Mobile yang kini semakin memanas. Tanpa berlama-lama, berikut rangkuman berita esports pekan pertama Februari 2021.

Rekap PMGC 2020: Nova Esports Jadi Juara, Bigetron RA peringkat 5, dan Aerowolf Limax Peringkat 13

Pertandingan PUBG Mobile Global Championship 2020 telah selesai, walau hasilnya sedikit mengecewakan bagi penggemar esports PUBG Mobile Indonesia. Bigetron RA yang diharapkan untuk kembali menjadi juara sayangnya harus dijegal keras oleh dua tim asal Tiongkok, Nova Esports dan 4AM. Dengan permainan yang begitu solid, Nova Esports pun akhirnya keluar sebagai juara setelah mebukukan total 319 poin dari 29 ronde pertandingan. Bigetron RA dengan segala perjuangannya masih bisa bertahan di peringkat 5 besar dengan total perolehan sebanyak 241 poin. Wakil Indonesia lainnya yaitu Aerowolf Limax juga menunjukkan ketangguhan perwakilan Indonesia dengan beberapa Chicken Dinner, walau harus puas finish di peringkat 13 dengan total perolehan sebanyak 161 poin.

Rekap DPC 2021 SEA Regional League – Week 2: Kemenangan Perdana BOOM Esports

BOOM Esports akhirnya berhasil mendapatkan kemenangan perdananya di dalam DPC 2021 SEA Regional League – Upper Division. Melawan 496 Gaming asal Vietnam, Fbz dan kawan-kawan berhasil meraih kemenangan 2-1. Pada Lower Division, giliran ZeroTwo mendapatkan kemenangannya. Lawan IYD, Dreamocel, dan kawan-kawan kali ini adalah Lilgun yang berhasil dilibas 2-0. HOYO yang memiliki Jhocam di dalam roster terpaksa menelan pil pahit kekalahan setelah dilibas oleh Cignal Ultra. Untuk itu klasemen sementara dari tim-tim dengan pemain Indonesia di DPC 2021 SEA Regional League saat ini adalah: BOOM Esports peringkat 4 (Upper Division), Army Geniuses peringkat 1 (Lower Division), HOYO peringkat 4 (Lower Division), dan Zero Two peringkat 7 (Lower Division).

Bigetron Infinity Lolos Babak Grup Wild Rift Asia Brawl

Wild Rift Asia Brawl merupakan sebuah turnamen yang digalakkan oleh sosok streamer bernama Assassin Dave. Turnamen tersebut mengundang beberapa organisasi-organisasi Asia ternama yang sudah memiliki divisi Wild Rift seperti Liyab Esports (Filipina), Berjaya Dragons (Malaysia), bahkan juga Alliance (berisikan pemain Singapura). Turnamen tersebut juga diikuti oleh dua wakil Indonesia yaitu Bigetron Infinity dan Victim Esports. Bigetron Infinity berhasil lolos ke babak selanjutnya mendapatkan catatan menang-kalah 2-1 dan menjadi pemuncak di grup A. Victim Esports tidak berhasil mendapat kesuksesan serupa, harus terhenti di babak grup karena finish di peringkat ke-3 dengan catatan menang-kalah 1-2 di grup B.

Microboy dan RedFacen Gabung EVOS Esports


Kabar tersebut diumumkan oleh EVOS Esports tanggal 29 dan 30 Januari 2021 kemarin melalui akun instagram resmi dari EVOS Esports. Kepindahan Microboy cukup mengejutkan bagi para penggemar. Hal tersebut mengingat pernyataan dari akun Instagram resmi Bigetron Esports yang mengatakan bahwa Nizar Lugatio memutuskan tidak memperpanjang kontrak dan pensiun pada tanggal 29 Januari 2021. Apalagi Microboy juga masih bertanding bersama Bigetron RA pada gelaran PMGC 2020 yang berlangsung hingga tanggal 26 Januari 2021. Sementara itu Redfacen sendiri memang sudah meninggalkan ION Esports pada tanggal 18 Januari 2021 kemarin. Namun perpindahan tersebut juga cukup mengejutkan mengingat keputusan EVOS Esports untuk mengambil dua pemain bintang sekaligus.

G9 dan Beer11 Pensiun dari RRQ Athena

Selain kepindahan Microboy, berita mengejutkan lain dari skena PUBG Mobile juga adalah pensiunnya G9 dan Beer11 dari tim RRQ Athena yang berbasis di Thailand. Melalui media sosial resminya G9 menuliskan dalam bahasa Thailand bahwa alasan dirinya pensiun adalah karena lelah dengan serentetan hasil yang kurang memuaskan dari tim RRQ Athena belakangan ini. Memang prestasi terbaik milik RRQ Athena adalah pada saat awal mula ketika esports PUBG Mobile mulai bersemi. Mereka adalah juara dunia PUBG Mobile pertama setelah berhasil menjadi juara di gelaran PMSC 2018. Sayangnya performa mereka berangsur menurun sejak saat itu. Terakhir mereka bahkan hanya mendapat peringkat 11 saja di gelaran PMGC 2020.

Wild Rift Update 2.1: Hadirkan Replay, Spectator Mode, dan 6 Champion Baru.

Fitur yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga di League of Legends Wild Rift. Melalui laman resminya, Riot Games mengumumkan akan menghadirkan fitur Replay dan Spectator mode di dalam game Wild Rift bulan Februari 2021 ini. Walaupun tidak menyebut tanggal, namun update tersebut sepertinya akan datang dalam waktu dekat mengingat banyaknya laporan dari komunitas soal kehadiran fitur tersebut walau masih belum sempurna. Pengumuman update 2.1 tersebut juga mengumumkan kehadiran Champion baru (2 buah di bulan Februari, 4 buah di bulan Maret), event imlek, dan set skin PROJECT.

Capcom Umumkan CPT 2020 Season Final yang Dipertandingkan Online

Capcom Pro Tour 2020 Season Final sebenarnya direncanakan untuk diselenggarakan secara offline di awal tahun 2021 ini. Sayangnya kondisi pandemi masih belum membaik yang membuat Capcom harus mengubah rencana pertandingan menjadi online yang diadakan tanggal 20 hingga 21 Februari 2021 mendatang. Menyadari masalah netcode pada game Street Fighter, Capcom pun mempertandingkan pemain yang memiliki domisili yang dekat untuk menghindari masalah lag yang terjadi. Contohnya adalah seperti mempertandingkan Daigo dengan Gachikun yang sama-sama berasal dari Jepang atau mempertandingkan iDom dengan Smug yang sama-sama berasal dari Amerika Serikat. Jadwal lebih lengkapnya dapat Anda lihat pada laman resmi dari Capcom Pro Tour.

G2 Esports Juara VALORANT Red Bull Home Ground

https://twitter.com/G2esports/status/1355923781953482760

Tim asal Jerman tersebut kembali menunjukkan dominasinya di skena esports VALORANT eropa. Mixwell dan kawan-kawan berhasil menjadi juara di turnamen Red Bull Home Ground setelah mengalahkan Team Liquid dengan skor 3-1. Turnamen tersebut terbilang sebagai pertandingan yang cukup besar dengan kehadiran tim-tim ternama seperti Ninja in Pyjamas dan Futbolist. Kemenangan tersebut tentunya akan semakin mengukuhkan posisi G2 Esports sebagai salah satu tim VALORANT terkuat di Eropa.

Info Turnamen dan Event Minggu Ini

OMEN Boot Camp Valorant Quest telah membuka pendaftaran untuk Anda yang ingin mengikuti rangkaian acara terkait game Valorant. Ada coaching clinic, battlequest atau individual challange. Acara ini juga berhadiah total cukup menarik yaitu 50 juta rupiah.

Info lengkap untuk acara ini bisa dilihat di tautan ini: https://www.menanggaming.com/event

Turnamen PES. Tertarik mengasah keahlian bermain PES atau Pro Evolution Soccer? Anda bisa mencari turnamen terdekat sesuai domisili lewat situs Turnamenpes.com.

HybridIDN Subscription. Berlangganan Hybrid hanya dengan 25k rupiah dan dapatkan artikel ekslusif dan berbobot khas Hybrid.co.id. Cek link ini. https://hybrid.co.id/subscription

Review ROG Zephyrus G14: Si Laptop Ringkas nan Bertenaga

ROG Zephyrus G14 merupakan salah satu laptop yang sempat menarik cukup banyak perhatian gamers ataupun pecinta teknologi ketika diungkap dalam gelaran Consumer Electronic Show (CES) Januari 2020 lalu. Salah satu daya tarik terbesarnya adalah teknologi “Anime Matrix” yang memungkinkan pengguna mengkustomisasi penampilan back cover laptop sesuka hati. Kebetulan beberapa waktu lalu saya dipinjamkan unit ROG Zephyrus G14 untuk direview lebih lanjut. Selain teknologi Anime Matrix, apa lagi keistimewaan laptop ini? Simak ulasan dari Hybrid.co.id berikut.

 

Melihat ROG Zephyrus G14 Dari Kulit Luar: Build Quality, Anime Matrix, dan Lain Sebagainya

ROG Zephyrus G14 yang datang adalah yang berwarna putih. Dari segi build quality secara keseluruhan, ROG Zephyrus G14 terasa solid dan cukup premium. Sayangnya dengan banderol harga Rp23.999.000, ada satu sisi kekurangan build quality-nya.

Mari bicarakan soal kelebihannya dahulu. Sisi back cover laptop terlihat sangat minimalis, bersih, dan elegan bisa saya bilang sebagai salah satu kelebihan build quality laptop ini. Walau tentu saja back cover warna putih akan mudah kotor, terutama apabila Anda adalah tipe pengguna yang cenderung slebor. Seluruh bagian laptop juga terasa solid ketika digunakan. Tidak ada hinge laptop yang bergoyang saat terkena guncangan. Bagian body laptop juga menggunakan plastik berkualitas yang membuatnya terasa padat ketika dipegang, ditekan, atau diketuk-ketuk.

Review ROG Zephyrus G1400012
Hinge laptop yang menggunakan teknologi ErgoLift.
Review ROG Zephyrus G1400004
I/O Ports di sisi kiri.
Review ROG Zephyrus G1400003
I/O Ports di sisi kanan.

Selain itu kelebihan lain laptop ini menurut saya adalah ukurannya yang cukup ringkas. Zephyrus G14 merupakan laptop dengan layar 14 inci yang ukurannya lebih kecil dibanding kebanyakan laptop gaming yang biasanya berukuran bongsor. Selain ringkas, laptop ini juga cukup ringan. Bobotnya adalah 1.70 kg, lebih ringan dibanding kebanyakan laptop gaming yang biasanya memiliki bobot 2kg lebih dan cenderung lebih berat dibanding dengan laptop tipe ultrabook. Jadi bisa dikatakan bahwa ukuran ROG Zephyrus G14 punya ukuran dan bobot di tengah-tengah antara laptop gaming dengan laptop tipe ultrabook.

Lalu di mana letak kekurangan yang saya sebut di awal tadi? Kekurangannya ada di sisi keyboard. Keyboard laptop ini, menurut saya, kurang sesuai dengan banderol harga laptopnya. Secara keseluruhan, keyboard chiclet yang ada di ROG Zephyrus G14 tidak terasa premium dan tergolong biasa saja.

Memang keyboard sudah tergolong NKRO (N-Key Rollover), yang artinya Anda bisa menekan tombol sebanyak apapun dan tetap masuk sebagai input. Tapi sayangnya feel yang diberikan ketika menekan tuts keyboard terbilang kurang enak, keras, dengan tingkat kedalaman penekanan yang terlalu dalam untuk sebuah keyboard chiclet. Backlit keyboard yang tersedia juga hanya ada warna putih. Tidak ada warna backlit RGB yang biasanya jadi salah satu nilai jual laptop gaming.

Review ROG Zephyrus G1400005
Penampakan keyboard laptop secara keseluruhan.
Review ROG Zephyrus G1400007
Tomboh tambahan untuk volume, mute mic, dan membuka aplikasi ROG.
Review ROG Zephyrus G1400018
Backlit laptop yang hanya memiliki warna putih saja.

Review ROG Zephyrus G1400019

Keyboard laptop tergolong cukup nyaman jika digunakan untuk mengetik. Tetapi pada saat saya menggunakannya untuk bermain game, saya merasa feel keyboard jadi tidak menyenangkan terutama saat memainkan game yang melibatkan input menahan satu tombol.

Contohnya ketika bermain VALORANT. Pergerakan saya kadang tersendat ketika sedang menahan tombol W untuk berjalan maju. Setelah saya tilik, penyebab gerakan saya tersendat adalah karena saya kurang dalam menekan tombol W. Selain itu saya juga merasa aneh dengan bentuk rancangan tombol spasi. Menurut selera saya, bentuk tombol spasi di keyboard tidak menambah estetika, juga tidak praktis karena area yang bisa ditekan sebenarnya tetap berbentuk persegi panjang.

Teknologi Anime Matrix tentu saja merupakan gimmick kosmetik yang berfungsi sebagai fitur tambahan untuk memperindah laptop. Fitur tersebut mungkin bisa dianggap norak bagi beberapa orang. Namun saya rasa Asus menyajikan fitur tersebut secara adil untuk semua orang. Kenapa? Karena fitur tersebut memungkinkan penggunanya memilih penampilan back cover menjadi apapun yang diinginkan sang pengguna.

Review ROG Zephyrus G1400001
Lampu Anime Matrix dalam kondisi lampu ruangan.
Review ROG Zephyrus G1400015
Lampu Anime Matrix pada kondisi cahaya luar ruangan. Karena laptop berwarna putih, lampu Anime Matrix jadi tidak mencolok saat digunakan di luar ruangan.

Apabila Anda penyuka gaya minimalis nan elegan, Anime Matrix bisa dimatikan untuk menunjukkan back cover dari ROG Zephyrus G14 yang pada dasarnya sudah tampan luar biasa. Apabila Anda ingin tampil beda, Anda bisa menampilkan animasi bergerak pada bagian LED Anime Matrix. Kalau Anda ingin tampil beda tapi masih sedikit malu-malu, Anda juga bisa menyertakan gambar statis di sana. Semua kustomisasi tersebut bisa Anda akses melalui aplikasi Armoury Crate.

Terakhir, bagian laptop yang saya rasa juga perlu mendapat sorotan adalah sisi audio. ROG Zephyrus G14 menyematkan dua buah speaker di sisi kiri dan kanan yang menghadap ke atas. Speaker juga sudah ditenagai oleh teknologi Dolby Atmos. Karena hal tersebut, suara yang dihasilkan oleh speaker ROG Zephyrus G14 tergolong di atas rata-rata. Suara yang dihasilkan cenderung memiliki karakteristik warm, dengan suara menggelegar layaknya menggunakan sebuah speaker khusus.

 

Jeroan ROG Zephyrus G14 – Performa, Suhu, dan Kemampuan Baterai

Berikutnya adalah soal performa. ROG Zephyrus G14 yang saya review dibekali jeroan berupa CPU AMD Ryzen 4800HS dan GPU Nvidia Geforce 1650Ti. Performanya menurut saya cukup unik. Walau beberapa percobaan mencatatkan min FPS yang cukup rendah, namun game masih tetap terasa mulus secara visual. Hal unik lainnya ada dari segi suhu. Berdasarkan dari aplikasi monitoring, suhu Zephyrus G14 cukup stabil dan cepat untuk adem kembali. Tapi saya merasa suhu panas yang dikeluarkan cukup terasa di tangan saat sedang menggunakan laptop. Sebelum membahas lebih lanjut, mari lihat dulu spesifikasi teknis ROG Zephyrus G14 GA401.

OS

  • Windows 10 Home – ASUS recommends Windows 10 Pro for business

CPU/GPU

  • AMD Ryzen™ 7 4800HS Processor 2.9 GHz (8M Cache, up to 4.2 GHz)
  • NVIDIA® GeForce® GTX 1650 Ti 4GB GDDR6

Display

  • 14-inch
  • FHD (1920 x 1080) 16:9
  • anti-glare display
  • sRGB: 100%
  • Adobe: 75.35%
  • Pantone Validated
  • Refresh Rate: 120Hz
  • IPS-level

Memori

  • 8GB DDR4 on board
  • Max Capacity: 24GB

Penyimpanan

  • 512GB M.2 NVMe™ PCIe® 3.0 SSD

Port I/O

  • 1x 3.5mm Combo Audio Jack
  • 1x HDMI 2.0b
  • 1x USB 3.2 Gen 2 Type-C support display / power delivery
  • 1x USB 3.2 Gen 2 Type-C
  • 2x USB 3.2 Gen 1 Type-A

Audio

  • Built-in array microphone
  • 2x 0.7W tweeter
  • 2x 2.5W speaker with Smart Amp Technology

Jaringan dan Komunikasi

  • Wi-Fi 6(802.11ax)+Bluetooth 5.0 (Dual band) 2*2;(*BT version may change with OS upgrades.)

Baterai

  • 76WHrs, 4S1P, 4-cell Li-ion
  • Suplai Daya: ø6.0, 180W AC Adapter, Output: 20V DC, 9A, 180W, Input: 100~240V AC, 50/60Hz universal TYPE-C, 65W AC Adapter, Output: 20V DC, 3.25A, 65W, Input: 100~240V AC 50/60Hz universal

Berat

  • 1.70 Kg (3.75 lbs)

Dimensi (L x D x T)

  • 32.4 x 22.0 x 1.99 ~ 1.99 cm (12.76″ x 8.66″ x 0.78″ ~ 0.78″)

Untuk gaming, saya menguji performa ROG Zephyrus G14 dengan dua jenis game seperti biasa. Ada game free to play dan game AAA. Untuk game free to play ada Dota 2 dan VALORANT. Sementara untuk game AAA ada Mafia: Definitve Edition dan World of Warcraft: Shadowlands.

Berhubung Dota 2 dan VALORANT tidak butuh spesifikasi hardware yang terlalu tinggi, maka saya mengharapkan laptop bisa menjalankan kedua game tersebut dengan lancar. Karena hal tersebut, saya juga mematok standar fps yang lebih tinggi. Untuk review ini, saya mematok 120 fps sebagai target mengingat display laptop yang memiliki refresh rate 120Hz.

Sayangnya Zephyrus G14 tidak berhasil mencapai target tersebut, walau catatan fps yang didapatkan terbilang tidak terlalu jauh dari target. Dengan menggunakan pengaturan rata kanan, Dota 2 mencapai rata-rata sebesar 92 fps. Memang tidak mencapai target, tapi saya masih merasa pergerakannya mulus di mata.

VALORANT berhasil mencapai target tersebut. Dengan preset grafis rata kanan, VALORANT mencatatkan rata-rata sebesar 125 fps. Saya cukup puas dengan performa laptop ini saat memainkan game free to play. Game tetap responsif serta punya aspek visual yang baik karena memberi catatan fps yang tinggi di pengaturan rata kanan. Catatan fps lebih lengkap bisa Anda lihat pada grafik di bawah ini.

Review ROG Zephyrus G14 Dota 2 Review ROG Zephyrus G14 VALORANT

Sayangnya ROG Zephyrus G14 mungkin masih belum bisa memuaskan kaum PC Master Race yang hobi bermain game AAA. Saya juga kurang puas dengan performanya saat menjalankan game AAA mengingat harga yang dipatok oleh laptop ini.

ROG Zephyrus G14 hanya bisa mencapai kisaran 40+ fps saja untuk titel AAA yang saya uji. World of Warcraft: Shadowlands mencatatkan fps rata-rata yang lumayan, yaitu 58 fps pada preset pengaturan grafis rata kanan. Namun ROG Zephyrus G14 sempat mencatatkan minimum framerate sebesar 21 fps dalam skenario open world, terutama di area Bastion yang memang cenderung intensif secara grafis.

ROG Zephyrus G14 juga cukup ngos-ngosan saat menjalankan Mafia: Definitive Edition. Pengujian saya lakukan pada adegan awal game yang berupa kejar-kejaran menggunakan mobil taksi. Dari pengujian tersebut, ROG Zephyrus mencatatkan rata-rata 40 fps pada preset pengaturan grafis High (rata kanan). Fps berangsur meningkat menjadi rata-rata 43 fps pada pengaturan Medium, sampai akhirnya menjadi rata-rata 60 fps pas pada pengaturan Mow.

Review ROG Zephyrus G14 Mafia Review ROG Zephyrus G14 Warcraft

Tetapi angka hanyalah angka. Sepanjang saya menguji kemampuan laptop dengan game-game tersebut, saya merasakan pengalaman bermain yang flawless. Walaupun ada catatan penurunan fps yang cukup jauh, game masih berjalan dengan stabil tanpa ada stutter yang benar-benar terasa. Pokoknya animasi game terasa mulus di mata sepanjang saya melakukan pengujian.

Beralih ke performa suhu, ROG Zephyrus punya kemampuan thermal yang cukup unik seperti apa yang saya tulis di awal sub-bagian ini. Catatan angka suhu CPU dan GPU masing-masing stabil di kisaran 90+ dan 70+ derajat celsius. Untuk catatan suhu secara lebih lengkap, Anda bisa melihat grafis di bawah ini yang menunjukkan suhu pada saat menjalankan pengujian pada  game yang saya sebut di atas.

Catatan suhu yang dibukukan memang bukan yang terbaik, tapi setidaknya suhu tidak menyentuh angka 100 derajat celsius. Ditambah lagi panas laptop juga bisa reda dengan cepat seperti yang Anda lihat pada histogram di atas. Dengan suhu seperti demikan, kekurangan dari laptop ini adalah rasa panas yang ternyata terasa sampai ke tangan ketika sedang mengoperasikan laptop. Karena itu bermain game berlama-lama di ROG Zephyrus G14 kadang menimbulkan rasa tidak nyaman.

Rancangan arah pembuangan udara panas laptop yang mungkin jadi biang kerok masalah tersebut. Pembuangan udara panas di belakang laptop terbagi jadi dua bagian, satu bagian mengarah ke atas, satu bagian mengarah ke bawah. Bagian yang mengarah ke atas bisa dikatakan sebagai sumber suhu panas yang membuat area keyboard jadi agak tidak nyaman saat digunakan dalam durasi lama. Selain itu Anda juga harus hati-hati, jangan sampai menyentuh bagian tersebut karena suhunya yang sangat panas.

Arah pembuangan udara panas yang mengarah ke atas. Dekat dengan monitor dan keyboard.
Arah pembuangan udara panas yang mengarah ke atas. Dekat dengan monitor dan keyboard.

Dari segi benchmarking, hasil skor 3DMark terpaut 2 ribu lebih jika dibandingkan dengan MSI Bravo 15 yang memiliki CPU sama, namun menggunakan GPU RX5500M. Apabila Anda penasaran, Anda mungkin bisa lihat sendiri pada tabel urutan kemampuan GPU dalam menjalankan 3DMark. Untuk hasil benchmark lebih lengkap, Anda bisa lihat rangkaian tangkapan gambar di bawah ini.

Terakhir adalah soal performa baterai. Untuk pengujiannya saya memutar video HD 1080p secara looping mulai dari baterai penuh hingga mati. Berdasarkan dari perkiraan sistem Windows 10, baterai laptop akan habis setelah 5 jam 15 menit. Ternyata perkiraan dari sistem Windows tidak jauh beda dengan kondisi sesungguhnya.

Catatan ketahanan baterai laptop ROG Zephyrus G14.
Catatan ketahanan baterai laptop ROG Zephyrus G14.

Pengujian dilakukan mulai pukul 17:35 dan laptop akhirnya mati pada pukul 22:44 (sekitar 5 jam 9 menit). Setelahnya saya memulai menguji kecepatan charging dari laptop. Sistem Windows 10 memperkirakan laptop akan terisi penuh dalam durasi 1 jam 26 menit. Pada kondisi sesungguhnya, saya memulai charging pada pukul 22:55 dan laptop ternyata selesai melakukan charging dari 0-80% (angka charging baterai optimal) pada pukul 00:00 (sekitar 1 jam 5 menit).

 

Kesimpulan

Dengan harga Rp23.999.000, ROG Zephyrus G14 GA401 bisa dibilang kurang worth it kalau kita hanya bicara performa saja. Lihat saja hasil pengujiannya. Performa ROG Zephyrus G14 GA401 sebenarnya juga bisa kita dapatkan pada laptop lainnya yang punya harga lebih murah.

Meski begitu ROG Zephyrus G14 GA401 punya nilai tambah yang cukup solid apabila kita ingin membicarakan laptop tersebut sebagai sebuah produk secara keseluruhan.

Build quality mantap, ukuran ringkas dengan performa bertenaga, performa thermal yang mampu mendinginkan laptop dengan cukup cepat, kualitas speaker yang luar biasa, dan tentunya teknologi Anime Matrix sebagai gimmick gemas menyenangkan menjadi poin-poin tambahan yang bisa Anda dapatkan dari laptop ini.

Jadi saya rasa apabila Anda sedang mencari laptop gaming yang berukuran ringkas dan punya penampilan ciamik, Zephyrus G14 bisa menjadi salah satu pilihannya.

3 Organisasi Esports Terpopuler Dunia di Tahun 2020

Akhir tahun 2020 yang lalu, Hybrid.co.id sudah sempat membahas berbagai pencapaian besar dari ekosistem esports terutama dari ranah lokal. Kami mencoba membuat daftar tim esports lokal tersukses, turnamen esports dengan hadiah terbesar, kesepakatan bisnis esports terbesar pada tahun 2020, dan lain sebagainya.

Dari semua itu, satu yang mungkin masih jadi pertanyaannya adalah siapa tim esports terpopuler pada tahun 2020 kemarin? Mengutip data dari Esports Charts, berikut 3 organisasi esports terpopuler dunia beserta skena game yang jadi andalan dari masing-masing organisasi.

 

#3 – Team Liquid

Sumber Gambar - Esports Charts.
Sumber Gambar – Esports Charts.

Sebenarnya ada banyak indikator yang bisa digunakan dalam menentukan popularitas sebuah organisasi esports. Jumlah pengikut media sosial mungkin bisa menjadi salah satunya, namun dalam hal ini yang jadi indikator adalah seberapa tertarik para penggemar esports untuk menyaksikan tim tersebut berlaga dengan menggunakan metrik total watch hours.

Pada peringkat ketiga ada Team Liquid dengan catatan mencapai 81 juta lebih total watch hours. Dari total watch hours tersebut, 32,7% datang dari skena Dota 2, 27.1% datang dari skena League of Legends, 28.6% dari CS:GO, dan sisanya dari berbagai cabang game lain sebesar 11.8%.

Team Liquid tercatat memiliki 13 divisi yang bertanding di 13 cabang game berbeda. 13 Cabang tersebut termasuk Free Fire ataupun Super Smash Bros. Cukup menarik melihat bagaimana divisi Dota 2 Team Liquid menjadi divisi yang banyak ditonton oleh para penggemar esports. Padahal divisi Dota 2 Team Liquid terbilang sedang cukup terseok pasca ditinggal roster bintangnya (Kuroky, Miracle, dan kawan-kawan) pada tahun 2019 lalu.

Sementara itu divisi CS:GO dan League of Legends memang juga merupakan beberapa divisi kuat milik Team Liquid. Divisi CS:GO punya karisma seorang Stewie2K dan divisi League of Legends memiliki karisma seorang Doublelift pada musim tersebut. Namun demikian, divisi CS:GO memiliki nasib yang kurang baik karena harus puasa gelar di musim 2020. Sementara divisi League of Legends sendiri berhasil menjadi juara di babak liga dan mendapat peringkat 3 di babak Playoff LCS 2020 Summer. Sayangnya Team Liquid sendiri mendapat hasil yang kurang memuaskan pada Worlds 2020 karena tidak berhasil lolos dari babak grup.

Dengan angka 81 juta lebih total watch hours, 54% di antaranya menonton pertandingan Team Liquid yang ditayangkan dengan menggunakan bahasa Inggris, 17,7% menggunakan bahasa Rusia, dan 12,9% menggunakan bahasa Portugis, dan 15,4% adalah sisanya.

 

#2 – Natus Vincere

Sumber Gambar - Esports Charts.
Sumber Gambar – Esports Charts.

Organisasi esports asal Ukraina ini ternyata masih memiliki tajinya, walau memang popularitasnya di Indonesia menurun setelah sang mega bintang Dendi meninggalkan divisi Dota 2.

Navi mencatatkan 86 juta lebih total watch hours dengan 71.9% di antaranya berasal dari divisi CS:GO, 27.9 % dari Dota 2, 2% dari Rainbow 6, dan 0.3% dari divisi lainnya.

Divisi CS:GO Natus Vincere memang sedang kuat-kuatnya pada musim 2020 lalu. S1mple dan kawan-kawan berhasil mengantongi salah satu gelar juara terbesar di skena CS:GO yaitu Intel Extreme Masters XIV. Tak hanya itu, divisi CS:GO Navi juga berhasil menjuarai babak liga dan turnamen BLAST Premier: Global Final 2020 secara keseluruhan. Karena prestasi tersebut, tim CS:GO Navi pun kini berada di peringkat 3 dunia berdasarkan hltv.org.

Pada sisi lain, Dota 2 adalah mata tombak lain dari tim Navi. Setelah ditinggal Dendi pada sekitar tahun 2018, roster Dota 2 Navi terbilang cukup compang-camping, terus bergonta-ganti pemain, dan masih belum menemukan performa terbaiknya. Tahun 2020 pun juga terbilang bukan musim yang terbaik bagi Navi dengan sedikitnya gelar juara yang mereka dapatkan. Namun sepertinya mengingat nama Navi yang sudah begitu mengakar di kancah Dota 2 membuat tim tersebut tetap menjadi favorit tersendiri di hati penggemar esports Dota terutama di Rusia.

Dari total 86 juta lebih total watch hours, mayoritas penggemar menonton pertandingan Navi dengan bahasa Rusia yaitu sebanyak 43.4%. Lalu dilanjut dengan penonton pertandingan berbahasa Inggris sebanyak 41.3%, penonton berbahasa Portugis sebanyak 7.4%, dan sisanya sebesar 7.8% tergolong sebagai penonton bahasa lainnya digabungkan.

 

#1 – G2 Esports

Sumber Gambar - Esports Charts.
Sumber Gambar – Esports Charts.

Tahun 2020 mungkin bisa dibilang sebagai tahunnya bagi G2 Esports. Organisasi esports asal Jerman tersebut mungkin tidak selamanya berhasil menjadi juara di sepanjang tahun 2020. Namun G2 Esports berhasil mendapatkan nama sebagai tim yang kuat di beberapa skena esports.

G2 Esports berhasil mencatatkan 92 juta lebih total watch hours dengan proporsi terbesar sebanyak 52.8% berasal dari League of Legends. Mengikuti setelahnya adalah sebesar 35.5% berasal dari CS:GO, 4.2% berasal dari Rainbow 6, dan dari beberapa game sisanya sebesar 6.9%.

Divisi League of Legends G2 Esports adalah salah satu yang terbaik di skena Eropa. Hal tersebut terbukti lewat usaha mereka yang hampir menyapu bersih seluruh gelar esports LoL Eropa di musim 2020.

PERKZ, Caps dan kawan-kawan berhasil menjadi juara di babak liga dan playoff dari LEC (Liga LoL Eropa) Spring, mendapat peringkat 3 di babak liga dan menjuarai babak playoff LEC Summer 2020. G2 Esports juga tampil dengan baik di gelaran Worlds 2020 kemarin. Menjadi harapan terakhir penggemar esports League of Legends barat, G2 Esports berhasil mencapai babak semi-final walau akhirnya harus tumbang 1-3 oleh Damwon Gaming.

Pada sisi lain roster CS:GO menjadi divisi lain yang cukup menarik perhatian para penggemar esports. Pencapaian terbesar mereka di musim 2020 adalah keberhasilan mereka mencapai puncak babak liga dari BLAST Premier: Spring. Sementara itu mereka juga berhasil mencapai babak final Intel Extreme Masters walau akhirnya harus terlibas 0-3 oleh Navi.

Dari total 92 juta lebih total watch hours, mayoritas penonton pertandingan mereka menonton tayangan berbahasa Inggris sebesar 57.6%. Penonton sisanya datang dari beberapa bahasa, mulai dari Portugis sebesar 8.3%, Rusia 6.3%, Spanyol 5.9%, Korea 5.6%, Prancis 4.9%, dan sisanya sebesar 11.6%.

 

Dota, CS:GO, dan League of Legends Masih Jadi 3 Besar Esports Dunia

Selain mempertunjukkan tim esports terpopuler, data tersebut juga menunjukkan tiga game esports terpopuler secara tidak langsung. Melihat dari game yang jadi mayoritas dan berdasarkan dari peringkat tim, bisa dibilang bahwa Dota 2 ada di peringkat ketiga, CS:GO berada di peringkat kedua, dan League of Legends berada di peringkat pertama.

Sumber Gambar - Esports Charts
Sumber Gambar – Esports Charts.

League of Legends dengan liga yang konsisten dan tersebar di berbagai wilayah sepertinya memang masih menjadi liga esports raksasa. Apalagi juga apabila kita melihat daftar tim esports terpopuler secara keseluruhan, 8 dari 10 tim yang berada di dalam daftar memiliki divisi League of Legends. Navi dan OG menjadi 2 tim yang tidak memiliki divisi League of Legends di dalam daftar tersebut. Namun dua tim tersebut memiliki aset di cabang lain berupa roster yang kuat di CS:GO bagi tim Navi dan dan pesona juara The International 2019 bagi tim OG.

*Disclosure: Esports Charts adalah partner dari Hybrid.co.id

Sumber Gambar Utama – gamesradar.co.uk

Tanggal Main MPL ID Season 7 Diungkap, Bren Esports Juara M2 MLBB World Championship

Tak terpungkiri bahwa pertandigan M2 MLBB World Championship berhasil menjadi perhatian utama dari skena esports lokal pada pekan lalu. Namun selain itu ada juga beberapa berita penting lain termasuk pengumuman tanggal main MPL ID Season 7. Berikut rekap berita esports pekan ketiga (Tanggal 18 – 24) Januari 2021.

Bren Esports Juara M2 MLBB World Championship

Sumber Gambar - Instagram @mpl.id.official.
Sumber Gambar – Instagram @mpl.id.official.

M2 MLBB World Championship 2021 telah selesai digelar tanggal 24 Januari 2021 kemarin. Babak Grand Final berlangsung antara tim asal Filipina yaitu Bren Esports dengan tim asal Myanmar yaitu Burmese Ghouls. Pertandingan berlangsung sengit, kedua tim saling beradu keras hingga mencapai skor imbang 3-3 dari seri best of 7. Bren Esports tampil gemilang di pertandingan terakhir hingga memenangkan pertandingan dan menjadi juara M2 MLBB World Championship 2021. Tim Indonesia tertunduk lesu dalam kompetisi MLBB tingkat dunia ini. Bren Esports menjadi tim yang melibas dua tim wakil Indonesia dengan skor 2-1 saat melawan Alter Ego dan RRQ Hoshi.

Moonton Ungkap Tanggal Main MPL Indonesia Season 7

Sumber: Gambar - Cuplikan Stream M2 Grand Finals Bahasa Indonesia.
Sumber: Gambar – Cuplikan Stream M2 Grand Finals Bahasa Indonesia.

Melalui stream M2 MLBB World Championship, Moonton mengumumkan bahwa MPL Indonesia Season 7 akan dimulai pada 26 Februari 2021 mendatang. Sayangnya tayangan tersebut tidak menyertakan informasi lebih lanjut seputar salah satu liga esports franchise pertama di Indonesia tersebut.  Dalam hal jumlah tim, ada kabar mengatakan bahwa jumlahnya akan bertambah di season 7 nanti. Spekulasi menguat setelah Azwin Nugraha selaku Public Relation Manager Moonton bicara kepada Esports.id dan mengakui perbincangannya dengan beberapa tim untuk peluang penjualan slot di untuk Season 7 dan 8.

PMGC Tertunda, Bigetron RA dan Aerowolf Limax Melipur Lara Fans Indonesia

Pertandingan PUBG Mobile Global Championship mengalami nasib kurang beruntung dalam pelaksanaannya. Setelah ada pemain yang terjangkit virus COVID-19, turnamen jadi diselenggarakan secara online di dalam kamar hotel sehingga mengalami kendala teknis yang cukup berat. Karena hal tersebut, pertandingan hari kedua yang seharusnya diselenggarakan Jumat (23 Januari 2021, jadi tertunda selama dua hari berturut-rutut dan baru terselenggara hari Minggu (24 Januari 2021). Untungnya Aerowolf Limax dan Bigetron RA berhasil melipur lara penggemar esports PUBG Mobile Indonesia dengan Chinken Dinner yang mereka dapatkan. Kini Bigetron RA berada di peringkat 5 dan Aerowolf Limax berada di peringkat 14 pada klasemen sementara.

Pekan Perdana DPC SEA 2021: BOOM Esports Tertunduk, ArmyGeniuses Mengamuk

Pekan lalu merupakan pekan perdanan dari pertandingan Regional League Dota Pro Circuit 2021. Pada Upper Division, BOOM Esports sepertinya masih belum menemukan permainan terbaiknya pasca ditinggal sang Carry, Dreamocel. Melawan Neon Esports, akhirnya Mikoto dan kawan-kawan pun tertunduk 2-0. Pada sisi lain Army Geniuses justru mengamuk di Lower Division. Pekan ini Mamang Daya dan kawan-kawan berhadapan dengan ZeroTwo dan juga Galaxy Racer.  Bermain dengan apik, Army Geniuses pun berhasil mendapatkan kemenangan dari dua pertandingan tersebut. Karena hal tersebut, BOOM Esports kini berada di peringkat 5 dan Army Geniuses berada di peringkat 1 pada klasemen sementara.

Zarq ZET Jadi Pelatih Free Fire RRQ

Sumber Gambar - Instagram @teamrrq.
Sumber Gambar – Instagram @teamrrq.

Pengumuman tersebut dilakukan melalui akun media sosial RRQ pada tanggal 15 Januari 2021 kemarin. Mengutip dari booyah.co.id, regulasi menyertakan pelatih di dalam roster tim di pertandingan Free Fire Master League Season 3 terbilang jadi salah satu alasan RRQ kembali menghadirkan pelatih untuk divisi Free Fire. ZarQ sendiri merupakan salah satu sosok ternama di dalam kancah Free Fire Indonesia. Sebelumnya ia juga sempat melatih RRQ Hades, bahkan berhasil membawa tim tersebut meraih peringkat 3 di FFCS: Asia Series.

Logitech Terima Keuntungan Hingga US$380 ribu dolar pada Kuartal 4 2020

Sumber Gambar - Logitech Official Website.
Sumber Gambar – Logitech Official Website.

Mengutip dari Esports Observer, Logitech telah mencatatkan pemasukan sebesar US$1,67 miliar pada kuartal ketiga dari tahun fiskal 2021 yang berakhir pada 31 Desember 2020 kemarin. Total pendapatan tersebut memberikan keuntungan kepada Logitech sebesar US$383 ribu. CEO Logitech mengatakan bahwa catatan keuangan tersebut menunjukkan kekuatan portfolio perusahaan dari sisi peripheral komputer baik untuk kebutuhan produktivitas ataupun gaming.

TiMi Studios Investasikan US$154 juta untuk Esports Honor of Kings

Sumber Gambar - Esports Observer.
Sumber Gambar – Esports Observer.

TiMi Studios mengumumkan hal tersebut pada hari Sabtu kemarin. Investasi tersebut akan dibagikan ke dalam beberapa bagian ekosistem esports Honor of Kings, termasuk Honor of Kings National League, Honor of Kings World Champions Cup, King Pro League, dan King Pro League G-League. Honor of Kings sendiri merupakan versi Tiongkok dari Arena of Valor. Game tersebut sangatlah populer di Tiongkok sana dan sudah mencatatkan US$230 juta pendapatan pada November 2020 lalu mengutip SensorTower.

MAD Lions Tanda Tangani Kontrak Jangka Panjang dengan Razer

Masih dari Esports Observer, Razer dikabarkan telah menandatangani kontrak kerja sama dengan MAD Lions sepanjang 3 tahun. Dalam kerja sama ini pemain MAD Lions akan dilengkapi oleh berbagai peripheral milik Razer, mulai dari mouse, mousepad, kontroller untuk konsol, hingga laptop serta perlengkapan streaming. MAD Lions sendiri merupakan organisasi esports asal Spanyol yang berlaga di League of Legends European Championship (LEC) dan skena CS:GO.

Turnamen Battle of Gods Diumumkan

battle of gods - rekap januari 4

Dewa United Esports mengumumkan kehadiran turnamen bertajuk Battle of Gods pada 26 Januari 2021.  Memiliki total hadiah sebesar Rp150  juta, Battle of Gods mempertandingkan 4 cabang game yaitu Mobile Legends, PUBG Mobile, Pro Evolution Soccer Mobile dan Console. Tak hanya itu, Battle of Gods juga mewadahi kompetisi untuk teman-teman difabel dalam bentuk PUBG Mobile Solo. Rangkaian turnamen diselenggarakan di 9 kota dan dimulai pada 4 Februari 2021 mendatang dengan babak grand final diadakan tanggal 18 Februari 2021.

Info Turnamen dan Event Minggu Ini

OMEN Boot Camp Valorant Quest telah membuka pendaftaran untuk Anda yang ingin mengikuti rangkaian acara terkait game Valorant. Ada coaching clinic, battlequest atau individual challange. Acara ini juga berhadiah total cukup menarik yaitu 50 juta rupiah.

Info lengkap untuk acara ini bisa dilihat di tautan ini: https://www.menanggaming.com/event

Turnamen PES. Tertarik mengasah keahlian bermain PES atau Pro Evolution Soccer? Anda bisa mencari turnamen terdekat sesuai domisili lewat situs Turnamenpes.com.

Sumber Gambar Utama – Cuplikan Stream M2 MLBB Grand Finals Bahasa Indonesia.

Esports PUBG Mobile: Antara TPP vs FPP dan Map Vikendi yang Ditiadakan

Diskusi seputar bagaimana PUBG, juga versi mobile-nya, dipertandingkan dan ditayangkan sepertinya masih menjadi diskusi hangat yang patut untuk dibahas. Saya jadi terpikir untuk kembali membahas ini setelah Tencent memutuskan untuk menghapus map Vikendi dari daftar map yang dipertandingkan di turnamen PMCO 2021 nanti. Berangkat dari sana, saya pun ingin membuka diskusi apakah format pertandingan PUBG Mobile sekarang sudah ideal?

 

Berbagai Kritik Ketika Battle Royale PUBG Menjadi Esports

Membincangkan esports PUBG Mobile terasa kurang lengkap tanpa berbicara bagaimana PUBG (PC) sendiri berangkat jadi esports. ESL Gamescom PUBG Invitational di tahun 2017 mungkin bisa dibilang sebagai bibit awal perkembangan PUBG menjadi esports. Sejak saat itu, turnamen demi turnamen pun muncul hingga PUBG Global Invitational pun hadir sebagai puncak esports PUBG pertama. Pada proses perkembangannya menjadi esports, banyak yang mengkritis soal kemunculannya.

Saya ingat sempat membaca beberapa artikel yang mengkritisi soal metode penayangan PUBG yang cenderung sulit karena banyaknya aksi yang bisa terjadi di dalam satu waktu. Ada juga yang mengkritisi soal format pertandingan PUBG yang cenderung membuat pertandingan jadi mudah ditebak. Ada juga yang mengkritisi soal PUBG yang bisa jadi mimpi buruk bagi operator turnamen esports karena harus menyediakan 64+ komputer di dalam satu turnamen LAN. Terlepas dari semua kritik, turnamen PUBG Global Invitational jadi pembuktian oleh sang pengembang dan berhasil menarik hampir 760 ribu peak viewers dengan total konsumsi hampir mencapai 9,2 juta jam.

Sumber Gambar: PUBG Esports Official
Panggung megah PUBG Global Invitational 2018. Sumber Gambar – PUBG Esports Official

PUBG Mobile pun mulai muncul ke permukaan pada Maret 2018 lalu. Mengikut kesuksesan pendahulunya, Tencent selaku penerbit PUBG Mobile pun mulai membangun ekosistem esports sedikit demi sedikit. Pada masanya, jenjang turnamen PUBG Mobile terbilang agak… acak-acakan. Bahkan, turnamen PUBG Mobile tingkat dunia ternyata sudah 4 kali berganti nama dari tahun 2018 sampai 2021 ini. Ada PMSC yang dimenangkan RRQ Athena di tahun 2018, lalu ada PMCO Global Finals yang dimenangkan Bigetron RA pada tahun 2019, kemudian berganti jadi PMWL East dan West di tahun 2020 kemarin, dan terakhir adalah PMGC 2020 yang sedang berjalan saat ini.

Tahun 2018 terbilang jadi masa eksplorasi bagi esports PUBG ataupun PUBG Mobile. Keduanya mencoba menghadirkan dua format pertandingan yaitu TPP (Third-Person Perspective) dan FPP (First-Person Perspective). Setelah satu tahun berjalan, dua game tersebut berpisah jalan dan menggunakan cara bertanding yang berbeda. Esports untuk PUBG di PC hanya mempertandingkan mode FPP saja sementara esports PUBG Mobile hanya mempertandingkan mode TPP saja.

Secara gameplay, PUBG di PC yang cenderung lebih realistis memang terbilang cocok menggunakan mode FPP yang imersif. Apalagi pemain game shooter di PC juga cenderung terbiasa bermain dengan sudut pandang first-person. Sementara pada sisi PUBG Mobile yang cenderung lebih arcade juga cocok menggunakan mode TPP. Apalagi juga mengingat kecilnya layar smartphone yang bisa membuat pemain kesulitan apabila dipaksakan berkompetisi dengan mode FPP; walaupun mode tersebut sebenarnya tersedia di dalam game.

Dengan pembedaan tersebut, dua game tersebut seolah berkembang menjadi dua dunia yang berbeda walau sebenarnya berasal dari satu IP (Intellectual Properties) yang sama. Walau begitu, perdebatan antara mode TPP atau FPP untuk esports PUBG Mobile sepertinya tidak berhenti sampai situ saja. Ketika PUBG berkembang menjadi esports dengan format liga, Tiongkok juga punya liganya sendiri yang diberi nama sebagai Peacekeeper Elite League. Peacekeeper Elite sendiri adalah nama game PUBG Mobile versi Tiongkok yang sudah di-rebrand dan diubah pada beberapa aspek agar menyesuaikan kebijakan pemerintah Tiongkok seputar konten kekerasan di game.

Liga Peacekeeper Elite League (PEL) dipertandingkan dengan menggunakan mode FPP. Bahkan berdasarkan dari beberapa informasi, Peacekeeper Elite League dipertandingkan dengan menggunakan Hardcore Mode yang artinya tidak ada indikator visual terkait suara langkah kaki atau suara tembakan di map, tidak ada kendali otomatis untuk looting, reload, ataupun membuka pintu. Kalau tim Peacekeeper Elite League hanya bertanding di Tiongkok saja, hal tersebut mungkin jadi tidak masalah. Namun demikian, tim-tim Peacekeeper Elite League ternyata juga turut bertanding di dalam turnamen PUBG Mobile tingkat internasional seperti PMWL ataupun PMGC 2020 yang sedang berlangsung.

Jadi sebenarnya bagaimana seharusnya PUBG Mobile dipertandingkan? Mari coba kita diskusikan dari aspek mode permainan dan map yang dipertandingkan.

 

Mode Untuk Esports, TPP atau FPP?

Diskusi soal TPP atau FPP sepertinya akan menjadi diskusi yang tidak kunjung habis dibahas dalam membicarakan esports PUBG Mobile. Pada ekosistem esports PUBG di PC, kebanyakan pihak akhirnya sepakat bahwa mode FPP menjadi mode yang cocok untuk esports. Namun pada sisi lain, dua mode ini sepertinya masih menjadi perbincangan jika kita bicara esports PUBG Mobile. Apalagi juga mengingat liga lokal Tiongkok yang ternyata bertanding dengan metode yang berbeda.

Menurut opini dari pengamatan saya pribadi, saya sebenarnya kurang setuju dengan mode TPP sebagai pertandingan esports PUBG Mobile. Ada beberapa alasan kenapa TPP masih kurang tepat dijadikan mode esports sampai sekarang.

Alasan pertama, kamera TPP memberi keunggulan lebih besar kepada pemain yang bertahan sambil bersembunyi. Dalam esports, urusan balancing mungkin akan selalu membuat sang developer pusing tujuh keliling. Makanya proses nerfing/buffing karakter atau keadaan di dalam permainan selalu ada demi mencapai keseimbangan yang terbaik. Sementara itu mode TPP untuk esports PUBG Mobile saya pikir cenderung tidak balance karena keunggulan yang didapat pemain bertahan cenderung lebih banyak dibanding pemain menyerang.

Pemain bertahan di mode TPP memiliki beberapa keunggulan. Satu yang pasti adalah bisa melihat pergerakan lawan tanpa harus memunculkan bagian tubuh apapun. Kalau deskripsi saya membingungkan, Anda mungkin bisa melihat screenshot yang saya tangkap dari cuplikan pertandingan PMSC 2018 lalu. Seperti yang Anda lihat, TTNAmit bersembunyi tapi masih bisa melihat pergerakan lawannya yaitu Zodk.

Sumber Gambar - YouTube Channel PUBG Mobile Esports.
Sumber Gambar – YouTube Channel PUBG Mobile Esports.

“Tapi semua orang bermain dengan mode TPP di pertandingan esports PUBG Mobile, berarti pertandingannya adil kan?”

Sayangnya tidak demikian. Anda yang sudah sering push rank hingga Conqueror tentu paham betul betapa sakitnya di “TPP” oleh musuh. Betapa horornya apabila melewati compound strategis tapi terlihat sepi-sepi saja. Padahal Anda bermain dengan TPP dan musuh Anda juga pakai TPP. Tapi kenapa musuh yang bertahan/bersembunyi bisa melihat Anda, sementara Anda yang menyerang/bergerak tidak bisa melihat mereka?

“Fortnite juga pakai TPP untuk esports. Berarti kamera TPP sebenarnya cocok-cocok saja untuk esports kan?”

Dari apa yang saya amati, ada satu perbedaan fundamental terbesar antara TPP versi Fortnite dengan TPP versi PUBG Mobile. Dalam Fortnite, setiap objek yang ada di medan pertarungan bisa dihancurkan. Senjata di game Fortnite juga sangat beragam. Mulai dari senjata yang umum seperti Rifle atau Machine-Gun sampai senjata-senjata peledak seperti bom ataupun basoka yang juga bisa menghancurkan tembok atau objek apapun.

Sementara pada PUBG Mobile, tidak ada satu pun objek di medan pertempuran yang bisa dihancurkan (kecuali pintu rumah). Jangankan tembok rumah, jerami yang ada di tengah lahan pertanian saja tidak hancur ataupun bergeser ketika ditembaki atau terkena ledakan granat.

Karena itu, bermain TPP di PUBG Mobile jadi sangat menguntungkan. Karena tembok/objek tidak bisa dihancurkan, maka risiko bagi pemain yang bertahan/bersembunyi jadi semakin kecil. Pemain yang bertahan tentu masih bisa dikalahkan dengan granat atau molotov. Namun terlepas dari itu, bertahan dengan kamera TPP di PUBG Mobile tetap cenderung lebih menguntungkan.

Dengan kondisi dan mekanik permainan yang ada, FPP sebenarnya terbilang jadi mode yang paling “fair” untuk esports PUBG Mobile. Dalam keadaan FPP, apa yang Anda lihat adalah posisi di mana Anda berdiri. Anda berlindung di balik tembok maka apa yang Anda lihat adalah tembok. Anda harus memunculkan tubuh Anda apabila ingin melihat ke mana musuh bergerak.

Karena hal tersebut, kondisi pemain menyerang dan pemain bertahan pun lebih adil. Pemain bertahan punya kemungkinan kalah yang lebih besar, karena ia hanya bisa mendengar suara langkah kaki saja tanpa bisa melihat posisi pasti pemain menyerang. Sementara pemain menyerang juga jadi lebih leluasa melakukan pergerakan tanpa harus takut terjebak kamera TPP sang lawan.

Saya juga menanyakan pendapat Head Coach Battle Royale Division dari AURA Esports yaitu Entruv. Pria bernama asli Alexander Putra tersebut pun setuju soal esports PUBG Mobile yang seharusnya menggunakan mode FPP. “Kalau ditanya esports PUBG Mobile seharusnya TPP atau FPP, gue setuju FPP. Karena mode FPP akan mengurangi elemen terpenting di Battle Royale yaitu luck. Lalu kalau ditanya apakah esports PUBG Mobile harus ikut Tiongkok yang pakai FPP Hardcore Mode, kalau menurut gue sih WAJIB!”

Terkait kelebihan TPP dan FPP, Entruv juga mengatakan. “Kalau TPP kelebihannya adalah penjualan skin akan naik dan para pemain casual sangat nyaman dengan mode ini. FPP memang sangat fair untuk kompetitif. Bahkan mungkin akan memunculkan meta baru yang harus dipelajari oleh setiap tim. Namun kekurangannya adalah tidak semua pemain mampu bermain FPP. Kekurangan mode FPP adalah bisa menyebabkan mual bagi beberapa pemain dan cenderung lebih sulit dipelajari oleh pemain casual.”

Pada akhirnya keadaan ideal yang diharapkan kadang memang tidak selalu berjalan sesuai dengan kenyataan yang ada. Seperti yang saya sebut di awal juga, PUBG Mobile mode FPP cenderung tidak nyaman dimainkan di mobile. Selain karena ukuran layar yang lebih kecil, pergerakan cepat secara terus menerus juga bisa memunculkan rasa motion sickness saat bermain dengan mode FPP bagi beberapa pemain. Namun memang, mode FPP terbilang adalah mode yang lebih ideal dari segi kompetitif karena cenderung lebih fair.

Di sisi lain, mode TPP cenderung lebih laku karena pemain jadi bisa melihat bentuk dari karakter yang dimainkan. Karena bisa melihat bentuk karakter, keinginan membeli skin pun jadi cenderung meningkat.

PUBG Mobile berhasil mengumpulkan pendapatan sampai dengan US$3 miliar pada Juli 2020 lalu. Kosmetik yang membuat penampilan makin apik tentu menjadi salah satu sumber pendapatan tersebut. Walau mode TPP cenderung kurang adil untuk esports, namun mode tersebut mau tidak mau terpilih untuk dipertandingkan karena menjadi mode yang paling sering dimainkan dan mudah diterima oleh segala macam gamers.

 

Map PUBG Mobile Untuk Esports, Haruskah Sanhok Juga Dihapuskan?

Selain soal TPP vs FPP, hal berikutnya yang juga diperbincangkan dalam pertandingan PUBG Mobile adalah map yang digunakan. Terakhir kali Tencent mengeluarkan keputusan menghapus Vikendi dari daftar map yang dipertandingkan untuk esports. Alasannya tidak dijelaskan, namun saya akan coba mengupasnya pada bagian ini.

Sebelum menuju pembahasan, patut diketahui bahwa PUBG Mobile punya 4 map, Erangel, Miramar, Vikendi, dan Sanhok.

Erangel dan Miramar adalah dua map awal di PUBG. Keduanya punya ukuran yang sama, yaitu 8×8 km. Vikendi dan Sanhok merupakan map yang tergolong paling baru dibanding yang lain. Dua map tersebut terbilang jadi percobaan PUBG Corp. untuk memberi variasi ke dalam game. Vikendi dan Sanhok punya ukuran yang lebih kecil, masing-masing adalah 6×6 km dan 4×4 km.

Sumber Gambar - Instagram @pubgmobile.esports.id
Sumber Gambar – Instagram @pubgmobile.esports.id

Normalnya satu game PUBG diikuti oleh sekitar 80 hingga 100 pemain. Namun untuk esports, jumlah pemain di dalam satu map dikurangi menjadi 64 pemain saja atau 16 tim berisi 4 pemain.

Kenapa jumlah pemainnya harus dikurangi? Seperti apa yang dikatakan oleh Entruv, faktor luck adalah faktor yang sebisa mungkin harus dikurangi (kalaupun tidak bisa dihilangkan) di dalam sebuah pertandingan esports. Semakin banyak pemain di dalam suatu map, maka akan semakin besar faktor keberuntungan di dalam pertandingan.

Kenapa demikian? Satu tim bisa jadi terpaksa berebut satu daerah dengan beberapa tim tersebut yang akan semakin meningkatkan faktor keberuntungan di dalam pertandingan karena berebut loot.

Baku tembak juga jadi sulit diprediksi karena ada kemungkinan diserang oleh pihak ketiga/empat/lima akan semakin besar. Karena hal tersebut, 64 orang di dalam map 8×8 km sejauh ini terbilang sudah cukup ideal. Masing-masing tim punya waktu yang cukup untuk looting dan merancang strategi rotasi untuk mendapat Chicken Dinner. Baku tembak dari beberapa pihak masih sangat mungkin terjadi tapi masih bisa diprediksi.

Lalu apa jadinya kalau 64 orang tersebut bertanding pada map yang berukuran lebih kecil? Tentu saja kemungkinan-kemungkinan seperti 100 orang di dalam map 8×8 km akan terjadi lagi. Karena hal tersebut Vikendi terbilang kurang cocok digunakan untuk esports PUBG Mobile.

Terkait hal tersebut, Entruv mengatakan: “Gue sangat setuju Vikendi dihapuskan dari map kompetitif PUBG Mobile karena tempo permainan di map Vikendi terbilang sangat lambat dan membosankan. Ditambah lagi bantingan circle juga terbilang sangat random sehingga pertandingan jadi sangat terpengaruh oleh faktor keberuntungan.”

Kalau Vikendi yang berukuran 6×6 km dihapuskan, lalu kenapa Sanhok tidak? Apakah Sanhok juga perlu dihapuskan demi mendapatkan pertandingan esports PUBG Mobile yang lebih fair? Entruv juga memberikan pendapatnya seputar hal tersebut. “Gue enggak setuju semisal Sanhok dihapus. Variasi 3 map tersebut sudah cocok supaya penonton tidak bosan. Hal tersebut juga mengingat map Sanhok yang ukurannya kecil dan tempo permainannya sangat cepat sehingga map tersebut jadi map yang paling menarik untuk ditonton sejauh ini.” Ucap Entruv.

Memang jika kita hanya melihat dari ukuran map saja, Vikendi jadi map yang ukurannya tanggung dan tidak berhasil menonjolkan karakteristik tertentu yang bisa dinikmati penonton. Sementara 3 map lainnya sudah punya ciri khas mereka masing masing.

Erangel terbilang jadi map default, sudah dikuasai oleh kebanyakan orang, dan punya ragam jenis baku tembak mulai dari sniping hinggak baku tembak jarak dekat di perkotaan. Miramar mungkin juga bertempo lambat, tapi pertarungan padang pasir berbukit dengan berbagai senjata laras panjang juga jadi hal yang menarik ditonton para penggemar esports. Sanhok mungkin agak menyebalkan bagi pemain, tapi ciri khas pertarungan tempo cepat penuh adrenalin adalah nilai yang paling menonjol dari map tersebut.

Lalu kalau bicara masalah circle, membahasnya mungkin akan agak rumit karena ada faktor RNG atau faktor random yang terlibat di sini. Karena saya cukup penasaran dengan apa yang dikatakan Entruv, saya pun akhirnya mencoba untuk melihat perbedaan bantingan circle antara Erangle, Miramar, dan Sanhok dengan Vikendi. Dari apa yang saya amati, ternyata apa yang dibilang Entruv soal bantingan circle yang random di Vikendi terbilang ada benarnya.

Circle di Vikendi. Sumber Gambar - Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4
Circle di Vikendi (pojok kanan atas) sedang bergerak dari fase 1 ke fase 2. Sumber Gambar – Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4
Circle di Erangel. Sumber Gambar - Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4
Circle di Erangel. Sumber Gambar – Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4
Circle di Miramar. Sumber Gambar - Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4
Circle di Miramar. Sumber Gambar – Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4
Circle di Sanhok. Sumber Gambar - Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4
Circle di Sanhok. Sumber Gambar – Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4

Saya mengambil sampel berupa perpindahan circle dari fase 1 ke fase 2. Erangel, Miramar, dan Sanhok memiliki pola yang sama. Pola tersebut adalah ukuran circle yang mengecil secara signifikan dan bantingan-nya yang cenderung sisi pojok.

Vikendi berbeda sendiri. Ukuran circle hanya sedikit mengecil saja ketika berpindah dari fase 1 ke fase 2. Bantingan circle Vikendi juga tidak terlempar ke pojok, melainkan menguncup ke bagian tengah. Pada saat berpindah dari fase 2 ke fase 3, polanya terbilang masih sama untuk Vikendi yaitu hanya sedikit mengecil dan tidak terlempar ke pojok.

Melalui pengamatan tersebut, mungkin memang benar bahwa pola circle di Vikendi cenderung beda dengan 3 map lainnya. Tapi kalau soal random, saya merasa pendapat Entruv mungkin ada benarnya mengingat jam terbang Entruv sebagai coach dan juga mantan pemain PUBG.

 

Akhir Kata…

Soal TPP atau FPP serta map mana yang cocok untuk dijadikan esports PUBG Mobile sebenarnya baru sebagian dari beberapa polemik lain yang juga tak kalah menarik untuk dibahas. Kita belum membahas apakah format pertandingan dengan poin sudah tepat untuk esports PUBG Mobile? Apakah poin yang diganjarkan sudah cukup seimbang untuk tim yang mengutamakan Chicken Dinner dengan tim yang bermain agresif mengutamakan Kill?

Konsistensi Tencent untuk terus mengevaluasi cara penyelenggaraan turnamen PUBG Mobile patut diapresiasi hingga sejauh ini. Satu hal yang juga patut diingat, PUBG adalah game Battle Royale pertama yang dipertandingkan sebagai esports.

Sepanjang sejarah perkembangan esports, pertandingan game biasanya hanya mempertandingkan dua pihak saja; entah dalam format 5vs atau 1vs1. PUBG dan PUBG Mobile menjadi game pertama yang mempertandingkan 16 tim di dalam satu map.

Seiring waktu dan evaluasi yang dilakukan, pertandingan PUBG Mobile sepertinya memang akan terus berubah dan berevolusi. Apakah perubahan akan menimbulkan ketidakpastian kepada perkembangan esports PUBG Mobile? Hal tersebut jadi mengingatkan saya kepada kata-kata seorang filsuf Yunani bernama Heraclitus yang mengatakan, “satu-satunya hal yang pasti adalah perubahan itu sendiri.”

Sumber Gambar Utama – androidauthority.com

Tips dan Trik FIFA 21: Cara Efektif Kembangkan Skuat FUT 21

Setelah rilis pada 6 Oktober 2020 lalu, FIFA 21 terbilang mendapat penerimaan yang cukup baik. Mengutip dari statista.com, penjualan bulan pertama FIFA 21 berhasil mencapai angka 1,5 juta kopi. Penjualan tersebut merupakan peningkatan yang cukup besar dibanding FIFA 20 yang menjual 1,2 juta copy pada penjualan bulan pertamanya. Apakah Anda termasuk salah satu yang turut terhanyut dalam hype perilisan FIFA 21? Apakah Anda sedang keasyikan membangun skuat Anda di dalam mode permainan FIFA Ultimate Team saat ini?

Apabila jawabannya adalah iya, mungkin ada saja momen ketika Anda merasa stuck karena skuat Anda yang begitu-begitu saja. Jangan khawatir, proses membangun skuat memang cenderung terasa lebih lambat apabila Anda tergolong sebagai free player. Tetapi lambat bukan berati tidak bisa menjadi lebih efektif. Lalu apa yang perlu dilakukan agar segala usaha untuk mengembangkan skuat FUT 21 jadi lebih efektif? Kebetulan pemain profesional FIFA 21 dari RAJA Esports, Pugu Mujahid Mantang, berkesempatan membagikan sedikit tips seputar hal tersebut. Berikut 5 tips cara efektif kembangkan skuat FUT 21.

Jangan Lewatkan Seasonal Objectives

Seasonal Objectives mungkin bisa dibilang sebagai salah satu kegiatan yang penting dilakukan apabila Anda ingin dapat mengembangkan skuat FUT 21 tanpa harus mengeluarkan uang untuk membeli FIFA Coins. Sebagai gantinya, Anda cukup meluangkan waktu saja untuk melakukan tugas-tugas yang diberikan di dalam game. Pugu menjelaskan bahwa salah satu tujuan penting melakuan Seasonal Objectives adalah untuk mendapatkan pemain. Apabila Anda beruntung, Anda bahkan bisa mendapatkan pemain yang bagus tanpa mengeluarkan FIFA Coins sepeser pun.

Tugas-tugas yang ada di dalam Seasonal Objectives terbilang cukup beragam, mulai dari mengatur formasi, mengatur chemistry pemain, sampai memenangkan permainan atau memenangkan permainan secara co-op. Seasonal Objectives biasanya berjalan selama sekitar satu bulan. Tidak usah terlalu terburu-buru mengejar misi yang sulit, cukup kejar yang paling realistis saja dengan kondisi skuat Anda saat ini. NepentheZ yang merupakan salah satu konten kreator FIFA 21 juga membagikan sedikit tips dan trik dalam melakukan Seasonal Objectives dalam salah satu videonya. Anda bisa dengarkan penjelasan lebih lengkapnya dari NephenteZ di video yang saya cantumkan di atas paragraf ini.

Kumpulkan Pemain Untradeable Dengan Rating Tinggi Untuk Ditukar di Squad Building Challenge

Ada kalanya momen tidak beruntung terjadi dalam proses pembuatan skuat FUT 21 impian Anda. Salah satunya mungkin adalah ketika Anda mendapatkan pemain-pemain yang tergolong Untradeable setelah membuka sebuah Packs. Walaupun demikian, pemain Untradeable sendiri sebenarnya tidak bisa dibilang sepenuhnya tidak berguna. Pugu sendiri mengatakan bahwa Anda bisa mendapat pemain bagus tanpa mengeluarkan sepeser FIFA Coins apabila Anda memiliki satu set pemain yang bisa ditukar di Squad Building Challenge.

Dalam Squad Building Challenge, Anda diminta untuk mengumpulkan sekelompok pemain dengan kategori terentu untuk ditukarkan dengan Player Packs. Salah satu contoh kategori SBC adalah mengumpulkan skuat inti dari klub sepak bola tertentu, Birmingham City misalnya. Apabila Anda sudah berhasil mengoleksi pemain-pemain Birminham City dan memenuhi kriteria yang dibutuhkan oleh SBC tersebut, maka Anda bisa menukarkan koleksi pemain tersebut (termasuk pemain Untradeable) dengan Player Packs yang lebih baik dan tentunya yang bisa di trade.

Rajin Main Weekend League dan Usahakan Untuk Memenangkan Pertandingannya

Weekend League juga terbilang jadi hal wajib untuk Anda lakukan apabila Anda tidak mau mengeluarkan sepeser uang pun untuk membeli FIFA Coins. Pugu mengatakan bahwa apabila rekor kemenangan Weekend League Anda cukup bagus, maka Anda akan mendapatkan hadiah yang bagus beserta FIFA Coins yang lebih banyak. Saya juga sempat berbincang sedikit dengan Kenny Prasetyo. Dalam hal Weekend League, Kenny menambahkan pentingnya untuk secara konsisten terus bermain agar FIFA Coins yang didapatkan terus meningkat.

Walau demikian, Anda mungkin bisa menganggap kemenangan sebagai bonus saja apabila mengikuti Weekend League di masa awal Anda membangun skuat. Kenapa begitu? Karena kemungkinan Anda untuk menang bisa jadi lebih kecil apabila bertemu dengan skuat lawan yang lebih sempurna. Walau begitu, Anda tetap harus bermain dengan semaksimal mungkin. Beberapa tips dari FIFA 20 mungkin masih bisa Anda lakukan agar permainan Anda jadi lebih baik di FIFA 21. Namun Anda juga perlu ingat bahwa ada beberapa pembaruan dalam mekanik permainan FIFA 21, salah satunya adalah kehadiran mekanik bernama Agile Dribbling.

Jangan Lupakan Juga Division Rivals

Mirip seperti Weekend League, tujuan memainkan Division Rivals adalah untuk mendapatkan hadiah dan FIFA Coins di akhir musim nantinya. Apabila Anda tergolong pemain yang baru terjun ke ranah FUT 21, Division Rivals ini ibarat seperti ranked match jika dibandingkan dengan MOBA ataupun game kompetitif lainnya. Anda bisa mendapat sampai dengan 50.000 FIFA Coins apabila Anda berhasil mencapai rank tertinggi di Division Rivals.

Tapi kembali lagi kepada petuah saya sebelumnya, jangan terlalu berharap bisa “push-rank” dalam memainkan mode pemain vs pemain ini. Fokuslah kepada proses belajar untuk bermain lebih baik lagi. Karena seperti yang saya bilang sebelumnya, Ada kalanya Anda harus pasrah dengan keadaan apabila lawan yang Anda hadapi ternyata punya skuat yang lebih kuat dan sempurna dibanding dengan skuat milik Anda.

Lakukan Trading Pemain Demi Mendapatkan Keuntungan yang Maksimal

Poin terakhir mungkin terbilang sebagai tips untuk pemain FUT 21 tingkat lanjut. Kenapa demikian? Karena Anda akan butuh beberapa waktu memainkan FUT 21 untuk dapat lebih memahami bagaimana sistem ekonomi bekerja di dalam pasar pemain FUT 21. Kalau Anda sudah mulai paham polanya Anda mungkin bisa saja mendapatkan untung yang besar dengan menggunakan metode yang satu ini. Trading bisa dilakukan dengan beberapa metode. Anda mungkin bisa sesederhana membeli pemain untuk menjualnya di lain waktu. Tapi selain itu, Anda juga bisa membeli beberapa pemain murah guna melengkapi SBC dan berharap mendapat pemain yang lebih mahal nantinya.

Di Balik Pelepasan Roster CS:GO Brazil BOOM Esports

Tanggal 15 Januari 2020 lalu, BOOM Esports mengumumkan bahwa mereka telah melepas roster CS:GO. Roster yang dilepas bukanlah para pemain Indonesia yang berisikan Sixfingers dan kawan-kawan, melainkan roster CS:GO BOOM Esports berisikan Boltz, Chelo, Shz, Yel, dan coach Apoka yang berbasis di Brazil. Pengumuman tersebut sedikit banyak membuat fans kecewa, walaupun fans CS:GO Brazil sebenarnya masih tetap bisa melihat perjuangan pemain-pemain tersebut ketika membela bersama tim MiBR nantinya.

Lalu apakah usaha BOOM Esports untuk ekspansi ke barat lewat CS:GO akan kandas begitu saja? Lewat sebuah sesi podcast yang dipandu oleh Dimas Dejet, Gary Ongko selaku Founder dan CEO BOOM Esports pun menjawab beberapa informasi penting yang sebelumnya mungkin masih mengganjal. Berikut beberapa poin penting yang perlu diketahui.

 

Terpaksa Melewatkan Banyak Kesempatan Karena Pandemi 

Apabila Anda hanya melihat pengumuman saja, Anda mungkin akan kebingungan dengan nasib pemain-pemain tersebut. Apakah mereka dilepas begitu saja? dipecat? Atau malah mungkin di-poaching? Kabar baiknya adalah tidak ada konflik apapun antara pemain dengan manajemen BOOM Esports dalam proses pelepasan tersebut.

Dalam podcast, Gary Ongko menceritakan alasan dia mengambil roster tersebut dan kembali menegaskan bagaimana pandemi berdampak sangat besar terhadap rencana-rencana besar yang tadinya akan dicapai manajemen BOOM Esports dan roster tersebut.

“Kami mengambil tim adalah pada Februari 2020. Waktu itu rencananya adalah to play at the biggest stage in the world. Kebetulan juga, mereka (para pemain yang akhirnya direkrut BOOM Esports) sudah mendapat undangan di tiga turnamen, ESL Pro League, WESG Final Brazil, satu turnamen lagi gue lupa apa tapi turnamen tersebut adalah turnamen besar. Gue lalu berpikir dan juga sadar bahwa tim tersebut akan mahal biayanya apabila gue ambil. Tapi gue merasa akan worth it dengan exposure dan berbagai hal lain yang akan gue dapat. Namun setelah itu musibah pun datang dalam bentuk pandemi COVID-19.” Gary Ongko bercerita awal rencana perekrutan roster tersebut.

Sumber Gambar - MiBR Official
Sumber Gambar – MiBR Official

Apa yang terjadi setelahnya adalah apa yang ditulis oleh manajemen BOOM Esports di dalam rilis. Rencana para pemain Brazil tersebut untuk bertanding di Amerika Serikat pun gagal.

“Kebetulan pada tahun tersebut Valve pun mengubah sistem kompetisi CS:GO jadi semacam Dota 2 DPC, kami pun jadi enggak bisa ke mana-mana. Kami sudah dapat poin di Brazil. Apabila memaksakan pindah ke NA maka kami harus kembali ke Brazil untuk kembali mendapatkan poin tersebut. Lalu setelah menang Tribo to Major, mendadak semua qualifier di NA dan Eropa berjalan berbarengan. Dengan waktu yang sempit, kami jadi enggak bisa ke NA ataupun Eropa. Kenapa? Karena harus karantina 14 hari apabila ingin masuk Amerika Serikat. Padahal ketika itu kami mendapat undangan untuk bertanding di Dreamhack dan BLAST. Timing-nya sangat tidak pas, jadi kita pada akhirnya pun menggeser rencana ke 2021. Tadinya sudah mau perpanjang kontrak dan rencana kami adalah ke Eropa di Januari 2021 ini, tapi ternyata the call came dari MiBR.” Gary Ongko meneruskan ceritanya.

Ia lalu membeberkan bagaimana MiBR sangat menginginkan roster BOOM Esports tersebut. Pada awalnya Gary tidak terlalu ingin melepas roster-nya, tetapi ia juga memikirkan nasib sang pemain yang akan lebih baik apabila mereka bersama MiBR. “Kebetulan MiBR memang ada partnership juga dengan BLAST dan turnamen Flashpoint. Dari segi pemain, mereka sudah bisa dipastikan dapat 4 turnamen dan US$1 juta berkat partnership MiBR dengan turnamen Flashpoint. Selain itu dari sisi manajemen, gue juga merasa tawaran MiBR terhitung “balik modal” dari investasi gue terhadap tim tersebut sebelumnya. Karena tiga pihak yaitu si pemain, gue, dan MiBR sama-sama senang, maka keputusannya adalah seperti sekarang ini. Cuma yang disayangkan adalah BOOM Esports yang tadinya punya divisi di 2 game besar dunia, sekarang jadinya ya balik jadi cuma satu tim lagi yaitu Dota 2.” Tutur Gary.

 

Nasib Usaha Ekspansi Internasional BOOM Esports di Tahun 2021

Dalam beberapa interview, Gary Ongko kerap menekankan soal keinginannya untuk bisa membuat BOOM Esports menjadi tim internasional. Dalam pembahasan DPC 2021, Gary mengatakan bahwa keinginannya adalah untuk mengejar kesuksesan tim seperti Cloud9, Team Liquid, dan kawan-kawannya sampai akhir dunia sekalipun. Namun tanpa CS:GO, usaha tersebut tentunya jadi belum terasa lengkap.

Lalu bagaimana nasib usaha ekspansi internasional BOOM Esports pasca dari pelepasan roster tersebut ke tim MiBR? Apalagi Gary juga mengatakan bahwa nilai transfernya tergolong “balik modal” yang artinya memberi kesempatan BOOM Esports untuk memulai roster CS:GO kembali di barat sana. “Kebetulan kejadian tersebut baru banget terjadi seminggu yang lalu, jadi kami internal manajemen BOOM Esports juga masih terus diskusi mempertanyakan soal mau dibawa ke mana investasi dari CS:GO nantinya.” ucap Gary membuka jawaban.

“Jujur gue pribadi masih mau banget di CS:GO. Gue juga enggak mau investasi yang dilakukan manajemen BOOM Esports selama satu tahun terbuang sia-sia begitu saja. Tapi berhubung sekarang juga tahun yang baru, semua tim masih baru siap-siap, dan dari apa yang gue lihat belum ada tim atau roster yang membuat gue tertarik sampai sejauh ini. Jadi posisi gue sendiri saat ini masih wait and see terhadap tim-tim yang potensial.” Gary melanjutkan jawabannya.

Dalam skena yang terbilang sudah cukup matang seperti CS:GO, memang mencari pemain adalah perkara yang terbilang cukup sulit. Ditambah lagi, organisasi esports seperti BOOM Esports juga tidak punya waktu untuk mengambil pemain-pemain yang belum bisa berkompetisi di tingkat teratas dari suatu skena esports. “Manajemen BOOM Esports juga punya ketertarikan dengan Rainbow Six Siege, karena juga memang scene-nya besar di Brazil. Tapi balik lagi, belum ada tim papan atas yang available. Mungkin kelanjutan hal tersebut baru mulai terlihat di bulan depan.” Tutup Gary Ongko menjelaskan.

Sebagai pengamat dan penggemar esports, saya sendiri tentu sangat berharap BOOM Esports bisa meneruskan perjuangannya mencapai panggung dunia. Mungkin tidak selamanya menggunakan pemain lokal Indonesia, tapi melihat nama BOOM Esports bisa bertanding di liga-liga esports besar juga terbilang sudah menjadi suatu kebanggaan tersendiri.

Esports Point Blank 2021 Diumumkan, Army Geniuses Masuk DPC SEA 2021 Lower Division

Pekan ketiga bulan Januari 2021 diwarnai oleh beberapa hal menarik di ekosistem esports. Melihat ke belakang, kita punya pengumuman esports Point Blank 2021 dari Zepetto, Army Geniuses yang secara tiba-tiba diundang masuk DPC SEA 2021 Lower division, BOOM Esports yang lepas divisi CS:GO, dan lain sebagainya. Berikut rangkuman berita esports di pekan ke-2 Januari 2020 (12-18 Januari 2021).

Zepetto Umumkan Rencana Esports Point Blank 2021

Hadapi tahun yang baru, Zepetto pun turut mengumumkan rencana esports terhadap game besutan mereka yaitu Point Blank. Melalui sebuah rilis, Zepetto mengatakan bahwa rencana rangkaian turnamen mereka akan dimulai dari bulan Januari ini hingga bulan Agustus 2021 mendatang. Akan ada empat turnamen dari rangkaian tersebut. Empat turnamen tersebut adalah Point Blank Day & Night, PB Rising Star, PB Ladies League, dan PB Star League. 20 tim terbaik dari rangkaian turnamen tersebut nantinya akan mendapatkan hak untuk bertanding di salah satu turnamen terbesar di dalam rangkaian tersebut, yaitu Point Blank National Championship yang akan diselenggarakan bulan September 2021 mendatang.

Army Geniuses Gantikan Team Assault di Lower Division DPC SEA 2021

Army Geniuses dipastikan masuk Lower Divison DPC SEA 2021. Sebelumnya Army Geniuses sendiri dipastikan gagal masuk Lower Division DPC SEA 2021 setelah kalah terhadap tim ZeroTwo (IYD, Dreamocel, dkk) pada fase tiebreaker di babak closed qualification fase 2. Namun beberapa hari setelahnya, PGL selaku penyelenggara DPC SEA 2021 membuat sebuah pengumuman yang cukup mengagetkan. Tim Assault yang sudah lolos ke dalam Lower Division DPC SEA sebelumnya ternyata terbukti melakukan account sharing (menggunakan joki) di dalam sebuah pertandingan. Akhirnya Assault pun didiskualifikasi dan digantikan oleh Army Geniuses.

Whitemon dan Kuku Resmi Jadi Pemain T1 Divisi Dota 2

Beberapa waktu yang lalu, Whitemon dan Kuku sebenarnya sudah masuk ke dalam roster Dota 2 T1. Namun demikian, dua pemain tersebut mungkin memang masih dalam masa percobaan ketika itu. Namun T1 sepertinya tidak butuh waktu lama untuk meresmikan kedua pemain tersebut. Melalui akun media sosialnya, T1 pun mengumumkan tergabungnya Kuku dan Whitemon ke dalam tim. Dengan diumumkannya dua pemain tersebut, maka T1 pun akan bertanding di DPC 2021 Upper Division dengan Jackky, Karl, Kuku, Xepher, dan Whitemon.

BOOM Esports Lepas Divisi CS:GO

BOOM Esports CSGO Picture

Tanggal 15 Januari 2021 lalu, BOOM Esports mengumumkan bahwa mereka secara resmi telah melepas divisi CS:GO asal Brazil yang mereka miliki. Mengutip dari rilis, situasi pandemi COVID-19 mungkin terbilang jadi salah satu alasan. “2020 menjadi tahun yang tidak kami sangka. Kami berencanan bertanding pada ESL Pro League di Malta dan melanjutkan berkompetisi di Amerika Utara denga berlatih di Kanada. Namun demikian COVID-19 banyak mengubah rencana kami. Meski mengalami kesulitan pada awal hingga akhir tahun, namun kami berhasil menorehkan 100% kemenangan di turnamen-turnamen yang kami ikuti, meraih kualifikasi major, meraih kualifikasi IEM serta ESL Pro League, dan menjadi salah satu tim terbaik di Amerika Selatan. Terima kasih atas prestasi yang didapatkan bersama kami dan saya berharap yang terbaik untuk karir kalian ke depannya.” Ucap Gary Ongko CEO BOOM Esports lewat rilis yang juga diterbitkan di laman boomid.gg.

MORPH Team Putus Kontrak Herli “Jeixy” Juliansyah.

Jeixy MORPH_Instagram @morphteam

Berita mengejutkan datang dari skena PUBG Mobile pada tanggal 13 Januari 2021 kemarin. MORPH Team mengumumkan bahwa manajemen mereka telah memutus kontrak terhadap salah satu pemain andalannya yaitu Jeixy. Mengutip dari Revivaltv.id, alasan Jeixy diputus kontrak adalah karena perilaku tidak sportif yang dilakukan sang pemain terhadap manajemen MORPH Team. Selain diputus kontrak, media sosial MORPH Team juga memberikan pinalti kepada Jeixy berupa larangan untuk bergabung dengan tim mana pun selama durasi waktu tertentu.

Pakistan Resmikan Esports Sebagai Bagian Dari Olahraga

Sumber: Esports Observer.
Sumber Gambar – Esports Observer

Fawad Hussain, Menteri IPTEK Pakistan mengungkap sebuah memorandum yang telah ditandatangani oleh Pakistan Sports Board dan Pakistan Science Foundation. Memorandum tersebut menyatakan status resmi esports sebagai bagian dari olahraga di negara Pakistan. Lebih lanjut, Fawad Hussain juga mendorong anak-anak muda untuk tidak lagi ragu apabila melihat ada peluang karir di bidang esports. Seiringan dengan pengumuman tersebut, kementrian Fawad juga mengumumkan rencana untuk mengadakan turnamen esports serta memberikan sertifikasi di bidang animasi dan game development di negara Pakistan.

Kit Kat Jadi Sponsor Vodafone Giants

https://twitter.com/GiantsGaming/status/1350035167742668802

Vodafone Giants baru saja mengumumkan kerja sama mereka dengan KitKat. Lewat kerja sama tersebut maka KitKat akan menjadi sponsor utama dari organisasi esports asal Spanyol tersebut. Sayangnya tidak ada informasi lebih lanjut terkait durasi ataupun nilai kontrak dari kerja sama tersebut. Apabila melihat dari informasi yang disiarkan di media sosial, maka kehadiran logo KitKat di bagian bahu jersey tim Vodafone Giants menjadi salah satu kesepakatannya. Vodafone Giants sendiri merupakan organisasi esports yang bertanding di beberapa cabang ternama internasional seperti League of Legends, Rocket League, FIFA 21, dan CS:GO.

Blizzard Umumkan Format dan Perubahan Overwatch League 2021

Memasuki musim baru, Blizzard pun mempersiapkan beberapa perubahan baru yang akan membuat Overwatch League menjadi semakin menarik untuk disaksikan. Salah satu perubahan terbesar adalah dengan membagi liga ke dalam dua grup, Barat dan Timur. Overwatch League grup Timur akan bertanding di Tiongkok dan Korea Selatan. Tim-tim yang mengisi grup timur adalah Chengdu Hunters, Guangzhou Charge, Hangzhou Spark, Los Angeles Valiant, New York Excelsior, Philadelphia Fusion, Shanghai Dragons, dan Seoul Dynasty. Grup Barat akan bertanding di Eropa dan Amerika Utara. Tim-tim yang mengisi grup barat adalah Atlanta Reign, Boston Uprising, Dallas Fuel, Florida Mayhem, Houston Outlaws, London Spitfire, Los Angeles Gladiators, Paris Eternal, San Francisco Shock, Vancouver Titans, Toronto Defiant, dan Washington Justice. Overwatch League 2021 akan dimulai bulan April dengan beberapa perubahan format lain yang bisa Anda saksikan pada video di atas.

Penyelenggara LPL Catatkan Total Pemasukan Sampai 155 juta dollar AS

TJ Sports_TheEsportsObservers
Sumber Gambar – TJ Sports

Tanggal 9 Januari 2021 kemarin, TJ Sports yang merupakan penyelenggara dari LPL mengungkap bahwa mereka telah berhasil mendapatkan US$155 juta pemasukan. Namun selain itu, TJ Sports juga mengumumkan bahwa liga LPL telah mengantongi 4 miliar total watch hour di berbagai platform yang menjadikan LPL sebagai salah satu most valuable esports intellectual properties. Esports Observer menjelaskan bahwa tiga pencapaian tersebut berhasil dicapai karena beberapa hal. Pertama adalah kerja sama LPL dengan platform stream terbesar di Tiongkok, Bilibili. Kerja sama tersebut dikabarkan memiliki nilai sebesar US$123 juta. Kedua adalah kerja sama senilai US$ 31 juta antara LPL dengan Nike . TJ Sports sendiri merupakan perusahaan hasil joint venture antara Tencent dengan Riot Games. Perusahaan tersebut ditemukan pada tahun 2019 lalu dan telah mencapai berbagai pencapaian tersebut hanya dalam kurang lebih 3 tahun saja.

Esports and Startups: Similarities, Differences, and Learning from Each Other

Esports is currently growing at a fast pace, but it cannot be denied that this new industry has its own unique problems. The problem of talent regeneration and professionalism or the sustainability of the business model may be just a few of these unsolved problems in the esports ecosystem.

For this reason, the esports ecosystem should actually learn from its ‘big brother’, namely the startup ecosystem.

Startups and esports can be considered as two fields that intersect each other. Startup companies can have various fields, including esports, but not all esports companies can be classified as startup companies. Apart from that, what actually distinguishes the two? To answer that question, I also had a discussion with Amir Karimuddin.

Amir, or we call him ‘Mas Amir’, is a figure who has been in the startup ecosystem for a very long time. Today, he is the Head of Editorial and Research at Dailysocial.id, the sister company of Hybrid.co.id, which is a media that focuses on the Indonesian startup ecosystem. In explaining the definition of a startup, Amir said, “there are many definitions of a startup. I myself prefer to define a startup as a company that is founded with the mindset of developing a business that is validated and can grow (growth and scalability).

Amir Karimuddin
Amir Karimuddin / DailySocial

Amir also added that, apart from growth mindset and scalability, exposure to the technology sector is another characteristic that makes a company classified as a startup. “So as long as the concept is to build a platform with a growth mindset, then a company can be called a startup as well. In the case of the esports ecosystem, for example, a company with a goal to build an esports game platform that can be reached by millions of people that possesses a clear business model and a sustainable development plan. If a company has these 3 things, then the company can also be considered a startup. ”

However, for now, the esports/gaming ecosystem itself is divided into several more sectors. Two sectors that are commonly heard are gaming companies that focus on making and/or publishing games (game developers and publishers) and companies that focus on developing the competitive elements of a particular game (esports companies).

In this article, the part of the ecosystem that becomes the focal point of my discussion is esports companies such as ESL, LoL Esports, or Hybrid and RevivaLTV in the local context. Amir then mentions the similarities and differences between the startup ecosystem and the esports ecosystem.

“The similarities are that both have high exposure to technology and benefit from being online. Meanwhile, one of the differences between the two is the more diverse startup stakeholders, such as business people, consumers, regulators, and various support systems. From what I have observed, it seems that esports stakeholders are still dominated by the players. Besides that, esports also has elements of sport and business, while startups are purely just a business.” Said Amir.

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Yabes Elia. Hybrid – Lukman Azis

In terms of making a profit, Yabes Elia, Chief Editor Hybrid.co.id also added that the source of income for the esports ecosystem is also ambiguous because it intersects with the gaming industry. “For example, in terms of people buying skins, are these considered as revenue from the esports ecosystem? Because, in reality, there are games that don’t have an esports scene but still get huge profits online, Genshin Impact, for example.” He said.

 

Two Ecosystems Where its People are Driven by Passion

The word passion is very critical in this internet era. Passion is the energy that drives both the startup and the esports ecosystem to become what it is today. “For startups, the biggest driving factor is solving problems that exist in society. There are, of course, role models, but maybe only in certain sectors such as e-commerce and ride-hailing.” Amir explaining the passion behind the startup ecosystem

If you are a “tech-savvy” person, you may remember a little about the success stories of local startups in the ecommerce and ride-hailing sector. In the ride-hailing sector, the problem of public transportation for ojek or taxi bikes, whose price and safety can be questionable at times, has become the basis for the creation of an online ojek business field now worth tens of billions of US$. Meanwhile, in the ecommerce sector, you may also remember that the issue of economic equality in Indonesia becomes the basis for creating a platform that serves as a medium for online shopping or transactions. As Amir said, both of them have the same passion, namely to alleviate problems that exist in society.

How about esports? The esports ecosystem is also driven by passion. The difference, however, is that the passion that exists in esports is competing and becoming the best. Although both are driven by passion, they develop in their own unique directions.

Hubungan baik Gojek dan transportasi publik
Although both are driven by passion, esports and startups are moving in different directions.

This difference may just be regarded as a stereotype that actually does not describe the population as a whole. Talking about the startup ecosystem, you might remember a brilliant, smart, and innovative figure like Nadiem Makarim. Then what about the esports ecosystem? JessNoLimit can be considered as one of the stereotypes of the esports ecosystem because he is both an entertainer and proficient at playing games.

But apart from these two things, no other impression is created by JessNoLimit. However, you cannot really blame those stereotypes because sport and entertainment are considered essentials in the esports ecosystem. If we use basketball as an analogy, someone like Nadiem Makarim cannot be a stereotypical ‘basketball player’. The stereotype of basketball players is, of course, NBA athletes who are proficient at basketball and are athletic, like LeBron James or James Harden.

“Actually, these stereotypes arise because of the intense competition in the startup ecosystem. Everyone wants to create the best investment and dominate the market. The target they want to achieve is incredibly high. This happens in almost all regions of the startup ecosystem because they look up on Silicon Valley as a role model.” Said Amir, discussing the stereotype of ‘startup kids’.

My vision is, more or less, similar to what Amir had explained. Since the startup ecosystem focuses on business and innovation, the competition is, therefore, to be the smartest and most innovative in the ecosystem.

Meanwhile, on the other hand, the focal point of the esports ecosystem is competition and entertainment. Thus, it is not surprising that the competition in esports is becoming the best and most proficient at the game. If you cannot be a pro, you can also be an entertainer to gain popularity, even though getting popular can sometimes be achieved in strange ways.

Sumber: Official Riot Games
Esports does lean towards competition and entertainment. But without qualified professional quality, esports will find it difficult to provide proper entertainment. Source: Official Riot Games

Unfortunately, the competition to be the best/most popular is sometimes not accompanied by the talents’ professionalism. In esports, finding people who are good at playing games or entertaining is relatively easy. However, the same thing cannot be said when finding exceptional talents with a high level of professionalism.

Our friends have also mentioned this problem several times to Hybrid.co.id. Muhammad Darmawan, a Free Fire shoutcaster, once mentioned the problem of Star Syndrome as one of the factors that causes the inconsistency of Free Fire Indonesian teams’ performance. Marzarian “Ojan” Sahita, General Manager of BOOM Esports, once shared about the difficulty of finding players with both great skills and attitude in the esports ecosystemYohannes Siagian, who previously served as Vice President of EVOS Esports, also gave a similar opinion when discussing the regeneration of esports players.

We have discussed the side of the players. What about the business and professional talent sections of the esports industry? I myself often hear stories from my friends about their difficulties when looking for professionals to work in the esports field. Most esports fans/gamers are passionate. However, it is merely just a passion for playing games with no arsenal of qualified work/professional experience. Hiring professionals from other industries is not necessarily a solution. Because being a professional in the esports industry is sometimes still not considered something serious by the general public.

I also remember the story of my friend who worked in an esports team about the difficulty of finding a video editor among esports fans. Most candidates who apply can only mention that they are fans of their team without showing their abilities as a video editor. Some applicants even do not understand how to construct a proper and correct job application, let alone get through the interview stage.

However, the importance of professionals or workers in the esports industry cannot be understated. Without them, there would be no entertaining live-stream, grand stages, nor any article/video/social media content reporting the achievements of esports athletes.

Sumber: Blizzard Official
Without professionals, the esports industry might not have a grand stage like this. Source: Blizzard Official

I then asked Amir about the state of today’s search for professional talent in the startup field. Amir also said, “when it comes to talent, the startup industry has a far greater demand than its existing supply. Talents and skills do exist, but they are starting to be overshadowed by massive recruitment, education, and knowledge transfers from many foreign talents.” Said Amir discussing the startup side.

“In terms of esports, maybe the industrial sector needs to be expanded. In addition, there may also need to be more role models from the successful industry sector. Transfer of knowledge from the businesses or professionals might also be a solution. But I myself have yet to fully understand if this practice can be executed in the esports industry. ” Amir expressed his opinion to alleviate the problem of professional talent in the esports industry.

Yabes also added, “the matter of knowledge transfer is crucial. According to my observation, most of the professionals/workers in the esports industry are young people who have great passion and enthusiasm but lack work experience or are just the same people all over. This is why I see that the development of knowledge of the esports industry professionals is still very limited. ”

Indeed, for now, being a pro at playing games and entertaining are two impressions that are closely attached to the esports ecosystem. Pros and entertainers are also said to get more ample financial rewards than smart and innovative individuals. Because of this, I see that the professional position of the esports industry seems to be just a bunch of ‘excess’ people who are neither good nor entertaining in the esports ecosystem.

Therefore, this could be one of the reasons why the quality of professionalism in the esports industry is still relatively mediocre. Those who have a passion for gaming may not be able to compete in other industrial fields. Meanwhile, those experienced individuals in other industries feel too proud to enter the esports industry, which tends to be considered trivial. Whereas on the other hand, it is true, as Amir and Yabes mentioned, that knowledge transfer is essential to solving this problem.

 

Seeing Esports and Startup Ecosystems as Two Growing Ecosystems.

For either esports or startups, you could say that both are ecosystems that still have room for growth. But is that true? The startup industry has a larger space to grow because the ecosystem can stand in any field.

“Indeed, some sectors are difficult to attract new players, for example, ecommerce and ride-hailing. But the space for startup growth is still quite large because there are still many sectors that have a low entry barrier as there are no big players there yet.” Amir shared his observations on the current condition of the startup ecosystem.

On the other hand, we can consider the esports ecosystem to be on the uprise if we look at news or predictions from industry analysis companies like Newzoo. But examining more closely, the choice of business fields to be pursued by the esports industry in the local scene is quite limited, at least from my observation.

Yabes also responded to this question, “the startup industry really needs a problem-solving mindset to become successful. For example, we can see the ride-hailing or ecommerce companies that can make life easier. But on the other hand, the esports industry is based on entertainment. It is imperative to realize that though entertainment is one of the basic needs of humans, there are other forms of entertainment besides esports. Even people who play games may have other alternative entertainments that they enjoy, such as watching movies. I think that is one of the differences between the startup and the esports industry.”

Genshin Impact menjadi mobile game dengan pemasukan dalam satu minggu terbesar kedua.
Genshin Impact becomes the mobile game with the second largest income in one week.

Apart from that, in my opinion, the esports ecosystem also has one other problem, namely the dependence on first-party actors, the game developer/publisher. I may have said this statement several times. But one thing to realize is that one of the biggest driving forces that have made the esports ecosystem so advanced these days is the developers themselves.

Imagine if Moonton decided to stop making games and change their business direction to become a food company. What will be the fate of the esports company that depends on Mobile Legends? Even so, one of the other advantages of the esports ecosystem is the large number of games that can be competed. But still, the third-party esports industry ecosystem is said to have a greater chance of falling than game developers who are first-party players.

Apart from this, Yabes also added that the problem-solving mindset is one of the necessary aspects for esports business players in Indonesia. “I agree with Amir’s problem-solving mindset. According to my observations, the esports industry in Indonesia tends to have a copycat mindset. For example, when the EO business is trending, everyone flocks to make EO businesses. Even though, in my opinion, esports still has many problems that are left unsolved and potentially become a business opportunity. ”

Amir then added a story about the condition of business people in the startup ecosystem. “Actually, there are non-mainstream startup players as well. Usually, these people focus on profit rather than growth. They are usually referred to as ‘cockroaches’ among startup players. But according to my observation, this group is still considered a minority.”

 

Conclusion

We can consider esports and startups as siblings of the new industries of this internet era. In the Indonesian context, esports, which can be said to be the “little brother”, has a lot to learn from the startup industry, the “big brother”, because it emerged beforehand.

From the conversation with Mas Amir, I strongly agree with the startup mindset that focuses on growth and problem-solving. I see that esports really needs this. After all, the esports business is a technology business that invariably needs innovation. The esports ecosystem might not last long if the typical business model is attracting masses and hoping for sponsorships. As Yabes said, esports business players must also learn to prioritize the problem-solving mindset instead of just copying the existing business model.

“In my opinion, the persistence and adaptation of players in each segment to continue to be relevant and develop should be everyone’s main focus.” Said Amir, expressing his opinion regarding the things that can be learned by the startup and esports industry while also closing our conversation to discuss the topic.

This article is translated by: Ananto Joyoadikusumo

Polemik dan Relevansi Esports untuk Pelajar dan Mahasiswa di 2021

Dalam regenerasi talenta olahraga, kompetisi khusus pelajar/mahasiswa sangat diperlukan. Dari apa yang saya lihat, salah satu alasannya adalah karena batasan fisik. Tetapi bagaimana dengan esports? Tak ada batasan fisik di dalam esports. Bocah berusia 13 tahun bisa saja mengalahkan mahasiswa ataupun pemain profesional apabila bocah tersebut cukup mahir bermain. Lalu apabila kita melihat ekosistem esports saat ini, bahkan beberapa pemain profesional pun masih berstatus sebagai pelajar ataupun mahasiswa; misalnya Wiraww (ex pemain profesional AOV di EVOS Esports) yang tahun lalu masih berstatus sebagai pelajar SMA.

Kalau keadaannya seperti demikian? Lalu apa gunanya turnamen khusus pelajar/mahasiswa? Memang jika kita melihat dari aspek bisnis, turnamen esports kelas pelajar/mahasiswa menjadi salah satu pasar yang menarik. Alasannya adalah karena turnamen esports kelas pelajar/mahasiswa adalah pasar yang belum tentu digarap oleh sang developer/publisher. Jadi disebut “belum tentu” mengingat ada beberapa developer/publisher menggarap esports tingkat kampus secara mandiri, PUBG Mobile contohnya.

Mengawali tahun 2021, saya merasa kita perlu mempertanyakan kembali terhadap apa-apa saja yang sudah dan perlu dilakukan terhadap ekosistem esports khusus mahasiswa. Akankah ekosistem esports tingkat pelajar/mahasiswa hanya sekadar menjadi ladang bisnis? Atau akan dapat menjadi wadah aktivitas positif bagi pelajar/mahasiswa yang menjanjikan jenjang karir menuju profesional? Simak pembahasan saya bersama dengan beberapa narasumber terkait.

 

Tumbuh Suburnya Turnamen Esports Khusus Pelajar/Mahasiswa di Tahun 2020

Pertandingan esports khusus pelajar/mahasiswa tumbuh pesat di tahun 2020 kemarin. Anda ingin turnamen tingkat mahasiswa yang resmi dari sang developer/publisher game? Ada PUBG Mobile Campus Championship contohnya. Anda ingin turnamen tingkat mahasiswa resmi dari pemerintah? Ada Piala Menpora Esports 2020 dan juga IEL University Series yang didukung oleh IESPA. Bahkan beberapa kampus kini punya pertandingan esports dalam lingkup internal apabila Anda mungkin masih belum berani keluar kandang.

Hadirnya beragam turnamen esports khusus pelajar/mahasiswa sendiri bisa dibilang perkembangan tahap lanjut dari ekosistem esports Indonesia yang mulai bersemi kembali sekitar tahun 2017. Satu tahun setelahnya, High School League muncul menjadi salah satu pionir turnamen esports khusus pelajar. Pada tahun berikutnya (2019), IEL University Series muncul dan terbilang jadi pionir turnamen esports khusus mahasiswa universitas.

Sumber Gambar - Piala Menpora Esports Official Website.
Sumber Gambar – Piala Menpora Esports Official Website.

Seiring waktu dan pembuktian dari gelaran sebelumnya, turnamen-turnamen khusus pelajar/mahasiswa jadi mendapat lebih banyak perhatian sehingga berkembang seperti apa yang terjadi pada tahun 2020.

Pada tahun 2020, turnamen IEL University Series terus berlanjut bahkan kini dengan lebih banyak dukungan dari pihak swasta. Pada IEL University Series 2020, Universitas Negeri Jakarta keluar sebagai juara cabang Free Fire dan Universitas Gadjah Mada keluar sebagai juara dari cabang game Dota 2 setelah babak final usai diselenggarakan pada 11-12 Juni 2020 lalu.

Pada tanggal 3-4 Oktober 2020, babak grand final Piala Menpora Esports 2020 juga berlangsung dengan total hadiah sebesar Rp150 juta. Piala Menpora Esports 2020 agak sedikit unik karena turnamen tersebut mempertemukan pelajar SMP/SMA/SMK dengan mahasiswa universitas di dalam satu pertandingan. Binus University berhasil keluar menjadi juara setelah melewati tim dari sekolah SMA Institut Indonesia Semarang, MAN 3 Palembang, SMAN 1 Bintan Utara, serta dari Universitas Udayana, Institut Pertanian Bogor, Telkom University Bandung, dan Universitas Gunadarma jakarta.

Selain dua kompetisi yang diselenggarakan oleh pihak ketiga dengan dukungan pemerintah tersebut, tahun 2020 juga menjadi iterasi ketiga dari turnamen khusus mahasiswa yang diselenggarakan secara mandiri oleh sang developer game. Turnamen tersebut adalah PUBG Mobile Campus Championship. PMCC sendiri sudah berjalan sejak tahun 2018.

Pada tahun 2020 kemarin, gelaran puncak PMCC diselenggarakan pada tanggal 13 Desember. Memperebutkan total hadiah sebesar Rp200 juta, tim Universitas Sam Ratulangi Manado berhasil keluar sebagai juara dengan perbedaan poin yang tipis dengan Universitas Kristen Petra.

Beberapa turnamen esports kampus yang saya sebut mungkin baru sebagian dan hanya yang besar-besar saja. Belum lagi turnamen-turnamen esports internal kampus seperti BSSC Squarelypic 2020, UI Battlegrounds 2020, dan banyak turnamen khusus pelajar/mahasiswa lain lagi yang skalanya tidak sebegitu besar sehingga kurang terdengar ke muka publik.

Ingin tahu soal skena esports tingkat universitas, saya kebetulan sempat berbincang singkat Muhammad Fauzan selaku Project Officer dari turnamen esports intra-kampus, UI Battlegrounds 2020.

Fauzan menceritakan bahwa antusiasme mahasiswa di dalam UI sendiri terbilang cukup tinggi terhadap turnamen esports. Mempertandingkan Mobile Legends, PUBG Mobile, VALORANT, dan Dota 2, Fauzan lalu menceritakan, “UI punya 14 fakultas dan 1 program vokasi. Untuk MLBB lengkap semua 15 fakultas turut serta di dalam pertandingan. Sementara itu PUBG Mobile diikuti oleh 14 tim, VALORANT 13 tim, dan Dota 2 sebanyak 12 tim. Jadi total pemainnya kurang lebih ada 418 pemain yang turut serta.”

Tak hanya itu, turnamen internal seperti UI Battlegrounds ternyata cukup berhasil menarik perhatian penonton dan bahkan mungkin fanatisme fakultas di dalam Universitas Indonesia itu sendiri. “Pertandingan tersebut kami stream di channel YouTube UI Battlegrounds dan sempat ada yang tembus hingga 1,8k views. Sementara itu pertandingan Grand Final Mobile Legends dan VALORANT bahkan tembus hingga 3k views di channel Indonesia Gaming League.”

Dengan banyaknya kompetisi khusus pelajar/mahasiswa, tahun 2020 terbilang menjadi tahun menyenangkan bagi pelajar dan mahasiswa. Karena apabila kita mundur 6 tahun ke belakang, jangankan turnamen esports khusus pelajar/mahasiswa, mendapatkan karir sebagai gamer kompetitif pun masih terasa gelap dan tidak jelas juntrungannya. Tapi walau sudah banyak turnamen khusus pelajar/mahasiswa di tahun 2020, bukan berarti ekosistem esports di Indonesia sudah sepenuhnya sempurna. Turnamen-turnamen esports khusus pelajar/mahasiswa tersebut masih memiliki beberapa problematikanya tersendiri.

 

Masalah Dari Turnamen Khusus Pelajar/Mahasiswa

Seperti yang saya sebut di awal, ekosistem esports punya sifat alami yang berbeda dengan ekosistem olahraga. Dalam meniti karir sebagai pemain sepak bola misalnya, seorang anak SMA tidak mungkin bisa langsung bertanding di liga kasta satu. Dia harus bertanding di liga sepak bola tingkat SMA terlebih dahulu. Menurut pandangan saya, batasan fisik jadi salah satu alasannya. Tingkat kematangan psikis seorang anak SMA tentu berbeda jauh jika dibandingkan dengan pemain sepak bola profesional.

Tetapi dalam esports, anak SMA bisa dan boleh saja bertanding di dalam liga-liga profesional asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu karena tidak ada batasan fisik di dalam esports. Karena hal tersebut, polemik pun terjadi di dalam turnamen-turnamen esports antar pelajar/mahasiswa; setidaknya dari apa yang saya lihat.

Siapa saja yang boleh ikut dalam pertandingan esports khusus mahasiswa atau pelajar? Kalau jawabannya adalah semua mahasiswa atau pelajar, maka mahasiswa/pelajar yang telah dikontrak tim esports dan tergolong profesional boleh saja ikut ke dalam turnamen tersebut dong? Lalu muncul pertanyaan lagi. “Kalau begitu, pertandingannya jadi tidak adil dong?” Adil atau tidak adil, jawabannya kembali tergantung kepada peraturan serta apa yang jadi tujuan di balik dari sang penyelenggara dalam menyelenggarakan turnamen esports khusus pelajar/mahasiswa.

Idealnya menurut apa yang ada di kepala saya, turnamen esports khusus pelajar/mahasiswa adalah wadah bagi pemain yang ingin meniti karir di esports. Namun kenyataan memang tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang ideal.

Vyn dan Renbo yang turut bertanding di IEL University Series 2019 bersama dengan tim Binus University. Sumber Gambar - IEL Official Documentation.
Vyn dan Renbo yang turut bertanding di IEL University Series 2019 bersama dengan tim Binus University. Sumber Gambar – IEL Official Documentation.

Jika dilakukan sesuai idealisme saya, maka Vyn dan Renbo yang sudah menjadi bagian dari Bigetron Esports seharusnya tidak boleh mengikuti turnamen IEL University Series 2019. Jika dilakukan sesuai idealisme saya, maka Jeixy yang sudah bermain bersama EVOS Esports kala itu seharusnya tidak boleh membela Universitas Gunadarma di PMCC 2019 lalu. Tapi kembali lagi, semua hal yang saya tulis tersebut adalah keadaan “idealnya”. Keadaan yang tidak bisa ditampik adalah kenyataan bahwa penyelenggara yang tentu saja punya pikiran yang berbeda dengan saya.

“Turnamen kampus sebenarnya penting banget posisinya. Tapi balik lagi, antara penting dan efektif kadang tidak bisa berjalan berbarengan. Jadi turnamen kampus ini sebenarnya penting ada, tapi turnamen yang sudah terselenggara masih belum efektif. Menurut gue apabila turnamen kampus ingin menjadi efektif, cara terbaik adalah dengan melarang keikutsertaan pemain profesional. Bagaimanapun dunia esports collegiate dengan profesional itu sangat berbeda jauh.” tutur Wolfy saat saya tanyakan pendapatnya terkait turnamen pelajar/mahasiswa yang sudah ada di ekosistem esports Indonesia saat ini.

Florian George "Wolfy", sosok shoutcaster ternama di komunias PUBG Mobile. Sumber Gambar - MET Indonesia.
Florian George “Wolfy”, sosok shoutcaster ternama di komunias PUBG Mobile. Sumber Gambar – MET Indonesia.

Lalu bagaimana dengan IEL University Series? Saya juga berbincang dengan Eddy Lim yang merupakan Ketua Umum IESPA dan juga CEO Ligagame yang merupaakan penyelenggara turnamen tersebut. Dalam hal keterlibatan pemain profesional, Eddy mengatakan bahwa kompetisi IEL University Series memang tidak mencantumkan peraturan apapun terkait hal tersebut. “IEL University Series tidak mencantumkan peraturan apapun terkait pemain profesional. Semua pemain boleh ikut asalkan pemain tersebut adalah mahasiswa aktif dan resmi diutus oleh universitas terkait.” ucap Eddy.

Lebih lanjut membincangkan soal hal tersebut, Eddy juga menjelaskan bahwa IEL University Series memang berusaha mengedepankan urusan legalitas dibanding sekadar membuat turnamen untuk mahasiswa. “Kami bekerja sama dengan universitas terkait dalam pertandingan IEL University Series. Maka dari itu mahasiswa yang bertanding di dalam turnamen tersebut adalah mahasiswa aktif dari universitas terkait yang sudah mendapat izin dari rektorat untuk turut bertanding untuk membela nama universitas masing-masing.”

Sementara masih ada tumpang tindih antara profesional dan non-profesional di dalam turnamennya, organisasi esports profesional ternyata juga cenderung tidak terlalu meilirik pemain-pemain jebolan turnamen khusus pelajar/mahasiswa. Saya berbincang dengan Indra Hadiyanto selaku Co-Founder dan COO Alter Ego mendiskusikan soal hal tersebut. Indra mengatakan bahwa sebenarnya alasan dirinya tidak terlalu melirik jawara-jawara turnmaen antar-kampus bukanlah karena masalah turnamennya.

“Bukan karena turnamennya, tapi dari apa yang saya lihat, kebanyakan pemain dari turnamen kampus cenderung jarang terjun di komunitas gaming. Sementara pada sisi lain pemain yang memang sudah sering mengikuti turnamen (tidak harus antar-kampus) biasanya sudah memiliki koneksi dan terlihat sering bermain dengan pemain-pemain yang lebih senior sehingga lebih mudah diajak serta direkrut nantinya.” Tutur Indra.

Indra Hadiyanto, COO
Indra Hadiyanto, Co-Founder serta COO Alter Ego.

Lebih lanjut, Indra sendiri menceritakan secara singkat bagaimana Alter Ego bisa mendapatkan pemain baru dan apa yang jadi prioritas bagi manajemen timnya. “Dalam hal scouting, kami biasanya mencari lewat turnamen-turnamen tier 2 atau 3. Namun demikian, kebanyakan pemain yang kami ambil memang adalah pemain yang dikenalkan oleh player kami sendiri. Setelah proses scouting, biasanya head coach akan meninjau kembali potensi sang pemain. Apabila potensinya besar baru akan kami lakukan trial setelahnya.”

Indra lalu menjelaskan lebih lanjut soal apa yang dicari tim Alter Ego saat melakukan scouting terhadap pemain baru. “Ketika mencari pemain, kami memang tidak hanya sekadar melihat skill saja. Kami juga mencoba melihat aspek yang tak kalah penting yaitu latar belakang personal serta attitude sang pemain. Apabila pemain tersebut sudah banyak ikut turnamen dan punya banyak kenalan di dalam komunitas, tugas kami untuk menyaring dari sisi personalia terbilang jadi lebih mudah karena tinggal bertanya kepada pemain yang memang kenal dengan si calon pemain baru tersebut.

Jika memang tim profesional kurang tertarik terhadap pemain-pemain dari liga universitas, lalu apakah artinya kompetisi-kompetisi tingkat universitas sudah tidak berhasil menjalankan fungsinya sebagai wadah regenerasi pemain? Ada satu opini yang menarik dari Eddy Lim terkait hal tersebut yang akan saya bahas di akhir artikel. Namun sebelum itu, mari coba kita lihat posisi turnamen esports khusus mahasiswa yang ternyata punya prospek bisnis yang cukup menjanjikan.

 

Melihat Peluang Bisnis Turnamen Esports Khusus Pelajar/Mahasiswa

Selain aspek ideal, saya merasa aspek bisnis adalah hal yang tak bisa kita lupakan. Bagaimanapun juga, sebuah turnamen esports tidak akan bisa berjalan apabila turnamen tersebut tidak memberikan keuntungan — finansial atau yang lainnya. Esports sendiri berkembang dari rasa haus akan kompetisi para gamers yang menurun menjadi keinginan melihat pemain-pemain terbaik beraksi dari gamers lainnya. Seiring jumlah orang yang tertarik jadi semakin banyak, pihak swasta pun mulai melirik fenomena tersebut dan menginvestasikan sebagian dananya untuk menjadi sponsor yang membuat esports menjadi semakin bertumbuh.

Lalu bagaimana dengan turnamen antar kampus? Apakah turnamen antar kampus memang punya daya tariknya tersendiri?

Mari kita coba intip mulai dari perkembangan IEL University Series. Satu hal yang patut diacungi jempol dari turnamen IEL University Series adalah konsistensinya yang berjalan sejak dari tahun 2019 lalu. Tak hanya itu, pertandingan juga berjalan dengan format liga yang hampir setiap hari pertandingannya disiarkan melalui kanal digital.

Apalagi IEL University Series juga menjadikan duet stand-up comedian Coki & Muslim sebagai caster dan pembawa acara yang membuat tayangan jadi semakin meriah. IEL University Series sempat meledak dan mencatatkan 1,8 juta views di YouTube Ligagame Esports TV. Tayangan yang berhasil mencatatkan rekor views tersebut adalah video yang berisi cuplikan kelakar Coki & Muslim pada saat sedang menjadi komentator serta membawakan acara IEL University Series.

Sementara itu jumlah views pertandingan sendiri terbilang cukup besar untuk ukuran turnamen antar-kampus. IEL University Super Series – Season 2 ditayangkan di Vidio.com selaku official broadcast platform turnamen tersebut. Pertandingan grand final hari pertama IEL University Super Series – Season 2 telah diputar sebanyak 10,2 ribu kali, sementara pertandingan grand final hari kedua telah diputar sebanyak 4 ribu kali.

Jumlah views yang didapatkan bahkan lebih banyak lagi pada musim sebelumnya karena tayangan turnamen masih disiarkan melalui YouTube. IEL University Series tahun 2019 berhasil mencatatkan 109 ribu views pada gelaran Grand Final hari pertama dan 291 ribu views pada gelaran hari kedua.

Masih membicarakan viewership, PUBG Mobile Campus Championship 2020 juga berhasil mengantongi catatan yang cukup baik. Rentetan acara PMCC 2020 berhasil mencatatkan ratusan ribu views dengan puncaknya yaitu sebanyak 402 ribu views di pertandingan grand final hari pertama dan 429 ribu views di pertandingan grand final hari kedua.

Sumber: Rilis Resmi Tencent
PUBG Mombil Campus Championship 2019 yang masih diselenggarakan secara offline ketika sebelum pandemi menyerant. Sumber Gambar – Rilis Resmi Tencent

Selain dari sisi viewership, turnamen-turnamen antar kampus ternyata juga berhasil menarik banyak perhatian pihak swasta. Hal tersebut salah satunya terlihat dari deretan sponsor. Dari sisi IEL University Super Series Anda bisa melihat sendiri entitas seperti Super Soccer, Vidio, ataupun Bukalapak turut mensponsori gelaran tersebut.

Sementara pada Piala Menpora Esports 2020 kita bisa melihat sendiri bagaimana brand-brand dari Axis, Samsung, hingga Insto, BCA, Kuku Bima, Caffino, Pop Mie, dan Chitato turut menjadi sponsor acara tersebut.

Dari perkembangannya di tahun 2020 kemarin, kita bisa melihat bagaimana ekosistem esports kampus telah berkembang dengan cukup pesat. Bahkan jika perkembangannya bisa terus dijaga, esports kampus mungkin bisa jadi berdiri sendiri. Turnamen seperti IEL University Series, PMCC, atau Piala Menpora Esports ibarat seperti turnamen primer-nya. Berbarengan dengan hal tersebut, turnamen esports seperti UI Battlegrounds bisa membantu mengembangkan skena esports tingkat grassroot di dalam kampusnya.

Dengan berbagai perkembangan tersebut, lalu ke mana arah perkembangan esports tingkat pelajar/mahasiswa di tahun 2021 ini?

 

Akhir Kata…

Dalam membicarakan prediksi atau harapan perkembangan, satu hal yang kembali perlu diingat adalah usia perkembangan esports yang masih sangat belia. Jadi akan tidak masuk akal apabila kita langsung mengharapkan esports punya sistem layaknya liga bola basket NBA yang sudah berusia sekitar 74 tahun lebih.

Namun demikian, bisa dibilang ekosistem esports kampus sudah berjalan di jalan yang baik sejauh ini. Kehadiran turnamen seperti High School League ataupun IEL yang melibatkan pihak sekolah/universitas secara langsung menjadi salah satu jalan yang baik untuk melakukan transfer budaya esports kepada instansi-instansi sekolah/universitas yang cenderung lebih kolot dalam menerima perkembangan zaman.

Tetapi saya sendiri melihat, memang masih ada beberapa hal yang bisa membuat esports kampus jadi lebih baik lagi. Salah satu yang saya pikirkan adalah mendorong para pemain di skena esports kampus untuk tetap mendahulukan pendidikannya dengan cara memberikan hadiah turnamen dalam bentuk beasiswa. Kebanyakan turnamen tingkat pelajar/mahasiswa yang ada saat ini masih memberikan hadiahnya dalam bentuk uang tunai. Eddy Lim juga mengkonfirmasi bahwa IEL University Series kemarin masih menggunakan uang tunai sebagai hadiah utama.

Heroes of the Dorm, salah satu contoh turnamen esports yang berhadiah beasiswa sekolah. Sumbe Gambar - YouTube Channel Heroes of the Storm.
Heroes of the Dorm, salah satu contoh turnamen esports yang berhadiah beasiswa sekolah. Sumber Gambar – YouTube Channel Heroes of the Storm.

Kenapa hadiah beasiswa lebih baik daripada uang tunai? Bagaimanapun, pendidikan terbilang jadi jalur paling aman untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Walaupun karir sebagai pemain esports menjanjikan popularitas serta harta melimpah, tapi kita juga tidak boleh melupakan bahwa hanya segelintir orang saja yang bisa sukses besar di esports. Risikonya akan jadi sangat besar apabila seorang mahasiswa sampai-sampai meninggalkan pendidikannya cuma demi karir esports yang suksesnya belum bisa dipastikan. Apabila ia gagal, bagaimana nasib sang pemain tersebut tanpa memiliki bekal cadangan berupa pendidikan formal?

Hal kedua mungkin adalah kehadiran jenjang yang jelas menuju karir esports lewat ekosistem esports kampus.

Kembali menggunakan analogi liga bola basket NBA, pemain bola basket tingkat kampus punya jalur yang jelas apabila ia ingin bisa meniti karir di liga profesional. Hal tersebut yang mungkin masih belum ada di dalam ekosistem esports kampus Indonesia. Saya sempat membahas soal metode Draft pemain yang mungkin bisa menjadi jawaban atas hal ini. Namun kembali lagi, esports Indonesia sepertinya masih butuh beberapa tahun perkembangan lagi untuk bisa menghimpun kerja sama dari semua pihak agar sistem transfer pemain seperti Draft bisa dilakukan.

Lalu bagaimana dengan turnamen kampus yang turut diikuti oleh pemain-pemain profesional yang sudah dikontrak oleh tim esports? Terkait hal tersebut Eddy Lim punya opini yang terbilang menarik terkait pemain profesional di dalam pertandingan esports kampus.

“Saya sendiri memang cenderung lebih suka untuk menyelenggarakan sebuah turnamen dengan konsep terbuka (bisa diikuti oleh siapa saja). Kenapa? Dalam konsep terbuka, siapapun punya kesempatan melawan siapapun. Begitu juga dalam tingkat esports kampus.” Ucap Eddy.

Eddy Lim, Ketua Umum IESPA yang juga menjabat sebagai CEO Ligagame. Dokumentasi Hybrid - Novarurozaq Nur.
Eddy Lim, Ketua Umum IESPA yang juga menjabat sebagai CEO Ligagame. Dokumentasi Hybrid – Novarurozaq Nur.

“Semisal turnamen antar kampus dibatasi untuk non-profesional saja, mungkin pemain yang bertanding belum tentu dilirik tim besar. Tim esports mungkin jadi tidak memperhatikan turnamen tersebut. Mungkin tim esports akan berpikiran bahwa turnamen antar-kampus kalah kelas dan tidak kompetitif. Tapi semisal turnamennya berkonsep terbuka, pemain-pemainnya juga menjadi lebih kompetitif. Pemain-pemain yang mungkin tadinya minder dengan kemampuannya, bisa jadi semangat apabila ia berhasil memberi perlawanan terbaiknya terhadap para pemain yang tergolong profesional. Tapi dalam konteks pertandingan antar-kampus dan peraturan IEL, pemain profesional yang bisa turut bertanding di dalam kompetisi tentu hanyalah pemain yang tergolong sebagai mahasiswa aktif dan merupakan pemain yang diutus langsung oleh rektorat dari universitas terkait.” Eddy Lim memperjelas opininya soal keterlibatan pemain profesional di dalam turnamen antar kampus.

Harapan paling terakhir yang juga jadi harapan saya pribadi mungkin adalah konsistensi dari pihak-pihak terkait dalam mengadakan esports tingkat pelajar ataupun mahasiswa. Saya merasa esports di Indonesia tidak bisa bertahan lama apabila para pelakunya terlalu fokus terhadap pemain tingkat-tingkat profesional. Hal tersebut jadi ibarat membagun sebuah bangunan tanpa membuat pondasi terlebih dahulu.

Saya tahu di awal artikel saya mempertanyakan soal urgensi dari ekosistem esports kampus. Namun setelah berbincang dengan para narasumber dan melihat berbagai pencapaian yang telah dicapai oleh beberapa event tersebut, saya jadi merasa bahwa memang kenyataanya turnamen antar-kampus penting untuk menjadi pondasi ekosistem esports di Indonesia.