Jumlah Sponsor Tim Tiongkok di The International 2019 Naik, Kenapa?

Dari tahun ke tahun, total hadiah The International selalu naik. Tahun ini, The International masih menjadi turnamen esports berhadiah terbesar dengan total hadiah mencapai US$34,3 juta. Sepanjang tahun 2018 dan 2019, total hadiah untuk semua turnamen Major dan Minor Dota 2 hanya mencapai US$6,5 juta, bahkan tidak sampai setengah dari total hadiah The International tahun ini. Karena itu, jangan heran jika Aegis of Championship menjadi sasaran utama para tim dan pemain profesional Dota 2.

Tahun ini, The International diadakan di Shanghai. Untuk pertama kalinya dalam sembilan tahun, turnamen Dota 2 paling bergengsi itu diadakan di Tiongkok. Hal ini membuat banyak perusahaan tertarik untuk menjadi sponsor tim Tiongkok yang lolos kualifikasi TI. Pada tahun 2018, ada 22 sponsor yang mendukung 6 tim. Sementara pada tahun ini, jumlah sponsor tim Tiongkok yang masuk TI bertambah menjadi 27 sponsor. Beberapa perusahaan, seperti Li-Ning dan HLA Jeans, bahkan bersedia untuk menjadi sponsor lebih dari satu tim. Salah satu alasan begitu banyak perusahaan ingin menjadi sponsor tim yang berlaga di TI adalah karena performa tim-tim Dota 2 asal Tiongkok memang baik. Selama delapan tahun, tim Tiongkok berhasil menjadi juara sebanyak tiga kali dan menjadi juara dua sebanyak enam kali.

Sumber: Facebook
Sumber: Facebook

Menurut The Esports Observer, masuk akal jika sponsor bersedia untuk mengeluarkan investasi besar untuk tim yang lolos ke TI. Selain performa tim Tiongkok yang memang baik, lokasi diadakannya TI menjadi alasan lain. Untuk pertama kalinya, TI diadakan di Shanghai, yang berarti, sebagian besar penonton yang datang adalah warga Tiongkok. Mengingat rekam jejak tim Dota 2 dari Tiongkok, seandainya salah satu tim asal Tiongkok bisa menang, maka sponsor-sponsor yang mendukung tim itu akan mendapatkan eksposur yang sangat luas. Sayangnya, tim yang akhirnya keluar sebagai juara adalah OG, yang mencetak sejarah sebagai tim pertama yang juara TI dua kali berturut-turut.

Performa tim menjadi salah satu hal pertimbangan sponsor sebelum memutuskan untuk mendukung sebuah tim profesional. Hal ini terlihat dari rekam jejak para tim, seperti PSG.LGD. Pada tahun lalu, PSG.LGD hanya memiliki lima sponsor. Setelah berhasil menyabet gelar runner-up pada TI8, tahun ini, jumlah sponsor mereka bertambah menjadi 10 sponsor. Mengingat pada TI9 PSG.LGD berhasil duduk di peringkat tiga, kemungkinan besar, mereka masih akan menjadi salah satu incaran utama para sponsor.

Selain PSG.LGD, empat tim asal Tiongkok lain yang masuk ke TI juga memiliki lebih dari sponsor dari berbagai industri, mulai dari merek endemik sampai non-endemik. Vici Gaming memiliki sembilan sponsor, yaitu HLA Jeans, Douyu, Clear, aplikasi media sosial Bixin, merek makanan Three Squirrels, perusahaan hardware AMD dan HyperX, merek gaming chair DxRacer, dan Leihuo Esports. Sementara Newbee memiliki enam sponsor sepanjang TI9, yaitu merek pakaian Li-Ning, Intel, NVIDIA, Raybet, dan merek gaming chair Secret Lab. RNG didukung lima sponsor, yaitu Li-Ning, China Citic Bank Credit Card, merek ponsel Hongmo, Laoshan Beer, dan merek hardware Logitech. Terakhir, Keen Gaming memiliki tiga sponsor, mencakup Jingbo, Clear, dan merek gaming chair AK Player.

Tim PSG.LGD di TI 9 | Sumber: Facebook
Tim PSG.LGD di TI 9 | Sumber: Facebook

Hanya saja, durasi sponsorship untuk tim Dota 2 yang bertanding di The International biasanya tidak berlangsung lama. Selain itu, nilai sponsorship di scene Dota 2 di Tiongkok juga masih lebih kecil jika dibandingkan dengan League of Legends Pro League (LPL). Sponsorship untuk tim-tim yang berlaga di LPL juga biasanya berlangsung lebih lama. LPL sendiri memiliki 13 sponsor. Sementara salah satu tim yang bertanding, Royal Never Give Up (RNG) memiliki 12 sponsor. Ini bisa terjadi karena LPL memiliki infrastruktur yang lebih luas, memungkinkan para sponsor untuk tidak sekadar memasang logo pada jersey pemain, tapi juga di markas tim. Selain itu, karena LPL berbentuk liga, sponsor, tim, dan penyelenggara TJ Sports, juga bisa saling memberikan kritik dan saran pada satu sama lain.

All-Star eSports League Mau Adakan Liga Esports Gratis untuk Siswa SMA

Esports kini semakin diakui sebagai olahraga. Pada Desember lalu, esports diumumkan sebagai salah satu cabang resmi SEA Games 2019. Sama seperti olahraga tradisional, regenerasi adalah hal yang sangat penting di esports. Para atlet esports berbakat tak serta-merta muncul begitu saja. Di Indonesia, ada High School League (HSL) yang ditujukan untuk siswa SMA dan setingkat serta Indonesia eSports League (IEL) untuk tingkat mahasiswa. Jordan Zietz melihat perkembangan esports sebagai kesempatan untuk berbisnis. Dia membuat All-Star eSports League, yang bertujuan untuk mengadakan turnamen esports di tingkat SMA di Amerika Serikat. Liga ini menawarkan tiga game, yaitu Fortnite, Overwatch, dan Super Smash Bros. Ultimate.

Zietz baru saja mendapatkan kucuran dana dari Eric Bensussen, President PowerA, perusahaan pembuat game controller. Meski tidak disebutkan berapa jumlah investasi itu, menurut laporan VentureBeat, dana investasi tersebut mencapai jutaan dollar. Dana itu akan digunakan untuk mempublikasikan keberadaan liga SMA ini dan juga meningkatkan jumlah partisipan. Selain itu, dana ini juga akan digunakan untuk menambah total hadiah yang ditawarkan All-Star eSports League. Zietz mengatakan, total hadiah liga tersebut mencapai US$1 juta dalam bentuk beasiswa, komputer, perangkat gaming, dan hadiah lainnya.

“Banyak sekolah yang bertanya tentang cara untuk mendorong siswa mereka terlibat dalam esports, terutama siswa yang saat ini tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apapun,” kata Zietz, dikutip dari VentureBeat. “Sebagian orang yang tak terlalu kuat secara fisik tak bisa sukses di olahraga. Dulu, saya sering mengalami cedera di SMA. Saya mencoba untuk bermain american football, lacrosse, dan saya juga mencoba mendayung. Dengkul, mata kaki, dan punggung saya pernah patah. Saya pernah mengalami berbagai cedera. Jadi, pada akhirnya saya memutuskan bahwa olahraga tidak cocok untuk saya.” Beberapa awktu lalu, Extreme Networks dan eCampus News membuat laporan yang menyebutkan, keberadaan program esports di sekolah mendorong para siswa untuk lebih rajin ke sekolah.

Sumber: All-Star eSports League via VentureBeat
CEO Jordan Zietz. Sumber: All-Star eSports League via VentureBeat

Zietz berkata, All-Star eSports League tumbuh dengan cepat dalam waktu enam bulan belakangan. Saat ini, dia menyebutkan, telah ada 5.000 tim yang ikut serta dalam platform buatannya. “Tujuan utama saya sekarang adalah menjangkau sekolah sebanyak-banyaknya,” ujarnya. Keluarga Zietz memang terbiasa berwirausaha. Sang kakak, Rachel Zietz, membuat perusahaan pertamanya ketika dia berumur 13 tahun. Sementara Jordan Zietz membuat perusahaan pertamanya, sebuah perusahaan persewaan game, saat dia berumur 12 tahun. Dia juga sempat untuk membuat perusahaan virtual reality sebelum dia memutuskan untuk fokus di esports.

“Saya selalu tertarik dengan olahraga dan gaming, tapi saya senang bisa bekerja sama dengan Jordan karena dia membawa semangat ini ke tingkat yang lebih serius. Dia benar-benar peduli dengan apa yang dia lakukan, dan saya pikir, inilah yang membuat perusahaan terus sukses,” kata Bensussen.

Zietz bukan satu-satunya orang yang tertarik untuk menyelenggarakan liga esports di tingkat SMA. Ialah Delane Parnell, yang membuat platform PlayVS. Belum lama ini, PlayVS mengumumkan bahwa mereka juga telah mendapatkan kucuran dana. Namun, Zietz mengatakan, platform-nya berbeda dengan PlayVS, yang mengharuskan para peserta membayar untuk bisa bertanding. All-Star eSports League milik Zietz gratis. “Mereka meminta bayaran pada para peserta, sementara kami tidak. Karena kami percaya, hal ini membuat pemain berbakat tidak bisa menunjukkan kemampuan mereka,” kata Zietz. “Sebagai siswa dan gamer, saya percaya, semua orang harus bisa berpartisipasi dan sistem PlayVS itu diskriminatif.”

SumaiL dan YawaR Bakal Bermain Bersama di Quincy Crew

Nama Syed “SumaiL” Sumail Hassan pertama kali dikenal ketika dia memenangkan The International bersama dengan Evil Geniuses pada 2015. Saat itu, dia masih berumur 16 tahun. Dengan total hadiah sebesar lebih dari US$18,4 juta, The International 2015 merupakan turnamen esports dengan hadiah terbesar kelima sepanjang masa, menurut Esports Earnings. Sebagai juara satu, Evil Geniuses mendapatkan US6,6 juta. Itu artinya, setiap pemain mendapatkan US1,32 juta. Ini menjadikan Sumail sebagai pemain termuda yang berhasil memenangkan US$1 juta melalui turnamen esports. Pada 2016, dia dinobatkan sebagai salah satu remaja yang paling berpengaruh versi TIME.

Selama lima tahun, Sumail setia bermain di Evil Geniuses. Namun, setelah The International 2019, dia memutuskan untuk keluar dari tim esports asal Amerika Serikat itu. Sejak saat itu, para fans bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Muncul kabar angin yang menyebutkan bahwa dia akan bermain bersama sang kakak, Yawar “YawaR” Hassan dalam tim baru. Rumor bahwa Sumail ingin bermain di tim yang sama bersama kakaknya memang selalu muncul pada awal musim sejak TI5. Namun, selama ini, rumor itu tidak pernah terbukti. Kali ini, rumor yang menyebutkan bahwa Sumail akan bermain bersama Yawar terbukti benar.

Sumber: Gosugamers
Sumail ketika bersama Evil Geniuses. Sumber: Gosugamers

Sumail dan Yawar akan bergabung dalam tim baru bernama Quincy Crew. Dalam tim baru tersebut, Sumail akan bermain sebagai Position 1 Carry, meski selama ini dia dikenal sebagai midlaner. Sementara posisi midlaner akan diisi oleh Quinn “CCnC” Callahan. Yawar akan bermain di offlane. Itu berarti, kakak beradik Hassan akan memiliki posisi yang berbeda dari posisi yang mereka mainkan selama ini. Namun, keduanya cukup berbakat untuk dapat menyesuaikan diri dengan peran baru mereka. Dua anggota lain dari Quincy Crew adalah Arif “MSS” Anwar dan Avery “SVG” Silverman. Pada Maret, SVG sempat mengatakan bahwa dia mengundurkan diri sebagai pemain profesional dengan alasan karena dia ingin melakukan hal-hal lain dalam hidupnya. Kini, dia kembali ke scene Dota 2.

Jack “KBBQ” Chen akan menjadi manager dari tim Quincy Crew. Saat ini, tim tersebut tidak bermain di bawah organisasi esports apapun. Namun, melalui Twitter, KBBQ mengaatkan bahwa situasi ini “akan diselesaikan dalam waktu dekat”. Kemungkinan, itu berarti, anggota tim Quincy Crew tak lama lagi akan menandatangani kontrak setelah mereka menentukan terms and conditions. Ada beberapa organisasi esports besar yang masih belum memiliki tim Dota 2, seperti Team Liquid dan Alliance. Masih belum diketahui di kawasan mana tim Quincy Crew akan berlaga. Mengingat selama ini para anggotanya menjadi bagian dari tim yang bertanding di Amerika Utara, kemungkinan mereka juga akan kembali bertanding di kawasan tersebut.

Sumber: VPesports, Dot Esports, Talk Esport

Sumber header: Twitter

OPPO Sponsori Turnamen League of Legends Sampai 2024

OPPO menjadi merek non-endemik terbaru yang masuk ke ranah esports. Riot Games baru saja mengumumkan kerja samanya dengan perusahaan smartphone asal Tiongkok itu. Ini menjadikan OPPO sebagai perusahaan smartphone pertama yang menjadi rekan global Riot Games dalam League of Legends Esports. Tidak tanggung-tanggung, kerja sama kedua perusahaan akan berlangsung hingga 2024. OPPO akan mensponsori tiga turnamen global League of Legends, yaitu Mid-Season Invitational, All-Star Event, dan World Championship. Kerja sama ini akan dimulai pada World Championship 2019, yang akan diadakan di tiga kota mulai 2 Oktober mendatang. Ini menandai pertama kalinya OPPO masuk ke ranah esports.

Tujuan OPPO menjadi sponsor adalah untuk memperkenalkan merek mereka pada fans League of Legends. Ada beberapa hal yang OPPO lakukan untuk mencapai tujuan mereka. Salah satunya adalah menyajikan gelar Most Valuable Player dalam Mid-Season Invitational dan World Championship. Selain itu, OPPO juga akan menampilkan konten behind-the-scene dari World Championship, yang dikemas dengan nama OPPO Cam. Melalui program bernama Welcome to the Rift, OPPO akan menunjukkan tim baru yang berlaga dalam League of Legends World Championship. Terakhir, OPPO akan mengadakan promosi untuk konsumen, memungkinkan mereka memenangkan kesempatan untuk melihat behind-the-scene dari tiga turnamen global Leage of Legends.

Sumber: Dexerto
Sumber: Dexerto

Esports adalah olahraga yang tumbuh dengan sangat cepat pada tingkat global, dan League of Legends telah menjadi gaya hidup bagi generasi muda selama beberapa tahun belakangan,” kata Brian Shen, OPPO Vice President dan President of Global Marketing, seperti dikutip dari situs Nexus League of Legends. “Sebagai merek yang fokus pada konsumen, OPPO terus mencari cara yang tepat untuk terhubung dengan generasi muda, yang menjadi target konsumen kami. Ini adalah langkah yang tepat untuk Riot dan OPPO; kerja sama ini memungkinkan kami untuk memperkuat hubungan kami dengan generasi muda, menemani mereka dalam merayakan setiap kemenangan.”

Dengan semakin banyak merek non-endemik yang masuk ke industri esports, keputusan OPPO untuk mensponsori turnamen League of Legends bukanlah hal yang aneh. Lalu, kenapa League of Legends? Dari semua game esports yang ada, OPPO memilih untuk mensponsori game buatan Riot Games. Tampaknya, salah satu hal yang mendasari OPPO untuk memilih League of Legends adalah popularitas. Game MOBA ini sangat populer di Tiongkok. Turnamen League of Legends Pro League (LPL) yang diadakan di Tiongkok merupakan liga League of Legends terbesar di dunia. Sementara menurut ESC, pada 2018, turnamen League of Legends menjadi turnamen esports yang paling paling lama ditonton dengan durasi waktu tonton mencapai 78,8 juta jam.

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Tidak hanya turnamen League of Legends yang populer, tapi juga konten game tersebut. Hal ini terlihat dari total durasi waktu tonton di Twitch. Pada semester pertama 2019, League of Legends menjadi game yang kontennya paling lama ditonton dengan durasi waktu tonton mencapai 512,3 juta jam. Angka itu naik jika dibandingkan dengan durasi waktu tonotn pada semester pertama 2018, yang hanya mencapai 435,2 juta jam. Pada semester satu 2018, Fortnite menjadi game paling populer di Twitch, mengalahkan League of Legends yang ada di posisi dua. Hanya saja, popularitas Fortnite menurun pada awal tahun ini. Selain itu, jika dibandingkan dengan Fortnite atau Apex Legends — yang durasi waktu konten ditonton fluktuatif — durasi menonton League of Legends cenderung stabil. League of Legends begitu populer sehingga luxury brand seperti Louis Vuitton pun tertarik untuk bekerja sama dengan Riot Games.

“Komitmen OPPO pada desain dan inovasi adalah landasan dari semua hal yang mereka lakukan dan kami senang dapat membawa semangat mereka ke game dan fanbase global kami,” kata Naz Aletaha, Head of Global Esports Business Development and Partnerships, Rio Games. “Menjadi liga esports pertama yang OPPO sponsori adalah bukti kuat akan popularitas League of Legends.”

[Featured] Mengulik Tantangan Stadion dan Venue Esports di Indonesia

Tahun ini, esports menjadi bahan pembicaraan hangat. Tidak heran, dengan jumlah penonton hampir mencapai satu miliar orang, esports kini menjadi industri bernilai US$1,1 miliar pada tahun ini. Namun, sebenarnya, turnamen esports besar sudah diadakan sejak beberapa tahun lalu, seperti Intel Extreme Extreme Masters yang telah diadakan sejak 2014 atau League of Legends Championship untuk Amerika Utara yang dimulai sejak 2015. Turnamen besar ini biasanya mendundang penonton yang tidak sedikit. Para penyelenggara turnamen seperti ESL biasanya menggunakan stadion untuk menyelenggarakan turnamen tersebut. Misalnya, babak akhir IEM biasanya diadakan di Spodek, Katowice, Polandia. Spodek adalah komplek multifungsi dengan kapasitas penonton mencapai 11.500 orang. ESL harus menggunakan komplek multifungsi karena memang saat ini, belum banyak stadion khusus esports dengan kapasitas besar.

Menurut data dari The Esports Observer, stadion khusus untuk esports dengan kapasitas lebih dari 400 tempat duduk sebenarnya telah ada sejak 2013. Ialah Nexon E-sports Stadium dengan kapasitas 436 orang yang terletak di Seoul, Korea Selatan. Stadion khusus esports dengan kapasitas terbesar berada di Tiongkok, yaitu Zhongxian E-sports Stadium, yang dibuka pada 2018. Stadion yang terletak di di Chongqing itu memiliki luas 5.574 meter persegi dan kapasitas 7.000 orang. Pada tahun yang sama, Texas juga membuka stadion khusus esports dengan luas lebih dari 9.200 meter persegi dan kapasitas 1.000 orang. Anda bisa melihat daftar stadion esports dengan kapasitas di atas 400 orang pada tabel di bawah.

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Allied Esports Entertainment dan Bisnis Stadion Esports

Di Amerika Serikat, satu nama yang dikenal ketika membahas soal bisnis stadion esports adalah Allied Esports Entertainment. Perusahaan itu berdiri ketika Black Ridge Acquisition Corp (BRAC) mengakuisisi Allied Esports dan WPT Enterprises. Pada awalnya, BRAC adalah perusahaan tempurung dari perusahaan minyak dan gas yang dibuat hanya untuk mengakuisisi perusahaan lain. Setelah mengakuisisi Allied Esports dan WPT Enterprises pada Agustus lalu, BRAC banting setir dari sektor energi ke esports.

Di situs resminya, Allied Esports Entertainment mengklaim dirinya sebagai perusahaan yang menaungi beberapa stadion dan fasilitas produksi konten. Memang, dari 12 stadion esports dengan kapasitas lebih dari 400 orang, 4 di antaranya ada di bawah manajemen Allied Esports Entertainment. Namun, bukan berarti perusahaan itu mendapatkan untung besar. Allied Esports Entertainment mengatakan, sebelum akuisisi, Allied Esports dan WPT Enterprises mengalami kerugian sebesar US$3,9 juta pada semester pertama 2019. Sementara selama 2018, keduanya mengalami kerugian sebesar US$31 juta. Meskipun begitu, kepada The Esports Observer, juru bicara Allied Esports Entertainment mengaku optimistis. Dia berkata, “Ke depan, kami percaya diri dengan strategi kami dan kami akan memanfaatkan momentum pada semester pertama 2019, ketika pendapatan kami naik 40 persen.”

HyperX Esports Arena, salah satu arena di bawah Allied Esports Entertainment | Sumber: Hyperxgaming
HyperX Esports Arena, salah satu arena di bawah Allied Esports Entertainment | Sumber: hyperxgaming

Menariknya, kerugian yang dialami Allied Esports dan WPT Enterprises tidak menghentikan TV Azteca dan Simon Property Group untuk mengucurkan dana investasi pada Allied Esports Entertainment. TV Azteca dan Simon Property Group masing-masing menanamkan US$5 juta pada Allied Esports Entertainment. Sebagai perusahaan properti, Simon Property mendapatkan US$5,66 miliar pada 2018. Investasi mereka pada Allied Esports Entertainment terbilang kecil. Pihak Simon menjelaskan, mereka tertarik untuk melakukan investasi di ranah esports karena mereka ingin melihat dampak adanya tempat khusus esports pada jumlah pengunjung dan kebiasaan belanja konsumen di pusat perbelanjaan mereka. Bersama Allied Esports Entertainment, Simon membuat longue Allied Esports di berbagai tempat di Amerika Serikat.

“Fokus kami adalah menyediakan tempat bagi komunitas untuk berkumpul, memungkinkan orang-orang dari berbagai latar belakang untuk berbelanja, makan, dan menikmati hiburan,” kata Executive Vice President dan COO of Development, Simon, Mark Silvestri, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Esports adalah cara inovatif bagi kami untuk memperkuat aspek komunal dengan format baru yang unik agar dapat menarik perhatian banyak orang.” Menurut Simon, sukses atau tidaknya pengintegrasian longue esports ke mall mereka akan didasarkan penerimaan pengunjung mall akan keberadaan tempat khusus esports ini.

Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, arena khusus esports masih belum banyak. Salah satu perusahaan yang memiliki stadion khusus esports adalah Dunia Games, anak perusahaan Telkomsel. Namun, tidak sedikit turnamen yang diadakan di pusat perbelanjaan seperti Mall Taman Anggrek atau exhibition hall seperti Jakarta International Expo. Pihak penyelenggara memiliki beberapa pertimbangan sebelum memutuskan tempat untuk turnamen esports. Menurut Rezaly Surya Afhany, Manager Esports di Telkomsel dan Head of Digital Games Product Management, salah satu hal yang harus dipertimbangkan ketika hendak memilih tempat turnamen esports adalah besarnya turnamen tersebut.

“Kalau level nasional, offline to online, dengan kapasitas dua sampai tiga ribu penonton dan tribune seat, mungkin Tennis Indoor Senayan atau Britama Kelapa Gading sangat oke supaya bisa dapat dokumentasi yang legendary,” kata Rezaly ketika dihubungi oleh Hybrid.co.id via pesan singkat. “Itu hanya untuk turnamen satu game. Tapi, kalau turnamen multigame, bisa gunakan exhibition hall seperti Kartika Expo, JIE Expo, atau Mall Taman Anggrek.”

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Penonton ESL Indonesia Championship Season 2 di Tennis Indoor Senayan. | Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah tempat lokasi. “Kayak ICE BSD, jauh sih, tapi itu affordable, luas, dan peralatan bisa digantung sehingga produksinya bisa maksimal, seperti PMCO (PUBG Mobile Club Open). Kalau acara dari publisher sendiri, penonton sudah pasti banyak, beranilah kalau buat di ICE. Tapi, kalau untuk eksibitor pihak ketiga sepreti Dunia Games, harus dihitung benar-benar persiapannya jika mau buat di ICE. Jika kurang maksimal, bisa rugi.” Senada dengan Rezaly, Reza Afrian Ramadhan, Head of Marketing and Creative MET Indonesia juga mengatakan bahwa kapasitas tempat dan kemudahan akses memang faktor yang harus dipertimbangkan. Selain itu, spesifikasi tempat, seperti luas area, kemungkinan untuk dekorasi tempat, adalah hal lain yang menjadi pertimbangan pihak penyelenggara.

Dunia Games adalah salah satu dari sedikit eksibitor yang memiliki arena khusus esports. Meski enggan untuk menyebutkan jumlah investasi untuk membangun DG Esports Stadium yang terletak di Pluit Selatan, Rezaly mengungkap bahwa proses touchup stadion itu memerlukan waktu sekitar enam bulan. Stadion tersebut biasanya digunakan untuk acara kelas menengah, dengan jumlah penonton sekitar 300-400 orang. “Di kantor juga ada ruangan di vertical garden atau diorama lantai 10. Ada LED khusus di sana, tinggal dipakai. Kalau untuk grassroot level, selain cafe, kita juga memaksimalkan penggunaan kantor GraPari di 141 titik di Indonesia.”

Rezaly mengaku, saat ini, mencari klien yang mau mengadakan turnamen di DG Esports Stadium adalah hal yang menantang. Memang, dia menjelaskan, ada banyak turnamen online yang diadakan. “Tapi, kalau offline, selain publisher atau BEKRAF, tahun ini tidak banyak yang mau investasi besar-besaran. Karena klien lebih memilih untuk menggunakan mall untuk acara kelas menengah karena jumlah penonton yang cenderung aman,” katanya. “Tapi, untuk High Grounds, Dunia Games atau Liga Games, yang punya stadion untuk in-house production, itu masih oke. Toh ada bisnis utama yang menghitung fasilitas sebagai aset.” Padahal, dia memperkirakan, jika penyelenggara menggunakan stadion khusus esports, mereka bisa menghemat biaya hingga 40-60 persen. Tidak hanya itu, pihak penyelenggara juga tak lagi direpotkan dengan mobilisasi peralatan atau internet. Karena, biasanya tempat khusus untuk esports sudah dilengkapi dengan semua itu.

AOV Star League Season 1 diadakan di Mall Taman Anggrek | Sumber: Kincir.com
AOV Star League Season 1 diadakan di Mall Taman Anggrek | Sumber: Kincir.com

Reza dari MET Indonesia, setuju dengan pendapat Rezaly. “Dari sudut pandang penyelenggara, pastinya akan lebih mudah. Kalau tempatnya sudah khusus untuk esports, berarti spesifikasi dan layout-nya sudah dibuat sesuai dengan standar kebutuhan turnamen esports, maka penyelenggara dapat mengurangi biaya produksi. Selain itu, pemain dan audiens yang hadir juga bisa lebih nyaman dan tertata sehingga bisa lebih fokus dan menikmati acara,” ujarnya, melalui pesan singkat.

“Kalau diselenggarakan di mall, ada opportunity penonton yang datang lebih banyak, tergantung dari trafik mall-nya sendiri,” kata Reza. “Tapi, setiap mall juga pasti memiliki aturan-aturan yang membatasi keleluasaan penyelenggara event, misalnya seperti ukuran panggung yang terbatas, pencahayaan yang tidak boleh terlalu gelap, dan lain-lain. Sedangkan kalau di venue khusus esports, hal-hal seperti itu bisa lebih dikustomisasi sehingga penyelenggara bisa lebih mengeskplorasi ide-ide untuk membuat event yang lebih out of the box.” Dia memberikan Regular Season MPL ID S4 sebagai contoh. Dia bercerita, MET Indonesia menyelenggarakan kompetisi itu di tempat khusus berupa hall kosong. Dengan begitu, mereka bisa menghias ruangan sesuai kebutuhan agar penonton dan pemain bisa merasa lebih nyaman. “Sejauh ini, review-nya positif. Semua senang dan penonton yang hadir setiap harinya bisa mencapai 400 orang dan bahkan mencapai 1000 orang kalau big match.”

Menurut Reza, salah satu masalah yang ditemui oleh penyelenggara ketika tidak ada tempat khusus untuk acara esports adalah terkait jadwal. “Padatnya jadwal penggunaan tempat sehingga penyelenggara harus berebut dengan acara konvensional lain dan spesifikasi tempat yang belum sesuai dengan kebutuhan turnamen,” katanya. “Namun tantangan ini dapat ditanggulangi selama penyelenggara sanggup untuk memproduksi kebutuhan dekorasi panggung dan interior lainnya yang diperlukan untuk menyelenggarakan acara tersebut.”

Potensi Bisnis Stadion Esports di Indonesia

Ketika ditanya tentang potensi bisnis pembangunan stadion khusus esports, Rezaly mengatakan investasi besar yang digelontorkan untuk membangun stadion tersebut tidak dapat kembali dalam waktu singkat. “Kalau untuk komersil jangka pendek, jujur, saran saya, lebih baik dikalkulasi ulang. Karena investasi dan biaya operasinya berat,” ungkap Rezaly. Meskipun begitu, dia merasa bahwa Telkomsel tidak menyesal untuk membuat DG Esports Stadium. “Ya worth it, jika dihitung nilai PR-nya. Tapi kalau dari segi komersil, masih challenging,” akunya. Masalah utama yang mereka hadapi saat ini adalah mencari klien.

DG Esports Stadium | Sumber: Kincir.com
DG Esports Stadium | Sumber: Kincir.com

Menariknya, meskipun Rezaly mengatakan mencari klien untuk DG Esports Stadium tidak mudah, dia mengatakan tidak tertutup kemungkinan Telkomsel akan membuat arena khusus esports lain. “Terutama untuk luar Jawa alias Indonesia Timur dan Sumatera,” ujarnya. “Kita ada beberapa titik Loop Station yang didesain agar bisa menjadi gamers hub juga.” Informasi tambahan, Loop Station adalah kantor layanan Telkomsel yang menargetkan anak muda, yang merupakan pelanggan Loop. Berbeda dengan GraPARI yang merupakan kantor layanan Telkomsel biasanya, Loop Station dilengkapi dengan berbagai peralatan sehingga ia cocok untuk digunakan sebagai tempat hangout. “Karena ada LED besar dan koneksi internet di Loop Station, tinggal manage komunitas lokal untuk isi acaranya.” Dia menceritakan, bagi Telkomsel, membuat acara pada level grassroot lebih menarik. “Karena kami juga harus memberikan pelayanan ke pelanggan kami di rural area. Di sana, tidak ada hiburan. Games itu bisa mempersatukan merek non-endemik seperti kami ke generasi milenial.”

“Di luar Jawa, masih ada potensial untuk menggarap berbagai kegiatan sebagai jalur agar gamers di kawasan tersebut memiliki kesempatan untuk menjadi champion di wilayahnya dan berlanjut ke nasional. Karena di kota-kota besar dan Jakarta, kan sudah banyak tim pro. Mereka pasti sudah minder duluan,” ungkap Rezaly. Dia mengatakan, Telkomsel rutin mengadakan turnamen setiap minggu pada level yang berbeda-beda. “Baik kelas warung, ruko, cafe, sampai dengan mall. Yang online juga, kita maintain sendiri para pemainnya di platform turnamen Dunia Games dengan WhatsApp atau Discord.” Salah satu alasan Dunia Games lebih tertarik untuk mengembangkan komunitas di luar Jawa adalah potensi pendapatan yang lebih besar. “Secara revenue untuk top up voucher, pertumbuhannya lebih tinggi dari Pulau Jawa, walau jumlah pengguna data dan smartphone tetap lebih banyak di Jawa. Namun, keinginan untuk membeli, lebih merata di luar Jawa, khususnya Kalimantan dan Sumatera.”

Industri esports melibatnyak banyak pelaku, mulai dari developer dan publisher game, tim dan atlet profesional, sampai penyelenggara turnamen. Lalu, siapa yang memiliki tanggung jawab untuk membuat stadion esports? Soal ini, Reza menjawab, “Pada dasarnya semua pihak yang ingin mendorong perkembangan ekosistem esports bisa saja turun tangan untuk penggarapan venue khusus esports, karena semua yang bersinggungan dengan esports bisa memanfaatkan adanya venue tersebut.” Dia mengaku, sebagai penyelenggara, MET juga memiliki rencana untuk membuat tempat khusus esports. Sayangnya, dia enggan untuk membagikan informasi lebih lanjut.

NXL Angels. Dokumentasi: Hybrid
NXL Angels. Dokumentasi: Hybrid

Selain DG Esports Stadium, Anda juga bisa menemukan NXL Esports Center di The Breeze, BSD City. Satu hal yang menarik dari NXL Esports Center adalah karena ia merupakan gaming house yang bisa diakses oleh masyarakat umum. Tidak hanya itu, Anda bahkan bisa mengasah kemampuan Anda bermain game di sini. “Tempat kita itu utamanya untuk tempat latihan, tempat tanding, pengajaran, shooting, stream, mini museum, dan toko offline,” kata Richard Permana, CEO dari TEAMnxl> saat dihubungi melalui pesan singkat. “Para atlet kami datang setiap hari untuk latihan sekaligus bertanding. Untuk sesi pengajaran, biasanya di akhir minggu kami undang pengajar yang paling kompeten di game tersebut. Ke depan, event pengajaran mau kami level up lagi. Jadi, orang sekali bayar, ikut kelasnya misalnya lima kali dalam satu bulan.”

Akusisi Roster NRG, Evil Geniuses Bakal Kembali Bertanding di CS:GO

Evil Geniuses akan kembali bertanding di Counter-Strike: Global Offensive setelah mengakuisisi roster tim NRG. Dengan begitu, pada ESL One New York, tim NRG akan bertanding di bawah nama Evil Geniuses. Ini agak mengagetkan, terutama karena NRG sukses meraih juara dua pada StarLadder Major Berlin 2019, yang membuat tim esports tersebut menjadi perhatian banyak orang.

Evil Geniuses pernah memiliki tim CS:GO pada 2007. Tim tersebut kemudian dibubarkan pada 2012. Beberapa tahun belakangan, memang banyak rumor yang menyebutkan bahwa Evil Geniuses akan kembali berlaga di CS:GO, terutama pada 2014, ketika EG hampir mengakuisisi tim iBUYPOWER. Namun, pada akhirnya EG memutuskan untuk membatalkan rencana itu setelah muncul kabar bahwa para pemain tim tersebut terlibat dalam skandal match-fixing. Sementara NRG telah ada di scene CS:GO sejak 2016. Mereka sempat mengubah roster mereka sebelum memutuskan untuk menggunakan roster saat ini.

“Setelah negoisasi panjang dengan NRG Esports, Evil Geniuses dengan bangga mengumumkan bahwa kami telah mengakuisisi tim Counter-Strike: Global Offensive dan spot mereka untuk bertanding di ESL Pro League,” kata Evil Geniuses dalam pengumuman resminya. “Anggota tim telah siap untuk bertanding di ESL One New York, dan mereka akan berkompetisi di bawah nama EG.” Dalam situs resminya, Evil Geniuses juga menjelaskan bahwa selama beberapa bulan belakangan, mereka memang mencari cara untuk bisa kembali bertanding di CS:GO. Mereka bahkan sempat mempertimbangkan untuk mencari tim di luar kawasan Amerika Utara. Namun, pada akhirnya, pilihan mereka jatuh pada tim NRG. “Sejak roster mereka dipastikan pada Juli, roster NRG masuk ke dalam tim top 5 dunia, menurut daftar hltv.org,” ujar EG.

“Ini adalah tahun ke-20 EG menjadi organisasi esports, dan Counter-Strike memiliki peran besar dalam kesuksesan kami,” kata CEO Evil Geniuses, Nicole LaPointe Jameson, seperti dikutip dari situs resmi EG. “Saya senang bisa membawa EG kembali ke posisi puncak di CS:GO setelah berdiam diri dalam waktu lama; franchise CS:GO telah terbukti sebagai game esports legendaris. Banyak fans kami yang meminta kami untuk kembali ke CS, dan kami senang untuk membawa Evil ke scene CS:GO dan komunitasnya — roster kami juga sangat senang untuk bisa bertading di bawah nama EG, dan kami akan memberikan performa terbaik kami pada akhir pekan ini.”

Evil Geniuses bukannya satu-satunya organisasi esports yang tertarik untuk kembali berlaga di scene CS:GO. Minggu lalu, Dignitas dan Misfits Gaming juga mengaku akan membuat tim CS:GO pria lagi.

Sumber: VPesports, Dexerto, HotSpawn, Dot Esports

Sumber header: Dexerto

Dignitas Dapat Kucuran Dana, Selesai Merger dengan Clutch Gaming

Dignitas mendapatkan dana investasi sebesar US$30 juta. Pengumpulan dana ini dipimpin oleh Harris Blitzer Sports & Entertainment (HBSE) dan Fertitta Entertainment, dua perusahaan yang memiliki pengaruh dalam manajemen Dignitas. Selain dua perusahaan tersebut, ada beberapa investor baru seperti Susquehanna Private Equity Investments, Delaware North, dan Steven Rifkind, pendiri Loud Records. Pada kesempatan kali ini, Dignitas juga mengumumkan bahwa proses merger dengan Clutch Gaming telah selesai. Pada babak kualifikasi League of Legends World Championship (LWC), tim Clutch Gaming akan bertanding dengan seragam Dignitas. Sementara nama tim Clutch Gaming akan diganti menjadi Dignitas per Januari 2020.

Dengan selesainya merger dengan Clutch Gaming, Dignitas membuat perusahaan induk bernama New Meta Entertainment (NME). CEO Dignitas, Michael Prindiville, yang mengusahakan merger Dignitas dengan Clutch Gaming, akan diangkat sebagai CEO NME. “Kami menganggap diri kami sebagai perusahaan olahraga digital dan hiburan,” kata Prindiville, seperti dikutip dari VentureBeat. “Satu tahun belakangan, kami membuat visi untuk menjadi perusahaan multidivisi yang terintegrasi. Kebanyakan perusahaan esports hanya fokus pada satu bisnis saja. Faktanya, cara terbaik untuk sukses adalah dengan memperbanyak ragam bisnis. Tidak hanya gaming, tapi juga media dan hiburan. Kami menyelesaikan masalah ini dengan fokus pada tiga bidang bisnis.”

CEO Dignitas, Michael Prindiville | Sumber: VentureBeat
CEO Dignitas, Michael Prindiville | Sumber: VentureBeat

Tiga bidang bisnis yang menjadi fokus NME adalah manajemen tim esports, konten dan marketing, serta investasi. Saat ini, selain League of Legends, Dignitas memiliki beberapa tim yang bertanding di berbagai game, seperti Counter-Strike: Global Offensive, Super Smash Bros., Rocket League, SMITE, dan Clash Royale. Sementara dalam bisnis konten dan marketing, NME akan bekerja sama dengan para influncer di bidang gaming, olahraga, musik, dan pop culture. NME akan membantu para influencer untuk mengembangkan diri dan memonetisasi merek mereka, menurut The Esports Observer.

“Kami ingin mengembangkan generasi berikutnya dari tim esports, konten hiburan dan livestreaming, serta startup gaming,” kata Prindiville. Sebagai salah satu usahanya untuk mengembangkan bisnis konten dan marketing, Dignitas membuat markas di Newark, New Jersey pada Juni lalu. Fasilitas berukuran 3.000 kaki itu dilengkapi dengan studio untuk produksi konten dan kegiatan gaming. Tahun depan, NME berencana untuk membuka fasilitas serupa di Los Angeles. “Ada kaitan antara musik, olahraga, gaming, dan esports,” ujar Prindiville pada ESPN. “Di sanalah, kami percaya kami punya aset dan infrastruktur. Jika Anda ingin menumbuhkan bisnis digital pada skala global seperti kami, produksi konten adalah salah satu bagian paling penting. Kami percaya kami memiliki posisi unik, didukung oleh organisasi olahraga tradisional, dan kami memiliki kemampuan untuk membuat konten menarik menggunakan acara, staf, dan para bintang esports yang ada.”

Bisnis ketiga NME adalah investasi. Mereka akan memberikan modal pada perusahaan yang bergerak di bidang esports dan hiburan. Tujuannya untuk mengembangkan ekosistem. Salah satu penerima investasi pertama dari NME adalah platform pelatihan League of Legends, U.GG. “Kami merasa, masih ada banyak talenta di industri olahraga digital dan hiburan yang bisa kami bantu untuk tumbuh dengan memberikan modal dan akses ke sumber daya kami,” kata Prinvidille. “Kami ingin menjadi perusahaan yang orang selalu ingat ketika mereka sedang mencari modal.”

ESL dan DreamHack Kerja Sama dengan Nielsen untuk Data Esports yang Lebih Akurat

ESL dan DreamHack mengumumkan kerja samanya dengan perusahaan analitik data Nielsen. Melalui kerja sama ini, Nielsen akan menghitung nilai media dan sponsorship untuk rekan dan sponsor ESL dan DreamHack. Selain itu, mereka juga akan memberikan data analitik konsumen. Data dari Nielsen akan disajikan dalam metrik standar sehingga memudahkan perusahaan yang tertarik untuk masuk ke ranah esports memahami data itu. Penggunaan data yang telah terstandarisasi berarti, data esports juga bisa dibandingkan dengan data dari olahraga konvensional, misalnya terkait nilai sponsorship. Layanan dari Nielsen akan digunakan untuk menganalisa data dari Counter-Strike: Global Offensive ESL Pro Tour, yang terdiri dari lebih dari 20 acara pada 2020.

“Data yang telah terstandarisasi dan bisa dipercaya dari perusahaan independen seperti Nielsen adalah sesuatu yang telah diminta oleh rekan, pengiklan, dan media siaran ketika kami berusaha memonetisasi hak media dan sponsorship di esports,” kata President dan CEO MTG, Jørgen Madsen Lindemann, seperti dikutip dari Gaming Industry. “Kerja sama ini merupakan langkah penting untuk membantu pihak yang tertarik untuk berinvestasi di esports dengan membeli hak media atau menjadi sponsor, misalnya dengan menyediakan data KPI (Key Performance Indicators) seperti AMA (Average Minute Audience), sesuatu yang telah ada di ranah olahraga tradisional sejak lama.”

Selama ini, Nielsen dikenal sebagai perusahaan yang menyediakan rating untuk acara televisi, lapor VentureBeat. Namun, perusahaan itu juga memberikan data statistik untuk berbagai bidang, termasuk esports. Nielsen membuat divisi esports pada 2017 dan pada September 2018, mereka mengakuisisi SuperData Resesarch untuk memperkuat divisi esports mereka. Kepada Gaming Industry, Nielsen Esports Managing Director, Nicole Pike mengatakan, tujuan mereka membuat divisi esports karena mereka ingin memberikan data yang akurat dan mudah dimengerti bagi semua pelaku esports. “Tujuan kami adalah untuk menyediakan data lebih lengkap sehingga mereka bisa membuat keputusan yang tepat. Dan kami rasa, kami bisa membantu ekosistem esports tumbuh dengan cara yang sehat dan sustainable serat mendukung semua pihak yang terlibat di industri ini,” kata Pike.

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Dengan data yang didapatkan dari Nielsen, ESL dan DreamHack dapat meyakinkan para sponsor mereka bahwa investasi mereka tidak sia-sia. Selain itu, data seperti viewership dari sebuah acara esports juga bisa digunakan untuk mencari sponsor atau rekan baru. Selain data viewership, Nielsen juga dapat memberikan data yang lebih dalam tentang penonton esports. Industri esports memang diperkirakan akan terus tumbuh. Karena itu, tidak heran jika semakin banyak merek non-endemik yang masuk ke ranah esports, misalnya dengan menjadi sponsor. Industri esports begitu seksi sehingga merek mewah seperti Louis Vuitton pun bersedia untuk membuat travel case untuk trofi League of Legends World Championship.

ESL dan DreamHack bukan satu-satunya pihak yang tertarik untuk bekerja sama dengan Nielsen. Pada Juli, Riot Games juga menggandeng Nielsen untuk menyediakan data terkait valuasi sponsorship esports. Sementara pada awal bulan ini, Activision Blizzard bekerja sama dengan Nielsen dengan tujuan untuk memastikan data penonton Overwatch League valid. Memang, besarnya nilai industri esports bukan berarti industri ini bebas dari masalah. Salah satu masalah yang ada adalah ketiadaan rekam jejak perusahaan karena perusahaan esports yang berumur relatif muda. Semakin banyaknya perusahaan game atau esports yang bekerja sama dengan lembaga analitik data seperti Nielsen menunjukkan bahwa para pelaku industri berusaha untuk memastikan esports menjadi industri yang memang bisa bertahan di masa depan.

Esports Jadi Populer, Asus Tertarik Perbanyak Lini PC Gaming Prebuilt

Tahun lalu, Asus meluncurkan ROG Strix GL 12 yang ditujukan untuk para pemain esports. Tahun ini, Asus kembali meluncurkan penerus dari PC desktop gaming tersebut. Pada Juli lalu, selain meluncurkan ROG Mothership Asus memperkenalkan tiga PC desktop gaming terbaru, yaitu ROG Strix GL10CS, ROG Strix GL12CX, dan ROG Huracan G21CX. Saat ditemui dalam acara media gathering Asus, Astrindo, dan Lexar, Head of Public Relations and e-Marketing, Asus, Muhammad Firman mengatakan bahwa lini GL tahun ini masih ditujukan untuk pemain esports, sama seperti tahun lalu. Hanya saja, PC terbaru dari Asus itu memiliki spesifikasi yang lebih baru, mengikuti perkembangan teknologi.

Di bawah merek Republic of Gamers (ROG), Asus memang menawarkan perangkat khusus gaming, mulai dari ponsel, laptop, sampai PC desktop. Lalu, apa yang membedakan perangkat gaming dengan perangkat untuk pemain esports? “Sama sebenarnya, perangkat untuk gamer dan pemain esports. Hanya, gamer lebih luas. Karena, gamers belum tentu pemain esports, walau pemain esports sudah pasti gamers. Untuk segmen esports, perangkatnya memang khusus mereka yang profesional,” kata Firman saat ditemui pada Rabu, 25/9/2019. “Kalau gaming, lebih umum, tidak spesifik untuk game FPS (First Person Shooter) atau MOBA (Multiplayer Online Battle Arena).” Dia memberikan contoh dalam soal layar. Jika gamer biasa, mungkin mereka sudah puas dengan layar 144Hz, tapi pemain esports akan ingin monitor 240Hz.

ASUS ROG Strix 12 CX | Sumber: dokumentasi Hybrid / Ellavie I.A.
ASUS ROG Strix GL12CX | Sumber: dokumentasi Hybrid / Ellavie I.A.

Asus Indonesia baru mulai gencar untuk menyediakan PC gaming prebuilt tahun ini. Firman menyebutkan, alasannya adalah karena sebelum ini, gamer biasanya lebih tertarik untuk membeli laptop. Kini, dengan semakin populernya esports, Asus merasa, permintaan akan desktop gaming juga mulai naik. “Karena para pemain esports butuh tempat untuk latihan. Biasanya, tempat seperti ini, butuh desktop dan bukannya laptop,” katanya. Dia menyebutkan, pemain mungkin menggunakan laptop atau merakit PC sendiri di rumah. Namun, cyber cafe biasanya lebih memilih untuk membeli PC prebuilt karena mereka tak mau direpotkan dengan proses perakitan. “Untuk pemain yang suka main di desktop, memang bisa rakit sendiri. Tapi, untuk tempat rental, agak repot kalau mereka harus merakit satu-satu. Lebih baik beli yang sudah jadi.”

Pada Maret, Asus membuat ROG Esports Arena bersama penyedia kafe internet Orion. Menurut Firman, ke depan, akan ada semakin banyak esports arena serupa. Seiring dengan pertumbuhan esports, akan ada semakin banyak cyber cafe yang memerlukan PC desktop dengan spesifikasi mumpuni. Dia merasa, cyber cafe akan jadi tempat piliihan bagi para pemain esports yang hendak berlatih atau melakukan latihan tanding karena pemain tidak perlu repot-repot untuk membawa perangkat mereka sendiri. Dan ini, pada akhirnya akan membuat permintaan PC desktop gaming naik. “Mungkin pertumbuhannya tidak semelesat laptop, tapi akan naik,” ungkap Firman. Mengingat Asus juga akan diuntungkan dengan keberadaan esports, Firman mengatakan, salah satu hal yang akan mereka lakukan untuk mengembangkan ekosistem adalah membuat lebih banyak internet cafe seperti Orion. “Kita juga akan melakukan roadshow terkait game atau esports,” katanya. Tidak tertutup kemungkinan, Asus akan bekerja sama dengan penyelenggara turnamen untuk membuat turnamen atau acara gaming lain di masa depan.

Activision Blizzard Pastikan 12 Tim yang Bertanding di Liga Call of Duty 2020

Liga Call of Duty akan dimulai pada tahun depan. Activision Blizzard sudah memastikan bahwa jumlah tim yang ikut adalah 12 tim, sama seperti ketika Overwatch League baru dimulai. Meskipun begitu, bukan berarti tertutup kemungkinan jumlah tim yang ikut dalam liga Call of Duty akan bertambah. Pada musim pertama, Overwatch League memang hanya mengadu 12 tim. Namun, pada musim kedua, jumlah tim yang bertanding bertambah menjadi 20 tim. Call of Duty Esports Commissioner, Johanna Faries menyebutkan bahwa mereka senang dengan kemiripan antara liga Call of Duty dan Overwatch League. Saat ini, Activision Blizzard menyebut liga ini Call of Duty Global League, meski masih terbuka kemungkinan nama liga tersebut diganti.

“Ke depan, kami ingin agar Call of Duty Esports menjalin kerja sama dengan grup esports yang berkomitmen untuk membawa tim esports profesional ke kota mereka dan mengembangkan komunitas di kota asal mereka,” kata CEO Activision Blizzard pada The Washington Post. “Kami telah menemukan rekan yang tepat dan Call of Duty Esports League 2020 secara resmi akan memiliki 12 tim.” Sama seperti Overwatch League, liga Call of Duty ini juga menggunakan sistem franchise. Itu artinya, tim yang hendak ikut bertanding harus rela membayar sejumlah uang. Menurut rumor, sebuah tim harus membayar US$25 juta untuk dapat ikut serta dalam liga Call of Duty. Sistem franchise alias sistem tertutup memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Hybrid sempat membahas tentang sistem tersebut secara lengkap di sini.

Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk ikut serta dalam liga Call of Duty membuat beberapa tim enggan untuk ikut. Salah satunya adalah 100 Thieves. Melalui sebuah video, CEO 100 Thieves, Matthew “Nadeshot” Haag mengatakan bahwa 100 Thieves tidak akan ikut dalam liga Call of Duty tahun depan. “Kami tidak ikut dalam CDL, kami juga tidak punya tim yang akan bertanding atas nama kami — dan saya tidak berkata bahwa ini adalah akhir dari partisipasi kami di Call of Duty, tapi kami juga tidak akan menyiapkan roster untuk Call of Duty,” katanya, lapor Dot Esports.

Tim 100 Thieves bukanlah satu-satunya tim yang memutuskan untuk tidak ikut dalam liga Call of Duty tahun depan. FaZe Clan serta eUnited, tim yang berhasil memenangkan Call of Duty World League 2019, juga memutuskan untuk tidak turun. Ketika ditanya apakah keputusan beberapa tim untuk tidak ikut serta akan mengundang kemarahan fans, Faries mengaku dia tidak khawatir. “Saya rasa, kami benar-benar berhati-hati dalam menyertakan komunitas dalam liga ini sejak awal,” katanya, lapor The Washington Post. “Jadi, walau tidak semua tim ikut serta, pada saat yang sama, mengadakan turnamen model franchise berbasis kota memerlukan keikutsertaan organisasi esports yang sama sekali berbeda.” Saat ini, belum ada informasi tentang jadwal atau format liga Call of Duty. Faries mengatakan, mereka akan mengumumkan hal ini dalam beberapa minggu ke depan.

Tim eUnited saat memenangkan CWL 2019 | Sumber: Dexerto
Tim eUnited saat memenangkan CWL 2019 | Sumber: Dexerto

Faries berkata, untuk saat ini, Activision Blizzard ingin memfokuskan liga Call of Duty pada kawasan Amerika Utara dan Eropa. Dua belas tim yang bertanding dalam liga tersebut mewakili 11 kota, yaitu Atlanta, Chicago, Dallas, Florida, London, Los Angeles, Minnesota, New York, Paris, Seattle, dan Toronto. Ada dua tim yang mewakili Los Angeles, yaitu KSE Esports dan Immortals Gaming Club. Sama seperti Overwatch League, liga Call of Duty juga akan menggunakan sistem kandang-tandang. Jadi, tim yang menjadi tuan rumah akan menjamu tim lawan di markas mereka.

Sumber header: Kevin Haube / ESPAT Media via The Esports Observer