Activision Blizzard Gandeng Nielsen untuk Pastikan Validitas Data Penonton Overwatch League

Perlahan tapi pasti, industri esports terus tumbuh, menjadikannya sebagai pembicaraan hangat. Nilai industri esports diperkirakan telah mencapai nilai US$1,1 miliar pada tahun ini. Dalam waktu tiga tahun, angka tersebut diduga akan naik hingga hampir US$3 miliar. Jumlah penonton esports juga tak kalah besar. Menurut survei Goldman Sachs dan Newzoo, penonton esports tahun ini mencapai 194 juta dan akan naik menjadi 276 juta pada 2022. Karena itu, jangan heran jika semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk menjadi sponsor di industri esports.

Namun, masuknya merek-merek besar seperti Coca-Cola dan Audi berarti, para pelaku esports harus bisa menjamin validitas data mereka. Karena, perusahaan yang telah menjadi sponsor esports pasti ingin memastikan bahwa investasi yang telah mereka tanamkan tidak sia-sia. Data soal potensi pendapatan dan penonton esports memang terlihat mengagumkan. Sayangnya, metode yang digunakan untuk mengumpulkan data biasanya berbeda-beda sehingga data dari satu sumber belum tentu bisa dibandingkan dengan data dari sumber lain. Terkadang, para pelaku industri esports sengaja menggunakan data yang membuat turnamen yang mereka selenggarakan atau game yang mereka buat terlihat sangat baik.

Proyeksi total pendapatan industri esports | Sumber: Goldman Sachs
Proyeksi total pendapatan industri esports | Sumber: Goldman Sachs

“Di esports, ada banyak metrik yang sulit untuk dimengerti dan sulit untuk dibandingkan, seperti jumlah view, peak concurrents, dan total lama video ditonton. Karena semua orang berusaha untuk tampil sebagai yang terbaik dan menggunakan data dengan angka tertinggi, ini menciptakan masalah. Sulit bagi orang-orang untuk membandingkan data sehingga mereka justru membuat perbandingan yang salah. Meskipun ini bisa menjadi berita yang menarik, hal itu justru akan berdampak buruk pada industri dalam jangka panjang,” kata Kasra Jafroodi, Strategy and Analytics Lead, Activision Blizzard Esports, seperti disebutkan oleh The Esports Observer.

Menyadari hal ini, Activision Blizzard lalu bekerja sama dengan Nielsen. Kerja sama ini dimulai sejak April lalu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data Average Minute Audience (AMA) dari Overwatch League, liga dari salah satu game buatan Activision Blizzard. Data ini kemudian akan ditunjukkan pada sponsor atau calon sponsor turnamen tersebut. Laporan Nielsen kali ini akan membandingkan data streaming dari Overwatch League pada tahun ini dengan tahun lalu. Cara menghitung AMA sederhana, total durasi konten ditonton dalam menit dibagi dengan total lama siaran dalam menit.

Menurut Nielsen, AMA dari minggu pertama musim kedua Overwatch League adalah 440 ribu, naik 14 persen dari tahun lalu. Namun, setelah liga mulai berjalan, AMA Overwatwch League turun menjadi 313 ribu. Meskipun begitu, angka itu masih menunjukkan kenaikan sebesar 18 persen jika dibandingkan dengan rata-rata AMA pada musim pertama. Jafroodi mengatakan, data dari Nielsen terkait Overwatch League memang tak terdengar sefantastis data terkait esports lainnya. Meskipun begitu, dia percaya, data itu akan menguntungkan Activision Blizzard dalam jangka panjang karena para sponsor bisa mengerti dan percaya akan validitas data tersebut.

Overwatch League | Sumber: Wikimedia Commons
Overwatch League | Sumber: Wikimedia Commons

“Ketika Anda bicara soal merek atau perusahaan atau investor, penting bagi mereka untuk bisa membandingkan Overwatch League dengan olahraga tradisional, karena itu membantu mereka untuk mengerti bagaimana performa turnamen kami,” kata Jafroodi, menurut laporan AdWeek. ” Dan jika investasi mereka di Anda menunjukkan hasil positif, ini menjadi semakin berharga.” Menurutnya, salah satu pentingnya transparansi data di esports adalah untuk memupuk kepercayaan masyarakat dan investor.

Esports tidak akan mendadak menjadi olahraga terbesar di Amerika Serikat,” Jafroodi menjelaskan. “Namun, jika Anda bisa melihat pertumbuhan industri ini dan Anda memiliki data yang bisa dipercaya, mudah untuk melihat apa yang akan terjadi dalam 10 tahun mendatang. Anda justru akan mencurigai keadaan industri ketika Anda menggunakan data yang tak valid.” Activision Blizzard bukan satu-satunya publisher yang menggandeng Nielsen untuk mendapatkan data yang valid soal esports. Pada Juli lalu, Riot mengumumkan kerja samanya dengan Nielsen untuk mendapatkan data valuasi sponsorship di industri esports.

Sumber header: overwatchleague.com

Audi Jadi Sponsor Future FC, Tim FIFA Astralis Group

Pada bulan Juli, tim CS:GO Astralis dan tim League of Legends Origen, melepaskan diri dari RFRSH Entertainment dan berdiri di bawah perusahaan Astralis Group. Satu bulan kemudian, Astralis Group mengumumkan keberadaan Future FC, yang akan bertanding dalam FIFA. Fatih Üstün menjadi pemain pertama mereka. Dia akan menandatangani kontrak dengan Future FC pada 1 Oktober setelah dia keluar dari M10. Üstün adalah salah satu pemain terbaik di FIFA. Dia masuk dalam empat besar dalam turnamen FIFA 19, FIFA eWorld Cup.

Sekarang, Future FC mendapatkan sponsor pertama mereka, yaitu Audi. Menurut laporan media Denmark, Ritzau, perusahaan pembuat mobil asal Jerman ini akan menjadi sponsor dari Future FC selama tiga tahun. Setiap tahunnya, Audi akan memberikan setidaknya US$1 juta pada Future FC. Dengan mejadi sponsor Future FC, logo Audi akan disematkan pada jersey pemain. Selain itu, keduanya juga akan bekerja sama untuk membuat konten digital serta berinteraksi dengan para fans via media sosial.

Esports Insider melaporkan, CCO dan Co-founder Astralis Group, Jakob Lund Kristensen berkata, “Sejak kerja sama pertama kami, kami telah melakukan diskusi dengan Audi tenatng kesembatan baru bagi kami untuk mengembangkan tim kami dan memanfaatkan komunitas yang kuat. Tidak hanya Audi telah bergabung dengan Astralis sejak awal, mereka juga memiliki peran penting dalam peluncuran Origen, dan sekarang, kami mengambil langkah untuk masuk dalam kesepakatan yang lebih cocok dengan nilai perusahaan kami.”

Future FC adalah divisi FIFA di bawah Astralis Group | Sumber: Esports Insider
Future FC adalah divisi FIFA di bawah Astralis Group | Sumber: Esports Insider

Ini bukan kali pertama Audi menjadi sponsor dari tim esports di bawah Astralis Group. Faktanya, Audi menjadi sponsor dari tim CS:GO Astralis pada awal 2017. Selain itu, mereka menjadi sponsor tim juara dari Intel Grand Slam Season 1 tersebut selama satu tahun, yaitu sejak November 2017 sampai November 2018. Pada Januari lalu, Audi kemudian memutuskan untuk mensponsori tim League of Legends Astralis Group, Origen. Sama seperti sponsorship untuk Future FC, kontrak Audi dengan Origen juga berlangsung selama tiga tahun.

“Future FC adalah bagian baru yang menarik dari kolaborasi Audi dengan Astralis Group, yang memungkinkan kami untuk memanfaatkan kesempatan digital dalam esports,” kata Head of Marketing, Audi Denmark, Morten Friis-Olsen, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Kerja sama dengan Future FC yang akan fokus pada game FIFA dan semua pemain serta fans game itu sangat menarik untuk Audi, terutama karena kolaborasi terkait tim sepak bola merupakan bagian dari DNA kami.”

Audi bukanlah satu-satunya perusahaan pembuat mobil yang tertarik untuk menjadi sponsor dari tim esports. Pada Januari lalu, Honda mengumumkan bahwa mereka akan menjadi sponsor dari Team Liquid. Tak berhenti sampai di situ, Honda lalu menjadi sponsor dari League of Legends Championship Series (LCS) pada Agustus lalu. Alasan Honda adalah untuk mendekatkan diri dengan generasi Z dan milenial. Esports memang tengah digemari oleh para generasi muda. Tampaknya, inilah yang membuat merek non-endemik seperti perusahaan mobil tertarik untuk masuk ke industri ini.

ISFE Buat Divisi Esports untuk Satukan Pelaku Industri

Semakin tinggi sebuah pohon, semakin kencang angin yang menerpa. Begitu juga dengan industri. Seiring dengan semakin besarnya industri esports, semakin banyak pula masalah yang akan dihadapi. Terutama karena para pelaku industri esports memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Ini mendorong Interactive Software Federation of Europe (ISFE) untuk membentuk divisi khusus esports.

ISFE didirikan pada 1998 sebagai sebuah organisasi mandiri yang mewakilkan kepentingan sektor software interaktif di Eropa. Sementara ISFE Esports didirikan untuk menyatukan para pelaku industri esports, mulai dari penyelenggara turnamen sampai platform streaming. Beberapa anggota ISFE Esports antara lain Activision Blizzard, Bandai, ESL, Electronic Arts, Epic Games, Riot Games, Take-Two Interactive, dan Twitch, Ubisoft. Selain para pelaku industri esports, ISFE Esports juga didukung oleh organisasi serupa dari kawasan lain, sepreti Entertainment Software Association (ESA) dari Amerika Serikat, Entertainment Software Association of Canada (ESAC), dan International Game & Entertainment Association (IGEA) dari Australia dan Selandia Baru.

Sumber: Wikipedia
Esports kini menjadi industri yang semakin besar. Sumber: Wikipedia

Di bawah ISFE Esports, semua perusahaan yang terlibat di bidang esports diharapkan akan dapat melakukan koordinasi sehingga mereka semua dapat mengirimkan pesan yang sama ke masyarakat ketika mereka melakukan edukasi terkait esports. Selain itu, para anggota ISFE Esports juga diharapkan akan dapat saling membantu dalam menciptakan ekosistem yang inklusif. Tidak berhenti sampai di situ, ISFE Esports juga akan menjembatani anggotanya dengan regulator. Seiring dengan semakin besarnya esports, tak terelakkan lagi, pihak regulator pasti akan membuat peraturan terkait industri ini.

Esports adalah bagian dari industri game yang penting dan tumbuh dengan cepat. Esports juga menawarkan kesempatan besar untuk membuat lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi, pariwisata, dan pengembangan kemampuan digital,” kata Chairman ISFE, Olaf Coenen, seperti dikutip dari Dot Esports. “Menurut Newzoo, pendapatan esports secara global bisa menembus €2 miliar pada 2020. Esports telah mengubah cara masyarakat menikmati olahraga, game, dan platform streaming online.”

CEO ESL, Ralf Reichert percaya, keberadaan ISFE Esports akan dapat mempercepat pertumbuhan industri esports, menurut laporan Game Industry. Newzoo menyebutkan, pendapatan di industri esports akan mencapai US$2,2 miliar pada 2022, naik dari US$1,1 miliar pada tahun ini. Alberto Guerrero, European Head of Esports, Riot Games dan Co-chairman of ISFE Esports berkata, “Melihat pesatnya pertumbuhan industri esports, penting bagi kami para publisher untuk berbagi pengalaman kami, khususnya terkait standar cara bermain yang bertanggung jawab untuk melindungi para pemain game kami dan demi kebaikan ekosistem esports itu sendiri.”

DreamHack dan ESL Konsolidasi Turnamen CS:GO dengan Pro Tour

Berbeda dengan Overwatch atau League of Legends, turnamen esports CS:GO tidak menggunakan sistem franchise. Di satu sisi, ini berarti, semua penyelenggara boleh mengadakan turnamen CS:GO. ESL, DreamHack, FACEIT, StarLadder, dan ELEAGUE adalah beberapa penyelenggara yang pernah mengadakan turnamen CS:GO Major. Di sisi lain, banyaknya pihak yang mengadakan turnamen membuat turnamen-turnamen CS:GO menjadi berdiri sendiri. Sekarang, hanya turnamen-turnamen besar saja yang terhubung dengan satu sama lain melalui Intel Grand Slam, yang menawarkan US$1 juta bagi tim yang dapat memenangkan 4 turnamen dalam jangka 10 turnamen berturut-turut.

Inilah yang mendorong ESL dan DreamHack — keduanya berdiri di bawah perusahaan induk Modern Times Group (MTG) — untuk membuat ESL Pro Tour. Liga yang menawarkan hadiah total hadiah US$5 juta itu akan menggabungkan lebih dari 20 turnamen CS:GO yang terbagi ke dalam tiga kelas: Open, Challenger, dan Master. Dalam liga tersebut, akan ada 8 turnamen Challenger, seperti DreamHack Open, Mountain Dew League, dan ESL National dan 10 turnamen Master, termasuk ESL One, Intel Extreme Masters, DreamHack Masters, dan ESL Pro League yang akan diadakan pada tahun depan.

Turnamen kategori Masters biasanya memiliki hadiah setidaknya US$250 ribu per turnamen. Tim yang masuk dalam turnamen-turnamen di bawah ESL Pro Tour akan mendapatkan poin untuk menentukan ranking mereka. Tim-tim dengan posisi teratas akan bisa bertanding di Intel Extreme Masters Katowice yang diadakan setiap Februari dan ESL One Cologne yang diadakan di Juli.

Sumber: ESL via The Esports ObserverStruktur Pro Tour. Sumber: ESL via The Esports Observer

“Apa yang kami lakukan adalah fokus pada turnamen-turnamen yang kami buat dan mencari satu hal yang bisa menghubungkan semua turnamen itu,” kata Chief Product Officer DreamHack, Mike Van Driel, seperti dikutip dari The Esports Observer. Dia meyakinkan, mereka akan memberikan jeda waktu yang cukup antara turnamen Major dalam ESL Pro Tour dan turnamen dari Valve di Katowice dan Cologne. “Tujuan kami adalah untuk memberikan narasi yang lebih baik penonton dan memberikan jalur karir yang lebih baik bagi pemain di masa depan, sesuatu yang sangat penting.”

Satu hal yang menarik, tim-tim yang ikut serta dalam turnamen ESL Pro League tidak akan bisa berkompetisi di turnamen lain, menurut informasi yang didapatkan oleh Dexerto. Salah satu syarat untuk ikut dalam Pro League adalah tidak ikut serta dalam turnamen CS:GO lain yang babak kualifikasi hingga babak finalnya terpaut jarak 14 hari, dengan pengecualian turnamen dari Valve. Itu berarti, para tim tidak akan bisa ikut serta dalam turnamen Esports Championship Series (ECS) yang diadakan oleh FACEIT. Tidak hanya itu, para tim dan pemain profesional juga diminta untuk membatasi jumlah hari pertandingan mereka. Kecuali pertandingan resmi dari Valve, kualifikasi online, dan kualifikasi Pro League, para tim profesional diminta untuk tidak bertanding lebih dari 60 hari.

Menurut Dot Esports, sistem turnamen eksklusif ini mungkin akan menimbulkan masalah, terutama bagi tim CS:GO dari negara-negara yang ekosistem esports untuk CS:GO tidak terlalu maju, seperti Brasil dan Australia. Selama ini, tim-tim dari dua kawasan itu bisa menjadi populer berkat babak kualifikasi regional.

Ini bukan kali pertama konsep turnamen eksklusif dicetuskan. Pada 2016, tujuh organisasi esports asal Amerika Utara membentuk Professional Esports Association (PEA) dengan tujuan untuk membuat liga Counter-Strike eksklusif. Tujuh tim tersebut adalah Cloud9, Clomplexity Gaming, Counter Logic Gaming, Immortals, NRG Esports, Team Liquid, dan Team SoloMid. Ketika itu, tujuan mereka adalah untuk meningkatkan pendapatan mereka. Karena tim profesional mendapatkan porsi pendapatan yang lebih besar dari ECS, mereka ingin berhenti turun dalam turnamen ESL. Beberapa minggu kemudian, para pemain mengajukan protes dan rencana PEA untuk membuat turnamen eksklusif pun harus ditunda. Kejadian ini juga yang mendorong dibentuknya Counter-Strike Professional Players Association (CSPPA).

Nikolaj Nyholm, CEO Astralis, salah satu tim CS:GO terbaik, mengatakan, tim Astralis tidak akan berpartisipasi dalam liga yang tidak melibatkan CSPPA sebagai representasi pemain profesional.

Sumber: The Esports Observer, ESPN, Dot Esports, Dexerto

Esports Regulatory Congress Bakal Diadakan Pada Akhir September

Esports diperkirakan akan menjadi industri bernilai US$1,8 miliar pada 2022. Meskipun begitu, hingga saat ini, belum ada peraturan yang pasti untuk meregulasi industri tersebut. Inilah yang mendorong diselenggarakan Esports Regulatory Congress. Acara yang akan diadakan pada 23-24 September di Barcelona, Spanyol itu diklaim sebagai konferensi regulasi esports internasional pertama di dunia.

Acara tersebut akan mengundang lebih dari 30 pembicara. Beberapa pembicara yang akan hadir antara lain Managing Director of Rogue Sports Europe, Anna Bauman, CEO of British Esports, Chester King dan CEO of Esports Middle East, Saeed Sharaf. ERC akan diadakan selama dua hari, yaitu pada 23 dan 24 September. Pada hari pertama, beberapa topik yang akan diangkat adalah masa depan esports, pengakuan pemerintah akan esports, investasi esports, tanggung jawab atlet esports dan para influencer, serta kolaborasi dengan publisher game.

Esports kini memang mulai diakui sebagai olahraga. Pada tahun lalu, Asian Games menjadikan esports sebagai pertandingan eksibisi. Sementara pada tahun ini, esports akan masuk menjadi salah satu cabang olahraga dalam SEA Games. Pemerintah Indonesia juga mengatakan bahwa mereka ingin mendukung pengembangan industri gaming dan esports. Anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarepan bahkan rela “bergabung” dengan Genflix Aerowolf untuk bisa memahami industri game dan esports di Indonesia.

Menurut laporan Esports Insider, pada hari kedua dari Esports Regulator Congress, topik yang diangkat akan sedikit berbeda. Kali ini, sisi monetisasi esports yang akan dibahas, seperti tentang sponsorship dan iklan di esports. Sekarang, sponsorship memang masih menjadi sumber pendapatan utama bagi pelaku industri esports. Namun, hak siar media menjadi pendapatan dengan pertumbuhan paling tinggi. Karena itu, diharapkan, di masa depan, industri esports bisa menjadikan hak siar media sebagai sumber pemasukan utama.

Regulasi dalam sebuah industri memang penting. Namun, jika regulasi yang ada terlalu ketat, ini justru akan membuat industri tak bisa berkembang. Menurut VentureBeat, jika esports hendak diregulasi, salah satu masalah yang harus bisa diselesaikan adalah match-fixing atau manipulasi hasil pertandingan. Sayangnya, match-fixing memang merupakan masalah di ekosistem esports. Pada akhir Agustus lalu, enam orang ditangkap karena hendak sengaja membuat timnya kalah dalam turnamen CS:GO demi memenangkan taruhan.

Tanpa regulasi yang jelas pun, sebenarnya para pelaku industri telah berusaha untuk mengatasi masalah ini. Pada tahun 2015, Esports Integrity Coalition (ESIC) didirikan dengan tujuan untuk menjaga integritas esports. Untuk mencegah match-fixing, mereka bekerja sama dengan sejumlah situs judi dan pihak berwajib lokal. Selain itu, mereka juga berusaha untuk mencegah penggunaan software untuk bermain curang.

Sumber: Wikipedia
Ilustrasi pertandingan esports. Sumber: Wikipedia

Tak hanya manipulasi hasil pertandingan, masalah lain yang harus bisa diatasi di esports adalah penggunaan doping. Walau pemain esports hanya duduk di hadapan layar saat bertanding, mereka juga bisa menggunakan doping untuk meningkatkan refleks dan konsentrasi mereka. Karena itu, para pemain esports profesional harus bisa dipastikan tidak menggunakan doping. Salah satu cara mencegah hal ini adalah dengan melakukan tes secara random. Electronic Sports League (ESL) telah melakukan ini pada para peserta dari turnamen yang mereka selenggarakan.

Masalah terakhir adalah tentang data. Dengan semakin bertumbuhnya industri esports, data para pemain — mulai dari nama, julukan yang digunakan, performa, sampai biometrik — juga akan semakin bernilai. Mengingat esports belum memiliki sistem monetisasi, penyelenggara liga dan turnamen bisa menjual data para pemain ke pihak ketiga untuk mendapatkan pendapatan ekstra.

Industri esports masih relatif muda. Di Indonesia, regulasi terkait esports masih belum ada. Jika pemerintah memang ingin mengembangkan ekosistem esports, mereka harus bisa membuat regulasi yang tepat, cukup ketat untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan, tapi juga tidak sangat ketat sehingga menghambat pertumbuhan atau bahkan mematikan industri esports itu sendiri.

Sumber header: Esports Insider

Gandeng Huya, ESL Bakal Masuki Pasar Esports Tiongkok

ESL mengumumkan kerja samanya dengan platform streaming video asal Tiongkok, Huya. Dengan ini, Huya akan membeli saham ESL senilai US$30 juta, menjadikan perusahaan Tiongkok itu sebagai pemegang saham ESL baru pertama sejak mereka mendapatkan investasi dari Modern Times Group (MTG) pada 2015.

Kabar ini muncul setelah ESL mengumumkan bahwa mereka akan mengadakan Intel Extreme Masters di Beijing pada November mendatang. Ketika itu, ESL menyebutkan bahwa komunitas esports Tiongkok sebagai “salah satu komunitas paling berdedikasi” di dunia. Sementara itu, Huya juga telah menjalin kerja sama dengan organisasi esports asal Barat, seperti Team Liquid. Di Indonesia, Huya menyediakan platform streaming bernama NimoTV.

“Kami senang dapat menjalin kerja sama dengan ESL, yang menunjukkan bahwa Huya dapat masuk ke sektor esports global,” kata CEO Huya, Rongjie Dong, seperti dikutip dari Esports Insider. “Bersama dengan ESL, kami tak sabar untuk membuat konten esports kelas dunia untuk para fans gaming di Tiongkok.”

Melalui kerja sama ini, ESL dan Huya akan membuat perusahaan joint venture baru. Tujuan perusahaan itu adalah untuk mengembangkan ekosistem esports di Tiongkok. Nantinya, turnamen lokal di Tiongkok akan terhubung dengan turnamen internasional yang digelar oleh ESL. Ini akan memberikan kesempatan pada atlet esports Tiongkok untuk tampil di kancah internasional. Sementara ESL diuntungkan karena mereka dapat masuk ke Tiongok, yang merupakan pasar esports terbesar. Jorgen Madsen Lindemann, CEO MTG, perusahaan induk ESL mengatakan, Huya akan menjadi rekan yang baik untuk membantu ESL dalam melakukan ekspansi ke Tiongkok.

Kenaikan saham MTG | Sumber: Bloomberg

Kenaikan saham MTG | Sumber: Bloomberg

Setelah berita tentang kerja sama ESL dengan Huya diumumkan, nilai saham MTG naik hingga 25 persen. Ini adalah kenaikan nilai saham paling besar dari MTG. Menurut analis Morgan Stanley, Julia Matoshchuk, kerja sama dengan Huya merupakan langkah yang sangat strategis untuk MTG. “Kerja sama dengan Huya memberikan MTG akses ke pasar esports terbesar dengan pertumbuhan paling cepat, memperkuat posisi ESL sebagai perusahaan esports terbesar di dunia dan membuat perusahaan dari Barat semakin tertarik untuk memasang iklan dengan ESL.”

Tidak heran jika ESL tertarik untuk masuk ke pasar esports Tiongkok. Dikutip dari Esports Observer, menurut laporan Tencent, pada 2020, audiens esports di Tiongkok akan mencapai 350 juta orang, naik dari 250 juta orang pada 2017. Sementara mereka memperkirakan, audiens esports global adalah 590 juta orang. Itu artinya, 59 persen audiens esport berasal dari Tiongkok. Sementara nilai industri esports di Tiongkok pada 2020 diperkirakan akan naik menjadi US$1,5 miliar dari US$760 juta pada 2017.

Sumber: The Esports Observer, Esports Insider, Bloomberg

Sumber header: Esports Insider

Program Esports Bisa Buat Siswa Lebih Jarang Bolos

Masih banyak orangtua yang menganggap bahwa keberadaan program esports di sekolah akan mengganggu proses pembelajaran anak. Namun, laporan dari Extreme Networks dan eCampus News menunjukkan bahwa program esports justru bisa dijadikan sebagai cara untuk mendorong siswa agar lebih rajin pergi ke sekolah.

Untuk membuat laporan ini, Extreme Networks dan eCampus News melakukan survei pada 281 pemimpin sekolah dan universitas di Amerika Utara, Amerika Latin, Asia Pasifik, Eropa, dan Timur Tengah, lapor Unilad. Dari survei itu, terlihat bahwa 21 persen sekolah telah memiliki program esports. Sementara 26 persen sekolah tertarik untuk membuat program esports dan 45 persen mempertimbangkan untuk memulai program esports. Sebanyak 56 persen responden mengatakan, alasan mereka membuat program esports di sekolah dan universitas adalah untuk membuat kehidupan sekolah menjadi lebih menyenangkan bagi para siswa. Selain itu, program esports juga dianggap bisa mendorong ketertarikan siswa di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics).

Sumber: Extreme Networks
Sumber: Extreme Networks

Sementara itu, ketidaktertarikan pihak administrasi atau fakultas menjadi salah satu tantangan untuk memulai program esports. Dua masalah lain yang sering dihadapi adalah biaya yang mahal dan ketidaktahuan pihak sekolah atau universitas dalam mengeksekusi program esports. Menurut laporan Net Imperative, 59 persen sekolah yang sudah memiliki program esports sudah memiliki fasilitas khusus atau berencana untuk membuat fasilitas tersebut. Memang, infrastruktur IT memegang peran penting untuk memastikan program esports berjalan dengan baik.

Esports telah menjadi fenomena global dan kami mulai mengerti manfaat esports bagi dunia pendidikan,” kata Director of Vertical Solutions Marketing, Extreme Networks, Bob Nilsson, dikutip dari Net Imperative. “Institusi pendidikan yang memiliki visi ke depan sadar bahwa program esports membuat siswa lebih tertarik ke sekolah dan mengajarkan mereka keahlian baru.” Omongan Nilsson didukung oleh program uji coba yang dilakukan oleh kepala sekolah Kristy Custer dan guru Michael Russel di Texas. Dalam program uji coba itu, mereka menggunakan kurikulum Gaming Concept dari High School Esports League (HSEL).

Kurikulum yang dibuat dengan bantuan Microsoft itu dibuat dengan tujuan untuk membuat siswa tidak hanya sukses secara akademis, tapi juga sukses di luar ruang kelas. Melalui program uji coba ini, para siswa diajari cara berkomunikasi dengan orang lain, membuat strategi, menggunakan teknologi, sampai caar berperilaku yang baik. Program uji coba tersebut menunjukkan hasil positif, seperti membuat siswa lebih rajin ke sekolah.

“Murid yang sering bolos dan merasa tidak tertarik pergi ke sekolah sangat terbantu oleh program esports uji coba ini,” kata Custer, dikutip dari The Gamer. “Sebanyak 82 persen anggota tim kami tidak pernah ikut serta dalam kegiatan ekstrakurikuler sebelum adanya program esports.”

Sama seperti teknologi, esports dan game bisa memberikan dampak baik dan buruk, tergantung pada bagaimana ia digunakan. Dalam konferensi IDBYTE, Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara mengakui, game memang memiliki risiko sendiri. Namun, itu bukan berarti game harus dilarang dimainkan sama sekali. Menurutnya, penting bagi pemerintah untuk melibatkan sekolah dan orangtua untuk meminimalisir risiko dari game dan esports sehingga ekosistem gaming dan esports justru bisa berkembang dan membuka lowongan pekerjaan baru.

Sumber header: Variety

Fortress Melbourne Bakal Jadi Arena Esports Terbesar di Belahan Bumi Selatan

Muncul kabar buruk untuk ekosistem esports di Australia pada Agustus lalu. Gfinity di bawah HT&E mengumumkan bahwa mereka akan berhenti beroperasi pada akhir tahun ini. Ketika itu, HT&E mengatakan alasan mereka menutup Gfinity adalah karena divisi esports tersebut dianggap tak bisa memberikan pemasukan yang berkelanjutan. Namun, itu bukan berarti esports di Australia tak lagi tumbuh. Fortress Esports baru saja mengumumkan bahwa mereka akan membuat arena esports paling besar di belahan Bumi selatan yang dinamai Fortress Melbourne.

Seperti namanya, arena esports itu akan dibangun di Melbourne, untuk lebih tepatnya di Emporium Melbourne. Arena tersebut akan memiliki dua lantai dengan luas lebih dari 2.700 meter persegi dan 200 tempat duduk. Meskipun tempat ini dibangun untuk menyelenggarakan turnamen esports, ia juga akan dilengkapi dengan fasilitas lain, seperti function room, LAN lounge, satu restoran, dan dua bar. Fortress Melbourne juga akan memiliki empat tempat khusus untuk streaming dan satu area untuk bermain tabletop game. Secara keseluruhan, akan ada 160 PC di arena ini. Sebanyak 56 PC ada di LAN lounge dan setidaknya 50 PC di tempat menonton, yang bisa diakses ketika tempat duduk dilipat.

Gambar render dari Fortress Melbourne. | Sumber: Kotaku Australia
Gambar render dari Fortress Melbourne. | Sumber: Kotaku Australia

Fortress Melbourne akan dibuka pada 2020. Untuk membuat arena esports tersebut, Fortress Esports bekerja sama dengan Populous, perusahaan desain yang juga turun tangan dalam pembuatan desain untuk ANZ Stadium di Sydney, Australia dan Tottenham Hotspur Stadium di Tottenham, Inggris. Sementara untuk masalah operasional, Fortress Esports menggaet Allied Esports, yang saat ini bertanggung jawab atas HyperX Esports Arena di Las Vegas. Organisasi esports asal Amerika Serikat itu juga akan membantu Fotress Esports untuk membuat mengatur rencana acara dan turnamen yang akan diadakan di Fortress Melbourne.

Ini adalah pertama kalinya Fortress Esports membuat arena esports di Australia. Namun, di masa depan, mereka juga berencana membuat arena esports serupa di kota lain di Australia dan Selandia Baru.

“Berbagai acara besar seperti Melbourne Esports Open dan PAX Australia diadakan di Melbourne, menjadikan kota ini sebagai pusat dari ekosistem gaming dan esports,” kata CEO Fortress Esports, Jon Satterley menurut laporan Kotaku Australia. “Kami ingin menjadikan Fortress Melbourne sebagai tempat yang nyaman bagi semua orang… Fortress Melbourne akan menawarkan pengalaman bermain game dan hiburan yang terbaik, dengan teknologi terbaru, internet tercepat, perabotan yang nyaman, makanan dan minuman yang enak, dan jadwal acara serta turnamen yang padat.”

Gambar render dari Fortress Melbourne. | Sumber: Kotaku Australia
Gambar render dari Fortress Melbourne. | Sumber: Kotaku Australia

Fortress Esports didirikan pada 2018 oleh Jon Satterley bersama Adrian Giles dan Ryan Trainor. Giles merupakan Chairman ORDER Esports, salah satu klub esports asal Melbourne yang bertanding di League of Legends, CS:GO, Overwatch, dan World of Warcraft. Sementara Trainor adalah CEO Adventus, perusahaan teknologi edukasi.

Sumber: Kotaku Australia, B&T

Dapat Investasi Rp21,3 Miliar, Team Flash dari Singapura Mau Ekspansi Internasional

Organisasi esports asal Singapura, Team Flash, baru saja mendapatkan investasi sebesar US$1,5 juta (Rp21,3 miliar) dari Octava, yang merupakan perusahaan keluarga asal Singapura dan telah menanamkan investasi di berbagai industri, termasuk properti, teknologi finansial, dan edukasi. Team Flash sekarang memiliki lebih dari 30 atlet esports profesional dan kreator konten. Salah satu tim asuhan Team Flash adalah tim Arena of Valor asal Vietnam yang belum lama ini memenangkan 700 juta Đồng (Rp428 juta) dalam Arena of Glory Spring 2019 pada Mei lalu.

Saat ini, Team Flash fokus untuk berbisnis di Singapura dan Vietnam. Kucuran dana segar dari Octava akan digunakan untuk memperkuat posisi mereka di Vietnam. Mereka juga berencana untuk membuat divisi merchandise. Selain itu, Team Flash hendak melakukan ekspansi internasional. Target pertama mereka adalah menguasai Asia Tenggara. Tidak heran jika mereka menyasar Asia Tenggara terlebih dulu, mengingat kawasan itu memiliki pertumbuhan esports paling cepat. Menurut perkiraan Newzoo, audiens esports di Asia Tenggara akan mencapai 31,9 juta orang pada 2019. Esports juga semakin diakui sebagai olahraga, mengingat ia menjadi salah satu cabang yang dipertandingkan di SEA Games pada tahun ini.

“Asia Tenggara adalah kawasan dengan pertumbuhan audiens esports paling cepat. Di sini, juga muncul tren yang mendukung seperti penggunaan media sosial dan konsumsi video,” kata Investment Director Octava, Tan ting Yong, seperti dikutip dari e27. “Ke depan, kami percaya, tim esports akan diuntungkan jika esports berubah menjadi olahraga profesional. Team Flash ada di posisi yang strategis untuk melakukan ini, mengingat mereka memiliki prestasi yang baik dan program untuk menjangkau komunitas.”

Team Flash didirikan oleh Terence Ting dan Samson Oh pada 2017. Dalam situs resminya, mereka menyebutkan, visi mereka adalah “menjadikan gamer sebagai pahlawan”. Sementara misi mereka adalah untuk membawa para atlet esports di bawah naungan mereka ke kancah internasional, mendorong terciptanya ekosistem esports yang profesional, serta membantu merek untuk terhubung ke audiens esports. Memang, esports jadi salah satu cara bagi sebuah merek untuk merangkul generasi milenial dan generasi Z, yang tak lagi menonton TV.

CEO Team Flash, Terence Ting mengatakan, meskipun industri esports di Asia Tenggara sempat tertinggal jika dibandingkan dengan kawasan lain, tapi dalam 10 tahun belakangan, industri esports di Asia Tenggara tumbuh pesat. “Tujuan kami adalah membawa talenta dari kawasan Asia Tenggara ke panggung internasional dan menyediakan jalur karir yang baik untuk para pemain kami,” katanya, seperti dikutip dari Esports Insider.

“Kami sangat senang untuk bekerja sama dengan grup investor strategis ini yang akan membantu usaha Team Flash dalam merealisasikan visi kami untuk membuat esports menjadi semakin populer. Dalam 12 bulan ke depan, kami ingin menjadikan Team Flash sebagai organisasi esports internasional bersama dengan rekan kami di kawasan ini.”

Sumber header: Esports Insider

Persiapan Hendry ‘Jothree’ Handisurya untuk Wakilkan Indonesia di Cabang Hearthstone SEA Games 2019

Esports kini mulai diakui oleh sebagai olahraga. Tahun lalu, esports masuk ke Asian Games, walau masih sebagai pertandingan demonstrasi. Pertandingan tersebut dianggap sukses karena Komite Olimpiade Internasional (IOC) setuju untuk memasukkan esports sebagai salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan dalam SEA Games yang diadakan di Filipina tahun ini. Salah satu game yang akan dipertandingkan adalah Hearthstone.

Dalam Asian Games, Hendry ‘Jothree’ Handisurya berhasil membawa pulang medali perak. Dia kembali dipilih untuk mewakili Indonesia dalam SEA Games, bersama dengan Rama “DouAhou” Ariangga. Saat ditemui dalam acara Hearthstone Fireside Gatherings yang diadakan di UPNORMAL Coffee Roaster pada Sabtu, 31 Agustus 2019 kemarin, Jothree mengaku bahwa dalam Asian Games, medali emas dan medali perak jadi target tim Indonesia.

Hendry dan Rama adalah rekan satu tim di TEAMnxl> dan kali ini, mereka akan sama-sama mewakili Indonesia. Namun, dalam SEA Games, Hearthstone adalah game yang dimainkan per individu. Saat ditanya apakah Jothree melihat rekan satu timnya sebagai saingan, dia menjawab, “Kalau di kompetisi lain, World Electronic Sports Games (WESG) atau Hearthstone World Championship, pas main gue ngerasa dia saingan gue. Tapi untuk SEA Games, sudah bawa nama Indonesia, siapapun yang menang, itu Indonesia yang menang. Nggak peduli itu gue atau Rama, yang penting Indonesia Raya-nya.”

Saat Jothree memenangkan medali perak di Asian Games | Sumber: Facebook
Saat Jothree memenangkan medali perak di Asian Games | Sumber: Facebook

Jothree memang senang bermain game. Dia bercerita, ketika dia SMA, dia sering diajak ke warung internet oleh temannya. Di sini, dia mengenal Warcraft 3. Dia mengaku, dia lalu “keterusan” main Warcraft dan sempat bertanding di turnamen internasional. Selain itu, dia juga pernah memainkan Starcraft. Sayangnya, dia lalu mengalami cedera tangan. Dia menderita carpal tunnel, yang membuat tangan penderitanya mengalami kesemutan, terasa lemah, nyeri, atau bahkan mati rasa. Ini membuatnya tak lagi bisa memainkan game seperti Starcraft.

“Akhirnya, ada yang ngenalin ke Hearthstone. Memang, kebetulan gue suka main catur pas kecil. Ini kayak main catur modern,” ujarnya. “Awalnya, nggak ada niat untuk serius. Tapi, memang dasarnya gue kompetitif. Pas gue ngerasa rank gue lumayan, gue mulai cari turnamen di luar, sampai akhirnya dapat kesempatan mewakili Indonesia di Asian Games.” Untuk itu, dia harus melewati babak kualifikasi, yang mengadu 32 pemain Hearthstone terbaik di Indonesia.

Tahun ini, dia harus mewakili Indonesia di SEA Games. Salah satu persiapannya adalah mengikuti Pelatnas, yang diadakan di Surabaya sejak 8 Agustus hingga 26 Agustus. “Menjelang SEA Games, kita bakal buat bootcamp sendiri ke Bali, untuk konsentrasi pelatihan,” ujarnya. Di Pelatnas, sehari-harinya, Jothree bisa menghabiskan hingga 14 jam untuk berlatih.

Sumber; Facebook IESPA
Sumber: Facebook IESPA

“Uniknya dari Hearthstone, latihannya nggak melulu main game,” ungkap Jothree. Dia mengatakan, sebagian besar latihan justru berupa diskusi antara Jothree, Rama, Reza “Rezdan” Servia Manager & Head Coach, serta Novan “Nexok40” sebagai Asisten Manager & Coach. “Mainnya paling cuma 20 persen dari porsi latihan. Sisanya, diskusi strategi, apakah kartu ini bagus untuk dimasukkan ke deck,” ujarnya. Saat ini, ada lebih dari 2700 kartu di Hearthstone. Sementara pemain hanya dapat memilih 30 kartu dalam satu deck.

Selain latihan terkait game, Jothree mengatakan bahwa selama Pelatnas, dia juga melakukan latihan fisik seperti senam setiap pagi. Dia mengaku, fisik memang memiliki peran sangat penting bagi atlet esports. Alasannya, karena dalam sebuah turnamen, pemain terkadang dituntut untuk bermain selama 12-13 jam dalam satu hari. Tanpa fisik yang kuat, permainan pemain juga tak akan memberikan performa yang optimal.

Sebelum ini, pemerintah mengatakan bahwa mereka akan berusaha untuk mengembangkan industri esports dan gaming. Terkait hal ini, Jothree mengatakan bahwa pemerintah sebaiknya membuktikan omongannya itu. “Selama ini sih sudah lumayan, terlihat dari mengirim kami ke Pelatnas,” katanya. Dia berharap, pemerintah tidak tertarik dengan esports hanya karena ia dipertandingkan di SEA Games dan akan mengembangkan ekosistem esports dari game selain game yang ditandingkan dalam SEA Games.