10 Atlet Esports Perempuan dengan Pendapatan Terbesar

Industri game dan esports memang identik dengan dunia pria. Meskipun begitu, tetap ada beberapa pemain esports perempuan yang berhasil meraih sukses. Berikut 10 pemain esports perempuan dengan pemasukan terbesar, menurut Esports Earners. Menariknya, para pemain yang masuk daftar ini berlaga di game yang berbeda-beda. Padahal, kebanyakan pemain esports laki-laki yang mendapatkan hadiah terbesar merupakan pemain Dota 2, khususnya, para pemenang The International.

Berikut daftar 10 pemain profesional perempuan dengan pemasukan terbesar.

1. Sasha “Scarlett” Hostyn

Sasha "Scarlette" Hostyn. Via: Reddit
Sasha “Scarlette” Hostyn. Via: Reddit

Dengan total pemasukan sebesar US$393,5 ribu, Scarlett merupakan pemain esports perempuan dengan penghasilan terbesar. Tak hanya itu, dia juga merupakan pemain Starcraft perempuan pertama yang berhasil memenangkan turnamen major. Dan belum lama ini, dia menandatangani kontrak dengan tim baru, Shopify Rebellion. Memang, skena esports Starcraft tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan game esports lain seperti League of Legends atau Counter-Strike: Global Offensive. Meskipun begitu, turnamen major dari Starcraft masih diminati. Jadi, Scarlett masih akan bisa melanjutkan karirnya.

2. Vi “VKLiooon” Xiaomeng

Xiaomeng Li. Via: Esports Talk
Xiaomeng Li. Via: Esports Talk

VKLiooon duduk di posisi kedua dalam daftar pemain perempuan dengan pemasukan terbesar. Secara total, dia telah mendapatkan penghasilan sebesar US$238 ribu. Dia merupakan salah satu pemain perempuan ternama di skena esports Hearthstone. Dia mendadak menjadi tenar ketika berhasil memenangkan Hearthstone Grandmasters Global Finals pada 2019. Ketika itu, dia menjadi perempuan pertama yang memenangkan kompetisi tersebut.

3. Kat “Mystik” Gunn

Sekarang, Mystik berkontribusi dalam industri game dan esports dengan menjadi streamer dan cosplayer. Namun, sebelum dia dikenal sebagai streamer, dia merupakan pemain profesional CS:GO. Dia berhasil memenangkan hadiah besar berkat kesuksesan timnya, Carolina Core, di Championship Gaming Series (CGS). Dengan total pemasukan US$122,6 ribu, dia merupakan pemain esports perempuan dengan pemasukan terbesar ketiga. Memang, karir Mystik sebagai pemain profesional tidak bertahan lama. Namun, hal itu cukup untuk membuat namanya dikenal di kalangan fans esports sehingga dia bisa ganti haluan menjadi streamer.

Kat "Mystik" Gunn. | Sumber: katgunn.com
Kat “Mystik” Gunn. | Sumber: katgunn.com

4. Rumay “Hafu” Wang

Hafu dikenal sebagai satu streamer terpopuler di Twitch. Dia dikenal berkat kemampuannya dalam bermain Teamfight Tactics. Sejauh ini, dia telah mendapatkan US$84,5 ribu. Belakangan, dia tidak lagi bertanding di kompetisi esports. Meskipun begitu, dia masih aktif di dunia esports sebagai streamer. Pada November 2020, Hafu menjadi streamer perempuan dengan penonton terbanyak setelah Valkyrae.

Rumay “Hafu” Wang
Rumay “Hafu” Wang

5. Ricki Ortiz

Ricki Ortiz, pemain Street Fighter, duduk di peringkat lima dengan total pemasukan sebesar US$81,2 ribu. Memang, sejak awal karirnya, Ricki selalu fokus pada fighting game. Sekarang, dia bermain sebagai perwakilan Evil Geniuses di kompetisi fighting game, khususnya Street Fighter. Dia bahkan berhasil meraih juara dua di Capcom Cup 2016. Dia hanya kalah di babak final dari mantan juara Du “NuckleDu” Dang.

Ricki Ortiz
Ricki Ortiz

6. Nina “Nina” Qual

Sepanjang karirnya sebagai pemain esports, Nina berhasil mendapatkan US$77,9 ribu. Hal ini membuatnya duduk di posisi enam. Sama seperti Scarlett, Nina juga merupakan pemain Starcraft 2. Sampai saat ini, dia masih aktif ikut kompetisi Starcraft bersama Team eXoN. Sebelum itu, dia merupakan bagian dari ROOT Gaming. Dia pertama kali bergabung dengan ROOT Gaming pada 2012. Dia sempat keluar dari tim tersebut karena alasan keluarga pada Oktober 2012. Namun, satu bulan kemudian, dia kembali bergabung dengan ROOT Gaming.

Nina Qual
Nina Qual

7. Kim “Geguri” Se-yeon

Geguri merupakan pemain Overwatch asal Korea Selatan. Dalam tim, dia biasanya berperan sebagai Off-Tank. Beberapa hero yang menjadi ciri khasnya adalah Zarya, D.Va, Roadhog, dan Orisa. Dia bergabung dengan Shanghai Dragons — tim Overwatch League yang mewakili Tiongkok — pada Februari 2018. Bersama Shanghai Dragons, Geguri pernah memenangkan beberapa turnamen bergengsi, seperti Overwatch League 2020 – Asia Playoffs, Overwatch League – 2020 Regular Season, dan Overwatch League 2020 – Countdown Cup. Namun, dia keluar dari Shanghai Dragon pada Oktober 2020. Secara total, Geguri berhasil mendapatkan US$70,1 ribu.

Geguri ketika mengenakan seragam Shanghai Dragons. | Sumber: Liquipedia
Geguri ketika mengenakan seragam Shanghai Dragons. | Sumber: Liquipedia

8. Tina “Tinaraes” Perez

Dengan total pemasukan sebesar US$66,2 ribu, Tinaraes duduk di peringkat delapan. Dia merupakan pemain Fortnite dan bergabung dengan Gen.G pada Oktober 2018. Ketika itu, Gen.G juga menandatangani kontrak dengan Maddie “Maddiesuun” Mann. Bersama dengan Maddiesuun, Tinaraes menjadi duo Fortnite perempuan di Gen.G. Keduanya merupakan pemain Fortnite perempuan pertama yang mendapatkan kontrak dengan tim esports besar. Bersama dengan Rhux dan Pika, Tinarae berhasil menjadi juara pertama dari TwitchCon 2019.

Via: InvenGlobal
Via: InvenGlobal

9. Maureen “Alice” Gabriella

Jika Anda merupakan pemain PUBG Mobile atau fans esports, Anda pasti pernah mendengar nama Maureen Gabriella alias Alice. Sepanjang karirnya, pemain Bigetron Red Alien ini telah mengumpulkan US$57,4 ribu, menjadikannya sebagai pemain esports perempuan dengan penghasilan terbesar ke-9. Berperan sebagai Sniper atau Support, Alice memang sudah memenangkan banyak kompetisi bergengsi bersama Bigetron, seperti PUBG Mobile Pro League – Fall Split 2020: SEA dan PUBG Mobile Pro League – Fall Split 2020: Indonesia League. Dalam PUBG Mobile GLobal Championship Season 0: League, Alice bersama Bigetron berhasil menjadi juara dua.

10. Marjorie “Kasumi Chan” Bartell

Nama Marjorie Bartell dikenal di dunia esports setelah dia mengalahkan Sarah Harrison di Championship Gaming Series, turnamen Dead or Alive. Dalam waktu kurang dari satu tahun, dia berhasil memenangkan lebih dari US$55 ribu, membuatnya menjadi pemain Dead or Alive dengan pemasukan terbesar. Dia mengambil nama “Kasumi Chan” dari salah satu karakter di seri Dead or Alive.

Marjorie menggunakan nama "Kasumi Chan" dari karakter Dead or Alive. | Sumber: Medium
Marjorie menggunakan nama “Kasumi Chan” dari karakter Dead or Alive. | Sumber: Medium

Kenapa Ferrari Mau ke Esports Meski Komunitasnya Tak Punya Banyak Uang?

Kebanyakan fans esports masih muda. Di Eropa, sebagian besar penonton esports ada di rentang umur 21-25 tahun. Umur penonton yang cenderung muda menjadi salah hal yang membuat banyak perusahaan tertarik untuk masuk ke dunia esports, termasuk merek barang mewah seperti Louis Vuitton. Tak hanya Louis Vuitton, perusahaan mobil mewah seperti Ferrari dan Lamborghini pun tertarik untuk ikut terjun ke dunia competitive gaming. Padahal, kecil kemungkinan fans esports sanggup untuk membeli produk mereka.

 

Tanya Kenapa?

Pada 2014, Bernie Ecclestone, yang ketika itu menjabat sebagai CEO dari Formula 1, membuat pernyataan kontroversial. Dia mengatakan tidak tertarik untuk menyasar generasi muda. Alasannya adalah karena generasi muda dianggap bukan target konsumen F1.

“Ketika anak muda melihat jam Rolex, apakah mereka akan membelinya?” kata Ecclestone ketika itu, seperti dikutip dari AutoSport. “Mereka tidak akan sanggup untuk membeli jam Rolex. Sementara sponsor kami yang lain adalah bank, UBS. Anak muda tidak peduli soal bank. Mereka bahkan tidak punya cukup uang untuk disimpan di bank. Begitulah menurut saya. Saya tidak mengerti mengapa banyak perusahaan tertarik untuk menargetkan para ‘generasi muda’ ini. Kenapa mereka melakukan hal itu? Apakah mereka ingin menawarkan sesuatu pada anak-anak muda? Padahal, kebanyakan anak-anak itu tidak punya uang.”

Formula 1 kini juga memerhatikan skena esports. | Sumber: Formula 1
Formula 1 kini juga memerhatikan skena esports. | Sumber: Formula 1

Memang, pernyataan Ecclestone tidak salah. Daya beli konsumen yang masih muda biasanya tidak besar. Dan mereka memang bukan target pasar dari merek-merek mobil yang berlaga di F1, seperti Mercedes atau McLaren. Namun, hal itu bukan berarti generasi muda bisa diacuhkan begitu saja. Jika sebuah perusahaan ingin bertahan, maka mereka tidak hanya harus peduli pada konsumen mereka saat ini, tapi juga potensial konsumen di masa depan.

Formula 1 mengubah strateginya dan mulai memerhatikan generasi muda ketika Chase Carey ditunjuk sebagai CEO, menggantikan Eccleestone pada 2017. Di tahun yang sama, Formula 1 langsung menjajaki esports dengan mengadakan kompetisi F1 Esports. Kompetisi sim racing itu berlanjut hingga sekarang. Tak hanya itu, pada 2020, F1 bahkan mengadakan kompetisi esports baru, yaitu F1 Mobile Racing Esports Series. Dua kompetisi sim racing ini punya tujuan yang sama, yaitu mendekatkan diri dengan generasi milenial dan gen Z.

Selain Formula 1, beberapa perusahaan otomotif juga menunjukkan ketertarikan pada dunia game dan esports. Masing-masing perusahaan pembuat mobil ini juga punya pendekatan yang berbeda. Misalnya, Audi dan Mercedes memilih untuk menjadi sponsor dari organisasi esports besar, seperti Astralis dan SK Gaming. Sementara Ferrari dan Lamborghini lebih memilih untuk mengadakan kompetisi sim racing. Selain itu, Ferrari juga menjual lisensi mobil mereka ke developer game balapan. Dengan begitu, mobil-mobil Ferrari bisa muncul di game racing seperti Gran Turismo dan Assetto Corsa.

Ferrari mulai tertarik dengan esports pada 2020. | Sumber: Ferrari
Ferrari mulai tertarik dengan esports pada 2020. | Sumber: Ferrari

Chief Communications Officer, Ferrari, Jane Reve, menjelaskan bahwa ada dua alasan mengapa Ferrari tertarik dengan competitive gaming walau kebanyakan sim racers dan fans esports tidak akan sanggup untuk membeli mobil Ferrari.

“Pertama, kami ingin menumbuhkan fanbase kami, agar semakin banyak oarng yang menjadi bagian dari dunia Ferrari,” kata Reve. “Kami ingin membuka pintu ke semua orang yang tertarik untuk menjadi bagian dari dunia kami.” Lebih lanjut dia menjelaskan, “Alasan lainnya adalah kami ingin mencari orang-orang berbakat. Kita semua tahu bahwa kompetisi dan olahraga sangat dihargai di Ferrari. Karena itu, kami ingin bisa mendapatkan talenta terbaik.”

Tahun lalu, ekosistem sim racing tumbuh pesat berkat virus corona. Lockdown yang ditetapkan oleh pemerintah dari berbagai negara berarti ada banyak kompetisi balapan yang harus dibatalkan. Alhasil, para penyelenggara memilih untuk mengganti balapan itu dengan kompetisi sim racing. Pada tahun ini, diperkirakan, ekosistem sim racing masih akan tumbuh berkat momentum dari tahun lalu.

 

Apa Untungnya Menargetkan Konsumen Muda?

Nicola Boeri, Chief Brand Diversification Ferrari menjelaskan mengapa memenangkan hati konsumen muda juga penting bagi Ferrari sebagai perusahaan. “Kami tidak bisa hanya fokus pada penjualan. Kami juga harus membangun reputasi merek, meningkatkan brand awareness dan menumbuhkan merek Ferrari,” ujarnya. “Kami tahu, dengan mensponsori dan mendukung program seperti Esports Series, hal ini memungkinkan kami untuk menjangkau konsumen muda yang sulit untuk dijangkau.”

Memang, generasi milenial dan gen Z punya reputasi sulit untuk dijangkau iklan. Untungnya, bukan berarti memenangkan hati para milenial dan gen Z adalah hal yang mustahil. Perusahaan hanya harus menyesuaikan strategi marketing mereka. Salah satu cara untuk bisa memenangkan hati generasi milenial dan gen Z adalah dengan peduli dengan hal-hal yang mereka anggap penting. Berdasarkan survei, 37% milenial rela membeli produk dengan harga yang lebih mahal selama perusahaan itu mendukung gerakan sosial yang mereka dukung.

Masing-masing platform media sosial punya karakteristik yang berbeda-beda. | Sumber: Deposit Photos
Masing-masing platform media sosial punya karakteristik yang berbeda-beda. | Sumber: Deposit Photos

Cara lain untuk menjangkau generasi milenial dan gen Z adalah menggunakan media sosial. Masing-masing platform media sosial punya ciri khasnya masing-masing. Jadi, perusahaan sebaiknya menyesuaikan konten yang diunggah ke berbagai platform media sosial mereka. Selain itu, perusahaan juga bisa bekerja sama dengan influencers. Di sinilah peran game streamers dan atlet esports. Jika sebuah perusahaan ingin menargetkan generasi muda, khususnya gamers, maka mereka bisa bekerja sama dengan streamers atau organisasi esports untuk menarik hati para fans. Bagi Ferrari, membuat kompetisi esports merupakan cara mereka untuk menjangkau generasi muda serta berinteraksi dengan mereka.

“Kami tidak hanya ingin bisa menjangkau generasi muda, tapi juga berinteraksi dengan mereka,” kata Boeri. “Jika ada 20 ribu orang yang mendaftarkan diri untuk ikut kompetisi yang kami adakan, seperti tahun lalu — dan kemungkinan, jumlah peserta tahun ini justru bertambah — hal itu berarti, puluhan ribu orang ini telah mengadopsi DNA kami.”

Namun, masuk ke dunia esports bukan berarti Ferrari akan mengacuhkan channel marketing lain yang lebih konvensional. Boeri menyebutkan, esports memang memberikan kesempatan unik. Meskipun begitu, mereka juga akan tetap melakukan kegiatan marketing lain, termasuk balapan F1.

Feat Image credit: Martin Juul via Fotonify

The Love Triangle That Exists Between Video Games, Anime, and Esports

In Japan, anime are usually based on popular mangas. Popular mangas are sometimes also adapted to other media, such as video games. Dragon Ball is one of the most popular examples in this case. How many anime and video games have been made based on Akira Toriyama’s legendary series? Today, the gaming industry is also closely tied to the completely new esports industry. Given the close relationship between the gaming industry and anime, does that mean there is definitely a place for esports?

 

Video Games, Anime, and Esports

Last week, Team Liquid announced that they had a new collection of apparel. Unlike their other merchandise, Team Liquid collaborated with Naruto Shippuden in their brand new clothing line. On Twitter, the announcement of Team Liquid’s collaboration with Naruto received a great reception, evident from the 7 thousand retweets and 29 thousand likes the tweet received. By comparison, when LA Thieves announced their new kit on Twitter, they only had 268 retweets and 3.2 thousand likes. This discrepancy may prove that esports fans really like anime.

Unfortunately, the same chemistry does not apply between the esports and anime industry. Currently, there are not many collaborations between the two industries, even though both the esports-gaming and gaming-anime industry relationships meshes incredibly well. The first anime to be adapted from a game is Super Mario Bros: Peach-Hime Kyushutsu Dai Sakusen! The anime ran for 1 hour daily in 1986.

In 1988, the Astro Boy game – which is also based on the anime – was released for the PC platform. This game is one of the few first games which are adapted from the original anime. Since then, there have been many games based on popular anime, such as Dragon Ball, Evangelion, Fullmetal Alchemist, Inuyasha, Initial D, Naruto, One Piece, and even Doraemon. There are also quite a lot of anime that are based on video games, such as Devil May Cry, Fatal Fury, Kingdom Hearts, Street Fighter, Virtua Fighter, and Final Fantasy XV.

There are also a number of anime that adapt the video game theme into their story. These are anime like Overlord, Sword Art Online, Log Horizon, No Game No Life, and .hack. Even though the game anime genre is not included in the list of the most popular anime, the Sword Art Online anime still has a very large following until today. The first season of Sword Art Online aired in 2012, implying that the genre has been popular for a very long time.

Anime also often carries popular sports themes such as soccer, basketball, and baseball. Sometimes less popular sports are also used as a theme, such as volleyball, bicycle racing, or American football. Esports itself is increasingly being recognized as a sport. However, almost no anime has an esports theme. So far, the only anime with an esports theme is High Score Girl. The anime was released in 2018. The story, however, was set in 1991. Therefore, you cannot expect to witness the developed esports ecosystem similar to today’s standards.

Currently, the only animation with a plot based on esports players is Quan Zhi Gao Shou or The King’s Avatar. It’s just that, The King’s Avatar – which is available in comic, animation, and even live-action form – is made in China and not Japan. On the other hand, Netflix has also just announced the anime series Dota: Dragon’s Blood. The series based on Dota 2 will launch on March 25, 2021. Although it is claimed to be an authentic “anime”, Dragon’s Blood is handled by Studio MIR, a South Korean studio that previously made The Legend of Korra and Voltron: Legendary Defender.

The two examples above show China and South Korea much faster than Japan in adopting the esports theme. Even the Japanese government alone is remarkably slow to support the esports industry. They only revealed their plan to develop the esports industry last May of 2020.

"Kota Esports" yang dibuat oleh pemerintah Hangzhou. | Sumber: Esports Insider
“Esports City” made in Hangzhou. | Source: Esports Insider

In comparison, Hangzhou – a city in China known for its tourism industry – has opened an “esports city” in November 2018. The Hangzhou government went full onboard and spent RMB2 billion (around 4.3 trillion Rupiah) to create an esports city as large as 3.94 million square feet. The central government of China also voices its interest regarding esports. In February 2019, Beijing recognized esports players as an official profession. In Indonesia, President Joko Widodo says that the government will support the esports industry by building digital infrastructure. In the 2019 Presidential Cup, esports has been included as one of the ongoing competitions.

Why is Japan slow to adopt esports culture even though half of their population is practically gamers? One reason for this is that most of the games played by Japanese gamers – both on mobile and console – are single-player games. Since single-player games rarely promote the element of competition, Japan’s esports ecosystem has not grown as fast as other countries where the majority of the population plays multiplayer and competitive games.

The number of professional players can be a benchmark to visualize the growth of the esports ecosystem in a country. According to Statista, in 2019, there are only 578 pro players in Japan. Meanwhile, in China and South Korea, the number of pros reaches beyond 1000. Indeed, China has a much larger population than Japan. In 2019, China has a population of approximately 1.4 billion, while Japan’s population only reaches 126 million people. However, South Korea’s population, of 51.7 million people, is much smaller than Japan’s. Therefore, we can conclude that the number of professional players in a country is not only influenced by the size of the population.

Jumlah gamer profesional di setiap negara pada 2019. | Sumber: Statista
The number of professional gamers in each country in 2019 | Source: Statista

As further proof, the United States has the most number of professional esports players in the world, reaching more than 5 thousand pros. However, United States’ population is only 328 million people, which does not reach even half of China’s population

 

Advantages that the Cooperation between Esports and Anime Industry can bring

If Japan’s esports ecosystem is relatively undeveloped, why did the collaboration between Team Liquid and Naruto sparked so much interest? The reason is pretty simple: esports and anime viewers have lots of similar characteristics.

“I am even more surprised why the collaboration between the two industries didn’t happen sooner,” said Irliansyah Wijanarko SaputraChief Growth OfficerRevivalTV, expressing his opinion on the collaboration between Team Liquid and Naruto. “Today, esports is not just about competitively playing games but also has become a lifestyle for the millennials and the generations below. Therefore, it is only natural that anime, a mainstream form of entertainment for these generations, will be working with the esports industry.”

Irli compared the collaboration between Team Liquid and Naruto with the collaboration between automotive and golf companies. “There are BMW golf clubs, or the Gucci or LV brands that make bicycles. These sorts of collaboration occur because golf and bicycles are indeed entertainment and part of the lifestyle of the previous generation,” he said.

Meanwhile, ShoutcasterWibi “8KEN” Irbawanto mentioned that although the demographics of esports and anime viewers are not always the same, they both may have a lot in common. “We have seen several efforts put forth by the game developers to create cross-content, such as League of Legends with its Sailor Moon skin or CS: GO with anime character face skins. Thus, it can be implied that the demographics of the esports and anime industries do intersect to some extent.”

According to a GameScape report from Interpret in 2017, the average age of esports viewers in the US is 28. 39% of esports viewers are also 25-34 years old. When compared to the demographics of the esports audience, the target audience for anime is much broader. Anime targets audiences of all ages, from children to adults. As a result, anime is also categorized by gender and age. For example, the shounen and shoujo categories target adolescents aged 12-18 years; seinen and josei target audiences aged 18-40 years; kodomo is suited for children under the age of 10. Even so, as mentioned by Irli and Wibi, there is an intersection between esports and anime audiences.

What does exactly mean?

In marketing, there is the term called “targeting in marketing“. The term refers to a strategy focusing on a specific customer segment. One of the goals of targeting is to increase sales figures. As an illustration, if you try to sell chocolates on Valentine’s Day, you will get a larger profit if you sell chocolates to people who are not single. You might not obtain much success if you try to sell Valentine chocolates to singles.

The same can be applied in esports and anime. Esports and anime fans have a lot in common, as mentioned by Irli. Therefore, esports fans are more likely to watch anime or buy anime merchandise and vice versa. According to Irli, anime fans are very likely to be interested in esports because it usually features content with the “journey in becoming a hero” concept. This type of concept or plot is frequently present in anime, especially shounen, like Naruto.

For esports organizations, one of the benefits of collaborating with well-known anime is brand exposure. By creating Naruto-themed clothing, Team Liquid can expose their brand to Naruto fans and anime in general.

“The collaboration between Team Liquid and one of the biggest brands in the anime world, Naruto, should be able to attract the masses to buy a new Team Liquid apparel,” said Wibi. “Customers who access the Team Liquid’s store will also discover other Team Liquid products which can be promoted or shared through social media, hence the brand exposure.”

 

Potential Collaboration Between Indonesian Esports Organizations and Anime

When asked if a local esports organization could follow in Team Liquid’s footsteps, Irli replied, “It’s just a matter of time before someone does it.” However, he also discussed the challenges that Indonesian esports organizations must face if they want to collaborate with anime. “The most difficult obstacle to overcome is gaining access to the anime license. Anime franchises rarely collaborate with the esports sector. Instead, they usually cooperate with agencies in the form of community events.” said Irli.

Irli suggests that the most feasible approach for local esports organizations to collaborate with anime franchises is through Dentsu, a Japanese advertising and PR company that already has a branch in Indonesia. “You must first try to make contact with Dentsu. Then, Dentsu can connect you with the esports team,” he said.

If Indonesian esports organizations want to collaborate with anime franchises, they will also need to make sure that the collaboration will be successful. The collaboration usually might not seem to be very prosperous in the short term. Therefore, Indonesian esports organizations must convince the anime license holders to do a long-term collaboration. Meanwhile, the only logical approach that fulfills this objective is apparel collaboration, as was done by Team Liquid with Naruto.

Kaos hasil kolaborasi antara Team Liquid dan Naruto.
The T-shirt collaboration between Team Liquid and Naruto

Local esports organizations can also opt to cooperate with local comic or animation franchises. However, this collaboration is not mutualistic for both parties. Irli mentions that esports is far more popular than local comics brands. “It is not exactly a business cooperation,” he said. “because the esports organization will end up supporting the local comic business and not the other way around.”

Even so, Irli said that it is possible that the local esports teams will collaborate with Indonesian comic artists or animators to create an entirely new intellectual property. “For example, there is a plan to create a new comic or universe as part of their future business prospect,” he said. “It is possible that the esports team will cooperate with local comic artists to market their new IP.”

 

Conclusion

Video games and anime meshes really well together. The collaboration between the two industries has also been going on for decades. Considering that esports is a derivative of the game industry, esports should technically have no problem cooperating with anime, right? Well, not exactly.

Unfortunately, so far, there has not been much cooperation between esports and the anime industry. One of the reasons behind this is Japan’s underdeveloped esports ecosystem. Even so, Team Liquid has paved the way with its collaboration with Naruto Shippuden. On paper, this cooperation should turn out well for both parties because esports and anime viewers have several similarities.

Of course, we can only wait and observe the extent of the success of this collaboration. However, if this collaboration proves to be successful, we can definitely see more esports organizations following in Team Liquid’s footsteps.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo

EVOS Esports Juara Free Fire Indonesia Masters 2021 Spring, EA Bakal Adakan FIFA Face-Off

Pada Minggu, 21 Maret 2021, EVOS berhasil menjadi juara dari Free Fire Indonesia Masters 2021 Spring. Dengan ini, mereka akan maju ke Free Fire World Series 2021. Sementara itu, pada minggu lalu, EA mengumumkan bahwa mereka akan menggelar turnamen FIFA di kalangan selebritas, influencers, dan pemain profesional.

EVOS Menang Free Fire Indonesia Masters 2021 Spring

EVOS Esport keluar sebagai juara Free Fire Indonesia Masters (FFIM) 2021 Spring. Sejak awal, EVOS memang sudah diduga akan dapat mempertahankan gelar mereka dan kembali memenangkan FFIM. Namun, mereka sempat kesulitan menghadapi tim-tim baru yang tangguh di Free Fire Master League (FFML) Season 3. Dengan menjadi juara FFIM 2021 Springs, EVOS Esports akan menjadi perwakilan Indonesia di Free Fire World Series 2021. Selain EVOS, First Raiders juga akan bertanding di turnamen yang diadakan di Singapura itu.

EVOS juara FFIM
EVOS juara Free Fire Indonesia Masters (FFIM). | Sumber: Garena

Sementara itu, gelar Predator — pemain yang dapat mengumpulkan kill points terbanyak selama Grand Finals FFIM 2021 Spring — jatuh pada SRN DVITOOO dari Siren Esports, yang berhasil meraih posisi 2nd Runner Up. Sebelum berlaga di FFIM 2021 Spring, SRN DVITOOO merupakan pemain dari tim di Divisi 2.

ESL Pro League Buat Dewan Pemain

ESL Pro League mengumumkan pembentukan EPL Player Council. Sesuai namanya, dewan ini berisi para pemain esports dari 12 tim yang menjadi rekan ESL. Pertemuan pertama dari anggota Player Council telah diadakan dan dihadiri oleh semua peserta. Sepanjang 2021, akan ada empat pertemuan lain yang bakal diselenggarakan, lapor Esports Insider. Masa berlaku anggota Player Council adalah dua tahun. Selama menjadi anggota Player Council, diharapkan para pemain akan bisa mengerti akan standar dan ekspektasi yang harus merkea penuhi. Player Council dibuat dengan tujuan untuk membuat para pemain lebih paham akan sisi bisnis dari industri esports.

Organisasi Esports Brasil Dominasi Obrolan di Twitter

Lima dari 10 organisasi esports yang paling banyak dibicarakan di Twitter merupakan organisasi esports asal Brasil, menurut Head of Gaming Content Partnerships, Rishi Chadha. Posisi pertama diduduki oleh LOUD. Salah satu alasan mengapa tim itu menjadi bahan pembicaraan adalah karena mereka merekrut tim baru untuk berlaga di Liga Brasil League of Legends (CBOL). Sebelum ini, LOUD hanya punya tim Free Fire dan Fortnite. Sementara posisi kedua diisi oleh G2 Esports dari Eropa, diikuti oleh paiN Gaming dari Brasil dan FaZe Clan dari Amerika Serikat.

10 tim esports yang paling sering dibicarakan di Twitter.
10 tim esports yang paling sering dibicarakan di Twitter.

Memang, dari 10 organisasi esports di atas, FaZe Clan dan Team Liquid bukan organisasi yang berasal dari Brasil. Namun, keduanya punya tim di negara tersebut. Faktanya, Tim Free Fire dari Team Liquid di Brasil bahkan berhasil memenangkan Continental Series pada 2020, seperti yang disebutkan oleh The Esports Observer.

Diesel, Merek Parful dari L’Oréal, Lanjutkan Kerja Sama dengan Vodafone Giants

Diesel, merek parfum milik L’Oréal, mengumumkan bahwa mereka akan meneruskan kerja sama mereka dengan organisasi esports asal Spanyol, Vodafone Giants. Diesel dan Vodafone Giants telah bekerja sama sejak 2016. Hanya saja, nilai kerja sama antara keduanya tidak diumumkan, lapor The Esporst Observer. Melalui kerja sama ini, parfum Only The Brave dari Diesel akan dipromosikan oleh Vodafone Giants melalui jaringan media sosial mereka.

EA Sports Bakal Adakan FIFA Face-Off, Adu Selebritas dengan Pemain Pro FIFA

Electronic Arts mengumumkan, mereka akan mengadakan FIFA Face-Off, game show yang akan mengadu para influencers dan selebritas dengan pemain FIFA profesional. Game show yang terdiri dari dua episode ini akan disiarkan secara langsung pada 19 dan 26 Maret 2021. Beberapa selebritas yang ikut dalam acara ini antara lain Jason Sudeikis, Brendan Hunt, Trevor Noah, Becky G, dan Nicky Jam. Sementara itu, Edwin “Castro 1021” Castro akan menjadi host dari acara tersebut, menurut laporan Esports Insider.

EA bakal adakan FIFA Face-Off.
EA bakal adakan FIFA Face-Off.

GameSquare Esports Akuisisi Reciprocity

GameSquare Esports, perusahaan induk dari Code Red Esports, mengungkap bahwa mereka telah menyelesaikan proses akuisisi dari organisasi esports asal Kanada, Reciprocity. Untuk membeli keseluruhan saham yang dikeluarkan oleh Reciprocity, GameSquare mengeluarkan CA$14,44 juta (sekitar Rp166,6 miliar). Dengan akuisisi ini, Reciprocity akan menjadi bagian dari GameSquare. Reciprocity punya Gaming Community Network (GCN), media agency yang menjembatani para perusahaan sponsor dengan pelaku dunia esports.

Samudra Menangkan Unity for Humanity Grant, Ubitus Dapat Investasi dari Tencent dan Sony

Minggu lalu, ada kabar baik di industri game Indonesia. Samudra berhasil memenangkan program Unity for Humanity. Sementara itu, di tingkat global, perusahaan cloud gaming Ubitus mengumumkan bahwa mereka baru mendapatkan investasi dari Tencent, Sony, dan Square Enix.

Samudra Jadi Salah Satu Pemenang Unity For Humanity Grant

Samudra, game puzzle buatan developer Indonesia, Khayalan Arts, berhasil menjadi salah satu pemenang dari Unity for Humanity Grant. Program tersebut merupakan bagian dari Unity Social Impact. Tujuannya adalah mendukung para developer gameyang menggunakan teknologi real-time 3D untuk mendorong perubahan di dunia nyata.

Ada empat game lain yang juga memenangkan Unity for Humanity. Keempat game itu adalah Ahi Kā Rangers, game yang terinspirasi dari budaya Maori, Future Aleppo, yang bercerita tentang seorang anak yang bercita-cita untuk membangun rumahnya kembali di Suriah, serta Dot’s Home dan Our America, yang memberikan komentar sosial tentang keadaan di Amerika Serikat. Dengan memenangkan Unity for Humanity, para developer dari kelima game ini akan mendapatkan dana, mentorship, serta dukungan teknis untuk menyempurnakan game mereka, lapor IGN.

2K Sports Akuisisi HB Studios, Tanda Tangan Kontrak dengan Tiger Wood

Minggu lalu, Take-Two Interactive, perusahaan induk dari 2K Sports, mengumumkan bahwa mereka baru saja mengakuisisi developer dari PGA Tour 2K, HB Studios. Tak hanya itu, mereka juga mengungkap bahwa mereka telah menandatangani kontrak dengan Tiger Woods, salah satu pemain golf terbaik di dunia. Sayangnya, 2K Sports tidak mengungkap nilai dari kontrak mereka dengan Woods. Satu hal yang pasti, PGA Tour 2K21 telah terjual sebanyak 2 juta unit sejak ia diluncurkan pada Agustus 2020. Salah satu alasannya, menurut VentureBeat, adalah karena HB Stidios berhasil membuat gameplay yang mudah dimengerti.

Secretlab Gandeng Designer Mainan dari Filipina, Quiccs

Secretlab, perusahaan pembuat kursi gaming, menggandeng graphic designer asal Filipina, Quiccs. Melalui kerja sama ini, keduanya akan membuat kursi gaming edisi terbatas, Quiccs Edition Secretlab. Kursi itu akan tersedia sebanyak 200 unit. Quiccs merupakan designer mainan dan graffiti artist dari Filipina, lapor IGN. Dia tumbuh besar menonton seri TV Jepang, seperti Bioman, Voltes V, dan Daimos. Hal ini memengaruhi gayanya dalam berkarya.

Quiccs merupakan graphic designer dari Filipina. | Sumbe: IGN
Quiccs merupakan graphic designer dari Filipina. | Sumbe: IGN

Quiccs bercerita, kerja sama ini diprakarsai oleh Secretlab. Dia menyebutkan, Secretlab tampaknya sudah melakukan riset tentangnya dan karyanya sebelum mengajaknya bekerja sama. Karena itu, kolaborasi antara keduanya berjalan dengan mulus. Quiccs juga menjelaskan, salah satu alasan mengapa kursi hasil kolaborasinya dengan Secretlab hanya tersedia dalam jumlah terbatas adalah karena mereka ingin membuat kursi itu menjadi istimewa.

Tencent, Square Enix, dan Sony Investasi di Perusahaan Cloud Gaming Ubitus

Perusahaan cloud gaming Ubitus baru saja mendapatkan kucuran dana segar. Ronde investasi kali ini dipimpin oleh Tencent dan diikuti oleh Sony Innovation Fund by IGV, Square Enix, serta Actoz, menurut laporan GamesIndustry. Sayangnya, Ubitus tidak mengungkap berapa nilai investasi yang mereka terima. Namun, menurut narasumber Bloomberg, Ubitus mendapatkan investasi sekitar US$45 juta. Ubitus didirikan di Taiwan pada 2007. Sekarang, mereka bermarkas di Jepang. Pada 2013, Samsung memimpin ronde investasi senilai US$15 juta untuk Ubitus.

Mengupas Otak Kecerdasan Buatan: Di Balik Cara Berpikir Artificial Intelligence di Game

Apa yang muncul di benak Anda ketika Anda mendengar istilah kecerdasan buatan alias artificial intelligence? Mesin pembunuh seperti Terminator? Atau justru robot yang lucu seperti Wall-E? Menurut Oxford Languages, artificial intelligence adalah sistem komputer yang dapat melakukan tugas yang biasanya hanya bisa dilakukan oleh manusia, seperti mengambil keputusan, menerjemahkan bahasa, atau mengenali gambar dan suara.

Sekarang, AI sebenarnya telah banyak digunakan di dunia nyata, walau pengaplikasian AI mungkin tidak sedramatis Detroit: Become Human. Salah satu contoh penggunaan AI di dunia nyata adalah asisten digital, seperti Siri, Cortana, Alexa, dan Google Assistant. Selain pada asisten digital, Google juga menggunakan AI pada mesin pencari mereka. Tak hanya Google, perusahaan e-commerce seperti Amazon pun sudah menggunakan AI.

Lalu, bagaimana AI diterapkan dalam game? Dan, bagaimana caranya jika Anda ingin mencoba berkreasi membuat AI sendiri di game?

 

AI Di Game dan Di Kehidupan Sehari-Hari

Jika Anda pernah bermain game, Anda pasti pernah berinteraksi dengan AI, tak peduli genre game yang Anda mainkan. Dalam game, salah satu penggunaan AI adalah untuk membuat Non-Player Characters alias NPC menjadi terlihat manusiawi. Ketika Anda berinteraksi dengan NPC — baik lawan atau kawan — dia akan bereaksi sesuai dengan aksi yang Anda lakukan.

Misalnya, dalam game shooter seperti Borderlands, jika Anda berlari ke arah musuh begitu saja, tentu musuh akan menembak Anda. Sementara dalam game yang fokus pada cerita, dialog dan aksi yang Anda pilih akan memengaruhi persepsi NPC pada Anda. Dalam Stardew Valley atau game serupa, jika Anda ingin memenangkan hati para love interest, maka Anda harus memberikan item yang mereka sukai.

Dalam membuat AI di game, salah satu metode yang developer biasa gunakan adalah Finite State Machine (FSM), menurut laporan Harvard. Pada dasarnya, dengan metode ini, sang developer akan mempertimbangkan semua interaksi yang mungkin terjadi antara AI dengan pemain dan memprogram semua reaksi yang mungkin dilakukan oleh sang NPC. Misalnya, ketika seorang pemain berada tidak jauh dari musuh, maka musuh akan menyerang. Dan ketika pemain berlari menjauh, musuh akan mengejar sang pemain.

Ilustrasi model FSM. | Sumber: Harvard
Ilustrasi model FSM. | Sumber: Harvard

Metode FSM telah digunakan dalam game sejak tahun 1990-an. Beberapa contoh game yang menggunakan metode ini antara lain Call of Duty, dan Tomb Raider. Namun, metode ini tetap punya kelemahan, yaitu respons AI akan tindakan pemain terbatas. Jadi, setelah memainkan game yang menggunakan FSM beberapa kali, pemain mungkin akan merasa bosan.

Selain FSM, metode lain yang bisa digunakan untuk membuat AI dalam game adalah Monte Carlo Search Tree (MCST). Model algoritma ini digunakan pada Deep Blue, AI pertama yang bisa mengalahkan juara catur pada 1997. Dengan MCST, AI akan mencoba untuk memecahkan masalah dengan melakukan tindakan secara random sebelum mempertimbangkan semua opsi tindakan yang bisa ia ambil.

Dalam kasus Deep Blue, sebelum mengambil langkah, ia akan mempertimbangkan semua langkah yang bisa ia ambil. Kemudian, ia akan memperkirakan semua langkah bisa dilakukan lawannya sebagai respons. Setelah itu, ia akan kembali mempertimbangkan semua opsi yang ia punya, dan begitu seterusnya. Deep Blue kemudian akan mengambil langkah yang dianggap memberikan hasil paling baik. Lalu, ia akan kembali mempertimbangkan langkah yang bisa ia dan musuhnya ambil. Contoh game yang menggunakan metode MCST adalah Civilization.

Skema MCST. | Sumber: Harvard
Skema MCST. | Sumber: Harvard

AI dalam game mungkin bisa bertindak layaknya manusia. Namun, AI dari NPC stagnan. Ia tidak akan bisa berevolusi atau mengubah strategi yang ia gunakan berdasarkan gaya bermain para pemain. Padahal, sejatinya, salah satu karakteristik AI adalah kemampuan untuk belajar. Fakta bahwa AI dalam game bersifat stagnan membuatnya jauh berbeda dari Ai yang bisa kita temukan sehari-hari, seperti pada Google Search. Ketika seseorang menggunakan Google Search untuk mencari kata kunci tertentu, hasil pencarian biasanya akan disesuaikan dengan kebiasaan browsing orang tersebut.

Ada beberapa alasan mengapa AI dalam game dan AI dalam kehidupan sehari-hari sangat berbeda. Salah satunya adalah karena AI pada game dan AI di kehidupan nyata punya fungsi dan tujuan yang berbeda. Dalam game, fungsi AI hanya satu, yaitu membuat pengalaman bermain para gamer menjadi lebih seru. Sementara dalam kehidupan nyata, AI punya fungsi yang berbeda-beda.

Contohnya Google, yang menggunakan AI pada berbagai produk mereka, mulai dari Search, Gmail, Maps, sampai Assistant. Walau sama-sama menggunakan AI, tapi fungsi AI pada masing-masing produk Google itu berbeda-beda. Di Gmail, AI berfungsi untuk mendeteksi email spam. Sementara di Search, fungsi AI adalah untuk menampilkan hasil yang paling relevan dengan kata kunci yang digunakan seorang pengguna. Dalam Maps, AI berfungsi untuk mencari rute terbaik atau memperkirakan kemacetan. Sementara Assistant harus bisa memahami perintah suara yang diberikan pengguna.

Alasan lain mengapa AI dalam game berbeda dari AI di kehidupan nyata adalah karena ruang lingkup game yang jauh lebih sempit. Jika dibandingkan dengan dunia nyata, dunia game jauh lebih kecil. Hal itu berarti, data yang bisa diakses oleh AI dalam game juga terbatas. Jadi, jangan heran jika AI dalam game cenderung stagnan sementara AI di kehidupan nyata akan terus berevolusi.

Selain itu, besar dana yang dikeluarkan perusahaan untuk membuat AI juga akan memengaruhi kualitas AI itu. Developer punya dana yang terbatas dalam membuat game. Sementara itu, perusahaan seperti Google atau Amazon punya dana yang jauh lebih besar. Sebagai perbandingan, pemasukan Alphabet, perusahaan induk Google pada 2020 mencapai US$182,5 miliar. Sementara sepanjang 2020, pemasukan Nintendo hanya mencapai US$12,12 miliar. Selain itu, performa AI pada Search atau situs e-commerce Amazon juga akan berdampak langsung pada pemasukan perusahaan. Karena itu, tidak heran jika mereka rela mengeluarkan dana besar untuk mengembangkan AI mereka.

Tak hanya di dunia gaming, AI juga pernah digunakan di ranah esports. Pada 2019, OpenAI mengadu AI buatan mereka — OpenAI Five — melawan OG, tim Dota 2 terbaik dunia ketika itu. Dalam pertandingan best-of-three, OpenAI berhasil menang 2-0.

Satu hal yang membedakan OpenAI Five dengan kebanyakan AI pada game adalah OpenAI Five bisa belajar. Faktanya, perusahaan OpenAI tidak memprogram Five agar bisa bermain Dota 2. Mereka membuat AI itu agar ia bisa belajar. Pada awalnya, AI itu sama sekali tidak mengerti bagaimana cara bermain Dota 2. Namun, setelah “latihan” selama 45 ribu tahun, AI tersebut dapat mengalahkan OG. Kemampuan OpenAI Five untuk belajar memungkinkan AI itu untuk terus berevolusi dan menyesuaikan strateginya dengan gaya bermain musuh.

Kabar baik bagi para pemain esports, OpenAI Five tidak dibuat untuk menggantikan posisi para pro player. Tujuan OpenAI membuat AI yang bisa bermain Dota 2 adalah untuk membuktikan bahwa sebuah AI bisa mengerjakan sesuatu yang kompleks, seperti bermain game MOBA. Dan jika AI bisa belajar bermain game, hal itu berarti AI juga akan bisa belajar cara untuk mengerjakan tugas kompleks di dunia nyata, lapor The Verge.

 

Bagaimana Cara Membuat AI?

Dalam membuat AI, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi masalah yang hendak diselesaikan. Di sini, seorang programmer harus bisa memjawab pertanyaan: masalah apa yang ingin saya selesaikan dengan AI? Memang, AI terbukti bisa mengerjakan tugas yang kompleks. Namun, hal itu bukan berarti AI bisa menyelesaikan semua masalah. Biasanya, AI digunakan untuk menyelesaikan satu masalah tertentu. Misalnya, di dunia kedokteran, ada AI yang digunakan untuk mendeteksi kanker paru-paru. Alasannya, kebutuhan akan radiologi semakin meningkat, sementara jumlah radiolog yang ada tidak mencukupi. Selain itu, AI ini dapat mendeteksi kanker paru-paru dengan lebih akurat.

Ketika seseorang hendak membuat AI untuk game atau AI yang bisa bermain game, langkah pertama yang harus dilakukan pun sama, yaitu mengidentifikasi masalah. Berikut video penjelasan tentang bagaimana seorang programmer membuat AI yang bisa bermain Fall Guys.

Dalam video di atas, Clarity Coders menjelaskan bahwa dia ingin membuat AI yang bermain layaknya manusia. Hal itu berarti, AI yang dia buat tidak akan mengeksploitasi bug dalam game. Dia juga menjelaskan bahwa dia akan membatasi aksi yang bisa diambil oleh AI. AI yang dia buat hanya bisa melakukan tiga hal, yaitu bergerak ke kiri dan ke kanan, serta melompat. AI itu tidak bisa melakukan aksi lain seperti dive.

Langkah kedua dalam membuat AI adalah menyiapkan data untuk melatih AI. Semakin banyak data yang Anda gunakan, semakin baik performa dari AI yang Anda buat. Pada dasarnya, ada dua jenis data yang bisa Anda gunakan. Pertama adalah data yang terstruktur, seperti nama, tanggal lahir, alamat dan sebagainya. Kedua adalah data tidak terstruktur, seperti gambar, audio, infografis, percakapan di email atau platform chatting, dan lain sebagainya. Dalam video Clarity Coders, data yang digunakan untuk melatih AI masuk dalam kategori data tak terstruktur, karena data berupa gambar screenshot dari beberapa ronde yang sang YouTuber mainkan.

Jika Anda menggunakan data tidak terstruktur untuk melatih AI, maka Anda harus “membersihkan” data itu terlebih dulu. Contohnya, ketika Anda ingin membuat AI yang bisa membedakan gambar antara kucing dan anjing, Anda tidak hanya harus menyiapkan sekumpulan gambar dari anjing dan kucing, tapi juga melabeli sekumpulan gambar tadi, untuk membedakan mana gambar kucing dan mana gambar anjing. Jadi, AI akan bisa mempelajari perbedaan antara gambar kucing dan anjing. Menurut Becoming Human, membersihkan data yang hendak digunakan untuk melatih AI merupakan salah satu bagian tersulit dalam membuat AI. Tidak sedikit AI designers yang menghabiskan 80% waktu mereka untuk melabeli, merapikan, dan memeriksa data yang hendak mereka gunakan untuk melatih AI.

Proses pembuatan AI. | Sumber: IT Chronicle
Proses pembuatan AI. | Sumber: IT Chronicle

Mengapa membersihkan data training set penting? Karena data itulah yang akan menentukan seberapa akurat/cerdas AI yang Anda buat. Dalam contoh di atas, AI bisa salah mengenali seekor anjing atau kucing jika data yang digunakan untuk melatihnya juga tidak akurat. Padahal, semakin akurat sebuah AI, semakin baik, apalagi jika AI digunakan untuk tugas penting, seperti mendeteksi kanker.

Ketika membuat AI yang bisa bermain Fall Guys, Clarity Coders mengumpulkan data training set dengan memainkan Fall Guys sambil menjalankan script Python untuk mengambil screenshot dan mencatat tombol yang dia tekan selama bermain. Tujuannya, agar AI bisa belajar kondisi dari keadaan sekelilingnya dan tahu kapan harus memencet tombol apa.

Langkah ketiga dalam mendesain AI adalah menentukan jenis algoritma yang akan digunakan. Salah satu tipe algoritma yang sering digunakan adalah reinforcement learning. Tipe algoritma ini digunakan dalam OpenAI Five. Pada dasarnya, reinforcement learning memungkinkan AI untuk belajar dari kesalahannya dan terus berevolusi. Dalam kasus OpenAI, ia pada awalnya tidak tahu bagaimana cara bermain Dota 2. Namun, setelah berlatih selama puluhan ribu tahun, ia bahkan bisa mengalahkan tim OG.

Setelah menentukan algoritma yang hendak Anda gunakan, tahap berikutnya adalah memilih bahasa programming untuk membuat AI. Ada berbagai bahasa programming yang bisa digunakan untuk membuat AI, seperti C++, Java, Python, dan lain sebagainya. Kemudian, Anda tinggal memilih platform yang hendak Anda gunakan. Kabar baiknya, semakin banyak perusahaan yang membuat platform untuk membuat AI, seperti Microsoft Azure Machine Learning dan Google Cloud Prediction API.

 

Bahasa Programming dan Platform Apa yang Bisa Digunakan?

Python merupakan salah satu bahasa programming yang paling populer untuk membuat AI. Salah satu alasannya adalah karena Python sederhana dan mudah dipahami. Alasan lainnya adalah karena Python punya komunitas yang besar. Menurut Developer Survey 2018 oleh Stack Overflow, Python masuk dalam daftar 10 bahasan programming paling populer. Hal itu berarti, Anda bisa bertanya pada komunitas ketika Anda menemui masalah.

Hasil pencarian dari bahasa programming. | Sumber: Economist
Hasil pencarian dari bahasa programming. | Sumber: Economist

Alasan ketiga, dan yang paling penting, mengapa Python populer sebagai bahasa programming untuk AI adalah karena Python punya banyak library. Library adalah sekumpulan kode yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah umum. Dengan menggunakan library, Anda tidak perlu membuat kode dari nol. Anda tinggal mencari library yang sesuai dengan kebutuhan Anda. Misalnya, Anda ingin membuat AI yang bisa mengolah gambar, Anda bisa menggunakan library Python seperti NumPy atau OpenCV. Sementara jika Anda ingin mendesain AI yang fungsi utamanya melibatkan audio, ada library Librosa.

Dalam video Clarity Coders, dia menggunakan library Pandas dan fast.ai. Pandas library biasanya digunakan untuk pemprosesan dan analisa data. Sementara fast.ai library menyediakan komponen-komponen yang bisa dibongkar-pasang sesuai kebutuhan pengguna. Soal platform, dia menggunakan Google Colab. Platform Google Colab memungkinkan Anda untuk menulis kode berdampingan dengan teks biasa. Tak hanya itu, Google Colab juga bisa digunakan untuk melatih AI menggunakan data training set yang telah Anda siapkan. Dengan begitu, Anda tidak perlu lagi membeli komputer seharga puluhan juta untuk melatih AI Anda. Yang lebih menarik, Google Colab bisa Anda gunakan secara gratis.

Selain Google Colab, platform lain yang bisa Anda gunakan untuk membuat AI adalah Gradient. Sama seperti Colab, Gradient juga bisa digunakan secara gratis. Meskipun begitu, keduanya juga menyediakan opsi berbayar. Memang, jika Anda menggunakan versi gratis, daya komputasi yang bisa Anda gunakan pun terbatas. Meskipun begitu, daya komputasi yang Gradient sediakan dalam versi gratis pun sudah cukup memadai jika Anda hanya tertarik untuk belajar tentang AI dan machine learning. Opsi Free-GPU dari Gradient menawarkan CPU 8 core, RAM 30GB, dan NVIDIA Quadro M4000 sebagai GPU.

 

Penutup

Elon Musk sempat berpendapat bahwa AI lebih berbahaya dari nuklir. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri bahwa keberadaan AI memang membuat hidup kita menjadi lebih mudah. Salah satu contoh penggunaan AI pada kehidupan sehari-hari adalah pada fitur face detection di smartphone Anda. Tak hanya itu, AI juga digunakan oleh perusahaan transportasi untuk mengatur jadwal. Dan AI sudah muncul dalam game sejak lama.

Dalam game, keberadaan AI membuat pengalaman bermain menjadi lebih seru. Menariknya, game terkadang digunakan sebagai tolok ukur kecanggihan sebuah AI. Karena itulah, ada perusahaan yang tertarik untuk membuat AI yang bisa bermain go atau bahkan Dota 2. Tak hanya perusahaan, masyarakat secara luas pun semakin tertarik dengan AI. Buktinya, di YouTube, Anda bisa menemukan banyak video yang menunjukkan cara membuat AI sederhana, seperti AI yang bisa bermain Flappy Bird dan 2048.

Popularitas AI yang terus naik berarti semakin banyak perusahaan yang bersedia untuk membuat platform pengembangan AI. Beberapa platform itu bahkan bisa digunakan secara gratis. Hal ini akan membuat pembelajaran dan pengembangan AI menjadi lebih mudah diakses oleh lebih banyak orang. Pasalnya, melalui platform ini, Anda bisa membuat dan melatih AI Anda tanpa harus punya komputer mahal.

Rahasia Dari Balik Dapur, Inilah Cerita Seorang Head Chef Tim Esports

Untuk menjadi pemain profesional yang sukses, seseorang tidak hanya harus jago di game yang dia mainkan. Kebugaran fisik serta asupan gizi juga punya peran penting dalam memastikan performa para pemain profesional tetap optimal. Karena itulah, ada beberapa organisasi esports yang mempekerjakan chef untuk memastikan para pemainnya mendapatkan asupan gizi seimbang. Salah satu organisasi esports yang punya chef adalah T1 dari Korea Selatan.

Ialah Kim “Alex” Jae-hyeong, head chef dari T1. Setiap waktu makan, dia dan krunya harus membuat makanan sekitar 90-100 porsi. Tak hanya itu, mereka juga bahkan bertanggung jawab untuk membuat snack pada malam hari jika ada pemain yang memang masih ingin makan camilan. Berikut cerita Alex.

Sebelum bekerja sebagai head chef T1, Alex pernah bekerja di restoran biasa, restoran keluarga, restoran franchise, dan bahkan rumah sakit untuk rehabilitasi. Ketika dia mendapat tawaran untuk bekerja di T1, dia sempat ragu. Pasalnya, dia tahu bahwa T1 punya fans di berbagai negara. Dia khawatir dia justru akan menjadi beban.

Head Chef dari T1, Kim “Alex” Jae-hyeong. | Sumber: InvenGlobal
Head Chef dari T1, Kim “Alex” Jae-hyeong. | Sumber: InvenGlobal

“Saya fans lama T1,” kata Alex, seperti dikutip dari InvenGlobal. “Saya sudah suka dengan T1 sejak era Starcraft. Saya menonton BoxeR bermain. Saya pernah bekerja di restoran franchise. Di sanalah, saya bertemu dengan salah satu eksekutif SK Telecom. Dia lalu menawarkan saya untuk bekerja di gedung T1 yang baru. Saya sangat terkejut.”

Sebagai head chef, Alex selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik pada para pemain T1. Dia melakukan hal ini tidak hanya karena dia merupakan penggemar T1, tapi karena dia memang punya dedikasi tinggi sebagai seorang chef. Salah satu contoh dedikasinya, dia selalu memilih bahan segar untuk membuat makanan. Dia bercerita, dia selalu menggunakan bahan masakan yang berkualitas. Jika bahan makanan yang dia pesan tidak memenuhi standar, dia akan mengirimkan bahan itu kembali.

 

Kebiasaan Pemain Esports Saat Makan

Setelah menyiapkan makanan, Alex juga memerhatikan bagaimana para pro player mengonsumsi makanan yang dia buat. “Saya menyadari dua hal. Pertama, kebanyakan pemain profesional menghabiskan makanan dengan cepat. Mereka bisa selesai makan hanya dalam waktu 5-10 menit. Dan mereka selalu makan sampai habis,” ujar Alex. “Karena mereka senang makanan yang bisa mereka konsumsi dengan cepat, saya biasanya membuat masakan yang menjadikan lauk sebagai topping dari nasi.”

Alex menambahkan, para pemain T1 juga biasanya lebih senang makan makanan yang tidak bertulang. Dia bercerita, setiap dia memasak ayam, dia harus menggunakan daging ayam tanpa tulang. Tujuannya adalah agar para pemain bisa mengonsumsi makanan dengan lebih mudah dan cepat. Begitu juga ketika dia memasak ikan. Biasanya, dia memilih ikan yang memang tak bertulang atau dia akan menghilangkan tulang pada ikan sebelum memasaknya.

Contoh masakan yang dibuat oleh para chef T1. | Sumber: InvenGlobal
Contoh masakan yang dibuat oleh para chef T1. | Sumber: InvenGlobal

Kebanyakan pemain T1 memang makan dengan cepat. Namun, Lee “Faker” Sang-hyeok merupakan anomali. “Faker makan pelan-pelan. Biasanya, dia menghabiskan waktu sekitar 30 menit di kafetaria untuk makan. Sementara para pro players lainnya, walau mereka makan pelan-pelan, mereka tetap lebih cepat dari kebanyakan orang biasa. Tampaknya, Faker memang orang yang unik, bahkan ketika sedang makan.”

Daging merupakan lauk favorit para pemain T1. Alex memberikan beberapa contoh makanan favorit para pemain T1 yaitu Galbi-jjim (semur iga), bulgogi, dan vongole. Dia mengaku merasa beruntung karena para pemain T1 tidak pilih-pilih makanan dan tidak pernah protes soal makanan yang dibuat oleh para chef.

“Salah satu alasan kenapa saya sering memasak daging adalah karena para pro players memang suka daging. Alasan lainnya adalah karena mereka punya jadwal yang ketat, jadi mereka perlu stamina,” ungkap Alex. “Tapi, saya juga berusaha untuk memasak sayuran. Saya khawatir mereka tidak mendapatkan nutrisi yang seimbang. Menjaga kesehatan para pemain adalah salah satu prioritas kami.”

 

Resep Rahasia di Kafe T1

Alex mengungkap dana yang dikeluarkan oleh T1 untuk dapur tidak lebih dari kebanyakan kafetaria. Meskipun begitu, dia dan rekan-rekannya selalu dapat memuaskan para pemain T1. Tidak hanya itu, para fans juga kaget melihat berbagai makanan lezat yang disajikan oleh dapur T1. Memang, T1 bahkan punya akun Instagram khusus untuk menampilkan masakan yang mereka buat.

“Kami punya akun Instagram untuk hasil masakan di kafe T1. Para chef akan mengambil gambar dari proses memasak dan makanan yang telah jadi. Para pemain dan staf T1 biasanya turut memberikan komentar,” kata Alex. “Saya selalu bangga. Para fans biasanya selalu berkomentar setelah melihat makanan yang kami sajikan.”

Alex bercerita, salah satu rahasianya untuk membuat makanan enak dengan dana terbatas adalah mencari bahan yang tepat. Para chef T1 biasanya memilih bahan makanan berdasarkan harga pasar. Misalnya, ketika selada sedang musim, mereka akan membuat menu yang menggunakan selada. Dengan begitu, mereka bisa menghemat dana yang mereka miliki. Sesekali, mereka bisa memasak masakan mewah seperti lobster.

Sebagai head chef, Alex sepenuhnya bertanggung jawab untuk mengurus jadwal menu. Untuk itu, dia melakukan riset melalui Instagram dan media digital lainnya. Dia mengungkap, salah satu cara untuk membuat para pemain T1 tidak merasa bosan dengan masakan yang dia buat adalah dengan secara rutin mengganti menu makanan dari menu Korea, Tiongkok, dan juga Jepang. Selain itu, dia juga selalu menanyakan makanan favorit para pemain.

Alex melarang chef lain melakukan pre-cooking. | Sumber: InvenGlobal
Alex melarang chef lain melakukan pre-cooking. | Sumber: InvenGlobal

Alex juga punya peraturan lain di dapurnya, yaitu tidak melakukan pre-cooking. Jadi, para chef hanya akan mengolah bahan makanan ketika mereka memang hendak memasak makanan. Misalnya, dia baru mulai memotong daging ketika dia hendak mempersiapkan makanan untuk para pemain T1. Alasannya adalah untuk memastikan agar rasa dari masakan yang dia buat tetap enak.

“Jika kami menyiapkan makanan sebelum diminta, akan ada makanan yang tersisa. Dan ketika makanan sudah dingin, rasanya jadi tidak terlalu enak. Kami biasanya berusaha untuk memasak makanan ketika para pemain memintanya. Kami bahkan tidak memotong bahan yang diperlukan sebelum memasak. Karena hal itu bisa memengaruhi rasa makanan,” jelas Alex. “Seorang chef punya tugas untuk memeriksa bahan makanan apa yang tersisa dan ada berapa pemain yang sedang di kafetaria. Dengan begitu, kami bisa menyajikan makanan dengan tepat waktu.”

Keuntungan lain yang didapat dengan tidak melakukan pre-cooking, ungkap Alex, adalah meminimalisir jumlah makanan yang dibuang. Dengan begitu, para chef akan bisa menghemat dana yang mereka punya sehingga mereka bisa membuat masakan khusus sesekali. Meskipun begitu, Alex mengaku, dia tetap tidak bisa membuat makanan yang disukai semua orang.

“Saya ingin tahu apa yang para pemain suka dan tidak suka sehingga saya bisa membuat masakan yang mereka suka saja,” kata Alex. “Selama ini, kami hanya punya dua menu utama. Tapi, tetap sulit bagi kami untuk membuat masakan yang disukai semua orang. Saya rasa, ke depan, proses memasak untuk para pemain akan menjadi lebih efisien.”

Credits: T1
Credits: T1

T1 bukan satu-satunya organisasi esports yang mempekerjakan chef untuk memastikan para pemainnya mendapatkan asupan gizi seimbang. Ketika pindah ke markas barunya di Utrecht, Belanda, Team Liquid juga mempekerjakan seorang chef. Sementara itu, Counter Logic Gaming (CLG), organisasi esports asal Amerika Serikat, tak hanya menunjuk Andrew Tye sebagai Head Food Operations, mereka juga mempekerjakan seorang ahli gizi. Sama seperti Alex, prioritas Tye adalah memastikan para pemain CLG punya stamina yang cukup untuk melakukan kegiatan mereka sehari-hari.

Sumber header: Tempus Magazine

Penonton Esports Akan Mencapai 474 Juta Orang di 2021

Pandemi virus corona pada 2020 memberi dampak positif dan negatif pada industri esports. Di satu sisi, jumlah penonton konten esports bertambah dan esports menjadi lebih dikenal oleh masyarakat luas. Pasalnya, banyak kompetisi olahraga tradisional yang diganti dengan turnamen esports, mulai dari sepak bola sampai balapan. Di sisi lain, pandemi membuat turnamen esports tidak bisa diselenggarakan secara offline. Hal ini berdampak pada beberapa sumber pemasukan pelaku esports, seperti penjualan tiket pertandingan langsung serta penjualan merchandise.

Belum lama ini, Newzoo kembali merilis laporan terbaru terkait keadaan industri esports. Di laporan itu, Newzoo membahas tentang prediksi pemasukan industri esports untuk tahun ini. Selain itu, mereka juga membahas tentang industri game streaming, yang masih punya kaitan erat dengan dunia esports. Berikut ulasannya.

 

Pemasukan Industri Esports

Pemasukan industri esports pada 2021 diperkirakan akan mencapai US$1,084 miliar. Angka itu naik 14,75% jika dibandingkan dengan pemasukan industri esports pada tahun lalu, yang hanya mencapai US$947,1 juta. Memang, pada awal tahun 2020, nilai industri esports sebenarnya diperkirakan akan menembus US$1 miliar pada tahun itu. Namun, pandemi virus corona menyebabkan beberapa masalah pada para pelaku industri esports. Alhasil, Newzoo memutuskan untuk menyesuaikan perkiraan pemasukan industri esports pada tahun lalu.

Faktanya, dampak negatif pandemi masih akan dirasakan oleh pelaku industri esports pada tahun ini. Dua sumber pemasukan yang masih terdampak adalah penjualan tiket dan merchandise. Keduanya diperkirakan masih akan mengalami penurunan pada tahun ini. Memang, walau dunia mulai pulih, belum banyak kompetisi esports yang akan diselenggarakan secara offline. Kabar baiknya, pemasukan industri esports dari segmen lain — seperti hak siar media dan sponsorship — diperkirakan tidak akan mengalami penurunan.

Sumber pemasukan indusstrii esports. | Sumber: Newzoo
Sumber pemasukan indusstrii esports. | Sumber: Newzoo

Saat ini, sponsorship masih menjadi sumber pemasukan utama bagi para pelaku industri esports. Pada 2021, total pemasukan dari hak siar media dan sponsorship mencapai US$833,6 juta atau lebih dari 75% dari total pemasukan esports global. Meskipun begitu, jumlah kontrak sponsorship baru pada 2020 lebih sedikit daripada tahun 2019.

Pada 2019, ada 454 kontrak sponsorship baru yang ditandatangani. Sementara pada 2020, angka itu turun menjadi 358 kontrak. Salah satu alasannya adalah karena ketidakpastian di industri esports selama pandemi. Alasan lainnya adalah karena beberapa perusahaan lebih memilih untuk membuat kontrak sponsorship yang berjalan selama lebih dari satu tahun. Jadi, mereka tidak perlu memperbarui kontrak setiap tahun.

Tiongkok masih menjadi negara dengan pasar esports terbesar. Secara keseluruhan, Tiongkok memberikan kontribusi US$360,1 juta pada total pemasukan industri esports global. Pemasukan industri esports di Tiongkok naik 14% dari US$315 juta pada tahun lalu. Pasar esports terbesar kedua adalah Amerika Utara, dengan pemasukan sebesar US$243 juta, diikuti oleh Eropa Barat, yang memiliki pemasukan sebesar US$205,8 juta.

Jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo
Jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo

Pada 2021, tidak hanya pemasukan industri esports yang diperkirakan akan naik, tapi juga jumlah penonton esports. Tahun ini, audiens esports diperkirakan akan mencapai 474 juta orang, naik 8,7% dari tahun lalu. Dari ratusan juta penonton itu, sekitar 234 juta orang merupakan esports enthusiasts, yaitu orang-orang yang menonton konten esports lebih dari satu kali dalam sebulan. Sisanya masuk dalam kategori occasional viewers alias orang-orang yang menonton konten esports kurang dari satu kali dalam sebulan.

Tiongkok juga menjadi negara dengan jumlah esports enthusiasts terbanyak. Di Negara Tirai Bambu itu, diperkirakan ada 92,8 juta esports enthusiasts. Dua negara lain dengan jumlah esports enthusiasts terbanyak adalah Amerika Serikat dan Brasil. Sementara itu, pemasukan per esports enthusiast pada 2021 sedikit naik menjadi US$4,53 dari US$4,4 pada 2020. Hanya saja, angka ini masih lebih rendah pada pemasukan per esports enthusiast pada 2019, yang mencapai US$4,86. Kabar baiknya, pada 2022, setelah kompetisi esports offline kembali digelar, pemasukan per esports enthusiast diduga akan naik menjadi US$5,25.

 

Pemasukan Industri Game Streaming

Sepanjang 2020, viewership dari berbagai platform game streaming terus naik. Tren ini tampaknya masih akan berlanjut hingga 2021. Menurut perkiraan Newzoo, jumlah penonton live-streaming konten gaming akan mencapai 728,8 juta orang pada 2021, naik 10% dari tahun lalu. Sementara tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun (CAGR) dari penonton game streaming mencapai 9,2%. Hal itu berarti, pada 2024, jumlah audiens game streaming diperkirakan akan mencapai 920,3 juta orang.

Pandemi memang menjadi salah satu faktor mengapa jumlah penonton game streaming pada 2020 naik pesat. Lockdown mengharuskan orang-orang untuk tetap di rumah. Jadi, banyak orang yang akhirnya menghabiskan lebih banyak waktunya di dunia online, baik dengan bermain game maupun menonton siaran langsung dari streamer favorit mereka. Meskipun begitu, setelah pandemi teratasi, Newzoo memperkirakan, pertumbuhan jumlah penonton game streaming akan kembali normal.

Newzoo memperkirakan, hingga 2024, angka CAGR di negara-negara berkembang akan mencapai lebih dari 10%. Misalnya, pertumbuhan rata-rata jumlah penonton game streaming per tahun di Asia Tenggara dan Asia Tengah Selatan adalah 14,8%, sementara CAGR di Timur Tengah dan Afrika mencapai 15,1% dan di Amerika Latin 14%. Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu alasan mengapa jumlah audiens game streaming di negara-negara berkembang terus tumbuh. Alasan lainnya adalah semakin populernya mobile esports. Faktanya, di negara-negara seperti India dan Brasil, keberadaan mobile esports jadi salah satu pendorong pertumbuhan jumlah penonton game streaming.

Jumlah penonton konten game streaming. | Sumber: Newzoo
Jumlah penonton konten game streaming. | Sumber: Newzoo

Melihat betapa populernya konten gaming, tidak heran jika ada banyak perusahaan yang membuat atau mengakuisisi platform game streaming. Saat ini, Twitch dari Amazon masih mendominasi pasar game streaming global. Namun, di beberapa negara, termasuk Indonesia, Twitch justru kalah populer. Misalnya, di Asia Tenggara, platform game streaming yang paling populer adalah Facebook Gaming, diikuti oleh YouTube Gaming. Begitu juga di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.

Sementara di Amerika Latin, YouTube Gaming jadi platform game streaming nomor satu, diikuti oleh Twitch dan Facebook Gaming. Di Jepang, YouTube Gaming juga jadi platform game streaming paling populer. Twitch sukses menjadi platform game streaming nomor satu di kawasan Amerika Utara, Oceania, dan Eropa. Sementara di Tiongkok, platform game streaming yang populer adalah platform lokal, seperti Huya dan DouYu. Pada awalnya, keduanya merupakan rival. Namun, pada Oktober 2020, dua perusahaan Tiongkok itu mengumumkan rencana mereka untuk merger.

Sumber: VentureBeat, The Esports Observer

RRQ Rekrut Tim Wild Rift, BOOM Esports Melaju ke VALORANT Masters SEA

Minggu lalu, ada beberapa kabar baik dari dunia esports Tanah Air. Salah satunya, BOOM Esports berhasil menang di VCT Challengers Indonesia – Stage 1 Week 3. Hal itu berarti, mereka akan mewakili Indonesia bersama NXL Ligagame di VALORANT Masters SEA. Sementara itu, RRQ merekrut tim Wild Rift baru di Filipina. Tim itu akan langsung berlaga di SEA Icon Series: Preseason.

RRQ Buat Tim Wild Rift di Filipina

Melalui Instagram, RRQ mengumumkan roster baru mereka untuk League of Legends: Wild Rift. Tim ini akan bermarkas di Filipina. Mereka juga akan langsung ikut serta dalam Wild Rift SEA Icon Series: Preseason pada 20-21 Maret 2021.

Anggota tim Wild Rift RRQ terdiri dari:

Ecila – Baron lane (Top lane)
Chazz – Jungler
Helios – Mid lane
V1PER – Dragon lane (ADC)
Danyel – Support

Tim Wild Rift RRQ di Filipina. | Sumber: Instagram
Tim Wild Rift RRQ di Filipina. | Sumber: Instagram

Edho Zell Buat Tim Esports, SAGA Esports

YouTuber Edho Zell memutuskan untuk terjun ke dunia esports dengan membuat tim esports bernama SAGA Esports. Selain itu, dia juga membuat akademi esports yang dinamai Esports Academy ID. Edho Zell mengaku, dia memang sudah tertarik dengan dunia esports sejak lama. Dia mengungkap, dia sering bermain game-game esports seperti Call of Duty dan Overwatch. Tidak jarang, dia bermain bersama pemain profesional Arza Satria. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja sama dengan Arza untuk membuat Esports Academy ID dan SAGA Esports, lapor Antara.

GoodGamingShop Buka Experience Zone, Jadi Tempat Gamer Coba Gaming Gear

GoodGamingShop – The Experience Zone resmi dibuka pada akhir Februari 2021 lalu. Tujuan Experience Zone ini dibuka adalah untuk memudahkan para gamer mencoba berbagai perangkat gaming yang ingin mereka beli. Di sisi lain, Experience Zone tersebut juga bisa menjadi tempat bagi para merek gaming untuk memamerkan produk mereka.

Grand Opening dari GGS Experience Zone.
Grand Opening dari GGS Experience Zone.

GoodGamingShop (GGS) didirikan pada 12 tahun lalu. Visi dan misi dari GGS adalah menyediakan perangkat gaming lengkap bagi para gamer Indonesia. Harapannya, hal ini juga akan memajukan dunia esports di Tanah Air.

BOOM Esports Jadi Salah Satu Wakil Indonesia di VALORANT master

BOOM Esports akan menjadi salah satu tim yang mewakili Indonesia di turnamen VALORANT Masters tingkat Asia Tenggara. Hal ini mereka ungkap melalui akun Facebook resmi mereka. VALORANT Masters merupakan bagian dari VALORANT Champions Tour (VCT). Sebelum ini, NXL Ligagame telah terlebih dulu terpilih sebagai wakil Indonesia setelah memenangkan VCT 2021: Indonesia Stage 1 Challengers 2. BOOM Esports mendapatkan tiket untuk berlaga di VALORANT Masters setelah mengalahkan Alter Ego 3-0 di Final Qualifier Week 3.

ESL Gaet Krafton untuk Gelar Seri Turnamen PUBG Baru

ESL bekerja sama dengan Krafton untuk meluncurkan seri turnamen PUBG baru, yaitu ESL PUBG Masters. Seri turnamen itu akan terdiri dari empat turnamen yang diadakan di Amerika dan Eropa. Masing-masing turnamen akan menawarkan total hadiah sebesar US$50 ribu. Selain mendapatkan hadiah, tim yang bertanding di ESL PUBG Masters punya kesempatan untuk mendapatkan PUBG Global Championship (PGC) Qualification Points, menurut laporan Esports Insider.

Sumber header: Facebook

Genshin Impact Jadi Mobile Game Terbesar Ke-3, OPPO Jadi Sponsor Liga Peacekeeper Elite

Minggu lalu, ada dua perusahaan esports yang mendapatkan kucuran dana segar, yaitu Envy Gaming dari Amerika Serikat dan NODWIN Gaming dari India. Selain itu, studio asal Malaysia mengumumkan bahwa mereka akan merilis game horror mereka, Dying Flame, pada akhir Maret 2021. Sementara itu, Sensor Tower mengungkap bahwa versi mobile dari Genshin Impact berhasil mendapatkan lebih dari US$800 juta hanya dalam lima bulan.

Dalam 5 Bulan, Genshin Impact Jadi Mobile Game Terbesar Ke-3

Menurut perkiraan Sensor Tower, sejak Genshin Impact diluncurkan pada 28 September 2020, miHoYo telah mendapatkan US$874 juta dari versi mobile dari game tersebut. Hal itu berarti, Genshin Impact berhasil menjadi mobile game dengan pemasukan terbesar nomor tiga hanya dalam waktu lima bulan. Posisi pertama diduduki oleh Honor of Kings, dengan pemasukan US$1,2 miliar, sementara posisi kedua diduduki oleh PUBG Mobile, yang memiliki pemasukan sebesar US$1,1 miliar.

Lima game dengan pemasukan terbesar dalam lima bulan terakhir. | Sumber: Sensor Tower
Lima game dengan pemasukan terbesar dalam lima bulan terakhir. | Sumber: Sensor Tower

Gamer Tiongkok menjadi kontributor terbesar pada pemasukan miHoYo. Sejauh ini, pemasukan Genshin Impact dari App Store di Tiongkok mencapai US$253 juta atau sekitar 29% dari total pemasukan Genshin Impact versi mobile.

OPPO dan Snapdragon Jadi Sponsor dari Liga Peacekeeper Elite

Perusahaan solusi esports asal Tiongkok, VSPN dan publisher Tencent baru saja mengumumkan rencana mereka terkait skena Peacekeeper Elite — PUBG Mobile versi Tiongkok — untuk tahun ini. Leo Liao, Marketing Director of Tencent Interactive Entertainment Group dan President of Peace Elite League (PEL) mengungkap, PEL 2021 akan didukung oleh delapan sponsor.

Perusahaan smartphone OPPO merupakan salah satu sponsor utama dari PEL. Selain itu, PEL juga akan didukung oleh tiga rekan strategis, yaitu Warhorse, Buick, dan Snapdragon dari Qualcomm. Empat perusahaan lain yang akan mensponsori PEL antara lain layanan chatting GOGO, platform e-commerce JingDong Esports, Suansuanru, dan merek permen karet Stride, lapor The Esports Observer. Liao juga menyebutkan, turnamen tahunan Peacekeeper Elite Championship (PEC) akan diadakan di Shanghai Mercedes-Benz Arena pada tahun ini. Turnamen itu menawarkan total hadiah sebesar RMB12 juta (Rp26,6 miliar).

Super League Gaming Akuisisi Mobcrush

Minggu lalu, Super League Gaming mengumumkan bahwa mereka akan mengakuisisi platform streaming Mobcrush. Dalam setahun, Mobcrush telah menyiarkan dua juta jam konten dari gaming influencer. Selain itu, mereka juga bisa menyiarkan konten mereka di platform lain seperti Twitch, YouTube, Facebook, dan lain sebagainya, menurut Games Industry.

Salah satu alasan Super League Gaming mengakuisisi Mobcrush adalah untuk menumbuhkan jumlah penonton mereka. Alasan lainnya adalah karena mereka ingin menggunakan platform live streaming Mobcrush serta software berbasis AI yang bisa menampilkan highlight dari sebuah pertandingan. Selain itu, Super League Gaming juga tertarik dengan Virtualis Studio, divisi Mobcrush yang fokus pada produksi konten berbasis cloud.

Game Horror dari Malaysia, Dying Flame, Bakal Rilis 22 Maret 2021

RoundTable Games dari Malaysia, tengah membuat game survival horror berjudul Dying Flame. Game ini memiliki grafik 16-bit dan punya fitur-fitur khas RPG horor dari Jepang. Puzzle-solving menjadi salah satu fitur utama dari game tersebut. Selain itu, Anda juga harus waspada akan jump scare di Dying Flame. Pasalnya, Anda tidak akan bisa melihat keadaan sekeliling dengan leluasa karena keterbatasan sumber cahaya, seperti yang disebutkan oleh IGN.

Dying Flame bercerita tentang James, yang terjebak di sebuah mansion tua bersama istrinya, Mary. Hanya saja, keduanya terpisah. Berbekal korek api, James harus menemukan Mary. Selama mencari Mary, para pemain tidak hanya harus memecahkan puzzle yang ada, tapi juga waspada akan keberadaan monster di mansion itu. Dyng Flame akan dirilis di Steam pada 22 Maret 2021.

Envy Gaming Dapat Investasi Sebesar US$40 Juta

Organisasi esports asal Amerika Serikat, Envy Gaming, mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan investasi sebesar US$40 juta. Ronde investasi ini dipimpin oleh perusahaan media, Gray Television. Mereka menanamkan modal sebesar US$28,5 juta pada ronde pendanaan Seri C untuk Envy Gaming. Dengan ini, Gray Television akan mendapatkan dua kursi direktur di dewan direktur Envy Gaming, lapor Esports Insider.

Krafton Suntik Dana Rp325 Miliar ke NODWIN Gaming dari India

Krafton, perusahaan game asal Korea Selatan, menanamkan investasi sebesar 164 Crore (sekitar Rp325,3 miliar) ke NODWIN Gaming, perusahaan esports asal India. Modal ini akan NODWIN Gaming gunakan untuk mempercepat ekspansi mereka di Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika, menurut laporan Esports Insider. Dengan kucuran dana segar ini, NODWIN juga bisa memperkuat infrastruktur gaming mereka, mendukung para talent, dan menyelenggarakan berbagai turnamen esports, baik pada tingkat nasional di India maupun di level internasional.

Sumber header: Game Reactor