Epic Esports Events Bakal Adakan Omega League Season 2

Epic Esports Events mengumumkan bahwa mereka akan menyelenggarakan Omega League season 2. Pada musim pertama, Omega League mempertemukan 62 tim Dota 2 dari 4 benua yang berbeda. Puluhan tim tersebut lalu dibagi ke dalam 5 divisi. Setiap divisi dalam Omega League menawarkan hadiah yang beragam, mulai dari US$8,5 ribu sampai US$500 ribu.

Divisi Immortal dari Eropa merupakan kompetisi utama yang mempertemukan tim-tim terbaik Dota 2, termasuk juara The International 2019, OG. Tim-tim Dota 2 tangguh lainnya, seperti Alliance, Team Liquid, Nigma, dan Team Secret yang menjadi juara Omega League Season 1, juga akan ikut serta dalam Season 2.

Omega League Season 2
Team Secret jadi juara dari Omega League Season 1. | Sumber: Dot Esports

Omega League Season 2 akan menawarkan total hadiah US$500 ribu untuk divisi utama dan US$50 ribu untuk divisi kedua. Turnamen tersebut akan dimulai pada 28 Oktober 2020 sampai 13 Desember 2020. Pada Season 1, WePlay! Esports ikut serta dalam penyelenggaraan Omega League. Mereka juga bertanggung jawab atas siaran konten berbahasa Inggris. Namun, kali ini, mereka tidak disebutkan sebagai rekan Epic Esports Events, menurut laporan The Esports Observer.

“Format dari Omega League Season 1 terbukti sukses. Dan kami telah memperbaiki format tersebut sehingga komunitas Dota 2 bisa semakin menikmati Omega League Season 2,” kata Mark Averbukh, Product Director, Epic Esports Events, seperti yang disebutkan oleh VP Esports. “Kami harus terus mengadakan turnamen esports karena kami tak ingin para fans Dota 2 kehilangan tontonan favorit mereka dan para tim tak punya kesempatan untuk unjuk gigi!”

Sama seperti pada Season 1, Omega League 2 terbagi ke dalam 2 divisi. Hanya saja, kali ini, hanya ada 10 tim yang ikut serta dalam masing-masing divisi. Sepuluh tim yang masuk dalam divisi pertama akan dipecah dalam 2 grup dan saling beradu dengan format round robin.

Empat tim terbaik akan langsung lolos ke babak playoff divisi pertama. Dan 2 tim yang ada di peringkat terakhir akan bertanding di divisi 2. Sementara itu, tim yang duduk di peringat 5-8 harus beradu dengan 4 tim terbaik dari divisi 2 di babak play-in. Tim yang menang dalam babak play-in ini akan masuk ke lower bracket dari babak playoff divisi pertama. Sementara tim yang kalah akan bertanding di divisi 2.

Aiming on Gen Z and Gen Alpha, F1 Launches F1 Mobile Racing Esports Series

Formula 1 entered esports in 2017. At that time, they started by doing F1 Esports. Monday, 7 September 2020, F1 launched new esports tournament, F1 Mobile Racing Esports Series. This virtual race is aiming for the mobile gaming market. F1 Mobile Racing, made by Codemasters, will be played in the competition.

“Mobile esports is a booming industry as Gen Zs and Gen Alpha spend more time gaming and on their phones. We see huge potential to develop our product set and expertise in this area in our ongoing effort to reach out and build our younger fanbase, providing ever more touchpoints for them to engage with Formula 1.” Said Julia Tan, Head of Digital Business Initiaves and Esports, Formula 1, cited from Esports Insider.

F1 Mobile Racing Esports Series
F1 Mobile Racing

F1 Mobile Racing Esports Series will start on September 2020. The qualifying round will run for the next 3 months. Qualified racers will continue to the final rounds, on December 2020. Final rounds will run for 9 days.

Besides holding mobile esports competition, F1 will carry on F1 Esports Series. Backed by Aramco, this tournament already enters its fourth season.

“This is part of F1’s strategy to continue making the sport more accessible to our fans through gaming and esports, especially with F1 Mobile Racing developed by Codemasters being completely free to download and with participation being free and open to all. We are excited to kick off our search for our inaugural F1 Mobile Racing Esports Champion 2020!” Said Tan.

Last month, F1 also announced their F1 Esports Pro Series. That competition will feature US$750,000 (around IDR 11.2 billion) prize pool. Since the pandemic, esports industry, especially racing simulation, has been growing rapidly. It’s no wonder since there are many races replaced by esports tournament. On March 2020, F1 held Virtual Grand Prix to replace cancelled Grand Prix.

The original article is in Indonesian, translated by Yabes Elia.

Sistem Monetisasi Game Apa yang Paling Sering Dipakai Developer Indonesia?

Dalam 10 tahun terakhir, industri game terus berevolusi. Bukan hanya genre game baru yang bermunculan, tapi juga model monetisasi baru. Saat ini, ada 4 model monetisasi yang lazim digunakan oleh developer game. Pertama adalah model sekali bayar. Biasanya, model monetisasi ini digunakan untuk game PC atau konsol premium, sebut saja franchise Assassin’s Creeds, Dark Souls, The Witcher, dan lain sebagainya.

Kedua, model monetisasi subscription atau berlangganan. Model monetisasi ini menjadikan game sebagai sebuah layanan (game-as-a-service alias GAAS). Biasanya, developer yang membuat game dengan model monetisasi berlangganan akan terus meluncurkan konten baru. Tujuannya, agar pemain betah memainkan game buatannya dan rela untuk mengeluarkan uang saat bermain game itu. World of Warcraft adalah salah satu contoh dari game yang menggunakan sistem biaya berlangganan.

Dua model monetisasi lainnya adalah iklan dan in-app purchase. Biasanya, 2 model monetisasi ini digunakan untuk game-game yang bisa dimainkan gratis. Terkadang, Anda akan menemukan 2 model monetisasi ini digunakan dalam satu game, walau tidak selalu. Dalam model monetisasi in-app purchase, developer biasanya menawarkan item yang bisa pemain beli. Item tersebut beragam, bisa berupa item kosmetik ataupun item power-up, yang memunculkan game-game pay-to-win.

Saya mewawancarai 4 orang dari 4 developer yang berbeda-beda untuk mengetahui tentang sistem monetisasi yang digunakan oleh developer lokal.

 

Developer Game5Mobile

Steve Lie, CEO Game5Mobile mengatakan, dari 4 model monetisasi mereka pernah menggunakan model subscription, in-app purchase, dan iklan. Alasan mengapa mereka tak pernah membuat game dengan model sekali bayar adalah karena target pasar mereka yang tidak cocok dengan model monetisasi tersebut. Dari 3 model monetisasi yang Game5Mobile pernah pakai, iklan memberikan kontribusi terbesar pada sumber pendapatan developer tersebut.

“Saya tidak bisa ngomong secara pasti porsinya berapa karena kita harus benar-benar hitung dari data satu-satu, tapi, bisa dibilang, sekitar 98% porsi pemasukan kita datang dari iklan,” kata Steve saat dihubungi oleh Hybrid melalui pesan singkat.

Steve lalu menjelaskan tentang mekanisme model monetisasi iklan dalam game. “Kalau kita mau menampilkan iklan di game, kita harus pasang SDK (Software Development Kit) dari vendor tertentu. Nah, nanti di vendor, kita bisa set rules untuk iklan yang bakal tampil di game kita,” ujarnya. “Di kasus kami, karena kita bekerja sama dengan publisher, maka publisher yang menentukan iklan apa saya yang bakal dipakai di game kita.”

Happy Glass adalah salah satu game buatan Game5Mobile.
Happy Glass adalah salah satu game buatan Game5Mobile.

Steve menjelaskan, dalam menentukan model monetisasi yang akan digunakan, target market menjadi salah satu pertimbangan utama. “Dalam 2 tahun terakhir, Game5Mobile fokus ke pengembangan game hiperkasual untuk iOS dan Android. Untuk pasar game hiperkasual, nggak cocok pakai sistem sekali bayar dimuka,” ujarnya. Bisnis menjadi alasan mengapa Game5Mobile fokus untuk membuat game hiperkasual.

“Pilihan bisnis yang paling masuk akal untuk kita, berdasarkan resource yang kita punya saat ini, ya terjun ke pasar game hiperkasual,” ujar Steve. “Jadi, jika membandingkan resource, work dan time investment dengan return yang didapat, buat kita, mengerjakan game hiperkasual menawarkan value paling masuk akal. Setidaknya saat ini.”

 

Gambir Studio

Sementara itu, CEO Gambir Studio, Shafiq Husein mengungkap, mereka pernah mencoba semua model monetisasi kecuali subscription. Alasannya karena model monetisasi itu masih belum lazim digunakan di Indonesia. Tak hanya itu, seorang gamer juga harus memiliki komitmen bermain yang kuat sebelum dia mau berlangganan.

“Kalau model iklan dan in-app purchase, kita biasanya gunakan untuk game kasual atau hiperkasual,” kata Shafiq ketika ditanya tentang pertimbangan Gambir Studio sebelum mereka memutuskan model monetisasi yang akan digunakan. “Karena metode itu yang paling common dipakai untuk game free-to-play sih.” Lanjutnya. Gambir Studio juga pernah menggunakan model sekali bayar untuk salah satu game horror besutan mereka.

“Waktu kita mencoba yang model premium di game kita yang berjudul Jurit Malam,” ujar Shafiq. Sayangnya, game itu sudah tidak bisa diunduh karena Gambir Studio tak lagi bekerja sama dengan talent yang terlibat dalam game tersebut. “Karena waktu itu, kita buat game horror. Dan kalau game horror kan kita harus bangun ambience, biar pemainnya merasa tegang saat main. Jadi, kalau tiba-tiba di tengah main ada iklan atau harus beli barang, kita khawatir game-nya jadi kurang dapat feel-nya.”

Salah satu karya Gambir Studio adalah Densus 86.
Salah satu karya Gambir Studio adalah Densus 86.

Di Gambir Studio, model monetisasi yang paling sering dipakai adalah iklan dan in-app purchase. Menurut Shafiq, kedua model tersebut sudah “sepaket”, meski tidak melulu harus digunakan bersamaan. Dari segi pemasukan, Shafiq memperkirakan, sekitar 70% pemasukan berasal dari iklan, dan 30% sisanya berasal dari in-app purchase. Dia menjelaskan, bentuk item yang dijual oleh Gambir beragam, mulai dari kosmetik sampai power-up, tergantung pada game itu sendiri. Namun, item yang paling laku terjual biasanya adalah item power-up.

 

Toge Productions

Sama seperti Gambir Studio, Toge Productions juga pernah mencoba semua model monetisasi kecuali subscription. Namun, lain halnya dengan Game5Mobile dan Gambir Studio yang lebih fokus pada game dengan model bisnis iklan dan in-app purchase, fokus Toge adalah pada game premium atau sekali bayar. Dan memang, bagi Toge, game model premium memberikan kontribusi pemasukan paling besar.

“Bukan berarti model monetisasi yang lain pemasukannya tidak besar. Kami memilih untuk fokus ke game premium karena memang passion, skill, dan resources kita lebih cocok di game-game premium,” ujar Kris Antoni, Pemilik Toge Productions. “Game free-to-play membutuhkan modal yang besar dan risikonya tinggi karena persaingan yang sangat ketat. Tentunya, beda developer, bisa beda (strategi) juga. Mungkin ada developer yang memang lebih cocok membuat mobile game free-to-play.”

Kris menjelaskan, saat memutuskan model bisnis sebuah game, biasanya ada 5 hal yang menjadi pertimbangan:

  1. Kemampuan developer (dalam bentuk modal dan kemampuan Sumber Daya Manusia)
  2. Target market
  3. Kesempatan vs kompetisi vs risiko
  4. Gameplay/play experience yang ingin diberikan
  5. Passion
Coffee Talk menawarkan naratif yang relatable.
Coffee Talk menawarkan naratif yang relatable.

“Bisa saja, business model yang mengarahkan game design, tapi juga bisa sebaliknya,” ujar Kris. Dia memberikan contoh bagaimana gameplay atau pengalaman bermain menentukan model bisnis yang digunakan. “Misal, game seperti The Last of Us, dengan experience yang mendekati kualitas film blokcbuster, tidak mungkin dijadikan game free-to-play. Selain gameplay-nya tidak cocok dengan monetisasi F2P, resiko bagi developer akan sangat tinggi bila game-nya dirilis di platform seperti mobile.”

Lalu, adakah karakteristik tertentu yang harus dipenuhi oleh sebuah game agar pantas menyandang gelar game premium? Menurut Kris, selama sebuah game menggunakan model bisnis yang tepat dan memberikan value yang sesuai, maka game tersebut pantas menjadi game premium. “Target market juga bisa berbeda-beda, tergantung game-nya,” katanya.

“Sejauh ini, Toge membangun reputasi sebagai developer yang mengembangkan game dengan gaya pixelart dan mekanisme gameplay yang unik,” ungkap Kris. “Dengan Coffee Talk, kita juga melebarkan sayap ke game dengan elemen naratif yang relatable. Jadi, fanbase kita cukup variatif, tapi rata-rata, mereka suka pixelart dan gameplay yang unik.”

Kris mengaku, Toge memang lebih menyasar pasar global daripada pasar lokal. Salah satu alasannya karena dia merasa, game lebih dihargai di luar negeri. Memang, pembajakan game — atau karya kreatif lain, seperti film dan komik — masih menjadi masalah di Indonesia.

Namun, Kris merasa, ada beberapa alasan mengapa pembajakan masih merajalela di Indonesia. Salah satunya adalah karena pemahaman masyarakat akan HAKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) masih sangat rendah. Tak hanya itu, masyarakat Indonesia juga cenderung memandang sebelah mata karya lokal. Alasan lainnya adalah karena masyarakat Indonesia sudah terbiasa menggunakan produk bajakan, sehingga tak lagi mengapresiasi karya digital. Terakhir, banyaknya produk game free-to-play dengan budget besar yang muncul di Indonesia.

“Visi kami di Toge adalah mengangkat karya-karya Indonesia di mata dunia dan mengubah Indonesia dari sekedar pasar menjadi dikenal sebagai negara produsen game terbaik,” aku Kris. Terkait tanggung jawab edukasi mengenai HAKI, Kris merasa, semua orang memiliki tanggung jawab atas itu. “Jangan terlalu bergantung pada pemerintah, mulai saja dari lingkaran masing-masing dan komunitas masing-masing.”

 

Agate Games

Agate Games merupakan salah satu developer game Indonesia yang pernah menggunakan semua model monetisasi untuk game, termasuk subscription. Walau memang, model subscription bukanlah model monetisasi yang paling sering Agate gunakan. Dave Fabrian, Vice President of Mobile Games, Agate Games, mengungkap, Agate paling sering menggunakan model monetisasi iklan dan in-app purchase.

Terkait model monetisasi subscription, Dave juga menyebutnya sebagai model game-as-a-service (GAAS). Salah satu keunikan game dengan model GAAS adalah biasanya, developer terus merilis update secara berkala. “Berbeda dengan game yang diluncurkan sebagai produk. Developer tidak update pun tidak apa-apa, karena konsumen mengeluarkan uang di awal membeli game,” ujar Dave.

Melalui Code Atma, Agate ingin memperkenalkan budaya Indonesia.
Melalui Code Atma, Agate ingin memperkenalkan budaya Indonesia.

“Sementara GAAS, karena gamer bisa bermain dengan gratis, kita harus membuat mereka mau bermain selama mungkin. Semakin lama gamer bermain, semakin besar kemungkinan mereka untuk spending,” kata Dave. Dia memperkirakan, game dengan model GAAS biasanya mendapatkan update sekitar seminggu atau dua minggu sekali. Ada berbagai macam update yang bisa developer berikan, mulai dari peningkatan keamanan, perbaikan bug, sampai munculnya konten baru, seperti karakter atau peta baru.

Dua hal yang Agate Games pertimbangkan sebelum menentukan model monetisasi yang akan digunakan dalam sebuah game adalah segmen dari tujuan dari game itu sendiri, Dave menjelaskan. Selain itu, Agate juga mempertimbangkan apakah target konsumen dari game mereka merupakan tipe gamer yang terbiasa untuk mengeluarkan uang saat bermain game. “Misalnya, kita membuat game yang ditujukan untuk semua orang, mulai dari anak-anak sampai kakek-nenek. Game seperti ini, model iklan yang paling cocok. Karena target pemainnya bukan orang yang terbiasa spending di game,” ungkap Dave.

Dave memperkirakan, di kalangan gamer yang terbiasa melakukan in-app purchase, hanya sekitar 1-2% pemain yang pada akhirnya mengeluarkan uang. Sementara di kalangan pemain yang tidak terbiasa spending, persentase itu bahkan lebih rendah lagi. Karena itulah, game kasual yang menargetkan orang banyak biasanya menggunakan model monetisasi iklan. Dia menyebutkan, sekitar 70-90% game kasual menggunakan model monetisasi iklan.

 

Waktu Pengembangan Game vs Life Cycle

Waktu yang diperlukan untuk membuat game tergantung pada ukuran dari game itu sendiri. Semakin sederhana sebuah game, semakin cepat pula proses pengembangannya. Selain itu, jumlah kru yang mengerjakan sebuah game juga memengaruhi berapa lama waktu pengembangan sebuah game.

Kris memperkirakan, Infectonator 3: Apocalypse dan Coffee Talk dibuat dalam jangka waktu 2 tahun. Sementara Necronator: Dead Wrong hanya 1 tahun. “Game yang kita publish bersama Mojiken, A Space For the Unbound, sudah dikerjakan selama hampir 4 tahun dan belum kelar,” ujarnya. “Sementara When The Past Was Around kurang dari satu tahun.” Soal life cycle sebuah game, Kris mengatakan bahwa biasanya, sebuah game akan menghasilkan pendapatan terbesar tahun pertama game diluncurkan. Meskipun begitu, hinga 4-5 tahun setelah peluncuran pun, sebuah game bisa masih menghasilkan.

Sementara di Game5Mobile, sebuah game harus melewati beberapa fase sebelum ia dirilis di pasar. Fase tersebut antara lain fase prototipe, fase test market, dan fase global release. “Biasanya, kita sudah bisa melihat apakah suatu game layak dirilis atau tidak sejak fase test market,” ujar Steve. “Untuk waktu pengerjaan, dibutuhkan waktu sekitar 1 minggu hinga 1 bulan untuk membuat prototipe yang siap test market.”

“Untuk life cycle, tergantung pada konten dari game itu sendiri. Bisa saja, life cycle game hiperkasual hanya mencapai beberapa bulan, atau bisa sampai beberapa tahun,” aku Steve. Dia memberikan contoh Happy Glass. Game5Mobile merilis game tersebut secara global pada 2018. Namun, sampai saat ini, game tersebut masih menyumbangkan pemasukan.

 

Kesimpulan

Ada 4 model monetisasi yang bisa digunakan oleh developer game, yaitu sekali bayar, iklan, in-app purchase, dan subscription. Kebanyakan developer Indonesia menggunakan model monetisasi iklan. Pasalnya, sebagian besar developer Indonesia memang berkecimpung dalam membuat game kasual, yang biasa menggunakan monetisasi iklan atau in-app purchase.

Under Armour Jadi Sponsor dari Team SMG, Organisasi Esports Singapura

Organisasi esports asal Singapura, Team SMG, baru saja menandatangani kerja sama dengan perusahaan sportswear Under Armour. Melalui kontrak yang berlangsung selama 1 tahun ini, Under Armour akan menjadi sponsor pakaian eksklusif dari Team SMG. Jadi, Under Armour akan membuat pakaian untuk semua pemain Team SMG.

“Kerja sama ini adalah pencapaian tersendiri bagi kami di Team SMG,” kata Orrin Xu, General Manager, Team SMG, seperti dikutip dari Esports Insider. “Under Armour dikenal sebagai perusahaan sportswear pertama yang menyediakan pakaian dan peralatan untuk meningkatkan performa atlet. Dengan senang hati, para pemain profesional kami akan menggunakan pakaian dari Under Armour yang tidak hanya nyaman, tapi juga terlihat menawan.”

Team SMG memiliki tim VALORANT di Singapura. Selain itu, mereka juga punya tim Mobile Legends: Bang Bang dan PUBG Mobile di Malaysia. Team SMG didirikan pada 2017 oleh mantan pemain dan pelatih Dota 2, Kenchi Yap serta JJ Lin, penyanyi. penulis lagu, dan aktor asal Singapura. Ketenaran JJ Lin juga membuat nama Team SMG dikenal di Tiongkok.

under armour sponsori team smg
Semua atlet esports dari Team SMG akan menggunakan pakaian dari Under Armour. | Sumber: Esports Insider

Esports kini tengah berkembang. Di Asia Tenggara, esports juga semakin diakui oleh banyak orang,” kata Yvonne Tey, Director of Marketing, Southeast Asia, Under Armour. “Jadi, kami bangga karena dapat bekerja sama dengan Team SMG untuk menginspirasi atlet esports generasi berikutnya. Kami juga berkomitmen untuk mendorong atlet esports menjadi lebih baik dengan terus memberikan inovasi dan desain terbaik.”

Under Armour bukan perusahaan sportswear pertama yang masuk ke ranah esports. Sebelum ini, sejumlah merek sportswear juga telah bekerja sama dengan para pelaku esports, seperti adidas, Nike, Puma, dan Kappa.

Nike menjadi sponsor dari tim T1 dari Korea Selatan serta Vodafone Giants. Tak hanya itu, mereka juga mensponsori liga League of Legends di Tiongkok. Sementara itu, tahun lalu, Puma bekerja sama dengan Cloud9 untuk membuat koleksi pakaian gamer. Pada Juni 2020, mereka menjalin kerja sama dengan Gen.G asal Korea Selatan untuk membuat merchandise baru.

Sumber header: The Esports Observer

Do We Need to Hold an Esports Tournament for Women?

Esports is now becoming increasingly popular. Not only that, but people are also starting to recognize esports as a sport. In fact, esports has been included in various prestigious sporting events, such as the Asian Games 2018 and SEA Games 2019. Rumour says that esports will also be included in the Olympics.

In traditional sports, most competitions are segregated by gender. One of the reasons is because physically, women and men are known to have different abilities. Knowing that when playing esports, the athletes “only” have to stare at the screen and move the mouse or touch the smartphone screen, you might think that there is no significant difference between men’s and women’s performance. However, is that really so?

 

Is Male and Female Performance Different?

When asked if there is a difference between the performance of female and male esports athletes, Shena Septiani, Digital Marketing Manager, Bigetron Esports said, “in my opinion, the difference in mechanics is influenced by hormones. Balanced estrogen and progesterone in women are key to how the brain and emotions work.”

Estrogen is a sex hormone in women that is quite dominant. Indeed, men also have estrogen. It’s just that the level of estrogen in women is higher than men. The function of these hormones in women and men is also different. Same with the progesterone, women and men do have this hormone but in different levels and functions. In women, progesterone affects the menstrual cycle, pregnancy, and embryogenesis.

“These two hormones make it difficult for women to focus at certain times,” says Shena. “However, it could be solved with regular exercise and discipline. The proof is, at Bigetron, there is BTR Alice who is a member of Bigetron Red Aliens, PUBG Mobile division. ”

Bigetron Red Aliens. | Sumber: Facebook PUBG Mobile Indonesia
Bigetron Red Aliens. | via: Facebook PUBG Mobile Indonesia

Unfortunately, not all esports teams mix male and female players. This is due to several things, according to Kresna, Project Manager for Women Star League. One of them is because women might feel more comfortable playing with other women. Likewise, male players feel the same.

“Apart from that, there is also an assumption that the female players are not good at playing games,” said Kresna. “Yes, it’s a burden, it’s troublesome, and so on. That’s what makes men tend to create teams with male players too. “However, according to Kresna, this assumption is not correct. She believes that the existence of a women’s only esports tournament can help to erase this stigma.

Meanwhile, according to Herry Wijaya, Head of Operations Mineski Global Indonesia, nowadays, most female esports players are more interested in becoming influencers than being professional players. “If I can draw short conclusions without research, I see that female players don’t usually become pro players in the end. Even after winning esports tournaments for women, they usually become influencers,” he said. “I don’t see the ambition to shift the position of a well-known player in a big esports organization, like Rekt from EVOS for example.”

 

How Important Are Women Only Esports Tournaments?

According to Rezaly Surya Afhany, Esports Manager at Telkomsel and Head of Digital Games Product Management, women’s esports tournaments are essential to be held, both by publishers and by third parties. “My personal opinion is that the ecosystem in the game industry will grow organically and be much healthier if you pay attention to the needs of these lady gamers,” Rezaly said when contacted via text message. “One of them is through organizing a special women’s tournament.” He feels that currently, the number of esports tournaments for female gamers is lesser than for men, starting from grassroots to national level competitions.

The Prime Snaky jadi pemenang PINC Ladies 2020. | Sumber: Instagram
The Prime Snaky is the winner of PINC Ladies 2020. | Sumber: Instagram

“Several major publishers in Indonesia have been developing women tournaments for a long time, such as the Princess Cup, the Arena of Valor tournament from Garena or PINC Ladies, the PUBG Mobile tournament from Tencent. Although, the tournament is still presented as part of an entertaining match, “said Rezaly. “In my opinion, slowly but surely, the market is already visible, both from the participating teams or viewership. As long as the tournament exists, these female pro players will try to form a solid team to participate. So, the quality of the matches is no less fierce than men’s esports matches. ”

Regarding ability, Kresna has another view. “In terms of skills, I think female players are not the same as the Mobile Legends Pro League team. Maybe, if the Mobile Legends Developmental League is still 50-50. But, compared to other teams outside those leagues, the ladies in the esports organization, their skills should be at the same level or higher,” he said.

Martin Yanuar, Manager of Belletron, has the same opinion as Kresna. “In our opinion, the skills of male and female players will not be the same. Because female players tend to find it more difficult to train full-time,” he said. “Unless the ladies tournament gives a prize equivalent to a public tournament worth hundreds of millions.”

Indeed, in terms of total prizes, women’s esports tournaments usually offer much smaller rewards than general ones. For example, PINC winners get a prize of IDR 180 million, while PINC Ladies winners only get IDR 10 million.

As part of an esports organization, Shena expressed her hope that in the future, esports tournament organizers will give prizes that are as big as general tournaments. “Although actually, this problem does not only occur in esports, but also in the world of sports,” he said. “Hopefully, in the future, esports tournaments can be more equal to gain more female players.”

Pembagian hadiah turnamen PINC. | Sumber: situs resmi
PINC prizepool | via: official site
Pembagian hadiah turnamen PINC Ladies. | Sumber: situs resmi
PINC Ladies prizepool | via: official site

Regarding the imbalance of tournament prizes between male and female competitions, for Rezaly, as long as the organizers and participants do not mind the total prizes given, then this should not be a problem. “The size of the prize is usually used to attract teams to participate in a tournament,” he said. “If all parties, namely organizers and participants agree to participate, then the size of the women’s tournament prize is no longer relevant as the only thing that must be pursued.”

Meanwhile, Rezaly was asked whether the small total prize pool for women’s esports tournaments is due to the low audience interest. He replied, “it could be that the lack of interest from the participants or the number of views made the organizers. Also, sponsors could be thinking hard before holding women’s tournaments because of low ROI (Return of Investment).”

 

The attraction of Women’s Esports Tournaments

Games and esports are domains that are synonymous with men. So, no wonder that most esports viewers are male. According to a study conducted by Interpret in 2019, 70% of esports viewers are male, while the remaining 30% are female. The good news is that the number of female esports fans continues to increase from year to year.

Jumlah penonton esports perempuan terus naik. | Sumber: Interpret
Source: Interpret

However, Herry said, the fact that most of the esports audience is male actually makes women’s esports tournaments popular. “Because most esports audience is male, viewership should be higher for female competition because there is an attraction from the opposite sex,” said Herry. Rezaly also said something similar. The male audience also likes to watch women’s tournaments, especially if there are players who are their idols.

Meanwhile, Kresna said, women-only tournaments were still able to attract audiences. “But, it is not as much as MPL or MDL, which has been running for a long time,” he said. “Probably because women’s tournaments tend to be newer, and not everyone knows.”

Herry said Mineski did have plans to create a special women’s tournament in the future. It’s just that the project may not be realized soon. The reason is, the current esports tournament schedule is already tight. If a new tournament appears, it is possible, this will actually destroy the balance that has been achieved in the current esports ecosystem in Indonesia.

“There are many things to think about if we want to create a new IP,” said Herry. “There are already many competitions. Messing up with the existing schedule is not good. Thus, we prefer to focus on existing tournaments by improving the quality of those tournaments.”

 

Why do the organizers hold a women’s esports tournament?

The Women Star League was held with two purposes Kresna explained. The first is to build an esports ecosystem for female players so that they can compete and have a career in the competitive gaming world like men. “So that the ladies won’t be underestimated and be able to show that they have the same skills as men,” he said.

“Second, by holding a women’s esports tournament, we want this to be a place where women can express their interests or talents in the world of esports and pursue their dreams,” said Kresna. “We want more female players in the tournament so that the women’s esports ecosystem in Indonesia becomes even more acknowledged.”

Just like Kresna, Rezaly said, the aim of organizers such as Dunia Games (which is under Telkomsel) to hold a women’s esports tournament is to develop the women’s esports ecosystem. This will ultimately make the esports industry even more valuable.

Tim ladies DG Esports. | Sumber: LINE
Ladies team of DG Esports. | Source: Dunia Games

“We believe that the women-only tournament will bring out many accomplished female gamers so that there will be more engagement, viewership, more contents, and more new job vacancies,” said Rezaly. “We want the women’s esports ecosystem to be developed, just like many other sports events, both at the national and global levels. There are actually special competitions for women in traditional sports events.”

However, Rome was not built overnight, just like the women’s esports ecosystem. To develop the women’s esports ecosystem to be equal to the esports scene for men is not easy these days. Herry estimates that the time needed to establish the women’s esports ecosystem will probably take around three years. With conditions, women’s esports tournaments are held regularly. Ideally, there should be two tournaments every year.

“In 2017, there were only two Mobile Legends teams that had a good performance, namely Saint Indo and Elite8 Esports,” he said. “However, now, MPL has eight teams with the same level of performance.” He believes that something similar can also happen to the women’s esports ecosystem.

 

Conclusion

Esports has developed drastically all around the world. Unfortunately, women are still a minority in the industry. Compared to the number of male players, female players are really minuscule. Not only that, women’s esports tournaments also usually offer smaller prizes. Fortunately, various parties are still interested in holding women’s esports tournaments.

The existence of a women’s esports tournament can be an arena for female gamers to show their abilities. Also, if the tournament is held regularly, it is possible that the women’s esports ecosystem development will be balanced like the men’s esports scene.

Feat Image via: Red Arrow Studio. The original article is in Indonesian, translated by @dwikaputra

Sasar Gen Z dan Gen Alpha, F1 Gelar F1 Mobile Racing Esports Series

Formula 1 memasuki ranah esports pada 2017. Ketika itu, mereka mulai mengadakan turnamen F1 Esports. Pada Senin, 7 September 2020, F1 meluncurkan turnamen esports baru, yaitu F1 Mobile Racing Esports Series. Kali ini, kompetisi balapan virtual tersebut akan ditujukan khusus untuk para mobile gamer. Game yang akan diadu dalam turnamen tersebut adalah F1 Mobile Racing, game F1 resmi buatan Codemasters.

“Gen Z dan Gen Alpha kini menghabiskan semakin banyak waktu untuk bermain game dan menggunakan smartphone mereka. Hal ini mendorong pertumbuhan industri mobile esports,” kata Julia Tan, Head of Digital Business Initiaves and Esports, Formula 1, seperti dikutip dari Esports Insider. “Kami melihat potensi besar untuk masuk ke ranah mobile esports. Tujuan kami adalah untuk menjangkau generasi yang lebih muda dengan menyediakan kompetisi Formula 1 baru.”

F1 Mobile Racing Esports Series
Game yang diadu dalam F1 Mobile Racing Esports Series adalah F1 Mobile Racing.

F1 Mobile Racing Esports Series akan dimulai pada September 2020. Babak kualifikasi akan diadakan dalam 3 bulan ke depan. Peserta yang menang dalam masing-masing babak kualifikasi akan melaju ke babak final, yang akan diadakan pada Desember 2020. Turnamen final tersebut akan berlangsung selama 9 hari. Selain mengadakan kompetisi mobile esports, F1 juga akan kembali menyelenggarakan F1 Esports Series. Turnamen yang didukung oleh Aramco itu kini akan memasuki musim ke-4.

“Mengadakan turnamen mobile esports merupakan bagian dari strategi F1 untuk merangkul fans kami melalui game dan esports,” kata Tan. Dia mengungkap game F1 Mobile Racing bisa diunduh secara gratis di Play Store dan App Store. Dia juga mengatakan, F1 Mobile Racing Esports Series bisa diikuti oleh semua orang. “Kami tak sabar untuk menemukan F1 Mobile Racing Champion 2020!”

Bulan lalu, F1 juga mengumumkan bahwa mereka akan menyelenggarakan F1 Esports Pro Series. Kompetisi tersebut menawarkan hadiah sebesar US$750 ribu (sekitar Rp11,2 miliar). Sejak pandemi melanda, industri esports, khususnya esports balapan, memang tengah berkembang pesat. Tidak aneh, mengingat banyak pertandingan balapan yang digantikan oleh turnamen esports akibat pandemi. Pada Maret 2020, F1 juga menyelenggarakan Virtual Grand Prix demi menggantikan Grand Prix yang terpaksa dibatalkan.

Bos Fnatic: Industri Esports Tumbuh Pesat Selama Pandemi

Pendiri dan CEO Fnatic, Sam Mathews, mengatakan bahwa industri esports tumbuh pesat selama pandemi COVID-19. Mathews mengatakan, para pelaku industri esports harus dapat memanfaatkan momentum tersebut.

Bulan lalu, Fnatic membuat laporan tentang bagaimana pandemi memengaruhi indsutri esports. Pada awal pandemi, industri esports terkena dampak negatif karena sejumlah turnamen esports offline harus ditunda atau dibatalkan. Namun, dengan cepat, para pelaku industri esports beradaptasi dan mengganti format turnamen offline menjadi kompetisi online.

“Salah satu temuan dalam laporan kami adalah betapa cepatnya turnamen esports offline diganti dengan kompetisi online,” kata Mathews pada Forbes. “Industri esports masih sangat muda jika dibandingkan dengan industri olahraga tradisional. Namun, pelaku industri esports dapat menyesuaikan diri dengan cepat, menunjukkan bahwa kami bisa memimpin di situasi ‘normal baru’ seperti sekarang.”

bos fnatic esports tumbuh pesat
Pertandingan Fnatic melawan G2 Esports di babak final LEC ditonton 1 juta orang. | Sumber: Twitter

Menurut Mathew, perkembangan industri esports selama pandemi juga menarik perhatian para pelaku industri hiburan dan olahraga tradisional. Dia juga menyebutkan, selama pandemi, esports menjadi semakin dikenal oleh banyak orang. “Pandemi COVID-19 menjadi bukti betapa pentingnya platform streaming digital. Hal ini mendorong perusahaan televisi untuk mencoba siaran digital dan mereka sukses menyiarkan sejumlah turnamen esports,” ujarnya. “Dengan begitu, batasan yang memisahkan industri olahraga tradisional, hiburan, dan esports menjadi semakin mengabur.”

Memang, sepanjang pandemi, sejumlah pelaku olahraga tradisional mulai masuk ke dunia esports. Tak hanya itu, kompetisi olahraga tradisional yang dibatalkan juga diganti dengan turnamen esports, seperti balapan dan pertandingan sepak bola. Sejumlah tim sepak bola dan NBA juga semakin memerhatikan esports, yang menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan esports sepanjang pandemi.

“Dengan dibatalkanya berbagai kompetisi olahraga tradeisional, perhatian masyarakat dan media beralih ke turnamen esports,” kata Mattews. “Laporan yang kami buat menunjukkan bahwa lockdown membuat masyarakat menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain game dan menonton konten game, menghabiskan uang lebih banyak untuk membeli item dalam game, serta mengunduh lebih banyak game. Tak hanya itu, jumlah viewership turnamen esports juga tumbuh sekitar 50-200%. Hal ini menjadi bukti bahwa industri esports tak mudah tumbang.”

Mathews juga membahas tentang meningkatnya viewership pada platform streaming game, khususnya pada Twitch. Platform milik Amazon itu mengalami pertumbuhan viewership paling tinggi jika dibandingkan dengan platform lain. Pada Q1 2020, total hours watched di Twitch mencapai 300 miliar jam.

“Twitch menguasai 65% pangsa pasar platform streaming game,” ungkap Mathews. “Jumlah viewership rata-rata Twitch pada Maret 2020 naik 16% dari Februari. Dan jumlah viewership rata-rata Twitch kembali naik 55% pada April. Angka ini menunjukkan betapa pesatnya pertumbuhan Twitch sebagai platform streaming game dalam bebreapa tahun belakangan.”

Saat ini, pandemi mulai mereda di sejumlah negara. Masyarakat sudah mulai dapat beraktivitas di luar rumah dan kompetisi olahraga kembali mulai diadakan. Hal ini akan membuat viewership esports turun. Meskipun begitu, perkembangan esports dalam beberapa bulan belakangan akan memberikan dampak positif pada industri esports ke depan.

Sumber header: Twitter

PeSO Receives Approval as the National Esports Organization of the Philippines

Previously, the Philippine Esports Organization (PeSO) applied for accreditation as the National Sports Association. The Philippine Olympic Committee (POC) recently granted the approval to PeSO. That way, PeSO officially becomes a national organization that will be responsible for regulating and developing esports in the Philippines.

“We are honored to be at the forefront of developing the fast-growing esports industry in the Philippines,” said Brian Lim, President of PeSO, according to ESPN. “With the support of POC and Smart, we will be able to strengthen our position not only in the local scene but, more importantly, in the global arena.”

Supported by a telecommunications company Smart Communications, PeSO consists of several well-known esports organizations and companies in the Philippines. Some of the PeSO members include Bren Esports, Gariath Concepts, Mineski Philippines, The Nationals, PlayBook Esports, Tier One Entertainment, TV5, and TNC Holdings.

PeSO dapat akreditasi
via: Facebook

“As the country’s only fully integrated telco and digital services provider, we are excited to enable this organization and provide the best technology to elevate the local esports industry,” said Jane J. Basas, Senior Vice President and Head of Consumer Wireless Business, Smart Communications.

Indeed, so far, Smart Communications has been active in the Philippine esports ecosystem. They once held a national Mobile Legends tournament. Not only that, in July 2020, they also showed off a gaming centre that already uses the 5G network. At that time, they held an exhibition match using cloud gaming between smartphone users and PC players.

Smart teamed up with PeSO and the Esports National Association of the Philippines (ESNAP) to support the Philippine basketball esports team competing in the Pacific Pro-Am NBA 2K20 Tournament shortly after the team’s success in the FIBA ​​Esports Open. Apart from that, Smart also supported the Philippine esports team who competed in the 2019 SEA Games. They even gave prizes to the players who won medals.

“We are glad to have the opportunity to unite gaming fans and rally support for our esports athletes,” said Basas. “We are honored to be part of this huge campaign that will shape the esports industry in the Philippines, and will help our athletes showcase their talents to the whole world.”

Feat image: via Facebook. The original article is in Indonesian, translated by Yabes Elia

Kalahkan Fnatic, G2 Esports Menangkan League of Legends European Championship

G2 Esports memenangkan League of Legends European Championship (LEC), setelah mengalahkan Fnatic dengan skor 3-0 di babak final. Dengan ini, G2 Esports berhasil menjadi gelar LEC sebanyak 4 kali berturut-turut.

Dalam game pertama, AD Carry Fnatic, Carl Martin Erik Larsson alias Rekkles, sukses mendapatkan first kill dengan bantuan dari ‎Oskar “Selfmade” Boderek. Pada menit ke-9, Fnatic kembali menargetkan AD Carry dari G2 Esports. Namun, Marcin “Jankos” Jankowski dari G2 berhasil melindungi rekan satu timnya. G2 Esports justru dapat membalikkan keadaan dan membunuh dua pemain Fnatic. Dua menit kemudian, kembali terjadi pertarungan antar tim. Masing-masing tim berhasil mendapatkan dua kill.

G2 berhasil meruntuhkan tower pertama. Dengan cepat, Fnatic balas meruntuhkan tower G2. Sepanjang game pertama, Jankos dari G2 sukses menekan Fnatic dengan terus membunuh anggota tim oranye tersebut. Tekanan dari Jankos ini memudahkan Rasmus “Caps” Winther, yang menggunakan LeBlanc, melakukan tugasnya sebagai mid laner.

G2 esports menangkan lec
G2 Esports saat melawan Fnatic di babak final LEC.

Pada game kedua, untuk mencegah Caps menggunakan LeBlanc, Fnatic memutuskan untuk mem-ban karakter tersebut. Dalam pertandingan kali ini, G2 Esports berhasil mendapatkan first kill. Namun, Fnatic berhasil mendominasi jalannya pertandingan. Mereka bahkan berhasil menghancurkan dua inhibitor G2. Mereka juga sempat mencoba memulai team fight dengan G2. Sayangnya, mereka gagal menaklukkan lawannya.

Sepanjang pertandingan, kedua tim terus beradu dan membunuh pemain tim musuh. Walau, baik Fnatic dan G2 Esports tak mencoba untuk melawan Baron Nashor. Ingat bahwa dua inhibitor mereka telah runtuh, G2 memutuskan untuk membunuh Ancient Drake sebelum fokus di mid-lane. Setelah itu, mereka menembus markas Fnatic. Mereka sukses mengalahkan Fnatic dalam team fight sebelum menghancurkan nexus Fnatic dan memenangkan game ke-2.

g2 esports menangkan lec
Proses pick dan ban pada game ke-3.

Pada game ke-3, Fnatic dan G2 Esports kembali bermain dengan agresif. G2 berhasil mendapatkan first kill pada menit ke-5, saat mereka membunuh Tim “Nemesis” Lipovšek di mid-lane. Tak lama kemudian, Fnatic juga berhasil mendapatkan kill pertama mereka. Namun, hal ini membuka celah bagi Caps untuk membunuh pemain Fnatic yang lain.

Setelah kalah 2-0, sulit bagi Fnatic untuk bisa bangkit kembali. Memang, pada awal game ke-3, Fnatic sempat memberikan perlawanan yang hebat. Sayangnya, pada menit ke-25, G2 Esports telah sukses mendominasi pertandingan. Fnatic masih mencoba untuk melawan, tapi pada akhirnya, mereka harus mengaku kalah dari G2 Esports.

Dengan kemenangan ini, G2 Esports tak hanya memenangkan €80 ribu (sekitar Rp1,4 miliar), tapi juga masuk ke League of Legends World Championship sebagai first seed. Tahun lalu, G2 Esports berhasil menjadi finalis LWC 2019. Sayangnya, mereka harus bertekuk lutut di hadapan FunPlus Phoenix.

Sumber: VP Esports, Forbes, Win.gg

PSIS Semarang and Persita Tangerang will be Competing in IFeL 2020

Setia Widianto will represent PSIS Semarang in the 2020 Indonesian Football e-League (IFeL). Previously, he was part of the Indonesian esports team in the 2018 Asian Games. Aged 24 years old, Setia has been a professional player for 5 years. With PSIS Semarang, he’s preparing to compete in the IFeL which will start on 12 September 2020.

Before this, Setia has also played at The Port FC, which competes in the Thai esports league. He revealed that most of the participants representing the football club at IFeL had also been part of the Thai soccer esports team. Yet, of all his potential competitors, he feels his most formidable rival is Rizky Faidan, who plays for PSS Sleman, according to an Antara News report.

Persita Tangerang juga akan ikut serta dalam IFeL 2020. | Sumber: Kompas
Persita Tangerang | via: Kompas

Apart from PSIS Semarang and PSS Sleman, Persita Tangerang will also participate in IFeL 2020. They announced this on Friday, 28 August 2020. In the soccer esports league, Persita Tangerang will be represented by Elul Wibowo, who has played for Prachuap FC and won fourth place in the Toyota E-League Thailand 2020.

For Elul, the emergence of soccer clubs interested in getting into esports is good news. He hopes that the Indonesian esports ecosystem, especially PES, will develop as in other Asian countries. “I want PES esports in Indonesia to grow,” said Elul. “Because in my opinion, in other Asian countries, PES has become a profession for PES players.”

“This is a good first step for Persita, especially in developing the esports division in the future,” said Persita’s Commercial Director, Evelyn Cathy, as quoted by Antara News. She said that joining IFeL 2020 was only the beginning of Persita’s decision to enter esports. In the future, they plan to create their esports team. Apart from soccer games like PES, they are also interested in having a team in other esports games.

“This is just the beginning. Later, we will recruit to build a special esports team. And of course, this offer is open to all residents of Tangerang Raya in particular and anyone who wants to show their talents as a pro player to represent Persita, “said Cathy.

Feat Image: via Instagram. The original article is in Indonesian. Translated by Yabes Elia