Jual Saham, Platform Turnamen Esports Mogul Dapatkan Rp38 Miliar

Mogul, developer dari platform turnamen esports, menjual 397 juta lembar saham yang dihargai AU$0,01 per lembar. Secara total, mereka mendapatkan AU$3,97 juta (sekitar Rp38 miliar). Pendanaan kali ini dipimpin oleh CPS Capital. Investasi yang mereka dapatkan ini akan mereka gunakan untuk mengembangkan teknologi Branded Hubs, biaya operasi kegiatan untuk meningkatkan pendapatan, pengembangan platform mogul.gg, dan ekspansi internasional.

“Kami senang karena kami mendapatkan dukungan yang signifikan melalui penjualan saham ini, mengumpulkan total investasi sebesar AU$3,97 juta,” kata Managing Director, Mogul, Gernot Abl, dikutip dari The Esports Observer. “Minat investor melebihi dari jumlah saham yang kami tawarkan. Sekarang, kami akan menyambut tahun depan dengan semangat, berusaha untuk memonetisasi platform berteknologi kelas dunia milik kami, mengembangkan strategi monetisasi kami, dan terus menjalin kerja sama dengan merek dan organisasi esports ternama.”

Mogul merupakan developer dari mogul.gg, platform matchmaking dan turnamen esports online untuk sejumlah game esports populer, seperti Fortnite, Dota 2, dan Mobile Legends. Platform itu dilengkapi dengan fitur chat dan streaming. Sementara “Branded Hubs” dari Mogul memungkinkan para publisher game untuk membuat kegiatan aktivasi merek di tingkat grassroot. Esports kini memang tengah menjadi pusat perhatian. Pada September lalu, pesaing Mogul, XY Gaming, mendapatkan investasi Seed senilai US$2,5 juta (sekitar Rp35 miliar).

Screenshot dari mogul.gg
Screenshot dari mogul.gg

Sementara itu, Managing Director of the Lead Manager, CPS Capital, Jason Peterson mengatakan bahwa mereka senang karena bisa mendukung Mogul. “Kami telah melihat perkembangan yang signifikan sejak tim Mogul meluncurkan Branded Hubs pada Agustus 2019, dan kami bangga untuk bisa menjadi bagian dari masa depan mereka,” ujarnya, menurut laporan The Market Herald.

Seiring dengan semakin dewasanya industri esports, semakin banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modal di perusahaan yang bergerak di bidang esports. Tak berhenti sampai di situ, mulai muncul badan permodalan yang mengkhususkan diri untuk mendanai perusahaan gaming dan esports, seperti Hiro Capital. Milyarder yang memiliki tim olahraga tradisional juga mulai tertarik untuk menyokong organisasi esports, seperti yang dilakukan oleh co-founder Alibaba Group, Joe Tsai dengan G2 Esports. Di Indonesia, ada beberapa organisasi esports yang telah mendapatkan dukungan perusahaan venture capital, seperti EVOS Esports dan ONIC Esports.

MSI Rilis Alpha 15, Targetkan Gamer dengan Budget Terbatas

Gaet AMD, MSI meluncurkan laptop gaming baru, Alpha 15. Laptop tersebut memiliki layar beresolusi 1080p dan telah menggunakan Ryzen 7 3750H sebagai prosesor. Pihak MSI mengatakan, Alpha 15 memiliki bezel yang cukup tipis, sehingga walau laptop ini memiliki layar 15,6 inci, bodinya memiliki ukuran layaknya laptop 14 inci.

Alpha 15 tersedia dalam dua varian yang didasarkan pada kartu grafis yang digunakan. Varian pertama menggunakan AMD Radeon 5500M dan layar dengan refresh rate 144Hz. Varian ini dihargai Rp15,5 juta. Sementara varian kedua menggunakan kartu grafis Radeon 5300M dengan layar dengan refresh rate 120Hz. Versi ini dihargai Rp14 juta. Keduanya memiliki RAM DDR4 8GB dengan memori SSD 512GB NVMePCIe dan sudah dilengkapi dengan teknologi AMD FreeSync.

Alpha 15. | Sumber: Dokumentasi Hybrid/Ellavie I.A.
Alpha 15. | Sumber: Dokumentasi Hybrid/Ellavie I.A.

Selama ini, MSI memang dikenal sebagai perusahaan pembuat laptop gaming dengan logo naga. Namun, Alpha 15 memiliki logo baru yang disebut “thunder bird”. Digga Febriawan Putra, MSI Product Specialist mengatakan bahwa ke depan, logo thunder bird akan digunakan untuk semua laptop mereka yang menggunakan VGA buatan AMD.

Donnie Brahmandika, Product and Retail Enablement Manager, AMD Indonesia menyebutkan, Alpha 15 merupakan laptop gaming pertama yang menggunakan prosesor 7nm. Dia juga membanggakan, performa Radeon 5500M tak kalah dengan NVIDIA GTX 1650. Dia mengklaim, Alpha 15 dapat mencapai 60 fps ketika digunakan untuk memainkan game-game AAA seperti Borderlands 3, Assassin’s Creed: Odyssey, dan Far Cry 5. Sementara untuk game-game esports seperti Counter-Strike: Global Offensive, Overwatch, dan Dota 2, Alpha 15 dapat memberikan pengalaman bermain hingga 90 fps.

Alpha 15. | Sumber: Dokumentasi Hybrid/Ellavie I.A.
Alpha 15. | Sumber: Dokumentasi Hybrid/Ellavie I.A.

Digga menjelaskan, Alpha 15 ditujukan untuk para gamer yang memiliki dana terbatas. “Sekarang, pasar laptop gaming sedang booming,” katanya ketika ditemui di Century Park Hotel, Selasa, 10 Desember 2019. “AMD menjawab kebutuhan akan laptop dengan spesifikasi tinggi dan harga murah.” Dia mengatakan, peluncuran Alpha 15 merupakan usaha mereka untuk melengkapi portofolio perusahaan. Dengan begitu, mereka dapat menyediakan laptop gaming di berbagai rentang harga. Ketika ditanya apakah tidak ada kekhawatiran bahwa produk MSI akan saling menganibal satu sama lain, Digga menjawab, “Tidak. Masing-masing AMD dan Intel memiliki pasar sendiri.”

Tahun ini, MSI bekerja sama dengan ESL untuk mengadakan Master Gaming Arena (MGA). Melalui turnamen CS:GO ini, empat tim akan terpilih untuk bertanding di babak final yang diadakan di ESL One New York. Pemenang akan mendapatkan hadiah US$60 ribu. Sayangnya, Indonesia tidak masuk dalam MGA. “Sampai saat ini, kita belum mendapatkan informasi tentang esports,” ujar Digga, menjawab pertanyaan tentang rencana MSI terkait esports di masa depan. “Untuk turnamen esports, kemungkinan ada di 2020.”

Dapat Investasi Rp140 Miliar, G2 Esports Mau Ekspansi ke Tiongkok

G2 Esports mendapatkan investasi senilai US$10 juta (sekitar Rp140 miliar) dari Joe Tsai, Co-founder Alibaba Group, melalui J Tsai Sports. Organisasi esports asal Jerman ini berharap, dengan kucuran dana ini, mereka akan dapat melakukan ekspansi ke Asia, khususnya Tiongkok, yang pasar esports-nya tengah berkembang pesat, baik dari segi penonton maupun pemain. League of Legends Pro League di Tiongkok merupakan liga League of Legends terbesar di dunia. Selain itu, tim Tiongkok berhasil memenangkan League of Legends World Championship pada tahun ini dan tahun lalu.

“Tantangan terbesar bagi tim asal Barat adalah untuk memahami budaya Tiongkok dan mengerti cara berpikir dari penonton Tiongkok,” kata Jens Hilgers, Co-founder dan Chairman dari G2 Esports, lapor Bloomberg. “Kami sudah memerhatikan hal itu, tapi jika kami memiliki pemilik asal Tiongkok, kami harap kami akan terbantu.” Joe Tsai terlahir di Taiwan. Dia pindah ke Amerika Serikat saat dia remaja dan sekarang dia juga memiliki kewarganegaraan Kanada.

Joe Tsai. | Sumber: VCG, Getty via Esports Insider
Joe Tsai. | Sumber: VCG, Getty via Esports Insider

G2 Esports memang ingin melakukan ekspansi ke Tiongkok, tapi mereka tak berencana untuk membuat tim sendiri di negara tirai bambu tersebut. Mereka hanya ingin membangun fanbase dengan membuat video dan media sosial untuk audiens esports di Tiongkok. Mereka berencana untuk mempekerjakan penulis, videografer, dan penerjemah bahasa Mandarin agar mereka bisa memahami perbedaan budaya antara Barat dan Tiongkok.

“Dari segi pemain, kami ingin menjadi tim Barat,” kata Hilgers. “Tapi kami ingin memiliki fans di Tiongkok sehingga ketika mereka menonton kompetisi internasional, mereka bisa mengenali G2 Esports, dan berkata, ‘Saya tahu tentang tim ini, saya mengikuti mereka di media sosial, dan mereka adalah tim favorit saya ketika saya tidak melihat tim asal negara saya sendiri.'”

Selain ekspansi ke Tiongkok, G2 juga berencana untuk membangun kantor baru di New York pada 2020. Menurut Hilgers, tidak banyak tim yang merepresentasikan New York di esports saat ini. Padahal, dia berkata, New York merupakan salah satu kota besar dengan budaya yang kaya di Amerika Serikat. “Ini adalah kesempatan bagi G2 untuk mengembangkan pasar di Pesisir Timur,” katanya, seperti dilaporkan oleh ESPN.

Sebelum ini, G2 Esports telah mendapatkan investasi sebesar US$17,3 juta (sekitar Rp242,5 miliar). Juru bicara tim esports itu dan J Tsai Sports menolak untuk berkomentar tentang valuasi dari G2. Namun, dua narasumber Bloomberg memperkirakan, valuasi G2 Esports kini mencapai sekitar US$100 juta (sekitar Rp1,4 triliun).

Sumber header: Esports Insider

Louis Vuitton Luncurkan Koleksi LVxLOL, Harga Sampai Rp79 Juta

Louis Vuitton memasuki ranah esports dengan bekerja sama dengan Riot Games pada September 2019. Ketika itu, merek fashion mewah asal Prancis tersebut akan membuat travel case untuk trofi dari League of Legends World Championship, Summoner’s Cup. Selain itu, Louis Vuitton juga mendesain sejumlah skin untuk karakter League of Legends. Sekarang, mereka memamerkan koleksi pakaian terbaru mereka. Riot mengklaim, kerja sama mereka dengan Louis Vuitton merupakan kerja sama pertama antara merek fashion mewah dengan pelaku esports.

Koleksi yang dinamai LVxLOL ini didesain oleh Nicolas Ghesquière, Artistic Director of Women’s Collection dari Louis Vuitton, lapor Business Insider. Harga dari koleksi terbaru Louis Vuitton beragam, mulai dari US$170 (Rp2,4 juta) sampai US$5.600 (Rp78 juta). Sebuah kaos dengan gambar Qiyana pada bagian depan dan belakang dihargai US$670 (Rp9,4 juta). Produk paling mahal dalam koleksi ini adalah jaket kulit seharga US$5.650 (Rp79 juta).

Koleksi LVxLOL ini akan tersedia pada Februari atau Maret 2020. Sama seperti produk Louis Vuitton lainnya, pakaian dalam koleksi terbaru mereka ini memiliki logo Louis Vuitton. Selain itu, banyak pakaian yang menggunakan pola tiger stripe, yang memang tidak ada kaitannya langsung dengan game League of Legends, tapi memberikan kesan gagah pada pemakainya.

Koleksi LVxLOL. | Sumber: Louis Vuitton via Business Insider
Koleksi LVxLOL. | Sumber: Louis Vuitton via Business Insider

Keputusan Louis Vuitton untuk bekerja sama dengan Riot Games sebenarnya tidak aneh. Sekarang, tak hanya merek endemik saja yang mendukung liga dan organisasi esports. Merek non-endemik, termasuk fashion, juga mulai tertarik untuk masuk ke industri esports. Salah satu alasannya adalah untuk memenangkan hati para penonton esports, yang merupakan generasi milenial dan gen Z. Selain itu, ada beberapa alasan lain mengapa kerja sama antara merek fashion pelaku esports akan menguntungkan kedua belah pihak. Meskipun pria muda dianggap sebagai audiens utama esports dan gaming, sebenarnya hampir 40 persen audiens esports merupakan perempuan. Mereka juga cukup peduli pada penampilan mereka.

Sebelum ini, Louis Vuitton juga telah mengadakan kerja sama dengan badan olahraga tradisional, seperti FIFA untuk membuat koleksi aksesori untuk World Cup 2018. Mengingat sekarang esports semakin diakui sebagai olahraga — salah satu buktinya adalah masuknya esports dalam SEA Games — maka tidak heran jika mereka juga memutuskan untuk bekerja sama dengan pelaku industri esports.

Astralis Group Lakukan IPO

Astralis Group melakukan penawaran saham perdana (IPO) di Nasdaq First North Growth Market di Denmark. Mereka menjual 16.59.777 lembar saham dengan harga 8,95 Krone (sekitar Rp18.500) per lembar. Mereka hanya menjual saham di Denmark, tapi saham tersebut dapat dibeli melalui pialang, menurut kicauan Jacob Wolf dari ESPN.

Astralis Group, yang membawahi tim Counter-Strike: Global Offensive Astralis, tim League of Legends Origen, dan tim FIFA FutureFC, menjadi organisasi esports pertama yang melakukan IPO. Namun, tak tertutup kemungkinan, akan semakin banyak organisasi esports yang tertarik untuk mengikuti langkah Astralis Group dan melakukan IPO, lapor Dot Esports. Pada awal bulan Desember, CEO Astralis Group Nikolaj Nyholm menjelaskan bahwa salah satu alasan mereka memutuskan untuk melakukan IPO dan bukannya membuka ronde pengumpulan dana adalah karena mereka ingin bisa fokus pada rencana jangka panjang mereka.

Nyholm mengaku optimistis dengan keputusannya untuk melakukan IPO. Namun, dia sadar bahwa sebagian pihak mungkin enggan untuk menanamkan investasi di industri esports, yang belum memiliki rekam jejak yang panjang. “Dalam hal ini kami juga memiliki tanggung jawab untuk membantu mengedukasi pasar dengan memberikan informasi yang akurat terus menerus,” katanya.

Astralis saat memenangkan Intel Grand Slam | Sumber: ESL Gaming
Astralis saat memenangkan Intel Grand Slam | Sumber: ESL Gaming

Menurut laporan Newzoo, tahun ini, industri esports diperkirakan memiliki nilai US$1,1 miliar, tumbuh 26 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Jumlah penonton yang terus naik membuat semakin banyak merek non-endemik tertarik menjadi sponsor. Pada puncaknya, League of Legends World Championship 2019 ditonton oleh 2,9 juta orang pada saat bersamaan, hampir dua kali lipat dari total penonton LWC tahun lalu. CEO Riot Games, Nicolo Laurent juga mengaku, beberapa liga League of Legends mereka — seperti liga di Tiongkok dan Korea Selatan — sudah menghasilkan untung.

Bukan hanya jumlah sponsor yang bertambah, tapi juga investor. Sekarang, semakin banyak investor yang berminat untuk mendukung pelaku esports, termasuk perusahaan venture capital. Di Indonesia, EVOS Esports dan ONIC Esports merupakan dua organisasi esports yang telah mendapatkan dukungan dari perusahaan venture capital. Semakin banyaknya investor yang tertarik masuk ke esports dianggap sebagai bukti bahwa industri ini telah menjadi semakin matang.

3 Alasan Mengapa Merek Fashion Harus Kolaborasi dengan Pelaku Esports

Sekarang, organisasi dan kompetisi esports tak hanya disponsori oleh perusahaan yang bergerak di dunia gaming dan esports. Semakin banyak perusahaan non-endemik yang mendukung pelaku industri esports. Merek fashion seperti Louis Vuitton juga ikut masuk ke esports dengan bekerja sama dengan Riot Games, pengembang dan penerbit League of Legends. Meskipun terkesan tak biasa, sebenarnya keputusan Louis Vuitton bukan hal yang aneh. Ada beberapa alasan mengapa kerja sama dengan pelaku esports akan menguntungkan merek fashion, menurut laporan VentureBeat.

1. Audiens game dan esports beragam
Banyak orang berasumsi bahwa penonton esports hanyalah pria muda. Namun, menurut riset Mindshare NA, 60 persen penonton esports ada di rentang umur 25 sampai 39 tahun dan 38 persen audiens esports merupakan perempuan. Tak hanya itu, banyak penonton esports yang ternyata peduli pada penampilan mereka. Satu hal yang harus diingat adalah tidak semua penonton esports sama. Jadi, ketika sebuah merek fashion, atau merek non-endemik lainnya, ingin masuk ke industri esports, mereka harus mencari liga atau organisasi esports yang memang sesuai dengan target pasar mereka.

2. Bisa memenangkan hati fans esports dengan kolaborasi otentik
Ketika merek non-endemik, termasuk merek fashion, hendak bekerja sama dengan organisasi atau turnamen esports, sebaiknya mereka membuat kolaborasi yang otentik. Apa yang dilakukan oleh Louis Vuitton adalah contoh yang bagus. Merek fashion itu membuat travel case untuk Summoner’s Cup, piala dari League of Legends World Championship.

Sebelum bekerja sama dengan Riot, Louis Vuitton memang pernah membuat travel case untuk trofi dari berbagai acara olahraga, termasuk FIFA World Cup. Karena itu, ketika mereka mengumumkan bahwa mereka akan membuat travel case untuk Summoner’s Cup, para fans tidak merasa heran. Selain itu, Louis Vuitton juga mendesain skin untuk karakter dari game buatan Riot Games tersebut.

Skin buatan Louis Vuitton. | Sumber: Riot Games via The Esports Observer
Skin buatan Louis Vuitton. | Sumber: Riot Games via The Esports Observer

3. Influencer esports aktif berinteraksi dengan fans
Selain menjadi sponsor atau bekerja sama dengan liga atau organisasi esports, merek non-endemik juga bisa bekerja sama dengan influencer esports. Pada 2017, trafik dari Twitch — platform live streaming gaming dan esports terbesar — hanya kalah dari Google, Netflix, dan Apple.

Tak hanya itu, penonton Twitch menghabiskan 421 menit untuk menonton konten setiap bulannya. Itu artinya, mereka menonton 44 pesen lebih lama dari pengguna YouTube. Para streamer bisa menghabiskan sekitar 8 sampai 12 jam untuk melakukan live streaming dan berinteraksi dengan para fans mereka. Sebagai perbandingan, atlet olahraga tradisional biasanya hanya berinteraksi dengan fans via media sosial.

Merek non-endemik bisa mendekatkan diri dengan fans esports dengan bekerja sama dengan para influencer untuk membuat konten bersama, seperti apa yang Mastercard lakukan bersama dengan G2 Esports. Selain itu, merek fashion juga bisa bekerja sama dengan menyediakan pakaian untuk organisasi esports. Kappa telah melakukan ini bersama dengan Vexed Gaming. Selain itu, merek fashion juga bisa menciptakan sekumpulan pakaian khusus untuk para gamer.

Bukan untuk Marketing, Esports Jadi Pilar Bisnis Riot Games

Riot Games mulai mengembangkan esports dari League of Legends pada sembilan tahun lalu. Sejak saat itu, esports scene dari game MOBA itu telah berkembang pesat. League of Legends kini memiliki 13 liga yang tersebar di berbagai kawasan. Dua liga terbaru adalah liga nasional di Belanda dan Belgia. Beberapa liga seperti di Korea Selatan dan Tiongkok tidak hanya sudah balik modal, tapi juga sudah menghasilkan keuntungan. Karena itu, tidak heran jika Riot tidak segan untuk mengeluarkan US$100 juta setiap tahun untuk mengembangkan esports League of Legends.

Faktanya, esports kini menjadi salah satu pilar bisnis utama bagi Riot. “Anda tidak bisa melihat esports sebagai bagian dari marketing,” kata CEO Riot Games, Nicolo Laurent pada The Esports Observer. “Kami melihat esports sebagai bisnis. Kami ingin memastikan setiap orang mendapatkan sesuatu dari ini.”

Esports League of Legends terbukti sukses. Ribuan orang datang untuk menonton babak final dari League of Legends yang diadakan di Paris, Prancis sementara jutaan orang menonton pertandingan tersebut secara online. Meskipun begitu, Laurent mengaku, mereka tidak selalu percaya diri bahwa esports akan berkembang menjadi sebesar sekarang. “Kami tidak yakin esports bisa tumbuh seperti sekarang, pada awalnya,” ujar Laurent. Korea Selatan menjadi negara yang esports scene-nya berkembang. Namun, Riot tak yakin apakah itu merupakan bukti potensi esports ataukah esports hanya dapat diterima di Korea Selatan.

League of Legends World Championship 2017. | Sumber: Dot Esports
League of Legends World Championship 2017. | Sumber: Dot Esports

Riot mengadakan League of Legends World Championship (LWC) pertama kali di DreamHack Summer 2011. Ketika itu, tidak ada satupun tim Korea Selatan yang bertanding. Menariknya, jumlah penonton turnamen tersebut tetap melebihi ekspektasi. “Ini membuat kami percaya bahwa esports tidak hanya menarik untuk warga Korea Selatan saja,” ujarnya. “Sekarang, kami memiliki 13 liga dan 3 turnamen internasional, dan di masa depan, kami mungkin akan menambah beberapa liga baru.”

Salah satu perubahan terbesar yang Riot Games lakukan dalam mengembangkan esports League of Legends adalah mengubah sistem terbuka — membiarkan tim manapun untuk bertanding dalam liga selama mereka memang lolos babak kualifikasi — menjadi sistem tertutup, yang mengharuskan tim yang hendak berlaga untuk membayar sejumlah uang. Slot untuk satu tim bernilai setidaknya US$13 juta, tergantung pada lokasi sebuah tim. Dengan model ini, tim-tim yang ikut bertanding dalam liga juga akan mendapatkan sebagian keuntungan yang didapatkan dari liga.

Di Indonesia, satu-satunya kompetisi esports yang menggunakan sistem franchise atau tertutup adalah Mobile Legends Professional League Season 4. Keputusan Moonton untuk menggunakan model tersebut sempat menuai pro dan kontra. Namun, masih belum diketahui apakah investasi awal yang ditanamkan oleh para organisasi esports untuk ikut dalam MPL Season 4 akan berbuah manis.

Dari segi hadiah, turnamen esports tak kalah dari kompetisi olahraga tradisional. Sebagian liga esports, seperti liga League of Legends, juga sudah menggunakan model franchise, membuatnya semakin menyerupai liga olahraga tradisional. Meskipun begitu, tim esports yang berlaga di dalamnya tidak memiliki saham dari liga itu sendiri, berbeda dengan sistem yang digunakan liga olahraga tradisional. Terkait hal ini, Laurent mengatakan, tak tertutup kemungkinan, mereka akan mengadopsi model serupa di masa depan. “Masalahnya, jika Anda ingin melakukan ini, Anda harus punya rencana yang jelas tentang cara memonetisasi liga itu sendiri, atau melakukan IPO. Jika tidak, Anda hanya akan membuat struktur dengan insentif yang buruk,” ujarnya.

Sumber header: Hotspawn

Turtle Beach Kerja Sama dengan Mossad “MSdossary” Aldossary

Perusahaan aksesori dan perangkat audio gaming, Turtle Beach mengumumkan kerja samanya dengan Mossad “MSdossary” Aldossary pada minggu lalu. Melalui kerja sama ini, Aldossary akan menggunakan headset gaming buatan Turtle Beach. Selain itu, dia juga akan ikut serta dalam sejumlah proyek bersama dengan rekan dan brand ambassador Turtle Beach yang lain.

“Mossad adalah pemain FIFA yang ternama dan telah menjadi penasehat Turtle Beach sejak lama. Kami senang dia memutuskan untuk bergabung dengan rekan gamer dan influencer terbaik kami,” kata CEO Turtle Beach, Juergen Stark, menurut laporan The Esports Observer. “Dia adalah salah satu pemain dengan follower dan penonton paling banyak dan karirnya di FIFA masih panjang. Kami tak sabar untuk membantunya menjadi lebih sukses lagi.”

Aldossary adalah pemain FIFA profesional asal Arab Saudi yang telah memenangkan sejumlah kejuaraan. Dia menjadi juara FIFA eWorld Cup pada tahun 2018 dan memenangkan Xbox World Championship dua kali berturut-turut. Tahun ini, Mossad juga ikut berpartisipasi dalam FIFA eWorld Cup. Dia bahkan bisa melaju ke babak final. Sayangnya, dia harus mengaku kalah dari Mohammed “MoAuba” Harkous dengan nilai 2-3.

MSdossary saat memenangkan eWorld Cup tahun lalu. | Sumber: EA
MSdossary saat memenangkan eWorld Cup tahun lalu. | Sumber: EA

Menurut Esports Earnings, sepanjang karirnya, Aldossary telah memenangkan total hadiah turnamen sebesar US$520 juta. Sepanjang sejarah esports scene FIFA 19, dia duduk di peringkat empat dalam daftar pemain dengan total hadiah terbesar. Dalam membuat kerja sama ini, Aldossary diwakili oleh Roc Nation Sports International. Ini bukan pertama kalinya Turtle Beach mendukung pelaku esports. Sebelum ini, mereka juga telah bekerja sama dengan sejumlah entitas seperti BLAST Pro Series, DreamHack, dan Houston Outlaws.

FIFA kini telah menjadi game esports yang populer. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah penonton yang menonton dari FIFA eWorld Cup 19. Berlangsung selama tiga hari, turnamen tersebut ditonton sebanyak 47 juta kali di berbagai platform online. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah viewership eWorld Cup tahun ini naik 60 persen. Salah satu alasan mengapa jumlah penonton turnamen FIFA naik drastis adalah karena turnamen tersebut untuk pertama kalinya disiarkan dalam enam bahasa, yaitu Arab, Tiongkok, Inggris, Jerman, Portugal, dan Spanyol.

Bagaimana Memanfaatkan Statistik Esports Demi Kemenangan?

Di era digital, semakin banyak perusahaan yang menggunakan data untuk menekan biaya operasional atau untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Di dunia olahraga, atlet atau tim profesional biasanya memiliki analis yang berfungsi untuk menganalisa data pemain atau tim untuk meningkatkan performa mereka. Tugas lain analis adalah menganalisa data atlet atau tim musuh untuk mengantisipasi mereka. General Manager Oakland Atletics, Billy Beane dipercaya sebagai orang pertama yang memprioritaskan penggunaan data dan statistik dalam sebuah tim olahraga. Di tennis, data biasanya digunakan untuk mengetahui kebiasaan arah serve seorang pemain. Sementara dalam basket, data bisa digunakan untuk mengetahui ketangguhan pertahanan sebuah tim.

Pada awalnya, data tidak digunakan di statistik esports. Namun, ketika muncul game-game yang kaya data seperti StarCraft 2 dan Dota 2, organisasi esports juga mulai mempekerjakan staf analisis. Semakin besarnya industri esports berarti, perusahaan-perusahaan teknologi besar — seperti IBM, Microsoft, dan SAP — menjadi tertarik untuk bekerja sama dengan organisasi esports. Perusahaan teknologi tersebut biasanya menawarkan untuk membuat software analisa bagi organisasi esports. Tak hanya itu, mereka ini juga menyediakan software analisa untuk kebutuhan broadcast.

Untuk menganalisa data para atlet olahraga tradisional, data yang dikumpulkan harus didigitalkan terlebih dulu sebelum diolah. Proses digitalisasi biasanya memakan waktu yang cukup lama. Untungnya, data dalam esports sudah ada dalam bentuk digital, sehingga data ini tak perlu didigitalisasi lagi. Hanya saja, data yang bisa Anda dapatkan dari game esports bisa sangat banyak. Masalah lain dalam menggunakan data di esports adalah akses ke data sebuah game biasanya tergantung pada kemurahan hati publisher.

Sumber: Esports One via The Esports Observer
Sumber: Esports One via The Esports Observer

Game publisher dan API (application programming interface) yang publisher sediakan akan selalu menjadi sumber data utama,” kata Matthew Gunnin, CEO Esports One, perusahaan pembuat software untuk membuat statistik menggunakan computer vision dan machine learning. Data tersebut akan akan digunakan dalam siaran langsung. Pada awal perusahaan didirikan, dia mengatakan, Esports One mengumpulkan data secara manual dan menggantungkan diri pada API dari sebuah game. “Sekarang, kita sangat memanfaatkan computer vision untuk mengumpulkan data, tapi setiap game berbeda-beda, tergantung pada game dan support yang ada.”

Data apa yang dikumpulkan dan bagaimana data digunakan?

Dalam statistik esports, data yang bisa didapatkan dari setiap game berbeda-beda. Penggunaannya juga tak selalu sama. Dalam game shooter, cara pemain memosisikan diri adalah salah satu bagian penting yang harus diperhatikan, karena posisi memengaruhi jarak pemain ke musuh dan waktu reaksi yang mereka butuhkan untuk bereaksi. Ini mendorong Tobi dan SteelSeries untuk menyediakan solusi yang memungkinkan pemain yang masih ingin mengasah kemampuan mereka untuk membandingkan gerakan mata mereka dengan gerakan mata para profesional.

Selain itu, data juga bisa digunakan untuk memperkirakan kombinasi yang akan digunakan oleh musuh. Misalnya, esports scene Dota 2 tidak memiliki liga. Sebagai gantinya, ada beberapa turnamen besar yang diadakan setiap tahunnya. Karena itu, biasanya, para tim profesional Dota 2 lebih ingin tahu tentang kebiasaan tim lawan. Untungnya, Valve, publisher Dota 2 biasanya cukup terbuka untuk berbagi data untuk proyek open source. Mereka bahkan membiarkan pihak ketiga mengakses data dari video replay pertandingan.

Sumber: Steam Community
Sumber: Steam Community

“Sekarang, kami memiliki data dari sekitar 65 ribu pertandingan dari pertandingan yang telah berlalu,” kata Melvin S. Metzger, Esports Developer, SAP HANA, menurut lapora The Esports Observer. Dia mengatakan SAP HANA dapat menganalisa pertandingan profesional dari Dota 2. Mereka akan membandingkan data dari pertandingan lama dengan data dari pertandingan yang tengah berlangsung atau yang akan datang. Ketika membandingkan data pemain dengan pemain lain, data yang digunakan tergantung pada permintaan.

Ketersediaan data di esports memungkinkan perusahaan untuk membuat AI yang dapat membantu pelaku esports untuk berlatih. Selain itu, AI juga bisa digunakan untuk beberapa hal lain. telah ada sejumlah perusahaan yang menawarkan AI untuk mengasah kemampuan pemain, seperti OpenAI. Meskipun begitu, penggunaan AI untuk membantu pemain berlatih adalah hal yang masih sangat baru. Tingkat efisiensinya pun belum diketahui. Meskipun begitu, perusahaan teknologi tetap mau menjalin kerja sama dengan organisasi esports. Biasanya, alasan perusahaan teknologi mau bekerja sama dengan organisasi esports adalah untuk mendekatkan diri dengan fans esports. Misalnya, Microsoft bekerja sama dengan Cloud9. Terlepas dari apakah kolaborasi keduanya sukses atau tidak, fans esports akan mengingat Microsoft sebagai perusahaan yang menjadi rekan dari Cloud9.

Gunnin menjelaskan, “Dari perspektif kami, bagaimana data akan digunakan di masa depan adalah tentang bagaimana kami akan mengaitkan status para pemain dengan apa yang terjadi saat game berlangsung. Kami tahu bagaimana cara para pemain pro bermain, dan saat melihat gameplay Anda, kami akan menyimpan dan menandai kejadian dalam game sebagai perbandingan.”

Seberapa penting analisa untuk tim esports?

Di Indonesia, BOOM Esports merupakan salah satu organisasi yang memiliki tim Dota 2 terkuat. Ketika berkunjung ke kantor Hybrid, CEO dan pendiri BOOM Esports, Gary Ongko menjelaskan alasannya mengapa mereka berkeras untuk bertahan di esports PC walau mobile esports tengah booming di Indonesia. Selain itu, dia juga menjelaskan pentingnya keberadaan psikolog dan analis bagi sebuah tim esports. Gary mengatakan, peran analis cukup penting dalam esports. Tim-tim papan atas biasanya memiliki taktik yang mereka gunakan. Namun, para pemainnya juga biasanya memiliki kebiasaan buruk yang bisa dieksploitasi.

“Misalnya, pada detik ke sekian, pemain selalu melihat ke kanan, memeriksa keadaan di belakang. Kita bisa mengeksplotasi hal ini,” ujar Gary. Menurutnya, detail kecil seperti inilah yang akan menentukan kemenangan jika dua tim yang sama-sama jago bertemu. Dan kebiasaan seperti ini bisa diketahui dengan statistik. Saat ini, BOOM masih melakukan analisa secara manual. Itu artinya, analis memasukkan data ke spreadsheet dan mengolahnya sendiri. Meskipun begitu, dia sadar bahwa telah ada perusahaan yang menawarkan software analisa yang bisa melakukan tugas analis secara otomatis. Menurutnya, analis esports tak harus pernah menjadi pemain profesional. Begitu juga dengan para pelatih. “Selama ide mereka memang bagus, kenapa nggak?”

Sumber: Dokumentasi Hybrid
CEO dan pendiri BOOM Esports, Gary Ongko. | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Gary memiliki kesempatan untuk mengambil kuliah S2 hingga Amerika Serikat. Sambil tertawa, dia mengaku bahwa tidak banyak ilmu dari perkuliahan yang dia masih gunakan sampai sekarang. Namun, menurutnya, kuliah tetap penting karena itu akan mengajarkan Anda untuk disiplin dan berpikir kritis. Satu ilmu yang masih digunakan sampai sekarang adalah statistik, yang masih melibatkan pengolahan data. Dia bercerita, statistik tidak hanya digunakan untuk analisa permainan tim, tapi juga aspek lain dalam mengatur organisasi esports. Misalnya untuk melihat perkembangan performa pemain atau bahkan pertumbuhan media sosial tim atau pemain profesional. Ketika BOOM mencoba hal baru, dengan bantuan data, mereka bisa mengetahui apakah hal itu efektif atau tidak. “Kalau di Dota 2, statistik bisa digunakan untuk melihat persentase hero yang di-pick dari musuh. Sementara kalau PUBG Mobile dan Free Fire, kita bisa melihat lokasi pemain turun, timing rotasi,” ungkapnya.

Sayangnya, sepertinya, analisa data di Indonesia mungkin belum akan jadi mainstream dalam beberapa tahun ke depan. Muasalnya, game esports yang laris di Indonesia adalah game mobile yang punya keterbatasan soal API — dibandingkan game PC. Game-game yang laris di Indonesia juga rilisan publisher ataupun besutan developer Tiongkok yang mungkin lebih tertutup soal transparansi data. Ditambah lagi, masih banyak pelaku industri esports di Indonesia yang belum menyadari pentingnya digitalisasi data di esports.

Studi kasus: Liquid dan SAP HANA

Pada April 2018, SAP mengumumkan kerja samanya dengan Team Liquid, khususnya divisi Dota 2 mereka. Melalui kerja sama ini, SAP akan mengembangkan tool untuk menganalisa data yang dikumpulkan dari game untuk meningkatkan performa para pemain dan mencari talenta baru. Namun, data ini dikumpulkan dari roster Team Liquid yang lama, yang telah keluar dari organisasi tersebut dan membentuk tim baru bernama Nigma.

Setelah satu tahun, SAP akhirnya berhasil menciptakan tool yang memang bisa digunakan oleh para profesional. Software ini dibuat oleh dua ahli full-stack development yang juga memiliki pemahaman tentang data science. Salah satu fungsi dari software ini adalah untuk membantu Team Liquid dalam fase drafting, yaitu proses pemilihan hero ketika mereka juga bisa melarang sejumlah karakter untuk digunakan oleh musuh. Di sini, tim profesional berusaha untuk mengumpulkan data sebanyak mungkin dan mempertimbangkan sinergi antar karakter.

Proses drafting. | Sumber: ESL via The Esports Observer
Proses drafting. | Sumber: ESL via The Esports Observer

“Salah satu tantangan yang kami hadapi adalah tidak ada data komprehensif yang bisa kami dapatkan melalui data yang bisa diakses semua orang,” kata Milan Cerny, Properti Owner and Innovation Lead for Esports, SAP. “Tentu saja, kami juga mempertimbangkan aspek dalam game. Seperti heat mapping untuk segala kejadian dalam game, baik pergerakan hero maupun penggunaan ward.” Tak hanya bekerja sama dengan organisasi esports profesional, SAP juga menggandeng sejumlah penyelenggara turnamen, seperti EPICENTER, DreamHack, dan ESL. Kepada para penyelenggara turnamen, SAP menawarkan data tentang pemilihan hero, persentase kemenangan, dan data lainnya di layar penonton. Mereka juga memberikan insight pada para caster dan analis produksi.

Kesimpulan

Penggunaan data dan AI di ranah esports masih sangat baru. Belum ada bukti definitif apakah penggunaan data akan bisa membantu tim esports untuk menang. Namun, menggunakan data untuk menganalisa performa tim dan memprediksi lawan terbukti bermanfaat di olahraga tradisional. Tidak tertutup kemungkinan, pengumpulan dan pengolahan data akan menjadi senjata bagi organisasi esports papan atas di masa depan.

BOOM Esports Bertahan di DOTA 2 Demi Bawa Indonesia ke Dunia

Esports kini tengah naik daun. Mengingat Indonesia adalah negara mobile first, tak heran jika mobile esports lebih populer daripada esports untuk PC atau konsol. Beberapa tim Indonesia pun terbukti sukses meraih prestasi di tingkat dunia, seperti Bigetron RA yang baru saja memenangkan PUBG Mobile Club Open Global Finals 2019 di Malaysia. Meskipun begitu, BOOM Esports — yang dulu dikenal dengan nama BOOM ID — justru fokus pada tim DOTA 2 mereka.

Pada Selasa, 3 Desember 2019, CEO dan pendiri BOOM Esports, Gary Ongko berkunjung ke kantor Hybrid. Ketika ditanya tentang mengapa BOOM memilih untuk fokus pada esports PC, dia menjawab, “Sejujurnya, saya cukup nasionalis. Waktu buat BOOM, tujuannya adalah untuk menjadi tim nomor satu di dunia. Sayangnya, kalau tidak main di PC, dunia tidak akan peduli. Saya mau mengibarkan bendera kita di luar negeri.” Dia mengatakan, Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar ke-4. Dia yakin, dia bisa menemukan lima orang pemain esports yang dapat untuk bersaing di tingkat dunia. “Dari segi fisik, kita mungkin kalah. Tapi, kalau beradu otak, masa iya nggak ada yang bisa lawan juga?”

Tidak ada yang salah dengan rasa nasionalisme. Namun, sekarang, esports telah menjadi bisnis. Secara global, diperkirakan nilai industri esports mencapai US$1,1 miliar. Banyak perusahaan non-endemik yang tertarik untuk menjadi sponsor. Selain itu, juga bermunculan perusahaan yang tertarik untuk menanamkan investasi di esports. Perusahaan venture capital pun juga ikut masuk ke esports. BOOM sendiri telah menjadi perusahaan dengan puluhan karyawan. Soal pendapatan, Gary menyebutkan, saat ini, sebagian besar pendapatan BOOM — dan juga tim esports besar lain di Indonesia — berasal dari sponsorship. Selain itu, mereka juga mendapatkan pemasukan dari hak siar dan penjualan merchandise.

Sumber: Dokumentasi Hybrid
Sumber: Dokumentasi Hybrid

“Kalau di luar negeri, bisa 30 persen media rights, sponsor 60 persen, dan sisanya lain-lain. Kalau di Indonesia, sekitar 80-90 persen dari sponsorship,” kata Gary. “Di Indonesia, prize pool juga tidak terlalu besar. Makanya kita masih main di PC.” Di Indonesia, turnamen dengan prize pool terbesar adalah Mobile Legends Professional League Season 4 dengan hadiah mencapai US$150 ribu. Sebagai perbandingan, turnamen dengan total hadiah terbesar di dunia adalah The International 2019 yang menawarkan lebih dari U$30 juta sebagai hadiah.

Jumlah penonton esports yang terus bertambah membuat banyak perusahaan tertarik untuk menjadi sponsor di dunia esports. Selain organisasi esports, sebuah perusahaan juga bisa menjadi sponsor dari turnamen atau liga esports. Sebagai pemilik organisasi esports, Gary tentu saja merasa menjadi sponsor dari tim esports lebih menguntungkan. “Karena kalau event kan cuma satu kali. Tahun depan belum tentu ada lagi. Dan viewership-nya juga belum tentu sama,” ungkapnya. Sementara dengan menjadi sponsor tim esports, sponsor akan bisa memasang logo atau nama perusahaan di jersey pemain. Tak hanya itu, mereka juga bisa mengadakan kolaborasi untuk membuat konten. Ini juga sudah dilakukan oleh G2 Esports dan Mastercard.

Sumber: Dokumentasi Hybrid
Sumber: Dokumentasi Hybrid

Gary bercerita, saat ini, BOOM memiliki sekitar 70-80 karyawan. Sebagian besar — sekitar 60 orang — adalah pemain profesional. Meskipun begitu, dia mengatakan bahwa organisasi esports tak cukup jika hanya mengejar kemenangan. Dia bercerita, pada dua tahun pertama BOOM didirikan, mereka tak fokus pada media sosial. Dia berpikir, jika BOOM terbukti berprestasi, maka para fans akan datang dengan sendirinya. “Tapi, kenyataannya tidak begitu,” katanya. Dia mengaku, membangun presence di media sosial juga penting. Karena, menurutnya, pada akhirnya para penonton juga ingin tahu tentang cerita di balik kesukesan sebuah tim esports.

Selain tim media sosial, Gary mengatakan, psikolog juga memiliki peran dalam kesuksesan tim. Setelah menyediakan psikolog untuk tim, tim Free Fire dan PUBG Mobile BOOM terbukti menjadi lebih sukses. Dia menyebutkan, banyak pemain esports asal Asia yang berbakat. Hanya saja, mereka punya kecenderungan untuk merasa rendah diri jika bertemu dengan pemain dari Amerika Utara atau Eropa. Psikolog akan membantu para pemain untuk tetap percaya diri pada kemampuan mereka sendiri, tak peduli siapa yang mereka hadapi.