It’s a Payment War, not a Ridesharing Battle

As it became official today — Kudo has just been acquired by Grab. This just confirmed my theory that I fought for in a WhatsApp conversation with a startup friend: This SE Asia region war isn’t in the ridesharing space, but actually in the payment space — and Uber might be losing out.

Let’s look back and track how the two companies are doing it:

Go-Jek — yes they started with a ridesharing, and then expanded even more successfully in the food delivery space: GoFood. After that it keeps adding more use-cases (Go Massage, Go Glam, and more) and became an on-demand platform (for platform play, see WeChat in China).

At first, I was thinking that Go-Jek was aiming to become WeChat indeed — adding all things into one app and become the go to platform in our daily life. I heard they are even on the verge of closing a $1B round from Tencent (HA!).

But after launching their payment platform, GoPay, and basically just subsidize the whole lot of use-cases for the sake of people pumping money inside its wallet. Now, I’m confirmed that in fact this is a payment war.

It is the war to actually banking the unbanked.

If you think about it Go-Jek (and possibly Grab) are creating its own ecosystem with its drivers — they are essentially the drivers’ bank by holding their income and in fact even enabling them to buy things through its payment system. Imagine this: whatever things that Go-Jek sell to its drivers — most likely they might buy it e.g. micro insurance or even a loan.

With Go-Jek present in technically all big cities in Indonesia and potentially all cities soon, it has the (huge) potential to become THE bank for people who are usually out of reach from the traditional banks.

Now on top of that growing ecosystem is also all the middle class who are becoming more and more used to using Go-Jek, that having millions on its GoPay system are a norm rather than the exception today.

Back to the big news of the day (congratulations for Albert and Agung — you two never cease to amaze me, and can’t thank you guys enough to be our early paying customers), at the other side of the arena, Grab is a bit too late in expanding its use-cases, such as its GrabFood (May 2016) and even its payment system.

While its ride-sharing market share isn’t that far from Go-Jek, it has to add more users and more use-cases to its platform to make the payment (or digital bank) works. Kudo, who’s basically went from 0 to $100m (the unconfirmed value of the acquisition) in just 2 years, has tens of thousands agents on the field who are giving access to:

a) e-commerce for those who aren’t familiar with it and doesn’t even trust it and,

b) banking the unbanked, again, by its payment platform

By buying Kudo, Grab gained access to its ever expanding ground workers who are acquiring more and more users. While this might not beat GoPay, yet, it is a step in the right direction and in my opinion — they might be buying Kudo while it still can (in terms of valuation) 🙂

I’m going to close this post with two predictions:

1) Similar players to Kudo such as Ruma (one of the most awesome — yet under the radar startup by the way!) and or players like Kioson might be on the radar of Go-Jek to expand its payment user base

2) In the (near) future, Go-Jek might not be acquired by a “similar” player such as Uber and or Didi but in fact payment players such as Ant Financial.

What do you think? 🙂


Disclosure: This post is originally written by Joshua Kevin and has been republished with permission. He’s Founder of Talenta.co. Read the original post in here.

Jogja Geek Fair 2017: Jawaban dari Berbagai Isu Teknologi Yogyakarta

Penutupan development office GO-JEK dan AGATE Studio di Yogyakarta menjadikan para pelaku bisnis startup yang akan membuka kantor pengembangan maupun ekspansi pasar menjadi khawatir. Tidak hanya startup lokal, beberapa startup kelas internasional seperti 123RF yang juga membuka kantor di Yogyakarta juga melakukan hal yang sama di pertengahan tahun 2016 lalu. Kemudian muncul pertanyaan, apakah benar kota ini tidak cocok untuk berbisnis dan talenta atau sumber daya manusia di Yogyakarta kurang memiliki daya saing?

Permasalahan tersebut ternyata menjadi fokus dari beberapa pihak, salah satunya Asosiasi Digital Kreatif Indonesia (ADITIF), yang berbasis di Yogyakarta. Saga Iqranegara, Ketua ADITIF mengemukakan bahwa memang di Yogyakarta pada saat ini sedang mengalami krisis kepercayaan, khususnya dalam hal sumber daya manusia. Berkaca dari penutupan GO-JEK beberapa waktu yang lalu, muncul menjadikan beberapa startup mengurungkan niat untuk membuka kantor di Yogyakarta. Padahal talenta teknologi (baik programmer maupun non-programmer) di Yogyakarta sangatlah banyak dan potensial.

Potensi mengenai talenta teknologi di Yogyakarta juga diakui oleh GKR Hayu, Penghageng Tepas Tandhayekti Kraton Yogyakarta. Menurutnya, setidaknya dalam satu startup besar atau korporat teknologi, khususnya di kancah nasional, pasti ada orang Yogyakarta. Tidak hanya itu, beberapa startup terkenal seperti SaleStock Indonesia dan HIPWEE, mereka juga dari Yogyakarta dan membuktikan bahwa orang-orang Yogyakarta itu potensial.

Jogja Geek Fair

Beberapa isu yang menjadi sorotan tersebut, dijadikan sebuah tantangan oleh teman-teman startup di Yogyakarta. Seperti halnya startup, jika permasalahan ini tidak di validasi, maka akan menjadi wacana sepanjang masa.

“Oleh karena itu, kita mencoba mengurai ketidakpastian tersebut melalui event Jogja Geek Fair,” ujar Akbar Faisal, Project Manager JOGJA GEEK FAIR.

Akbar melanjutkan “Pada awalnya, kami mengajak beberapa startup seperti Evenesia, StartUP Jobs Asia, Nusantarahub, Caption, Taxies, dan SaleStock yang memiliki basis di Yogyakarta untuk membahas agenda tersebut, namun apabila bisa mengundang beberapa startup lain, maka akan lebih menarik. Selain itu, kami juga menggandeng DailySocial sebagai official tech-media partner agar lebih greget.”

Jogja Geek Fair merupakan event tahunan yang menghubungkan para pelaku bisnis startup, korporasi digital, komunitas, dan talenta yang ada di Yogyakarta. Rencananya, acara ini akan diadakan di Hartono Mall pada Sabtu, 6 Mei 2017. Nantinya akan ada beberapa startup lokal maupun internasional akan membuka stand untuk showcase maupun hiring. Perusahaan yang berminat untuk bergabung, ditunggu hingga 15 April untuk join event ini.

Peserta yang akan datang, tentunya tidak hanya dari Yogyakarta saja, namun juga dari sekitar Yogyakarta seperti Semarang, Solo, Magelang, dan Purwokerto. Selain itu, acara ini juga diramaikan oleh beberapa komunitas, di antaranya ADITIF, SOLOCONVALLEY, PAIJO (Paguyuban Akun Info Jogja), Inovative Academy (IA), GAMELAN (Komunitas Pengembang Game Yogya) dan Komunitas Android Yogya.

Kampus-kampus berbasis IT dan kampus yang memiliki jurusan teknologi informasi dan manajemen juga mendukung acara ini, salah satunya dengan dipersilakannya bagi perusahaan untuk memperkenalkan startupnya ke kampus dalam serangkaian event Jogja Geek Fair.

Bagi startup atau perusahaan digital yang ingin turut serta dalam pameran Jogja Geek Fair dapat mendaftarkan diri melalui tautan: http://jogjageekfair.com/companies.

Disclaimer: Artikel ini ditulis oleh tim Jogja Geek Fair 2017. DailySocial merupakan media partner acara Jogja Geek Fair 2017.

Tren 2017: Memikatnya “Interactive Content” untuk Pemasaran Brand Indonesia

Interactive content yang sangat bergantung pada penggunaan digital kini mulai banyak dilirik oleh marketeers, bahkan bisa jadi konten interaktif menjadi tren konten pemasaran di tahun 2017 ini. Sumber dari penelitian yang dilakukan oleh Content Marketing Institute, penggunaan konten interaktif mengalami peningkatan dari tahun 2015 ke tahun 2016 sebesar 75%.

Konten interaktif bertujuan membuat konsumen lebih mudah memahami pesan yang ingin disampaikan oleh brand. Sebenarnya apa saja bentuk konten interaktif, bagaimana cara membuatnya, serta bagaimana mengukur keberhasilannya. Simak yang berikut ini:

Ragam bentuk konten interaktif

Konten interaktif terdiri dari beragam bentuk, yaitu bisa berupa kuis, polling atau survey, assessment, kontes, video, serta infographic. Jika brand Anda ingin meningkatkan awareness, pemilihan konten interaktif berupa kuis/games atau kontes akan memberi pengaruh sebesar 75%.

Publikasi di media massa juga tergolong konten interaktif yang dapat meningkatkan awareness dan kepercayaan publik. Seperti Bukalapak dan Tokopedia sudah aktif menggunakan konten interaktif video sejak tahun 2016 di saluran YouTube. Sekarang media sosial seperti Instagram dan Facebook juga sudah memiliki fitur untuk konten video pendek brand Anda sehingga mudah bagi Anda untuk mulai membuat konten interaktif melalui sosial media.

Tools

Untuk memudahkan Anda membuat konten interaktif, kini tersedia aplikasi yang dapat Anda andalkan. Apester bisa Anda gunakan untuk membuat konten interaktif berupa survei/polling, personality test, dan juga kuis dalam bentuk video. Konten tersebut bisa Anda masukan ke dalam artikel yang akan Anda berikan kepada audiens.

Zaption berguna untuk membuat video interaktif karena Anda dapat menambahkan gambar, tulisan, pertanyaan atau kuis ke dalam video tersebut. Juga WebyClip yang dapat secara aktif me-engagement audiens melalui video yang berisi review produk, customer experience, beserta informasi lain yang dapat meyakinkan audiens ke tahap decision.

Measurement

Keunggulan konten interaktif adalah efeknya yang dapat kita ketahui secara langsung. Pengukuran keberhasilan dari sebuah konten interaktif, misalnya berupa video dapat kita lihat dari berapa banyak viewers serta subscribe dari video tersebut.

Di media sosial misalnya, berapa audiens yang memberi comment atau like sebagai bentuk feedback pada konten interaktif Anda. Selain itu berapa banyak audiens yang men-share konten dan bagaimana kondisi demografi serta letak geografi dari audiens Anda juga dapat diketahui.

Melalui Facebook Analytics atau CrazyEgg, Anda dapat mengetahuinya dengan mudah. Yang terpenting adalah kemauan untuk terus mengikuti perkembangan aplikasi yang dapat memberi kemudahan pada Anda dalam mengembangkan brand.

Konten interaktif dapat membantu Anda mengetahui bagaimana respons audiens terhadap brand. Juga membantu Anda untuk lebih fokus dalam menargetkan audiens yang potensial. Memang tidak secara langsung dapat memberi keputusan pembelian seperti yang berlaku pada hard sell, namun Anda dapat menggiring konsumen dengan lebih pasti.

Data menyatakan bahwa interactive content lebih efektif dalam mengedukasi konsumen sebesar 45% dibandingkan dengan konten pasif. Konten interaktif mampu mencuri perhatian bagi brand yang membutuhkan engaging dengan target konsumennya. Dimulai dari tahapan awareness hingga decision stage bisa diarahkan menggunakan konten interaktif.


Disclosure: Tulisan tamu ini ditulis oleh Gina Dwi Prameswari. Gina adalah Content Consultant di BBOX Consulting. Ia bisa dihubungi melalui blog BBOX.

29 Faktor Penentu Konversi Website Anda

Sebagai digital performance agency, saya dan tim beberapa kali bertemu pemain e-commerce baru/brand/personal yang baru membangun e-commerce store-nya sendiri, dan kebanyakan dari mereka selalu menanyakan seputar konversi sales dengan nada frustrasi seperti:

  • Kenapa konversi sales di website e-commerce-nya sedikit?
  • Kenapa cost per conversion-nya tinggi sekali?
  • Kenapa orang abandon cart e-commerce saya?

Untuk e-commerce lama pastinya sudah mendapat pencerahan dari pengalaman beberapa tahun setelah berjalan.

Sebenarnya ada beberapa hal fundamental yang harus dipahami terlebih dahulu untuk mengatur ekspektasi konversi/sales di website Anda, satu hal yang harus Anda ingat adalah faktor penentu terjadinya konversi sales/penjualan tidak 100% tergantung dari iklan Anda.

Dan kalau Anda melihat dari list di bawah, iklan hanya sebagian kecil dari faktor lain, bahkan tidak termasuk dalam top prioritas untuk hal yang harus Anda persiapkan/bereskan.

Kabar baiknya adalah artinya masih ada kesempatan untuk pemain e-commerce baru untuk mengejar pemain e-commerce lama. Tentunya banyak hal yang harus disiapkan oleh tim internal a=Anda dari semua divisi dan juga agency periklanan Anda.

Apa sajakah faktor yang menentukan terjadinya konversi, di sini urutan menentukan prioritas, dan karena kebanyakan saya hanya menjelaskan intinya di sini, tentunya kita bisa ngobrol banyak di offline:

(1) Harga atau promosi

Banyaknya e-commerce dan marketplace membuat orang cenderung untuk memilih harga termurah, tentunya mereka juga sudah mempertimbangkan jenis barang, garansi dan hal lain yang biasanya ditawarkan sama oleh semua pemain e-commerce/market place. Coba tanya diri sendiri, jika Anda ingin membeli sebuah barang yang pasti bentuknya seperti buku, e-commerce A menawarkan harga IDR 300,000 & e-commerce B menawarkan harga IDR 290,000, dari e-commerce mana yang akan Anda beli?

Promosi juga sangat penting, ada e-commerce kopi yang bisa dibilang hampir setiap hari mengeluarkan promosi menarik, mungkin tidak setiap promosi akan berhasil, tapi mereka belajar dan setidaknya berhasil menjadi top of mind. Hal yang perlu diingat ketika melakukan promosi, buatlah promosi yang benar2 bagus, bukan palsu atau diskon palsu atau ala kadarnya.

(2) Perilaku pembeli

Kesalahan yang juga paling sering terjadi adalah mengharapkan pembeli untuk membeli barang Anda secara online, padahal barang Anda termasuk barang tipe impulsif yang harus segera dibeli ketika diperlukan dan mudah didapatkan di toko offline terdekat. Bayangkan Anda dalam perjalanan pulang ke rumah dan ingin segera mandi dan keramas, namun Anda teringat tadi pagi Anda sudah kehabisan sabun dan sampo, apakah Anda akan membeli sabun dan sampo secara online dan menunggu hingga besok atau bahkan beberapa jam jika diantar dengan kurir kilat? Atau Anda cukup mampir sebentar ke warung dan masalah Anda selesai?

Bukan berarti Anda tidak perlu berada di online, tetapi KPI untuk industri tertentu seharusnya berbeda.

(3) Brand e-commerce

Pemain baru artinya brand baru, orang tidak/belum mengenal Anda, orang belum percaya Anda, bagaimana cara Anda menangani order pembeli sampai nanti ketika ada masalah. Begitu juga dengan pemain lama, coba cel apakah brand Anda terkenal dengan hal positif atau malah sebaliknya?

(4) Penyimpanan data pembeli

Pastikan ada menu untuk pembeli yang loyal supaya mereka mudah untuk melakukan pembelian ulang, seperti alamat, kartu kredit, nomor rekening, dan sebagainya.

(5) Pilihan pembayaran

Perbanyak pilihan pembayaran dari COD, kartu kredit, debit, e-wallet, dan sebagainya.

(6) User interface & experience

Dari desain, menu sampai pengalaman di mobile semuanya harus mudah dan menyenangkan.

(7) Tracking

Tidak melakukan tracking, tidak bisa diukur, artinya tidak bisa ditingkatkan. Track semua button, event, page, add to chart, konfirmasi, penjualan sukses dan semua proses di dalam website Anda, lalu lihat mana yang bisa ditingkatkan.

(8) Remarketing/retargeting

90%+ orang suka windows shopping, hal yang sama terjadi di online, sebelum membeli mereka melakukan research dari segala hal seperti bentuk, warna, harga, ukuran, review, feedback, promo, dan sebagainya. Pastikan Anda melakukan remarketing di waktu yang tepat ke orang yang sudah interest dengan produk Anda.

(9) Kecepatan website & mobile site

Untuk sekarang ini tidak ada alasan lagi website/mobile site lambat, jika loading awal saja lama, pembeli segera berpindah ke toko sebelah.

(10) Ongkos kirim

Siapa yang tidak suka ongkos kirim gratis? Titik.

(11) After sales service

Ketika pembeli membeli barang, mendapatkan barang adalah hal pasti, untuk barang yang jelas seperti buku, elektronik, mereka sudah tahu apa yang mereka akan dapatkan, yang mereka pikirkan berikutnya adalah setelah mereka membeli bagaimana prosesnya. Mulai dari pengiriman seberapa cepat, packing, pengembalian jika barang rusak, garansi, customer service yang ramah, cepat, responsif, dan sebagainya.

(12) Brand produk

Menjual produk dari brand bagus, dengan promosi bagus, tentunya lebih mudah daripada menjual produk dengan brand yang tidak terkenal/tidak bagus. Artinya lakukan pemilihan produk-produk utama yang akan Anda promosikan dengan gencar.

(13) Sinkronisasi jumlah produk dengan stok

Pastikan barang tersedia jika produk tersebut ditawarkan, ini kesalahan umum yang membuat frustrasi pembeli jika terjadi.

(14) Kualitas gambar produk

Gambar yang bagus, meningkatkan intensi untuk segera membeli.

(15) Google Tag Manager

Sedikit teknikal di sini, simpelnya gunakan Google Tag Manager untuk mempermudah hidup developer Anda ke depannya.

(16) Google Analytics

Kumpulkan data, pelajari calon pelanggan dan pelanggan yang datang ke website Anda. Ini berhubungan dengan Google Tag Manager juga.

(17) Mobile site friendly

Rata-rata website di Indonesia 70%+ diakses dari mobile, pastikan website Anda mobile friendly.

(18) Fungsi search

Pastikan fungsi search produk e-commerce Anda bekerja dengan sangat baik, hal yang masih terjadi jika Anda mencari handphone maka ratusan aksesoris handphone masih muncul dan beberapa e-commerce tidak ada menu filter.

(19) Membeli sebagai tamu

Tidak perlu register untuk membeli, kenapa harus dipersulit?

(20) Video sebagai pelengkap

Semakin lengkap informasi/ulasan produk, semakin cepat calon pembeli menentukan keputusannya. Video adalah format yang sangat baik untuk hal itu.

(21) Produk review

Sama seperti di atas, review yang baik mempercepat pengambilan keputusan dalam membeli.

(22) Membuka jendela baru

Percaya atau tidak ada website e-commerce yang selalu membuka halaman baru ketika memilih sebuah barang, sangat mengganggu, hindari hal tersebut.

(23) Fungsi pesan ulang

Seperti penyimpanan data pembeli, namun lebih fokus untuk pembelian berulang untuk barang-barang yang selalu dibutuhkan seperti kebutuhan dapur, mandi, kopi, gula, dsb.

(24) Pesan di iklan

Selalu gunakan call to action yang kuat supaya orang tertarik melihat produk Anda.

(25) Time Targeting

Menurut Anda orang akan membeli barang di website Anda jam 3 pagi? Matikan saja iklan Anda di jam-jam yang tidak perlu, amati dulu behaviour pelanggan Anda dari Google Analytics/Adwords.

(26) Device Targeting

Mobile memang pembawa trafik terbesar, tetapi apakah konversi terjadi di sana? Jika budget Anda terbatas, Anda bisa mempertimbangkan untuk fokus di desktop.

(27) Location Targeting

Toko Anda hanya ada di beberapa wilayah atau hanya bisa melayani pengiriman beberapa wilayah? Lakukan location targeting.

(28) Operator Targeting

Sedang promo dengan beberapa operator saja? Pastikan nyalakan operator targeting.

(29) Devices Type Targeting

Promosi untuk kelas menengah atas saja? Lakukan device targeting seperti pengguna smartphone mewah saja atau sebaliknya.

Cukup? Atau ada lagi faktor penentu terjadinya konversi menurut Anda? Let me know.

Disclosure: Artikel ini dipublikasi ulang dengan penyuntingan atas izin penulis. Andy Santoso sebagai penulis merupakan CEO BigEvo & BigEvo Academy dan konsultan digital marketing. Untuk tautan menuju tulisan asli, klik di sini.

Strategi “Growth Hacking” di 5 Startup Dunia

Kita sering mendengar tentang istilah growth hacking pada startup yang dilakukan untuk mendapatkan akuisisi users atau visitor. Banyak startup yang berhasil mendapatkan growth yang dahsyat dengan melakukan strategi growth hacking ini. Growth hack bukanlah sulap atau sihir, tetapi sebuah strategi untuk mengakuisisi pengguna.

Nothing magical about it, just creativity.

Berikut strategi akuisisi pengguna yang dilakukan oleh 5 startup besar di masa-masa awal mereka. Semoga ada sesuatu yang bisa dipelajari dari strategi mereka.

Dropbox

Dropbox berkembang hingga lebih dari 200 juta pengguna dan baru-baru ini Drew Houston, CEO dan co-founder Dropbox mengumumkan bahwa revenue mereka telah melampaui lebih dari $1 miliar dengan rekor lebih cepat dari perusahaan SaaS (software as a service) manapun di dunia. Data terakhir menyebutkan Dropbox memiliki lebih dari 500 juta pengguna di seluruh dunia sejak diluncurkan pada tahun 2007.

Strategi yang digunakan di masa-masa awal berdirinya adalah dengan memberikan kapasitas storage ekstra untuk para customer yang memberikan referensi kepada pengguna lain, memberikan nilai tambah kepada pengguna sementara penggunaan Dropbox makin meningkat.

Pelajaran yang bisa diambil dari strategi Dropbox ini adalah dengan memberikan insentif kepada pengguna akan membuat mereka semakin bergantung kepada produk Anda, di saat yang sama mereka juga akan dengan sendirinya menyebarkan service atau produk Anda. Good one Dropbox!

Pinterest

Sejak diluncurkan pada tahun 2010, hingga kini Pinterest telah mempunyai lebih dari 150 juta pengguna aktif dan 176 juta pengguna yang terdaftar. Pinterest yang 85% penggunanya adalah perempuan ini melakukan strategi growth hack dengan merekrut para design bloggers dan orang-orang yang telah diseleksi dengan ketat untuk tetap menjaga konten yang terdapat di dalam tetap bersih dan berkelas.

Pinterest secara otomatis melakukan konfigurasi account kita berdasarkan interest kita dan memberikan rekomendasi untuk mem-follow high quality users. Hal ini memberikan user experience yang bagus terutama dalam hal konten.

Selain strategi ini, CEO dan co-founder Ben Silberman pernah mengirimkan email berisi ucapan terima kasih kepada 7000 pengguna Pinterest secara personal!

Pelajaran yang bisa diambil dari strategi Pinterest ini adalah bahwa pada dasarnya setiap startup dimulai dengan nol pengguna. Memikirkan untuk mendapatkan pengguna potensial dengan melakukan networking dan grouping berhasil mendapatkan respek dan menciptakan komunitas di mana setiap orang ingin menjadi bagian dari komunitas ini. Jangan lupakan kegigihan founder di masa awal berdiri, sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap startup founder.

Hotmail

Hotmail berhasil berkembang mencapai 30 juta pengguna di masa-masa awal mereka hanya dalam waktu 30 bulan sejak diluncurkan pada tahun 1996. Di tahun 2011 pada waktu ulang tahun mereka yang ke 15 Hotmail mengklaim jumlah pengguna mereka adalah 360 juta users.

Strategi yang mereka lakukan adalah membuat para pengguna menjadi pengiklan berjalan dengan menambahkan footer “Get your free email at Hotmail” pada setiap email yang dikirimkan.

Pelajaran yang bisa diambil dari strategi Hotmail ini adalah menaruh perhatian serius terhadap setiap pesan yang ingin kita sampaikan kepada pengguna, yang menggugah rasa penasaran setiap orang yang melihat tagline dari perusahaan kita. Setiap pebisnis pasti senang apabila pesan yang ingin disampaikan tersebar secara viral yang hebatnya bahkan para pengguna tidak sadar bahwa mereka sedang mengiklankannya dengan gratis.

Reddit

Reddit, sebuah layanan media sosial di mana orang bisa berbagi link dan konten-konten online. Setelah membagikan link tersebut, orang lain bisa memberikan vote pada tautan tersebut. Link dengan vote terbanyak akan ditampilkan lebih dominan dibandingkan yang lain.

Didirikan di bulan Juni tahun 2005 dan sampai sekarang telah memiliki lebih dari 234 juta pengguna. Sewaktu masa awal berdiri dan mendapatkan funding perdana senilai $12,000 mereka hanya menghabiskan $500 untuk beriklan dan bahkan sudah termasuk stiker.

Strategi growth hack yang dilakukan oleh Reddit adalah melakukan posting konten dari berbagai website populer dan mempunyai traffic besar yang di-posting oleh akun-akun buatan tim. Hal ini menjadikan Reddit sebagai tempat dengan banyak konten dan menambah traffic. Content is king folks.. Akan tetapi, baru-baru ini taktik ini terbongkar oleh dan dimuat di Forbes. (baca di sini).

Pelajaran yang bisa diambil dari strategi Reddit ini adalah fake it till you make it. Mintalah kepada orang- orang untuk membicarakan Anda. Minta tolong kepada relasi, teman, keluarga, dan lainnya untuk mengenal apa yang Anda lakukan. Jika itupun masih gagal, lakukan sendiri sampai orang mengenal Anda. Selanjutnya adalah, integritas dalam berbisnis amat sangat penting.

Atlassian

Bagi para developer nama Atlassian tidaklah asing lagi. Hampir semua developer menggunakan produk Atlassian sebagai productivity tools untuk teamwork. Dengan harga yang tidak terlalu mahal dan user interface sederhana menjadikan ini sebagai satu-satunya pilihan untuk productivity tools. Team developer kami di MailTarget juga menggunakan produk Atlassian yaitu Jira dan BitBucket.

Yang mencengangkan adalah fakta bahwa Atlassian (sekarang sudah IPO) berhasil mencapai revenue sebesar $320 juta tanpa team sales! Dahsyat. Tomasz Tungus, seorang pakar SaaS mengatakan rata-rata perusahaan SaaS menghabiskan 50-100% dari annual revenue untuk sales dan marketing. Namun Atlassian hanya menghabiskan 12–21% untuk marketing. Apa rahasianya?

Yes, produk yang bagus.

Atlassian terkenal dengan user interface-nya dan user experience-nya yang simpel dan mudah digunakan. Mereka menghabiskan 40% dari keuntungannya untuk research & development. Sesuatu yang mungkin tidak begitu dipikirkan oleh para startup karena R&D mungkin akan menjadi cost center di mana finansial masih ketat. Atlassian membuktikan hal ini ternyata berguna. Kami membiasakan kultur research & development walaupun masih dalam skala kecil. Atlassian begitu memperhatikan detail mulai dari onboarding proccess hingga ke loading page dengan ilustrasi aneh.

Pelajaran yang bisa diambil dari strategi Atlassian ini adalah product simplicity. Tidak mudah untuk bisa membuat sebuah produk menjadi simpel dan mudah digunakan, banyak proses rumit di belakang yang perlu dilakukan tetapi hasilnya sepadan.

Masih banyak startup yang menggunakan strategi yang unik yang tidak saya bahas di sini, seperti Kaskus, BukaLapak, Tokopedia, dan lain sebagainya. Tidak ada strategi growth hacking yang generik. Dalam artian satu strategi bisa diterapkan untuk semua. Kenali produk atau service Anda, cari tahu detail tentang target market Anda, tentukan channel apa yang akan digunakan. Lalu campur dengan kreativitas. Saya percaya kita akan sama-sama bisa mendapatkan exponential growth.

Seperti kata COO BukaLapak Willix Halim “fail fast, execute fast..”. Jangan berhenti bereksperimen.


Artikel tamu ini dibuat oleh Yopie Suryadi, Founder MailTarget.co.

Empat Pengaruh Digitalisasi dalam “Public Relations”

Setiap pergantian tahun pasti ada saja tren yang berubah. Mulai dari tren fashion, tren gaya rambut, tren bisnis, dan juga tren PR (Public Relations) mengalami perubahan. Dengan perkembangan digital semakin menjadi bagian hidup konsumen di Indonesia, pengaruhnya semakin tidak bisa dielakkan di dunia komunikasi.

Sebanyak 132,7 juta orang Indonesia telah menggunakan internet secara aktif. Jumlah ini menempatkan Indonesia pada posisi keenam untuk jumlah pengguna internet terbanyak di dunia.

Berikut ini empat pengaruh digitalisasi bagi brand dalam menjalankan program public relations dan komunikasi:

Strategi dalam konten untuk membangun loyalitas

Setiap brand pasti membutuhkan brand awareness. Di tahun 2017 ini, tidak hanya sebuah brand awareness yang dibutuhkan, tapi yang lebih utama adalah trust (kepercayaan). Kepercayaan konsumen terhadap suatu brand membuat brand tersebut tidak mudah dtinggalkan atau dilupakan oleh konsumennya.

Survei yang dilakukan terhadap 56 CMO di Amerika Serikat menunjukkan bahwa newsroom untuk brand dan native advertising sudah “berlebihan”. Tidak ada salahnya untuk mencoba pemasaran konten dan brand journalism untuk membangun loyalitas pelanggan terhadap brand.

Di sinilah peran content strategy diperlukan. Produk yang menarik tidak akan cukup untuk membuat konsumen terkesan. Dengan hadirnya platform digital, dari media sosial hingga email marketing, konsumen berharap brand lebih menerapkan komunikasi dua arah dan memiliki konten-konten yang relevan.

Utamakan earned media dalam influencers engagement

Terminologi buzzer di Indonesia sudah bukan hal yang baru. Brand-brand pun berlomba untuk menggunakan celebgram atau blogger yang memiliki banyak followers untuk mempromosikan produk-produk mereka.

Untuk perusahaan yang mempunyai budget berlebih, tentu ini bukan menjadi masalah. Untuk perusahaan yang ingin cost-saving, jangan khawatir. Anda masih bisa menggunakan influencers juga.

Tahukah Anda jika brand atau perusahaan Anda sebenarnya sudah mempunyai ambassador?

Ya, karyawan dan konsumen Anda sangat berpotensi untuk mempromosikan perusahaan Anda. Anda mungkin tidak harus membayar mahal, tetapi juga yang paling penting, mereka adalah orang-orang yang telah berinteraksi dengan brand Anda.

Ketika mereka berbagi testimoninya tentang produk Anda di media sosial, akan terdengar lebih jujur dan genuine, sehingga lebih dapat dipercaya konsumen Anda.

Dominasi video content

Bukankah Anda sudah sangat akrab dengan sebutan vlog (video blog) di YouTube? Ya, memang vlog sedang mendominasi jejaring video seperti YouTube. Beragam aktivitas dan perilaku manusia dapat kita temukan di sana. Dengan mudahnya juga vlog menarik perhatian orang lain untuk berkomentar.

Tidak jarang vlog yang telah mendapat banyak influencer dan sudah mampu menciptakan ‘buzz’ dilirik oleh suatu brand untuk mengulas produk mereka dan memberikan sebuah consumer experience yang berguna bagi publik. Data juga menyebutkan Indonesia menjadi salah satu negara pengakses YouTube terbesar se-Asia Pasifik.

Penonton video YouTube mengalami peningkatan sebesar 250 persen dari tahun lalu. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya infrastruktur internet dan penetrasi smartphone yang tinggi.

Analisis terhadap Return of Investment (ROI) lebih diperhatikan

Hadirnya bantuan digital memudahkan suatu brand untuk mendapatkan analisis atau pengukuran keberhasilan dari aktivitas PR yang mereka jalankan. Kekurangan PR tradisional yang sulit untuk melakukan identifikasi terhadap ROI bisa dibantu dengan mengintegrasikan digital dengan program PR Anda. Hal ini dapat lebih memudahkan Anda untuk mengukur keberhasilan program yang dijalankan.

Misalnya, jika selama ini Anda hanya mengandalkan coverage print media, kenapa tidak mencoba untuk menggunakan owned channel yang telah Anda punya seperti blog? Di dalam blog, Anda bisa menambahkan call to action yang berkaitan langsung dengan penjualan produk dan layanan Anda. Di situlah Anda bisa mengukur keberhasilan salah satu program PR Anda.


Disclosure: Tulisan tamu ini ditulis oleh Gina Dwi Prameswari. Gina adalah Content Consultant di BBOX Consulting. Ia bisa dihubungi melalui blog BBOX 

Why Agile is Important for Indonesia

Agile is a relatively new movement in Indonesia. Scrum adoption is accelerating and will spread through the IT and startup world in the upcoming years. I have been an agile fan since 2011 and saw the impact first hand on organizations in India, The Netherlands, and beyond. In mid 2016, I moved to Bali. As I noticed that agile was growing in popularity, I decided to start an agile agency. In November I did my first scrum training in Jakarta and since then I’ve been quite busy. In the past months, I have seen how agile and Indonesia match and where the challenges and opportunities are.

Challenges

First, some challenges. Most people know the Agile Manifesto. This manifesto was created in 2001 by 17 smart guys. What most people don’t know is that there’s 12 principles underlying the manifesto. For some strange reason, whenever I go to conferences, every slide deck has the manifesto in it. But I never see the principles, which I believe are crucial if you want to move your company culture towards agility. One of the principles is:

Build projects around motivated individuals.
Give them the environment and support they need,
and trust them to get the job done.

This is about ‘self organized teams’. Now the Indonesian culture is based on hierarchy. People are used to having a boss and wait for ‘instructions’. To me personally, the basis of this command and control style of management is a lack of trust. What a leader thinks is ‘I know what needs to be done’ and then gives his subordinates tasks. The agile principle above turns this upside down: a leader can give a problem or a challenge plus the resources the team needs. He then steps aside and lets the team figure out how to solve the challenge. If they need him, he’s there. But not to give orders, only to provide mentoring, so the team can get the job done. This is based on trust and assumes teams outsmart a single brain.

Habits are hard to change. Cultural habits maybe even harder, because everyone else is behaving the same way. When I started a software development office in India in 2008, I faced the same challenge. There are vast differences between Indian and Indonesian culture. But they share a high power distance. Geert Hofstede developed a measurement of hierarchy, called power distance. From this article you can see that India scores 77 and Indonesia 78. In comparison, Netherlands (I’m Dutch so that’s my reference point) scores 38. I refer to the article for explanation on the measurement and the exact meaning.

I have experienced first-hand that by creating a company that is flatly organized, supported by a set of strong values (potentially based on the agile principles), teams can get self-organized. A company creates its own culture and this culture can ‘beat’ habits that exist within a country. Of course it’s not easy.

Another challenge. One of the values of the scrum framework is ‘openness’. Last week, I organized a meetup in Yogyakarta. One of the topics we discussed was openness. I was facilitating a discussion with a group of about 25 people, all Indonesian. As is common in groups, there were a few outspoken people and most were quiet. Now there are many forces at play on the topic of openness: some people are shy and don’t like speaking up (are less open); some people are comfortable speaking English, some are not (so they appear less open, but might ‘pop open’ when they speak their own language); some might consider it rude to speak up because of their role within the group. As a person, I’m used to this (in India I have similar experiences and I work with different cultures for over a decade). Some of the participants suggested that people in Indonesia are ‘not open’. It’s not Indonesian to share one’s thoughts, because that might hurt someone else’s feelings.

One of agile meetup session
One of agile meetup session

One of the values my company has had since its inception in 2005 is ‘openness’ (I had never heard of the manifesto in that period). What I have described above already is that company culture can ‘beat’ country habits. In the case of openness, I have seen this work too. You can hire for openness. Once you have a team existing of mostly open people, they will attract more open people and openness can spread. You can have events to share thoughts openly. You can reward being open. You can tie back compliments to open behavior.

Opportunities

I believe the opportunities exist exactly in the transformation on the above two topics. Companies that move towards self-organization will beat other companies that stay with command and control. To make self organization possible, openness is key.

Command and control has it roots in the factory model. People who made pins had to be very efficient at making pins and needed strict instructions to do so. But in today’s knowledge economy, most people don’t create pins. They have creative jobs, making software or related smart products. If you want to win in the marketplace, you need smart people, using their smartness to continually improve what they do and to create new products. And that smartness will only come to fruition if people are empowered. They need to have freedom and authority to do what they believe is right. Once people have that authority, they realize growth. They stretch themselves and perform more than they (and their boss) thought they could.

Adopting agile helps realize the above. And scrum provides the framework to get started. Agile is ‘open’, it’s a mindset, a set of principles to guide behavior. I believe that for Indonesia we need more. Scrum is also very open, but at its core it has roles, events and artifacts that give people guidance on ‘what to do’. It doesn’t tell them what to do specifically in their role, but scrum gives enough to organize the work.


This guest post is created by Hugo Messer, agile entrepreneur and scrum trainer. Hugo has been working in the software industry for more than a decade. Since june 2016 he moved to Bali and started an agile agency Ekipa Indonesia. He’s been an evangelist for the agile movement in Indonesia, organizing meetups, online groups and training programs.

He can be contacted via LinkedIn or his web page

11 Tren yang Akan Membentuk E-commerce Asia Tenggara di 2017

Di saat presiden-terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, sedang bekerja keras untuk menghentikan Cina untuk menjadi kekuatan adidaya dunia, Cina belum memperlambat hegemoni digital-nya di Asia Tenggara (saat berbicara Cina tentu saja itu berarti Alibaba). Setelah menobatkan Asia Tenggara di posisi puncak masa keemasan ecommerce dalam edisi tren 2015 kami, Jack Ma dan timnya memasuki kawasan ini hanya empat bulan setelahnya dan membeli Lazada, perusahaan ecommerce terkemuka di Asia Tenggara, dengan nilai $1 miliar.

Kesepakatan Lazada-Alibaba yang merupakan akuisisi luar negeri terbesar Alibaba hingga saat ini adalah sebuah peristiwa penting bagi Asia Tenggara yang implikasinya menjangkau seluruh rantai nilai commerce mulai dari periklanan digital, logistik, keuangan, asuransi, bahkan pelayanan kesehatan.

Kilas balik ke tahun 2016

Bahkan tanpa akuisisi Lazada, tahun ini tetap terbukti penting untuk ecommerce di kawasan ini: industri fast-fashion mengalami penurunan dan bahkan perusahaan fashion Zalora milik Rocket Internet berakhir dengan pembelian murah oleh konglomerat ritel Thailand, Central Group.

Masalah yang dialami Singpost masih berlanjut. Setelah kehilangan Group CEO Wolfgang Baier secara mendadak di tahun 2015, perusahaan ini juga kehilangan COO, CFO dan komisaris grup yang mengundurkan diri di tengah-tengah skandal kepemimpinan perusahaan. Hal ini mendorong kembali kesepakatan perusahaan ini dengan Alibaba untuk ketiga kalinya dan tidak mencapai kesepakatan hingga bulan Oktober.

Di seluruh kawasan, ecommerce B2C beraset besar mengalami penderitaan. RedMart asal Singapura diakuisisi oleh Lazada setelah tidak bisa lagi mengalirkan uang dan iTruemart milik Ascend Group tutup di Filipina hanya beberapa bulan setelah mengumbar akan menjadi pemain ecommerce Thailand regional pertama pada 2017.

Raksasa ecommerce asal Jepang Rakuten menarik diri dari Asia Tenggara dan menjual bisnisnya di Thailand kembali ke pendiri aslinya. Moxy berpindah dari tradisional ecommerce massa saat bergabung dengan Bilna dari Indonesia untuk membentuk Orami yang bisnis dan kontennya berfokus kepada perempuan dan berhasil mendapatkan pendanaan dari co-founder Facebook Eduardo Saverin.

Meminjam istilah Jack Ma, jika 2016 adalah pembuka, maka 2017 akan menjadi hidangan utama untuk ecommerce di Asia Tenggara. Dengan $238 miliar hadiah utama dan Amazon yang telah siap memasuki Singapura pada Q1, sudah membentuk tahun ini sebagai tahun yang menarik.

Permainan dimulai.

(1) Raksasa akhirnya terbangun: Alibaba menjadi lebih aktif pasca mengakuisisi Lazada

Bisa dibilang pencapaian terbesar ecommerce di Asia Tenggara tahun ini adalah akusisi Lazada oleh Alibaba seharga $1 miliar, namun tidak banyak aksi yang terjadi pada permukaan setelahnya. Hal ini akan segera berubah dan Alibaba akan segera memperkenalkan seluruh ekosistem ecommerce mereka ke Asia Tenggara di tahun mendatang. Yang terdiri dari beberapa nama seperti Ant Financial, Cainiao dan Taobao Partner (TP).

Diluncurkan di Cina tujuh tahun yang lalu, program TP bertujuan untuk mendaftarkan para pemasok untuk menyediakan layanan yang berhubungan dengan ecommerce untuk para penjual di Taobao. Beberapa TP seperti Baozun dan Lili & Beauty menawarkan operasional toko dan layanan pergudangan yang memungkinkan Taobao dan Tmall tumbuh sebagai dua platform ecommerce terbesar di Cina.

Peluncuran terdekat dari program serupa di Asia Tenggara (ahem, Lazada Partner?) akan menciptakan banyak kesempatan untuk seluruh ekosistem mulai dari instansi digital hingga perusahaan pengiriman. Penyedia layanan ecommerce full-service seperti aCommerce dan SP eCommerce berada di posisi yang baik untuk terus menumbuhkan kesempatan $238 miliar ecommerce Asia Tenggara.

(2) Logistik last-mile akan menjadi komoditas, dipercepat oleh jaringan Cainiao milik Alibaba

Logistik sering dianggap sebagai hambatan terbesar bagi pertumbuhan ecommerce di Asia Tenggara dan karenanya telah menciptakan cukup banyak pendanaan venture capital yang dihasilkan oleh pasukan last-mile dan on-demand delivery startup seperti Ninja Van, Sendit milik Ascend Group, dan Skootar. Bahkan hailing apps untuk taksi dan motor seperti Go-Jek dan Grab telah merambah ke layanan pengiriman sebagai sebuah aliran pendapatan tambahan. Semua hal ini menambah tekanan kepada pemain-pemain lama seperti Kerry Logistics, DHL dan JNE yang hanya menyentuh permukaan di ruang logistik ecommerce yang serba cepat.

Ekosistem yang baru terfragmentasi dan sangat kompetitif ini memiliki kesamaan dengan Cina satu dekade yang lalu dan memacu Alibaba untuk meluncurkan Cainiao Network, sebuah platform terbuka yang mengumpulkan semua vendor last-mile. Pendekatan ringan aset ini memecahkan rantai terlemah Alibaba – logistik – dan memungkinkan mereka untuk memanfaatkan permintaan yang sangat besar untuk mengontrol pembicaraan.

Lebih dari 70% bisnis bagi third-party logistics (3PLs) di Cina saat ini datang dari ecommerce yang sebagian besar didorong oleh Alibaba. Hal ini mengizinkan mereka untuk menetapkan standar industri dan meningkatkan kompetisi harga di antara penyedia last-mile yang pada dasarnya mengubah yang para pemain ini menjadi sebuah perlombaan ke bawah, permainan komoditas.

Alibaba telah memulai dengan membawa Alipay and Ant Financial dan dengan ekosistem logistik di Asia Tenggara mengikuti cara di Cina, pengenalan Cainiao Network hanya perihal waktu.

Cainiao Network adalah bagian teka-teki yang hilang bagi Alibaba untuk mengontrol seluruh rantai nilai ecommerce (via ecommerceIQ)

Gambar 1(3) Pertarungan untuk “first-mile”: Ancaman baru untuk Google dan Facebook

Hanya sedikit orang yang sadar bahwa raksasa ecommerce seperti Alibaba dan Amazon bukan hanya sebuah ancaman bagi pesaing langsung mereka seperti JD dan Wal-Mart tetapi juga untuk Baidu dan Google.

Dengan peningkatan pencarian produk yang berpindah dari mesin pencari dan langsung mengarah ke situs ecommerce, Alibaba dan Amazon mengguncang periklanan yang ada di internet. Di AS, saat ini 55% orang mulai mencari produk di Amazon, naik dari 44% di tahun 2015. Ini menjadi masalah besar karena pencarian produk adalah salah satu kategori pencarian kata kunci yang paling menguntungkan dan memiliki cost-per-clicks tertinggi.

Di Cina, persaingan antara Alibaba dan Baidu telah membuat Alibaba memblokir mesin pencarian Baidu untuk ‘merangkak’ dan mengindeks halaman Alibaba sejak 2009, secara efektif mencegah pengguna pergi ke Baidu untuk pencarian produk.

Pertempuran “first-mile” ini diduga akan dimulai pada tahun 2017 di Asia Tenggara ketika Alibaba bermigrasi dengan Lazada ke platform Tmall dan memperkenalkan Alimama, yang memiliki platform iklan self-service serupa dengan Google Adwords.

Para penjual di Lazada akan memiliki akses ke berbagai periklanan berbasis PPC (Pay-Per-Click), CPM (Cost-Per-Thousand Impressions) dan CPS (Cost-Per-Sale) seperti P4P Tmall “Express Train” iklan pencarian PPC. Iklan ini menguasai sekitar 25% dari total pencarian online Cina yang secara tradisional didominasi oleh Baidu. Untuk memberi gambaran tentang perkembangan Alibaba dalam iklan pencarian, pasar iklan pencarian milik Google Cina memiliki 30% market share sebelum menyerah dan keluar dari pasar Cina.

Bisnis periklanan Alibaba lebih dari sekedar pencarian. Selain Alimama, mereka juga mengoperasikan sebuah platform afiliasi yang disebut Taobao Affiliate Network, sebuah jaringan iklan tampilan yang disebut TANX (Taobao Ad Network and Exchange) serta Data Management Platform yang merupakan kompetitor Bluekai milik Oracle dan Audience Manager dari Adobe.

Perusahaan media lebih baik mempersiapkan diri mereka untuk kompetisi baru dan agensi digital harus mulai belajar bagaimana membeli dan mengoptimalkan media dalam platform Lazada di tahun 2017.

(4) Masuknya Alipay ke Asia Tenggara akan mendorong konsolidasi dalam sektor pembayaran online

Tahun baru akan menandai dimulainya konsolidasi dalam ruang pembayaran di Asia Tenggara. Dominasi cash-on-delivery (COD) – 75% dari transaksi ecommerce di kawasan ini – yang menginspirasi startup seperti Omise dan DOKU serta perusahaan telekomunikasi dan perbankan yang telah berdiri untuk membangun PayPal selanjutnya.

Tetapi kebanyakan dari inisiatif ini tidak menyelesaikan permasalahan utamanya – kurangnya penetrasi kartu kredit dan besarnya populasi yang tidak memiliki rekening bank di Asia Tenggara. Sebagai contoh, LINE Pay, solusi serupa Apple Pay dari satu aplikasi pengiriman pesan paling terkenal di Asia Tenggara, hanya bisa digunakan dengan kartu kredit. Meski menarik dari perspektif PR, inisiatif ini belum menggeser cara pembayaran konsumen dari COD.

Mayoritas ‘solusi’ fintech telah diciptakan untuk melakukan “teknologi demi kepentingan teknologi” – membangun mobil yang lebih cepat ketika yang kurang adalah lebih banyak jalan.

Gambar 2

Dengan kurangnya hal yang terpenting – saluran distribusi yang scalable – bisa diprediksi perusahaan pembayaran ini harus berjuang keras di sepanjang 2017. Dengan Lazada, Alibaba menggunakan strategi kuda trojan untuk membawa Alipay dan Ant Financial ke Asia Tenggara. Marketplace ini menawarkan sebuah basis pengguna yang besar dan saluran distribusi yang membuat banyak startup pembayaran di Asia Tenggara iri.

Gambar 3

(5) “Ecommerce 1.0” to “Ecommerce 2.0”

Seperti yang telah diprediksi sebelumnya, Zalora milik Rocket Internet harus menjual bisnisnya yang ada di Thailand dan Vietnam dengan harga rendah kepada ritel lokal Central Group. Di tahun yang sama, Cdiscount Thailand, bagian dari konglomerat ritel Prancis Group Casino, terjual senilai $31.5 juta ke TCC, sebuah perusahaan lokal Thailand yang juga pemilik merek bir terkenal Chang.

Kehadiran Alibaba dan kabar peluncuran Amazon di Singapura pada Q1 2017 menutup kesempatan bagi permainan “Ecommerce 1.0” – yang berjualan produk kepada khalayak luas. Bahkan MatahariMall, inisiatif ecommerce “anti-Lazada” yang diluncurkan oleh konglomerat Lippo Group asal Indonesia, telah memposisikan ulang identitas mereka sebagai sebuah online-to-offline ecommerce daripada menjadi pesaing langsung bagi Lazada.

Memasuki tahun 2017, kesempatan di ecommerce akan semakin bergeser dari “Ecommerce 1.0” menuju “Ecommerce 2.0” di mana perusahaan tidak lagi mendasarkan keunggulan kompetitif mereka berdasarkan nilai ekonomi tradisional namun gabungan dari apa yang pemilik Bonobos Andy Dunn sebut proprietary harga, seleksi, pengalaman, dan produk.

Di mana Ecommerce 1.0 adalah sebuah permainan kekerasan dan kekuatan, Ecommerce 2.0 mengeksploitasi celah 1.0 di banyak cara kreatif yang menghindari permainan zero-sum dengan para raksasa seperti Alibaba dan Amazon.

Merupakan pertanda bagus untuk melihat perusahaan di Asia Tenggara telah mulai bergerak menuju Ecommerce 2.0. Pomelo Fashion, sebuah merek fashion yang langsung menjual ke konsumen, hanya secara online, berfokus untuk membangun mereknya sendiri dan mengintegrasikan rantai pasokannya secara vertikal dengan memproduksi pakaian mereka sendiri.

Di Indonesia, startup lain mengambil ide dari penjualan di Facebook dan Instagram kemudian memberikannya steroid. Sale Stock, startup fast-fashion yang berbasis di Jakarta, telah mengambil jalan yang serupa dengan Pomelo Fashion dengan keunikannya sendiri dan sedikit eksperimen.

Dengan peningkatan jumlah pesanan Sale Stock yang datang dari sesi chat di mobile website, perusahaan ini kemudian berinvestasi dan meluncurkan ecommerce chatbot pertama di kawasan ini untuk memproses pesanan mobile chat di Facebook Messenger yang dibangun oleh para insinyur ‘lulusan’ Google, Palantir, dan NASA.

Gambar 4

(6) Lebih banyak korban dari persaingan Amazon – Alibaba di masa depan

2016 adalah tahun yang besar untuk konsolidasi di ruang ecommerce Asia Tenggara:

  • Zalora Thailand dan Vietnam dijual murah ke konglomerat ritel Thailand Central Group
  • Cdiscount dibeli oleh raksasa Thailand TCC Group milik Charoen Sirivadhanabhakdi
  • Pemain ecommerce yang berfokus ke perempuan, Moxy, kembali muncul sebagai Orami setelah bergabung dengan Bilna asal Indonesia
  • Rakuten asal Jepang menutup bisnisnya di pasar Indonesia, Malaysia dan Singapura, serta mengembalikan bisnisnya di Thailand kepada pendiri aslinya
  • Toko grocery online yang berbasis di Singapura, RedMart, terjual kurang dari dana yang telah didapatkan kepada Lazada di tengah isu masuknya Amazon ke pasar dengan AmazonFreshEntitasnya di Filipina, diluncurkan di akhir 2015, tutup tahun ini, dan dengan fokus perusahaan pada fintech – mereka menjual sahamnya sebesar 20% di Ascend Money kepada Ant Financial tahun ini – Ascend kemungkinan akan keluar dari ecommerce ritel sepenuhnya di tahun 2017.
  • Dan hal ini akan berlanjut sepanjang tahun 2017, terutama dalam ruang “Ecommerce 1.0” yang sangat kompetitif. Salah satu yang bisa menjadi korban besar adalah Ascend Group yang berbasis di Thailand, yang memiliki aset portfolio ecommerce dan fintech seperti Wemall (B2C) dan WeLoveShopping (C2C). Sudah terlihat ada tanda-tanda.

(7) Brand melewatkan bait-and-switch marketplace untuk mengambil pendekatan direct-to-consumer atau multi-channel

Ada banyak keuntungan bagi brand untuk menjual produk mereka di marketplace seperti Lazada, MatahariMall dan 11street – yang persiapannya sangat mudah dengan akses ‘gratis’ ke trafik yang dihasilkan oleh marketplace tuan rumah. Itulah mengapa di 2016 kita melihat banyak brand seperti L’Oreal dan Unilever membuka toko di platform ini.

Namun demikian, brand mulai menyadari bahwa kontra-nya lebih besar daripada pro. Marketplace mengumpulkan sejumlah besar data yang secara tepat menentukan kategori produk dan brand yang laku terjual, pada waktu dan lokasi apa dan kepada siapa. Amazon telah memanfaatkan informasi yang berharga ini untuk memperkenalkan label pribadi mereka yang bersaing langsung dengan para penjual di platform mereka.

Di tahun 2017 ini, kita akan melihat brand semakin pintar dan akan memanfaatkan kehadiran marketplace sebagai sebuah inisiasi dan strategi jangka pendek. Strategi jangka panjangnya adalah menjual langsung ke konsumen melalui situs brand.com milik mereka di mana mereka memiliki semua data pelanggan, mengelola brand image mereka sendiri dan bisa menawarkan fitur seperti penjualan langganan atau subscription commerce.

Gambar 5

Yang lain mungkin mengadopsi pendekatan multi-channel yang berlawanan dan menggunakan marketplaces untuk menjual lebih rendah dan titik harga produk terendah sambil mempersiapkan saluran brand.com untuk pengalaman yang lebih premium.

(8) Kompetisi yang tinggi akan mendorong para pengusaha dan perusahaan yang telah lama berdiri untuk menjelajah ke bidang asuransi, keuangan, dan kesehatan.

Dengan semakin tingginya kompetisi ecommerce dan besarnya modal yang diperlukan, para pengusaha sudah mulai melihat lebih dari sekadar ritel fisik untuk menemukan kesempatan baru. Mengikuti langkah yang serupa dengan AS dan Cina, startup di Asia Tenggara secara bertahap berpindah ke bidang asuransi, keuangan, dan kesehatan. Konsep dasarnya sama, menggunakan internet dan teknologi untuk menciptakan marketplace atau langsung menuju ke konsumen untuk produk non-fisik seperti pinjaman, asuransi jiwa dan bahkan data.

Di tahun 2016 ini telihat beberapa startup baru seperti EdirectInsure—dengan frank.co.th di Thailand dan frankinsure.com.tw di Taiwan—mencoba untuk mengubah cara penjualan asuransi mobil serta pemain lama seperti Asia Insurance yang menawarkan asuransi mikro Pokémon Go dan mobile phone secara langsung ke konsumen dan eksklusif online.

Akuisisi Lazada oleh Alibaba sendiri bukanlah semata tentang menambah pertumbuhan jumlah barang ritel mereka namun lebih untuk mendapatkan sebuah saluran distribusi yang scalable untuk produk lain milik Alibaba yang memiliki margin yang lebih tinggi. Jack Ma menyinggung hal ini dalam pidatonya di depan para pemegang saham di tahun 2015:

“Strategi grup Alibaba adalah untuk membangun infrastruktur ecommerce untuk masa depan. Ecommerce hanya langkah pertama. […] Sekitar setengah tenaga kerja Alibaba Group dan perusahaan afiliasi kami, termasuk Ant Finansial dan Cainiao, bekerja pada bidang-bidang penting dari ekosistem kami, termasuk logistik, keuangan internet, big data, cloud computing, mobile internet, periklanan, serta apa yang disebut juga industri double HHealthcare dan Happiness (bisnis kesehatan dan hiburan berbasis big data di mana diperlukan 10 tahun untuk menjadi data-driven).”

Gambar 6

Peluncuran layanan serupa dari Alipay dan Ant Financial (perbankan, penilaian kredit, reksadana, dan lain-lain) bisa diharapkan muncul menjelang akhir tahun 2017. Selain itu, kita akan melihat lebih banyak pemain lama seperti bank tradisional, asuransi, dan bisnis kesehatan yang bergerak ke online.

(9) Diabaikan tapi tidak dilupakan, perusahaan akan fokus pada bagian yang tersisa di Asia Tenggara: Myanmar

Para pebisnis secara geografis akan terus menjelajahi pasar baru di Asia Tenggara dengan semakin jenuhnya para pasar besar sehingga membuat lahan hijau di Myanmar lebih menarik.

Dengan total 53 juta orang penduduk, Myanmar adalah negara terbesar kelima di Asia Tenggara. Negara ini juga sangat unik jika dibandingkan dengan tetangganya sebagai negara yang menutup diri dari dunia hingga 2011 dan saat ini langsung melompat ke era mobile. Tidak seperti sepupunya yang “mobile-first”, Myanmar lebih ke mobile-only”—dengan estimasi populasi yang sudah online sebesar 20%, di mana sebagian besar terjadi dalam dua tahun terakhir.

Rocket sebagai Rocket masuk ke Myanmar pada awal 2012 dengan meluncurkan situs iklan baris seperti Work.com.mm dan Ads.com.mm. Usaha ecommerce pertama mereka yang serius di Myanmar bernama Shop.com.mm dimulai pada akhir 2014. Dengan rata-rata 90.000 sesi per bulan dalam enam bulan terakhir dan mengalami pertumbuhan yang datar, Shop.com.mm tidak terlalu memberikan gambaran positif mengenai peluang ecommerce di Myanmar.

Namun mengingat bahwa Myanmar memiliki 10 juta pengguna Facebook di negaranya, mungkin pemasaran bisnis ecommerce dengan cara tradisional bukanlah pendekatan yang tepat. Dengan begitu banyak penggunaan internet di Myanmar merupakan penggunaan social channels, memulai dari Facebook shop mungkin menjadi cara yang lebih baik untuk memasuki apa yang bisa menjadi salah satu pasar ecommerce masa depan yang paling menarik di Asia Tenggara.

(Sumber: Minzayar Oo / BuzzFeed News)
(Sumber: Minzayar Oo / BuzzFeed News)

Hal ini sudah terbukti efektif di Thailand di mana diperkirakan sepertiga sampai setengah dari transaksi ecommerce terjadi di Facebook, Instagram dan LINE. Diharapkan nantinya conversation commerce bisa tumbuh lebih luas di Myanmar.

“Pengaruh Facebook di Myanmar sulit untuk diukur, namun dominasinya sangat mutlak sehingga masyarakat Myanmar menggunakan “internet” dan “Facebook” secara bergantian.” – Sheera Frenkel dalam laporannya tentang Myanmar di BuzzFeed.

(10) Permintaan di Asia Tenggara akan mengalami pengurangan di beberapa industri di mana model sebenarnya masuk akal

Setelah dipuji oleh para ahli sebagai holy grail dari ecommerce karena tidak memiliki beban aset fisik yang mahal, model on-demand terlihat hampir berakhir di AS. Selain Uber sendiri, banyak Uber-for-X clones yang tutup atau sedang berjuang, beberapa di antaranya seperti Homejoy, SpoonRocket, DoorDash, dan Postmates.

Unit ekonomi yang rendah, kebocoran platform, dan sebuah ekonomi yang menguat secara umum adalah isu-isu yang mengganggu startup on-demand selama setahun terakhir.

Di Asia Tenggara, keadaannya juga tidak terlihat terlalu cerah untuk beberapa startup on-demand. Happy Fresh, sebuah layanan groceries on-demand, baru-baru ini menutup operasinya di Taipei dan Manila serta melakukan beberapa pemberhentian pegawai. Mereka juga secara diam-diam menggantikan mantan pendiri dan CEO Markus Bihler dengan orang baru. Di Thailand, Tapsy, sebuah marketplace untuk layanan pribadi yang didukung Inspire Ventures, juga ditutup hanya beberapa bulan sejak peluncurannya.

Go-Jek, aplikasi pemanggilan motor asal Indonesia dan yang sekarang merupakan unicorn on-demand untuk segala hal, mengalami kepergian massal para pendirinya, dengan co-founder dan VP produk mereka meninggalkan perusahaan pada bulan Oktober lalu, memicu kecurigaan adanya gejolak internal.

Meski sentimen secara umum untuk startup on-demand mengalami keterpurukan baik secara global maupun di Asia Tenggara, dalam kenyataannya ini hanya awal dari proses alami dalam menyingkirkan para pemain yang hanya ‘ikut-ikutan’ di vertikal di mana model on-demand tidak masuk akal.

“Masalahnya bukan tentang konsep akan sesuatu yang tersedia secara “on-demand”. Ini tentang apakah konsumen atau sebuah bisnis akan membayar suatu pesanan secara premium untuk memiliki akses sesegera mungkin. Hanya karena Anda membuat sesuatu tersedia sesuai permintaan, itu tidak berarti orang akan membayar untuk hal itu.” ujar Mathew Ward, co-founder dan CEO Helpster, perusahaan berbasis di Bangkok yang mencocokkan pekerja dengan kandidat yang mencari pekerjaan blue-collar.

Ia melanjutkan.

Home services adalah satu area yang “menyenangkan untuk didapat” secara cepat, namun bukan sebagai sebuah keharusan. Orang tidak akan mau membayar premium untuk ini dan unit ekonomi Anda tidak akan bekerja, ini mengapa kita kemudian melihat banyak yang gagal dalam area ini. Jika Anda berfokus pada hal yang memiliki urgensi seperti transportasi atau dalam kasus Helpster, akses terhadap staf berkualitas yang diperlukan untuk mengisi kebutuhan staf yang mendesak, orang-orang akan membayar harga premium dan karena itu Anda bisa membangun sebuah bisnis yang benar-benar bekerja. Model “on-demand” tidak rusak—Anda hanya perlu melihat ke area di mana kecepatan akses merupakan hal yang sangat berharga. Jika Anda temukan, Anda bisa membangun sebuah bisnis “on-demand” yang berkembang dan sukses.

Gambar 8

Dengan sentimen pendanaan Asia Tenggara yang bergeser di tahun 2017 dari ‘pertumbuhan dengan segala cara’ menuju kepada keberlanjutan dan profitabilitas, kami berharap untuk melihat startup on-demand berkembang di vertikal di mana model ini bekerja, sementara yang hanya “ikut-ikutan” lainnya gagal. Proses ini hanya akan dipatahkan oleh orang-orang seperti Uber dan Grab yang akan memberikan dua kali lipat usaha mereka di Asia Tenggara dengan peperangan mereka yang besar.

(11) Amazon masuk ke Asia Tenggara (akhirnya)

“Keep your friends close but your enemies closer.”—Michael Corleone dalam The Godfather Part II

Gambar 9


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Sheji Ho dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Memperkenalkan Browser Push Notifications untuk Layanan E-Commerce

Pengunjung membuka website e-commerce Anda, lalu melihat-lihat produk.  Terkadang pengunjung menambahkan beberapa produk ke troli, dan saat Anda mengira mereka akan membelinya, mereka ternyata justru membatalkannya. Hal seperti ini awalnya memang membuat kecewa.

Ketika 98% pengunjung website Anda membatalkan pembelian, Anda pasti mulai bertanya-tanya kenapa? Apa yang salah?

Lalu Anda mulai memikirkan cara untuk menghubungi pengunjung ini dan mencoba mengajak mereka kembali untuk menyelesaikan pembelian. Marketer e-commerce dewasa ini memiliki beragam alat user engagement untuk kembali menghubungkan mereka dengan pengunjung website mereka melalui email, display ads atau Facebook ads.

Dan setiap channel ini memiliki manfaat dan keterbatasannya masing-masing.

Misalnya, Kate harus melihat email promosi di Inbox Gmail-nya untuk melihat pesan Anda. Seberapa sering hal seperti ini terjadi? Atau dia harus berkunjung ke website lain atau masuk ke Facebook agar Anda dapat menunjukkan iklan yang relevan untuknya. Ingat, Facebook dan Display adalah channel berbayar. Terlebih lagi, bisa saja budget marketing Anda sudah berkurang drastis bulan lalu.

Lalu bagaimana?

Seandainya ada channel marketing yang tidak mengharuskan pengguna agar login ke situs web tertentu. Bagaimana kalau channel ini gratis?

Kalau saja channel ini bisa menjangkau pengguna seperti halnya email dan mempersonalisasi percakapan Anda layaknya display ads.

Memperkenalkan Browser Push Notifications untuk E-Commerce

Ini adalah notifikasi yang dikirimkan langsung dari website Anda ke browser pengguna dan pesan tetap dapat disampaikan meskipun pengguna tidak sedang mengakses website Anda.

Cara kerja Browser Push Notification
Cara kerja Browser Push Notification

Untuk membuat notifikasi ini lebih menarik, Anda dapat membuatnya lebih personal dan menampilkan rekomendasi produk yang relevan ke setiap pengguna.

Selain itu, Anda juga dapat menyertakan gambar, deskripsi, dan harga produk agar lebih mudah diingat.

Berikut ini adalah tampilan Browser Push Notification di desktop dan seluler. Ya, Browser Push Notification juga bisa dilihat di website mobile.

Contoh tampilan notifikasi di desktop dan mobile
Contoh tampilan notifikasi di desktop dan mobile

Anda dapat merekomendasikan kategori yang paling sering dibeli kepada pengguna baru dan membantu pengguna baru menemukan produk tersebut. Atau Anda dapat me-retargeting ulang produk atau troli belanja yang telah mereka batalkan.

Dengan diskon loyalitas, Anda dapat kembali menarik pelanggan lama yang belakangan ini tidak aktif. Dengan Browser Push Notifications yang ditambahkan ke toolkit, Anda dapat mengaktifkan engagement, mengonversi, dan menumbuhkan pengguna website dan tentu saja, penjualan Anda.

Yang sudah dijelaskan tadi terdengar sangat menjanjikan, tetapi apakah implementasinya sulit?

Ternyata tidak.

Masukkan kode JavaScript ke website Anda, lalu anjurkan pengguna website untuk berlangganan notifikasi ini. Anda kini siap beraksi.

Mengapa Browser Push Notifications?

Notifikasi push browser jauh lebih cepat dari email. Email bersifat permanen, tetapi tidak praktis jika Anda ingin mengirimkan informasi flash sale dan membutuhkan reaksi yang cepat dari user. Notifikasi push lebih bersifat personal, cepat, dan memicu reaksi user. Notifikasi push memang terlihat efektif karena dikirimkan secara real-time dan relevan, tetapi notifikasi push browser yang memiliki fitur sama bisa menjangkau lebih banyak orang. Push browser yang dikombinasikan dengan strategi email dan retargeting dapat menjadikan marketing Anda lebih sukses.

Browser push notification vs email
Browser push notification vs email

Browser Push tidak hanya mengizinkan Anda untuk melibatkan pengguna dengan lebih baik, tetapi juga memberikan banyak manfaat untuk membantu meningkatkan penjualan bisnis online Anda.

Berikut ini adalah panduan menggunakan Browser Push Notifications dan meningkatkan penjualan e-commerce di musim liburan, terhubung dengan pengguna yang mengabaikan troli belanja, dan mengirim rekomendasi yang disesuaikan untuk setiap pengguna dan menarik lebih banyak pengguna ke website Anda.

Cara terbaik menggunakan Browser Push Notification
Cara terbaik menggunakan Browser Push Notification

Browser Push Notifications dapat digunakan untuk melibatkan kembali pengguna Anda dengan cara memperbesar re-engagement dan menghubungi lagi pengguna yang tidak aktif dengan pemberitahuan dan notifikasi yang dipersonalisasi. Semua bisa dilakukan baik di desktop maupun di perangkat mobile.

 

Apa yang diukur untuk penggunaan Browser Push Notification
Apa yang diukur untuk penggunaan Browser Push Notification


Disclosure: Tulisan tamu ini dikembangkan oleh Namrutha Namarathan dari Vizury. Namrutha bisa dihubungi di [email protected]

 

Mengungkap Kesalahan Anggapan Tentang  Potensi E-Commerce Sebenarnya di Asia Tenggara

Dengan populasi sebesar 600 juta orang, kelas menengah yang terus bertumbuh dan meningkatnya penetrasi internet, Asia Tenggara sering dianggap sebagai tambang emas selanjutnya bagi ecommerce. Akuisisi Lazada oleh Alibaba sebesar $1 miliar — akuisisi terbesar Jack Ma diluar negeri hingga saat ini — terjadi di awal tahun ini. Namun di balik headline dan hiperbola yang ada, seberapa besar sebenarnya potensi ecommerce di Asia Tenggara sesungguhnya.

Peluang $88 Miliar

Hanya ada sedikit data yang ada mengenai ukuran pasar ecommerce Asia Tenggara saat ini ataupun proyeksi di masa depan. Sebagian dari alasan ini adalah karena industri ini masih sangat baru dan sebagai hasilnya, institusi warisan seperti pemerintahan dan firma penelitian masih mencoba tetap update. Sebagian lainnya karena C2C ecommerce, yang diestimasi merupakan sepertiga atau setengah dari total GMV ecommerce, tidak teregulasi dan dikenai pajak. Kenyataan bahwa transaksi C2C di Asia Tenggara terjadi di platform sosial seperti Facebook dan Instagram, difasilitasi dengan percakapan di aplikasi seperti LINE dan Facebook Messenger.

Namun demikian, beberapa organisasi bereputasi telah mencoba menilai ukuran ecommerce di wilayah ini. Salah satu usaha yang dilakukan di awal datang dari AT Kearney yang berkolaborasi dengan CIMB. Dirilis pada awal 2015 dan berjudul ‘Lifting the Barriers to E-Commerce in ASEAN’, laporan ini mengestimasi ukuran pasar terkini sebesar $7 miliar (tahun 2013) dan memprediksikan potensi di masa depan sebesar $86 miliar.

Yang terbaru, Google bekerja sama dengan Temasek, merilis laporan berjudul ‘e-conomy SEA: Unlocking the $200 billion digital opportunity in Southeast Asia’ yang mengukur nilai pasar ecommerce saat ini di $5.5 miliar (pada tahun 2015) dan memprediksi pertumbuhannya hingga akan mencapai sebesar $88 miliar pada 2025. Namun demikian, perlu diingat bahwa Google dan Temasek hanya memberikan setengah gambaran karena mereka tidak memasukan pasar C2C dan P2P seperti OLX, Carousell dan Instagram karena sulitnya mendapatkan data.

Pertumbuhan Model Ecommerce Barat vs. Tiongkok: Mengapa Estimasi Mengenai Potensi Ecommerce di Asia Tenggara Tidak Tepat

$88 miliar tampak besar namun jika kita menaruhnya di dalam konteks, orang akan berpikir jika ini adalah tafsiran yang tepat. Pasar ecommerce AS saat ini sebesar $394 miliar. Namun demikian, sangat jelas bahwa pasar ecommerce AS lebih dewasa dan baik Amazon maupun eBay berumur lebih tua dari beberapa staff junior di tim kami. Bagaimana dengan Tiongkok? Tiongkok telah jauh melewati AS pada 2013 untuk menjadi pasar ecommerce terbesar di dunia dalam hal GMV.

Dan saat ini, pasar ecommerce di Tiongkok bernilai $700 miliar, menyusun 13% dari total retail di seluruh negara. Dengan populasi sebesar setengah populasi Tiongkok, bukankah seharusnya potensi ecommerce di Asia Tenggara lebih besar dari ‘sekedar’ $88 miliar?

GMV e-commerce (aktual dan proyeksi)
GMV e-commerce (aktual dan proyeksi)

Hal ini kemudian semakin menarik jika kita melihat angka yang diproyeksikan untuk 2025 dan menyesuaikannya dengan ukuran populasi. Metriks ini memberi gambaran seberapa besar rata-rata orang menghabiskan uang untuk ecommerce dalam setahun. Kami menggunakan kalkulasi di bawah ini untuk beberapa pasar utama di Asia Tenggara serta negara benchmark seperti AS dan Tiongkok:

eIQ-Southeast-Asia-Ecommerce-Potential_3

Beberapa hal mencuat di sini. Tentu saja, Cina masih menjadi pasar ecommerce terbesar di dunia dengan $3 triliun GMV dan penetrasi sebesar 25%. Pada 2025, rata-rata pembelanja Tiongkok diperkirakan akan menghabiskan sebesar $2,000 per tahun online, hampir tiga kali lipat jumlah orang Singapore dan akan melebihi orang Amerika yang, 10 tahun dari sekarang, akan menghabiskan $3,000 untuk ecommerce per tahunnya.

Hal menarik lainnya, negara Asia Tenggara yang bertumbuh di sini diwakilkan oleh Thailand dan Indonesia. Laporan dari Google dan Temasek memproyeksikan dua pasar ini akan mencapai masing-masing $11.1 dan $46 miliar. Angka ini sudah sangat impresif namun jika disesuaikan dengan ukuran populasi, GMV ecommerce per angka kapita sangatlah rendah — $155 dan $157, masing-masing untuk Thailand dan Indonesia. Mungkin ada alasannya untuk hal ini.

GDP per kapita AS dan Singapura tentunya lebih tinggi dari negara berkembang seperti Thailand dan Indonesia, masyarakatnya secara umum memiliki lebih banyak uang untuk dihabiskan, dan Tiongkok bukan lagi negara berkembang dengan GDP per kapita nya yang diprediksi mencapai $14,000 pada tahun 2025.

Tetapi jika kita bandingkan Cina dan Thailand di tabel di bawah ini, kita bisa lihat bahwa GDP per kapita Thailand diestimasikan mencapai $11,000 pada 2025, yang merupakan lebih besar daripada GDP per kapita Cina pada saat ini dan tidak jauh dari proyeksi GDP Cina pada 2025. Namun berdasarkan proyeksi ecommerce saat ini, pembelanjaan online per kapita Thailand hanya sebesar $155 atau 1% dari kemampuan belanja rumah tangga.

Hal ini tidak masuk akal jika mengingat bahwa konsumen Thailand mempunyai daya beli tinggi dan ritel merupakan bagian besar dari ekonomi Thailand seperti dibuktikan pada penetrasi retail dan angka GDP per kapita. Bahkan jika bagian C2C dan P2P yang menghilang disertakan — katakan jika 50%, menjadikan $155 menjadi $300 — angka ini masih rendah jika dibandingkan Cina saat ini.

southeast-asia-ecomemrce-potential_graph-2

Sejak 2006 hingga 2016, GMV ecommerce per kapita Cina tumbuh 127x. Sulit dipercaya jika GMV per kapita Thailand hanya akan bertumbuh 9x dalam sepuluh tahun mendatang, terlebih jika orang Thailand telah berbelanja online lebih banyak dari yang orang Cina lakukan pada awal trend ecommerce mereka di tahun 2006. Hal ini hanya masuk akal jika kita asumsikan bahwa pertumbuhan pasar ecommerce di wilayah Asia Tenggara seperti Thailand dan Indonesia akan tumbuh lebih lambat seperti wilayah Barat sebesar 18% (AS 2000-2015) dan tidak akan bertumbuh seperti CAGR 10 tahun terakhir di Cina sebesar 68%.

Seperti yang akan kita temukan jawabannya, penyebab dari perbedaan alasan ini adalah kesalahan aplikasi dari model pertumbuhan ecommerce bergaya Barat, dimana model yang tepat untuk mengukur ecommerce di Asia Tenggara adalah model hyper-growth milik Cina.

Saudara Lain Ibu? E-commerce Asia Tenggara yang Berkembang Memiliki Persamaan dengan Cina Dibanding Lainnya

Kekeliruan dari proyeksi yang ada adalah seringnya mereka menjadikan model Barat sebagai dasarnya, yang dalam hal ini Barat dilihat sebagai jalur yang telah terpercaya menuju ecommerce. Namun demikian, untuk beberapa alasan yang akan dijelaskan di bawah ini, ecommerce Asia Tenggara lebih mirip Cina daripada pasar lainnya yang telah berkembang lebih dahulu seperti AS, Eropa dan Jepang. Sebagai hasilnya, kita harus mengharapkan pertumbuhan dua digit tinggi seperti yang dialami oleh Cina selama sepuluh tahun terakhir dan bukannya progress gradual tahun-per-tahun seperti pasar ecommerce legasi lainnya.

1.     Kurangnya infrastruktur retail offline

“Mengapa ecommerce berkembang sangat cepat di Cina dibanding di AS? Karena infrastruktur dari commerce di Cina sangat buruk. Tidak seperti di sini dimana Anda memiliki semua toko (fisik): Wal-Mart, K-Mart, apa pun, dimana pun. Namun di Cina, kami tidak memiliki apa-apa, tidak dimana pun. Jadi ecommerce di AS hanyalah makanan penutup; sebagai pelengkap bisnis utama. Namun di Cina, ecommerce adalah makanan utama.” — Jack Ma, Pendiri dan Chairman Alibaba.

Bangkok dan Jakarta adalah rumah bagi mall-mall papan atas dan department stores mewah di Asia Tenggara seperti Central Word, Paragon dan Grand Indonesia. Namun demikian, begitu Anda berada di luar kota besar, tidak banyak yang bisa ditemui. Cina pun demikian, dengan sebagian besar offline ritel berada di kota-kota tier 1 seperti Beijing, Shanghai dan Guangzhou.

Retail GFA (Gross Floor Asia) per kapita mencapai 2,200 sqm di AS versus 500, 500 dan 100 sqm masing-masing di Cina, Thailand dan Indonesia menurut data dari CLSA. Sebagai hasilnya, mayoritas konsumen di Thailand dan Indonesia tidak memiliki pilihan selain untuk berbelanja online, khususnya mereka yang berada di luar kota besar. Menurut data yang diagregat aCommerce, 70% order di Thailand datang dari luar Bangkok.

Seperti di Cina, semua ini diharapkan akan mengakselerasi pertumbuhan ecommerce pada kecepatan yang lebih cepat dibanding pasar legasi.

2.     Cash-on-delivery sebagai metode pembayaran yang dominan

Kurangnya kartu kredit tidak menghalangi ecommerce di Cina tumbuh 68% per tahun selama satu dekade terakhir. Dengan sistem keuangan yang kurang dari ideal, perusahaan logistik dan jasa pengiriman akhirnya mengisi kesenjangan ini dengan menawarkan solusi cash-on-delivery (COD). Pada masanya di tahun 2008, COD mengisi 70% dari total transaksi B2C di Cina. Namun, pada tahun 2014, Alipay milik Alibaba telah melampaui COD sebagai metode pembayaran yang dominan, dengan lebih dari 85% dari pembelanja untuk 11/11 mengungkapkan preferensi mereka menggunakan Alipay vs. hanya 21% untuk COD.

Asia Tenggara saat ini sangat mirip dengan China 10 tahun lalu. Dengan penetrasi kartu kredit di satu digit, COD telah menjadi metode pembayaran yang dominan, dengan 74% jumlah transaksi di negara berkembang di Asia Tenggara dibayar tunai berdasarkan data dari aCommerce. Seperti Cina, ecommerce di Asia Tenggara tidak selamanya akan bergantung kepada COD. Dengan akuisisi Lazada ini, Alibaba sekarang tengah mengeksekusi rencana utama mereka untuk membawa Alipay dan Ant Financial ke wilayah ini.

3.     Kurangnya cross-border ecommerce karena tingginya bea masuk dan pajak

Cross-border ecommerce Cina tidak pernah jadi hal yang besar hingga baru-baru ini, dengan pembentukan kawasan gudang berikat yang disetujui pemerintah yang memungkinkan pengiriman internasional yangl lebih cepat dan biaya yang lebih rendah. Merek global dan pengecer sekarang dapat memasuki pasar Cina yang menguntungkan dengan mendirikan toko pada platform seperti Tmall Global dan JD Worldwide tanpa kehadiran toko fisik yang mahal di negara ini.

Sebelum ini, memesan barang dari luar negeri terbatas bagi banyak konsumen di Cina karena bea masuk yang tinggi (30%). (Bea masuk ini masih berlaku untuk pedagang yang tidak berlisensi untuk menjual dalam jaringan cross-border ecommerce Cina, misalnya memesan langsung dari Amazon.com).

Serupa dengan Cina, pasar bertumbuh di Asia Tenggara seperti Thailand dan Indonesia saat ini memiliki bea masuk yang mahal dan pajak. Kurangnya lapangan bermain tingkat global ini memberikan tekanan pada perkembangan ekosistem ecommerce lokal yang sehingga apa yang terjadi adalah pertumpahan darah ecommerce di Indonesia seperti bisa kita lihat saat ini.

southeast-asia-ecommerce-potential-3-1024x512

4.     Ekosistem “no-tail”

Adopsi internet di Cina dan negara-negara berkembang Asia Tenggara tidak mencapai massa kritis sampai pertengahan tahun 2000 ini. Pasar ini melewatkan sebagian besar Web 1.0 dan “Web 1.5” booming dan melompat langsung ke Web 2.0, yang mengarah kepada pembentukan apa yang kita sebut sekarang ekosistem “No-Tail”. Akibatnya, iklan digital di negara-negara ini tertinggal dari pasar yang lebih matang seperti Amerika Serikat dan Jepang di mana perusahaan seperti Facebook dan Pinterest sering melihat penjualan iklan sebagai cara yang paling jelas – dan kadang, satu-satunya – untuk menghasilkan uang.

Kurangnya lingkungan periklanan yang matang, perusahaan internet di Cina tidak punya banyak pilihan selain untuk melihat commerce untuk dimonetisasi sehingga mengangkat industri ecommerce di Cina menjadi status raksasa-nya yang sekarang.

“Sementara perusahaan-perusahaan AS fokus pada pendapatan iklan, perusahaan Cina telah menjadi penentu kecepatan dalam ecommerce,” laporan The Washington Post.

“Anda mengunjungi Facebook dan tidak bahkan bisa membeli apa-apa, tapi dengan WeChat dan Weibo Anda dapat membeli apa pun yang Anda lihat,” ucap William Bao Bean, partner di SOS Ventures yang berbasis di Shanghai direktur Chinaccelerator, di artikel Washington Post yang sama.

Uber mengalami kegagalan di Cina bukan karena kurang dalamnya kantong mereka; raksasa ride-sharing ini hilang karena berjuang melawan pesaing yang berfokus pada monetisasi ecommerce dalam jangka panjang, bukan pada penghasilan transportasi jangka pendek.

Mirip dengan Cina satu dekade yang lalu, Asia Tenggara memiliki pasar periklanan yang sama-sama baru lahir. “Tidak ada cukup penerbit lokal, karena itu tidak ada pembelian yang cukup dari pengiklan,” ujar Lichi Wu, seorang ahli teknologi iklan Asia Tenggara yang sebelumnya bekerja di Google dan AdMob.

Dengan “kebun bertembok” seperti Facebook dan Instagram mendominasi semua pembuatan konten, tidak ada kekuatan yang cukup kuat untuk memutus siklus ayam-dan-telur ini. Menghadapi realitas suram RPM rendah (pendapatan per 1.000 tayangan atau tampilan halaman) banyak bisnis online kemudian memeluk ecommerce sebagai model bisnis.

Tidaklah mengherankan kemudian bahwa salah satu sumber yang paling populer dari pendapatan “pasif” di Thailand dan Indonesia adalah membeli barang dari Taobao dan AliExpress dan menjualnya kembali demi margin di Facebook dan Instagram, sedangkan di AS, pengusaha rumahan seringnya melakukan blogging, SEO dan afiliasi pemasaran untuk menghasilkan pendapatan iklan.

Mengukur Ecommerce Asia Tenggara Berdasarkan Pertumbuhan Model E-commerce Cina

Melihat semua metriks sebelumnya, kita dapat mengamati kesamaan antara ecommerce di negara berkembang Asia Tenggara saat ini dan Cina pada tahun 2006. Sebagai contoh, ecommerce GMV per kapita dan penetrasi ecommerce Thailand pada tahun 2016 sudah sebanding dengan Cina pada tahun 2006. (Untuk lebih tepatnya, berdasarkan angka-angka ini Thailand ecommerce pada tahun 2016 sudah di depan Cina pada tahun 2006.).

Sebagai patokan dimana ecommerce Asia Tenggara berada 10 tahun dari sekarang, mari kita lihat ecommerce GMV per kapita sebagai persentase dari PDB nasional per kapita. Metriks ini harusnya bisa memberikan kita gambaran tentang daya beli ecommerce individu relatif terhadap standar hidup. Kita tidak bisa benar-benar menggunakan GMV per kapita ecommerce Cina di 2016 karena PDB per kapita Thailand akan lebih tinggi dari Cina pada tahun 2016, sehingga hasilnya kita bisa meremehkan potensi yang ada.

GMV per kapita ecommerce Cina sebagai persentase dari PDB nasional per kapita adalah 6% pada 2016. Jika kita kalikan ini dengan PDB per kapita Thailand dan Indonesia diproyeksikan untuk 2016, kita akan mendapatkan ecommerce GMV per kapita masing-masing sebesar $711 dan $533. Kemudian menerapkan ini untuk menghitung populasi yang diproyeksikan, kita akan mendapatkan pasar ecommerce berukuran masing-masing $51 dan $157 miliar untuk Thailand dan Indonesia. Kontras dengan proyeksi Google dan Temasek sebanyak $11 dan $46 miliar dan kita bisa melihat berapa banyaknya potensial yang sebenernya tersisa.

Mengambil angka Thailand dan Indonesia dari laporan Google dan Temasek dan memasukan estimasi untun C2C, katakan sebesar 30%, memberi kita permulaan untuk proyeksi tahunan kami. Kemudian merata-rata pertumbuhan tahunan untuk mencapai angka mencapai $51 dan $157 miliar, kita akan mendapatkan proyeksi tahunan seperti di bawah. Dalam skenario ini, CAGRs yang  baru adalah 43% dan 50% untuk Thailand dan Indonesia, dibandingkan yang sebelumnya hanya 29% dan 39%.

Proyeksi e-commerce Thailand dan Indonesia berdasarkan model Tiongkok
Proyeksi e-commerce Thailand dan Indonesia berdasarkan model Tiongkok

Tanpa menyesuaikan untuk Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam (di mana dua nama terakhir tidak mengikuti model Cina), kita akan mendapatkan total diproyeksikan ukuran minimal $238 miliar. Proyeksi ecommerce ulang yang telah disesuaikan Indonesia saja mencapai  $157 miliar, jauh lebih besar $88 miliar yang diperkirakan untuk semua enam pasar Asia Tenggara yang digabungkan.

Revisi proyeksi ini memberikan gambaran potensi sesungguhnya dari ecommerce di Asia Tenggara dan menjelaskan mengapa semua orang di sini adalah tumbuh dua kali lipat, dengan akusisi Alibaba terhadap Lazada sebesar $1 miliar, Tokopedia mendapatkan pendanaan hingga $248 juta sampai saat ini, dan MatahariMall baru saja mendapatkan $100 juta. Seperti di Cina sepuluh tahun yang lalu, orang-orang yang berinvestasi dalam ecommerce lebih dulu dan mengambil prospek strategi jangka panjang akan berakhir memiliki potongan terbesar ini $238 miliar – bukan $88 miliar – dari  tambang emas ecommerce di Asia Tenggara.

 


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Sheji Ho dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.