Kisah Upik Abu Kesuksesan Moonton dan Mobile Legends di Indonesia

Berita akuisisi Moonton oleh Bytedance membuat kita bertanya-tanya, akan ke arah mana perkembangan Moonton ke depannya? Bagaimana nasib MLBB dan ekosistem esports di dalamnya? Dalam artikel ini, ada Aswin Atonie selaku Brand Manager Moonton Indonesia membagikan soal arah perkembangan Moonton di masa depan nantinya. Namun sebelum itu, mari kita sedikit melakukan napak tilas, melihat perjalanan macam apa yang harus ditempuh Moonton untuk mencapai titik kesuksesan seperti sekarang.

 

Jalan Berbatu Moonton Membesarkan Anak Kesayangannya, Mobile Legends: Bang-Bang

Mengutip dari laman LinkedIn resmi milik Moonton Games, dikatakan bahwa Shanghai Moonton Co., Ltd berdiri tahun 2014 lalu sebagai sebuah perusahaan software. Seiring perkembangannya, Moonton berkembang ke arah pengembang game untuk platform mobile. Game pertama mereka adalah Magic Rush: Heroes. Game tersebut punya gameplay seperti kebanyakan game mobile yang ada di pasaraan, yaitu mengumpulkan hero sebanyak-banyaknya dengan melakukan gacha.

Satu tahun berlalu, Moonton merilis game baru. Game tersebut adalah game yang kini menjadi nafas baru bagi perkembangan esports di Indonesia, yaitu Mobile Legends. Kala itu game tersebut dirilis dengan nama Mobile Legends: 5v5 MOBA tahun 2016 silam dan segera berubah menjadi Mobile Legends: Bang Bang setelahnya.

Game mobile kompetitif (terutama genre MOBA) masih belum berkembang begitu pesat tahun 2016 silam. Namun memang, sudah ada beberapa developer yang mengincar peluang tersebut. Karenanya sudah ada beberapa game MOBA di mobile pada tahun 2016. Contohnya ada Vainglory yang dikembangkan oleh developer baru bernama Super Evil Megacorp. Selain itu ada juga Heroes of Order and Chaos yang dikembangkan oleh developer mobile games kawakan yaitu Gameloft.

Sayangnya, perjalanan Moonton merintis Mobile Legends tidak selalu mulus. Mobile Legends menghadapi sejumlah kontroversi di tahun awal perjalanannya. Namun memang, kontroversi tersebut bukan terjadi tanpa sebab.

Mobile Legends, pada awal masanya, bisa dibilang bukan game yang paling orisinil penampilannya. Alucard pada zaman itu terlihat sangat mirip dengan Dante dari seri Devil May Cry. Akai masih berbentuk binatang panda berjalan dua kaki tanpa pakaian membawa bola besi besar, yang sekilas mirip Po dari film Kung Fu Panda. Franco pada masa itu bahkan punya skill dan bentuk yang sama persis dengan Pudge dari Dota 2.

Walaupun demikian, pihak-pihak terkait yang saya sebut di atas tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Tetapi di sisi lain, ada developer game MOBA lain yang merasa game buatannya telah ditiru. Developer tersebut adalah Riot Games yang merupakan pencipta game League of Legends.

Riot Games meluncurkan tuntutan kepada Moonton ke pengadilan pusat California, Amerika Serikat, pada 7 Juni 2017. Kala itu Riot Games menuduh game Mobile Legends: 5v5 MOBA dan Magic Rush buatan Moonton telah meniru League of Legends. Dalam dokumen pengadilannya, Riot Games memberi contoh tangkapan gambar yang menunjukkan seberapa mirip konten yang ada di Magic Rush dan Mobile Legends dengan konten yang ada di League of Legends. Mengutip dari dokumen pengadilannya, berikut beberapa kemiripan Mobile Legends terhadap LoL yang dituduhkan Riot Games kepada Moonton.

Sumber: Dot Esports
Beberapa cuplikan tuduhan plagiasi di dalam dokumen penuntutan hukum Riot Games kepada Moonton tahun 2017 lalu. Selain Mobile Legends, Riot Games juga menganggap Magic Rush: Heroes telah meniru League of Legends. Sumber: Dot Esports
Sumber: Dot Esports.
Cuplikan lain yang ada di dalam dokumen penuntutan Riot Games ke Moonton. Kali ini Riot Games menunjukkan beberapa konten di dalam Mobile Legends yang dianggap telah meniru League of Legends. Sumber: Dot Esports

Mengutip dari artikel Dot Esports yang terbit tahun 2018, tuntutan dari Riot Games ke pengadilan California berakhir dengan keadaan forum non conviens. Dalam keadaan tersebut, tuntutan dikesampingkan karena pengadilan Kalifornia menganggap kasus tersebut lebih baik diselesaikan di area yuridiksi atau pengadilan lain yang lebih tepat sasaran. Berhubung Moonton berbasis di Tiongkok, maka maksud pengadilan yang lebih tepat sasaran adalah pengadilan tinggi di Tiongkok.

Setelah tuntutan Riot Games ke Moonton selesai tahun 2017, Moonton kembali menghadapi tuntuntan hukum lain pada tahun 2018. Tuntutan kali ini dilayangkan oleh Tencent terhadap Xu Zhenhua yang dikatakan sebagai salah satu perwakilan dari Moonton.

Masih dari Dot Esports, Xu Zhenhua dituntut karena dianggap telah melanggar perjanjian non-disclosure (larangan menyampaikan suatu informasi yang bersifat rahasia) dan non-compete (larangan pindah ke perusahan saingan yang biasanya berada di bidang yang sama). Tuntuntan tersebut awalnya berakhir dengan denda sebesar 2,6 juta Yuan (sekitar Rp5,5 miliar) dikenakan kepada Xu Zhenhua. Tetapi setelahnya dikatakan bahwa denda yang dikenakan menjadi sebesar 19,4 juta Yuan (sekitar Rp42 miliar) tanpa ada penjelasan lebih lanjut berdasarkan dari sumber internal yang tidak disebut namanya oleh Dot Esports.

Terlepas dari segala jalan berbatu yang dilalui Moonton dalam mengasuh anak kesayangannya, MLBB akhirnya berhasil sukses besar sampai seperti sekarang ini. Sebelum membahas alasan kesuksesannya, mari kita lihat dulu nasib “anak-anak” lain Moonton.

 

Menilik Game-Game Besutan Moonton dan Alasan Gaungnya Tidak Sebesar MLBB

Seperti yang saya sebut di awal, kiprah Moonton di industri mobile games sebenarnya tidak hanya terbatas pada MLBB saja. Moonton masih punya beberapa judul mobile games lain. Selain Magic Rush: Heroes, Moonton juga punya Mobile Legends: Adventure dan Sweet Crossing: Snake.io. Walaupun begitu, tiga game tersebut bisa dikatakan berada di luar dari DNA Moonton yang sukses di MLBB berkat esports.

Mobile Legends: Adventure tergolong sebagai game casual. Mirip seperti Magic Rush, gameplay ML: Adventure berkutat pada turn-based RPG yang bisa diotomasi dan konsep hero-collection dengan metode gacha. Sweet Crossing: Snake.io juga tergolong casual. Game tersebut punya gameplay seperti Snake.io yang sempat populer di antara para streamer lokal, namun dalam visual berupa karakter binatang lucu sebagai kepala ular dengan kue-kue manis sebagai buntut ularnya.

Walaupun punya beberapa game, tapi kesuksesan tiga game tersebut tergolong beda jauh ketimbang MLBB. Mengutip dari laman Google Play, baik Sweet Crossing, ML: Adventure, ataupun Magic Rush, hanya menyentuh angka 10 juta++ install saja pada saat artikel ini ditulis. Pada sisi lain, MLBB telah mencapai 100 juta++ install pada saat artikel ini ditulis.

Susmber Gambar - Google Play Store.
Sweet Crossing, salah satu game besutan Moonton yang terasa “melenceng” dari jalannya. Sumber Gambar – Google Play Store.

Total download per bulan dari tiga game tersebut sebenarnya tergolong masih cukup baik. Menggunakan data dari Sensor Tower, Sweet Crossing mencatatkan total 1 juta download di Google Play Store secara worldwide pada bulan Februari 2021 kemarin. Mobile Legends: Adventure mencatatkan total 400 ribu download secara worldwide di Google Play Store pada bulan Februari 2021. Magic Rush: Heroes mencatatkan total 20 ribu download di Google Play Store pada bulan Februari 2021. Namun angka tersebut memang tergolong sangat kecil jika dibandingkan dengan MLBB yang berhasil mencatat total 5 juta download di Google Play Store pada bulan Febaruari 2021.

Dari paparan-paparan saya di atas, Anda bisa lihat sendiri bagaimana angka download Sweet Crossing, Magic Rush, dan ML: Adventure sebenarnya masih cukup baik walau tetap kalah jauh ketimbang MLBB. Ditambah juga, mencapai angka 10 juta ++ install bukanlah sesuatu yang mudah. Jadi sebenarnya terasa tidak adil apabila kita bilang tiga game tersebut kurang sukses. Walau begitu, satu hal yang mungkin bisa saya katakan adalah gaung tiga game tersebut yang kalah ketimbang MLBB.

Seperti yang kita tahu, MLBB sudah hampir layaknya oksigen bagi nafasnya gamers Indonesia. Selalu ada informasi seputar MLBB setiap hari, mulai dari bangun di pagi hari sampai tidur di malam hari. Informasi yang hadir pun berbagai macam. Mulai dari informasi seputar game-nya seperti Hero baru, Starlight Member atau Skin terbaru, sampai konten seputar esports seperti rumor, gosip, ataupun komentar-komentar seputar esports dari para pemainnya. Informasi tidak hanya disajikan pihak Moonton sendiri, tetapi juga oleh konten kreator, media, ataupun partner-partner Moonton.

Lalu kenapa game lainnya kalah gaung ketimbang Mobile Legends, walau angka download ataupun followers media sosial dari masing-masing game sebenarnya tidak sebegitu buruk?

Menurut opini saya, esports menjadi salah satu alasan terbesarnya. Kehadiran esports membuat topik pembahasan game Mobile Legends menjadi lebih lebar. Tanpa esports, pembahasan Mobile Legends mungkin hanya terbatas kepada update patch, hero baru, tips dan trik, Skin baru, ataupun konten Starlight member.

Tetapi dengan kehadiran esports, game Mobile Legends jadi punya berbagai topik pembahasan yang menarik, mulai dari rumor atau gosip, tanggapan pemain atas satu topik (tim yang akan dihadapi, META di dalam game, dan lain sebagainya), wawancara pasca pertandingan, dan berbagai perbincangan lainnya.

Apalagi esports MLBB di Indonesia juga hadir dalam format liga yang rutin dilaksanakan setiap pekan. Karena hal tersebut, perputaran konten seputar MLBB dan esports-nya jadi semakin cepat dan selalu ada topik baru untuk diperbincangkan yang membuat gaung game tersebut terdengar konsisten setiap harinya.

Sumber Gambar - Facebook Nimo TV
Kehadiran liga esports membuat MLBB jadi tak berhenti dibicarakan. Apalagi ditambah juga dengan aktivitas nonton bareng seperti pada gambar di atas yang semakin memancing perbincangan baru seputar MLBB dan esports-nya. Sumber Gambar – Facebook Nimo TV

Pada sisi lain, tiga game besutan Moonton lainnya adalah game casual yang punya gameplay cenderung sederhana. Karena gameplay-nya cenderung sederhana, topik yang bisa dibahas atas game tersebut juga jadi lebih sedikit. Karena gameplay-nya sederhana, aspek kompetitif tiga game tersebut juga jadi lebih minim walau tetap bisa dipertandingkan.

Karenanya, aspek esports sebenarnya terbilang jadi hal yang membuat MLBB jadi semakin melejit lagi walau sebenarnya sudah cukup besar berkembang di Indonesia. Apabila Anda masih penasaran dengan dampak positif kehadiran esports bagi game free-to-play, saya sempat membahas soal kausalitas game gratis dengan esports yang dapat Anda baca pada tautan berikut ini.

Setelah kita berkelana melihat perjalanan Moonton merintis MLBB dan nasib game besutannya yang lain, kini mari kita beralih ke pembahasan berikutnya soal simbiosis mutualisme antara Moonton dengan MLBB dan perkembangan industri esports Indonesia.

 

Simbiosis Mutualisme Moonton, MLBB, dan Pasar Gaming Indonesia

Hubungan antara Moonton dengan MLBB dan industri esports Indonesia bisa disebut sebagai simbiosis mutualisme. Keduanya saling memberi keuntungan satu sama lain, bahkan mungkin sudah berada di titik saling ketergantungan hingga saat ini. Kenapa bisa demikian? Mari kita melihat perkembangan esports Indonesia dari perspektif Mobile Legends: Bang-Bang.

Saya mungkin sudah beberapa kali menjelaskan bagaimana esports di Indonesia “bangkit” berkat kehadiran esports MLBB. Salah satu momen kebangkitan tersebut terasa pada MSC 2017 dan MPL Season 1 pada tahun 2018 yang dilaksanakan di Mall Taman Anggrek.

Dua turnamen tersebut berhasil menunjukkan besarnya potensi pasar gaming dan esports di Indonesia. Saya sudah beberapa kali melakukan liputan ke event esports offline pada tahun itu. Karenanya saya bisa menakar bahwa turnamen esports, biasanya cuma akan membuat penuh atrium Mall Taman Anggrek lantai 1 saja.

Namun demikian, MSC 2017 dan MPL Indonesia Season 1 menembus semua perikiraan tersebut. Bukan hanya Atrium Mall Taman Anggrek yang penuh sesak oleh penonton MSC 2017, tapi juga sampai ke lantai-lantai di atasnya. Saking penuhnya, saya ingat perncah diceritakan bahwa ada penonton yang sengaja bertahan di dalam elevator demi mendapat view yang enak untuk menonton turnamen MLBB. Luar biasa bukan?

Beberapa tahun berlalu, saya juga sempat membahas posisi Indonesia yang jadi begitu superior apabila kita bicara esports game mobile. Apabila kita mengutip data dari Esports Charts, sudah berkali-kali kita melihat MPL Indonesia menyalip liga-liga esports besar. Pada Februari 2021 kemarin saja, MPL Indonesia berhasil menyalip viewership liga esports yang lebih tua seperti liga LoL Korea LCK ataupun turnamen CS:GO terakbar, IEM Katowice. Pada bulan Oktober 2020 lalu saya juga sempat membuat pembahasan soal posisi Indonesia yang mungkin akan jadi kiblat esports mobile di dunia gara-gara Mobile Legends.

Dari perjalanan tersebut kita bisa melihat sedikit fakta soal dampak kehadiran Moonton dan MLBB terhadap pasar esports dan gaming Indonesia. Walaupun sering dicibir “hanya populer di Indonesia saja”, namun ekosistem esports Indonesia mau tidak mau harus berterima kasih kepada Moonton dan MLBB. Berkat penetrasi Moonton ke pasar Indonesia, ekosistem gaming dan esports Indonesia pun jadi berkembang sampai menjadi seperti sekarang.

Berkembang yang bagaimana? Salah satu yang paling terasa menurut saya adalah jumlah game developer yang investasi langsung ke pasar lokal jadi bertambah. Sejauh yang saya tahu dan ingat, hampir tidak ada developer game yang berinvestasi langsung ke pasar Indonesia sebelum fenomena MSC 2017 terjadi walau sudah ada beberapa perusahaan lokal yang berperan sebagai publisher.

Namun setelahnya kita bisa melihat sendiri Tencent hadir melakukan penetrasi langsung di tahun 2018 dengan PUBG Mobile. Beberapa tahun setelahnya, tepatnya pada 2020, perusahaan sebesar Riot Games bahkan juga melakukan penetrasi langsung ke pasar lokal Indonesia lewat game VALORANT dan League of Legends mobile atau Wild Rift. Dalam kasus Wild Rift, pasar Indonesia (dan negara-negara Asia Tenggara) bahkan mendapat perlakuan khusus berupa perilisan beta yang lebih dulu ketimbang negara-negara barat atau Asia timur.

Selain dari sisi investasi, perkembangan tim-tim esports lokal Indonesia juga menjadi salah satu hal yang terasa perubahannya berkat kehadiran Moonton dan MLBB di ekosistem esports Indonesia. Selain jumlahnya yang semakin banyak, beberapa tim yang besar di kancah MLBB saat ini juga sangat bersaing dari segi prestasi dan popularitas dengan tim-tim dari negara lain. Salah satu contohnya mungkin dapat Anda lihat pada pembahasan singkat saya soal posisi RRQ Hoshi sebagai tim MLBB terpopuler.

RRQ punya fans yang loyal dan cukup fanatik. | Sumber: ONE Esports
Kehadiran MLBB juga bisa dibilang memiliki andil dalam berkembangnya basis penggemar RRQ. | Sumber: ONE Esports

Tadi kita membahas soal ekosistem esports Indonesia yang diuntungkan dengan kehadiran Moonton dan MLBB. Tetapi tidak bisa dikatakan simbiosis mutualisme apabila pihak lainnya tidak diuntungkan. Pada sisi lain, penetrasi yang sukses tersebut juga sangat menguntungkan Moonton dan MLBB.

Kenapa pasar Indonesia sangat menguntungkan bagi Moonton dan MLBB? Kenapa Moonton dan MLBB juga butuh Indonesia? Salah satunya adalah karena game MLBB yang tidak rilis di Tiongkok walau Moonton memiliki basis perusahaan di negeri tirai bambu tersebut.

Apabila Anda mengikuti perkembangan industri game melalui pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh Hybrid.co.id, Anda tentu tahu betul pentingnya pasar Tiongkok bagi para publisher game. Alasan kenapa Tiongkok jadi penting, salah satunya adalah karena pesatnya perkembangan budaya gaming dan teknologi di sana. Pembahasan lengkapnya bisa Anda baca pada pembahasan Hybrid.co.id yang dilakukan oleh Ellavie berikut ini.

Berkat perkembangan budaya gaming dan teknologi yang pesat, Tiongkok menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi banyak developer game. Seberapa menggiurkan? Sensor Tower sempat melaporkan mobile games dengan pemasukan terbanyak sepanjang tahun 2020 lalu. Dari laporan tersebut, ditemukan bahwa dua game yang berada di peringkat teratas adalah PUBG Mobile dan Honor of Kings.

PUBG Mobile dilirilis secara global (termasuk di Tiongkok) dan berhasil mengumpulkan US$2,6 miliar. Honor of Kings hanya rilis di Tiongkok dan berhasil mengumpulkan pendapatan sebesar US$2,5 miliar. Anda tidak salah baca, ada sebuah game yang cuma rilis di Tiongkok dan jumlah pemasukannya hampir mengalahkan game yang rilis secara internasional. Dari sana, Anda bisa melihat sendiri betapa menggiurkannya pasar game Tiongkok bagi para developer game, terutama game mobile.

Karena tidak rilis di Tiongkok, Moonton harus mencari negara lain yang berpotensi menjadi pasar untuk game besutannya dan Indonesia pun menjadi jawaban. Kami mewawancara pihak Moonton untuk mempertanyakan cerita di balik penetrasi pasar yang dilakukan Moonton ke Indonesia.

Moonton Indonesia diwakili oleh Aswin Atonie selaku Brand Manager menjawab, “penetrasi ke pasar Indonesia merupakan hal yang sudah direncanakan dengan matang. Kami melakukan berbagai riset dan analisa hingga akhirnya memahami bahwa masih banyak yang dapat dikembangkan di Indonesia, terutama dalam bidang gaming.”

Sumber Gambar - ONE Esports.
Aswin Atonie, Brand Manager Moonton Indonesia. Sumber Gambar – ONE Esports.

Lebih lanjutnya, Aswin Atonie juga menceritakan sedikit cerita di balik layar dari kehadiran MSC 2017. “Dengan persiapan matang tersebut, kami pun mulai mempersiapkan gebrakan berupa MLBB South East Asia Cup (MSC 2017) yang bahkan sudah disiapkan sejak dari MLBB diluncurkan pertama kali yaitu pada tahun 2016 di Indonesia. Karenanya gelaran tersebut jadi mendapatkan animo yang luar biasa dari penggemar di indonesia.”

Akhirnya usaha penetrasi tersebut pun berbuah manis bagi Moonton. Melalui wawancara yang dilakukan redaksi Hybrid.co.id, Aswin Atonie juga mengungkap bahwa Mobile Legends sudah mengumpulkan 1 miliar download dengan 100 juta pengguna aktif. Investasi Moonton ke pasar Indonesia juga berbuah manis. Moonton sempat mengungkap bahwa pemain Mobile Legends di Indonesia adalah sebanyak 31 juta pemain aktif, mengutip dari artikel milik ONE Esports yang terbit tahun 2019 lalu.

Pada akhirnya perjalanan dan perkembangan ekosistem esports Indonesia dengan Moonton menjadi sebuah simbiosis mutualisme yang saling ketergantungan hingga saat ini. Apabila MLBB tidak muncul menjadi fenomena di tahun 2017 lalu, pasar gaming dan esports Indonesia bisa jad stagnan tanpa ada perkembangan yang melejit. Begitupun dengan Moonton. Apabila Moonton tidak berhasil menemukan potensi pasar gaming Indonesia, Moonton dan game MLBB yang dibesutnya mungkin tidak akan berkembang hingga menjadi sebesar seperti sekarang.

Setelah melihat perjalanan dan hubungan antara Moonton dengan Indonesia, berikutnya adalah soal masa depan Moonton nantinya. Kira-kira akan ke arah mana perkembangan Moonton nantinya? Apakah akan bertahan dengan Mobile Legends saja? Atau berkembang lewat game-game baru dari genre yang sedang digandrungi?

 

Akuisisi Bytedance, Rencana Game Baru, dan Masa Depan Moonton

Topik terkait Moonton yang paling menarik untuk dibahas saat ini mungkin adalah sub-topik ini yaitu nasib masa depan Moonton. Dari sisi pengembangan game MLBB, kita melihat sendiri bagaimana MLBB berkembang secara positif lewat Project NEXT yang dilakukan. Berbagai elemen di dalam game diperbaiki, beberapa hero lama diperbarui jadi lebih modern, grafis game juga perlahan ditingkatkan MLBB sembari tetap mempertahankan sifat alami game-nya yang ringan untuk berbagai smartphone.

Dari sisi esports kita dapat melihat bagaimana Mobile Legends Professional League terus berkembang di Indonesia. Jumlah penontonnya terus meningkat, sisi kompetisinya terus berusaha diperbaiki, sisi komersilnya juga terus berkembang secara positif. Dari sisi bisnis, beberapa waktu Anda juga mungkin sempat membaca berita soal akuisisi Bytedance (perusahaan induk TikTok) terhadap Moonton.

tiktok bytedance

Dengan semua pencapaian yang berhasil didapat Moonton di titik ini, maka pertanyaan berikutnya adalah, ke mana langkah selanjutnya Moonton? Apalagi akuisisi yang terjadi juga semakin menambah pertanyaan kita.

Aswin Atonie banyak bicara soal ini pada saat saya wawancara, walau sayang belum bisa memberikan komentar terkait perubahan yang akan terjadi pasca akuisisi Bytedance. Namun di luar dari itu, Aswin memberi sedikit gambaran soal arah perkembangan Moonton. Pertama adalah soal rencana game baru. Memang seperti yang saya sebut di sub-topik awal, Moonton sebenarnya sudah punya Mobile Legends: Adventure dan Sweet Crossing. Namun demikian, saya sendiri tetap penasaran apakah Moonton punya rencana untuk bersaing di genre game kompetitif lainnya seperti Battle Royale, Digital Card Game, atau mungkin genre Shooter?

Terkait hal tersebut, Aswin menjelaskan. “Kami selalu ingin update dengan tren terkini di industri game, tetapi saat ini fokus kami masih berada di genre game MOBA. Salah satu alasannya adalah karena kami percaya masih banyak hal yang bisa kami kembangkan lewat game MLBB sendiri.”

“Dalam pengembangan game MLBB, fokus kami masih berusaha memberikan experience yang baik bagi semua pemain lewat ragam fitur, pembaruan in-game, dan event yang rutin kami lakukan seperti 515 e-Party, Project NEXT, Winter Gala, dan lain sebagainya. Tetapi di luar dari itu, di belakang layar, kami (Moonton) juga dalam tahap development beberapa game. Informasi terkait hal tersebut tentunya baru akan dibagikan saat game tersebut sudah dianggap siap nantinya.” Lanjut Aswin menjelaskan soal rencana selanjutnya Moonton dari sisi pengembangan game.

Pertanyaan berikutnya adalah soal ekspansi pasar MLBB ke negara-negara lain, baik dari sisi esports ataupun percobaan penetrasi pasar ke negara lain. Seperti yang selalu saya jelaskan sebelumnya, walupun MLBB sudah berkembang begitu luar biasa namun perkembangannya terbilang cukup terbatas di pasar Asia Tenggara saja untuk saat ini.

Aswin pun menjawab. “Kami tentu ingin terus melakukan ekspansi pasar. Karenanya kami telah membuat beberapa rencana untuk beberapa wilayah. Untuk saat ini kami memiliki dua tim besar yang bertanggung jawab untuk mengatur ‘Developed Area’ seperti Asia Tenggara dan ‘Developing Area’ seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Asia Timur.”

Lalu, akankah status “anak emas” bagi pasar Indonesia hilang dengan rencana ekspansi tersebut? Aswin pun menambahkan. “Kami masih terus berniat untuk mengembangkan ekosistem esports di Indonesia lewat edukasi kepada masyarakat untuk mengubah stigma negatif gamers, serta memberi inspirasi pada generasi muda untuk bermain dengan sebuah tujuan. Saya merasa sampai saat ini MLBB telah membuka begitu banyak peluang dan lapangan pekerjaan di sektor esports, entah sebagai atlet esports profesional, content creator gaming, esports team management, event management, dan lain sebagainya.”

Menutup perbincangan soal masa depan Moonton, saya pun jadi berandai-andai dan berpikir, “Apa mungkin Moonton akan membuat game PC atau konsol di masa depan?”. Bertanya soal hal tersebut, Aswin pun menjawab. “Sebagai pelaku bisnis industri game, kami percaya bahwa game PC dan konsol masih akan terus berkembang ke depan. Namun kita semua tahu bahwa era digital telah memobilisasi aktivitas kita. Maka dari itu untuk saat ini Moonton masih terus fokus untuk mengembangkan MLBB sebagai game mobile demi memberikan pengalaman yang terbaik bagi para pemain.”

Perjalanan Moonton menjadi sebesar sekarang ibarat seperti kisah Cinderella yang berkembang dari sebuah developer kecil menjadi salah satu developer mobile games raksasa di Asia Tenggara. Semoga kisah kesuksesan Moonton dapat menjadi referensi atau inspirasi bagi Anda yang sedang berkutat atau ingin terjun ke bisnis esports dan gaming saat ini.

Gambar Utama – Moonton Epic Con 2019 (Sumber Gambar – Moonton Official)

Bagaimana Industri Game & Esports Indonesia dan Tiongkok Merefleksikan Karakteristik Negara

Indonesia dan Tiongkok punya beberapa kesamaan, seperti jumlah populasi yang besar. Tiongkok merupakan negara dengan populasi terbesar pertama sementara Indonesia duduk di peringkat empat. Dari segi geografis, Indonesia dan Tiongkok juga cukup dekat. Hal ini memudahkan pertukaran budaya antara kedua negara. Jadi, tidak heran jika gaya kepemimpinan pemerintah Indonesia punya kesamaan dengan pemerintah Tiongkok. Tapi tenang, kesamaan antara pemerintah Indonesia dan Tiongkok bukan berarti Partai Komunis Indonesia kembali bangkit.

Kali ini, saya akan menjelaskan kesamaan regulasi pemerintah Indonesia dan Tiongkok di bidang game dan esports. Setelah itu, saya akan membandingkan pendekatan pemerintah Indonesia dan Tiongkok di beberapa sektor lain, seperti infrastruktur internet, smartphone, dan BUMN. Tujuannya adalah untuk melihat apakah regulasi yang pemerintah Indonesia dan Tiongkok tetapkan di industri game dan esports muncul akibat hukum di bidang lain yang terkait.

Berikut pembahasannya.

 

Industri Game

Menjunjung nasionalisme merupakan salah satu kesaamaan antara Indonesia dan Tiongkok di industri game. Di Indonesia, masih ada game-game yang dipasarkan dengan menggunakan sentimen “game buatan anak negeri!” Tak bisa dipungkiri, memang ada orang-orang yang tertarik dengan game-game tersebut. Hanya saja, strategi marketing itu bisa menjadi bumerang jika game tidak dilengkapi dengan gameplay yang menarik. Pada akhirnya, seseorang bermain game demi mendapatkan kepuasan bermain dan bukannya untuk mendukung kedaulatan negara. Satu hal yang harus diingat, developer bisa menjadikan budaya lokal dalam game sebagai daya tarik jika mereka memang bisa menempatkan konten lokal dengan porsi yang pas.

Rasa nasionalisme juga dijunjung tinggi di Tiongkok. Beijing bahkan turun tangan secara langsung untuk memastikan semua game yang dirilis di Tiongkok tidak mengandung konten yang bertentangan dengan ideologi negara. Hal ini juga berlaku untuk para publisher asing yang hendak merilis game-nya di Tiongkok. Nasionalisme di Tiongkok begitu dijunjung hingga semua teks dalam game harus berupa Simplified Chienese. Menurut laporan Niko Partners, bahkan ada game yang dilarang rilis karena menampilkan kata seperti “Winner” atau “Attack” dalam bahasa Inggris dan bukannya Simplified Chinese.

Di Tiongkok, jumlah game yang dirilis setiap tahun juga dibatasi. Game yang mempromosikan budaya atau sejarah Tiongkok juga akan diprioritaskan. Hal ini menjadi bukti lain bagaimana nasionalisme menjadi poin penting dalam industri game Tiongkok. Tujuan pemerintah memprioritaskan game yang menunjukkan budaya dan sejarah Tiongkok adalah untuk meningkatkan kualitas game dan memperluas audiens yang bisa dijangkau oleh sebuah game. Dengan membatasi game buatan asing yang dirilis di Tiongkok, secara tidak langsung, pemerintah melindungi developer game lokal dengan membatasi persaingan.

Di Indonesia, pemerintah tidak membatasi jumlah game yang bisa dirilis atau menyaring game-game yang akan diluncurkan. Bentuk dukungan pemerintah pada developer lokal bukan dalam bentuk membatasi jumlah game asing yang beredar. Salah satu bentuk dukungan pemerintah Indonesia adalah dengan mengadakan event bagi developer lokal untuk unjuk gigi, seperti Game Prime. Selain itu, mereka juga berusaha untuk memfasilitasi developer lokal agar bisa mendapatkan investasi serta mempromosikan game lokal, seperti Lokapala.

Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Norman Marcioano sempat berkunjung ke markas Anantarupa Studios — developer Lokapala — pada Desember 2020. Ketika itu, dia menyatakan keinginannya agar KONI ikut mempromosikan Lokapala sebagai game esports nasional, seperti dikutip dari Kompas. Caranya, dengan memasukkan mobile game itu ke Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua 2021. Selain itu, Lokapala juga pernah diadu di Piala Menpora.

Lokapala jadi salah satu game yang diadu di PON 2021. | Sumber: Suara
Lokapala jadi salah satu game yang diadu di PON 2021. | Sumber: Suara

Selain sama-sama menjunjung nasionalisme, Indonesia dan Tiongkok juga punya kesamaan lain, yaitu kecenderungan untuk memblokir game. Pada 2017, Kementerian Komunikasi dan Informatika sempat memblokir game berjudul Fight of Gods. Alasannya, game itu menampilkan karakter berupa tokoh agama atau dewa dari berbagai negara, seperti Yesus, Buddha, Zeus, dan Anubis. Saat itu, Kominfo menjelaskan tujuan mereka memblokir game itu adalah demi mencegah terjadinya pertengkaran antara penganut agama.

Selain itu, di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa haram akan PUBG Mobile. Hal ini mendorong Aceh untuk mengharamkan PUBG Mobile dan game-game serupa lainnya. Pertimbangan MUI adalah karena PUBG dan game serupa dianggap bisa mengubah perilaku pemainnya dan mengganggu kesehatan, menurut laporan CNBC Indonesia. Hal ini memicu rumor bahwa Kominfo juga akan memblokir PUBG Mobile. Dan memang, pada Maret 2019, Kominfo mengaku siap untuk memblokir PUBG jika MUI menganggap pemblokiran memang perlu dilakukan. Meskipun begitu, pada akhirnya, Kominfo mengklaim bahwa kabar tentang pemblokiran PUBG Mobile tidak lebih dari hoaks.

Lucunya, PUBG Mobile juga diblokir di Tiongkok. Padahal, game itu dirilis di bawah bendera Tencent Games. Alasan pemerintah melakukan hal itu adalah karena PUBG Mobile dianggap menampilkan kekerasan eksplisit. Alhasil, pada Mei 2019, Tencent menarik PUBG Mobile. Sebagai gantinya, mereka meluncurkan Game for Peace alias Peacekeeper Elite. Game itu punya gameplay yang sama persis dengan PUBG Mobile. Hanya saja, tema yang diusung dalam game itu adalah perang melawan terorisme dan bukannya saling membunuh demi bisa bertahan hidup.

 

Industri Esports

Tak hanya di industri game, keputusan pemerintah Indonesia dan Tiongkok terkait industri esports juga punya kesamaan. Keduanya sama-sama mendukung esports. Hanya saja, lagi-lagi, dukungan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia dan Tiongkok pada pelaku industri esports berbeda.

Di Tiongkok, salah satu dukungan pemerintah pusat pada pelaku industri esports adalah dengan menyatakan pemain profesional sebagai pekerjaan resmi. Semantara itu, pemerintah lokal justru tidak segan untuk mengucurkan dana demi mengembangkan fasilitas esports. Shanghai menjadi salah satu kota yang peduli akan ekosistem esports. Pada 2019, pemerintah lokal Shanghai bahkan menyatakan keinginan mereka untuk menjadikan Shanghai sebagai “ibukota esports“. Mereka berharap untuk merealisasikan rencana itu dalam waktu 3-5 tahun ke depan.

Shanghai bukan satu-satunya kota yang peduli akan industri esports. Pemerintah Huangzhou juga menunjukkan ketertarikan untuk menjadikan kota turis itu sebagai pusat esports. Untuk itu, pemerintah Huangzhou menyiapkan US$280 juta untuk membangun komplek esports seluas 360 ribu meter persegi. Keputusan pemerintah Huangzhou ini mendorong LGD Gaming dan Allied Gaming untuk membuka kantor di komplek tersebut. LGD Gaming merupakan organisasi esports yang punya beberapa tim sukses, termasuk tim League of Legends. Sementara Allied Gaming mengoperasikan jaringan esports di Tiongkok. Hal ini menunjukkan sinergi antara pemerintah dengan pelaku swasta dari industri esports, bagaimana pemerintah bisa menunjukkan dukungan secara nyata pada pelaku esports.

Chongqing Zhongxian E-Sports Stadium. | Sumber: SCMP
Chongqing Zhongxian E-Sports Stadium. | Sumber: SCMP

Pada Januari 2021, pemerintah Shanghai memamerkan desain dari esports hub yang hendak mereka bangun. Esports hub yang dinamai Shanghai International New Cultural and Creative Esports Center ini akan dibuka pada 2024. Untuk membangun fasilitas seluas 500 ribu meter persegi ini, pemerintah Shanghai menggelontorkan uang sebanyak US$900 juta. Salah satu fungsi esports hub itu adalah untuk menjadi tempat diselenggarakannya turnamen esports. Memang, esports hub tersebut dapat menampung penonton hingga enam ribu orang. Setelah esports hub ini jadi, ia akan menjadi salah satu stadion esports terbesar di dunia. Sejauh ini, kebanyakan stadion khusus esports punya kapasitas kurang dari enam ribu orang. Sebagai perbandingan, Esports Stadium Arlington, stadion esports terbesar di Amerika Utara, hanya memiliki kapasitas 2,5 ribu penonton.

Dua fasilitas tadi bukan stadion khusus esports pertama yang dibangun di Tiongkok. Pada 2018, di Tiongkok, telah dibangun Chongqing Zhongxian E-Sports Stadium, yang memiliki kapasitas 7 ribu orang. Stadion ini juga dilengkapi dengan plaza di bagian luar yang bisa menampung hingga 13 ribu orang. Para penonton yang ada di luar akan bisa menonton jalannya pertandingan melalui layar LED raksasa yang terpasang pada dinding luar stadion.

Sementara di Indonesia, salah satu bentuk dukungan pemerintah adalah dengan membentuk organisasi yang memayungi esports, yaitu Pengurus Besar Esports alias PB Esports, yang dipimpin oleh Jendral Pol (Purnawirawan) Budi Gunawan. Hanya saja, sebelum PB Esports dibentuk pada Januari 2020, telah ada beberapa organisasi yang menaungi para pelaku dunia game dan esports, seperti Asosiasi olahraga Video Game Indonesia (AVGI) yang dibentuk pada Juli 2019 atau Federasi Esports Indonesia (FEI), yang didirikan pada Oktober 2019.

Pada pelantikan anggota PB Esports, Budi Gunawan menjelaskan, pemerintah ingin menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh pelaku industri esports melalui PB Esports, mulai dari regulasi sampai training center. Tempat yang dipilih untuk menjadi pusat pelatihan esports adalah Sentul, Bogor. Sayangnya, sampai saat ini, saya tidak lagi mendengar kabar tentang proses pembangunan training center tersebut.

Bentuk dukungan lain dari pemerintah Indonesia adalah dengan menyatakan esports sebagai olahraga berprestasi pada Agustus 2020. Ketika itu, perwakilan PB Esports mengungkap, salah satu langkah konkret yang mereka lakukan untuk mengembangkan ekosistem esports adalah dengan menjaring bibit unggul. Mereka akan mencari para pemain berbakat di tingkat provinsi sebelum mengadu para bibit unggul itu di tingkat nasional. Selain itu, PB Esports juga hendak melakukan pembinaan pada para atlet unggul tersebut.

Berkaca dari akun Instagram resmi PB Esports, mereka telah mengadakan berbagai kompetisi esports di tingkat provinsi dengan game yang beragam, termasuk PUBG Mobile, Mobile Legends, dan PES. Tak hanya itu, mereka juga mengadakan berbagai turnamen esports tingkat nasional, seperti Piala Pelajar yang menawarkan total hadiah hingga Rp500 juta dan Piala KONI yang memiliki total hadiah sebesar Rp200 juta.

Piala KONI juga memasukkan esports. | Sumber: Esports.id
Piala KONI juga memasukkan esports. | Sumber: Esports.id

Dari segi budaya game dan esports, Indonesia juga punya kemiripan dengan Tiongkok. Baik di Indonesia maupun Tiongkok, mobile esports berkembang pesat. Di Tiongkok, hal ini terjadi karena Beijing memang sempat melarang penjualan konsol. Mereka baru mengizinkan penjualan konsol pada 2015. Alhasil, industri game yang berkembang di sana adalah game PC dan mobile game.

Sementara di Indonesia, mobile game dan esports tumbuh karena kebanyakan orang Indonesia memang mengenal internet pertama kali melalui smartphone. Tidak heran, mengingat harga smartphone jauh lebih murah dari PC atau konsol.  Selain itu, kebanyakan mobile game bisa diunduh dan dimainkan gratis. Karenanya, jumlah pemain mobile game bisa lebih banyak dari game PC atau konsol. Dan hal ini memudahkan ekosistem mobile esports tumbuh dan berkembang. Psst, kami juga pernah menjelaskan mengapa game esports yang populer adalah game gratis di sini.

 

Infrastruktur Internet dan Bisnis Smartphone

Suka atau tidak, industri game dan esports tidak berdiri sendiri. Keberadaan dan pertumbuhan dua industri ini sangat tergantung pada industri lain, seperti industri smartphone. Selain itu, infrastruktur internet juga memengaruhi perkembangan industri game dan esports. Tidak peduli sejago apa seseorang, dia tetap tidak akan bisa bermain game online atau bertanding di kompetisi esports jika dia tidak mendapatkan akses ke internet yang memadai. Jaringan internet yang buruk bahkan bisa memaksa tim mundur dari turnamen. Hal ini terjadi pada tim nasional Dota 2 dalam babak kualifikasi IESF World Championship 2020 untuk wilayah Asia Tenggara.

Indonesia dan Tiongkok sama-sama negara berkembang. Meskipun begitu, dari segi kecepatan internet, apalagi internet mobile, Tiongkok sudah jauh lebih baik. Berdasarkan data dari Speedtest, kecepatan internet mobile di Tiongkok mencapai 113,35 Mbps, hanya kalah dari Korea Selatan yang memiliki internet mobile dengan kecepatan 121 Mbps. Sementara kecepatan internet mobile di Indonesia hanya mencapai 16,7 Mbps. Kecepatan internet broadband di Tanah Air juga tidak jauh lebih baik, hanya mencapai 22,35 Mbps. Sementara di Tiongkok, kecepatan internet broadband sudah mencapai 138,66 Mbps. Sebagai perbandingan, Singapura — yang menjadi negara dengan kecepatan broadband tertinggi — memiliki kecepatan internet hingga 226,6 Mbps.

Namun, pemerintah Indonesia dan Tiongkok punya pendekatan yang sama soal internet: keduanya sama-sama peduli akan penyensoran. Tiongkok tidak hanya dikenal dengan Tembok Besar mereka, tapi juga dengan The Great Firewall of China. Memang, begitu Anda memasuki kawasan Tiongkok, akses internet Anda akan dibatasi. Bahkan perusahaan sekelas Facebook dan Google pun dilarang beroperasi di sana.

Secara garis besar, ada tiga alasan mengapa Beijing menyensor internet. Pertama, untuk mengendalikan massa. Media sosial dan internet bisa digunakan untuk mengumpulkan massa demi memprotes pemerintah. Memang, hashtag yang menjadi trending di jagat Twitter tidak melulu berakhir dengan tindakan di dunia nyata. Meskipun begitu, tidak sedikit kasus yang menunjukkan the power of netizens. Seminggu lalu, akun Instagram dari All England sempat hilang karena serbuan netizen Indonesia. Pasalnya, skuad Indonesia dianggap dicurangi, dilarang untuk bertanding karena ada kasus positif corona dalam pesawat yang mereka naiki.

Akun Instagram All England sempat hilang. | Sumber: CNN Indonesia
Akun Instagram All England sempat hilang. | Sumber: CNN Indonesia

Alasan lain pemerintah Tiongkok membatasi akses ke internet adalah untuk mengendalikan informasi sensitif. Dengan membatasi akses masyarakat akan internet, Beijing membatasi informasi yang bisa mereka terima atau bagikan. Jadi, secara teori, pemerintah bisa mengendalikan informasi yang sampai ke tangan masyarakat, khususnya terkait topik sensitif, seperti protes di Hong Kong. Alasan terakhir mengapa Tiongkok menyensor internet adalah untuk melindungi industri lokal. Pemerintah Tiongkok melarang perusahaan asing raksasa seperti Google dan Facebook karena mereka lebih suka untuk menggunakan jasa perusahaan lokal, seperti Baidu, yang menawarkan jasa seperti Google dan dan Weibo, platform media sosial serupa Twitter.

Sama seperti Tiongkok, pemerintah Indonesia juga melakukan penyensoran pada internet. Hanya saja, di sini, alasan pemerintah membatasi akses internet adalah untuk menyensor konten “negatif”, seperti pornografi. Untuk itu, Kominfo bahkan rela menyiapkan Rp194 miliar untuk mendapatkan mesin pengais (crawling). Meskipun begitu, saya cukup yakin saya masih melihat konten pornografi berseliweran di internet. Pada Maret 2018, Kominfo juga pernah memblokir Tumblr. Pemblokiran itu bisa diakali menggunakan VPN. Dua hal ini menunjukkan betapa (tidak) efektifnya penyensoran internet di Tanah Air tercinta.

Sama seperti Tiongkok, pemerintah Indonesia juga tidak hanya menyensor pornografi, tapi juga konten sensitif. Misalnya, pada Agustus 2019, pemerintah melakukan throttling kecepatan internet di Papua sebelum memblokir akses internet sama sekali. Alasannya, pemerintah mengklaim, adalah untuk “menangkal hoaks” yang muncul setelah masyarakat Papua melakukan protes besar-besaran akibat perlakuan rasis pada mahasiswa Papua di Surabaya, seperti dikutip dari Tirto.

Pemerintah Indonesia sempat memblokir internet di Papua. | Sumber: Deposit Photos
Sumber: Deposit Photos

Sekarang, mari kita melirik industri smartphone. Selama ini, Tiongkok dikenal karena punya banyak pabrik, termasuk pabrik smartphone. Sementara Indonesia mulai membahas tentang ketentuan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada 2015. Komponen lokal yang bisa dimasukkan ke dalam smartphone berupa hardware, software, atau investasi. Untuk memenuhi TKDN, perusahaan smartphone terkadang bekerja sama dengan pabrik lokal atau bahkan membuat pabrik sendiri. Namun, alasan pembuatan pabrik smartphone di Indonesia dan Tiongkok agak berbeda. Indonesia menerapkan TKDN dengan harapan untuk memajukan industri komponen lokal.

Sementara itu, kebanyakan perusahaan smartphone memang memilih untuk memproduksi ponsel mereka di Tiongkok. Salah satu alasannya adalah karena di Tiongkok, gaji pegawai relatif lebih rendah daripada Amerika Serikat. Selain itu, Tiongkok juga punya banyak pekerja. Dan kebanyakan dari mereka tidak keberatan untuk tinggal di asrama yang dekat dengan pabrik demi memangkas waktu pulang-pergi. Selain dari sisi sumber daya manusia, Tiongkok juga menawarkan keuntungan secara geografis. Pasalnya, lokasi Tiongkok lebih dekat dengan negara-negara pemasok bahan baku untuk membuat smartphone. Jarak yang lebih pendek berarti waktu pengiriman bahan baku yang lebih singkat, yang akan berujung pada waktu produksi yang lebih juga lebih pendek.

Tak terbatas pada infrastruktur internet dan bisnis smartphone, Indonesia dan Tiongkok punya kesamaan di sektor lain, seperti BUMN. Seperti namanya, BUMN alias Badan Usaha Milik Negara merupakan perusahaan yang sahamnya dikuasai oleh pemerintah. Di sebagian BUMN, pemerintah menguasai keseluruhan saham perusahaan, sementara di sebagian BUMN yang lain, pemerintah hanya menguasai setidaknya 51% saham perusahaan. Secara garis besar ada dua jenis BUMN, yaitu BUMN yang berorientasi pada keuntungan — seperti PT Telekomunikasi Indonesia alias Telkom dan PT Garuda Indonesia — dan BUMN yang fokus pada menyediakan barang atau layanan berkualitas pada masyarakat dengan harga terjangkau, seperti Perum Damri, Perum Perumnas, dan lain sebagainya. Hal yang sama juga berlaku di Tiongkok.

Sementara itu, di sektor keuangan, Jakarta dan Beijing juga membuat peraturan yang ketat. Mengingat uang memang masalah yang sensitif, tidak heran jika sektor finansial menjadi sektor yang diregulasi secara ketat. Di Indonesia, salah satu bentuk nyata campur tangan pemerintah adalah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada startup fintech. Pada September 2018, OJK mengeluarkan 9 pokok peraturan baru soal fintech, termasuk pemantauan dan pengawasan startup fintech.

Di Tiongkok, regulasi di sektor keuangan malah lebih ketat lagi. Beijing bahkan tidak membiarkan investor asing untuk menanamkan investasi di perusahaan Tiongkok begitu saja. Jika investor asing ingin menanamkan modal, mereka harus memenuhi setidaknya satu kriteria dari daftar persyaratan yang diberikan oleh Beijing, seperti tinggal di Tiongkok, bekerja di perusahaan ternama asal Tiongkok, atau punya tempat tinggal di Tiongkok. Dan jika seorang investor memang memenuhi kriteria itu, maka pemerintah akan melakukan background check yang ketat sebelum mengizinkan sang investor membeli saham perusahaan Tiongkok. Saham yang bisa dibeli sang investor pun hanyalah saham non-voting. Dengan kata lain, investor asing tidak akan bisa menentukan arah perusahaan, termasuk keputusan untuk melakukan merger atau penunjukan anggota dewan direksi.

Pada Januari 2021, pemerintah Indonesia berencana untuk membatasi investor asing sehingga mereka hanya bisa menanamkan modal di Indonesia dengan nilai di atas Rp10 miliar. Tak hanya itu, menurut CNN Indonesia, investor asing juga harus membuka PT jika mereka ingin melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Namun, peraturan ini tidak berlaku untuk startup teknologi yang ingin berinvestasi di kawasan ekonomi khusus. Walau peraturan terkait investasi asing Indonesia tidak seketat Tiongkok, BUMN biasanya masih mendominasi pasar. Buktinya, IndiHome masih menjadi penyedia layanan internet dengan jangkauan terluas dan pelanggan terbanyak walau sering mendapatkan keluhan.

 

Kesimpulan

Pemerintah Tiongkok tidak segan-segan untuk membatasi akses masyarakat akan internet. Alasan mereka adalah untuk mencegah protes dan melindungi perusahaan lokal dari persaingan global. Hal ini tercermin dalam keputusan yang pemerintah buat di industri game dan esports. Beijing tak segan-segan untuk melarang peluncuran sebuah game buatan developer asing jika game itu tidak sesuai dengan peraturan yang mereka buat atau mengandung konten yang bertentangan dengan ideologi negara.

Sementara itu, pemerintah Tiongkok juga tidak ragu untuk mendukung para pelaku industri esports, termasuk dalam mengeluarkan uang ratusan juta dollar demi membangun fasilitas esports. Keputusan pemerintah Tiongkok untuk melarang penjualan konsol juga memengaruhi ekosistem esports yang tumbuh. Di Tiongkok, ekosistem esports yang berkembang pesat adalah mobile esports dan PC.

Berbagai keputusan yang diambil Beijing membuat mereka dianggap sebagai pemerintahan yang opresif. Meskipun begitu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Ash Center, masyarakat Tiongkok merasa puas dengan kinerja pemerintah pusat. Pada 2016, sebanyak 95,5% responden mengaku “cukup puas” atau “sangat puas” akan kinerja pemerintah pusat. Menariknya, tingkat kepuasan masyarakat akan pemerintah lokal justru sangat rendah. Hanya 11,3% responden yang mengatakan bahwa mereka “sangat puas” dengan kinerja pemerintah lokal, seperti yang disebutkan oleh Harvard Gazette.

Walau pemerintah Indonesia punya banyak kemiripan dengan pemerintah Tiongkok, ada juga beberapa perbedaan antara keduanya. Salah satunya adalah konsistensi. Pemerintah Tiongkok lebih konsisten dalam menegakkan peraturan yang mereka tetapkan. Mereka juga tidak segan-segan untuk memblokir perusahaan sekelas Google atau Facebook. Bahkan Apple dan NBA pun harus mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh Beijing jika mereka ingin berbisnis di Tiongkok.

Feature Image via: CGTN

10 Atlet Esports Perempuan dengan Pendapatan Terbesar

Industri game dan esports memang identik dengan dunia pria. Meskipun begitu, tetap ada beberapa pemain esports perempuan yang berhasil meraih sukses. Berikut 10 pemain esports perempuan dengan pemasukan terbesar, menurut Esports Earners. Menariknya, para pemain yang masuk daftar ini berlaga di game yang berbeda-beda. Padahal, kebanyakan pemain esports laki-laki yang mendapatkan hadiah terbesar merupakan pemain Dota 2, khususnya, para pemenang The International.

Berikut daftar 10 pemain profesional perempuan dengan pemasukan terbesar.

1. Sasha “Scarlett” Hostyn

Sasha "Scarlette" Hostyn. Via: Reddit
Sasha “Scarlette” Hostyn. Via: Reddit

Dengan total pemasukan sebesar US$393,5 ribu, Scarlett merupakan pemain esports perempuan dengan penghasilan terbesar. Tak hanya itu, dia juga merupakan pemain Starcraft perempuan pertama yang berhasil memenangkan turnamen major. Dan belum lama ini, dia menandatangani kontrak dengan tim baru, Shopify Rebellion. Memang, skena esports Starcraft tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan game esports lain seperti League of Legends atau Counter-Strike: Global Offensive. Meskipun begitu, turnamen major dari Starcraft masih diminati. Jadi, Scarlett masih akan bisa melanjutkan karirnya.

2. Vi “VKLiooon” Xiaomeng

Xiaomeng Li. Via: Esports Talk
Xiaomeng Li. Via: Esports Talk

VKLiooon duduk di posisi kedua dalam daftar pemain perempuan dengan pemasukan terbesar. Secara total, dia telah mendapatkan penghasilan sebesar US$238 ribu. Dia merupakan salah satu pemain perempuan ternama di skena esports Hearthstone. Dia mendadak menjadi tenar ketika berhasil memenangkan Hearthstone Grandmasters Global Finals pada 2019. Ketika itu, dia menjadi perempuan pertama yang memenangkan kompetisi tersebut.

3. Kat “Mystik” Gunn

Sekarang, Mystik berkontribusi dalam industri game dan esports dengan menjadi streamer dan cosplayer. Namun, sebelum dia dikenal sebagai streamer, dia merupakan pemain profesional CS:GO. Dia berhasil memenangkan hadiah besar berkat kesuksesan timnya, Carolina Core, di Championship Gaming Series (CGS). Dengan total pemasukan US$122,6 ribu, dia merupakan pemain esports perempuan dengan pemasukan terbesar ketiga. Memang, karir Mystik sebagai pemain profesional tidak bertahan lama. Namun, hal itu cukup untuk membuat namanya dikenal di kalangan fans esports sehingga dia bisa ganti haluan menjadi streamer.

Kat "Mystik" Gunn. | Sumber: katgunn.com
Kat “Mystik” Gunn. | Sumber: katgunn.com

4. Rumay “Hafu” Wang

Hafu dikenal sebagai satu streamer terpopuler di Twitch. Dia dikenal berkat kemampuannya dalam bermain Teamfight Tactics. Sejauh ini, dia telah mendapatkan US$84,5 ribu. Belakangan, dia tidak lagi bertanding di kompetisi esports. Meskipun begitu, dia masih aktif di dunia esports sebagai streamer. Pada November 2020, Hafu menjadi streamer perempuan dengan penonton terbanyak setelah Valkyrae.

Rumay “Hafu” Wang
Rumay “Hafu” Wang

5. Ricki Ortiz

Ricki Ortiz, pemain Street Fighter, duduk di peringkat lima dengan total pemasukan sebesar US$81,2 ribu. Memang, sejak awal karirnya, Ricki selalu fokus pada fighting game. Sekarang, dia bermain sebagai perwakilan Evil Geniuses di kompetisi fighting game, khususnya Street Fighter. Dia bahkan berhasil meraih juara dua di Capcom Cup 2016. Dia hanya kalah di babak final dari mantan juara Du “NuckleDu” Dang.

Ricki Ortiz
Ricki Ortiz

6. Nina “Nina” Qual

Sepanjang karirnya sebagai pemain esports, Nina berhasil mendapatkan US$77,9 ribu. Hal ini membuatnya duduk di posisi enam. Sama seperti Scarlett, Nina juga merupakan pemain Starcraft 2. Sampai saat ini, dia masih aktif ikut kompetisi Starcraft bersama Team eXoN. Sebelum itu, dia merupakan bagian dari ROOT Gaming. Dia pertama kali bergabung dengan ROOT Gaming pada 2012. Dia sempat keluar dari tim tersebut karena alasan keluarga pada Oktober 2012. Namun, satu bulan kemudian, dia kembali bergabung dengan ROOT Gaming.

Nina Qual
Nina Qual

7. Kim “Geguri” Se-yeon

Geguri merupakan pemain Overwatch asal Korea Selatan. Dalam tim, dia biasanya berperan sebagai Off-Tank. Beberapa hero yang menjadi ciri khasnya adalah Zarya, D.Va, Roadhog, dan Orisa. Dia bergabung dengan Shanghai Dragons — tim Overwatch League yang mewakili Tiongkok — pada Februari 2018. Bersama Shanghai Dragons, Geguri pernah memenangkan beberapa turnamen bergengsi, seperti Overwatch League 2020 – Asia Playoffs, Overwatch League – 2020 Regular Season, dan Overwatch League 2020 – Countdown Cup. Namun, dia keluar dari Shanghai Dragon pada Oktober 2020. Secara total, Geguri berhasil mendapatkan US$70,1 ribu.

Geguri ketika mengenakan seragam Shanghai Dragons. | Sumber: Liquipedia
Geguri ketika mengenakan seragam Shanghai Dragons. | Sumber: Liquipedia

8. Tina “Tinaraes” Perez

Dengan total pemasukan sebesar US$66,2 ribu, Tinaraes duduk di peringkat delapan. Dia merupakan pemain Fortnite dan bergabung dengan Gen.G pada Oktober 2018. Ketika itu, Gen.G juga menandatangani kontrak dengan Maddie “Maddiesuun” Mann. Bersama dengan Maddiesuun, Tinaraes menjadi duo Fortnite perempuan di Gen.G. Keduanya merupakan pemain Fortnite perempuan pertama yang mendapatkan kontrak dengan tim esports besar. Bersama dengan Rhux dan Pika, Tinarae berhasil menjadi juara pertama dari TwitchCon 2019.

Via: InvenGlobal
Via: InvenGlobal

9. Maureen “Alice” Gabriella

Jika Anda merupakan pemain PUBG Mobile atau fans esports, Anda pasti pernah mendengar nama Maureen Gabriella alias Alice. Sepanjang karirnya, pemain Bigetron Red Alien ini telah mengumpulkan US$57,4 ribu, menjadikannya sebagai pemain esports perempuan dengan penghasilan terbesar ke-9. Berperan sebagai Sniper atau Support, Alice memang sudah memenangkan banyak kompetisi bergengsi bersama Bigetron, seperti PUBG Mobile Pro League – Fall Split 2020: SEA dan PUBG Mobile Pro League – Fall Split 2020: Indonesia League. Dalam PUBG Mobile GLobal Championship Season 0: League, Alice bersama Bigetron berhasil menjadi juara dua.

10. Marjorie “Kasumi Chan” Bartell

Nama Marjorie Bartell dikenal di dunia esports setelah dia mengalahkan Sarah Harrison di Championship Gaming Series, turnamen Dead or Alive. Dalam waktu kurang dari satu tahun, dia berhasil memenangkan lebih dari US$55 ribu, membuatnya menjadi pemain Dead or Alive dengan pemasukan terbesar. Dia mengambil nama “Kasumi Chan” dari salah satu karakter di seri Dead or Alive.

Marjorie menggunakan nama "Kasumi Chan" dari karakter Dead or Alive. | Sumber: Medium
Marjorie menggunakan nama “Kasumi Chan” dari karakter Dead or Alive. | Sumber: Medium

The Love Triangle That Exists Between Video Games, Anime, and Esports

In Japan, anime are usually based on popular mangas. Popular mangas are sometimes also adapted to other media, such as video games. Dragon Ball is one of the most popular examples in this case. How many anime and video games have been made based on Akira Toriyama’s legendary series? Today, the gaming industry is also closely tied to the completely new esports industry. Given the close relationship between the gaming industry and anime, does that mean there is definitely a place for esports?

 

Video Games, Anime, and Esports

Last week, Team Liquid announced that they had a new collection of apparel. Unlike their other merchandise, Team Liquid collaborated with Naruto Shippuden in their brand new clothing line. On Twitter, the announcement of Team Liquid’s collaboration with Naruto received a great reception, evident from the 7 thousand retweets and 29 thousand likes the tweet received. By comparison, when LA Thieves announced their new kit on Twitter, they only had 268 retweets and 3.2 thousand likes. This discrepancy may prove that esports fans really like anime.

Unfortunately, the same chemistry does not apply between the esports and anime industry. Currently, there are not many collaborations between the two industries, even though both the esports-gaming and gaming-anime industry relationships meshes incredibly well. The first anime to be adapted from a game is Super Mario Bros: Peach-Hime Kyushutsu Dai Sakusen! The anime ran for 1 hour daily in 1986.

In 1988, the Astro Boy game – which is also based on the anime – was released for the PC platform. This game is one of the few first games which are adapted from the original anime. Since then, there have been many games based on popular anime, such as Dragon Ball, Evangelion, Fullmetal Alchemist, Inuyasha, Initial D, Naruto, One Piece, and even Doraemon. There are also quite a lot of anime that are based on video games, such as Devil May Cry, Fatal Fury, Kingdom Hearts, Street Fighter, Virtua Fighter, and Final Fantasy XV.

There are also a number of anime that adapt the video game theme into their story. These are anime like Overlord, Sword Art Online, Log Horizon, No Game No Life, and .hack. Even though the game anime genre is not included in the list of the most popular anime, the Sword Art Online anime still has a very large following until today. The first season of Sword Art Online aired in 2012, implying that the genre has been popular for a very long time.

Anime also often carries popular sports themes such as soccer, basketball, and baseball. Sometimes less popular sports are also used as a theme, such as volleyball, bicycle racing, or American football. Esports itself is increasingly being recognized as a sport. However, almost no anime has an esports theme. So far, the only anime with an esports theme is High Score Girl. The anime was released in 2018. The story, however, was set in 1991. Therefore, you cannot expect to witness the developed esports ecosystem similar to today’s standards.

Currently, the only animation with a plot based on esports players is Quan Zhi Gao Shou or The King’s Avatar. It’s just that, The King’s Avatar – which is available in comic, animation, and even live-action form – is made in China and not Japan. On the other hand, Netflix has also just announced the anime series Dota: Dragon’s Blood. The series based on Dota 2 will launch on March 25, 2021. Although it is claimed to be an authentic “anime”, Dragon’s Blood is handled by Studio MIR, a South Korean studio that previously made The Legend of Korra and Voltron: Legendary Defender.

The two examples above show China and South Korea much faster than Japan in adopting the esports theme. Even the Japanese government alone is remarkably slow to support the esports industry. They only revealed their plan to develop the esports industry last May of 2020.

"Kota Esports" yang dibuat oleh pemerintah Hangzhou. | Sumber: Esports Insider
“Esports City” made in Hangzhou. | Source: Esports Insider

In comparison, Hangzhou – a city in China known for its tourism industry – has opened an “esports city” in November 2018. The Hangzhou government went full onboard and spent RMB2 billion (around 4.3 trillion Rupiah) to create an esports city as large as 3.94 million square feet. The central government of China also voices its interest regarding esports. In February 2019, Beijing recognized esports players as an official profession. In Indonesia, President Joko Widodo says that the government will support the esports industry by building digital infrastructure. In the 2019 Presidential Cup, esports has been included as one of the ongoing competitions.

Why is Japan slow to adopt esports culture even though half of their population is practically gamers? One reason for this is that most of the games played by Japanese gamers – both on mobile and console – are single-player games. Since single-player games rarely promote the element of competition, Japan’s esports ecosystem has not grown as fast as other countries where the majority of the population plays multiplayer and competitive games.

The number of professional players can be a benchmark to visualize the growth of the esports ecosystem in a country. According to Statista, in 2019, there are only 578 pro players in Japan. Meanwhile, in China and South Korea, the number of pros reaches beyond 1000. Indeed, China has a much larger population than Japan. In 2019, China has a population of approximately 1.4 billion, while Japan’s population only reaches 126 million people. However, South Korea’s population, of 51.7 million people, is much smaller than Japan’s. Therefore, we can conclude that the number of professional players in a country is not only influenced by the size of the population.

Jumlah gamer profesional di setiap negara pada 2019. | Sumber: Statista
The number of professional gamers in each country in 2019 | Source: Statista

As further proof, the United States has the most number of professional esports players in the world, reaching more than 5 thousand pros. However, United States’ population is only 328 million people, which does not reach even half of China’s population

 

Advantages that the Cooperation between Esports and Anime Industry can bring

If Japan’s esports ecosystem is relatively undeveloped, why did the collaboration between Team Liquid and Naruto sparked so much interest? The reason is pretty simple: esports and anime viewers have lots of similar characteristics.

“I am even more surprised why the collaboration between the two industries didn’t happen sooner,” said Irliansyah Wijanarko SaputraChief Growth OfficerRevivalTV, expressing his opinion on the collaboration between Team Liquid and Naruto. “Today, esports is not just about competitively playing games but also has become a lifestyle for the millennials and the generations below. Therefore, it is only natural that anime, a mainstream form of entertainment for these generations, will be working with the esports industry.”

Irli compared the collaboration between Team Liquid and Naruto with the collaboration between automotive and golf companies. “There are BMW golf clubs, or the Gucci or LV brands that make bicycles. These sorts of collaboration occur because golf and bicycles are indeed entertainment and part of the lifestyle of the previous generation,” he said.

Meanwhile, ShoutcasterWibi “8KEN” Irbawanto mentioned that although the demographics of esports and anime viewers are not always the same, they both may have a lot in common. “We have seen several efforts put forth by the game developers to create cross-content, such as League of Legends with its Sailor Moon skin or CS: GO with anime character face skins. Thus, it can be implied that the demographics of the esports and anime industries do intersect to some extent.”

According to a GameScape report from Interpret in 2017, the average age of esports viewers in the US is 28. 39% of esports viewers are also 25-34 years old. When compared to the demographics of the esports audience, the target audience for anime is much broader. Anime targets audiences of all ages, from children to adults. As a result, anime is also categorized by gender and age. For example, the shounen and shoujo categories target adolescents aged 12-18 years; seinen and josei target audiences aged 18-40 years; kodomo is suited for children under the age of 10. Even so, as mentioned by Irli and Wibi, there is an intersection between esports and anime audiences.

What does exactly mean?

In marketing, there is the term called “targeting in marketing“. The term refers to a strategy focusing on a specific customer segment. One of the goals of targeting is to increase sales figures. As an illustration, if you try to sell chocolates on Valentine’s Day, you will get a larger profit if you sell chocolates to people who are not single. You might not obtain much success if you try to sell Valentine chocolates to singles.

The same can be applied in esports and anime. Esports and anime fans have a lot in common, as mentioned by Irli. Therefore, esports fans are more likely to watch anime or buy anime merchandise and vice versa. According to Irli, anime fans are very likely to be interested in esports because it usually features content with the “journey in becoming a hero” concept. This type of concept or plot is frequently present in anime, especially shounen, like Naruto.

For esports organizations, one of the benefits of collaborating with well-known anime is brand exposure. By creating Naruto-themed clothing, Team Liquid can expose their brand to Naruto fans and anime in general.

“The collaboration between Team Liquid and one of the biggest brands in the anime world, Naruto, should be able to attract the masses to buy a new Team Liquid apparel,” said Wibi. “Customers who access the Team Liquid’s store will also discover other Team Liquid products which can be promoted or shared through social media, hence the brand exposure.”

 

Potential Collaboration Between Indonesian Esports Organizations and Anime

When asked if a local esports organization could follow in Team Liquid’s footsteps, Irli replied, “It’s just a matter of time before someone does it.” However, he also discussed the challenges that Indonesian esports organizations must face if they want to collaborate with anime. “The most difficult obstacle to overcome is gaining access to the anime license. Anime franchises rarely collaborate with the esports sector. Instead, they usually cooperate with agencies in the form of community events.” said Irli.

Irli suggests that the most feasible approach for local esports organizations to collaborate with anime franchises is through Dentsu, a Japanese advertising and PR company that already has a branch in Indonesia. “You must first try to make contact with Dentsu. Then, Dentsu can connect you with the esports team,” he said.

If Indonesian esports organizations want to collaborate with anime franchises, they will also need to make sure that the collaboration will be successful. The collaboration usually might not seem to be very prosperous in the short term. Therefore, Indonesian esports organizations must convince the anime license holders to do a long-term collaboration. Meanwhile, the only logical approach that fulfills this objective is apparel collaboration, as was done by Team Liquid with Naruto.

Kaos hasil kolaborasi antara Team Liquid dan Naruto.
The T-shirt collaboration between Team Liquid and Naruto

Local esports organizations can also opt to cooperate with local comic or animation franchises. However, this collaboration is not mutualistic for both parties. Irli mentions that esports is far more popular than local comics brands. “It is not exactly a business cooperation,” he said. “because the esports organization will end up supporting the local comic business and not the other way around.”

Even so, Irli said that it is possible that the local esports teams will collaborate with Indonesian comic artists or animators to create an entirely new intellectual property. “For example, there is a plan to create a new comic or universe as part of their future business prospect,” he said. “It is possible that the esports team will cooperate with local comic artists to market their new IP.”

 

Conclusion

Video games and anime meshes really well together. The collaboration between the two industries has also been going on for decades. Considering that esports is a derivative of the game industry, esports should technically have no problem cooperating with anime, right? Well, not exactly.

Unfortunately, so far, there has not been much cooperation between esports and the anime industry. One of the reasons behind this is Japan’s underdeveloped esports ecosystem. Even so, Team Liquid has paved the way with its collaboration with Naruto Shippuden. On paper, this cooperation should turn out well for both parties because esports and anime viewers have several similarities.

Of course, we can only wait and observe the extent of the success of this collaboration. However, if this collaboration proves to be successful, we can definitely see more esports organizations following in Team Liquid’s footsteps.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo

PUBG Mobile vs Free Fire: Data & Fakta, Ekosistem Esports, Serta Masa Depan

PUBG Mobile dan Free Fire adalah dua game yang kerap diperdebatkan soal siapa yang lebih baik atau keren. Namun konotasi “baik” atau “keren” sebenarnya relatif dan subjektif. Maka dari itu mari kita mencoba lebih objektif dalam membandingkan dua game tersebut. Dalam artikel ini kita akan bicara data dan fakta, serta membahas bagaimana perkembangan ekosistem esports-nya, sampai memprediksi nasib masa depan yang mungkin terjadi bagi kedua game tersebut.

Tanpa berlama-lama lagi, mari kita mulai membahas dua game Battle Royale terpanas di mobile tersebut, dimulai dari kulit terluarnya.

 

Mengupas Kulit Luar PUBG Mobile dan Free Fire

Sebelum membahas ke aspek yang lebih “dewasa”, mari kita bahas kulit terluar dari dua game tersebut terlebih dahulu yaitu gameplay. Dua game tersebut sama-sama Battle Royale. Apa itu Battle Royale? Bagaimana cara bermainnya?

Battle Royale adalah genre yang cukup unik, bahkan bagi para gamers sekalipun. Ketika konsep permainan tersebut pertama kali diperkenalkan 2017 lalu, konsep ini segera menjadi tren baru yang diadaptasi ke dalam berbagai bentuk oleh berbagai developer. Dalam ranah mobile, dua yang paling besar dan gencar persaingannya adalah PUBG Mobile dan Free Fire.

Apa bedanya Battle Royale dengan genre game lain? Game kompetitif pada umumnya menggunakan konsep permainan tim vs tim beranggotakan 5 orang. Pertandingan bisa dilakukan dalam permainan MOBA (Mobile Legends contohnya) atau First-Person Shooter (Point Blank atau Counter-Strike). Battle Royale sedikit berbeda.

Mode kompetitif Battle Royale mempertandingkan 14 tim sekaligus. Masing-masing tim berisikan 4 pemain. Tujuan yang harus dicapai masing-masing tim adalah menjadi tim yang bertahan hidup paling terakhir. Cara bertahan hidup bisa bervariasi, bisa dengan bersembunyi, ataupun secara agresif mengalahkan tim lain. Dalam PUBG Mobile dan Free Fire, cara mengalahkan tim lain adalah menembaki musuh-musuhnya dengan menggunakan senjata.

Lalu apa yang jadi perbedaan utama antara PUBG Mobile dengan Free Fire? Perbedaan tersebut datang dari sisi cara memainkan game-nya (disebut juga mekanik permainan). Sebagai game tembak-tembakkan, kemampuan pemain untuk mengarahkan lalu menembakkan senapan ke arah musuh sangatlah diutamakan.

Dalam Free Fire, proses mengarahkan dan menembak musuh banyak dibantu oleh sistem game-nya sendiri. Beberapa contoh bantuannya sendiri adalah: bidikan (crosshair) senjata yang akan berubah warna saat mengarah tepat ke musuh dan bantuan untuk mengarahkan kembali bidikan ke arah musuh apabila melenceng terlalu jauh (disebut juga aim-assist). Hentakan senjata (disebut juga weapon recoil) juga sengaja dibuat lebih bisa diprediksi agar pemain bisa menembaki musuhnya dengan lebih mudah.

Lalu bagaimana dengan PUBG Mobile? Mekanisme menembak di PUBG Mobile cenderung lebih sulit. Mekanismenya jadi lebih sulit karena minimnya bantuan dari sistem game. Bantuan yang seperti apa? Warna bidikan di PUBG Mobile akan tetap sama ke manapun arahnya, walau tetap memberi timbal balik visual apabila tembakan Anda mengenai orang lain atau objek-objek yang bisa dihancurkan (kendaraan misalnya). PUBG Mobile sebenarnya juga punya aim-assist, tetapi bantuan dari sistem game untuk mengarahkan kembali bidikan yang melenceng tergolong minim. Selain itu, fitur aim-assist di dalam PUBG Mobile juga bisa dimatikan, tidak seperti di Free Fire yang bersifat permanen. Hentakan senjata di PUBG Mobile juga dibuat layaknya senjata di dunia nyata sehingga pemain cenderung lebih sulit untuk menembaki musuh.

Karena perbedaan mekanisme perrmainan tersebut, PUBG Mobile dan Free Fire cenderung menciptakan segmentasi yang berbeda. PUBG Mobile cenderung lebih digandrungi oleh pemain yang kompetitif, suka tantangan, dan cenderung lebih dewasa. Pada sisi lain, Free Fire lebih digandrungi oleh pemain tipe casual yang cenderung lebih muda, walau tetap bisa dinikmati secara kompetitif juga.

Di luar dari gameplay, PUBG Mobile dan Free Fire juga punya beberapa perbedaan aspek visual. Tema visual dan perlengkapan persenjataan di dalam PUBG Mobile cenderung lebih realistis dan militaristik. PUBG Mobile tetap menyajikan skin warna-warni, tapi persenjataan di PUBG Mobile tetaplah persenjataan yang lazim digunakan di dunia milier (seperti granat, flashbang, dan berbagai jenis senjata api yang memang ada di dunia nyata).

Free Fire punya tema visual yang lebih berwarna-warni dan dilengkapi dengan beberapa perlengkapan yang bersifat futuristik dan fantasi. Free Fire sebenarnya tetap memiliki senjata yang berasal di dunia nyata, tetapi beberapa persenjataan lain adalah sesuatu yang bersifat fantasi. Beberapa contohnya seperti: Gloo Wall yang memungkinkan pemain memunculkan tembok es untuk bertahan, karakter yang punya berbagai macam kemampuan, ataupun kendaraan-kendaraan yang terlihat futuristik.

Setelah membahas kulit luarnya, mari kita menyelam ke dalam pembahasan “dewasa” yang tadi saya janjikan, yaitu aspek ekosistem esports, perkembangan jumlah pemain, dan pemasukan dari kedua game tersebut.

 

Ekosistem Esports PUBG Mobile vs Free Fire

Skema ekosisstem esports PUBG Mobile sudah sempat kita bahas pada kesempatan sebelumnya. Lalu bagaimana dengan ekosistem esports Free Fire? Ada turnamen apa saja? Bagaimana skema dari sisi kompetitifnya? Free Fire punya empat kompetisi di Indonesia. Ada Free Fire Masters League dan Free Fire Indonesia Masters sebagai dua kompetisi kasta utama yang dibuat oleh pihak pertama yaitu Garena Indonesia selaku publisher game. Free Fire Masters League bisa dikatakan sebagai babak Regular Season dari satu musim kompetisi, sementara Free Fire Indonesia Masters adalah babak Playoff-nya.

Selain dua kompetisi utama tersebut, Garena Indonesia juga punya dua jenis kompetisi lain. Ada Free Fire The One yang menjadi wadah kompetisi bagi solo player dan Free Fire Royale Combat sebagai wadah kompetisi tim-tim amatir. Sistem kompetisi esports yang diadopsi oleh skena Free Fire sendiri sebenarnya bisa dibilang sebagai sistem campuran.

Garena Indonesia menerapkan sistem tertutup untuk Free Fire Masters League. Liga FFML tergolong sebagai sistem tertutup karena seleksi dilakukan secara terbatas. Selain itu, tim yang ingin ikut serta juga tidak bisa cuma modal jago saja. Christian Wihananto selaku Produser Free Fire dari Garena Indonesia sempat menjelaskan proses masuk ke dalam FFML pada konfrensi pers peluncuran FFML Season 1 yang dilakukan pada awal Januari 2020 lalu. Chris menjelaskan adanya seleksi administratif dan keharusan buy-in slot seharga Rp50 juta bagi tim yang ingin masuk ke dalam liga FFML.

Skema Esports Free Fire Masters League.
Skema Esports Free Fire Masters League.

Tetapi ada sedikit perbedaan antara sistem tertutup yang diterapkan di Free Fire Masters League dengan Franchise League yang diterapkan Mobile Legends: Bang-Bang pada liga MPL. Model franchise dalam liga MPL menetapkan 8 tim yang bertanding di dalamnya sebagai peserta tetap, tanpa adanya sistem promosi ataupun relegasi.

Sementara investasi ke dalam Free Fire Masters League hanya berlaku untuk satu musim saja. Seiring perkembangannya, Free Fire Masters League di musim ke-3 bahkan memperkenalkan FFML Divisi 2 dan menyertakan sistem promosi-relegasi. Karenanya peserta FFML Divisi 2 yang memiliki performa baik akan punya kesempatan untuk naik ke divisi 1 dan sebaliknya (Tim divisi 1 yang berperforma buruk akan turun ke divisi 2 pada musim berikutnya). Maka dari itu liga FFML sendiri memang tidak bisa dibilang sebagai franchise league murni.

Dalam wawancara yang saya lakukan, Christian Wihananto mengatakan bahwa dirinya lebih suka menyebut liga FFML sebagai buy-in model. Selain itu, skena esports Free Fire juga menyertakan sistem terbuka lewat kompetisi Free Fire Indonesia Masters (FFIM). Kompetisi FFIM mempertandingkan 12 tim terbaik se-Indonesia. 12 tim yang bertanding terdiri dari 6 tim yang datang dari Free Fire Masters League dan 6 tim sisanya dari babak Play-Ins.

 

Skema Esports Free Fire Indonesia Masters bagi peserta umum.
Skema Esports Free Fire Indonesia Masters bagi peserta umum.

Bagaimana dengan ekosistem bisnis esports Free Fire? Model bisnis ekosistem esports Free Fire sebenarnya bisa dikatakan masih mirip dengan PUBG Mobile ataupun Mobile Legends: Bang-Bang. Kemiripannya terlihat dari besarnya peran publisher (yaitu Garena Indonesia) di dalam bisnis esports Free Fire. FFML, FFIM, sampai turnamen-turnamen tingkat grassroot seperti FFRC dan FF The One, semuanya diselenggarakan oleh Garena Indonesia sendiri.

Namun demikian, salah satu perbedaan cukup terlihat ketika kita membicarakan turnamen tingkat pelajar/mahasiswa di dalam skena PUBG Mobile dan Free Fire. Dalam ekosistem PUBG Mobile, kompetisi tingkat pelajar/mahasiswa juga diselenggarakan oleh Tencent Games selaku publisher game tersebut di Indonesia. Turnamen tersebut adalah PUBG Mobile Campus Championship atau PMCC.

Sementara pada sisi lain, kebanyakan turnamen pelajar di ekosistem Free Fire diselenggarakan oleh pihak ketiga, bahkan beberapa di antaranya melibatkan badan pemerintah. Beberapa contohnya adalah seperti Dunia Games Campus League (2019) dan IEL University Series (2020).

Selain itu, segmentasi dua game tersebut sebenarnya juga cukup terlihat dari penyelenggaraan kompetisi tingkat pelajar/mahasiswa. Seperti yang sebelumnya saya sebut, PUBG Mobile cenderung menyasar anak kuliahan lewat penyelenggaraan turnamen seperti PMCC.

Sementara itu kompetisi Free Fire cenderung menyasar anak sekolah. Selain dua contoh yang saya sebut di atas, Free Fire juga punya turnamen-turnamen yang diikuti oleh anak sekolah. Beberapa contohnya seperti Piala Pelajar (khusus pelajar setingkat SMA) atau Piala Menpora Esports (terbuka untuk pelajar setingkat SMA dan mahasiswa). Sama seperti sebelumnya, dua turnamen tersebut juga diselenggarakan oleh pihak ketiga.

Sumber Gambar - Piala Menpora Esports Official Website.
Sumber Gambar – Piala Menpora Esports Official Website.

Kelanjutan soal segmentasi akan saya bahas pada sub-pembahasan berikutnya. Sekarang mari kita melihat presensi global kedua game tersebut dari segi esports.

Tahun 2020 lalu dua game tersebut sama-sama menyelenggarakan turnamen internasional secara online. PUBG Mobile menyelenggarakan PUBG Mobile World League pada bulan Juli hingga Agustus 2020 lalu, sementara Free Fire mengadakan FF Continental Series di bulan November.

Dua turnamen tersebut sama-sama membagi pesertanya berdasarkan regional agar memudahkan teknis penyelenggaraan turnamen internasional secara online. PMWL membagi turnamennya menjadi dua bagian: East Region (negara-negara Asia dan sekitarnya) dan West Region (negara-negara barat dan sekitarnya). FFCS membagi turnamennya menjadi tiga bagian: EMEA (Timur tengah dan sekitarnya), Americas (Amerika Latin dan sekitarnya), dan Asia (SEA dan sekitarnya).

Walaupun Free Fire punya lebih banyak region pertandingan, tetapi PUBG Mobile ternyata punya lebih banyak perwakilan negara. Mengutip dari data Liquidpedia, tercatat ada 31 negara yang terwakilkan melalui pemain-pemain yang tergabung dalam PWML: West Region dan 13 negara untuk PMWL East Region. Maka dari itu, total ada 44 negara negara terwakili di dalam gelaran PMWL.

Masih mengutip dari Liquidpedia jumlah negara yang terwakilkan di FFCS lebih sedikit. Tercatat ada 12 negara terwakilkan melalui pemain-pemain yang jadi peserta di FFCS: Americas, 13 negara di FFCS: EMEA, dan 7 negara di FFCS Asia. Maka dari itu total ada 32 negara terwakilkan di dalam gelaran FFCS.

Presensi global esports kedua game tersebut juga bisa kita lihat salah satunya melalui jumlah tayangan bahasa lokal yang disajikan kedua turnamen tersebut. Mengambil data menggunakan fitur pro dari Esports Charts, PMWL memiliki total 16 tayangan bahasa lokal (tidak termasuk bahasa Inggris) dengan 9 bahasa untuk PMWL East dan 7 bahasa untuk PMWL West.

Beralih ke Free Fire, FFCS memiliki total 10 tayangan bahasa lokal (tidak menyertakan bahasa Inggris) dari 3 region yang dipertandingkan tersebut. Dari total 10 tayangan bahasa lokal tersebut, pembagiannya adalah 2 bahasa untuk FFCS: EMEA, 6 bahasa untuk FFCS: Asia, dan 2 bahasa untuk FFCS: Americas.

Sumber: Esports Charts
Data viewership FFCS: Asia. Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts
Data viewership PMWL: East Region. Sumber: Esports Charts

Lalu bagaimana jika bicara dari viewership secara internasional? Untuk bagian ini saya kembali menggunakan data dari Esports Charts. Secara angka, Free Fire memang punya jumlah viewers yang lebih banyak ketimbang PUBG Mobile. Namun keduanya memiliki kesamaan yaitu sama-sama memiliki basis penggemar terbesar di Asia. Menurut catatan Esports Charts, PMWL: East berhasil mebukukan 1,1 juta lebih peak viewers sementara FFCS: Asia membukukan 2,5 juta lebih peak viewers. Data lebih lengkapnya bisa Anda lihat pada gambar yang saya sajikan di atas.

 

Data Jumlah Pemain dan Pemasukan PUBG Mobile vs Free Fire

Dua game tersebut sedari awal memang sudah membedakan segmentasinya. Hal itu dapat kita lihat buktinya melalui laman Google Play. Dari laman Google Play, kita bisa melihat PUBG Mobile memiliki rating 16+ sementara Free Fire memiliki rating 12+. Karenanya jadi tidak heran juga kenapa Free Fire menyajikan gameplay yang lebih sederhana yang dilengkapi dengan aspek visual yang warna-warni, futuristik, juga bersifat fantasi.

Walaupun punya dua segmentasi yang berbeda, kedua game tersebut menjalani persaingan yang ketat dari segi angka. Mari kita lihat dulu dari segi jumlah pemain. Mengutip dari Invenglobal yang merujuk ke Business of Apps, jumlah pengguna harian PUBG Mobile sempat mencapai angka 65 juta pemain (peak Daily Active Users) pada tahun 2020 lalu.

Sumber: Google Play
Free Fire dipatok dengan rating 12+. Sumber: Google Play
Sumber: Google Play
PUBG Mobile dipatok dengan rating 16+. Sumber: Google Play

Untuk Free Fire, SEA (perusahaan induk Garena) sempat mempublikasikan laporan keuangan perusahaan mereka pada bulan Agustus 2020 lalu. Dalam laporan tersebut dituliskan bahwa Free Fire sempat mencapai 100 juta pengguna harian (peak Daily Active Users). Masih mengutip dari laporan keuangan tersebut, dikatakan juga bahwa Free Fire berhasil masuk daftar Top Grossing di Amerika Latin dan Asia Tenggara. Free Fire juga masuk peringkat 3 most downloaded dalam kategori mobile games secara global.

Setelah membahas jumlah pemainnya, sekarang mari melanjutkan pembahasan dari segi pendapatan dari kedua game. Walaupun PUBG Mobile kalah jumlah pemain, tapi game yang dikembangkan oleh Lightspeed & Quantum tersebut ternyata lebih menguntungkan ketimbang Free Fire, mengutip dari data pemasukan terakhir kedua game tersebut.

Sumber Data - Sensor Tower.
Sumber Data – Sensor Tower.

Sensor Tower melaporkan pada bulan Desember 2020 lalu bahwa PUBG Mobile berhasil mencetak US$2,6 miliar. Catatan pendapatan tersebut merupakan gabungan dari game PUBG Mobile yang dirilis secara global dan pendapatan dari Peacekeeper Elite yang merupakan versi lokal Tiongkok atas game tersebut. Dengan total pendapatan tersebut, PUBG Mobile pun menjadi game dengan pendapatan tertinggi di atas Honor of Kings (AOV versi Tiongkok), Pokemon GO, dan 3 game casual lainnya (Coin Master, Roblox, dan Monster Strike).

Sementara itu, Free Fire sempat berhasil membukukan pendapatan sebesar US$2,13 miliar berdasarkan dari data yang dikeluarkan oleh SuperData. Karenanya Free Fire digolongkan sebagai game free-to-play paling menguntungkan di tahun 2020 bersama dengan Pokemon GO, Roblox, League of Legends, dan lain sebagainya.

Dari kedua data tersebut, kita bisa melihat bahwa Free Fire dan PUBG Mobile tergolong punya kesuksesannya masing-masing di ranah genre Battle Royale untuk mobile. Free Fire berhasil menggaet banyak pemain berkat gameplay yang lebih casual dan beragam skin serta kolaborasi yang dilakukan. Pada sisi lain, walaupun punya jumlah pemain yang lebih sedikit, pemain PUBG Mobile cenderung lebih mudah untuk dikonversi menjadi paid-user yang mungkin terjadi berkat segmentasi pemainnya yang lebih dewasa.

Dengan berbagai kesuksesan yang mereka dapatkan di tahun 2020 lalu, bagaimana iklim perkembangannya di masa depan? Mari kita berlanjut ke sub-topik berikutnya untuk mendiskusikan masa depan kedua game tersebut dari sisi esports ataupun daya tarik masyarakat.

 

Menatap Masa Depan Battle Royale dan Iklim Perkembangan PUBG Mobile vs Free Fire.

Dari sisi iklim perkembangannya, game PUBG Mobile sebenarnya bisa dikatakan kurang beruntung. Game PUBG Mobile sempat mengalami banyak kontroversi secara internasional ataupun lokal.

Secara internasional, PUBG Mobile kerap kali dianggap sebagai game yang memberikan “dampak negatif.” PUBG Mobile sempat diblokir di Pakistan gara-gara hal tersebut. Selain itu, PUBG Mobile juga diblokir di India walau karena perkara yang berbeda. Lalu dari tingkat lokal, PUBG Mobile juga dicap haram oleh Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh sejak bulan Juni 2019 lalu.

Dalam kasus lokal, mengutip dari Kompas.com, PUBG Mobile diblokir karena dianggap menyebabkan kecanduan. Dalam kasus internasional, masalahnya juga sama. Mengutip India.com, dikatakan bahwa salah satu alasan Pakistan memblokir PUBG Mobile adalah karena masyarakat menganggap game tersebut bersifat adikfif dan berpotensi memberi dampak buruk terhadap kesehatan fisik dan psikis anak.

Pandangan negatif tersebut memang sering tercetus di masyarakat, terutama apabila membahas soal game online. Walaupun sering dicetuskan, namun pandangan negatif itu sebenarnya lemah argumentasinya. Pembahasan lebih panjangnya bisa Anda lihat pada artikel Hybrid.co.id yang satu ini.

Di luar dari itu, menurut opini saya pribadi, konten game yang cenderung realistis dan bersifat militaristik mungkin jadi alasan munculnya rasa paranoid atas PUBG Mobile. Apabila Anda memainkan PUBG Mobile tanpa skin, kosmetik, atau konten tambahan yang disajikan Lightspeed & Quantum, Anda bisa lihat sendiri bagaimana PUBG Mobile menyajikan dunia yang kelam, berisi peperangan, dan penuh kekerasan.

Gara-gara konten perang dan kekerasan tersebut, PUBG Mobile sendiri sebenarnya sempat diblokir di negara asal pengembangnya yaitu Tiongkok. Karena hal tersebut, PUBG Mobile pun kini berganti nama menjadi Peacekeeper Elite di Tiongkok dan meminimalisir konten kekerasan di dalamnya.

Tencent selaku publisher dan Lightspeed & Quantum selaku developer mungkin sadar bahwa salah satu alasan banyaknya kontroversi terhadap PUBG Mobile adalah karena konten peperangan yang disajikan. Maka dari itu, seiring perkembangannya, PUBG Mobile pun berusaha untuk memberi lebih banyak warna ke dalam game PUBG Mobile. Salah satu usaha untuk memberli lebih banyak warna ke dalam game adalah dengan menghiasi PUBG Mobile menggunakan berbagai skin bertema futuristik. Salah satu contohnya mungkin bisa Anda lihat dari konten Royale Pass Season 18 yang baru saja dirilis.

pubgm royale pass 18

Bagaimana dengan Free Fire? Walaupun sama-sama Battle Royale, Free Fire cenderung lebih minim kontroversi. Dari sisi konten, game Free Fire memang terlihat realistis pada awalnya. Namun seiring waktu, Free Fire juga terus berusaha mengembangkan kontennya ke arah game fantasi yang bersifat futuristik. Selain itu, Garena selaku publisher juga giat melakukan kolaborasi konten untuk semakin mengedepankan unsur fantasi ke dalam game tersebut.

Free Fire sempat berkolaborasi dengan serial Money Heist dari Netflix, pesepak bola Christiano Ronaldo untuk menghadirkan karakter Chronos, sampai anime Attack on Titan untuk menampilkan karakter Eren Jaeger ke dalam game. Free Fire sebenarnya juga sempat diblokir pemerintah India, namun pemblokiran tersebut lebih ke arah bentuk pemboikotan India terhadap produk-produk besutan Tiongkok yang terjadi karena masalah konflik perbatasan India-Tiongkok.

Sebagai pembahasan terakhir, hal yang menjadi pertanyaan mungkin adalah bagiamana nasib genre Battle Royale dan esports atas game tersebut ke depannya? Dari sisi esports, walaupun genre Battle Royale memang sempat mendapat kritik ketika saat dikompetisikan, namun perkembangan pesat Free Fire dan PUBG Mobile sebagai esports sebenarnya sudah jadi bentuk bukti minat pasar ke esports Battle Royale.

Namun demikian, seiring perkembangannya, baik PUBG Mobile ataupun Free Fire kerap kali melakukan perubahan format. Tetapi perubahan dan evolusi tersebut sebenarnya bisa dianggap positif mengingat posisi genre Battle Royale sebagai esports yang masih belia sehingga terus butuh perubahan untuk menemukan format terbaiknya.

Dalam kasus PUBG Mobile misalnya, saya sempat membuka diskusi membahas kemungkinan penggunaan mode First-Person Perspective untuk pertandingan esports-nya. Dari pembahasan tersebut, kita bisa melihat bahwa memang masih ada ruang untuk membuat esports genre Battle Royale jadi lebih baik lagi. Pembahasan tersebut masih baru satu aspek saja. Masih ada aspek lain yang sebenarnya juga bisa dipertanyakan seperti format turnamen yang tepat ataupun format pemberian poin yang adil baik untuk Free Fire ataupun PUBG Mobile.

Lalu bagaimana dengan genre Battle Royale sendiri? Apakah game dengan genre tersebut akan pudar popularitasnya di masa depan? Sebenarnya agak sulit untuk memprediksi hal tersebut.

Untuk menjawab perkara ini, sepertinya saya akan kembali mengutip pembahasan saya soal kausalitas antara game gratis dengan esportsDari pembahasan tersebut kita bisa menyadari bahwa memang kehadiran ekosistem esports bisa membuat sebuah game (atau genre game) jadi lebih panjang hajat hidupnya. Selama esports game Battle Royale masih ada, maka pemain baru untuk genre tersebut mungkin akan terus muncul, entah karena ingin menjadi pemain esports atau sekadar ingin menjajal gara-gara menonton pertandingannya.

Mengingat gameplay genre Battle Royale yang penuh aksi dan punya durasi yang pas, sepertinya dua game tersebut punya potensi untuk terus bertahan di dalam ekosistem esports sampai bertahun-tahun ke depan.

Mengupas Otak Kecerdasan Buatan: Di Balik Cara Berpikir Artificial Intelligence di Game

Apa yang muncul di benak Anda ketika Anda mendengar istilah kecerdasan buatan alias artificial intelligence? Mesin pembunuh seperti Terminator? Atau justru robot yang lucu seperti Wall-E? Menurut Oxford Languages, artificial intelligence adalah sistem komputer yang dapat melakukan tugas yang biasanya hanya bisa dilakukan oleh manusia, seperti mengambil keputusan, menerjemahkan bahasa, atau mengenali gambar dan suara.

Sekarang, AI sebenarnya telah banyak digunakan di dunia nyata, walau pengaplikasian AI mungkin tidak sedramatis Detroit: Become Human. Salah satu contoh penggunaan AI di dunia nyata adalah asisten digital, seperti Siri, Cortana, Alexa, dan Google Assistant. Selain pada asisten digital, Google juga menggunakan AI pada mesin pencari mereka. Tak hanya Google, perusahaan e-commerce seperti Amazon pun sudah menggunakan AI.

Lalu, bagaimana AI diterapkan dalam game? Dan, bagaimana caranya jika Anda ingin mencoba berkreasi membuat AI sendiri di game?

 

AI Di Game dan Di Kehidupan Sehari-Hari

Jika Anda pernah bermain game, Anda pasti pernah berinteraksi dengan AI, tak peduli genre game yang Anda mainkan. Dalam game, salah satu penggunaan AI adalah untuk membuat Non-Player Characters alias NPC menjadi terlihat manusiawi. Ketika Anda berinteraksi dengan NPC — baik lawan atau kawan — dia akan bereaksi sesuai dengan aksi yang Anda lakukan.

Misalnya, dalam game shooter seperti Borderlands, jika Anda berlari ke arah musuh begitu saja, tentu musuh akan menembak Anda. Sementara dalam game yang fokus pada cerita, dialog dan aksi yang Anda pilih akan memengaruhi persepsi NPC pada Anda. Dalam Stardew Valley atau game serupa, jika Anda ingin memenangkan hati para love interest, maka Anda harus memberikan item yang mereka sukai.

Dalam membuat AI di game, salah satu metode yang developer biasa gunakan adalah Finite State Machine (FSM), menurut laporan Harvard. Pada dasarnya, dengan metode ini, sang developer akan mempertimbangkan semua interaksi yang mungkin terjadi antara AI dengan pemain dan memprogram semua reaksi yang mungkin dilakukan oleh sang NPC. Misalnya, ketika seorang pemain berada tidak jauh dari musuh, maka musuh akan menyerang. Dan ketika pemain berlari menjauh, musuh akan mengejar sang pemain.

Ilustrasi model FSM. | Sumber: Harvard
Ilustrasi model FSM. | Sumber: Harvard

Metode FSM telah digunakan dalam game sejak tahun 1990-an. Beberapa contoh game yang menggunakan metode ini antara lain Call of Duty, dan Tomb Raider. Namun, metode ini tetap punya kelemahan, yaitu respons AI akan tindakan pemain terbatas. Jadi, setelah memainkan game yang menggunakan FSM beberapa kali, pemain mungkin akan merasa bosan.

Selain FSM, metode lain yang bisa digunakan untuk membuat AI dalam game adalah Monte Carlo Search Tree (MCST). Model algoritma ini digunakan pada Deep Blue, AI pertama yang bisa mengalahkan juara catur pada 1997. Dengan MCST, AI akan mencoba untuk memecahkan masalah dengan melakukan tindakan secara random sebelum mempertimbangkan semua opsi tindakan yang bisa ia ambil.

Dalam kasus Deep Blue, sebelum mengambil langkah, ia akan mempertimbangkan semua langkah yang bisa ia ambil. Kemudian, ia akan memperkirakan semua langkah bisa dilakukan lawannya sebagai respons. Setelah itu, ia akan kembali mempertimbangkan semua opsi yang ia punya, dan begitu seterusnya. Deep Blue kemudian akan mengambil langkah yang dianggap memberikan hasil paling baik. Lalu, ia akan kembali mempertimbangkan langkah yang bisa ia dan musuhnya ambil. Contoh game yang menggunakan metode MCST adalah Civilization.

Skema MCST. | Sumber: Harvard
Skema MCST. | Sumber: Harvard

AI dalam game mungkin bisa bertindak layaknya manusia. Namun, AI dari NPC stagnan. Ia tidak akan bisa berevolusi atau mengubah strategi yang ia gunakan berdasarkan gaya bermain para pemain. Padahal, sejatinya, salah satu karakteristik AI adalah kemampuan untuk belajar. Fakta bahwa AI dalam game bersifat stagnan membuatnya jauh berbeda dari Ai yang bisa kita temukan sehari-hari, seperti pada Google Search. Ketika seseorang menggunakan Google Search untuk mencari kata kunci tertentu, hasil pencarian biasanya akan disesuaikan dengan kebiasaan browsing orang tersebut.

Ada beberapa alasan mengapa AI dalam game dan AI dalam kehidupan sehari-hari sangat berbeda. Salah satunya adalah karena AI pada game dan AI di kehidupan nyata punya fungsi dan tujuan yang berbeda. Dalam game, fungsi AI hanya satu, yaitu membuat pengalaman bermain para gamer menjadi lebih seru. Sementara dalam kehidupan nyata, AI punya fungsi yang berbeda-beda.

Contohnya Google, yang menggunakan AI pada berbagai produk mereka, mulai dari Search, Gmail, Maps, sampai Assistant. Walau sama-sama menggunakan AI, tapi fungsi AI pada masing-masing produk Google itu berbeda-beda. Di Gmail, AI berfungsi untuk mendeteksi email spam. Sementara di Search, fungsi AI adalah untuk menampilkan hasil yang paling relevan dengan kata kunci yang digunakan seorang pengguna. Dalam Maps, AI berfungsi untuk mencari rute terbaik atau memperkirakan kemacetan. Sementara Assistant harus bisa memahami perintah suara yang diberikan pengguna.

Alasan lain mengapa AI dalam game berbeda dari AI di kehidupan nyata adalah karena ruang lingkup game yang jauh lebih sempit. Jika dibandingkan dengan dunia nyata, dunia game jauh lebih kecil. Hal itu berarti, data yang bisa diakses oleh AI dalam game juga terbatas. Jadi, jangan heran jika AI dalam game cenderung stagnan sementara AI di kehidupan nyata akan terus berevolusi.

Selain itu, besar dana yang dikeluarkan perusahaan untuk membuat AI juga akan memengaruhi kualitas AI itu. Developer punya dana yang terbatas dalam membuat game. Sementara itu, perusahaan seperti Google atau Amazon punya dana yang jauh lebih besar. Sebagai perbandingan, pemasukan Alphabet, perusahaan induk Google pada 2020 mencapai US$182,5 miliar. Sementara sepanjang 2020, pemasukan Nintendo hanya mencapai US$12,12 miliar. Selain itu, performa AI pada Search atau situs e-commerce Amazon juga akan berdampak langsung pada pemasukan perusahaan. Karena itu, tidak heran jika mereka rela mengeluarkan dana besar untuk mengembangkan AI mereka.

Tak hanya di dunia gaming, AI juga pernah digunakan di ranah esports. Pada 2019, OpenAI mengadu AI buatan mereka — OpenAI Five — melawan OG, tim Dota 2 terbaik dunia ketika itu. Dalam pertandingan best-of-three, OpenAI berhasil menang 2-0.

Satu hal yang membedakan OpenAI Five dengan kebanyakan AI pada game adalah OpenAI Five bisa belajar. Faktanya, perusahaan OpenAI tidak memprogram Five agar bisa bermain Dota 2. Mereka membuat AI itu agar ia bisa belajar. Pada awalnya, AI itu sama sekali tidak mengerti bagaimana cara bermain Dota 2. Namun, setelah “latihan” selama 45 ribu tahun, AI tersebut dapat mengalahkan OG. Kemampuan OpenAI Five untuk belajar memungkinkan AI itu untuk terus berevolusi dan menyesuaikan strateginya dengan gaya bermain musuh.

Kabar baik bagi para pemain esports, OpenAI Five tidak dibuat untuk menggantikan posisi para pro player. Tujuan OpenAI membuat AI yang bisa bermain Dota 2 adalah untuk membuktikan bahwa sebuah AI bisa mengerjakan sesuatu yang kompleks, seperti bermain game MOBA. Dan jika AI bisa belajar bermain game, hal itu berarti AI juga akan bisa belajar cara untuk mengerjakan tugas kompleks di dunia nyata, lapor The Verge.

 

Bagaimana Cara Membuat AI?

Dalam membuat AI, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi masalah yang hendak diselesaikan. Di sini, seorang programmer harus bisa memjawab pertanyaan: masalah apa yang ingin saya selesaikan dengan AI? Memang, AI terbukti bisa mengerjakan tugas yang kompleks. Namun, hal itu bukan berarti AI bisa menyelesaikan semua masalah. Biasanya, AI digunakan untuk menyelesaikan satu masalah tertentu. Misalnya, di dunia kedokteran, ada AI yang digunakan untuk mendeteksi kanker paru-paru. Alasannya, kebutuhan akan radiologi semakin meningkat, sementara jumlah radiolog yang ada tidak mencukupi. Selain itu, AI ini dapat mendeteksi kanker paru-paru dengan lebih akurat.

Ketika seseorang hendak membuat AI untuk game atau AI yang bisa bermain game, langkah pertama yang harus dilakukan pun sama, yaitu mengidentifikasi masalah. Berikut video penjelasan tentang bagaimana seorang programmer membuat AI yang bisa bermain Fall Guys.

Dalam video di atas, Clarity Coders menjelaskan bahwa dia ingin membuat AI yang bermain layaknya manusia. Hal itu berarti, AI yang dia buat tidak akan mengeksploitasi bug dalam game. Dia juga menjelaskan bahwa dia akan membatasi aksi yang bisa diambil oleh AI. AI yang dia buat hanya bisa melakukan tiga hal, yaitu bergerak ke kiri dan ke kanan, serta melompat. AI itu tidak bisa melakukan aksi lain seperti dive.

Langkah kedua dalam membuat AI adalah menyiapkan data untuk melatih AI. Semakin banyak data yang Anda gunakan, semakin baik performa dari AI yang Anda buat. Pada dasarnya, ada dua jenis data yang bisa Anda gunakan. Pertama adalah data yang terstruktur, seperti nama, tanggal lahir, alamat dan sebagainya. Kedua adalah data tidak terstruktur, seperti gambar, audio, infografis, percakapan di email atau platform chatting, dan lain sebagainya. Dalam video Clarity Coders, data yang digunakan untuk melatih AI masuk dalam kategori data tak terstruktur, karena data berupa gambar screenshot dari beberapa ronde yang sang YouTuber mainkan.

Jika Anda menggunakan data tidak terstruktur untuk melatih AI, maka Anda harus “membersihkan” data itu terlebih dulu. Contohnya, ketika Anda ingin membuat AI yang bisa membedakan gambar antara kucing dan anjing, Anda tidak hanya harus menyiapkan sekumpulan gambar dari anjing dan kucing, tapi juga melabeli sekumpulan gambar tadi, untuk membedakan mana gambar kucing dan mana gambar anjing. Jadi, AI akan bisa mempelajari perbedaan antara gambar kucing dan anjing. Menurut Becoming Human, membersihkan data yang hendak digunakan untuk melatih AI merupakan salah satu bagian tersulit dalam membuat AI. Tidak sedikit AI designers yang menghabiskan 80% waktu mereka untuk melabeli, merapikan, dan memeriksa data yang hendak mereka gunakan untuk melatih AI.

Proses pembuatan AI. | Sumber: IT Chronicle
Proses pembuatan AI. | Sumber: IT Chronicle

Mengapa membersihkan data training set penting? Karena data itulah yang akan menentukan seberapa akurat/cerdas AI yang Anda buat. Dalam contoh di atas, AI bisa salah mengenali seekor anjing atau kucing jika data yang digunakan untuk melatihnya juga tidak akurat. Padahal, semakin akurat sebuah AI, semakin baik, apalagi jika AI digunakan untuk tugas penting, seperti mendeteksi kanker.

Ketika membuat AI yang bisa bermain Fall Guys, Clarity Coders mengumpulkan data training set dengan memainkan Fall Guys sambil menjalankan script Python untuk mengambil screenshot dan mencatat tombol yang dia tekan selama bermain. Tujuannya, agar AI bisa belajar kondisi dari keadaan sekelilingnya dan tahu kapan harus memencet tombol apa.

Langkah ketiga dalam mendesain AI adalah menentukan jenis algoritma yang akan digunakan. Salah satu tipe algoritma yang sering digunakan adalah reinforcement learning. Tipe algoritma ini digunakan dalam OpenAI Five. Pada dasarnya, reinforcement learning memungkinkan AI untuk belajar dari kesalahannya dan terus berevolusi. Dalam kasus OpenAI, ia pada awalnya tidak tahu bagaimana cara bermain Dota 2. Namun, setelah berlatih selama puluhan ribu tahun, ia bahkan bisa mengalahkan tim OG.

Setelah menentukan algoritma yang hendak Anda gunakan, tahap berikutnya adalah memilih bahasa programming untuk membuat AI. Ada berbagai bahasa programming yang bisa digunakan untuk membuat AI, seperti C++, Java, Python, dan lain sebagainya. Kemudian, Anda tinggal memilih platform yang hendak Anda gunakan. Kabar baiknya, semakin banyak perusahaan yang membuat platform untuk membuat AI, seperti Microsoft Azure Machine Learning dan Google Cloud Prediction API.

 

Bahasa Programming dan Platform Apa yang Bisa Digunakan?

Python merupakan salah satu bahasa programming yang paling populer untuk membuat AI. Salah satu alasannya adalah karena Python sederhana dan mudah dipahami. Alasan lainnya adalah karena Python punya komunitas yang besar. Menurut Developer Survey 2018 oleh Stack Overflow, Python masuk dalam daftar 10 bahasan programming paling populer. Hal itu berarti, Anda bisa bertanya pada komunitas ketika Anda menemui masalah.

Hasil pencarian dari bahasa programming. | Sumber: Economist
Hasil pencarian dari bahasa programming. | Sumber: Economist

Alasan ketiga, dan yang paling penting, mengapa Python populer sebagai bahasa programming untuk AI adalah karena Python punya banyak library. Library adalah sekumpulan kode yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah umum. Dengan menggunakan library, Anda tidak perlu membuat kode dari nol. Anda tinggal mencari library yang sesuai dengan kebutuhan Anda. Misalnya, Anda ingin membuat AI yang bisa mengolah gambar, Anda bisa menggunakan library Python seperti NumPy atau OpenCV. Sementara jika Anda ingin mendesain AI yang fungsi utamanya melibatkan audio, ada library Librosa.

Dalam video Clarity Coders, dia menggunakan library Pandas dan fast.ai. Pandas library biasanya digunakan untuk pemprosesan dan analisa data. Sementara fast.ai library menyediakan komponen-komponen yang bisa dibongkar-pasang sesuai kebutuhan pengguna. Soal platform, dia menggunakan Google Colab. Platform Google Colab memungkinkan Anda untuk menulis kode berdampingan dengan teks biasa. Tak hanya itu, Google Colab juga bisa digunakan untuk melatih AI menggunakan data training set yang telah Anda siapkan. Dengan begitu, Anda tidak perlu lagi membeli komputer seharga puluhan juta untuk melatih AI Anda. Yang lebih menarik, Google Colab bisa Anda gunakan secara gratis.

Selain Google Colab, platform lain yang bisa Anda gunakan untuk membuat AI adalah Gradient. Sama seperti Colab, Gradient juga bisa digunakan secara gratis. Meskipun begitu, keduanya juga menyediakan opsi berbayar. Memang, jika Anda menggunakan versi gratis, daya komputasi yang bisa Anda gunakan pun terbatas. Meskipun begitu, daya komputasi yang Gradient sediakan dalam versi gratis pun sudah cukup memadai jika Anda hanya tertarik untuk belajar tentang AI dan machine learning. Opsi Free-GPU dari Gradient menawarkan CPU 8 core, RAM 30GB, dan NVIDIA Quadro M4000 sebagai GPU.

 

Penutup

Elon Musk sempat berpendapat bahwa AI lebih berbahaya dari nuklir. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri bahwa keberadaan AI memang membuat hidup kita menjadi lebih mudah. Salah satu contoh penggunaan AI pada kehidupan sehari-hari adalah pada fitur face detection di smartphone Anda. Tak hanya itu, AI juga digunakan oleh perusahaan transportasi untuk mengatur jadwal. Dan AI sudah muncul dalam game sejak lama.

Dalam game, keberadaan AI membuat pengalaman bermain menjadi lebih seru. Menariknya, game terkadang digunakan sebagai tolok ukur kecanggihan sebuah AI. Karena itulah, ada perusahaan yang tertarik untuk membuat AI yang bisa bermain go atau bahkan Dota 2. Tak hanya perusahaan, masyarakat secara luas pun semakin tertarik dengan AI. Buktinya, di YouTube, Anda bisa menemukan banyak video yang menunjukkan cara membuat AI sederhana, seperti AI yang bisa bermain Flappy Bird dan 2048.

Popularitas AI yang terus naik berarti semakin banyak perusahaan yang bersedia untuk membuat platform pengembangan AI. Beberapa platform itu bahkan bisa digunakan secara gratis. Hal ini akan membuat pembelajaran dan pengembangan AI menjadi lebih mudah diakses oleh lebih banyak orang. Pasalnya, melalui platform ini, Anda bisa membuat dan melatih AI Anda tanpa harus punya komputer mahal.

Why Can’t All Competitive Games Succeed as an Esports?

Why is LoL’s esports scene much more successful than Dota 2’s? Why can CS:GO become an esports phenomenon in EU and NA, but is becoming less popular in the SEA region? These have probably crossed your mind if you are a fan of these games.

What are the answers to the questions presented above? How can a game become the center of attention in the esports ecosystem? In this article, I will try to discuss and investigate the factors that can make a game successful as esports.

 

Taking a Look at the Sports Industry

If you have read any of my other articles, you may be aware that I have referred to the sports industry several times when explaining phenomenons in esports. I like using this comparison because esports has a lot in common with the sports industry in many aspects.

I was also inspired to discuss this topic by a YouTube video from Athletic Interests that talks about the sports industry. The video that inspired me was a video titled “Why basketball sells more than baseball.”

The Athletic Interest bases their video on Steffan Heuer‘s article written in German, which appeared in a sports business magazine called Brandeins. In his article, Steffan mentioned four factors that allow basketball to be more internationally popular than baseball.

Firstly, baseball is a much more complicated game than basketball. Secondly, the average duration of a baseball game is also very long. Thirdly, the league season is also much more lengthy. Fourth, there are much fewer baseball players that come from outside the US.

I will briefly discuss and explain each of the points made by Heuer. If you want to look at this topic in a much more detailed fashion, you can watch the video or read Steffan Heuer’s original article.

Regarding the first factor, Steffan Heuer compared the complexity of the two sports through the size of their respective rulebooks. The major baseball league, MLB, has a total of 188 pages in their rulebook, while the NBA has only 68 pages. A complicated set of rules will generally result in a much more complicated game, even though baseball only looks as simple throwing and hitting a ball with a bat.

The second factor proposes that game duration can explain the discrepancy in the popularity of basketball and baseball. The net duration of a basketball game is roughly 48 minutes (4 quarters of 12 minutes). If you take timeouts and half-time shows into account, the total duration of a basketball match broadcast will be approximately two hours. Meanwhile, two hours is the shortest possible duration of a baseball game. There was even a baseball game that lasted 8 and a half hours. There is also a game that lasted two days in 1981.

In the third factor, Steffan explained that there are 162 games in a baseball season that run for six months (about 27 games a month). In addition, the Baseball finals are also conducted in a best-of 7 format. Taking into account the duration of the matches, the finals may take one month to complete.

The last factor explains that players in the baseball league mostly come from the US only. How about basketball? If you follow the NBA, you probably know that many popular basketball players come from outside the United States. There are stars like Dirk Nowitzki, who came from Germany, or Yao Ming, who came from China.

Apart from these four core factors, other points are also briefly discussed in the video. For example, the video also discusses NBA’s investment in China by building basketball courts and even building offices. This investment was quite successful in making basketball known in China.

Sumber Gambar - Video Athletic Interests
Several forms of NBA investments are made in China. Image Source – Athletic Interests Videos

Another factor also comes from the equipment needed to play the game. To play baseball, you will need a set of expensive equipment. You will also need an enormous baseball field. These prerequisites are not present in basketball. You only need a pair of shoes, a small court equipped with a basketball pole, and a ball to play the game.

All these factors describe how the popularity of basketball far exceeds baseball. According to Steffan Heuer’s explanation above, basketball’s simplicity and action-packed matches are suitable for capturing the interest of audiences locally and around the world.

We can classify these four factors into two groups: internal factors and external factors. Internal factors refer to the attractiveness and engaging aspect of the game. External factors pertain to the incentives taken by certain parties to advertise the game to more people.

The first two factors explained by Heuer can be classified as internal factors because they discuss why the sport can be engaging to the audience. The third and fourth factors can be classified as external factors because these two factors explain what the NBA is doing to promote and make the game much more enjoyable.

Now, let’s see how these factors can be applied to the esports sector.

 

How Can Some Games Be Popular as an Esports

In my opinion, these four factors that we have discussed can actually be applied to esports. The first and second factors, which talk about the attractiveness of the game, can be translated through the gameplay aspect. The third and fourth factors will measure the developer’s efforts in promoting the game and designing the esports game ecosystem to be enjoyable for fans internationally.

Based on what I have captured in Steffan’s explanation, internal factors remain a key aspect in explaining the popularity of a game because the development of today’s sports industry is very similar to esports.

How similar you might ask? The development process starts from the creation of the game first. Then, the game starts to be played and attract the interest of some people. When enough people got interested in the game, competitions began to be held and commercialized into the business model we have today. Perhaps in the past, the people who watched the basketball league were just people who played basketball. However, since the game is relatively easy to understand and is constantly promoted by the NBA, people who don’t play basketball also become interested in watching basketball games.

esports event

Esports does not originate from the game developer themselves. Instead, Esports is initiated by the community of players, which are then supported by the game devs. I discussed this exact topic in an article about the history of esports. You can find the article at this link. Therefore, a game must be interesting in the first place before it can grow into a successful esports.

For our case study, let us use League of legends’ journey in becoming a global esports game. League of Legends has actually been popular since the early years of its release. According to statista.com, there were 15 million monthly active users of League of Legends two years after the game was released in 2009.

How did League of Legends become more popular than its predecessor: Defense of the Ancients (the custom map for Warcraft III: The Frozen Throne)? Maybe you could say because League of Legends has fulfilled two factors from Steffan Hauer’s explanation above, namely that the game is simpler and the duration of the game tends to be shorter.

When compared to DotA, League of Legends is simpler. The division of roles in League of Legends is clearly stated. Items in League of Legends can rarely be activated, so it is unnecessary to remember many character-item combinations. In addition, League of Legends also makes the fog of war system simpler by removing high ground and low ground mechanics, day and night mechanics, and changing trees into bushes. Because it’s simpler, League of Legends is much more beginner-friendly than Dota 2.

Let’s discuss the second factor: the duration of the game and the level of action presented. League of Legends can also be said to be a pioneer that succeeded in defining the duration of a MOBA game. A Defense of the Ancient game usually lasts around 45 minutes, which might be longer in a close or tight match. On the other hand, the minimum duration of one League of Legends game is around 30 minutes.

The level of action in a League match and Dota 2 is quite comparable. However, one certain thing is that the snowballing economy system applied in the League of Legends game clearly defines the direction of the match. In a snowballing system, the team that loses at the start of the game will have a smaller chance of turning things around.

Meanwhile, Dota applies a rubber band mechanism in their gameplay. The system does make the tug of war much more interesting. However, this kind of system also makes it difficult to predict the outcome of the match. In the rubber band system, team advantages can be reversed and equalized easily. Therefore, the Defense of the Ancients and Dota 2 matches tend to last much longer.

To prove my opinion, I searched for the longest game recorded in both LoL and Dota 2. The results were as I initially expected. The longest-running professional League of Legends match was between SKT vs. Jin Air at LCK Spring 2018, which lasted 1 hour 34 minutes. On the other hand, the longest Dota 2 match was between Cloud9 vs. ScaryFaceZ in the qualifiers for Starladder Season 12 (2015), which lasted 3 hours 20 minutes. You read that right, THREE … Hours. The two of them may both present non-stop action in the competition. However, I don’t think I have the perseverance to watch a Dota 2 match for three straight hours.

In the third factor, Steffan Heuer highlighted the impact of the duration of the season. In the esports world, I interpret this factor as the competition format. So far, what Riot Games has done with the League of Legends esports league is truly extraordinary when compared to other games.

The esports scene of League of Legends is managed very seriously by Riot Games to the point where it is on par with mainstream sports leagues. Therefore, it is not surprising that League of Legends has succeeded in continuing its success. It has transformed from a typical MOBA game to an esports watched by people around the world and managing to record more than 139 million total watch hours in 2020.

The last factor is a matter of the diversity of star players in a sports league. At this point, I interpreted the intention of Stefan Heuer’s discussion as a form of related party investment in local schemes. In the context of basketball vs. baseball, the video explains how MLB’s investment as the first party in the US baseball sports industry tunnel-visioned in the US alone. While on the other hand, the NBA continues to develop its market outside the US, such as China.

Because of this, basketball can become more popular internationally than baseball. As more countries are exposed to the sport, there will be a larger audience and more diversity in the star players lineup. However, with baseball, Heuer explained most of their stars originate in the United States.

Sumber: Riot Official Release
Not only in Europe and America, League of Legends also has a professional league for the Asia Pacific region. Source: Riot Games

League of Legends may have employed a strategy similar to that of the NBA, although I am not sure if Riot is inspired by the NBA. We can see the similarity between the two leagues as Riot games also promote and invest their game around the world.

The current four largest League of Legends esports leagues are LEC in Europe, LCS in the United States, LCK in South Korea, and LPL in China. Riot Games also invests in smaller regions that have potential such as PCS in SEA, Taiwan, OPL in the Oceania region (Australia), LCL in the CIS region (Russia, Ukraine, and their neighbors), NLC in Northern Europe (the United Kingdom, Nordic countries, and beyond), and LLA in Latin America. Apart from these smaller regions, Riot Games also invests in countries such as LJL in Japan, VCS in Vietnam, TCL in Turkey, and CBLoL in Brazil.

Everything I mentioned may not include all of Riot Games’ investments. However, we can see Riot’s serious take on developing League of Legends into a worldwide esports. From this form of investment, it’s no wonder that League of Legends esports can grow to the global phenomenon it is today.

 

Why Some Games Are Less Successful in Becoming an Esports

After conducting a case study from League of Legends, which has had great success from gaming to world-class esports, we can look at why some games are not as successful as esports. The games that I took as examples are Pro Evolution Soccer and Fighting Games.

I chose these two specific subjects because I feel that these games have actually succeeded in fulfilling the two internal factors that we discussed earlier. However, its position as an esports is dominated by the MOBA and FPS genre.

Fighting games are relatively simple, even though the game mechanics can be difficult to master at the highest level. Aren’t most esports games built the same? Games are generally easy at first glance, but will get more complicated as we dive deeper into the game. Fighting games are considered simple for casual players. The matches’ duration is also relatively short and very action-packed.

What about PES? PES is essentially a virtual simulation of football. PES gameplay is a football game in its very nature. However, if there are 517 million people in the world who watch football matches, why can’t PES be successful as esports?

Bram Arman (left). Credits: Advance Guard
Bram Arman (left). Sumber: Advance Guard

To answer this question, I spoke with Valentinus Sanusi, the founder of Liga1PES, and Bram Arman, often seen as the “elder” in the fighting game community (FGC) in Indonesia. From our discussion, I concluded the two games were not successful as esports because of the developer’s lack of investment. Other external factors also include the fact that the two games were developed by a Japanese company, which is generally less keen on adopting a free-to-play game business model or the esports ecosystem business. Besides that, there are also several internal factors for the game itself, especially in terms of access.

In terms of fighting games, Bram Arman shared how a fighting game that is rooted in the community did not bloom as much compared to other esports games in general. “As far as I know, mainstream esports is able rapidly to grow through the influence of the developers or the 1st party. Therefore, the esports investment is considered as “direct”. The case for FGC is different. The 1st party investment is also only present in more developed countries. Therefore, in Indonesia itself, the development of FGC is classified as organic with minimal assistance from the developers. ”

If we look at the development of FGC, the Evolution Championship Series, a tournament with the most advanced development of fighting game esports, actually started as a community tournament rather than initiated by the developers. The Evolution Championship Series was also developed much earlier than the Capcom Pro Tour, which was initiated by Street Fighter developers starting in 2013.

Then what about Pro Evolution Soccer? Why can’t the esports sector football games be popular as the sports counterpart? Valen explained that “One of the reasons is because the esports community is vastly different from the soccer community. From what I have observed, the majority of the soccer community does not necessarily coincide with esports fans. In other words, football fans do not always classify themselves as esports enthusiasts.”

Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus
Valentinus Sanusi. Credits: Valentinus

Valen then explained that “Esports enthusiasts here are not the type of people who will look for esports matches when opening social media or YouTube. Therefore, it takes a lot of effort to spread the enthusiasm of football esports to the public, so that football viewers will also be interested in the esports .”

From Valen’s explanation, I got reminded of the Social Media Bubble concept, which proposes that users will be confined to their preferred. Therefore, it’s no wonder that football fans may not know soccer esports or maybe even don’t know anything about the soccer game itself.

I also asked their opinion regarding internal factors or the appeal of the game itself. I previously explained my view about this topic in the third paragraph of this section. However, what do Bram and Valen have to say about this?

I have also seen another video that explains why another football game esports, namely FIFA, is not as successful as other mainstream esports. The video proposes that FIFA’s gameplay involves too much RNG or luck. The luck factor present in FIFA revolves around the fact that the player can only control one character at a time. The 10 remaining players on the field are automatically controlled by AI hence the luck factor. Therefore, the video considers the outcome of the match will, to some extent, be determined by luck. What about PES?

However, Valen said, “I strongly disagree with this opinion. This year, FIFA has just released a new competition feature called FUT co-op. PES has even implemented this system three years before FIFA. Furthermore, though the luck factor may exist in the game, it is incredibly minor compared to the entire aspect of the gameplay. Besides, these external or uncontrollable factors can spice up the football match, just like in real life.

What about fighting games? Bram also shared his opinion about the problem of accessing fighting games in general. “In my opinion, one of the reasons why esports in fighting games are less developed is due to their conventional business model. Most fighting games require players to purchase the game, with real money, of course. Furthermore, these games are usually not cheap. Indeed, you can sometimes access fighting games for free, but only for a free trial.” Bram highlighted the access problem to fighting games which heavily affects the player number.

“Plus, I think the learning curve of fighting games tends to be steeper than other games. Although the game may seem simple to beginners, the skill ceiling can grow steeper as the level of play increases. These are aspects such as mastering combos with different characters per se.” Added Bram.

Indeed, fighting games can be much more difficult to master compared to other games. But how much more difficult exactly? We can take the example of how the button input affects motion output. Games like MOBA or shooter have simple inputs: mouse clicks and QWER keyboard buttons for MOBAs or WASD for shooter game movements. Fighting games do not have these kinds of straightforward inputs.

In Tekken, for example, pressing the box button alone has a different output compared to pressing the square button plus the forward button. Not to mention that the type of movement also differs from one character to another character. A character may have a box input + forward button, but another character may not. That’s why you will need a strong memory, careful decision-making skills, and nimble fingers to master the game at the highest level. For more details, I have previously discussed the unique appeal of fighting games.

Furthermore, our discussion then turned to the external factors that come into play. PES and Tekken have one thing in common: they were developed by a Japanese developer. Both Bram and Valen also agreed that this is one of the reasons why both of the games have less developed esports scenes.

“You can definitely say that was the case.” Bram opened the discussion. “Japan even had laws that prohibit prize money for esports tournaments, unless it is arranged by 1st party organizations. Third-party organizers are only allowed to give merchandise prizes only.”

Valen then added. “I also agree that Japanese developers are not updated in the world of esports, of course including Konami. Their moves or incentives towards esports are too slow and will never catch up to today’s standards. They often take too many considerations from the company side and are unwilling to invest in the esports scene. In fact, Pro Evolution Soccer on consoles and mobile doesn’t even have a spectator mode until recently, even though this feature is crucial to support an esports ecosystem.”

There is indeed a reason why Japan is too late to catch up with the current esports trends despite leading in the game industry. The reason is the polemic relations between the yakuza, the government, and the law which prohibits gambling in Japan.

An article by Imad Khan on ESPN outlines the origins of the Japanese government’s negative view on gambling. In his article, Imad tells that the root of the problem exists in Nintendo Koppai (the previous name of the Nintendo company in the past). The company created gambling machines using video technology around the 60s. As a result, Japanese authorities banned video game matches because they were considered another form of gambling. This view is still carried on until today and, thus, the esports structure is incredibly underdeveloped in the country.

Sumber Gambar - JeSU Official
Image Source: JeSU Official

Tournaments that charge registration fees to participants are prohibited by the government. Additionally, as Bram mentioned previously, some tournaments can only have merchandise prices instead of cash prices. The value of the merchandise that is awarded is also limited to around US$ 1000, based on an ESPN article.

The presence of the Japan eSports Union (JeSU) in 2018 is a glimmer of hope to break the impasse in esports development in Japan. As a means of legalization, JeSU creates an esports athlete license to determine who is entitled to receive cash prizes from an esports tournament. Even the presence of JeSU and the regulations regarding professional player licensing alone still had time to become a polemic, especially when Momochi (a Street Fighter V pro player) expressed his criticism of the implemented system.

Before closing the discussion, we tried to conceptualize a scenario where the Japanese government and developers were less restrictive towards the esports world. Would fighting game esports and Pro Evolution Soccer be able to compete with League of Legends, CS: GO, or other popular esports games?

“This is a very interesting ‘what if’ question. When it comes to the past, I think fighting games certainly have a lot of potential.” Bram said. “As a game genre that is fairly appealing to the general public, I am also quite optimistic that PES or other sports genre games can compete with popular esports games.” Valen also included his opinion.

 

Predicting the Next Esports Trends

After discussing and looking at case studies on how different games can have a different degree of success in their esports, the next obvious step is to predict which game will bloom as an esports in the future.

Using the concepts that we have learned, we can easily predict which games will have a successful esports scene. Of course, the next successful esports games are games that fulfill the four factors we discussed earlier. The game will have relatively simple gameplay, a short duration with intense action. In addition, the game must also have a competition format or feature to compliment spectators. The game will also be supported by the developer’s investment in local scenes.

However, determining which games will be appealing can be difficult. Video games are classified as a creative industry and we cannot easily determine a definite recipe for success. After all, it is not easy to predict people’s taste for intellectual work.

However, who would have thought that the MOBA and Battle Royale genres could become as popular as they are now? Even if we look back, there are several game genres that used to be popular but are left out today’s gamers. We can take the RTS genre from games like StarCraft or MMORPG from games like Ragnarok Online as an example.

Even people’s tastes in the realm of sports also don’t have a definite formula, as mentioned at the beginning of Athletic Interest’s video. Although half of the world’s population is passionate about football, some countries still have their own favorite sports, such as archery in Bhutan, skiing in Austria, wrestling in Mongolia, or badminton in Indonesia. Even strength competitions, as shown below, surprisingly managed to capture the interest of many audiences.

When it comes to the third and fourth factors, predicting the trend might be even more complicated. Riot Games’ newest games might become another new esports trend because they do not view esports as a means of marketing but as a form of business model.

But that notion alone cannot be used as a standard. Even though Riot Games is committed to earnestly developing Wild Rift’s or VALORANT’s esports, is it possible that these games are destined to be popular before they even exist? Many questions arise, but we’ve only covered one. For example, what if an unknown developer with a huge capital wanted to develop an esports? Will the game be able to beat the existing market today?

However, I hope that the discussion of the four factors mentioned by Heuer can at least be a reference or framework for those of you who might want to invest in esports, either from a business standpoint or a sponsor.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Game Esports Gratis: Sebuah Kausalitas

League of Legends, Dota 2, Mobile Legends, dan Free Fire adalah beberapa contoh dari game yang sukses jadi esports. Selain sama-sama populer sebagai esports, gamegame tadi juga punya kesamaan lain. Kesamaannya adalah sama-sama free-to-play alias gratis. Kesamaan tersebut tentunya memunculkan pertanyaan lain. Kenapa game yang besar sebagai esports menggunakan model free-to-play?

Esports bisa menjadi cara baru untuk mendatangkan pemasukan jangka panjang, yang tidak dapat ditawarkan dengan metode Pay-to-Win. Selain soal model bisnis jangka panjang yang nanti akan kita bahas lebih dalam, ada sejumlah alasan lain kenapa esports memang bisa bertumbuh lebih di game-game freeto-play.

 

Ragam Jenis Model Bisnis Video Game

Sebelum membahas lebih dalam soal hubungan antara esports dengan model free-to-play, akan saya bahas singkat lebih dulu ragam jenis model bisnis game yang umum di industri game saat ini. Free-to-play hanyalah salah satu dari beberapa model bisnis yang digunakan oleh para game developer. Selain free-to-play, model lain yang lazim diadaptasi sekarang ini adalah model game berbayar dan subscription (berlangganan).

Dalam model berbayar, pemain diharuskan membayar sejumlah uang untuk dapat memainkan satu game. Pemain biasanya hanya dikenakan satu kali pembayaran saja untuk memainkan satu game sebebas-bebasnya. Generasi muda atau gamer mobile yang sudah terbiasa dengan model free-to-play mungkin merasa asing dengan model ini. Walau demikian, model ini sebenarnya adalah model paling umum dan juga paling lama. Developer game AAA (seperti Cyberpunk 2077 atau GTA V contohnya) sampai developer indie (seperti Stardew Valley).

Sumber: Rockstar Games
Sumber: Rockstar Games

Model game berbayar memang biasanya tidak terlalu fokus pada esports. Tapi ada juga beberapa game berbayar yang punya skena esports. Contohanya adalah: ragam jenis game fighting (Street Fighter Series, Tekken Series, dan lain sebagainya) dan ragam jenis game olahraga (FIFA, PES, NBA 2K series, dan lain sebagainya). Counter Strike: Global Offensive sebenarnya juga sempat menggunakan model game berbayar pada saat awal rilis, namun akhirnya diubah menjadi free-to-play pada tahun 2018 lalu.

Soal kenapa game berbayar kurang sukses sebagai esports akan saya bahas di bagian akhir artikel ini. Untuk saat ini mari kita beralih ke model berikutnya yaitu sistem subscription.

Dalam model subscription, pemain harus membayar sejumlah uang setiap bulan supaya bisa memainkan game terkait. Model ini tergolong sangat tidak lazim di Indonesia (beberapa orang Indonesia bahkan kaget ketika tahu harus membayar untuk sebuah video game), namun model ini cukup umum dikenal oleh gamers-gamers negara barat. Model seperti ini biasanya digunakan pada game-game MMORPG. Dua game paling populer yang menggunakan sistem berlangganan adalah World of Warcraft atau Final Fantasy XIV Online.

Sumber: Blizzard Official Site
Biaya yang dibutuhkan untuk berlangganan World of Warcraft. Sumber: Blizzard Official Site

World of Warcraft malah mengadopsi beberapa sistem sekaligus. Sebagai pemain, Anda harus membayar sejumlah uang untuk dapat memainkan ekspansi terbaru (Shadowlands contohnya), lalu membayar lagi setiap bulannya agar bisa terus main. Harga expansion biasanya lebih mahal (sekitar Rp500 ribu ++ mirip seperti harga game AAA), sementara harga langganan per bulannya dipatok lebih murah (sekitar Rp150 ribu++ per bulan).

Model subscription mungkin terasa mirip dengan model Battle Pass (seperti Royale Pass pada PUBG Mobile atau Starlight Member pada Mobile Legends) pada game free-to-play. Tetapi ada satu perbedaan penting yang membedakan antar keduanya yaitu Anda tidak diperkenankan (atau dibatasi) memainkan game tersebut apabila Anda tidak membayar biaya langganan bulan itu. Dalam World of Warcraft misalnya, Anda hanya bisa memainkan karakter sampai level 20 saja apabila tidak membayar. Setelah membayar biaya langganan Anda akan bisa memainkan karakter sampai level 50 apabila tidak memiliki ekspansi. Setelah membeli ekspansi, Anda bisa memainkan karakter sampai level 60 dan diwajibkan membayar biaya langganan setelahnya apabila ingin lanjut bermain.

Pada perkembangannya, pembayaran biaya langganan tidak lagi terbatas dengan menggunakan uang tunai saja. Pada World of Warcraft misalnya, Anda bisa membayar biaya langganan dengan menggunakan “gold” yang Anda dapatkan dari mekanik di dalam game (dengan cara crafting, hunting, atau trading misalnya). Tapi gold yang dibutuhkan untuk bisa membayar subscription juga tidak sedikit. Karenanya pemain tetap dipaksa “membayar” waktu (untuk rutin memainkan game-nya) ketika ingin membayar biaya langganan dengan gold.

Model yang paling terakhir adalah free-to-play. Model seperti ini adalah model bisnis game yang paling lazim dikenal gamer Indonesia. Seperti namanya, tidak butuh sepeserpun biaya untuk memainkan game free-to-play. Lalu kalau game-nya gratis, dari mana developer dan publishernya mendapat pemasukan? Game free-to-play biasanya memiliki ragam jenis micro-transaction.

Sumber: VALORANT In-Game Store
Skin senjata adalah salah satu contoh micro-transaction yang disedikan game free-to-play VALORANT. Sumber: VALORANT In-Game Store

Micro-transaction merupakan berbagai pernak-pernik kecil yang bisa dinikmati pemain game free-to-play yang bisa dibeli pakai uang tunai. Pada beberapa game, konten micro-transaction biasanya bersifat hanya pemanis saja dan tidak memberi keuntungan dari sisi gameplay. Contohnya seperti skin karakter pada game MOBA atau skin senjata pada game FPS. Tapi ada juga konten micro-transaction yang akan membuat Anda jadi lebih kuat atau membantu Anda mencapai tingkat yang lebih tinggi secara lebih cepat. Contohnya seperti akses double XP pada game RPG atau skin karakter dengan tambahan kekuatan yang tidak dimiliki karakter standar. Sistem yang menganakemaskan pemain berbayar di game-game gratisan, biasanya jadi disebut Pay-to-Win

Dalam prakteknya, sistem micro-transaction tidak hanya digunakan oleh game free-to-play saja. World of Warcraft atau Street Fighter V kini juga menjual micro-transaction yang berisi konten tambahan sebagai pemanis atau pelengkap permainan.

Selain metode micro-transaction, game free-to-play kini mulai menjajaki model bisnis baru sebagai salah satu sumber pemasukan mereka. Model bisnis baru tersebut adalah esports.

 

Kenapa Game Esports yang Sukses Gratis?

“Kalau Anda tidak membayar untuk suatu produk, maka produknya adalah Anda.”

Ungkapan tersebut sebenarnya sudah disuarakan ketika televisi baru booming di kalangan masyarakat namun dengan kalimat yang berbeda. Seiring waktu, ungkapan tersebut santer lagi terdengar terutama ketika media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan kawan-kawan semakin merajalela dan lekat dengan keseharian kehidupan kita. Lalu, apa hubungannya antara esports dengan ungkapan tersebut?

Mungkin Anda sudah bisa menduganya. Dalam esports, publisher dan developer game tersebut berusaha mengubah pemain game menjadi penonton esports. Penonton esports tersebut digunakan menjadi “produk” yang dijual kepada investor ataupun sponsor. Pernyataan tersebut mungkin terdengar sinis. Tetapi, model tersebut terbilang lebih baik ketimbang model bisnis game free-to-play lainnya yang cenderung eksploitatif.

Apabila Anda sempat membaca tulisan Ellavie yang membahas beda industri game Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, Anda mungkin ingat bahwa model free-to-play sebenarnya bukan model yang baru di dalam industri game. Nexon, publisher dan developer game asal Korea Selatan, adalah yang pertama merilis game free-to-play bernama QuizQuiz yang rilis pada tahun 1999.

Namun seiring perjalanannya, cara monetisasi game free-to-play tidak selalu menyenangkan bagi pemainnya. Sebelum esports booming sampai menjadi bisnis seperti sekarang, game free-to-play sebenarnya punya berbagai macam cara untuk memonetisasi pemainnya.

Kalau Anda adalah gamer sejak dari zaman warnet, Anda mungkin ingat RF Online. Kalau Anda main RF Online, apakah Anda ingat dengan Premium Service? Benar, layanan yang bisa Anda aktifkan dengan cara membeli voucher (dengan mata uang asli) yang selanjutnya ditukar dengan Premium Service. Layanan Premium Service akan memberikan Anda sebuah kenyamanan berupa XP yang lebih besar dan jumlah loot monster yang lebih banyak.

RF Online, game RPG yang sempat populer pada masanya.
RF Online, game RPG yang sempat populer pada masanya.

Metode tersebut adalah salah satu bentuk monetisasi dari game free-to-play. RF Online bisa dimainkan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Tapi kalau tidak keluar uang, yaa…XP Anda seret, dapat equip dewa juga susah karena loot-nya sedikit. Padahal, daya tarik utama RF Online adalah perang antar tiga bangsa yang sifatnya PVP atau pemain lawan pemain. Karenanya, Anda sebagai pemain tentunya akan butuh level tertinggi dan equip terbaik agar dapat bersaing dengan pemain lain.

Apakah pemain bisa punya karakter super kuat tanpa Premium Service? Bisa saja sih, tapi waktunya tentu akan jauh lebih lama ketimbang pemain yang selalu menyalakan Premium Service. Karenanya, saya menggunakan kata eksploitatif sebelum menjelaskan model ini. Walaupun game tersebut bisa dimainkan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun, tetapi sistem game-nya menaruh prioritas lebih ke pemain berbayar dan mengesampingkan pemain gratisan.

Lalu apakah metode monetisasi tersebut adalah metode yang adil atau etis? Adil tidak adil, etis atau tidak etis, bukan saya yang menentukan. Pada akhirnya RF Online juga masih terus hidup sampai sekarang. Pemain yang masih setia tidak merasa ada masalah dan tetap membeli premium service. Dulu ketika saya masih SMP, saya juga main RF Online dan beli Premium Service kok.

Namun satu hal yang bisa kita sepakati, model tersebut membuat ladang pemasukan game terkait jadi terbatas. Apa kabarnya kalau tiba-tiba semua pemain tersadar, lalu sepakat untuk tidak lagi membeli Premium Service? Karena kalau semua orang tidak pakai Premium Service, maka permainan akan jadi lebih adil bukan? Atau mungkin yang lebih buruk, apa jadinya kalau tidak ada lagi orang yang mau main game tersebut karena merasa dieksploitasi dengan model Premium Service?

Selain RF Online, contoh lainnya mungkin adalah sistem energi atau sistem untuk mempercepat pembuatan pasukan pada Clash of Clans (CoC). Walaupun sistemnya agak sedikit beda, tapi model tersebut sebenarnya senada, mempercepat progresi (kekuatan karakter/pembuatan pasukan/peningkatan level) untuk pemain yang membayar.

Pada masanya, CoC sempat mengumpulkan pemasukan yang luar biasa dengan metode tersebut. Mengutip dari statista, Clash of Clans sempat mendapat pemasukan sebesar US$1,8 triliun pada tahun 2015. Tapi pemasukan tersebut terus menurun setiap tahunnya, sampai jadi hanya tinggal US$722 juta pada tahun 2019 lalu.

Data tersebut sedikit banyak menjadi gambaran — kalau tidak bisa menjadi bukti — bagaimana model monetisasi yang “memajaki” perkembangan pemain tidak bisa bertahan selamanya. Monetisasi tersebut sangat bergantung dengan keinginan pemain untuk membeli micro-transaction. Tentu saja, pengembang berusaha setengah mati untuk meningkatkan selera pemain agar terus membeli. Mungkin awalnya dengan cara yang halus dulu seperti penjelasan video dari Vox di bawah. Kalau cara halus tidak berhasil, developer biasanya sudah menyiapkan cara “frontal”, yaitu membuat progresi pemain gratisan jadi lebih lambat ketimbang yang membayar.

Tetapi balik lagi seperti penjelasan awal saya. Metode eksploitatif seperti itu ada batasnya. CoC sebenarnya mirip dengan RF Online, sama-sama punya konten PVP sebagai daya tarik utamanya dan sama-sama memajaki progress permainan kepada pemainnya. Karenanya, ketika game ini sedang ramai, developer pun cenderung lebih mudah untuk memonetisasi game terkait.

 

Tapi bagaimana ketika hype game-nya sudah mulai menurun? Apa yang terjadi saat Anda sudah level 50, tapi teman Anda berhenti bermain? Anda mungkin masih tetap bermain, tapi yaaa… Santai aja deh, toh enggak ada persaingan juga. Atau malah yang terburuk, ikut berhenti bermain. Kami juga sempat mengurai persoalan “pay-to-win” pada game free-to-play jika Anda ingin tahu lebih lanjut kenapa monetisasi dengan cara tersebut punya masalahnya tersendiri.

Karena itu, kehadiran esports secara tidak langsung telah membuka kesempatan bisnis baru bagi game developer. Bahkan bukan cuma membuka kesempatan bisnis baru, esports bahkan bisa memperpanjang usia dari sebuah game. Mengapa demikian? Pertama, game esports sebenarnya sudah punya keuntungan tersendiri dari aksesnya yang mudah dan ekonomis.

Seperti yang saya sebut sejak awal, game free-to-play bisa dimainkan secara gratis. Karena gratis, semua orang bisa memainkan game tersebut asal punya perangkat untuk memainkannya. Selain gratis, game free-to-play juga biasanya tidak butuh spesifikasi yang terlalu tinggi ketimbang game-game premium.

VALORANT sebagai contohnya. Rilis tahun 2020 lalu, VALORANT bahkan masih bisa berjalan dengan menggunakan GPU Intel HD yang merupakan bawaan dari prosesor. Tetapi pada sisi lain, FIFA 21 yang juga rilis tahun 2020 butuh GPU eksternal (sehingga butuh biaya tambahan) berupa GeForce GTX 660 dan Radeon HD 7850.

Dua game tersebut sama-sama jadi esports, tapi siapa yang lebih populer? Anda mungkin bisa menebak sendiri. Akses yang mudah (free-to-play dan kebutuhan spesifikasi hardware rendah) membuat sebuah game berpotensi menarik lebih banyak pemain ketimbang game dengan akses yang lebih sulit (berbayar dan kebutuhan spesifikasi hardware tinggi). Karenanya jumlah penonton game VALORANT terbanyak di Twitch sempat menyentuh angka 478 ribu sementara FIFA 21 hanya 82 ribu saja mengutip dari twitchtracker.com.

Akses yang mudah dan murah mengundang lebih banyak pemain. Pemain tersebut pelan-pelan diubah menjadi penonton, entah melalui streamer atau konten-konten video tips dan trik. Lalu dengan menghadirkan turnamen dan liga, penonton tersebut pun bisa dikomersialisasi dalam bentuk sponsorship, lisensi media, atau investasi-investasi lainnya dari pihak eksternal.

Dalam hal ini, lagi-lagi saya menggunakan Riot Games dan game League of Legends sebagai contoh. Kalau Anda mengikuti pemberitaan Hybrid, Anda bisa lihat sendiri sudah berapa banyak deal yang didapat Riot Games pada tahun 2020 kemarin hanya gara-gara esports saja. Mulai dari brand fashion seperti Louis Vuitton, AAPE, brand teknologi Cisco, sampai brand musik seperti Universal Studios dan Spotify. Semuanya hinggap ke Riot Games dan League of Legends gara-gara ada 44 juta orang yang menonton LoL World Championship di tahun 2019 lalu. Karenanya, jadi tidak heran kalau Riot Games memutuskan untuk membuat esports jadi salah satu pilar bisnis mereka ketimbang sekadar alat pemasaran saja.

Pencapaian Riot Games sedikit banyak menjadi bukti bahwa esports bisa menjadi salah satu model bisnis bagi publisher game free-to-play yang lebih berjangka panjang.

Model seperti League of Legends baru satu contoh. Dota 2 juga bisa menjadi contoh lain suksesnya game free-to-play berkat esports, walau dengan model yang sedikit berbeda. Valve menjual Battle Pass (berisi berbagai pernak pernik skin dan lain sebagainya) yang 25% dari penjualannya ditambahkan ke hadiah turnamen Dota 2 terakbar di dunia, The International (TI). Valve telah mengumpulkan US$40 juta dari The International Battle Pass tahun lalu cuma dengan 25% dari penjualan Battle Pass. Dengan 75% sisanya masuk ke kantong Valve, Anda bisa bayangkan sendiri berapa uang yang sudah dikumpulkan oleh sang publisher dari penjualan tersebut.

Menyediakan game secara gratis memang memberi keuntungan-keuntungan tersendiri saat publisher berusaha menjadikannya sebagai esports. Namun di sisi lain, kita juga bisa melihat bagaimana esports memang merupakan sebuah ladang baru dengan potensi komersialisasi tinggi. Esports bisa digunakan untuk membangun minat pemain untuk membeli konten atau mengundang pihak eksternal untuk berinvestasi ke dalamnya.

 

Kenapa Model Lain Kurang Sukses Menjadi Esports yang Besar?

Pada kesempatan sebelumnya saya sudah membahas soal faktor-faktor yang membuat game kompetitif bisa sukses sebagai esports. Apabila Anda juga membaca artikel tersebut, Anda akan menemukan bahwa kemudahan akses menjadi salah satu faktornya.

Seperti yang saya sebut pada pembahasan di atas , game free-to-play memang cenderung lebih mudah mengumpulkan banyak orang. Selain game-nya gratis, developer game free-to-play juga berusaha membuat game-nya seringan mungkin agar bisa menarik perhatian orang sebanyak mungkin.

Pada sisi lain, model bisnis game berbayar atau subscription system mungkin punya fokus yang berbeda. Dari segi akses, kita juga sudah melihat perbandingan antara VALORANT dengan FIFA 21 pada penjelasan saya di bagian sebelumnya. Mau semudah apapun atau sesederhana apapun sebuah game, jumlah penggunanya akan tetap terbatas kepada seberapa tinggi entry barrier yang ditetapkan oleh sang developer ataupun publisher.

Semakin rendah harga dan kebutuhan spesifikasi perangkat yang dibutuhkan sebuah game, otomatis akan semakin besar dan luas potensi pasarnya. Semakin tinggi harga dan kebutuhan spesifikasi device yang dibutuhkan akan semakin sedikit dan sempit potensi pasarnya. Dalam konteks VALORANT vs FIFA 21, kita bisa lihat bahwa VALORANT gratis sementara FIFA 21 harganya Rp849.000. VALORANT bisa jalan tanpa GPU eksternal sementara FIFA 21 butuh GPU eksternal.

BBC akan tampilkan konten turnamen FIFA 21 Eropa.
FIFA 21 juga memiliki turnamen esports, tetapi kesuksesannya tetap jadi terbatas karena harga gamenya yang kurang terjangkau dan kebutuhan spesifikasi PC yang lebih tinggi ketimbang game free-to-play.

Dalam hal beda haluan bisnis developer yang saya bicarakan tadi, salah satu contoh nyatanya bisa kita lihat dari posisi Nintendo terhadap esports Smash Bros. Komunitas Smash Bros sudah beberapa kali mengeluh ke Nintendo karena merasa sudah membesarkan game tersebut, namun tak jua mendapat sokongan dalam bentuk hadiah uang turnamen. Dalam satu kesempatan, Nintendo sempat mengatakan bahwa esports cuma salah satu dari berbagai macam event yang ingin dapat didukung oleh Nintendo. Pernyataan tersebut secara tidak langsung menunjukkan posisi Nintendo yang tidak punya keinginan untuk investasi lebih jauh di esports.

Kasus hubungan antara Nintendo dan komunitas esports Super Smash Bros menjadi contoh, bahwa walaupun esports sedang besar dan digembar-gemborkan, belum tentu juga semua developer ingin ke sana. Apalagi developer yang sedari awal sudah sukses dengan model game berbayar. Menurut opini saya, dalam konteks Nintendo, bisa saja mereka sudah nyaman dengan pendapatan yang didapat dari penjualan game Super Smash Bros. Lalu, kenapa harus pusing-pusing lagi memikirkan esports?

Sumber: Time
Shuntaro Furukawa, presiden Nintendo yang pernah menyatakan pendapatnya soal esports Super Smash Bros. Sumber: Time

Sementara pada sisi lain, developer yang menyajikan game secara gratis harus putar otak agar tetap bertahan hidup. Menjual skin jadi salah satu sumber pemasukan pasti, tapi apakah dengan menjual skin saja bisa mencukupi biaya operasi sebuah game? Riot Games mungkin bisa saja menggunakan metode monetisasi yang eksploitatif pada League of Legends. Misal, Champion baru hanya terbuka apabila akun Anda mencapai level tertentu. Apabila Anda membayar, Anda bisa lebih cepat menaikkan level akun Anda. Tapi pertanyaanya, apakah model seperti itu adalah model yang sehat dan bisa bertahan untuk jangka panjang?

Memang, esports butuh investasi besar dan belum tentu juga menguntungkan pada akhirnya. Tetapi apabila diasuh dengan tepat, efeknya seperti apa yang kita lihat seperti ini. Karenanya CEO Riot Games Nicolo Laurent sempat berkata bahwa esports tidak lagi bisa dilihat sebagai alat marketing, melainkan sebagai sebuah bisnis. Setelahnya Nicolo juga menambahkan, “kami ingin memastikan semua orang memiliki impian untuk diraih.” Dari pernyataan tersebut, secara tidak langsung kita juga bisa melihat bagaimana esports punya dampak ekonomi yang lebih luas ketimbang sekadar menjual micro-transactions saja.

 

Penutup

Dari pembahasan ini, kita bisa melihat bagaimana menjadi model free-to-play memang memberi keuntungan tersendiri bagi developer saat berniat menjadikan game tersebut menjadi esports. Di luar dari itu, esports juga memberikan ragam keuntungan menarik kepada developer game terkait. Mulai dari membangun minat pemain, memperpanjang usia sebuah game, sampai memberikan keuntungan-keuntungan finansial yang didapatkan dari komersialisasi liga esports.

Lalu kalau pertanyaannya dibalik, apakah game gratis harus selalu dijadikan esports? Jawabannya tentu tergantung fokus bagi sang publisher. Seperti yang saya jelaskan di atas, ada banyak metode-metode monetisasi bagi game free-to-play. Walaupun Clash of Clans sempat mengalami penurunan pendapatan, tapi toh game tersebut masih bertahan dengan metode yang sama sampai sekarang. Pada sisi lain, Riot Games yang sukses besar berkat esports juga masih menekankan tim mereka untuk membuat game yang bagus lebih dulu ketimbang terlalu “kebelet esports“.

Saya sendiri sebenarnya cukup setuju dengan pernyataan tersebut. Bagaimanapun, inti dari esports adalah game-nya itu sendiri. Karenanya sebuah game harus bagus (aspek kreatif maupun teknis), balanced, dan diminati banyak orang terlebih dahulu sebelum jadi esports. Bukan dijadikan esports agar lebih diminati walau game-nya kurang bagus dari aspek kreatif maupun teknis ataupun kurang balanced.

Haruskah Organisasi Esports Peduli Pada Masa Depan Pro Playernya?

Esports sudah menjadi industri besar. Orang-orang di dalamnya pun dituntut untuk bekerja layaknya seorang profesional, termasuk para pro gamer. Dan jangan salah, gaji para pemain profesional yang bermain di liga besar sudah melampaui Upah Minimum Regional DKI Jakarta. Misalnya, gaji minimum pemain Mobile Legends Professional League adalah Rp7,5 juta. Para pemain esports yang berlaga di kancah internasional bahkan punya gaji yang jauh lebih fantastis. Di Eropa, gaji rata-rata pemain League of Legends profesional mencapai miliaran rupiah.

Namun, gaji bukan satu-satunya variabel yang harus diperhitungkan ketika seseorang hendak memilih pekerjaan. Ada beberapa faktor lain yang menjadi bahan pertimbangan, seperti asuransi atau dana pensiun. Inilah alasan mengapa bagi sebagian orang, Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih merupakan pekerjaan idaman. Sementara bagi perempuan, peraturan terkait cuti hamil dan melahirkan bisa jadi salah satu faktor yang harus diperhitungkan.

Lalu, apakah organisasi esports menawarkan keuntungan lain bagi para pemainnya?

 

Keuntungan yang Bisa Ditawarkan Organisasi Esports: Jaminan Kesehatan dan Edukasi Finansial

Menjadi pemain esports tidak semudah kelihatannya. Ada beberapa pengorbanan yang harus dibuat untuk menjadi pemain profesional. Salah satunya adalah kesehatan. Ketika menjadi pemain profesional, seseorang bisa menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk berlatih.

Kepada TMZ Sports, Kenny “Kenny” Williams dari Los Angeles Thieves dan Dillon “Attach” Price dari Minnesota ROKKR mengungkap jadwal latihan mereka. Attach berkata, dia dan timnya bisa menghabiskan waktu sekitar 5-6 jam sehari untuk berlatih. Dalam seminggu, mereka berlatih selama 6-7 hari. Menjelang turnamen, mereka bisa berlatih tanpa hari libur. Sementara itu, Kenny menyebutkan, ia dan timnya menghabiskan waktu sekitar 35-40 jam seminggu untuk berlatih. Jika mereka berlatih selama 6 hari, maka setiap harinya, mereka menghabiskan sekitar 6-7 jam.

“Kami punya jadwal latihan tetap. Kami bermain sejak jam 1 siang sampai sekitar jam 7 malam,” kata Kenny. “Namun, menjelang turnamen, kami biasanya akan berlatih lebih lama.” Ketika seseorang menghabiskan terlalu banyak waktu dalam posisi duduk, hal ini dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari naiknya risiko obesitas sampai pelemahan otot. Tak hanya itu, seorang pemain profesional juga bisa terkena cedera, mulai dari cedera pada pergelangan tangan, punggung, atau leher.

Selain waspada akan cedera, seorang pemain profesional juga harus memerhatikan asupan gizinya. Pasalnya, gizi dan nutrisi juga memengaruhi performa pemain. Jadi, salah satu benefit yang bisa ditawarkan oleh organisasi esports pada para pemainnya adalah jaminan akan gizi yang memadai. Untuk itu, sebagian organisasi esports bahkan rela mempekerjakan ahli gizi untuk memastikan bahwa para atlet mereka mendapatkan asupan gizi yang memadai. Sayangnya, tidak semua organisasi esports mau — atau mampu — melakukan hal ini.

Gizi dan nutrisi bisa memengaruhi performa para pemain esports. | Sumber: Deposit Photos
Gizi dan nutrisi bisa memengaruhi performa para pemain esports. | Sumber: Deposit Photos

Pemain profesional tak hanya harus peduli pada kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental. Jika diacuhkan, gangguan mental bahkan bisa menyebabkan seorang atlet esports mengundurkan diri. Hal ini terjadi pada Heo “PawN” Won-seok, pemain League of Legends asal Korea Selatan yang sempat diklaim sebagai rival abadi dari Lee Sang-hyeok alias Faker. PawN mengundurkan diri karena mengidap Obsessive Compulsive Disorder (OCD).

Selain itu, bertanding dalam turnamen bergengsi di hadapan banyak penonton memberikan tekanan mental untuk para atlet esports. Beban mental yang ditanggung oleh pemain profesional elit bahkan disebutkan sama seperti beban mental para atlet Olimpiade. Dan keadaan psikologis seorang pemain punya pengaruh padaa performanya. Itulah sebabnya mengapa beberapa organisasi esports mempekerjakan psikolog. Sayangnya, lagi-lagi, tidak semua organisasi esports bisa atau bersedia mempekerjakan psikolog.

Tak melulu soal kesehatan, edukasi soal literasi finansial bisa jadi salah satu benefit yang ditawarkan oleh organisasi esports pada para pemainnya agar mereka setia. Dan literasi keuangan itu memang penting untuk para pemain profesional. Hanya saja, walau sudah ada organisasi esports yang bersedia mengedukasi para pemainnya soal tabungan dan investasi, praktek ini belum menjadi standar di industri esports. Alhasil, jika pemain tidak mawas diri, uang yang mereka kumpulkan selama mereka berkarir sebagai pemain profesional bisa hilang tanpa bekas.

Jika kesehatan atlet esports penting, kenapa tidak semua organisasi esports mau mempekerjakan ahli gizi atau psikolog? Dan jika literasi finansial penting untuk masa depan para atlet esports, kenapa hanya sebagian organisasi esports yang mau mengedukasi para pemainnya tentang literasi finansial?

Esports adalah industri baru. Memang, nilai industri esports diperkirakan akan mencapai US$1 miliar. Meskipun begitu, organisasi esports belum menemukan model bisnis yang pasti. Karena itu, tentunya mereka juga akan berusaha untuk menekan pengeluaran. Jadi, tidak heran jika sebagian organisasi esports enggan untuk mempekerjakan ahli gizi atau psikolog. Dalam kasus ini, tanggung jawab untuk menjaga kesehatan para atlet akan jatuh ke tangan mereka sendiri.

Psikolog juga punya peran penting dalam tim esports. | Sumber: Esports.id
Psikolog juga punya peran penting dalam tim esports. | Sumber: Esports.id

Soal literasi finansial, alasan yang sama juga berlaku. Tidak semua organisasi esports punya biaya — atau mau mengeluarkan biaya — untuk membayar ahli finansial demi mengedukasi para atletnya tentang perencanaan finansial jangka panjang. Apalagi karena literasi finansial tidak memberikan dampak langsung pada performa pemain.

Memang, dalam dunia kerja, pekerja yang setia tidak hanya lebih produktif, tapi juga memberikan pelayanan yang lebih baik. Hal ini akan berujung pada kepuasan konsumen, dan berakhir pada meningkatnya pendapatan perusahaan. Jadi, perusahaan memang punya kepentingan untuk membuat para karyawannya puas dengan kondisi kerja mereka. Dan salah satu cara untuk membuat karyawan menjadi betah bekerja di sebuah perusahaan adalah dengan memberikan benefit ekstra — termasuk kesempatan untuk belajar hal baru. Sayangnya, kondisi di dunia esports — khususnya terkait pemain profesional — agak berbeda. Pasalnya, karir pemain profesional sangat singkat.

Menurut Esports Lane, rata-rata, karir seorang pemain esports hanya bertahan selama sekitar 4-5 tahun. Hal itu berarti, sebuah organisasi esports tidak punya urgensi untuk mempertahankan atlet esports dalam waktu lama, berbeda dengan perusahaan konvensional yang bisa mempekerjakan seseorang hingga belasan atau bahkan puluhan tahun. Karena itu, tidak aneh jika organisasi esports tak terlalu memusingkan soal benefit yang bisa mereka berikan pada para pemainnya.

 

Durasi Liga Esports dan Kontrak yang Singkat

Esports memang sering dibandingkan dengan olahraga tradisional. Competitive gaming bahkan kini mulai dianggap sebagai olahraga dan dimasukkan ke dalam berbagai event olahraga besar, seperti Asia Games dan SEA Games. Meskipun begitu, esports tetap punya beberapa perbedaan dengan olahraga tradisional. Salah satunya adalah game, yang menjadi media pertandingan dalam esports, merupakan produk komersil. Hal itu berarti, popularitas skena esports dari sebuah game bisa memberikan dampak langsung pada pemasukan publisher. Sebagai ilustrasi, FIFA tidak akan mendapatkan untung apapun jika jumlah pemain sepak bola amatir bertambah. Namun, jika jumlah pemain Rainbow Six: Siege naik, maka hal ini bisa memberikan dampak langsung pada pemasukan Ubisoft.

Hal lain yang membedakan antara esports dan olahraga adalah game esports punya risiko menjadi dead game. Umur rata-rata penonton sepak bola terus naik. Namun, tidak ada berita yang menyebutkan bahwa “sepak bola akan mati!” Lain halnya dengan game esports. Bahkan game yang skena esports-nya sudah tumbuh besar sekalipun, seperti Dota 2, pernah diduga akan menjadi dead game. Ekosistem Dota 2 di Indonesia pun sudah kering kerontang. Dua perbedaan antara esports dan olahraga ini membuat penyelenggaraan kompetisi esports menjadi agak berbeda dari pertandingan olahraga tradisional, misalnya dalam hal frekuensi dan durasi kompetisi.

Dalam setahun, kompetisi esports biasanya diadakan dua kali; spring split dan fall split atau summer split dan winter split. Sementara kompetisi olahraga tradisional, seperti sepak bola, biasanya hanya diadakan satu tahun sekali. Selain itu, durasi kompetisi esports juga jauh lebih pendek. Free Fire Master League Season III berlangsung selama 5 minggu, sejak 16 Januari 2021 sampai 20-21 Februari 2021. Sementara regular season dari Mobile Legends Professional League berlangsung selama 8 minggu sebelum memasuki babak playoff, yang biasanya berlangsung selama 3 hari. Sebagai perbandingan, Liga Inggris dimulai pada bulan Agustus dan berakhir pada bulan Mei di tahun berikutnya. Hal itu berarti, Liga Inggris berlangsung selama sekitar 10 bulan.

Free Fire Master League Season 3 hanya berlangsung selama 5 minggu.
Free Fire Master League Season 3 hanya berlangsung selama 5 minggu.

Pendeknya durasi liga esports punya pengaruh pada durasi kontrak antara pemain dan tim esports. Menurut shoutcaster Wibi “8ken” Irbawanto, rata-rata, kontrak antara pemain dan tim esports hanya berlangsung selama 3-12 bulan. Memang, ada beberapa pemain yang bisa mendapatkan kontrak hingga 2 tahun. Namun, jika kontrak punya durasi lebih dari 2 tahun, hal itu sudah dianggap sebagai “taruhan besar” oleh sebuah organisasi esports. Sementara itu, rata-rata durasi kontrak pemain sepak bola adalah 3-5 tahun.

Umur karir yang singkat dan frekuensi penyelenggaraan turnamen yang tinggi; 2 hal ini tampaknya merupakan faktor mengapa para pemain esports tidak segan untuk pindah dari satu tim ke tim lain dalam waktu singkat. Dan hal itu sah saja. Pindah ke perusahaan lain memang merupakan salah satu cara untuk bisa menaikkan gaji seseorang. Jadi, wajar saja jika seorang pemain memutuskan untuk pindah ke tim lain demi mendapatkan gaji yang lebih besar atau benefit yang lebih baik.

Selain itu, organisasi esports juga tidak segan untuk mengeluarkan seorang pemain atau membubarkan tim jika performa sang pemain atau tim itu dianggap tidak memuaskan. Dalam hal ini, organisasi esports juga tidak bisa disalahkan. Pasalnya, sponsorship masih menjadi kontributor terbesar dalam pemasukan organisasi esports. Dan mendapatkan fans sebanyak-banyaknya merupakan salah satu cara untuk menarik sponsor. Untuk bisa memenangkan hati fans, sebuah organisasi esports juga harus bisa unjuk gigi.

Regenerasi pemain memang penting. Namun, jika organisasi esports terus mengganti roster pemainnya, hal ini juga akan menyebabkan masalah tersendiri. Misalnya, para pemain harus kembali menyesuaikan diri dengan ritme dan gaya bermain sang pemain baru. Sementara jika sebuah organisasi esports merekrut tim yang sama sekali baru, maka mereka harus melatih para pemain dari nol. Bagi para pemain profesional, berganti tim juga punya risiko sendiri. Tak bisa dipungkiri, chemistry antar pemain juga berpengaruh pada performa sebuah tim. Dalam sepak bola pun, bukan hal yang aneh melihat seorang striker mendadak tak bisa mencetak gol karena berganti tim.

 

Ekosistem Esports yang Sehat, Tanggung Jawab Siapa?

Publisher menjadi salah satu pihak yang paling bertanggung jawab dalam memastikan ekosistem esports dari game-nya tidak hanya berkembang, tapi juga tumbuh dengan sehat. Alasannya, publisher memegang wewenang paling besar atas sebuah game dan ekosistem esports dari game itu. Misalnya, Activision Blizzard bisa menentukan gaji minimum untuk para pemain yang berlaga di Overwatch League. Sementara itu, Riot Games bisa memutuskan soal penggunaan sistem franchise pada liga League of Legends. Dengan kata lain, publisher hampir punya kuasa penuh dalam menentukan bagaimana cara mereka menyelenggarakan kompetisi esports.

Activision Blizzard menentukan gaji minimum pemain Overwatch League.
Activision Blizzard menentukan gaji minimum pemain Overwatch League.

Mengingat singkatnya durasi liga esports menjadi salah satu faktor mengapa roster tim esports cepat berubah, salah satu hal yang bisa publisher lakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memperpanjang durasi liga esports. Dengan begitu, baik tim maupun atlet esports bisa punya waktu yang lebih panjang untuk membuat rencana. Meskipun begitu, hal ini bisa jadi memunculkan masalah baru, seperti penurunan penonton, yang pasti bakal berdampak ke pemasukan. Pasalnya, target penonton kompetisi esports adalah generasi milenial dan gen Z, yang sering disebut punya attention span singkat. Jadi, mengadakan liga esports yang lebih panjang justru bisa membuat para penonton menjadi bosan.

Sebagai bagian dari industri esports, pemain dan organisasi esports tentunya juga punya peran sendiri dalam memastikan ekosistem esports tumbuh dengan sehat. Salah satu kewajiban organisasi esports adalah memberikan kompensasi — gaji dan benefit — yang memadai untuk para pemainnya. Memang, organisasi esports bukanlah badan amal yang harus menyiapkan segala sesuatu untuk menjamin masa depan para atletnya bahkan setelah pensiun. Meskipun begitu, jika mereka tetap ingin memberikan literasi finansial tanpa mengeluarkan dana ekstra, mereka bisa menjalin kerja sama dengan institusi keuangan.

Saat ini, semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk masuk ke dunia esports, tak terkecuali bank dan asuransi. Jika organisasi esports tetap ingin memberikan asuransi tapi terkendala masalah biaya, mereka bisa menggandeng institusi keuangan sebagai rekan. Hal ini telah dilakukan oleh T1. Pada Juli 2020, mereka bekerja sama dengan Hana Bank. Melalui kerja sama ini, para pemain T1 mendapatkan asuransi dan layanan finansial dari Hana Bank. Sebagai gantinya, T1 akan mempromosikan aplikasi dari Hana Bank dan membantu bank itu untuk mengembangkan produk finansial untuk fans esports.

Kerja sama antara T1 dan Hana Bank.
Kerja sama antara T1 dan Hana Bank.

Tak hanya edukasi, organisasi esports juga bisa membantu para pemainnya yang telah pensiun dengan cara lain. Contohnya, dengan menawarkan pekerjaan lain pasca pensiun dari pro playerCEO RRQ, Andrian Pauline alias AP pernah mengungkap bahwa pemain RRQ yang sudah pensiun bisa melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan anak MidPlaza Holding, yang merupakan induk dari RRQ. EVOS Esports juga sudah melakukan hal yang sama. Pada akhir Februari 2021, EVOS menunjuk Stefan Chong sebagai Business Development Lead untuk kawasan Singapura. Di Korea Selatan, kesetiaan Lee “Faker” Sang-hyeok pada T1 berbuah manis. Pada Februari 2020, T1 tidak hanya memperpanjang kontrak dengan pemain League of Legends itu. Faker bahkan mendapatkan sebagian saham dari organisasi esports tersebut.

Jika dibandingkan dengan publisher dan organisasi esports, pemain profesional memang terlihat sebagai pihak dengan bargaining power paling kecil. Namun, hal itu bukan berarti para atlet esports harsu pasrah begitu saja menerima keadaan. Salah satu hal yang pemain profesional bisa lakukan sebagai ancang-ancang sebelum pensiun adalah mempelajari kemampuan baru. Jadi, begitu karirnya selesai, dia tidak kebingungan untuk mencari pekerjaan baru. Selain itu, seorang pemain esports juga bisa banting setir ke bisnis. Karena itulah, literasi finansial penting bagi para pemain profesional.

Satu hal yang pasti, bagaimana kehidupan pemain profesional setelah karirnya selesai akan tergantung pada dirinya sendiri. Memang, organisasi esports bisa membantu dengan memberikan edukasi literasi keuangan atau menawarkan posisi manajemen. Walaupun begitu, pada akhirnya, sang pemainlah yang mengambil keputusan tentang rencananya di masa depan.

 

Penutup

Pada akhirnya, kontrak kerja punya konsep yang sama dengan kontrak jual-beli. Akad jual-beli hanya akan terjadi jika penjual dan pembeli setuju bahwa harga yang dibayar pembeli sesuai dengan nilai dari barang atau layanan yang dijual. Begitu juga dengan kontrak kerja. Seorang pekerja bersedia untuk memberikan tenaga dan waktunya demi perusahaan asal dia mendapatkan kompensasi yang cukup. Saya rasa, konsep ini juga berlaku di dunia esports. Hanya saja, umur para pemain esports memang jauh lebih muda dari karyawan perusahaan. Jadi, pengalaman mereka terkait dunia kerja mungkin masih minim.

Idealnya, organisasi esports tidak hanya menjaga kesehatan pemainnya, tapi juga mengajari pemainnya tentang bagaimana bersikap profesional. Lebih baik lagi jika mereka membantu para atletnya untuk mempersiapkan masa depan mereka. Walaupun begitu, pada akhirnya, tanggung jawab akan masa depan seorang pemain profesional ada di tangan sang atlet esports sendiri.

Wild Rift Esports in the Indonesian Esports Ecosystem: Players’ Views, Challenges, and Expectations

League of Legends: Wild Rift, which launched its beta phase in September 2020, has been hyped up in the gaming community for quite a while now. Furthermore, to Indonesia’s local esports ecosystem, Riot Games’ reputation as an esports company instils the belief that the game will have a promising future. Players who have failed in going pro in other MOBAs immediately grind their way to the top to attract future pro teams. Many fans simply can’t wait to see the future of Wild Rift esports. A few esports organizations also took this early bird opportunity and began recruiting players and establishing their roster.

After the beta release and running Wild Rift SEA Pentaboom title, what will be the next step for Riot in Wild Rift? Players, fans, esports organizations, and even I will continuously be curious about Wild Rift’s esports plans.

Therefore, let us investigate the extent of the development of Wild Rift esports in the local ecosystem so far. What are actions that local esports organizations are executing and planning to do with Wild Rift? What are the appropriate steps that Riot Games should take for Wild Rift’s esports in the future? Let’s try to answer these questions one at a time.

 

Regional Beta and Wild Rift Pentaboom (Development from the aspect of the game)

From investigating Wild Rift’s three-month journey since its release, we can say that they have been rapidly developing. The number of Champions has been growing consistently. Patches are also continuously released to improve and balance the game.

Riot Games is also slowly releasing Wild Rift in various other countries after the first regional beta in 7 Southeast Asian countries (including Indonesia) last October 2020. However, during the three months of its development, the game had one missing feature desired by many players: Spectator Mode.

Without this feature, the stretch of Wild Rift esports in the first few months of its release has been slightly hindered. Even though players can create a custom room, the community cannot broadcast Wild Rift matches to the public because there is no Spectator Mode.

However, several organizers from the Wild Rift community are still determined to broadcast Wild Rift tournaments. One of them is a content creator called Assassin Dave. He still organizes Wild Rift Asia Brawl even though he has to accept the limitations of the absence of spectator mode. Of course, Assassin Dave went through a lot of technical challenges to make all the broadcasting possible without spectator mode.

Tournaments initiated by Riot Games also experienced similar difficulties. Wild Rift Pentaboom, for example, also uses a similar viewing method by requiring players to stream their smartphone screens. Despite being able to broadcast matches and inviting many well-known streamer figures in the MOBA scene, the tournament is not very enjoyable to watch due to its limitations that it experiences.

Fortunately, Riot Games recognized the problem and soon responded. Riot Games announced patch 2.1 on February 1, 2021 yesterday. The patch finally provided several desired features from the Wild Rift community, including Spectator Mode. In addition, the patch also contained several regular contents such as new champions, skins, and balancing.

 

The State of the Wild Rift’s Esports Ecosystem in Indonesia 

Let’s now discuss the interest of Wild Rift in the local esports ecosystem. This discussion was important because of the presence of several well-known teams and the increase of fans’ interest in watching esports matches.

In discussing Wild Rift in the local context, four major Indonesian esports teams need to be highlighted. The teams are EVOS Esports, Bigetron Esports, BOOM Esports, and Alter Ego. I will explain why I chose these particular teams later. In addition, I also interviewed a representative from Yamisok as one of the third-party tournament organizers who have held the Wild Rift tournament in the past 2 months.

The first to be discussed is EVOS Esports. We actually have not seen the blue tiger making any moves towards Wild Rift esports. They have not held an open recruitment, let alone a roster announcement. However, their fans really hope that EVOS Esports will join the Wild Rift community in the future, especially after the AOV roster (Wirraw, Pokka, Carraway, and friends) were seen playing Wild Rift several times.

Aldean Tegar Gemilang, as Head of Esports EVOS, was my source in answering the questions regarding the team’s interest in Wild Rift. In general, Aldean said that EVOS Esports is still “waiting and observing” the whole Wild Rift esports scene play out. This strategy is quite reasonable considering that the Wild Rift ecosystem is not yet fully developed, and the game is still in its beta phase.

Sumber Gambar - YouTube Channel
Aldean Tegar, Head of Esports of EVOS Esports. Credits: YouTube Channel Jonathan Liandi.

“Honestly, we haven’t had any plans to enter the Wild Rift. We tend to observe beforehand how Wild Rift will develop in the Indonesian esports scene. If the game will have a big impact on the scene and has a promising ecosystem, we will then start diving into the game.” Aldean says.

Out of curiosity, I also asked about the possibility of the AOV roster being the pioneer of Wild Rift EVOS Esports. If the speculation is correct, then Wild Rift esports will certainly be even more exciting due to the outstanding achievements that EVOS’s AOV roster has accumulated in the past. However, Aldean said, “We still have no comment regarding this matter. The answer could be yes or no.”

Next up is Bigetron Esports. The red and white robot is the leading esports organization in the Wild Rift scene thus far. They are the first team to have a Wild Rift division in Indonesia. Their roster is also quite promising as it features former professional League of Legends PC players, such as Rully “Nuts” Sutanto.

Thomas Vetra, as Head of Esports Bigetron, is my source in examining the team’s journey in the Wild Rift scene. “We had participated in an Asian level tournament called Wild Rift Asia Brawl. We admit that the results have been considered as less than optimal.” So far, Bigetron Infinity (the name of Bigetron Esports’ Wild Rift division) has successfully passed the Wild Rift Asia Brawl group phase and is competing in the Playoff round.

Thomas Vetra, Head of Esports Bigetron. Sumber Gambar - Bigetron Esports.
Thomas Vetra, Head of Esports from Bigetron Esports. Credits: Bigetron Esports.

Because Bigetron Esports was incredibly quick to announce their Wild Rift division, I became curious about the team’s activity and their management’s view regarding this decision.

“When it comes to activities, our players are currently obliged to practice at the gaming house because most players are retirees from the last generation of esports League of Legends. When it comes to tournaments, it is not easy to find competitors to match our Wild Rift team, from what I have noticed so far. I think that investing in a premature esports ecosystem is considered a big investment instead of a loss. Moreover, I personally also feel that Wild Rift has a big opportunity in the Asian market and other regions.” Thomas said.

Next is BOOM Esports. The team with the jargon #HungryBeast has just recently announced the Wild Rift roster. BOOM Esports also plans to present the documentation of their roster selection process. BOOM Esports screened more than 3000 registrants. With insights from Leonard “OMO”, a League of Legends coach in Asia, BOOM Esports selected 5 talented young players and announced their roster on February 1, 2021 yesterday.

To investigate BOOM Esports’ decision in jumping into the Wild Rift esports scene, I interviewed Gary Ongko, Founder and CEO of BOOM Esports.

Gary Ongko Putera, Owner dan CEO dari BOOM Esports. Sumber Gambar - YouTube Channel HybridIDN.
Gary Ongko Putera, Owner and CEO of BOOM Esports. Credits: HybridIDN

“We strongly feel that League of Legends is a franchise that has a good reputation in the esports ecosystem. We can also observe how mobile MOBAs are doing very well in Indonesia. With these two reasons, we feel that Wild Rift has high hopes of achieving similar or even greater success than its counterparts.” Said Gary Ongko to me.

Gary Ongko then also talked about the selection process carried out by BOOM Esports, which lasted for about two months.

“Talking about recruitment, we are very fortunate to be assisted by the coach OMO who has profound knowledge in League of Legends. Thanks to him, we are able to select very talented players. Our players are still relatively new, but I feel they have great potential. Their scrim results are also excellent, and they have a high motivation to improve and learn, which is crucial for becoming a successful pro player.” Gary discusses the selected players from more than 3000 contestants.

“When talking about challenges, one of the difficult problems that we face is finding qualified people from the LoL scene. The reason behind this problem is that the game is relatively undeveloped in the Indonesian esports ecosystem. Therefore, it was difficult to hire experts in the game until finally, we decided to recruit OMO (LoL trainer from Singapore). The current pandemic situation also poses another challenge. At first, we planned to do a boot camp during the selection phase. However, due to the pandemic, we were forced to perform our screening online. ” Gary continues his story discussing the challenges he faced when building the roster.

Finally, there is Alter Ego. This team is also equally important to be highlighted because they, and ONIC Esports, have just received a direct invitation to compete in the inaugural Riot Games official Wild Rift tournament: Wild Rift SEA Icon Series: Preseason. The invitation is quite surprising because Alter Ego doesn’t have a Wild Rift division until this moment.

In an interview I conducted a few days ago (04/02), Indra Hadiyanto, as COO and Co-Founder of Alter Ego, also spoke about the Wild Rift roster and the story of Alter Ego being invited to the Wild Rift Icon Series tournament.

“We speculated that we were invited because Riot noticed our achievements in the VALORANT pro scene, which is another one of Riot’s games. When asked why Alter Ego was invited, the developers actually have their own criteria, starting in terms of players, rank, and even interviewing the team’s management. When Riot invited us, they also explained to us (the team owners) about the roadmap of their games. ” Said Indra.

Indra Hadiyanto, COO
Indra Hadiyanto, COO and Co-Founder of Alter Ego.

Regarding the roster, Indra also explained that “Even though Alter Ego hasn’t made any announcement, they have actually signed an official roster since December 2020. Alter Ego has not gone public with their roster due to the combination of the COVID-19 pandemic situation, the renovation of our gaming house, and the condition of their Wild Rift players domiciled outside Jakarta. The five players from the roster all come from Indonesia, some of which are former League of Legends (PC) players. Our Wild Rift Division has also dominated the local competitive scene that has existed so far. One of them is the community tournament called IEC, which we managed to win on several occasions. ”

Finally, to complete my investigation of the state of the Wild Rift Indonesia’s ecosystem, I also interviewed one of the representatives of third-party tournament organizers, Putri Fauziah, the Project Manager of Yamisok. Yamisok is a technology-based esports tournament platform and regularly held tournaments despite not being able to broadcast Wild Rift due to the absence of spectator mode.

“The missing Spectator Mode feature has profoundly affected the community because tournaments can’t be broadcasted and players cannot interact. In fact, according to my experience, new games are usually crowded with viewers when they are live-streamed, especially if coupled with some giveaway event.” Putri told her experience.

Putri Fauziah, Project Manager dari Yamisok.
Putri Fauziah, Project Manager from Yamisok.

“Regarding the extent of enthusiasm in the community, I observed that the reception that the game received has been overall decent. Many players are interested in participating in the tournament. When we opened the tournament slots, players and teams immediately took their opportunity to register. If there are no tournaments within the span of a month, players will immediately start asking questions. Most of the players that participate in our tournaments are ex-LoL PC players who are currently playing Wild Rift. Perhaps this is because LoL PC tournaments are becoming rare these days. As far as my observation goes, Wild Rift does have a good impact on the ecosystem because it adds some enthusiasm and variety to the MOBA game spectrum. “Putri continued her story discussing the community’s enthusiasm.

 

All Hopes for the Wild Rift in 2021.

Closing the conversation, five of my sources also expressed their hopes for the future Wild Rift scene in 2021.

“I hope that Riot Games has a solid strategy so that the community can develop and hopefully can compete with other popular Mobile MOBAs in Indonesia. I am actually quite confident that Wild Rift will be promising in the SEA region.” Aldean Tegar from EVOS mentioned.

“I think Riot Games might be able to take advantage of League of Legends’ popularity and give big prize tournaments in the Asia region. Beyond that, I feel that Riot Games already has a solid foundation in the esports ecosystem,” said Thomas from Bigetron Esports.

“In the short term, I strongly feel that Riot Games should continue to promote Wild Rift. For the long-term future, I hope that Riot Games can provide support and constantly improve the Wild Rift esports ecosystem. From what I see from LoL and VALORANT, I’m very sure that Wild Rift will also have tremendous success. Lastly, I hope that Wild Rift will keep their high skill ceiling so we can differentiate or separate the pro players from casual players.” Said Gary Ongko.

Worlds 2019
The presence of Worlds in the League of Legends scene has become a phenomenon in itself. Credits: Riot Games

“I really hope Indonesia can dominate the international Wild Rift scene in the future. Moreover, I also notice that Riot Games provides an incredibly big opportunity for SEA players in Wild Rift.” Indra from Alter Ego added.

“Personally, I only hope that the Wild Rift ecosystem can develop well and can remain popular for a long time. I also hope Riot will keep the game light so that it is compatible for all ranges of devices.” Putri also added.

League of Legends: Wild Rift itself is still in beta status at the time of writing this article. When I spoke with the Wild Rift development team last October 2020, Brian Feeney, the Design Director of Riot Games, shared how making mobile games is an incredibly challenging process. He also mentioned that Riot Games tends to prioritize game development and takes care of the esports section in a later stage

However, since the game is still far from being finished, the conversations above suggest that the Wild Rift ecosystem will develop much faster than expected. Although, indeed, most of the esports initiatives were taken by third parties. For example, many local teams are very confident in forming rosters even though Riot Games has not clearly disclosed Wild Rift’s esports plan. Moreover, several third-party organizers are also determined to host tournaments for the community despite all the limitations they will face.

Sumber: YouTube Channel League of Legends: Wild Rift
Approximately 3 months after Wild Rift was release, it’s safe to say that the game’s development process is relatively fast. Credits: League of Legends: Wild Rift YouTube Channel

Approximately 3 months after Wild Rift was released, it’s safe to say that the game’s development process is relatively fast, especially for developers with minimal mobile game development experience such as Riot Games. Image Source – YouTube Channel League of Legends: Wild Rift

In the future, as an observer and a fan, I have the same expectations as Gary Ongko: hoping that Wild Rift will have an international-level tournament like LoL and that teams from Indonesia participate in those tournaments. But from the point of view of the ecosystem, I hope that Riot Games can learn from Tencent in managing PUBG Mobile.

Tencent’s approach in closely being inlined with the community that flows towards the pro scene could be the sole reason why PUBG Mobile has managed to take root in Indonesia. Throughout its development, we can observe how the PUBG Mobile ecosystem pays attention to its pro scene and other esports’ ecosystem.

We can take the example of tournaments such as PMCO (community level) and PMCC (University level) which are accompanied by activities such as Caster Hunt and Campus Ambassador. After all, the esports ecosystem is not just about the pros. Instead, the whole community also plays a critical role in keeping the esports ecosystem at the top-level relevant and successful.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo