Mengenal Min-Liang Tan, Berhenti Jadi Pengacara Demi Bangun Razer

Sebagai co-founder dan CEO Razer, Min-Liang Tan masuk ke dalam daftar 50 orang terkaya versi Forbes. Perusahaan yang dia pimpin sukses untuk menjual berbagai perangkat gaming, mulai dari mouse, keyboard, sampai aksesori.

Sejak dia masih muda, Tan memang senang bermain game. Sama seperti kebanyakan gamer, Tan sering kena marah oleh orangtuanya karena menghabiskan waktu terlalu lama di depan komputer. Dua saudaranya menjadi dokter sementara satu lainnya menjadi pengacara. Ini membuat Tan didorong untuk mengikuti jejak saudaranya. Faktanya, dia memang sempat menjadi seorang pengacara properti intelektual, walau pada akhirnya dia memutuskan untuk berhenti dan membangun Razer bersama Robert Krakoff.

Satu hal yang menginspirasi Tan untuk menjadikan Razer sebagai merek gaming adalah ketika dia pergi menonton turnamen esports di Korea Selatan pada 1998. Ketika itu, dia rela menginap di internet cafe alias warnet demi menghemat ongkos hotel. Di sana, dia memerhatikan peralatan yang digunakan oleh para pemain, yang membuatnya sadar bahwa bagi para pemain profesional, perangkat yang mereka gunakan memengaruhi performa mereka. Menariknya, meski Razer menyasar komunitas gamer, yang identik dengan anak muda, Tan mengatakan bahwa itu bukan berarti Razer akan menurunkan kualitas produk demi membuat produk berharga terjangkau.

“Kami fokus ke kota-kota besar tempat para pemain high-end berada,” kata Tan pada situs teknologi asal Tiongkok, 36kr. “Ketika saya membangun Razer, tujuan saya bukan untuk uang… Saya adalah seorang gamer, saya senang bermain game. Jika Anda mendesain produk untuk diri Anda sendiri, Anda akan membuat produk terbaik. Anda tidak akan mau mengorbankan kualitas, dan akan menggunakan material serta teknologi terbaik.”

Sumber: Razer.com
Razer tawarkan berbagai perangkat khusus gamer. Sumber: Razer.com

Keputusan Tan untuk menjadikan Razer sebagai merek gaming sukses memenangkan hati komunitas gamer. Ini menguntungkan Razer, terutama karena kini, industri game telah berkembang menjadi industri bernilai miliaran dollar. Sebagai produsen perangkat gaming, masuk akal jika Razer melebarkan sayap ke ranah esports dengan menjadi sponsor tim esports. Saat ini, Razer mensponsori 18 tim, termasuk Evil Geniuses, Alliance, dan Top Esports dari Tiongkok.

Kebanyakan gamer dan fans esports adalah generasi muda — generasi milenial dan generasi Z. Dan mereka adalah konsumen yang sulit untuk dijangkau oleh sebuah merek karena mereka jarang mengonsumsi media trandisional seperti televisi. “Anak-anak muda adalah segmen yang sulit dijangkau dan penting bagi Anda untuk tampil otentik agar bisa memenangkan hati milenial,” kata Tan, dikutip dari South China Morning Post.

Meskipun dia telah berumur 41 tahun, jauh lebih tua dari umur rata-rata target konsumen Razer, Tan mengaku bahwa dia masih senang bermain game. Dia juga ikut mencoba game seperti Apex Legends. Salah satu koleganya mengatakan bahwa bermain game adalah satu-satunya hobi Tan, walau, seperti yang disebutkan oleh Abascus News, tidak diketahui apakah itu hanya cara Tan untuk memenangkan target konsumen Razer atau dia memang hanya senang bermain game.

Sumber: CNN
Razer juga menjadi sponsor dari tim esports. Sumber: CNN

Walau cukup sukses di bisnis gaming, Razer tak ingin berhenti di situ. Mereka kini juga mulai masuk ke bisnis finansial dengan menyediakan Razer Gold, platform item dalam berbagai game. Menurut laporan keuangan terbaru dari Razer, platform tersebut telah digunakan oleh lebih dari 19 juta orang. Menariknya, Anda bisa mengisi dompet digital tersebut di toko di dunia nyata. Mengingat banyak anak muda di Asia Tenggara dan Amerika Latin yang tidak memiliki kartu kredit, ini akan sangat memudahkan mereka.

Saat ini, penjualan hardware gaming masih menjadi kontributor utama dalam pendapatan Razer dengan kontribusi sebesar 85 persen. Sementara layanan dan software hanya memberikan kontribusi 15 persen. Namun, pertumbuhan pendapatan dari layanan dan software terbilang cepat karena tiga tahun lalu, 99,5 persen pendapatan Razer berasal dari penjualan perangkat gaming.

Sumber header: Abascus News / Thomas Leung

Perjalanan Panjang OG Memenangkan The International Dua Kali Berturut-turut

OG telah menjadi juara Dota 2 The International 2019 (TI 9). Mereka menjadi juara setelah berhasil mengalahkan Team Liquid, dalam gelaran Grand Final yang diselenggarakan pada akhir pekan kemarin (25 Agustus 2019), di Shanghai, Tiongkok.

Tapi ini bukan kemenangan biasa. OG mencatatkan dirinya di dalam sejarah esports Dota, sebagai tim pertama yang berhasil memecahkan “kutukan”. OG adalah tim Dota 2 pertama dalam sejarah yang bisa memenangkan The International dua kali berturut-turut. Mereka juga tim asal Barat pertama yang berhasil memenangkan Dota 2 TI di tahun genap.

Tapi, kesuksesan OG yang kita lihat hari ini, merupakan sebuah jalan panjang berliku yang telah dipahat dengan susah payah oleh Johann “N0tail” Sundstein. Bagaimana OG bisa mencapai titik kesuksesan seperti ini?

Pemain Heroes of Newerth yang Berganti Haluan

Pertama kali mencoba pertaruhan di kancah kompetitif Dota 2, N0tail terhitung sebagai anak baru jika dibanding lawan-lawannya. Hal ini karena ia sebenarnya adalah pemain Heroes of Newerth untuk tim Fnatic yang berubah haluan ke Dota 2.

Rostern Fnatic ketika itu adalah, N0tail, Tal “Fly” Aizik, Adrian “Era” Kryeziu, Kai “H4nn1” Hanbückers, dan Kalle “Trixi” Saarinen. Mereka pertama kali melakukan debutnya di The International 2013.

Ketika itu ia dianggap sebagai pemain muda yang punya potensi. Namun ia tak sebersinar layaknya Sumail “SumaiL” Hassan, yang langsung menjadi juara The International pada debut pertamanya.

Sumber: Red Bull Media
Sumber: Red Bull Media

N0tail tak bisa bicara banyak saat menghadapi musuh-musuhnya. N0tail bersama Fnatic harus menerima kekalahannya saat melawan Orange Esports, tim kuat asal Malaysia yang dipimpin oleh pemain veteran, Chai “Mushi” Yee Fung.

Kegagalan demi kegagalan ia dapatkan. Ia berpindah dari satu tim ke tim lain demi mendapatkan hasil yang lebih maksimal. N0tail pernah mencoba bermain untuk Team Secret, tapi tidak berhasil. Sempat bermain untuk Cloud9 juga, tapi lagi-lagi ia kembali gagal mendapatkan Aegis of Champion. Sampai akhirnya ia memutuskan membuat tim sendiri, tim yang menurutnya ideal.

Membangun OG dengan Berbagai Momen Jatuh Bangun

Akhirnya N0tail memutuskan untuk membuat tim sendiri bersama dengan kawan bermainnya sejak dari zaman ia masih berkompetisi di kancah Heroes of Newerth bersama Fnatic, Tal “Fly” Aizik. Ia membuat tim bernama Monkey Business, yang setelah mendapatkan sponsor berganti nama menjadi OG.

N0tail bersama Fly membangun tim OG dengan membawa mindset mengutamakan pertemanan. Fly mengatakan hal ini dalam dokumenter Against the Odds“Ide besar di balik OG adalah pola pikir mengutamakan pertemanan, namun tetap dengan semangat kompetitif untuk juara.”

Maka dari itu, OG tidak mengambil pemain papan atas, melainkan mengambil pemain dengan skill yang mumpuni, namun punya mindset serupa. Roster awal OG ketika itu adalah Andreas “Cr1t” Franck Nielsen, David “MoonMeander” Tan, dan sang pub star Amer “Miracle-” Al-Barkawi.

Tak ada yang menduga dengan kekuatan tim yang satu ini pada awalnya. Namun mereka berhasil mendobrak kancah kompetitif Dota ketika itu. Saat Valve membuat satu rangkaian kompetisi bernama Major, OG merajalela hampir di semua kompetisi tersebut.

Dari tahun 2015 sampai awal tahun 2017, mereka hampir memenangkan semua Major yang diselenggarakan oleh Valve. Mulai dari Frankfurt Major 2015Manila Major 2016Boston Major 2016, sampai Kiev major 2017.

Tapi sayangnya ada satu prestasi yang tak bisa dilengkapi oleh N0tail, Fly dan kawan-kawan OG, yaitu The International. Pada The International 2016 mereka gagal dengan cukup pedih, gugur pada awal-awal fase main stage.

Pasca kejadian tersebut Fly bertahan dengan visi yang ia bawa ketika membangun OG. Fly mengungkapkan hal tersebut dalam salah satu wawancara bersama dengan Red Bull Media.

Sumber: Red Bull Media
Sumber: Red Bull Media

“Banyak tim tidak selamat dari masalah tersebut (pergantian roster). Namun demikian, beberapa dapat menyelesaikan isu tersebut, dengan saling bicara dan pada akhirnya bisa bergerak maju sebagai tim. Bagi kami, menyelesaikan masalah-masalah tersebut terbukti telah membawa kami menang di Manilla Major.” Ungkap Fly.

Tahun 2017, N0tail dan Fly kembali mencoba memperjuangkan TI, tetapi dengan roster yang berbeda, yaitu Anathan “Ana” Pham, Gustav “s4” Magnusson, Jesse “JeRax” Vainika. Sayang, lagi-lagi mereka mengalami kegagalan.

Momen TI 7 ini yang memunculkan rivalitas antara N0tail dengan Fly. Setelah berkali-kali gagal, Fly akhirnya memutuskan untuk pindah ke tim Evil Geniuses bersama dengan s4 beberapa saat jelang The International 2018.

Dengan keadaan tim yang tercerai berai, OG harus mengulang kembali kisah perjuangan menjadi tim kuda hitam di TI 8.

Gabungan Talenta, Strategi, dan Kepercayaan Sesama Tim

N0tail agaknya masih mempertahankan nilai kepercayaan di dalam membangun sebuah tim. Ia lebih mengutamakan kesamaan mindset ketimbang sekadar mengambil pemain yang sudah terbukti kemampuannya.

Ini mungkin bisa dibilang jadi salah satu alasan terbentuknya roster OG untuk TI 8 yang dipertahankan sampai TI 9. Mereka mengambil Topias Mikka “Topson” Taavitsainen, menarik kembali Ana, dan memainkan sang pelatih, Sebastien “Ceb” Debs.

Banyak yang tidak percaya dengan roster ini, tapi N0tail percaya. Soal memainkan Ceb, N0tail sempat membicarakannya dalam sebuah wawancara dengan VPEsports. Ketika itu tak hanya mengakui Ceb sebagai pelatih yang luar biasa, dan tapi juga sebagai salah satu pemain dengan kemampuan mekanik yang sangat baik.

Sumber: Twitter @dota2ti
Sumber: Twitter @dota2ti

Begitu juga dengan Topson. Ia sempat malang melintang di berbagai kompetisi online, yang daftarnya mungkin akan terlalu panjang jika harus semuuanya dituliskan di sini. Pengalaman terbesarnya main di panggung adalah saat ia beratnding di WESG Global Grand Finals dengan tim Finlandia. Meski TI tetap belum masuk dalam pengalamannya, namun N0tail tetap percaya.

Dengan roster “seadanya” mereka secara mengejutkan berhasil memenangkan TI 8. Tetapi itu tidak serta-merta hanya karena mereka jago bermain. Ini yang sebenarnya menarik untuk dibahas, yang mana unsur coaching dan mental menjadi faktor terpenting atas kemenangan OG di The International 2018, dan mengulangnya di The International 2019.

Ketika Aspek Psikologis Membawa OG Menang The International Dua Kali

Sebagai tim yang percaya untuk menyelesaikan masalah ketimbang mengganti roster, OG benar-benar menempatkan jerih-payahnya untuk mencapai hal tersebut. Buktinya sudah jelas, OG bisa menang dua kali TI dengan roster yang sama persis.

Sebastien “Ceb” Deb sempat membicarakan ini tahun 2018 lalu dalam wawancara yang cukup panjang dengan VPEsports. Mengingat Ceb juga sempat melatih OG untuk beberapa saat, ia cerita juga soal proses coaching yang ia lakukan.

Menariknya Ceb mengatakan, bahwa menganalisis game sebenarnya hanya satu hal kecil yang bisa dilakukan coach di dalam sebuah pertandingan. “Lebih soal bagaimana Anda menyampaikan informasi ini kepada rekan satu tim.” Ceb melanjutkan.

Sumber: Twitter @dota2ti
Sumber: Twitter @dota2ti

“Bagian mental adalah hal yang sangat penting sekali, karena ketika pemain tertekan di antara permainan, mereka sebenarnya berada di bawah tekanan yang sangat berat. Anggaplah kita membicarakan pertandingan winner bracket di antara game satu dengan game dua di The International. Saat itu anda hanya punya waktu 30 detik. Dengan waktu tersebut, Anda bisa membuat rekan satu tim Anda jadi dua kali lebih kuat atau Anda bisa membuat mereka jadi hancur ketika akan memasuki permainan” Ceb memperjelas.

Ceb sebenarnya punya kemampuan memahami permainan, tapi seperti yang dijelaskan, itu saja tidak cukup. Melatih tim selama kurang lebih dua tahun, akhirnya memaksa Ceb belajar memahami mood dan aspek psikologis kawan-kawannya; walau pada TI 8  Ceb akhirnya turun ke pertarungan dan menjadi pemain.

“Namun jika harus jujur, sebuah tim sebenarnya butuh setidaknya dua orang coach. Satu adalah technical coach, satunya adalah pelatih yang bisa dibilang psychological coach. Menjadikan satu orang untuk melakukan keduanya adalah hal yang menurut saya sangat merugikan.” Ceb menjelaskan.

Pada TI 8 bisa dibilang peran technical coach dijalankan oleh Ppasarel, seorang pemain Dota veteran sejak zaman Defense of the Ancient. Sementara peran pshychological coach, mungkin bisa dibilang dijalankan oleh Ceb dan N0tail sebagai sosok yang lebih dewasa di banding dengan rekan satu tim lainnya.

Formula tersebut berhasil membuat OG berubah total, dari tim yang tercerai berai sesaat sebelum Dota TI, menjadi tim yang menjuarai kompetisi esports dengan hadiah terbesar di dunia. Bagaimana dengan tahun ini?

Akhirnya OG bisa mewujudkan apa yang dikatakan Ceb, menghadirkan technical coach dan psychological coach. Dari sisi technical coach, ada Titouan “Sockshka” Merloz, pemain Dota asal Perancis yang juga punya pengalaman panjang di kancah kompetitif Dota.

Dari sisi psychological coach yang sebenarnya membuat OG jadi menarik. Ada Mia Stellberg, seorang psikolog yang punya banyak pengalaman melatih mental atlet maupun atlet esports.

Sebagai sports psychologist, Mia sempat menjadi pelatih dalam mempersiapkan atlet untuk Olimpiade. Sebagai esports psychologist, bisa dibilang pelatih ini punya kemampuan menghancurkan “kutukan” di esports, sebagai salah satu keahlian dalam portfolionya.

Ia menjadi bagian dari sejarah saat tim Astralis berhasil mematahkan “kutukan” kancah CS:GO di tahun 2017. Pada masa itu Astralis terkenal sebagai tim yang bermain dengan baik di fase grup, namun jadi hancur berantakan saat menghadapi tekanan mental, dan selalu berakhir gagal menjadi juara.

Dengan bantuan Mia, Astralis keluar sebagai juara ELEAGUE Major: Atlanta 2017. Mereka berhasil mematahkan “kutukan” bahkan melanjutkan tradisi juara mereka sampai tahun ini.

Bersama OG, Mia seakan kembali menjadi penawar atas kutukan-kutukan yang selama ini terjadi di esports, termasuk Dota 2. Dalam sebuah wawancara bersama VPEsports, Mia sedikit bercerita soal perannya dalam membantu OG.

Ia kembali menekankan soal bagaimana masing-masing pemain memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, yang dapat berubah dan berevolusi. “Menurut saya, sebagai seorang esports psychologist, tugas saya adalah menstabilkan hasil yang akan mereka dapatkan dan membuat aksi mereka jadi lebih bisa diprediksi.” Mia menjelaskan perannya.

Topson juga menceritakan perjuangan dari sisinya. Walau semua terlihat sangat mudah bagi OG untuk The International 2019, namun nyatanya perjuangan tidak semudah itu bagi mereka. “Perjuangan kami sulit, jujur ada masalah motivasi yang kami alami dan itu menjadi sangat berat. Performa kami tidak maksimal pada beberapa kompetisi, tetapi semakin dekat dengan TI, motivasi kami kembali, dan ya inilah kami.” ucap Topson.

Dia juga menceritakan bagaimana kehadiran Mia benar-benar sangat membantu perjuangan OG selama perjuangannya di TI 9. Tapi Mia juga kembali menambahkan, bahwa sebagian besar kemenangan OG di The International 2019 adalah karena mereka sendiri.

“Orang-orang bisa saja mengatakan sesuatu hal soal apa yang bisa atau tidak bisa Anda lakukan. Tetapi tergantung kepada Anda untuk mendengarkannya atau tidak. Pemain-pemain OG tidak mendengarkan komentar orang lain tentang mereka. Mereka melakukan apapun yang mereka mau, mereka independen, pintar, dan tidak terkena dampak dari hal-hal klise (kutukan memenangkan TI dua kali berturut-turut) dunia esports yang diucapkan oleh orang-orang.” Mia menjelaskan.

Perjuangan OG menjadi juara The International sebanyak dua kali berturut-turut tak hanya menorehkan sejarah, tapi juga meninggalkan banyak hal yang bisa kita pelajari.

Apapun sudut pandang kita terhadap jalan yang ditempuh seseorang menjadi sukses, nyatanya proses seseorang atau suatu tim untuk menjadi juara itu tak pernah mudah dan tak boleh sekalipun diremehkan.

Dari Komunitas ke Profesional – Perjalanan DRivals Membina Tekken di Indonesia

Fighting game merupakan salah satu genre esports tertua di dunia, bahkan mungkin yang tertua. Semenjak Street Fighter II: The World Warrior muncul pada tahun 1991, para pemain fighting game sudah lazim mengadakan kompetisi di pusat-pusat arcade meskipun skalanya tentu tidak begitu besar. Ajang fighting game terbesar dunia, Evolution Champion Series (EVO), awalnya pun hanya kompetisi kecil-kecilan antar komunitas. Tapi lihat sekarang, EVO telah menjadi sebuah festival akbar yang melibatkan sponsor-sponsor besar industri game.

Tradisi grassroot di dunia fighting game selalu menciptakan kisah-kisah menarik dalam perjalanannya. Begitu pula di Indonesia. Contohnya perjalanan tim DRivals yang saat ini dikenal memiliki pemain-pemain Tekken yang hebat, bahkan salah satunya menjadi pemain timnas untuk SEA Games 2019. Hybrid berbincang-bincang dengan leader DRivals, Jovian Yoe Cobus alias Cobus, untuk mengenal lebih jauh bagaimana tim ini dibentuk hingga menjadi seperti sekarang. Simak pemaparannya di bawah.

Tim muda yang punya karya

Sebetulnya DRivals adalah tim yang usianya masih tergolong muda. Bermula sebagai komunitas biasa, DRivals didirikan pada tahun 2018 oleh dua pemain yaitu saudara kembar Aldi (NoDrop) dan Aldo (Jackbosstin). “Nama DRivals awalnya dari PSN ID mereka saja, terus temen-temen pada ikutin pake tag pas turnamen,” kata Jovian. Di dunia fighting game memang lazim ditemui penambahan nama tim di depan nama pemain untuk menunjukkan keanggotaan. Contohnya pemain bernama Jackbosstin dari tim DRivals, dalam turnamen akan ditulis sebagai DRivals | Jackbosstin.

Jovian bercerita, “Mungkin DRivals itu kayak pelopor tim Tekken di Indonesia sih. Sebelumnya ga ada yang pakai tim paling, tapi sejak DRivals pakai nick tag team di turnamen jadi banyak muncul-muncul tim/dojo/klan lah ya sebutnya di turnamen Tekken. Contoh kayak tim UWU, WIF, Chaos, Myth, dan lain-lain.”

DRivals - Technofest
DRivals di ajang Technofest 2018 | Sumber: Dokumentasi DRivals

Reputasi DRivals di kancah Tekken Indonesia semakin meningkat ketika kedatangan tiga orang yang menamakan diri mereka tim Palem Rangers. Mereka adalah Javier (Ayase), Anthony (TJ), serta Jovian (Cobus) yang semuanya lebih berpengalaman dalam bermain Tekken dibanding anggota-anggota awal DRivals.

Tim Palem Rangers sendiri sebetulnya memiliki anggota-anggota lain, namun sayangnya di era Tekken 7 kebanyakan sudah tidak aktif. Jadi peleburan dua tim ini memberi banyak manfaat bagi DRivals karena mereka bisa meningkatkan skill dengan bantuan anggota yang lebih senior.

Terbukti, sejak bergabung dengan Tim Palem Rangers, reputasi DRivals semakin menanjak karena nama mereka sering muncul sebagai juara. Reputasi ini tidak hanya didapat oleh pemain-pemain seniornya. Pemain-pemain lainnya pun terus berlatih dan meningkatkan skill sehingga banyak meraih prestasi.

Deretan pencapaian tim DRivals antara lain:

Tumbuh bersama ekosistem Tekken lokal

Franchise Tekken di Indonesia sudah terkenal bahkan sejak zaman Tekken 2 di PS1 dulu. Namun begitu Tekken 7 dirilis untuk console dan PC pada pertengahan 2017 lalu, popularitas Tekken di negara kita ini mendadak mengalami ledakan hebat. Tekken 7 sekarang menjadi judul fighting game yang paling ramai peminat, bukan hanya di ranah kasual tapi juga di dunia kompetitifnya di berbagai penjuru Nusantara.

DRivals - ESL Indonesia Championship
DRivals di ESL Indonesia Championship | Sumber: Dokumentasi DRivals

“Kalau menurut saya sih sekarang lagi berkembang banget ya. Emang ga bisa dipungkiri Tekken massanya paling banyak dibanding FGC (fighting game community) lain, seperti Pak Bram dari Advance Guard juga bilang gitu,” ujar Jovian, “Kalau Tekken pesertanya 100, mungkin game lain hanya 20 udah susah kumpulnya.”

DRivals pun demikian, mengalami peningkatan yang sangat pesat dalam waktu kurang dari setahun saja. Sebelumnya DRivals sama sekali bukan tim unggulan di turnamen karena notabene anggotanya adalah newcomer. Tapi dengan banyak melakukan gathering, latihan, hingga streaming, tim ini bisa menunjukkan performa yang terus membaik.

Saat ini kegiatan DRivals yang paling utama adalah streaming sekaligus latihan. Mereka membuat jadwal streaming tiap hari Selasa untuk Tekken 7 versi Steam, dan Kamis untuk PS4. Selain itu mereka kerap berkumpul untuk berlatih bersama di rumah NoDrop dan Jackbosstin saat akhir pekan, ditambah berkumpul di Hybrid Dojo baik untuk gathering ataupun turnamen kasual. DRivals juga aktif menciptakan konten di channel YouTube DRivals on Air, baik itu berupa streaming, challenge, analisis pertandingan, talk show, dan lain-lain.

Selama kurang lebih satu tahun perjalanannya, DRivals pun sudah mengalami datang dan perginya anggota tim. Kini DRivals memiliki anggota sebanyak 9 pemain, yaitu:

  1. DRivals | TJ
  2. DRivals | Ayase
  3. DRivals | Cobus
  4. DRivals | NoDrop
  5. DRivals | Jackbosstin
  6. DRivals | Kids
  7. DRivals | RTM
  8. DRivals | Adnairoon
  9. DRivals | Retardo

Dari komunitas ke profesional

Tokopedia IENC 2019 menjadi titik awal baru bagi DRivals yang saat ini tengah berevolusi dari tim biasa menjadi tim profesional. Jovian berkata, “Setelah momen juara TJ dan Ayase di IENC 2019 dan mewakilkan Indonesia ke SEA Games maka kami memutuskan untuk lebih serius di dalam scene Tekken 7, dan memutuskan untuk menjadi tim profesional dengan mencari sponsor dengan tujuan untuk lebih bisa mengharumkan nama Indonesia terutama di luar negeri.”

Menariknya, TJ dan Ayase sempat mendapat tawaran untuk bergabung dengan tim esports lain. Namun mereka lebih ingin tetap membawa bendera DRivals, dan justru ingin mencari sponsor untuk seluruh tim (bukan perorangan) supaya tim ini bisa berdiri sendiri sebagai tim esports profesional. “Sekarang kami sudah menjalin kerja sama dengan beberapa pihak, salah satunya yaitu Hybrid.co.id sebagai media partner kami,” kata Jovian.

DRivals - Tokopedia IENC
Top 3 Tokopedia IENC diisi 2 pemain DRivals | Sumber: Dokumentasi DRivals

Dengan begitu banyak pencapaian yang telah diraih, patut diakui bahwa TJ adalah pemain terkuat DRivals saat ini. Tapi uniknya TJ justru mengaku termasuk jarang berlatih, dalam artian jam bermainnya relatif rendah dibandingkan anggota-anggota lainnya. TJ lebih banyak menghabiskan waktu untuk menganalisis pertandingan-pertandingan di luar negeri dan cara bermain para pro player.

“Dia lebih banyak belajar di sana sih, dan emang mental turnamen dia sudah bagus karena sering juara,” papar Jovian. “Dia juga sempat ngalahin Meat satu kali di Winners Bracket (Tokopedia IENC 2019), yang di mana itu adalah kekalahan 1 set pertama Meat selama di turnamen Indonesia, yang bikin Meat harus ke Losers Bracket berjuang dari sana dan akhirnya ketemu TJ lagi Grand Final dia menang dan juara 1.”

Sebagai bagian dari pelatnas SEA Games 2019, Meat dan TJ sempat dijadwalkan bertandang ke Malaysia untuk mengikuti turnamen Tekken World Tour (TWT) di FV Cup 2019. Namun sayangnya TJ batal berangkat karena satu dan lain hal. Sementara Meat sempat meraih kemenangan di sana namun terhenti sebelum maju ke babak Top 32. Nantinya mereka juga direncanakan berpartisipasi di TWT Rev Major (Filipina) pada bulan September, TWT Tokyo Masters (Jepang) di bulan Oktober, hingga puncaknya di bulan November – Desember yaitu SEA Games 2019.

Jovian sebagai leader tim DRivals ingin SEA Games ini bisa menjadi momen yang mendongkrak popularitas fighting game agar bisa menyaingi cabang-cabang esports lain, seperti Mobile Legends atau PUBG. Ia percaya bahwa potensi esports di Indonesia sangat besar—baik di fighting game atau di genre lainnya. Langkah pemerintah untuk mendukung esports di SEA Games memang sudah bagus, tapi tentunya masih ada hal-hal yang dapat diperbaiki.

“Harapan saya sih untuk DRivals yah terus berlatih sih ya, sama berkembang karena ekosistem kompetitif di Tekken 7 ini sangat ketat. Lawan juga tambah kuat dari waktu ke waktu. Dan kalau bisa semua nyusul skill TJ supaya bisa ganti-gantian wakilin Indonesia baik individu maupun bawa bendera negara di luar negeri. Dan berharap juga ada sponsor yang bisa mendukung kita untuk go internasional,” tutur Jovian.

Tahun 2019 ini merupakan tahun yang sangat mengasyikkan bagi dunia fighting game berkat banyaknya judul berkualitas dan ekosistem esports yang masih terus tumbuh. Bagi DRivals, momen ini adalah langkah awal untuk menjadi tim profesional sejati dengan pemain-pemain bertalenta yang mampu mengharumkan nama bangsa. Dibandingkan waktu pertama berdiri memang tim ini sudah banyak berkembang, tapi masih banyak ruang untuk berkembang lebih jauh lagi.

Bila Anda ingin memantau perkembangan tim dan komunitas DRivals lebih jauh, Anda bisa follow kanal-kanal media sosial DRivals di Facebook, Instagram, dan YouTube. Jangan lupa tonton siaran streaming DRivals on Air setiap Selasa dan Kamis untuk konten-konten menarik seputar Tekken, khususnya di Indonesia.

Disclosure: Hybrid adalah media partner DRivals.

Mengukur Peta Pertempuran MPL ID S4 dan Dampaknya untuk Ekosistem Esports MLBB

MPL (Mobile Legends: Bang Bang Professional League) Indonesia Season 4 akhirnya mulai berjalan akhir pekan kemarin (23-25 Agustus 2019). Menariknya, ada beberapa kejutan yang terjadi di Week 1 MPL ID S4 kemarin.

Selain ONIC Esports yang langsung menduduki puncak klasemen sementara, yang memang sudah diprediksi banyak orang, ada 2 tim yang berisikan banyak pemain baru yang ada di papan atas. Kedua tim tersebut adalah Aura Esports dan Bigetron Esports.

EVOS Esports juga sebenarnya punya poin yang sama dengan Aura dan Bigetron namun tim berlogo singa putih itu sekarang masih berisikan sejumlah pemain yang pernah merasakan megahnya panggung MPL sebelumnya, seperti Four (Afrindo), Donkey (Yurino), Oura (Eko), ataupun Rekt (Gustian).

RRQ.O2 saat jadi juara MPL ID S2. Sumber: MLBB
RRQ.O2 saat jadi juara MPL ID S2. Sumber: MLBB

Sedangkan Bigetron, tim ini memang selalu mengikuti MPL dari Season 1 (kala itu namanya Bigetron Player Kill) namun roster mereka sekarang sudah berbeda jauh dari musim-musim sebelumnya. Dari formasi mereka saat ini, hanya ada Arya “Hexazor” Hans yang senior di dunia persilatan MLBB Indonesia. Di sisi satunya, Aura juga turut meramaikan MPL ID di Season 3. Namun musim kemarin mereka tak mampu berbicara banyak dan hanya bisa berakhir di peringkat 9 klasemen akhir Regular Season (dari total 12 tim). Nama pemain senior yang ada di Aura saat ini adalah YAM yang di Season 1 bermain untuk Bigetron PK.

Lalu pertanyaannya, apakah para pemain-pemain muda ini nanti yang akan menguasai dunia persilatan MPL ID S4?

Jika melihat klasemen sementara di pekan pertama, RRQ, yang jadi juara MPL ID S2, justru berada di papan bawah. Dari 2x bertanding, RRQ harus pulang dengan tangan hampa meski memang lawan mereka di pekan pertama ini adalah EVOS dan ONIC. Padahal, di atas kertas, formasi tim RRQ musim ini sangat menarik karena semuanya punya pengalaman berharga. Ada para pemain juara MPL ID S1 (LJ, Billy, dan Rave) dan juara MPL ID S2 (AyamJago, Lemon, Tuturu, dan Liam). Ada pemain yang sebelumnya jadi andalan tim Star8 di MPL ID S3, Yesaya “Xin” Yehuda. Ada juga VYN (Calvin) yang mengawali petualangannya di MPL ID sejak S2, bersama BOOM Jr. Plus, ada Rivaldi “R7” Fatah yang bahkan bisa dibilang salah satu bintang di esports Dota 2 Indonesia, yang pindah ke MLBB.

Frans “Volva” Riyando, salah satu shoutcaster kawakan di MLBB, sempat memberikan komentarnya kepada saya mengenai roster RRQ musim ini beberapa waktu silam. “Mantan trio Aerowolf (LJ, Billy, dan Rave) ini memang terbilang cukup kuat dan memiliki performa yang luar biasa pada saat Playoff MPL ID S3 walau hasilnya kurang memuaskan.” Ujar Volva.

Meski memiliki formasi tim yang kuat, Volva juga beranggapan bahwa tim ini masih jauh di bawah para pemain ONIC. “ONIC memiliki draft yang bisa dibilang gak berbeda jauh dengan RRQ tapi mekanik dan skill individu ONIC sungguh di atas rata-rata pemain Indonesia.”

KB dan Volva yang sudah jadi shoutcaster sejak MPL ID S1
KB dan Volva yang sudah jadi shoutcaster langganan sejak MPL ID S1. Sumber: RevivalTV

Menurut Volva, formasi ini mungkin bisa mengejar level para pemain ex-Louvre yang sekarang di Genflix Aerowolf asalkan chemistry di tim ini bisa dibangun. Selain berbincang dengan Volva, saya juga mengajak Afrindo “Four” Valentino untuk menyuarakan pendapatnya. Afrindo adalah salah satu pemain MLBB senior yang jadi juara MPL ID S1. Saat ini, selain jadi Assistant Coach untuk Pelatnas SEA Games 2019 cabang Mobile Legends, ia juga masuk dalam formasi tim EVOS Esports MPL ID S4.

Afrindo menyebutkan 4 tim yang menurutnya layak diperhatikan di Season 4 kali ini. 4 tim tersebut adalah ONIC, EVOS, RRQ, dan Aerowolf. “ONIC karena merupakan tim paling stabil dibanding yang lain sampai hari ini. EVOS karena kekompakan para pemainnya di dalam dan di luar game yang sudah sangat solid. RRQ juga menarik karena roster barunya sangat menakutkan dan susah ditebak berkat bisa rotasi pemainnya setiap saat. Terakhir, ada Aerowolf dengan permainan yang agresif dan draft-pick tak terduga yang akan membuat musuhnya kesulitan menebak arah permainan.”

Penting dicatat, pendapat tadi memang saya tanyakan ke Afrindo sebelum Week 1 berjalan. Jadi, pengamatannya memang masih sebatas di atas kertas, alias belum menilainya langsung dari semua pertandingan di minggu pertama. Satu pertanyaan terakhir yang saya tanyakan ke Afrindo adalah, apakah ONIC mampu jadi juara lagi di Season 4? Apalagi mengingat juara MPL ID selalu berganti setiap musim.

“Kalo dari saya, selama ONIC tidak ada masalah internal, mereka pasti bisa jadi juara lagi . Walaupun sepanjang sejarah MPL ID belum ada yang bisa juara berturut-turut tapi mereka membuktikan bisa juara 3 kali berturut-turut di turnamen besar berbeda. Tapi, pesaing terberat dari ONIC untuk musim ini adalah EVOS.” Tutup Afrindo.

Afrindo saat masih bermain untuk Aerowolf. Sumber: MPL
Afrindo saat masih bermain untuk Aerowolf. Sumber: MPL

Setelah ke Afrindo, saya pun menghubungi Ryan “KB” Batistuta yang juga seorang shoutcaster langganan untuk MPL ataupun turnamen MLBB lainnya. Menariknya, KB juga memberikan pendapat yang tak jauh berbeda dengan Afrindo. Ia bahkan berani memprediksi bahwa Grand Final MPL ID S4 adalah antara ONIC melawan EVOS.

Selain itu, KB juga menyebut dua pemain dari RRQ. “Vyn dan Xin dari RRQ akan mendapatkan spotlight yg luar biasa pada MPL S4 ini.” Kata KB. “Darkness, Tanker Aura Esports, juga akan jadi salah satu pemain yang akan diperhitungkan.” Seperti Afrindo tadi, saya juga sebenarnya bertanya pada KB sebelum Week 1 dimulai namun, hebatnya, ada 2 prediksinya yang tepat.

“Jika sebelumnya EVOS selama 3 Season belum pernah mendapatkan kemenangan 1x pun melawan RRQ, mereka bisa melepaskan kutukan El Classico mereka di Week 1 MPL mendatang.” Tutur KB. Selain itu, KB juga memprediksi bahwa Bigetron akan jadi tim kuda hitam yang akan menyulitkan 7 tim lainnya di MPL ID S4. Kedua prediksi tadi terbukti karena EVOS memang berhasil mengalahkan RRQ di hari ketiga pekan pertama. Sedangkan Bigetron berhasil memenangkan semua pertandingan mereka di pekan pertama. Mereka menang lawan Alter Ego (2-0) dan Geek Fam (2-1).

MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid
MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid

Dari perbincangan saya dengan ketiga kawan saya tadi, ada beberapa hal menarik yang bisa dibahas dari dunia persilatan MLBB kasta tertinggi alias MPL. Pertama, sampai musim keempat ini, dunia persilatan MPL memang sangat dinamis. EVOS Esports memang berhasil menjadi Runner-Up berturut-turut di S1 dan S2. Namun mereka harus pulang di hari pertama Grand Final MPL ID S3. RRQ memang berhasil jadi juara di Season 2 namun performa mereka di Season 1 dan 3 kurang maksimal. Apakah ONIC mampu mempertahankan gelarnya dan menjadi tim pertama yang meraih gelar tim terhebat lebih dari 1 musim?

Dunia persilatan yang dinamis ini mungkin memang bagus untuk para pecinta esports MLBB seperti saya. Namun hal ini bisa jadi mengkhawatirkan untuk para pemainnya. Jika pengalaman bermain yang lebih lama tak mampu menunjang performa dan bahkan mudah tergantikan oleh para pemain baru, usia produktif para pemain MLBB bisa jadi lebih singkat ketimbang game esports lainnya.

Selain itu, dinamika MLBB yang tinggi berarti menuntut proses belajar yang lebih intensif untuk para pro player-nya. Hal ini juga bisa dilihat positif ataupun negatif. Positif karena memang sudah seharusnya kasta tertinggi dari scene esports sebuah game menuntut komitmen dan keseriusan untuk terus berkembang. Namun, hal ini juga bisa mengakibatkan lebih banyak pro player yang memutuskan untuk menjadi streamer ataupun content creator seperti JessNoLimit ataupun Emperor.

Klasemen sementara MPL ID S4. Sumber: MET Indonesia
Klasemen sementara MPL ID S4. Sumber: MET Indonesia

Untuk yang tertarik menonton semua pertandingan MPL ID S4, Anda bisa menyaksikannya langsung di Facebook Fanpage Mobile Legends: Bang Bang. Jika Anda juga tertarik melihat statistik, hasil pertandingan lengkap, ataupun detail lainnya dari MPL ID S4, Anda bisa mengunjungi website resmi MLP ID S4 di id-mpl.com.

[Team Profile] Hans Pro Gaming: Usaha Keras Putra Daerah Palembang

Buat yang mengikuti esports Dota 2 belakangan, Anda mungkin pernah mendengar nama Hans Pro Gaming. Mereka berawal dari tim warnet yang serius berkompetisi, seperti IENC ataupun ESL Indonesia Championship Season 2.

Sebelum kita membahas lebih lanjut soal siapa Hans Pro Gaming, mari kita simak dulu sedikit perjalanan tim ini di ESL Indonesia Championship Season 2.

Setelah empat pekan pertandingan ESL Indonesia Championship Season 2, Hans Pro Gaming harus berada di peringkat 7 dari 8 tim yang bertanding, dengan total 6 poin yang berhasil dikumpulkan. Perjalanan mereka memang terbilang cukup terjal namun tim-tim yang harus mereka lawan di ESL Indonesia Championship adalah tim-tim kelas berat.

Ada tim sekelas BOOM.ID, EVOS Esports, Alter Ego, dan PG.Barracx. Namun mereka tak pernah gentar melawan mereka semua, dan tetap memberi perlawanan terbaiknya. Secara statistik, selama empat pekan pertandingan, mereka berhasil menahan imbang beberapa tim seperti The Prime dan Anthrophy.

Walaupun Hans Pro Gaming (HPG) baru mulai naik daun belakangan ini, namun tim berbasis warnet ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Mereka sudah cukup lama berjibaku di tengah ketatnya persaingan kancah kompetitif Dota 2 Indonesia. Menurut pengakuan Manajer Timnya, Abhie “Avveiro” Pratama, tim HPG terbentuk pada tahun 2016 namun hanya 1 pemain yang masih bertahan sejak formasi awal. Sedangkan roster mereka saat ini baru terbentuk di 2019, tepatnya pada saat penyisihan ESL Indonesia Championship S2.

Tahun 2017 lalu, tim ini sudah mulai menunjukkan tajinya. Mereka berhasil menjadi juara IeSPA GeForce Battle Series, mengalahkan tim dari GeForce iCafe lainnya, termasuk Underground Infinite yang ketika itu adalah kandidat juara terkuat.

Kini Hans Pro Gaming semakin giat menantang jagoan-jagoan Dota Indonesia. Mereka sempat mengikuti pertarungan untuk memperebutkan kesempatan mewakili Indonesia di SEA Games 2019 lewat gelaran IENC 2019. Sayang ketika itu mereka harus tertekuk lutut oleh Freak Esports.

Ide pembuatan tim ini memang berawal dari iCafe dengan nama yang sama, yang berbasis di Palembang, Sumatera Selatan. Warnet atau iCafe ini menjadi buah bibir di kalangan komunitas Dota 2 Indonesia karena tempatnya yang punya standar tinggi.

Tidak percaya? Kalau Anda mencoba untuk mencari nama Hans Pro Gaming di Google, Anda bisa melihat bagaimana banyak blog buatan komunitas membahas iCafe yang satu ini.

Sumber: Official Page Hans Pro Gaming
Sumber: Official Page Hans Pro Gaming

Terkenalnya iCafe ini di Palembang berdampak pada banyak pemain berbakat yang turut bermain di dalamnya. Melihat hal tersebut, Dani Handoko (owner dari HPG) akhirnya berusaha mencoba membuat satu tim yang fungsinya untuk mengembangkan bibit-bibit potensial tersebut.

“Saya melihat di Palembang banyak pemain yang berbakat. Dari sana, saya merasa sayang kalau tidak dikembangkan. Jadi akhirnya terbentuklah tim Hans Pro Gaming.” Cerita Dani.

Untuk saat ini, tujuan terdekat wong Palembang ini adalah untuk membuat timnya naik satu kasta. “Posisi tim Dota 2 kita masih tier 2, (jadi) kita berusaha untuk menuju tier 1 Indo.” Namun, hal tersebut agaknya lebih mudah untuk dikatakan daripada diwujudkan. Kendala pemerataan scene esports di Indonesia menjadi salah satu masalah yang dirasakan.

“Kita sebagai tim dari daerah sangat merasakan kendala tersebut. Karena kebanyakan event besar fokus di Jakarta.” Ujar Dani. Namun, bukan berarti tim ini menyerah begitu saja.

Selain mengikuti ESL Indonesia Championship Season 2 sebagai upaya menempa mental, Abhie juga menceritakan lebih lanjut beberapa hal yang dilakukan agar tim ini bisa naik level.

“Kita berusaha sebaiknya sih supaya terus jadi lebih baik. Salah satu upaya kita dengan perbanyak scrim lawan tim luar dan satu lagi adalah memperbaiki draft.” Abhie mengatakan kepada Hybrid.

Sejauh ini, Hans Pro Gaming memang terbilang belum masuk dalam peta kekuatan tim Dota 2 Indonesia. Dalam prediksi 4 besar ESL Indonesia Championship Season 2 dari duet caster Dimas “Dejet” dan Yudi “JustInCase” Anggi, tim ini bahkan tidak masuk ke dalam hitungan.

Ketika membahas tim PG.Barracx, Yudi mengatakan bahwa 4 tim yang peringkatnya di bawah PG.Barracx (termasuk HPG) masih kurang menjanjikan untuk lolos. “Nggak yakin ada (dari 4 tim tersisa) bisa mengalahkan PG.Barracx. Potensi paling besar ada di Anthropy, tapi performa mereka masih kurang walaupun berisikan pemain besar (Yabyoo, Nafari, dkk.).” Ujar Yudi ketika itu.

Namun, melihat semangat juang wong Palembang ini, jujur saya sendiri optimis mereka bisa memberikan perlawanan terbaiknya meski masih dipandang sebelah mata oleh tim lain. Siapa saja para pejuang di balik tim Hans Pro Gaming? Berikut roster lengkapnya:

Sumber: ESL Indonesia Official Website
Sumber: ESL Indonesia
  1. Chandra “cNz-” Susanto – Carry
  2. Jeffry ” YourMaker” Antonius – Midlaner
  3. Nofian “Potato” Bondan – Offlaner
  4. Rizky “Rizi” Alfarissi – Support 2
  5. Alexander “BANCOL” Napitapulu – Support 2
  6. Abhie “Avveiro” Pratama (Team Manager)

Menariknya, meski sekarang tim ini setiap hari berlatih di warnet HPG di Palembang, tidak semua pemainnya berasal dari sana. Ada dua pemain yang berasal dari luar Palembang, yaitu cNz yang dari Batam dan YourMaker asal Surabaya.

Cerita sukses tim warnet yang berkembang jadi organisasi esports besar di Indonesia itu memang bukan hanya mimpi semata karena PG.Barracx (yang berawal dari warnet Pondok Gaming) sudah membuktikannya. Namun, apakah HPG bisa mengulangi sukses yang sama?

Tinggal tiga 3 pekan tersisa bagi Hans Pro Gaming berjuang mendapatkan setidaknya posisi ke-4, agar dapat lolos ke babak semifinal. Apakah mereka bisa menunjukkan permainan terbaiknya di tiga pekan tersisa?

Pertarungan ESL Indonesia Championship Season 2 akan melanjutkan pertandingan pekan kelimanya pada pada tanggal 27 dan 28 Agustus 2019 mendatang. Saksikan setiap pertandingan ESL Indonesia Championship Season 2 di kanal YouTube ESL Indonesia ataupun Facebook Fanpage ESL Indonesia.

Disclosure: Hybrid adalah perwakilan Media Relations untuk ESL Indonesia Championship Season 2

Gamepad vs. Arcade Stick – Mitos atau Fakta Dunia Fighting Game

Apa sih yang membuat fighting game seru untuk dimainkan? Bila ditanya demikian, mungkin setiap penggemar genre ini bisa memiliki jawaban berbeda-beda. Namun saya rasa kita bisa sepakat dalam satu hal: fighting game membuat kita merasa keren. Memilih karakter yang sukai, melancarkan jurus-jurus dan combo yang kompleks, kemudian bertarung hingga berhasil mengalahkan pemain yang lebih kuat, itu semua membuat kita seolah-olah sedang menjalani sebuah kisah di mana kitalah tokoh utamanya.

“Fighting games are anime,” kata YouTuber populer Cosmonaut Marcus dalam salah satu videonya. Perjalanan mengembangkan dan melatih diri untuk menjadi lebih kuat bisa diibaratkan seperti sebuah film aksi, di mana sang jagoan harus berjuang agar dapat mengalahkan sang musuh bebuyutan. Tapi bayangkan bila sang jagoan kalah karena suatu hal random. Misalnya karena di tengah pertarungan ia tiba-tiba sakit perut, atau jatuh terpeleset kulit pisang. Pertarungan jelas jadi tak seru.

Kira-kira begitulah yang terjadi ketika kita salah melakukan input dalam fighting game. Maunya mengeluarkan jurus pamungkas Shinkuu Hadouken, tapi gara-gara salah pencet yang keluar malah Shoryuken biasa. Atau mencoba melakukan gerakan 360 derajat ketika bermain menggunakan Zangief, tapi gagal dan hasilnya malah melompat-lompat di luar keinginan.

Ketepatan input dalam fighting game bisa diasah salah satunya dengan cara rajin berlatih. Namun controller yang kita gunakan juga memiliki pengaruh besar. Untuk menghindari kesalahan input seperti itulah, pemain fighting game biasanya punya preferensi tersendiri terhadap jenis controller yang ia gunakan. Controller seperti apa sih yang optimal untuk digunakan bermain fighting game? Apakah benar controller tertentu dapat memberi suatu keuntungan dalam permainan, atau ini hanya mitos belaka? Mari kita telaah bersama.

Dua Kubu yang Dipisahkan Sejarah

Sebetulnya, tidak ada batasan tentang controller apa yang bisa dan tidak bisa digunakan untuk bermain fighting game. Asalkan suatu perangkat kompatibel dengan platform game yang Anda mainkan, Anda boleh menggunakannya. Bahkan meski perangkat itu berbentuk gitar, piano, atau setir mobil. Akan tetapi secara garis besar pemain fighting game dapat dibagi menjadi dua kubu, yaitu pengguna gamepad dan pengguna arcade stick.

Mengapa muncul perbedaan seperti ini? Menurut analisis oleh Core-A Gaming, faktor penentunya adalah bagaimana si pemain mulai berkenalan dengan fighting game. Era modern ini memang judul-judul fighting game populer bisa ditemui di mana saja. Akan tetapi di zaman tahun 80 – 90an dulu game terbaik hanya bisa kita mainkan di arcade center, termasuk fighting game. Game populer seperti Street Fighter II atau Mortal Kombat memang memiliki versi console rumahan juga, tapi kualitasnya berbeda dengan versi arcade aslinya.

Penggemar fighting game yang banyak menghabiskan waktu di arcade center otomatis akan lebih terbiasa bermain menggunakan arcade stick daripada menggunakan gamepad. Ini terutama sangat terlihat di pemain-pemain Jepang, karena ekosistem arcade di Jepang sangat kuat bahkan hingga sekarang. Karena itulah Anda bisa melihat pemain-pemain profesional Jepang seperti Tokido, Bonchan, atau GO1 menggunakan arcade stick sebagai controller utamanya.

Mereka yang lebih suka bermain dengan gamepad kemungkinan mengenal fighting game dari console rumahan dan PC, atau berasal dari lingkungan yang ekosistem arcade-nya tidak begitu subur. Contohnya Amerika Serikat, di mana popularitas arcade telah menurun jauh sejak akhir tahun 90an. Bila Anda melihat pemain-pemain fighting game yang menggunakan gamepad, kebanyakan mereka berasal dari negara barat atau masih berusia muda. Contohnya Snake Eyez, Punk, dan NuckleDu.

Begitu berbeda cara penggunaan gamepad dan arcade stick, sehingga umumnya begitu seorang pemain fighting game sudah nyaman di satu kubu ia tak akan pindah ke kubu seberang. Seseorang yang sehari-harinya memainkan fighting game di gamepad akan kesulitan bila tiba-tiba disuruh bermain dengan arcade stick, begitu juga sebaliknya. Bahkan meskipun mereka adalah pemain profesional, seperti Daigo Umehara dan Punk dalam video kocak di bawah.

The Devil is in the Detail – Gamepad

Menilik lebih dalam, gamepad maupun arcade stick pun sebetulnya bukanlah produk yang seragam. Kedua jenis controller memiliki banyak variasi detail, dan detail-detail ini bisa jadi penentu dalam memilih juga. Sebagai contoh, meski sama-sama pengguna gamepad, gamepad yang digunakan oleh Snake Eyez berbeda sekali dengan gamepad yang digunakan oleh Punk.

Variasi ini bisa muncul di berbagai aspek, misalnya form factor (bentuk), button layout (penempatan tombol), dan d-pad (tombol arah). Tidak akan ada habisnya bila kita bahas semua tapi sebagai gambaran Anda bisa melihat tiga contoh gamepad populer di bawah.

DualShock 4

Memiliki d-pad 4 arah dengan bentuk agak cekung ke dalam, button layout 4 tombol di muka, ditambah dengan 2 shoulder button (L1 + R1) dan 2 analog trigger (L2 + R2). Gamepad ini, walaupun standar, sudah diakui sebagai salah satu gamepad ternyaman di dunia. D-pad miliknya pun sangat empuk dan jauh lebih nyaman untuk bermain fighting game daripada DualShock 3 di generasi sebelumnya.

DualShock 4
DualShock 4 | Sumber: Red Bull

Mad Catz Street Fighter IV FightPad

Sangat populer di era Street Fighter IV, gamepad ini tidak memiliki analog stick sama sekali. Sebagai gantinya, MadCatz memberikan sebuah floating d-pad, yaitu d-pad yang mampu bergerak sirkuler bebas layaknya sebuah stik analog. Penempatan tombolnya menggunakan sistem enam tombol. Terinspirasi dari layout SEGA Genesis dan SEGA Saturn.

Mad Catz Street Fighter IV Fight Pad
Mad Catz Street Fighter IV Fight Pad | Sumber: Amazon

HORI Fighting Commander 4

Gamepad ini mirip dengan Mad Catz FightPad, namun menawarkan bentuk asimetris. Ini memungkinkan tangan kanan pemain untuk bergerak bebas sementara tangan kiri tetap menggenggam gamepad dengan kuat. Salah satu gamepad keluaran Mad Catz yaitu Mad Catz Street Fighter V FightPad Pro juga memiliki bentuk asimetris serupa.

HORI Fighting Commander 4
HORI Fighting Commander 4 | Sumber: Berry Link Cellular

The Devil is in the Detail – Arcade Stick

Berbicara tentang detail di arcade stick maka topiknya akan jauh berbeda dengan bicara detail di gamepad. Kebanyakan arcade stick memiliki bentuk yang tak jauh berbeda satu sama lain, namun dengan komponen-komponen yang bisa dimodifikasi. Bila Anda tidak suka dengan bentuk suatu gamepad, maka Anda harus mencari gamepad baru. Sementara pemain arcade stick yang kurang sreg dengan perangkatnya cukup mengganti spare part yang ia inginkan saja.

Secara umum ada tiga komponen utama yang menjadi penentu dalam sebuah arcade stick, yaitu lever, gate, dan button. Anda yang tidak pernah memainkan arcade stick mungkin tidak familier dengan istilah-istilah tersebut, jadi mari kita bahas satu persatu.

Lever

Lever adalah tuas/tongkat joystick yang kita kendalikan sebagai pengganti tombol arah di arcade stick. Ada dua jenis bentuk lever yang paling populer, yaitu bat top (pegangan seperti tongkat bisbol) dan ball top (pegangan berbentuk bola). Perbedaan bentuk ini berpengaruh terhadap cara kita memegang lever, dan setiap orang memiliki posisi nyaman yang berbeda-beda.

Lever tipe bat top sering kali disebut juga sebagai Korean lever, American lever, atau Mortal Kombat lever, sebab populer digunakan di negara dan kabinet game tersebut. Sementara tipe ball top dikenal juga dengan sebutan sebagai Japanese lever.

Arcade Stick - Joystick Types
Berbagai variasi joystick | Sumber: Highway Entertainment

Gate

Gate atau restrictor adalah “gerbang” pembatas di pangkal lever yang menentukan sejauh mana joystick dapat bergerak. Pada awal era kemunculan arcade cabinet, gate hanya memungkinkan sebuah joystick untuk bergerak ke dua arah (kanan dan kiri). Tapi kemudian muncul joystick empat arah yang memiliki gate berbentuk segi empat.

Arcade stick buatan Jepang hingga kini masih banyak menggunakan gate segi empat (square gate). Akan tetapi banyak produk yang memiliki variasi lain, misalnya gate segi delapan (octagonal gate) atau gate lingkaran (circular gate).

Arcade Sticks - Korea vs Japan
Perbedaan bentuk gate di arcade stick | Sumber: Core-A Gaming

Button

Jenis tombol yang ada di sebuah arcade stick juga sangat menentukan kenyamanan penggunaannya. Terutama berkaitan dengan seberapa besar tenaga yang diperlukan untuk menekan tombol, bentuk tombol itu sendiri, serta keawetannya. Button buatan Amerika (misalnya merk Happ/SuzoHapp) umumnya memiliki bentuk cekung ke dalam dan butuh tenaga lebih besar untuk ditekan. Sementara tombol buatan Jepang cenderung lebih sensitif.

Arcade Stick - Button Types
Ki-ka: Button merk Happ Horizontal, Happ Competition, dan Sanwa OBSN-30 | Sumber: Slagcoin

Sebetulnya bila kita ingin membahas lebih mendalam, setiap komponen arcade stick punya karakteristik detail tersendiri yang membedakannya satu sama lain. Sebagai contoh, dua joystick yang sama-sama menggunakan square gate dan ball top tetap bisa punya rasa berbeda karena perbedaan ukuran, komponen elektronik, hingga jenis pegas yang digunakan. Tapi kita tidak membahas semuanya di sini karena akan menjadi terlalu panjang.

Bila Anda tertarik untuk mengetahui tentang komponen-kompenen arcade stick lebih lanjut, Anda bisa mengunjungi situs Slagcoin yang menyediakan info lengkap mengenai perangkat ini.

Alasan untuk memilih

Sekarang kita sudah mengetahui tentang berbagai variasi dalam controller yang populer digunakan dalam fighting game. Lalu bagaimana cara menentukan controller terbaik? Jawaban paling mudah sudah jelas, silahkan coba semua lalu cari mana yang paling nyaman di tangan. Tapi sebetulnya selain sekadar “nyaman”, ada beberapa pertimbangan yang bisa Anda jadikan referensi dalam memilih.

Hybrid mengumpulkan pendapat dari beberapa pemain fighting game di berbagai komunitas di Indonesia tentang pertimbangan dalam memilih controller. Ini kata mereka.

Christian “R-Tech” Samuel, atlet Tekken 7 dari Alter Ego Esports, bermain menggunakan arcade stick gaya Korea yaitu produk merk etokki. Selain itu, ia juga menggunakan beberapa controller lain seperti gamepad, keyboard, hingga hit box. Tapi ia paling sering menggunakan arcade stick karena ia merasa arcade stick membuatnya lebih bisa bergerak dengan leluasa di Tekken.

etokki Omni Korean Edition
etokki Omni Korean Edition | Sumber: etokki

“Biasanya pro player menggunakan arcade stick karena rata-rata Tekken dikeluarkan di arcade, jadi agar nyaman seperti di arcade. Tetapi ada juga pro player yang memakai pad, biasanya dari USA. Karena di USA tidak ada arcade (tidak updated),” ujarnya. Bagi R-Tech, pemilihan controller itu tergantung pada selera masing-masing pemain saja.

Di antara jenis-jenis arcade stick sendiri, R-Tech berpendapat bahwa jenis square gate lebih mudah digunakan karena lebih mudah untuk mendapatkan sudut diagonal. Sementara untuk jenis octagonal gate yang ada di tipe Korea butuh usaha ekstra. “Cuma gerakannya juga lebih leluasa jika sudah menguasainya,” kata R-Tech.

Bram “buramu” Arman, co-founder komunitas Advance Guard, juga menggunakan arcade stick tapi dengan jenis dan alasan yang berbeda. Ia menyukai arcade stick dengan komponen standar Jepang (Sanwa), karena arcade stick tidak akan membuat jari tangan cedera walau bermain untuk waktu lama. Selain itu juga supaya ia bisa bermain di arcade yang dulu masih menjamur.

“Sebenarnya ga ada suatu keharusan dalam memilih suatu controller sih. Yang penting nyaman dan bisa all out aja. Karena sudah terbukti, beberapa player dengan controller andalan mereka, mereka bisa juara. Misalnya Street Fighter IV ada Luffy yang juara dengan karakter Rose dengan gamepad PS1, di mana console yang sering dipergunakan untuk turnamen (waktu itu) adalah PS3 dan Xbox 360,” papar Bram.

Ia juga mencontohkan Daigo Umehara yang belakangan berganti controller ke dari arcade stick ke hit box dan bisa melakukan eksekusi jurus sangat optimal (nyaris frame perfect). Tapi pada akhirnya di EVO 2019 Daigo tetap kalah. Meskipun hit box disebut-sebut sebagai controller yang sangat hebat, bahkan sempat dilarang di turnamen, itu tidak otomatis bisa membuat seseorang juara.

Lain halnya dengan Andrew “Wahontoys” Widjaja dari Indonesia Soul Calibur Community (ISCC). Ia lebih memilih menggunakan gamepad, namun gamepad yang digunakannya bukan gamepad standar seperti DualShock 4. Ia menggunakan gamepad dengan layout enam tombol, seperti HORI Fighting Commander. Mengapa memilih gamepad? Jawab Andrew, “Arcade stick berat bawanya.” Ia sadar bahwa pilihannya adalah minoritas di kalangan pemain fighting game.

Membawa arcade stick yang berukuran besar ke mana-mana memang merepotkan, tapi Andrew juga memilih gamepad karena ada hubungannya dengan game yang ia mainkan, Soulcalibur. Menurutnya penggunaan gamepad lebih nyaman karena di Soulcalibur banyak input dual button dan just frame.

HORI Fighting Commander
HORI Fighting Commander juga tersedia dalam varian simetris | Sumber: HORI

“Yang buat Soulcalibur sih dulu ada karakter namanya Siegfried inputnya agak susah, jarak masing-masing tombol itu 1 frame,” kata Andrew. Ia pernah mencoba arcade stick karena banyak pemain pro menggunakannya, kemudian berhenti karena tidak terbiasa dan repot membawanya jika ada gathering. “Jadi saya cari yang layout button-nya kayak arcade stick tapi kecil kayak pad,” lanjutnya.

Untuk pemilihan controller, Andrew memberi saran, “Yang perlu diperhatikan kalau saya pertama layout (tombol), terus ukuran. Jangan terlalu besar dan berat, karena bukan gak mungkin kita harus bawa-bawa travel ke luar negeri atau naik ojek. Terus kalau bisa yang support PS4, soalnya yang support PS4 pasti support PC tapi gak sebaliknya.”

Sementara itu Bayu “KentutBerdahak” Indra Sakti—juara The King of Fighters di Fight Fest 2019—secara gamblang berpendapat bahwa arcade stick lebih baik dari gamepad. “Untuk arcade stick sama gamepad secara presisi jelas berbeda kalau saya rasa, di gamepad sendiri ada keterbatasan yang hanya arcade stick yang bisa mewujudkan,” jelasnya.

Keterbatasan yang dimaksud Bayu adalah bahwa di fighting game tertentu, ada hal-hal yang lebih sulit dieksekusi menggunakan gamepad ketimbang arcade stick. Di dunia profesional pun, orang yang sudah ahli dengan gamepad kemungkinan bakal lebih jago ketika berganti menggunakan arcade stick. Tapi sebaliknya pun bisa terjadi, tergantung dari kebiasaan dan kenyamanan pemain karena semua controller ada plus dan minusnya.

Ia bercerita, “Saya main KOF di tiga controller: keyboard, arcade stick, dan gamepad. Untuk keyboard saya menggunakan merk apa saja, arcade stick saya menggunakan Mad Catz TE 1 dan Razer Panthera. Gamepad sendiri sejauh ini masih nyaman di DS4.”

Meski percaya bahwa controller berpengaruh pada performa, untuk orang yang berminat bermain fighting game Bayu tidak merekomendasikan controller apa-apa. Ia menyerahkan pilihan ke selera pemain saja, lebih nyaman di pad atau stick.

“Dari masing-masing controller sendiri juga balik lagi ke masing-masing. Misal kata saya pad merk DS4 nyaman belum tentu kata orang lain nyaman. Sama halnya untuk arcade stick dan gak jarang dari kebanyakan orang nge-custom arcade stick-nya (dari lever, button, dll),” paparnya.

Saya pribadi, sebagai penyuka fighting game juga, termasuk yang tidak bisa menggunakan arcade stick dan selalu menggunakan gamepad. Namun sayangnya gamepad yang menurut saya ideal saat ini sudah tidak diproduksi lagi, yaitu Genius MaxFire Blaze 2. Saya menyukai gamepad ini karena menggunakan circular d-pad delapan arah yang cocok untuk game tipe anime fighters, seperti Guilty Gear dan BlazBlue.

Genius MaxFire Blaze 2
Genius MaxFire Blaze 2 | Sumber: LDLC

Di samping itu gamepad ini memiliki shoulder button berbentuk melengkung dan non-analog (bukan trigger seperti DualShock 4), yang nyaman sekali untuk bermain fighting game dalam waktu lama. Tapi gamepad ini sudah mulai susah dicari, tidak kompatibel dengan PS4, dan tidak mendukung XInput di PC. Terus setia menggunakan gamepad ini rasanya cukup merepotkan, jadi sekarang saya bermain dengan DualShock 4 saja seadanya.

Yang lebih penting daripada controller

Pada akhirnya, pemilihan sebuah controller adalah suatu hal yang sangat personal. Seseorang bisa memberi alasan-alasan teoritis tentang mengapa suatu controller itu baik, misalnya dari segi respons tombol, keleluasaan arah, dan sebagainya. Tapi alasan-alasan itu bukanlah hal yang berlaku secara universal. Keunggulan suatu controller dibanding controller lainnya lebih banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang sifanya subjektif.

Diskusi tentang controller adalah hal yang selalu muncul di dunia fighting game, dan sejujurnya merupakan salah satu daya tarik tersendiri dalam genre game ini. Tapi daripada terlalu terpaku harus pakai controller ini dan itu, yang lebih penting adalah having fun dan terus mengasah keahlian di game yang kita sukai. Jenis controller yang kita gunakan memang berpengaruh, tapi penentu hasil permainan bukanlah alat melainkan pengguna alatnya.

YouTuber Tekken populer, TheMainManSWE, merangkum realita tentang fighting game dalam ucapan di salah satu videonya: “Apa yang harus kita pahami paling pertama, adalah bahwa tidak ada jalan pintas. Bermain dengan arcade stick tidak menjamin Anda akan sangat sukses memainkan Mishima, atau karakter lainnya. Seperti segala hal, mereka yang unggul adalah mereka yang banyak berusaha. Saya memiliki eksekusi yang baik, dan tahukah Anda, itu berasal dari latihan selama bertahun-tahun (bukan karena perbedaan controller).”

Bila Anda baru masuk ke dunia fighting game dan menemukan kesenangan di dalamnya, mungkin akan ada waktu di mana Anda merasa kemampuan Anda mentok di level tertentu. Ketika hal itu terjadi, saran saya, jangan berpikir bahwa mengganti controller akan langsung mengubah segalanya. Justru sebaliknya, berganti dari gamepad ke arcade stick atau dari arcade stick ke gamepad bisa makan waktu berbulan-bulan hingga Anda terbiasa.

Silahkan coba berbagai jenis controller di pasaran—bahkan controller yang tak lazim sekalipun—dan bila Anda menemukan sebuah controller yang sangat pas di hati, tak ada salahnya “ganti senjata”. Tapi ingatlah bahwa percuma membeli controller mahal bila tidak mengasah keahlian bermain diri sendiri. Lagi pula, mobil tercanggih pun tidak akan memenangkan balapan bila pengemudinya payah, bukan?

Agaeti Venture Sponsori ONIC Esports Karena Dampak Sosial ke Milenial

Dalam industri esports, para pemain tentunya menjadi bintang utama. Tidak jarang, nama mereka masuk dalam berita setelah mereka memenangkan turnamen, baik tingkat nasional atau internasional. Di balik tim atau pemain esports yang sukses, ada tim manajemen yang baik. Pada awal Agustus lalu, dalam sebuah acara konferensi pers, Managing Director ONIC Esports, Chandra Wijaya pernah menekankan pentingnya chemistry antara investor dan tim esports yang didukung.

Ketika itu, Chandra juga menjelaskan bahwa ONIC tidak hanya mengejar menang, tapi juga menjadi aspirasi bagi anak muda. Dan inilah yang membuat Agaeti Venture Capital tertarik untuk menanamkan investasi di tim esports tersebut. “Sebagai venture capital, sebelum kami menanamkan investasi, baik ke startup atau tim esports, kami mempertimbangkan apa dampak sosialnya,” kata venture partner, Agaeti Venture Carey Ticoalu di depan awak media. Dia mencontohkan GoJek. Startup ride-hailing itu tidak hanya sukses untuk menjadi unicorn tapi juga membantu para tukang ojek untuk mendapatkan penghasilan lebih.

“Begitu melihat ONIC, kami melihat mereka membawa social impact pada anak muda yang punya bakat,” kata Ticoalu. “Kemenangan itu penting, tapi ONIC juga bisa membimbing anak muda generasi milenial.” Dia menyebutkan, “generasi senior” masih sulit untuk menerima industri esports dan gaming. “Masih dianggap hanya main-main saja,” ujarnya. “Kami melihat ONIC bisa jadi platform yang tepat untuk mendukung kemajuan anak-anak ini secara profesional dan membuat mereka mengerti apa itu sukses sebagai anak muda.”

Venture capital biasanya identik dengan startup. Namun, Agaeti kini juga mulai mendukung tim esporst. Ticoalu mengatakan bahwa Agaeti mulai tertarik dengan esports karena mereka merasa, industri ini akan menjadi besar dalam waktu beberapa tahun ke depan. Dia menyebutkan, penonton esports telah bertumbuh 15 persen dalam waktu tiga tahun terakhir. Memang, menurut laporan Kepios bersama We Are Social dan HootSuite, 40 persen netizen Indonesia menonton esports. APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) menyebutkan, sekarang, ada 171 juta pengguna internet di Indonesia. Itu artinya, jumlah penduduk Indonesia yang menonton esports mencapai 68,4 juta orang.

Jumlah penonton turnamen esports | Sumber: Kepios
Jumlah penonton turnamen esports |
Sumber: Kepios

Esports bisa ditonton oleh semua orang secara global jika dibandingkan dengan olahraga tradisional, karena penyebaran penonton esports lebih merata jika dibandingkan dengan olahraga seperti NFL (liga nasional american football Amerika Serikat) yang biasanya hanya ditonton oleh penonton di Amerika Utara,” kata Ticoalu pada Hybrid ketika dihubungi melalui pesan singkat.

Dia juga menyebutkan bahwa kini, esports mulai diakui sebagai olahraga profesional. Menurutnya, ada tiga alasan yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama adalah semakin populernya game mobile dalam beberapa tahun belakangan. Selain itu, jumlah penonton esports juga terus bertambah. Terakhir, para pemain profesional juga aktif untuk berinteraksi dengan penonton, baik melalui media sosial atau ketika mereka melakukan siaran langsung.

ONIC Esports saat memenangkan MSC 2019. Sumber: Mobile Legends: Bang Bang
ONIC Esports saat memenangkan MSC 2019. Sumber: Mobile Legends: Bang Bang

Ticoalu mengatakan, Agaeti selalu berusaha untuk melihat dampak sebuah industri dalam lima sampai tujuh tahun ke depan. Dia merasa, esports akan menjadi industri yang besar. Memang, menurut Newzoo, nilai industri esports mencapai US$1,1 miliar pada 2019. “Transisi telah mulai terjadi. Dulu, bermain game hanya merupakan gerakan kultural, untuk melepas stres. Sekarang, esports sudah diakui sebagai ajang untuk mengadu talenta,” katanya. Ini juga didukung oleh pengakuan dari media mainstream akan esports. 

Selain Agaeti Venture, sponsor ONIC lainnya adalah Fore Coffee. Sedikit berbeda dengan Agaeti Venture, tujuan utama Fore menjadi sponsor dari ONIC adalah karena mereka memiliki target konsumen yang sama, yaitu milenial. Keputusan venture capital dan startup seperti Fore untuk menjadi sponsor dari tim esports menunjukkan bahwa semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk masuk ke industri ini.

[ASL S3 Team Profile] Comeback: Tim Kuda Hitam yang Siap Menyergap

Dalam ekosistem esports suatu game, tak bisa dipungkiri bahwa komunitas punya peranannya tersendiri. Selain menjadi ruang diskusi atau berbagi tips permainan, pasalnya komunitas juga bisa menjadi ruang untuk memunculkan talenta-talenta baru.

Kalau bicara soal komunitas di ekosistem esports AOV, contoh nyata hal ini adalah tim Comeback. Sebelum membahas asal usul tim yang merupakan salah satu tim kuda hitam ini lebih lanjut, mari kita simak dahulu perjalanan tim Comeback sejauh ini di ASL Season 3.

Setelah dua pekan berjalan, tim ini sepertinya baru mulai menemukan tempo permainannya belakangan ini. Memang, pada pekan pertama mereka cukup sial, harus langsung bertemu EVOS Esports yang notabene punya jam terbang dan pengalaman yang jauh jika dibanding Comeback.

Tetapi pada pekan kedua, mereka langsung mengamuk, mengamankan dua kemenangan sekaligus. Melawan dua organisasi besar di Indonesia, Bigetron dan BOOM.ID, mereka berhasil membuktikan bahwa mereka memang berhak mengisi slot ASL Season 3. Kini, mereka mengisi peringkat 4 di klasemen ASL. Kalah dengan BOOM.ID karena beda skor agregat.

Cukup wajar jika Comeback menjadi tim yang cukup kuat. Sebab, tim ini punya latar belakang menarik. Sebelum tampil mandiri dengan nama comeback, roster ini adalah pernah menjadi asuhan dari salah satu organisasi esports terbesar di Indonesia, RRQ.

Namun, sayangnya roster tersebut harus bubar pada bulan April 2019 lalu. Mars dan Phoenix memilih untuk berpisah jalan, namun Damskii, Abella, dan Cipengz memilih untuk tetap bersama. Dihibahkan slot ASL untuk musim ketiga, mereka bertiga akhirnya bergabung dengan Comeback, sebuh guild yang digagas oleh roster ex-GGWP.ID dan menjadi tim yang sekarang bertanding di ASL Season 3.

Peran serta roster ex-GGWP.ID juga menjadi alasan kenapa tim ini jadi cukup kuat. Sebelum tim Comeback akhirnya terbentuk, Cipengz dan kawan-kawan berasal dari satu komunitas yang kerap berkumpul di GH milik tim GGWP.ID. Ketika itu mereka saling berlatih dan membantu satu sama lain, termasuk roster Comeback kini, yang banyak diasuh oleh mantan kapten GGWP.ID, Aldi dan kawan-kawan.

Salah satu pemainnya pun, Irdham “Damskii”, punya pengalaman malang melintang di dunia kompetitif MOBA. Sebelum akhirnya terjun ke Arena of Valor, dirinya adalah salah satu pemain profesional League of Legends yang bermain di liga kasta satu, League of Legends Garuda Series (LGS). Ketika itu ia bermain dengan tim Kamikaze, tim yang juga jadi tempat bernaung sosok yang kini lebih dikenal sebagai Youtuber, Ericko “SoapKing” Lim.

damski_cr
Damskii, salah satu pemain tim Comeback yang punya cukup pengalaman malang melintang di dunia kompetitif MOBA. Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Walaupun dengan berbagai latar belakang yang dimiliki, nyatanya tak ada tim yang sempurna. Setiap tim pasti punya masalahnya tersendiri untuk menghadapi kompetisi, apalagi kompetisi bergengsi seperti ASL Season 3. Bagi tim Comeback, salah satunya adalah soal menemukan chemistry.

Walaupun mereka kerap berkumpul bersama di dalam satu komunitas, namun jadi lain cerita jika harus bermain, bekerja sama, dan berkompetisi di liga kasta utama. “Jujur, untuk menciptakan chemistry bermain, kita butuh waktu yang cukup lama dan melalui proses yang sulit.” ujar Damskii.

“Salah satu masalah yang harus kita hadapi seperti menurunkan ego sesama pemain, dan mencari cara agar kita tingkat kemampuan mekanik kita jadi setara.” Damskii melanjutkan.

Kendati mengalami kesulitan-kesuliatan tersebut, mereka sebenarnya cukup percaya diri menghadapi tim-tim raksasa di ASL Season 3 ini. “Kalau ditanya pede atau nggak, kita yakin 80% bisa menang lawan mereka. Kita pede karena ada bimbingan roster ex-GGWP, yang menurut kami berdampak sangat signifikan.” Abella mengatakan kepada Hybrid.

Mereka juga sempat memberikan komentarnya terhadap tim-tim yang dihadapi selama musim berjalan ini. Dari total 6 tim yang akan ia hadapi, menurutnya tim lain yang patut diwaspadai selain EVOS adalah tim Saudara Esports (SES).

“Kalau EVOS sih udah nggak usah ditanya lagi..hahahaha.” jawab Abella seraya berkelakar. “Tapi memang kalau selain EVOS, tim yang juga berbahaya itu SES menurut kita.” Cipengz menimpali.

Menurut Comeback, SES jadi bahaya karena beberapa hal. Mereka cukup solid secara mekanik, eksekusi strategi, dan juga cara mereka draft hero. Ditambah lagi, mereka juga punya hero pool yang luas, membuat permainan mereka bisa sangat fleksibel dan adaptif terhadap keadaan.

Selain dari SES, tim lain yang juga cukup berbahaya adalah Bigetron. “Kalau Bigetron, kita selalu waspada sama draft-nya sih. Karena di sana ada Teemola yang jadi mastermind. Tapi kalau mekanik, kita pede, karena kita jauh lebih jago dari mereka.”

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
(Dari kiri ke kanan) CipengZ, vQ, Abeel, dan Damskii. Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Roster Comeback Untuk ASL Season 3

  • Irdham “Damskii” Hilmansyah – Sidelaner
  • Ilham “CipengZ” Aldiqri – Midlane
  • Agung Budi “Abeel” Laksono – Sidelaner
  • Ade “Melow” Kurnia – Observer
  • Viqi “vQ” Suhendra – Jungle

Menutup obrolan, kami berbincang soal target mereka untuk ASL ini. Semua tim tentunya ingin menjadi juara, namun Comeback sebetulnya punya beberapa kekhawatiran tersendiri. “Jujur, menghadapi kompetisi yang keras, kami merasa masih banyak kekurangan. Salah satunya yang terasa kita kalah ilmu soal strategi dan gaya permainan. Apalagi kalau dibandingkan sama tim-tim besar.” Damskii menjawab mewakili tim.

Selain soal ilmu dan pengalaman, Damskii juga mengakui bahwa mereka cukup nervous kalau harus menghadapi panggung besar. “Skill dan segala macemnya kita mungkin bisa ngomong pede, tapi kalau menghadapi panggung besar kita nggak pede bang..hahaha. Belum ada pengalaman soalnya.”

“Walau begitu, target sih pasti juara. Tapi kalau bicara realistis, kita yakin setidaknya kita bakal dapat 4 besar di ASL Season 3 ini.” jawab Damskii menutup pembicaraan.

Tim Comeback masih akan bertarung selama 4 pekan ke depan di ASL Season 3 ini. Memasuki pekan ketiga, Comeback kali ini kembali menghadapi SES dan tim DG Esports. Akankah tim kuda hitam ini dapat membuktikan bahwa dirinya juga tak bisa diremehkan? Anda bisa langsung ke ESL Indonesia Official Page dan kanal Youtube ESL Indonesia untuk informasi serta tayangan langsung ASL Season 3.

Disclosure: Hybrid adalah perwakilan Media Relations untuk ESL Indonesia Championship Season 2

Pelajaran Singkat yang Bisa Didapat dari Sisi Bisnis LPL, Liga League of Legends Terbesar di Dunia

Menurut data dari Newzoo, 70 persen dari total populasi China, atau sekitar 560 juta orang, bermain game. Tidak hanya bermain game, warga China juga gemar menonton pertandingan esports.

Data dari IHS Markit menyebutkan bahwa China memberikan kontribusi sebesar 57 persen dari total penonton esports di dunia. Tidak heran, mengingat lebih dari 30,4 persen orang China percaya, esports adalah sebuah olahraga, berdasarkan data Penguin Intelligence Database.

Hanya 5,6 persen warga China yang menganggap bahwa esports bukanlah olahraga. Kebanyakan dari orang-orang itu memiliki umur di atas 40 tahun dan memang tidak pernah bermain game atau tahu tentang esports.

“Menonton turnamen dan kompetisi esports adalah hiburan untuk saya,” kata Yan Han, pria 28 tahun yang bekerja dan tinggal di Beijing, dikutip dari South China Morning Post.

Sejak mulai bermain League of Legends dua tahun lalu, dia telah menghabiskan uang hampir 1.000 yuan (sekitar Rp2 juta) untuk membeli item dalam game. Setiap hari, dia bermain League of Legends sekitar dua sampai tiga jam. Dia juga tidak pernah absen untuk menonton turnamen LoL tahunan.

Sumber: SCMP
Sumber: SCMP

“Menarik bagi saya untuk menonton pemain-pemain terbaik dunia saling beradu. Tingkat kemampuan yang mereka tunjukkan dan strategi yang mereka gunakan tidak banyak digunakan di kalangan pemain LoL biasa.”

Pada bulan Juni lalu, TJ Sports sempat membahas tentang jumlah penonton League of Legends Pro League (LPL). Secara total, jumlah view LPL mencapai 30 miliar, menurut data dari Esports Insider.

TJ Sports adalah perusahaan hasil kerja sama Tencent dan Riot Games yang bertanggung jawab atas LPL. Saat ini, LPL adalah turnamen LoL dengan jumlah peserta terbanyak.

Kompetisi di China itu memiliki 16 tim peserta. Sebagai perbandingan, kompetisi LEC dan LCS di Eropa dan Amerika Utara hanya memiliki 10 tim peserta per kompetisi.

Jumlah viewership inilah yang membuat media value dari LPL meroket. Berdasarkan white paper yang dirilis oleh TJ Sports, total media value yang didapatkan oleh enam sponsor LPL Summer Split 2017 mencapai 3 miliar yuan (sekitar Rp6 triliun).

Sementara media value yang didapatkan oleh Mercedes-Benz yang menjadi rekan resmi League of Legends World Championship mencapai 600 juta yuan (sekitar Rp1,2 triliun).

Sistem Turnamen dan Sumber Pendapatan LPL

Pada dasarnya, ada dua tipe turnamen esports, yaitu terbuka dan tertutup. Turnamen tertutup menggunakan sistem franchise, mengharuskan sebuah tim untuk membayar sejumlah uang sebelum mereka bisa bertanding dalam sebuah kompetisi.

LPL termasuk turnamen tertutup. Menurut laporan Esports Observer, jika sebuah tim ingin masuk ke LPL, dia harus menyediakan setidaknya 80 juta yuan (sekitar Rp161,1 miliar). Tidak hanya itu, tim itu juga harus memiliki sokongan bisnis yang kuat dan reputasi yang bagus.

Saat ini, tim di LPL telah mendapatkan investasi rata-rata sebesar 1,25 miliar yuan (sekitar Rp2,5 triliun). Menariknya, nilai tim tidak didasarkan pada performa tim atau luas jangkauan brand sebuah tim.

Menurut laporan Newzoo, dari total pendapatan US$1,1 miliar di industri esports, sponsorship memberikan kontribusi terbesar dengan total US$456,7 juta atau 41,5 persen dari total pendapatan.

Sumber: Newzoo
Sumber: Newzoo

Kontribusi terbesar kedua berasal dari hak siaran media. Dengan kontribusi sebesar US$251,3 juta, hak siaran media memberikan kontribusi sebesar 22,8 persen.

Menariknya, sumber pendapatan terbesar LPL bukanlah sponsorship, tapi hak siaran media. Beberapa perusahaan yang mendapatkan hak penyiaran LPL antara lain Huya, DouYu, Penguin Esports, BiliBili, WeChat Live, Weibo, Tencent Video, dan Tencent Sports.

Stasiun siaran televisi lokal seperti Great Sports dan Guangdong Sports juga mendapatkan hak untuk menyiarkan turnamen LoL tersebut.

Industri Esports Semakin Menyerupai Industri Olahraga Tradisional

Menurut CEO Immortals Gaming Club (IGC), Ari Segal, dua sumber pendapatan utama IGC adalah sponsorship dan hak siaran media, sama seperti LPL. Namun, mereka juga tertarik untuk mencari sumber pendapatan baru, dengan mengadakan turnamen sendiri.

“Tidak hanya kita akan mendapatkan untung dari penjualan tiket, ada juga beberapa sumber pendapatan lain, seperti penjualan merchandise, parkir, makanan dan minuman, dan juga akses ke data,” kata Segal, seperti dikutip dari Yahoo Finance.

Menurut Segal, ke depan, sistem monetisasi di industri esports akan semakin menyerupai industri olahraga tradisional. Hal ini juga tercermin dari mulai digunakannya model bisnis kandang-tandang (home-away) di industri esports.

Saat ini, ada enam tim esports di China yang memiliki markas, yaitu Royal Never Give-Up (RNG) dan JDG di Beijing, Team WE di Xi’an, LGD Gaming di Hangzhou, LNG di Chongqing, dan OMG di Chengdu.

Sayangnya, biaya operasional markas ini masih lebih mahal jika dibandingkan dengan uang yang didapatkan dari penggunaan fasilitas tersebut. TJ Sports dan Tencent membuat beberapa rencana untuk mengatasi masalah ini.

Dalam jangka pendek, TJ Sports dan Tencent akan menanggung biaya marketing dan finansial untuk mengurangi beban yang ditanggung tim yang memiliki markas sendiri. Sementara dalam jangka menengah, TJ Sports akan berusaha mengurangi biaya operasional dengan menggunakan Esports Streaming Center di Shangai Jingan District untuk menyiarkan siaran pertandingan LPL.

TJ Sports juga akan berusaha untuk menyediakan lebih banyak kegiatan offline untuk menggunakan stadium yang jadi markas sebuah tim esports, seperti festival musik.

Sumber: Esports Observer, South China Morning Post, Yahoo Finance, Esports Insider

Jalan Berliku Esports Mobile Legends Meraih Emas SEA Games 2019

Sudah sejak lama kompetisi menjadi satu elemen dalam komunitas gamers. Awalnya, ini hanya menjadi hiburan di kala bermain seorang diri jadi membosankan. Kalau Anda sempat mengalami era warnet, Anda mungkin pernah mengalami saling berkompetisi demi mendapatkan billing gratis.

Seiring perjalanan waktu, perebutan billing gratis berubah menjadi sebuah industri, menjadi apa yang kini kita kenal sebagai esports. Kini, esports kembali berevolusi. Berawal sebagai ajang membela ambisi pribadi, tahun 2019 esports telah berubah menjadi ajang bela negara.

Desember 2018, esports diumumkan menjadi cabang resmi SEA Games 2019. Dengan total 6 medali yang diperebutkan, 6 game yang menjadi pertandingan dalam cabang esports adalah: Dota 2, StarCraft II, Tekken 7, Arena of Valor, dan Mobile Legends.

Jalan Berliku Atlet Mobile Legends Indonesia Merebut Emas SEA Games 2019

Indonesia punya 5 cabang kontingen yang akan diberangkatkan untuk SEA Games 2019. Lewat gelaran Indonesia Esports National Championship 2019 (IENC 2019), tersaring pemain-pemain terbaik untuk bertanding dalam 3 cabang Dota 2, Tekken 7, dan Mobile Legends.

Dari tiga cabang tersebut, sorotan tentu tertuju pada cabang Mobile Legends. Selain sebagai game dengan komunitas terbesar di Indonesia, cabang ini adalah kesempatan terbesar Indonesia untuk mendapatkan emas di SEA Games 2019.

Bagaimana tidak, dari segi talent pool, Indonesia punya banyak pemain berbakat. Secara historis, belakangan prestasi Indonesia di kancah Mobile Legends juga sedang keren-kerennya. Mulai dari RRQ yang jadi Mobile Legends Star League, sampai ONIC Esports yang berhasil meraih titel tertinggi lewat gelaran Mobile Legends SEA Championship 2019 (MSC 2019).

ONIC saat jadi juara MLBB Southeast Asia Cup 2019
ONIC saat jadi juara MLBB Southeast Asia Cup 2019

Kendati demikian, merebut emas di cabang Mobile Legends SEA Games 2019 adalah perjuangan yang saya sebut panjang dan berliku. 6 Agustus 2019, panitia Kerja Timnas Mobile Legends berbagi segala hal seputar pengiriman kontingen Mobile Legends untuk SEA Games 2019, dalam sebuah gelaran konfrensi pers.

Pertama-tama, soal pelatih. Dalam acara tersebut, Panitia Kerja Timnas Mobile Legends mengumumkan dua orang pelatih, yang akan menyaring pemain-pemain yang sudah lolos ke pelatnas sebelumnya. Dua orang tersebut adalah Jeremy “Tibold” Yulianto dan Afrindo “G” Valentino.

Keduanya sudah cukup di kenal di kalangan komunitas. Jeremy sempat aktif berkompetisi di kancah League of Legends. Ia bersama kawan-kawan kampus Universitas Pelita Harapan pernah mewakili Indonesia dalam ajang kompetisi League of Legends antar kampus di Taiwan.

Setelah itu, ia memutuskan untuk gantung keyboard, dan menjadi pelatih tim League of Legends Bigetron Esports. Ketika menjadi pelatih, ia juga berhasil membawa timnya menjadi yang terbaik di tingkat Nasional, menjuarai League of Legends Garuda Series: Spring 2019 (LGS Spring 2019).

Sementara itu Afrindo “G”, juga merupakan sosok yang kerap disebut pemain yang lengkap secara otak dan otot. Tak hanya sangat lihai mengendalikan hero-hero yang ia mainkan, ia juga kerap menjadi mastermind yang membangun strategi permainan dan pemilihan hero untuk tim EVOS. Menjadi asisten pelatih bagi Jeremy, kemampuannya dalam menganalisis kemampuan serta strategi permainan seharusnya sudah tak perlu diragukan lagi.

Afrindo Valentino (tengah kiri) dan Jeremy Yulianto (tengah kanan) dua sosok pelatih timnas Mobile Legends untuk SEA Games 2019. Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Afrindo Valentino (tengah kiri) dan Jeremy Yulianto (tengah kanan) dua sosok pelatih timnas Mobile Legends untuk SEA Games 2019. Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Selanjutnya adalah soal seleksi. Ini adalah alasan mengapa proses ini saya sebut panjang dan berliku. Timnas Mobile Legends Indonesia untuk SEA Games 2019 bukanlah sesederhana mengirim satu tim yang sudah biasa bermain bersama untuk berangkat.

Prosesnya sebagai berikut: semua tim yang lolos dari IENC, dengan total ada 40 pemain yang jadi peserta pelatnas, akan disaring. Dari 40 disisakan 10 pemain saja untuk saling tanding. Lalu terakhir, disisakan 7 atlet terbaik saja yang akan menjadi kontingen timnas Mobile Legends SEA Games 2019. Proses ini dilakukan oleh para pelatih dalam jangka waktu yang cukup singkat, yaitu mulai dari 12-18 Agustus 2019 mendatang.

“Seperti yang kita tahu, kancah Mobile Legends Indonesia Indonesia punya banyak pemain bintang dan disegani oleh negara-negara lain. Para pemain kita pun tahu bahwa mereka adalah yang terbaik. Jadi tantangan dalam seleksi memang lebih soal menahan ego masing-masing pemain. Jawab Jeremy, membahas penyeleksian pemain untuk timnas Mobile Legends Indonesia.

“Selain itu membuat mereka untuk tetap humble, dan bisa saling bekerja sama mungkin jadi tantangan lain. Menyatukan 5 kepala menjadi 1 itu tidak mudah. Kami akan mencoba fokus membuat tim juara, bukan tim terkuat. Jika semuanya lancar, kami optimis bisa mendapatkan emas.” Tambah Jeremy “Tibold”.

Seleksi dan Persiapan Timnas Mobile Legends Indonesia

Kini, tinggal tersisa 3 sampai 4 bulan menuju SEA Games; yang akan diselenggarakan November nanti. Durasi seleksi dan pelatihan intens juga terbilang singkat, hanya 6 hari saja. Penyaringannya juga sangat ketat, dari 40 menjadi 7 pemain. Melihat beberapa hal ini, jujur saya skeptis, jika nantinya timnas Mobile Legends Indonesia bisa bicara banyak di SEA Games 2019.

Membahas hal ini, saya juga berbincang dengan Yohannes Siagian, VP Esports tim EVOS Esports, yang juga punya banyak pengalaman dalam persiapan atlet untuk SEA Games, ASIAN Games.

Yohannes Paraloan Siagian while attending JD.ID pers conference High School League. Source: Line Today
Yohannes Paraloan Siagian saat mendatangi konfrensi pers JD.ID High School League. Sumber: Line Today

Pertama-tama soal durasi pelatnas. Saya sebenarnya cukup penasaran, apakah proses dengan jangka waktu yang sempit ini terjadi di seluruh cabang kontingen SEA Games? Ternyata menurut Joey sendiri, durasi ini terbilang relatif sempit. “Kalau cabang olahraga lain, harusnya saat ini sudah masuk fase pencoretan akhir.” Jawab Joey yang memang punya pengalaman dalam proses persiapan atlet untuk festival olahraga seperti SEA Games.

“Tetapi karena esports berbeda dengan olahraga tradisional, menurut saya masih possible untuk memadatkan jadwal latihan intensif. Berhubung latihan bermain bisa dilakukan kapan saja oleh sang pemain, jadi sebenarnya tinggal mencari waktu untuk melatih chemistry, kekompakan dan strategi saja.” jawab Joey membahas durasi pelatnas yang cukup sempit ini.

Soal penyaringan, Joey juga memberikan satu pendapat yang cukup menarik. Seperti yang saya katakan pada paragraf awal bagian ini, saya sebenarnya skeptis kalau diharuskan membuat tim dari awal dengan membawa pemain-pemain terbaik dari berbagai tim. Akan lebih baik jika mengirim satu tim yang sudah jelas solid, demi memastikan emas untuk kontingen Mobile Legends bukan?

“Alasan soal chemistry, strategi dan lain sebagainya ini memang wajar, tapi menurut saya terlalu dilebih-lebihkan.” Joey membuka pembahasan. “Menurut saya, pemain-pemain Mobile Legends Indonesia sudah tidak lagi di level tersebut. Justru memang seharusnya caranya seperti ini. Kumpulkan 7 pemain terbaik, kemudian jalankan latihan intensif untuk membangun kekurangan tersebut. Terus terang, melihat kualitas pemain Indonesia, mendapat medali perak saja sudah bisa dibilang terasa kurang maksimal. Kenapa? Karena kita punya komposisi pemain yang sanggup meraih medali emas.”

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Tim Panitia Kerja Timnas Mobile Legends. Andrian Pauline (AP – Kiri) sedang menjawab pertanyaan dari awak media saat gelaran konfrensi pers. Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Bicara soal latihan, uji coba, dan proses pembabakan skuat timnas Mobile Legends Indonesia, Panitia Kerja Timans Mobile Legends, yang diwakili oleh Andrian Pauline juga turut membeberkan beberapa hal.

“Untuk timnas Mobile Legends, kita sebetulnya memang disiapkan budget dari pemerintah untuk tanding uji coba di luar negeri.” tukas AP. “Tapi mengingat ada kepentingan liga, jujur, ini sulit untuk dilakukan. Jadi jalan tengah yang kami usahakan adalah dengan cari waktu saat break liga. Setelahnya, kami akan mendatangkan tim dari luar negeri untuk tanding uji coba di Indonesia.” AP menjelaskan lebih lanjut.

Jadi, apakah benar bahwa kekhawatiran ini bersifat dilebih-lebihkan seperti apa yang dikatakan Joey? Pada akhirnya Jeremy “Tibold” kembali menegaskan kepada awak media yang hadir dalam gelaran konfrensi pers kemarin untuk kedua kalinya. “Saya percaya dengan modal pemain yang kita miliki. Jadi saya pede kontingen Mobile Legends untuk SEA Games 2019 bakal dapat emas.”

Walau bukan yang pertama kali, esports menjadi cabang festival olahraga antar negara tetap menjadi hal yang baru bagi ekosistem ini. Tak heran, jika dalam praktek penyeleksian dan prosesnya terbilang masih meraba dan mencari metode yang paling efisien untuk bisa menghasilkan tim yang dapat menjadi juara.

Apapun hasilnya, bagaimanapun prosesnya, sudah menjadi tugas kita semua untuk kawal dan dukung kontingen esports Indonesia. Mari kita bersama doakan agar kontingen ini bisa mendapatkan hasil yang terbaik di SEA Games 2019.