Pasar Kartu Grafis akan Kedatangan Pemain Baru Asal Tiongkok

GPU (Graphic Processing Unit) atau prosesor dari kartu grafis memang menjadi salah satu komponen yang paling berharga dalam beberapa tahun ke belakang. Maraknya penambangan cryptocurrency dan jaringan suplai dunia (global supply chain) yang terganggu akibat pandemi membuat ketersediaan dari GPU jadi langka.

Dua pemain utama GPU, yaitu NVIDIA dan AMD kini tengah disibukkan untuk memenuhi permintaan dari seluruh dunia. Sedangkan pemain baru yaitu Intel masih terus mempersiapkan kartu grafis perdananya, Intel Arc.

Namun yang luput dari pantauan adalah ternyata ada pemain-pemain baru yang juga sedang bersiap meramaikan pasar GPU dunia. Dikabarkan oleh Techspot, ada beberapa perusahaan teknologi asal Tiongkok yang kini tengah memberi perhatian lebih ke industri ini.

Image credit: Jingjia Micro

Yang pertama adalah Jingjia Micro (atau lebih dikenal sebagai Jingjiawei) yang dikabarkan tengah menguji coba dua jenis GPU. Kartu grafis yang pertama adalah untuk pasar low end dengan performa yang disebut setara dengan GeForce GTX 1050 atau Radeon RX 560. Sedangkan yang kedua adalah kartu grafis menengah yang disebut setara dengan GTX 1080 dan RX Vega 64.

Jingjiawei sendiri bukanlah nama baru di Tiongkok. Perusahaan ini telah didirikan sejak 2006 silam. Dan selama bertahun-tahun Jingjiawei memang berfokus dalam riset dan pengembangan GPU. Di awal kehadirannya, mereka telah memperoduksi chip GPU untuk kontrol dan display elektronik pada peralatan militer.

Image Credit: Innosillicon

Perusahaan lainnya adalah Innosilicon, perusahaan yang bergerak pada produksi chipset ini bekerja sama dengan perusahaan Xiadong yang memiliki pengalaman dalam membuat server GPU. Kolaborasi antara dua perusahaan ini telah menghasilkan sebuah kartu grafis yang disebut sebagai Fenghua 1.

Berbeda dengan Jingjia Micro yang telah cukup jelas membeberkan detail produknya, Fenghua 1 hanya dilaporkan akan menggunakan memori video GDDR6X milik Micron dan prosesor yang didasarkan pada salah satu desain chipset milik Innosilicon.

Menurut data yang ada, kartu grafis Fenghua 1 ini akan memiliki performa komputasi 6 teraflop, yang membuatnya setara dengan kartu grafis mid-range seperti GTX 1660 SUPER dan AMD RX 6600. Sebagai tambahan, kartu ini nantinya akan kompatibel dengan port PCIe 4.0.

Untuk sekarang, masih belum ada kepastian kapan Jingjia Micro maupun Innosilicon akan memperkenalkan produk barunya. Prediksinya, kedua kartu grafis baru tersebut akan mulai tersedia untuk konsumen antara 2022-2023 mendatang.

Cloud Song Homestead & Class Change: Blasteran Action MMORPG dengan Harvest Moon

MOBA dan Battle Royale mungkin memang kelihatannya lebih gempita akhir-akhir ini, berkat skena esports-nya yang meriah di berbagai belahan dunia.

Namun demikian, MMORPG sebenarnya masih jadi favorit banyak orang. Di Indonesia, menurut Statista, market share dari MMORPG berada pada angka 67,6% dari total keseluruhan pasar gaming. Pasalnya, tidak seperti MOBA dan Battle Royale, komunitas MMORPG seringnya tidak se-toxic dua genre kompetitif tadi — mengingat MMORPG biasanya juga punya elemen kooperatif, selain kompetitif (PVP dan PVE).

Berbicara soal MMORPG, Cloud Song: Saga of Skywalkers merupakan salah satu MMORPG yang, meski baru dirilis beberapa waktu lalu, sudah menjadi favorit banyak orang. Beberapa waktu yang lalu, game ini bahkan menempati posisi pertama di kategori Top Free RPG di Google Play. Tidak heran juga jika game ini jadi salah satu game terbaik 2021.

Gameplay dan Grafis Cloud Song

Cloud Song merupakan MMORPG yang dirilis oleh VNG untuk kawasan Asia Tenggara di bulan September 2021 kemarin.

Satu hal yang membuat Cloud Song menarik adalah sistem pertarungannya yang menuntut Anda terus aktif bergerak. Pasalnya, Cloud Song adalah game Adventure Action-RPG yang tidak hanya menuntut Anda mengeluarkan skill di saat yang tepat, tapi juga terus bergerak mencari posisi yang aman — khususnya saat melawan bos-bos raksasa.

Cloud Song juga menyuguhkan fitur PVP dan PVE yang sama asyiknya. Jadi, ARPG ini cocok juga buat dua tipe gamer, baik yang kompetitif (yang suka PVP) ataupun yang lebih suka berkawan dalam komunitas.

Jika berbicara soal MMORPG open world macam Cloud Song, konten yang masif juga jadi faktor yang krusial. Pasalnya, tidak sedikit juga game baru yang tidak memiliki banyak konten. Di Cloud Song atau Guardians of Cloudia (nama lainnya), Anda juga bisa mengumpulkan banyak Pet yang tidak hanya lucu buat dikoleksi tapi juga sangat berguna saat bertarung. Selain itu, kustomisasi di sini juga sangat variatif.

Selain gameplay-nya, Cloud Song juga memiliki gaya grafis bergaya anime yang cerah, berwarna, dan imut-imut. Gaya grafis semacam ini memang biasanya lebih menarik untuk lebih banyak orang, ketimbang gaya grafis yang kelam ataupun realistis. Karena grafisnya, Anda bahkan bisa sekadar berjalan-jalan menikmati pemandangan di setting fantasy cross world yang satu ini.

Cloud Song Homestead

Seperti yang tadi kami tuliskan tadi, Cloud Song punya segudang konten dan banyak tujuan untuk dikejar. Namun lebih hebatnya lagi, Cloud Song juga sudah mengeluarkan update baru yang cukup masif meski baru sekitar 3 bulan lalu game ini dirilis.

Update yang masif kali ini diberi nama Homestead. Fitur Homestead memungkinkan Anda memiliki rumah yang lengkap dengan taman dan pantai. Ada banyak hal yang bisa dilakukan di sini. Anda bisa menanam tanaman untuk mendapatkan bahan pangan seperti gandum. Anda juga bisa menebang pohon untuk mendapatkan kayu ataupun menambang untuk mendapatkan bijih besi dan kawan-kawannya. Tidak lupa juga Anda bisa memancing. Proses memancingnya tidak terlalu ribet tapi masih cukup menyenangkan untuk dilakukan.

Screenshot: Cloud Song

Di dalam Homestead, Anda juga akan mendapatkan banyak Quest lengkap dengan berbagai hadiah. Hadiah yang bisa Anda dapatkan dari Quest Homestead bahkan termasuk Diamond. Selain hadiah Quest, ada juga Homestead Store yang menawarkan berbagai item yang tidak kalah menarik, yang akan sangat berguna untuk melanjutkan pertarungan dan petualangan Anda di luar Homestead.

Cloud Song Class Change

Bersamaan dengan rilisnya update Homestead, VNG juga merilis fitur Class Change. Fitur Class Change ini akan sangat berguna bagi Anda yang mungkin sudah bosan bermain dengan Class yang sama dari level 1 tapi Anda tidak ingin membuat karakter baru.

Pasalnya, fitur ini memungkinkan Anda mengganti Class dasar dari Class Family yang sama di level 70 dan ke Class Family yang berbeda di Level 85. Contohnya, Anda bisa berganti dari Swordsman ke Rogue atau Archer di level 70 karena masih termasuk Family yang sama. Namun, jika Swordsman Anda ingin berganti ke Mage, Anda harus menunggu sampai level 85 karena Mage hanya berada di Family yang sama dengan Oracle.

Oh iya, satu hal yang harus Anda perhatikan saat ingin berganti Class adalah jumlah populasi Class tersebut di Server Anda. Karena, jumlah populasi Class tersebut akan menentukan juga harga yang harus dibayarkan. Misalnya semakin banyak Archer di Server Anda, semakin mahal pula harga yang harus dibayarkan jika Anda ingin menjadi Archer. Sebaliknya, jika tidak banyak Oracle di Server Anda, harga yang dibutuhkan untuk berganti jadi Class tersebut akan jadi lebih murah

Screenshot: Cloud Song

Selain mengganti Class tadi, Anda juga bisa menyesuaikan Stats dari karakter yang berganti Class. Pasalnya, jika Anda misalnya berganti Class dari Archer ke Mage, Anda harus mengalokasikan poin dari STR ke INT.

Selain Homestead dan Class Change, Cloud Song juga merilis update lain seperti: fitur Equipment System, Rune System, Pet Talent, Medal System, Tampilan Avatar Baru, dan Emoji Pack

Brand Ambassador Cloud Song

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Jena 🌸 (@jenadammaya)

Berdekatan dengan update tadi, sebelumnya Cloud Song juga menunjuk JenaDammaya sebagai Brand Ambassador. Model dan gamer jelita ini akan berinteraksi dan bermain bersama komunitas gamer Cloud Song. Ia juga akan livestream juga dengan kawan-kawan Cloud Song.

Akhirnya, jika Anda ingin bertualang di game dengan tagline “Homestead – Nikmati Petualangan di Alam Bebas” yang satu ini, Anda bisa download Cloud Song gratis di tautan ini. Sedangkan untuk informasi lebih lengkap terkait game ini, Anda juga bisa mengunjungi laman resminya ataupun follow media sosialnya baik di Instagram dan Facebook.

Disclosure: Artikel ini disponsori oleh VNG

Tencent Dilaporkan Dilarang Luncurkan Aplikasi Baru Ataupun Memberikan Update

Raksasa teknologi Tencent kini tengah terkena sanksi oleh pemerintah Tiongkok. Sanksi yang dikeluarkan oleh Kementrian Industri dan Teknologi Informasi Tiongkok tersebut berupa larangan bagi Tencent untuk meluncurkan aplikasi baru ataupun memberikan update pada aplikasi-aplikasi mereka yang telah ada.

Dilaporkan oleh Chinastarmarket.cn (via South China Morning Post), pemberlakukan sanksi ini merupakan bagian dari “Bimbingan Administratif Sementara” terhadap Tencent. Sanksi ini dijatuhkan karena Pemerintah Tiongkok menyebut beberapa aplikasi milik Tencent telah melanggar aturan proteksi data di beberapa kesempatan selama tahun 2021 ini.

Dalam pelaksanaannya, Kementrian Industri dan Teknologi Informasi Tiongkok telah memberikan arahan kepada platform dan app stores untuk mengimplementasikan pembatasan terhadap aplikasi-aplikasi milik Tencent.

Image Credit: South China Morning Post

Ke depannya, pemerintah Tiongkok harus melakukan pengecekan terhadap aplikasi baru ataupun update terhadap aplikasi-aplikasi milik Tencent sebelum dapat diluncurkan. Proses persetujuan tersebut disebut membutuhkan waktu kurang lebih tujuh hari.

“Kami terus berupaya meningkatkan fitur perlindungan pengguna dalam aplikasi kami, dan juga menjalin kerja sama rutin dengan lembaga pemerintah terkait untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan. Aplikasi kami tetap berfungsi dan tersedia untuk diunduh,” ungkap juru bicara Tencent dalam keterangan resminya.

Ada lebih dari 70 aplikasi dan juga lebih dari 100 game mobile yang telah dipublikasikan oleh Tencent termasuk yang paling populer adalah aplikasi WeChat dan juga PUBG Mobile. Sayangnya, tidak ada informasi apakah sanksi yang disebutkan sebelumnya hanya diberlakukan pada aplikasi-aplikasi yang terbukti melakukan pelanggaran, atau pada semua aplikasi yang dimiliki oleh Tencent.

Image Credit: Tencent

Pemerintah Tiongkok kini memang tengah memperketat aturan mereka terhadap video game dan aplikasi lain. Mulai dari pembatasan waktu bermain bagi anak di bawah umur, hingga ke arahan agar para publisher game mengurangi fokus mereka untuk mencari keuntungan.

Berbagai macam keputusan tersebut diambil oleh Pemerintah Tiongkok untuk menanggulangi dampak negatif yang disebabkan oleh aplikasi dan game. Sanksi terhadap Tencent kelihatannya juga termasuk bagian dari program milik Pemerintah Tiongkok tersebut.

Di sisi lain Tencent memang sempat menjadi target pengawasan dari Pemerintah Tiongkok karena beragam keputusan perusahaannya yang tidak sesuai dengan arahan dari pemerintah. Sebelumnya, Tencent juga telah dijatuhi denda sebesar 500 ribu Yuan atau sekitar Rp1 miliar. Dan sekarang pergerakan perusahaannya benar-benar dibatasi hingga waktu yang belum ditentukan.

Developer Game Indonesia Dominasi SEA Games Awards 2021, Rebut 5 dari 10 Kategori Penghargaan

Ajang SEA Games Awards 2021 telah usai digelar pekan lalu, dan Indonesia boleh berbangga melihat sekumpulan developer-nya mendominasi perhelatan tersebut. Dari 10 kategori penghargaan yang diperebutkan, 5 di antaranya berhasil dimenangkan oleh developer game asal tanah air.

Di kategori Best Game Design misalnya, ada rogue-lite platformer Rising Hell yang keluar sebagai pemenang, mengalahkan judul-judul lain seperti Tank Brawl 2: Armor Fury, The Signal State, Malice, dan Eldritch. Rising Hell dikembangkan oleh Tahoe Games, studio game indie yang bermarkas di kota Kediri.

Rising Hell tak hanya menerima pujian dari sisi gameplay. Musik heavy metal dalam game ini rupanya juga cukup memukau sampai-sampai ia berhasil memenangkan kategori lain, yakni Best Audio. Padahal, saingannya di kategori ini bisa dibilang berat-berat, termasuk Coffee Talk yang soundtrack resminya kini dikemas sebagai vinyl.

Selanjutnya, ada kategori Best Technology yang dimenangkan oleh Biwar Legend of Dragon Slayer karya Devata Game Production asal Bali. Biwar merupakan sebuah action adventure dengan banyak elemen puzzle. Grafiknya tampak memukau berkat penggunaan Unreal Engine 4, akan tetapi bagian yang lebih istimewa adalah, keseluruhan game-nya menggunakan dialek tradisional Bali.

Beralih ke kategori Best Visual Art, giliran When the Past Was Around yang terpilih sebagai pemenang. Game petualangan ini digarap oleh Mojiken Studio, developer asal Surabaya yang portofolionya memang dipenuhi oleh game-game yang masing-masing memiliki art style uniknya sendiri-sendiri.

Kategori kelima sekaligus yang paling prestisius adalah Grand Jury Award yang berhasil dimenangkan oleh Coffee Talk. Mahakarya Toge Productions ini sejatinya sudah tidak perlu perkenalan lagi, dan game-nyapun juga telah beberapa kali mendapat sorotan internasional sejak diluncurkan pertama kali di awal 2020. Sekuelnya sudah dijadwalkan meluncur tahun depan.

Lanjut ke kategori Best Innovation, ada Airship Academy karya Revolution Industry. Dengan lebih dari 150 komponen yang bisa dipasangkan ke lebih dari 30 jenis rangka pesawat yang berbeda, kompleksitas yang ditawarkan game ini betul-betul tidak perlu diragukan. Di saat yang sama, pengembangnya masih bisa menyajikan narasi yang tidak kalah mendalam.

Bicara soal narasi, kategori Best Storytelling dimenangkan oleh DeLight: The Journey Home karya developer Malaysia, DreamTree Studio. Game ini menceritakan kisah seorang perempuan tuna netra dalam perjalanannya bertemu kembali dengan orang tuanya. Selama bermain, pemain bakal dihadapkan dengan pilihan-pilihan sulit, dan semua ini akan berdampak langsung pada alur cerita game.

Untuk kategori Audience Choice Award, pemenangnya adalah Fallen Tear: The Ascencion, sebuah metroidvania dengan bumbu open-world dan grafik 2D yang memukau. Dibuat oleh studio asal Filipina, CMD Studios, Fallen Tree terlihat menjanjikan meski sejauh ini masih dalam tahap pengembangan.

Kategori berikutnya, yakni Best Student Game, berhasil direbut oleh Water Child. Game dengan atmosfer yang kuat dan musik yang emotif ini digarap oleh sekelompok mahasiswa UOW Malaysia KDU University College yang menamai dirinya SkyJus Works.

Terakhir, ada kategori Rising Star Award yang dimenangkan oleh Exist.EXE karya Skyfeather Games Studio. Game ini banyak terinspirasi oleh JRPG klasik, dengan sistem combat turn-based yang unik dan agak berbeda dari biasanya.

Buat yang tertarik menyaksikan perhelatan SEA Games Awards 2021 secara lengkap, Anda bisa menonton siaran ulangnya di laman Facebook resmi eGG Network.

Via: IGN.

Kreator Pokemon GO Berhasil Kumpulkan $300 Juta untuk Wujudkan Metaverse

Perusahaan di balik game mobile augmented reality (AR) Pokémon GO, Niantic kini punya rencana ambisius baru. Setelah cukup sukses membawa para Pokémon ke dunia nyata lewat AR, sekarang Niantic dikabarkan ingin mewujudkan metaverse ke dalam dunia nyata.

Dikabarkan oleh Techcrunh, Niantic disebut telah berhasil mengumpulkan pendanaan sebesar US$300 juta atau sekitar Rp4,3 triliun dari para investornya. Dana investasi masif tersebut membuat valuasi perusahaan Ninatic kini menjadi US$9 miliar atau sekitar Rp 128 triliun.

Pembicaraan soal metaverse ini juga telah dimulai oleh pendiri dan CEO Niantic, John Hanke, pada bulan Agustus lalu. Hanke mengutarakan bahwa mereka memiliki pemahaman konsep yang cukup berbeda terhadap metaverse. Bila perusahaan lain membangun dunia virtual yang nantinya dapat diakses menggunakan perangkat virtual reality (VR), maka Niantic berusaha sebaliknya.

Image credit: knowledia

Dunia metaverse milik Niantic nantinya akan berusaha untuk membawa orang-orang untuk lebih dekat ke dunia luar. Mereka percaya bahwa metaverse juga dapat dibangun lewat augmented reality yang akan diakses di dunia nyata.

“Di Niantic, kami percaya bahwa manusia akan sangat bahagia saat dunia virtual dapat membawa mereka ke dunia nyata,” ungkap Hanke. “Berbeda dengan metaverse fiksi-ilmiah, metaverse dunia nyata akan menggunakan teknologi untuk meng-upgrade pengalaman kita di dunia seperti yang telah kita kenal selama ribuan tahun.”

Untuk mewujudkan hal tersebut, perusahaan yang berbasis di San Francisco ini telah mengumumkan alat untuk membantu mengembangkan game berbasis AR yang diberi nama Lightship AR Developer Kit atau ARDK. Berita baiknya, Niantic menggratiskan dev-kit ini bagi siapapun selama memiliki pengetahuan dasar terhadap game engine Unity.

Dana triliunan yang telah disebutkan sebelumnya juga akan digunakan untuk membantu Niantic memperluas ARDK. Selain itu, Niantic juga menggandeng banyak perusahaan lain seperti Universal Pictures, Warner Mucis Group, Historic Royal Palaces, hingga festival musik dan seni Coachella untuk merealisasikan metaverse mereka tersebut.

Metaverse memang menjadi topik yang cukup hangat diperbincangkan terutama setelah bos Epic Games, Tim Sweeney telah melemparkan topik ini beberapa bulan lalu. Metaverse juga semakin populer saat CEO dan pendiri Facebook (sekarang bernama Meta), Mark Zuckenberg juga mengangkat topik ini.

Namun pendekatan multiverse yang dilakukan oleh Niantic terbilang lebih terjangkau dan masuk akal untuk diterapkan. Pasalnya, penggunaan AR lewat smartphone lebih memungkinkan daripada harus memaksa para pengguna untuk membeli headset VR baru yang belum terlalu populer sekarang.

Jika Anda tertarik untuk tahu lebih jauh soal metaverse, kami pernah menuliskan tentang serba-serbi metaverse lengkap sebelumnya dari mulai definisi, relevansi, sampai potensinya. Selain itu, kami juga sempat membahas lebih dalam tentang hal-hal apa saja yang membuat teknologi VR sepertinya kesulitan untuk lepas landas.

Keanu Reeves Tidak Ingin Karakter Filmnya Muncul di Mortal Kombat

Seri Mortal Kombat memang menjadi salah satu game fighting dengan pertarungan dan juga karakter-karakter yang ikonik. Pertarungan brutal yang tidak segan memperlihatkan adegan sadis dengan berbagai karakter unik dengan jurusnya masing-masing memang memiliki basis fans yang besar.

Tidak mengherankan bila pada akhirnya Mortal Kombat berhasil mendatangkan berbagai karakter dari semesta lain, termasuk film layar lebar seperti Terminator, Robocop, hingga Rambo. Hal ini tentu membuka kemungkinan karakter dari film lain untuk mampir ke dalam game ini.

Salah satu yang sempat disebutkan oleh sang kreator, Ed Boon, adalah karakter John Wick meskipun pada akhirnya dirinya mengakui bahwa pernyataannya pada tahun 2019 tersebut hanyalah candaan belaka.

Image credit: Reddit

Namun pernyataan “candaan” tersebut kini ditanyakan langsung kepada sang aktor, Keanu Reeves oleh Esquire Magazine. Dalam video seri berjudul “Explain This”, Reeves menerima pertanyaan apa pendapat sang aktor bila John Wick, Neo (dari seri The Matrix), atau bahkan kedunya untuk masuk ke dalam semesta Mortal Kombat. Apakah dirinya memperbolehkannya?

Sayangnya, Reeves ternyata tidak merestui dua karakter film ikoniknya tersebut untuk muncul di dalam Mortal Kombat.

“Jika itu terserah saya? Maka tidak. Mortal Kombat adalah game yang luar biasa dalam banyak hal, tapi kupikir… kalian tahu, Neo, John Wick, mereka bisa melakukan halnya masing-masing. Begitu juga dengan Mortal Kombat.” Ujar aktor berumur 57 tahun tersebut.

Image credit: Epic Games

Karakter John Wick sendiri sebenarnya telah muncul dalam beberapa game sebelumnya. Yang pertama adalah dalam Payday 2, meskipun wajah yang digunakan dalam game-nya tidak menyerupai Keanu Reeves. Yang kedua adalah sebagai skin di dalam Fortnite yang merupakan kolaborasi dengan filmnya. Dan yang terakhir adalah game strategi resminya yang berjudul John Wick Hex.

Sedangkan untuk karakter Neo sebenarnya juga telah muncul dalam tiga game adaptasi resmi dari film The Matrix. Namun sebenarnya Neo lebih berkesempatan untuk muncul ke dalam Mortal Kombat karena baik Mortal Kombat ataupun The Matrix sama-sama berada di bawah naungan Warner Bros.

Keanu Reeves kelihatannya lebih ingin bahwa dua karakter yang ia mainkan tersebut tetap berada di mediumnya masing-masing. Namun dengan kehadiran film terbaru baik John Wick dan The Matrix, kemungkinan untuk kolaborasi dengan beragam game masih tetap terbuka.

Laporan IGDX: Perketat Regulasi, Pemerintah Ingin Developer Game Lokal Jadi Lebih Kompetitif

Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan pasar game paling besar. Sementara di dunia, Indonesia merupakan pasar game terbesar ke-16. Pada 2020, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengungkap bahwa pemasukan industri game Indonesia mencapai Rp24,88 triliun atau sekitar 2,19% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Sayangnya, walau pasar game Indonesia besar, developer lokal hanya menguasai sekitar 0,4% dari pangsa pasar. Hal itu menunjukkan, pasar game Indonesia memang masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan game asing. Pemerintah Indonesia ingin mengubah hal ini.

Menyeimbangkan Posisi Developer Lokal dan Asing

Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI), Cipto Adiguno, mengungkap bahwa pertumbuhan industri game Indonesia sebenarnya sangat besar, yaitu 50% per tahun. Hanya saja, walau industri game lokal Indonesia terus tumbuh 50% per tahun dalam 10 tahun ke depan, pangsa pasar yang dikuasai oleh developer lokal tetap tidak lebih dari 5%. Karena itu, bergandengan dengan berbagai kementerian dari pemerintah, AGI berusaha untuk mengakselerasi pertumbuhan industri game di Indonesia.

“Salah satu cara untuk mempercepat pertumbuhan industri adalah menciptakan perusahaan yang besar,” kata Cipto ketika ditemui di Indonesia Game Developer Conference (IGDX) yang digelar di Sheraton Kuta, Bali. “Menurut Pareto Principle, 20% perusahaan terbesar akan memberikan efek sebesar 80% pada industri. Di industri game, angkanya sebenarnya di bawah itu. Misalnya, di Kanada, 5% perusahaan terbesar mempekerjakan 80% dari seluruh tenaga kerja. Jadi, sejumlah kecil perusahaan — tapi berukuran besar — dapat memberikan efek besar ke industri. Hal ini yang ingin kami lakukan.”

Cipto Adiguno, Presiden AGI. | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Menurut Cipto, mendorong terciptanya perusahaan game lokal raksasa, hal lain yang bisa mendorong pertumbuhan industri game adalah regulasi yang lebih jelas. “Saat ini, game itu nggak ada peraturan. Kita punya rating system, tapi tidak wajib. Tidak ada penegakannya dan peraturannya tidak terlalu kuat,” ujarnya. Dan ketidakjelasan tersebut bisa menciptakan masalah. Misalnya, anak kecil memainkan game yang penuh dengan kekerasan. Dengan adanya regulasi yang lebih jelas dan penegakan sistem rating yang lebih kuat, diharapkan stigma buruk akan game juga bisa memudar.

Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Ditjen Aptika Kementerian Kominfo, I Nyoman Adhiarna mengatakan bahwa salah satu usaha pemerintah untuk membantu developer lokal agar bisa bersaing dengan developer asing adalah menyamaratakan kedudukan keduanya dalam pasar, termasuk dalam hal pembayaran pajak.

“Selama ini, ketika kita bermain game dan membeli item di aplikasi, uang tersebut langsung masuk ke perusahaan game. Dan perusahaan tidak pernah bayar pajak ke kita,” ujar Nyoman. “Sementara itu, para pembuat game di Indonesia, mereka punya badan hukum Indonesia, mereka harus bayar PPN, harus bayar PPh. Hal ini tidak adil. Karena itu, kita ingin agar tercipta level playing field. Jadi mungkin, nantinya, perusahaan game asing harus membayar sesuatu ke pemerintah, walau bentuknya mungkin bukan pajak.”

Selain soal pajak, Nyoman mengungkap, hal lain yang ingin pemerintah lakukan adalah memastikan game-game buatan perusahaan asing yang diluncurkan di Tanah Air memang punya nilai yang sama dengan budaya Indonesia. Pada saat yang sama, dia berkata, pemerintah juga tidak ingin membuat peraturan yang terlalu ketat. Karena, dikhawatirkan, hal itu justru akan mematikan pertumbuhan industri game di Indonesia.

I Nyoman Adhiarna. | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Ketika ditanya apakah rencana pemerintah untuk mengenakan pajak pada perusahaan game asing akan membantu developer Indonesia, Cipto menjawab iya. Dia lalu menjelaskan, selama ini, ketika gamers membeli item dalam game, maka mereka akan menanggung PPN sebesar 10%. “Kalau kita menjual barang digital sebesar Rp100 ribu, sebenarnya, pembeli harus membayar Rp110 ribu. Dari pemasukan Rp100 ribu, App Store dan Play Store akan minta sebagian sebagai komisi. Tapi, mereka tidak memberikan faktur pajak ke kita. Jadi, kita bayar lagi PPN-nya,” cerita Cipto.

Cipto juga mengungkap, saat ini, pasar game di Indonesia sangat terbuka. “Perusahaan dari luar bisa jual game seenak hati mereka,” katanya. “Tapi, dari sini, untuk bisa keluar, tidak semudah itu.” Dia memberikan contoh, terkadang, untuk bisa meluncurkan game di negara-negara tertentu, developer harus memastikan bahwa data pemain disimpan di server yang berada di negara asal pemain. Contoh lainnya, untuk bisa meluncurkan game di Jepang, developer harus mematuhi sistem rating di negara itu. Selain itu, proses penetapan rating itu juga berbayar. Hal yang sama juga berlaku di Korea Selatan.

“Ada juga negara-negara yang melarang game untuk masuk sama sekali kalau kita tidak kerja sama dengan perusahaan lokal,” ujarnya. Salah satu negara yang dia maksud adalah Tiongkok. Untuk bisa meluncurkan game di Tiongkok, perusahaan game harus mematuhi banyak peraturan dari Beijing. Salah satunya adalah kerja sama dengan perusahaan lokal.

“Peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah negara-negara lain kan beragam, mulai dari agak mengganggu sampai benar-benar memblokir. Kita akan coba cari regulasi somewhere in-between,” kata Cipto. “Karena, kalau ketat memblokir juga pasti banyak backlash. Dan kita sebagai pemain game juga tidak mau kalau game favorit kita tutup. Kita kan juga bagian dari WTO (World Trade Organization), jadi tidak bisa seenaknya memblokir begitu saja.”

Meningkatkan Kualitas SDM

Jika dibandingkan dengan Jepang atau Amerika Serikat, industri game di Indonesia masih sangat muda. Alhasil, salah satu masalah yang muncul di industri game Indonesia adalah kurangnnya sumber daya manusia (SDM) yang berpengalaman. Untuk mengatasi masalah itu, Kominfo dan AGI mengadakan IGDX Academy. Program one-on-one mentoring itu diikuti oleh 25 developer game lokal.

Program IGDX Academy sendiri terbagi ke dua kategori: intermediate dan advanced. Cipto menjelaskan, kelas intermediate ditujukan untuk developer yang relatif berumur muda. Mereka akan dipasangkan dengan mentor dari dalam negeri. Sementara itu, kategori advanced ditujukan untuk developer yang sudah menjadi mentor lokal. Mereka akan mendapatkan mentor dari luar negeri. Para mentor yang dipilih untuk membimbing para peserta IGDX Academy ditetapkan oleh AGI.

“Ketika mencari mentor, pertama yang kita cari adalah pengalaman,” jawab Cipto ketika ditanya tentang karakteristik dari para mentor IGDX Academy. “Sejak awal, kita tahu bahwa skill yang akan diajari bukan skill teknis, tapi bagaimana cara untuk menjalankan bisnis game. Informasi itu adalah informasi penting yang banyak orang nggak tahu.”

Para developer yang menjadi mentee dari IGDX Academy.

“Seorang mentor harus punya posisi strategis. Kalau posisinya adalah technical programmer, dia tidak bisa menjadi mentor. Karena seorang mentor harus pernah mengambil keputusan strategis, seperti kemana tujuan perusahaan,  ketika dihadapkan pada dua pilihan, kenapa perusahaan mengambil keputusan A,” ungkap Cipto. Dia lalu menjelaskan alasan mengapa AGI memilih untuk mencari mentor yang mengerti sisi non-teknis.

“Sebagian besar developer game Indonesia memulai karir mereka karena mereka memang suka main game, bukan karena mereka mau dapat uang,” kata Cipto. “Kalau seseorang mengerti bisnis dan mau dapat uang, ada banyak pilihan lain yang lebih obvious dari game, seperti membuat startup teknologi, bisa dapat investasi, atau bermain Bitcoin. Tapi, biasanya, developer yang punya produk menjanjikan, mereka memang datang dari latar belakang yang bisa membuat produk yang bagus, tapi mereka biasanya tidak punya pemahaman bisnis yang baik.”

Selain pernah menduduki jabatan sebagai co-founder atau C-level, kriteria lain dari mentor IGDX Academy adalah lama pengalaman. AGI berusaha untuk mencari orang-orang yang sudah berkecimpung di dunia game selama setidaknya 10 tahun. Cipto menyebutkan, besar kecil dari perusahaan tempat sang mentor bekerja justru bukan masalah. Kriteria terakhir dari mentor yang AGI cari adalah ketersediaan waktu.

“Orang-orang dengan posisi strategis dan banyak pengalaman pasti sibuk,” ujar Cipto. Karena itu, dia menjelaskan, AGI mendesain program mentorship IGDX Academy sedemikian rupa agar para mentor tidak harus menghabiskan banyak waktu mereka. Seorang mentor biasanya bertanggung jawab atas dua mentee. Dan setiap mentor hanya harus menghabiskan waktu dengan masing-masing mentee mereka selama 40 menit seminggu. Artinya, seorang mentor hanya harus menghabiskan waktu selama kurang dari dua jam dalam seminggu.

Bagaimana Nintendo Mendukung Game Indie di Switch?

Nintendo meluncurkan Switch pada Maret 2017. Sejak saat itu, Nintendo telah meluncurkan dua versi baru dari Switch, yaitu Switch Lite dan Switch OLED. Per 2019, angka penjualan Switch mencapai 41,7 juta unit. Pada 2021, angka itu naik menjadi lebih dari 92 juta unit. Hal itu berarti, minat gamers akan Switch masih tinggi dalam dua tahun terakhir.

Dalam Indonesia Game Developer Exchange (IGDX), Kamon Yoshimura, Head of Developer and Publisher Relations for Southeast Asia, Nintendo memberikan penjelasan singkat tentang apa yang harus developer lakukan jika mereka ingin meluncurkan game mereka di Switch. Dia mengatakan, pada dasarnya, developer punya dua cara untuk membawa game mereka ke Switch. Pertama, developer bisa meluncurkan game yang mereka buat melalui Nintendo eShop. Kedua, developer bisa bekerja sama dengan publisher yang memang sudah diakui oleh Nintendo, seperti Capcom, Konami, Square Enix, 2K, Bethesda, 505 Games, Ubisoft, dan lain sebagainya.

Untuk bisa meluncurkan game di Nintendo eShop, developer harus mendaftarkan diri di Nintendo Developer Portal (NDP). Sementara itu, sebelum meluncurkan game di eShop, developer harus mengunggah game ke server Nintendo terlebih dulu. Di tahap ini, Nintendo akan memeriksa apakah game dari developer memang kompatibel dengan Switch. Jika tidak ada masalah, developer akan mendapatkan persetujuan dari Nintendo. Kemudian, developer akan diminta untuk mengunggah aset marketing dari game mereka, seperti trailer dan screenshot. Ketika semua persiapan telah selesai, maka game yang developer unggah ke eShop akan bisa diakses oleh pengguna Switch di seluruh dunia.

Dari tahun ke tahun, jumlah penjualan game digital di Nintendo eShop terus naik. Misalnya, pada tahun fiskal 2021, total nilai penjualan game digital mencapai JPY3,4 miliar (sekitar Rp420 miliar), naik 68,5% dari JPY2,04 miliar (sekitar Rp252 miliar) pada tahun fiskal 2020. Karena itu, jangan heran jika kontribusi penjualan game digital pada total nilai penjualan game di konsol Nintendo juga terus naik. Pada 2021, penjualan game digital menyumbangkan 42,8% dari total penjualan game untuk Nintendo.

Menurut Nintendo, salah satu alasan mengapa penjualan game digital terus naik adalah karena keberadaan game indie dan game-game yang hanya dijual secara digital. Melihat tren ini, Nintendo mencoba memberikan dukungan pada developer game indie. Salah satu dukungan yang mereka berikan adalah mengadakan Nintendo Indie World, event yang memang khusus diadakan untuk memamerkan game-game indie yang akan diluncurkan di Switch.

Sumber header: Pexels

Tips untuk Melakukan Pitching ke Publisher dari Toge Productions

Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Asosiasi Game Indonesia menggelar Indonesia Game Developer Exchange (IDGX) pada 18-22 November 2021. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di industri game lokal menjadi salah satu tujuan dari penyelenggaraan IGDX. Dan salah satu topik yang dibahas di acara tersebut adalah cara developer game melakukan pitching pada publisher.

Ketika ditanya tentang tips untuk melakukan pitching pada publisher, CEO dan pendiri Toge Productions, Kris Antoni Hadiputra menjawab, “Jangan malu-malu. Langsung saja kirim email ke publisher. Tapi, ketika kalian kirim email, jangan hanya bilang kalau kalian ingin melakukan pitching. Kirimkan pitch deck yang meyakinkan.” Dia mengungkap, salah satu kelemahan developer game di Indonesia memang ketidaktahuan akan cara untuk melakukan pitching.

“Yang paling penting, developer harus bisa menjelaskan kenapa game yang mereka buat harus ada di dunia,” jelas Kris. “Alasannya apa? Apa karena ada kebutuhan tertentu, atau memang ada demand tertentu atau ada kesempatan khusus? Developer juga harus bisa meyakinkan publisher bahwa mereka bisa mengeksekusi game yang akan mereka buat. Jadi, tidak hanya jualan mimpi.”

Lebih lanjut, Kris menjelaskan, saat melakukan pitching, developer juga sebaiknya mengirimkan mockup, screenshots, atau bahkan prototipe dari game yang hendak mereka buat. Tujuannya adalah untuk menunjukkan game yang ingin developer kembangkan. Ketika email pitching tidak dibalas, Kris mengatakan, developer tidak boleh menyerah begitu saja. Dia menyarankan agar developer terus mengirimkan email pitching pada publisher. “Spam juga nggak apa-apa,” ujarnya sambil tertawa. “Perseverance memang penting sih.”

Adib, Kris, dan Riris dalam IGDX.

Adib Toriq, CEO Algorocks juga memberikan tips tentang cara melakukan pitching pada publisher. Dia memberikan saran dari sudut pandang Algorocks sebagai developer game. Saran pertamanya adalah untuk memeriksa portofolio publisher sebelum developer melakukan pitching. “Karena, terkadang, publisher menolak sebuah game bukan karena game-nya tidak bagus, tapi karena tidak sesuai dengan portofolio publisher,” kata Adib.

Selain itu, Adib juga menekankan pentingnya etika ketika menghubungi publisher. “Jangan jadi orang menyebalkan,” ujarnya. Salah satu contoh etika yang dia berikan adalah membalas email dari publisher dengan cepat. Contoh lainnya adalah mengajukan dana sesuai dengan kebutuhan. “Dan yang paling penting adalah game harus punya value. Seberapa bagus skill pitching developer, kalau game-nya memang tidak punya nilai unik, bakal sulit untuk membuat publisher mau merilis game itu,” katanya.

Usaha developer tidak berakhir dengan tawaran kontrak dari publisher. Riris Marpaung, CEO dan pendiri GameChanger Studio mengatakan, setelah mendapatkan kontrak dari publisher, developer sebaiknya memeriksa kontrak tersebut bersama dengan pengacara. Alasannya adalah karena kontrak antara developer dan publisher “penuh dengan pasal-pasal hukum jelimet“, menurut Riris. Untuk meninjau kontrak, developer tidak harus punya pengacara sendiri. Bisa saja, mereka menggunakan jasa pengacara per kontrak.

Fold AR Adalah Game Mirip Pokemon Go, Tapi yang Isinya Bitcoin Ketimbang Monster

Apa jadinya kalau deretan monster di Pokémon Go kita ganti dengan bitcoin? Jadi ketimbang mengelilingi komplek di sekitar rumah untuk berburu Pokémon anyar, yang diburu justru adalah pecahan-pecahan mata uang crypto. Kedengarannya mungkin kelewat utopis, tapi inilah visi yang tengah diwujudkan oleh sebuah startup asal Amerika Serikat bernama Fold.

Tidak tanggung-tanggung, Fold memutuskan untuk langsung bekerja sama dengan pengembang Pokémon Go itu sendiri, Niantic, dalam mewujudkan visinya. Hasil kolaborasinya adalah Fold AR, sebuah game augmented reality sederhana yang banyak terinspirasi oleh Pokémon Go.

Cara bermainnya sangat sederhana: setiap 10 menit, pemain bisa menemukan sebuah blok yang muncul secara acak di sekitarnya dalam radius 15 meter. Hampiri dan buka blok tersebut, maka pemain bakal menerima hadiah. Hadiahnya bisa bervariasi, tapi yang paling utama adalah satoshi — satuan terkecil bitcoin, dengan nilai 1 satoshi setara 0,00000001 BTC.

Premisnya sepintas terdengar seperti mining, tapi yang dapat dilakukan hanya dengan bermodalkan sebuah smartphone. CEO Fold, Will Reeves, percaya bahwa ini bisa menjadi cara termudah bagi banyak orang untuk mendapatkan bitcoin pertamanya.

“Siapapun bisa menggunakan aplikasi kami untuk mendapatkan Bitcoin dan hadiah-hadiah lain dengan menjelajahi dunia di sekitarnya. Bagi kami, sangatlah penting untuk memberikan kemudahan berpartisipasi dalam ekonomi Bitcoin bagi siapapun, terlepas dari latar belakang pendidikan atau pehamahan teknisnya,” terang Will seperti dikutip oleh VentureBeat.

Dalam sebuah posting blog, Will juga sempat menyinggung soal “bitcoin metaverse” dan bagaimana mereka tertarik dengan konsep real-world metaverse yang digagaskan oleh Niantic. Apapun itu, yang pasti bentuk gamification semacam ini memang berpeluang untuk menggaet partisipasi dari banyak orang sekaligus.

Terlepas dari betapa simpel permainannya, Fold AR terus memperkuat tren game play-to-earn (P2E) yang sedang marak belakangan ini, dengan Axie Infinity dan berbagai judul game P2E lain yang terus menjadi topik perbincangan publik.

Sumber: The Verge.