Mobile Game Jadi Semakin Kompleks Dalam 10 Tahun Terakhir

Sejak 1997, mobile game telah populer berkat keberadaan game-game kasual, seperti Snake di ponsel Nokia. Perlahan tapi pasti, teknologi yang diusung perangkat mobile menjadi semakin canggih, memungkinkan developer untuk membuat mobile game yang semakin kompleks. Pada 2002, X-Forge 3D dirilis. Dengan game engine tersebut, developer bisa membuat mobile game dengan grafik 3D. Dan sejak saat itu, mobile game terus berkembang, tidak hanya dari segi grafik, tapi juga gameplay.

Kontribusi Mobile Game yang Semakin Besar ke Industri Game Global

Tahun lalu, hampir setengah dari total pemasukan industri game berasal dari mobile game. Tahun ini, mobile game memberikan kontribusi sebesar US$90,7 miliar — atau sekitar 52% — dari total pemasukan industri game, yang diperkirakan bakal mencapai US$175,8 miliar. Hal ini menunjukkan, kontribusi mobile game pada pemasukan industri game terus naik. Selain itu, jika dibandingkan dengan industri game konsol dan PC, industri mobile game juga memiliki tingkat pertumbuhan paling cepat. Dalam periode 2018-2021, tingkat rata-rata pertumbuhan (CAGR) dari industri mobile game mencapai 13,1%. Sementara CAGR dari industri game secara umum hanyalah 8,1%.

Industri game pada 2021. | Sumber: Newzoo

Mobile game tidak hanya unggul dari segi pemasukan, tapi juga dari jumlah pemain. Tahun ini, Newzoo menyebutkan, jumlah gamers di dunia mencapai 3,22 miliar orang. Sebanyak 2,8 miliar orang, atau sekitar 94%, bermain game di mobile. Sementara itu, jumlah gamer PC mencapai 1,4 miliar orang dan konsol 900 juta orang.

Jika melihat pembagian industri game berdasarkan region, Asia Pasifik masih menjadi kontributor utama. Kawasan Asia Pasifik menyumbangkan 50% dari total pemasukan game atau sekitar US$88,2 miliar. Sementara itu, Tiongkok dan Amerika Serikat merupakan dua negara dengan industri game terbesar. Sekitar 48% pemasukan dari industri game berasal dari dua negara tersebut. Industri game di Tiongkok bernilai US$45,6 miliar dan di AS US$39,1 miliar.

Tren Mobile Game

Seiring dengan bertambahnya jumlah mobile gamers, maka semakin banyak pula developer yang tertarik untuk membuat mobile game. Developer-developer besar yang sebelumnya tak pernah melirik mobile game pun mulai tertarik untuk membuat mobile game. Salah satu contohnya adalah Riot Games. Selama 10 tahun, mereka fokus pada League of Legends, game PC mereka. Mereka bahkan sempat berselisih dengan Tencent karena mereka tidak ingin meluncurkan League of Legends di mobile. Namun, pada 2020, mereka akhirnya meluncurkan League of Legends: Wild Rift untuk mobile.

Tak hanya itu, Blizzard Entertainment dan Nintendo pun akhirnya memutuskan untuk membuat mobile game. Electronic Arts juga telah mengakuisisi Glu Mobile, menunjukkan ketertarikan mereka untuk membuat mobile game sendiri. Dikabarkan, EA akan merilis versi mobile dari Apex Legends pada tahun depan. Selain Apex Legends, beberapa franchise game populer, seperti Devil May Cry dan Final Fantasy, juga punya game yang dirilis untuk mobile. Hal ini terjadi karena mobile game kini sudah bisa mengakomodasi genre-genre favorit para core gamers, seperti MOBA, racing, shooter, battle royale, dan strategy.

Favorit genre dari mobile gamers di AS, Inggris, Tiongkok, India dan Arab Saudi. | Sumber: Newzoo

Berkat entry barrier yang rendah, mobile game juga sangat populer di negara-negara berkembang, termasuk di Tiongkok dan India. Jadi, developer yang ingin menargetkan gamers di negara-negara tersebut bisa mencoba untuk membuat mobile game. Para mobile gamers di negara berkembang, seperti Tiongkok, India, dan Arab Saudi, biasanya menyukai mobile game yang kompleks dan kompetitif. Faktanya, di Tiongkok, genre favorit para mobile gamers adalah MOBA, diikuti oleh puzzle, shooter, dan battle royale. Sementara di India, empat genre favorit bagi para mobile gamers adalah racing, puzzle, sports, dan shooter. Di Arab Saudi, empat genre favorit adalah puzzle, sports, racing, dan adventure.

Sebagai perbandingan, genre favorit para mobile gamers di AS adalah puzzle, match, traditional card games, dan arcade. Mobile gamers di Inggris juga punya selera yang sama dengan mobile gamers di AS. Hanya saja, arcade menjadi genre favorit ketiga, dan traditional card games di posisi keempat. Di AS, genre mobile game kompetitif yang populer adalah strategy. Karena itu, game-game seperti Clash of Clans dan Clash Royale dari Supercell cukup populer di kalangan mobile gamers AS. Selain itu, game 4X strategy dari developer Tiongkok juga cukup sukses. Buktinya, game-game itu berhasil masuk dalam daftar mobile game terpopuler di AS.

Tipe mobile gamers di AS, Inggris, Tiongkok, India, dan Arab Saudi. | Sumber; Newzoo

Dalam laporannya, Newzoo mengategorikan mobile gamers ke dalam tujuh kelompok: Ultimate Gamer, All-Round Enthusiast, Subscriber, Conventional Player, Hardware Enthusiast, Popcorn Gamer, dan Time Filler. Di dunia, dua kelompok mobile gamers yang mendominasi adalah Time Filler (24%) dan Subscriber (23%). Time Filler adalah mobile gamers yang hanya bermain game untuk mengisi waktu luang atau di sela-sela kegiatan sosial. Sementara Subscriber adalah gamers yang senang untuk bermain game berkualitas tinggi, khususnya game free-to-play. Mereka hanya akan membeli hardware yang lebih mumpuni jika memang diperlukan.

Di Tiongkok, sebagian besar mobile gamers merupakan Ultimate Gamers, yaitu para gamers yang rela untuk menghabiskan waktu dan uang mereka demi bermain game. Di Arab Saudi, AS, dan India, kelompok Subscriber mendominasi. Sementara di Inggris, kebanyakan mobile gamers masuk dalam kategori Time Fillers.

Bagaimana Industri Mobile Game Tiongkok Bisa Berkembang?

Saat ini, Tiongkok menjadi negara dengan jumlah core mobile gamers terbanyak. Salah satu alasannya adalah karena hingga 2010, para gamers di Tiongkok hanya bisa bermain game di PC. Memang, pemerintah Tiongkok melarang penjualan konsol sampai 2015. Alhasil, PC menjadi platform utama para gamers. Di kalangan gamers PC Tiongkok, game-game yang populer adalah game kompetitif seperti Counter-Strike atau MMORPG seperti World of Warcraft dan Fantasy Westward.

Gamers Tiongkok mulai mengenal mobile game pada 2010 berkat Angry Birds dan Fruit Ninja. Sementara itu, sejak 2011, perusahaan smartphone lokal, seperti Xiaomi, OPPO, Vivo, dan Huawei, mulai menyasar pengguna smartphone kelas bawah dan menengah. Dan perlahan tapi pasti, mereka mulai menguasai pasar smartphone di Tiongkok. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa industri mobile game di Tiongkok bisa tumbuh pesat. Tak berhenti sampai di situ, pada 2012, Shenxiandao Mobile diluncurkan. Peluncuran game tersebut menginspirasi developer game untuk membuat mobile game dari game-game browser yang sudah populer. Sementara pada 2013, Locojoy merilis I AM MT, mobile game yang berhasil mengintegrasi mekanisme game PC ke mobile.

Kontribusi dari mobile game kompleks semakin besar pada industri mobile game Tiongkok. | Sumber: Newzoo

Kemampuan mobile game untuk mengadaptasi mekanisme game PC semakin terlihat pada 2015, dengan diluncurkannya Honor of Kings. Sejak saat itu, semakin banyak game PC yang dirilis untuk mobile, seperti Fantasy Westward Journey dan CrossFire Mobile. Sampai saat ini, kedua mobile game itu masih masuk dalam daftar mobile game dengan pemasukan terbesar di Tiongkok. Sejak saat itu, tren di game PC pun mulai diadaptasi ke mobile. Pada 2017, NetEase meluncurkan game battle royale berjudul Knives Out. Memang, ketika itu, genre battle royale tengah populer berkat PUBG. Satu tahun kemudian, pada 2018, Tencent merilis PUBG Mobile. Nantinya, game tersebut dirilis ulang dengan nama Peacekeeper Elite.

Popularitas mobile game di Tiongkok mendorong munculnya mobile esports. Pada 2019, turnamen mobile esports tingkat global pertama digelar di Tiongkok. Saat itu, ada dua game yang diadu, yaitu QQ Speed dan Honor of Kings. Pada 2020, developer Tiongkok mulai meluncurkan game di multiplatform. Salah satunya adalah miHoYo dengan Genshin Impact. Tren ini tampaknya akan masih berlanjut pada 2021 dengan peluncuran Revelation Mobile.

Sony Disebut Meminta Rp365 Juta pada Developer Game untuk Posisi Strategis PS Store

Sony tentunya sangat menyayangi judul-judul eksklusifnya karena dari situlah sumber pendapatan sekaligus pujian dari para fans. Namun Sony kelihatannya punya perlakuan yang cukup berbeda kepada pengembang dan penerbit game indie.

Salah seorang pengembang game indie akhirnya buka suara mengenai Sony yang membebani para pengembang indie biaya sebesar $25,000 atau Rp363 juta agar game mereka bisa mendapatkan posisi strategis (featured) di PlayStation Store.

Pengakuan ini diutarakan oleh co-founder dari Neon Doctrine. Pengembang dan penerbit game indie asal Inggris ini menjelaskan tanpa menyebut Sony maupun PlayStation namun menyebutnya sebagai ‘Platform X’.

Iain menjelaskan panjang lebar pengalamannya dalam merilis game miliknya di platform PlayStation tersebut. Mulai dari proses peluncuran pada platform tersebut yang memiliki banyak tahapan sulit hingga bagaimana PlayStation tidak memberikan para pengembangnya kemampuan untuk mengatur game-nya ketika sudah meluncur di Store.

Kesulitan tersebut berlanjut ketika game-nya telah diluncurkan. Karena Sony memiliki kendali penuh dalam berbagai hal mulai dari memberikan diskon dan bahkan menampilkan game tersebut di toko mereka.

Semua kendali tersebut berada di pemegang platform (Sony) yang akan melakukan evaluasi ke pada produk game mereka. Iain juga menjelaskan bahwa tidak ada kejelasan dan transparansi bagaimana proses evaluasi tersebut dilakukan.

Dari situlah Iain menjelaskan bahwa ada jalan untuk memastikan game miliknya ditampilkan yaitu membayar nominal besar yang telah disebutkan di atas. Bahkan dari sumber lain disebutkan bahwa biaya ‘featured‘ tersebut bisa mencapai $200.000 atau Rp2,9 miliar.

Image credit: Sony

“Jika Platform X tidak menyukai game Anda, tidak ada gembar-gembor, tidak ada perhatian, tidak ada cinta,” ujar Iain dalam cuitannya.

Iain juga menambahkan pernyataannya kepada media Kotaku dengan menyebut Sony telah mengecewakan pengembang indie dalam skala besar sambil masih menggunakan mereka sebagai bagian dari pemasarannya.

“Telepon baru-baru ini yang saya lakukan menunjukkan bahwa mereka tidak menghargai kami, pendapat kami, atau mata pencaharian kami. Yang lebih buruk adalah (Sony) memastikan bahwa pelanggan mereka mendapatkan pilihan yang lebih buruk dan memiliki lebih sedikit pilihan. Saya tidak memahami logikanya tetapi tampaknya buruk bagi semua orang termasuk mereka sendiri.” Tutup Iain.

KONAMI dan Bloober Team Umumkan Kerjasama untuk Silent Hill?

Blooper Team telah mengumumkan kerja sama dengan KONAMI, salah satu publisher game terbesar di dunia. Kedua belah pihak telah menandatangani “strategic cooperation agreement“, yang berarti mereka akan bergabung dalam mengembangkan konten terpilih dan saling bertukar informasi. Berita ini pertama kali dirilis oleh Blooper Team melalui website resmi mereka pada tanggal 30 Juni 2021.

“Hari ini adalah hari bersejarah bagi saya dan puncak dari beberapa tahun kerja keras kami. Fakta bahwa sebuah perusahaan terkemuka seperti KONAMI memutuskan untuk bekerja sama secara strategis dengan Blooper Team, menandakan bahwa kami juga bergabung dengan para pemimpin industri gaming dan menjadi rekan setara dengan mereka,” kata Piotr Babieno, Presiden Bloober Team.

Bloober Team adalah developer video game asal Polandia yang didirikan pada November 2008. Perusahaan ini dikenal dengan game-game horror mereka, seperti Layers of Fear (2016), Observer (2017), Blair Witch (2019) dan game terbaru mereka yakni The Medium (2021).

KONAMI merupakan sebuah perusahaan yang telah lama berkecimpung di dalam dunia game dan entertainment. Mereka merupakan perusahaan terkemuka dengan banyak franchise yang mendunia, seperti eFootball PES, Metal Gear, Silent Hill, Contra, Castlevania, dan juga Yu-Gi-Oh! Trading Card Game.

Kolaborasi antara developer game horror dan perusahaan raksasa yang memegang banyak sekali franchise, memperkuat adanya usaha untuk membangkitkan kembali seri game horror terkenal, Silent Hill. Seri ini sangat diminati para penggemar game horror karena Silent Hill merupakan game yang sangat ikonik sampai sekarang.

Silent Hill telah memberikan dampak yang signifikan atas pengembangan game horror saat ini. Meski game horror, Silent Hill tidak serta merta mengandalkan jumpscare dan makhluk-makhluk menyeramkan seperti game horror kebanyakan.

Sebagai contoh, Silent Hill dapat membangun suasana mencekam melalui berbagai unsur, mulai dari alur cerita, karakter, musik latar hingga penggunaan lingkungan di sekitar pemain. Walaupun dengan keterbatasan teknologi grafis pada waktu itu, Silent Hill masih bisa menciptakan suasana menakutkan dengan pemakaian kabut dan camera angle khas Silent Hill.

Sebuah game Silent Hill baru sangat dinantikan oleh para fansnya. Seri game Silent Hill terakhir dirilis pada 12 Agustus 2014. Selain itu fans juga sempat kecewa karena KONAMI pernah membatalkan pengerjaan game Silent Hill oleh Hideo Kojima. Fans pastinya menyambut baik kabar ini, dengan harapan game terbaru Silent Hill segera terwujud.

3 Tren Aplikasi Belanja di Amerika Serikat Pada Q1 2021

Pandemi COVID-19 memaksa orang-orang untuk mengubah gaya hidupnya. Misalnya, para gamers menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain game dan menonton game karena pandemi. Selain itu, pandemi juga mengubah cara orang-orang berbelanja. Lockdown yang ditetapkan oleh pemerintah di berbagai negara — termasuk Amerika Serikat — membuat banyak orang beralih ke belanja online. Karena itulah, jumlah download dari aplikasi belanja di AS meningkat pesat pada tahun lalu. Dan tren ini tampaknya masih terbawa hingga tahun ini.

Marketplace Kuasai 33% Pangsa Pasar Aplikasi Belanja Online

Pada Q1 2021, jumlah download dari aplikasi belanja online di AS naik 9% dari tahun lalu, menjadi 162 juta downloads, menurut data terbaru dari Sensor Tower. Seiring dengan bertambahnya pengguna, maka persaingan di antara aplikasi belanja online pun menjadi semakin ketat. Dari berbagai jenis aplikasi belanja online, kategori marketplace masih cukup mendominasi. Buktinya, marketplace menguasai sekitar 33% dari total download aplikasi belanja online di AS. Artinya, satu dari tiga aplikasi belanja yang diunduh oleh pengguna smartphone di AS merupakan aplikasi marketplace.

Marketplace kuasai 33% pangsa pasar aplikasi belanja online. | Sumber: Sensor Tower

Sensor Tower mengartikan aplikasi marketplace sebagai aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk melakukan transaksi jual-beli. Jadi, pengguna tak hanya bisa membeli barang melalui aplikasi, tapi juga menjual barang. Salah satu contoh aplikasi marketplace yang beroperasi di Indonesia adalah Tokopedia. Sensor Tower lalu membagi kategori marketplace ke dalam tiga subkategori: marketplace umum, resale, dan jual-beli mobil.

Dari tiga jenis aplikasi marketplace tersebut, subkategori marketplace umum mendapatkan downloads paling banyak. Sekitar 58% dari keseluruhan downloads aplikasi marketplace merupakan aplikasi marketplace umum, seperti Amazon. Sementara itu, 36% downloads berasal dari aplikasi resale, dan 6% sisanya dari aplikasi jual-beli mobil.

Secara umum, jumlah downloads dari aplikasi marketplace memang mengalami kenaikan sepanjang tahun lalu. Download untuk aplikasi marketplace umum menuncak pada Mei 2020. Ketika itu, aplikasi-aplikasi marketplace umum diunduh hingga 9,6 juta kali dalam waktu satu bulan. Di bulan yang sama, total download dari aplikasi resale mencapai lebih dari lima juta downloads. Hanya saja, pengunduhan untuk aplikasi marketplace umum dan resale menunjukkan tren menurun pada 2021. Kabar baiknya, pengunduhan untuk aplikasi jual-beli mobil justru naik. Pada Maret 2021, total download untuk aplikasi jual-beli mobil mencapai 900 ribu downloads.

Rating rata=rata memengaruhi tingkat pertumbuhan download. | Sumber: Sensor Tower

Amazon masih menjadi aplikasi marketplace umum yang paling populer di kalangan warga AS. Di Desember 2020, aplikasi e-commerce tersebut diunduh sebanyak tiga juta kali. Total downloads untuk aplikasi itu kembali memuncak pada Maret 2021, mencapai 2,6 juta downloads. Meskipun begitu, Amazon bukan aplikasi marketplace umum dengan pertumbuhan jumlah downloads paling tinggi.

Gelar itu jatuh ke tangan Stadium Goods. Jumlah downloads dari aplikasi itu pada tahun ini naik 112% dari tahun lalu. Menurut Sensor Tower, salah satu alasan mengapa jumlah downloads dari Stadium Goods naik pesat adalah karena rating rata-rata aplikasi yang tinggi. Di App Store, sejak 2020, rating rata-rata dari Stadium Goods adalah 4,8 bintang. Hal ini menunjukkan, ada hubungan antara ratng rata-rata aplikasi dengan pengalaman pengguna dalam memakai aplikasi.

Retensi Aplikasi Resale Naik 

Pandemi tidak hanya membuat jumlah download dari aplikasi marketplace di AS naik, tapi juga meningkatkan retensi pengguna aplikasi. Di Q1 2021, retensi hari pertama dari pengguna aplikasi marketplace umum naik 5% menjadi 23%. Sementara itu, jika dibandingkan dengan aplikasi marketplace umum dan jual-beli mobil, aplikasi resale punya retensi paling tinggi. Sampai 2021 pun, retensi dari aplikasi resale tetap tinggi. Tingkat retensi hari pertama dari aplikasi resale mencapai 34%, sementara retensi hari ke-7 mencapai 20%.

Enam aplikasi resale paling populer di AS. | Sumber: Sensor Tower

Selain retensi, aplikasi resale juga mengalami pertumbuhan pengguna aktif bulanan (MAU) yang pesat. Pada November 2020, jumlah MAU dari aplikasi resale naik 35% dari jumlah MAU pada Januari 2019. Sensor Tower menyebutkan, alasan mengapa jumlah pengguna aplikasi resale naik adalah karena aplikasi resale, sesuai namanya, memudahkan para pengguna untuk menjual barang-barang bekas mereka. Hal ini bisa membantu orang-orang yang mengalami masalah finansial karena kehilangan pekerjaan selama masa pandemi. Selain aplikasi resale, aplikasi marketplace umum dan jual-beli mobil juga mengalami pertumbuhan pengguna. Pertumbuhan MAU tertinggi, mencapai 23%, terjadi pada Mei 2020.

Di AS, aplikasi resale paling populer adalah OfferUp. Pada Maret 2021, jumlah unduhan dari aplikasi itu mencapai 1,4 juta downloads. Sementara itu, jumlah installs dari OfferUp meningkat tajam pada September 2020. Ketika itu, jumlah download mereka dalam sebulan mencapai 2,8 juta downloads. Peningkatan itu terjadi setelah OfferUp mengumumkan bahwa mereka berencana untuk mengakuisisi aplikasi resale lain, yaitu Letgo.

Jumlah Download Aplikasi Jual-Beli Mobil di App Store Konsisten di Q1 2021

Berbeda dengan aplikasi marketplace umum dan resale, jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil justru mengalami penurunan sejak April 2020, saat pemerintah AS menetapkan lockdown. Kabar baiknya, pada Maret 2021, jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil mulai pulih. Sayangnya, pandemi masih memengaruhi industri otomotif secara umum, yang memberikan dampak pada jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil. Dari enam aplikasi jual-beli mobil di AS, hanya dua aplikasi yang jumlah installs-nya mengalami peningkatan pada Maret 2021, yaitu CARFAX dan Carvana.

Jumlah installs dari aplikasi jual-beli mobil di Play Store dan App Store. | Sumber: Sensor Tower

Penurunan jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil sangat terlihat di Play Store. Pada 2020, jumlah installs dari aplikasi jual-beli mobil justru turun 22% dari tahun 2012. Dan tren ini masih berlanjut hingga awal 2021. Secara total, pada Q1 2021, enam aplikasi jual-beli mobil terpopuler di AS hanya mendapatkan 768 ribu downloads. Sementara itu, jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil di App Store tidak mengalami perubahan. Pada Q1 2021, jumlah download untuk aplikasi jual-beli mobil mencapai 1,7 juta juta, sedikit lebih rendah dari total downloads pada 2020, yang mencapai 1,8 juta downloads.

2 ADC Baru, Lucian dan Senna akan Segera Hadir ke dalam Wild Rift

Riot Games selaku developer dari League of Legends: Wild Rift baru saja memberikan bocoran update patch 2,3B. Dalam patch terbaru tersebut Riot Games akan merilis 2 champions ADC baru. 2 champions ADC baru yang akan hadir ke dalam Wild Rift adalah Senna dan Lucian.

Menurut lore dari Runeterra Senna dan Lucian merupakan sepasang kekasih. Namun mereka harus dipisahkan satu sama lain saat bertempur melawan Thresh. Thresh berhasil menangkap Senna dan menaruh rohnya ke dalam Lantern yang dia miliki.

Lucian dan Senna merupakan champions ke-69 dan 70 yang hadir dalam game Wild Rift. Dengan hadirnya Lucian dan Senna ini sepertinya akan menambah pool champions ADC yang ada. Saat ini penggunaan ADC terasa monoton karena sedikitnya champions berpengaruh yang dapat digunakan.

Selain champions baru, update patch 2,3B Wild Rift juga akan memberikan beragam perubahan dan event terbaru ke dalam game. Salah satunya adalah event Ruination: Sentinels of Light yang akan dimulai pada tanggal 9 Juli 2021 mendatang.

Free Fire Jadi Sponsor di Jersey Tim Sepakbola Persis Solo

Tim sepakbola asal Solo yaitu Persis Solo baru saja merilis jersey terbarunya untuk mengikuti turnamen Piala Walikota Solo 2021. Uniknya pada perilisan jersey Persis Solo tersebut terdapat logo Free Fire. Hal ini menandakan bahwa Free Fire telah menjalin kerjasama sponsor dengan Persis Solo.

Sayangnya, baik Persis Solo maupun pihak Free Fire tidak mempublikasikan secara resmi kerjasama antara mereka. Selain itu apakah Free Fire akan menjadi sponsor tetap Persis Solo hingga berjalannya Liga 2 ataukah hanya untuk Piala Walikota Solo 2021 juga masih belum terkonfirmasi.

Sember Gambar: Persis Solo

Meskipun begitu kerjasama ini merupakan sebuah gebrakan terbaru yang ditunjukan oleh Free Fire. Mereka tengah berusaha memikat pemain baru, salah satunya adalah pencinta olahraga terutama sepakbola.

Patut diketahui bahwa Free Fire saat ini menjadi salah satu game mobile paling populer di Indonesia. Game bergenre battle royale tersebut dimainkan oleh jutaan pemain aktif setiap harinya. Ekosistem esports dari game Free Fire juga sedang meningkat dengan banyak digelarnya turnamen di Indonesia.

Marvel Kembali Kolaborasi dengan Netmarble untuk Game Open World Marvel Future Revolution

Marvel Entertainment merupakan salah satu pemilik franchise komik superhero terbesar saat ini. Kesuksesan franchise Marvel di dunia, membuat beberapa pengembang game mengambil peluang untuk mengadaptasi seri komik Marvel.

Fans game mobile dan Marvel akan dimanjakan dengan game baru besutan Netmarble. Game yang berjudul Marvel Future Revolution ini akan menjadi game RPG open-world pertama untuk Marvel. Marvel Future Revolution akan membawa Anda memainkan pilihan superhero terkenal dengan alur cerita original. Selain itu Anda akan disuguhkan tampilan grafis 3D memukau berkualitas game AAA.

Beberapa hari yang lalu Marvel Entertainment dan Netmarble mengadakan sesi livestream di kanal YouTube Marvel Entertainment. Penonton diajak mengenal game ini lebih dalam melalui diskusi bersama developer dan penulis Marvel Future Revolution. Anda dapat menyaksikan rekaman livestream di bawah ini.

Marvel Future Revolution mengisahkan tentang krisis dimensional yang disebut dengan “convergence”. Convergence adalah kekuatan misterius yang menyebabkan kekacauan di bumi. Para superhero berjuang bersama menyelamatkan dunia tetapi mereka tidak sanggup. Hingga akhirnya Vision mengorbankan dirinya untuk menggabungkan berbagai realita bumi menjadi satu yang disebut “Primary Earth”. Namun, solusi ini tidak bertahan lama dan semakin parah ketika para penjahat dari berbagai wilayah memanfaatkan krisis ini. Anda akan bermain sebagai pasukan Omega Flight yang bertugas sebagai garda terakhir untuk menyelamatkan dunia dari krisis “convergence”.

Marvel Future Revolution akan menyediakan 8 superhero ikonik yang dapat digunakan, di antaranya adalah: Captain America, Captain Marvel, Black Widow, Spider-Man, Iron man, Star Lord, Storm, dan Doctor Strange. Selain kedelapan superhero yang dapat digunakan, pemain juga akan menjumpai banyak cameo dari superhero lainnya. Marvel Future Revolution memberikan kesempatan untuk pemain melakukan penyesuaian kostum sesuai dengan selera dan tersedia beragam pilihan kostum dari ujung kepala sampai kaki. Kehadiran superhero ikonik tentunya tidak lengkap dengan villain ikonik seperti Thanos, Ultron, dan lain-lain.

Image Credit: Marvel Future Revolution

Pemain dapat menjelajahi lima wilayah utama di “primary earth“. New Stark City, dari namanya Anda pasti sudah tahu bahwa kota ini adalah kota rancangan Tony Stark atau Iron Man. Stark Tower akan menjadi markas utama dari Omega Flight. Keempat wilayah lainnya adalah Midgardia, Xandearth, Hydra Empire, dan Sakaar.

Apabila Anda tertarik untuk memainkan game ini, Anda sudah bisa melakukan pra-registrasi melalui website Marvel Future Revolution atau melalui Playstore dan Appstore. Dengan melakukan registrasi, Anda berkesempatan mendapatkan hadiah Costume Box.

Marvel Future Revolution akan dirilis secara global pada tanggal 30 September 2021.

Selain game Marvel Future Revolution, Square Enix bulan lalu mengumumkan game action adventure Guardians of the Galaxy pada perhelatan acara tahunan E3. Game ini akan dirilis di PC, PS4, PS5, Xbox One, dan Xbox Series X dan S.

Why the Gaming Market in Southeast Asia Will Be Significantly Important In the Future

The gaming industry used to be monopolized by several large firms from the United States, Europe, and Japan in the 20th century. However, since the 2000s, this trend began to change. Today, even small indie developers can target the global market thanks to the development of the internet and mobile devices. The internet has allowed small developers to share their products and creativeness with gamers around the world without any boundaries. Some examples of these games that have, out of nowhere, exploded in popularity are Flappy Bird and Among Us.

However, not much research or studies have been conducted that discuss the development of the gaming industry and gaming culture in Asia. To fill the void, Phan Quang Anh conducted a research titled Shifting the Focus to East and Southeast Asia: A Critical Review of Regional Game Research. The study discusses the gaming industry and culture in the Asian region, particularly East Asia and Southeast Asia.

East Asia’s Gaming Industry and Culture

There are several reasons why Asia is becoming increasingly important for the gaming industry. One of these reasons is the size of the gaming market in the region. Both in terms of revenue or player numbers, Asia is a very profitable region for many gaming companies. Furthermore, several Asian countries also house many of the big gaming companies we know today, such as Nintendo and Sony in Japan, Nexon in South Korea, and Tencent in China. A majority of governments in Asian countries also put a substantial amount of investment towards the development of the game industry in their respective countries.

Walkman became one of the primary culprits behind the individualistic culture iin Japan. | Source: SCMP

However,  each country in the Asian region has different gaming cultures. For instance, gamers in Japan tend to be more individualistic. The culture of individualism in Japan itself began to emerge in the 1970s when Sony launched the Walkman. The growth of the game ecosystem in Japan is also heavily correlated with its local culture. As a result, most Japanese gamers prefer to play single-player games.

On the other hand, gamers in South Korea and China actually consider gaming as a social activity. They like to play games with their friends, hence why co-op games or competitive games are more popular. In fact, the social or competitive culture of gaming cultivated in South Korea and China is one of the reasons why the two of them produce so many successful pro esports players.

The online gaming culture in South Korea emerged around 1998 when Blizzard launched StarCraft. Playing online games quickly became a favorite hobby for the younger generation at that time. Through the widespread PC bangs — or internet cafes — across the country, playing games is also a relatively inexpensive activity. South Korea’s competitive culture has also made its esports ecosystem flourish. Local TVs began broadcasting esports, and being a pro player became a legitimate career path. This esports phenomenon in South Korea will later spread to other countries in East Asia and Southeast Asia.

Despite the similar gaming culture between South Korea and China, the two countries still have quite a contrasting gaming market. For example, China’s government is far more involved with its local gaming industry than South Korea’s. They frequently create regulations and promote local game companies to compete with foreign brands. Chinese game companies with innovative ideas will often receive government support for their growth. As a result, in 2020, 19 of the 100 games with the largest revenue generated in the United States were all produced by Chinese companies.

Southeast Asia’s Gaming Industry and Culture

Apart from East Asia, Southeast Asia is also a region to be reckoned with by game companies. According to Newzoo and Niko Partners, the growth rate of mobile games in Southeast Asia in 2014-2017 reached more than 180%. This figure is also predicted to continue to grow for the next five years. Shibuya Data Count also forecasted that the Compound Annual Growth Rate (CAGR) of the gaming industry in Southeast Asia will reach 8.5% in the 2020-2025 period. The six countries in Southeast Asia with the largest gaming markets, with no particular order, are Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapore, and the Philippines.

One of the factors driving the growth of the game industry in Southeast Asia is the development of internet infrastructure or, more specifically, the emergence of 5G technology in 2020. Another factor that comes to play is the rising popularity of esports. As esports content in YouTube and Twitch continues to amass thousands of viewers, game companies invested in the region will also thrive . Free fire, for example, benefitted a lot from content creation and managed to become the most downloaded mobile game in 2019.

Free Fire is the most downloaded game in 2019.

Furthermore, free-to-play games also play a huge role in the success of the game industry in Southeast Asia. Combine this with the vast implementation of cloud gaming, the possibilities for the gaming industry in SEA will be limitless. Interestingly, more than 55% of mobile gamers in Southeast Asia are over 55 years old, while only 8% are teenagers. These stats can be explained by the fact that mobile games are usually catered to more casual users. 

However, these casual mobile games usually don’t last long, and their popularity can be vulnerable at most times. Thus, most developers of these types of games need to continuously promote their games through advertising. If constant advertising is not conducted, the relevance of casual games can fade in a matter of weeks or even days.

Game Industry in Indonesia

Just like China, the governments of Southeast Asian countries are also involved in the local gaming industry. However, the regulations set by Southeast Asian governments are usually not as strict as those in China. Therefore, foreign gaming companies might have a better chance to expand their market in the SEA countries like Indonesia.

Indonesia is a country with the 4th largest population in the world. Its population is also mostly dominated by the younger generation, who loves building online communities. According to Newzoo, this is a massive advantage that the Indonesian gaming market has over other countries in SEA. The popularity of mobile games in Indonesia is, undoubtedly, a golden opportunity that local developers need to seize

Mobile games have dominated the Indonesian gaming market for the past few years, and fortunately, 49% of mobile gamers do not hesitate to spend money to buy in-game items. Newzoo’s data showed that Indonesian mobile gamers spend an average of $9 USD every year. The strategy game genre is also a favorite among Indonesian gamers and is also populated by gamers with large spendings. 41% of gamers, in fact, are willing to buy in-game items in the strategy genre.

The cost of making mobile games is much cheaper than online PC games.

Mobile games are also generally cheaper to produce than PC games. As a comparison, creating mobile games usually cost around $1 thousand USD, while the expenses of making PC games can cost 10 times more than that. Therefore, it is not surprising that most game developers in Indonesia opt to create and develop mobile games.

The potential of the gaming industry is also recognized by the Indonesian government. The government often supports local gaming companies by holding various gaming-related events, such as Game Prime. Additionally, a lot of ministers, such as the Minister of Communication and Information and the Minister of Tourism and Creative Economy, have expressed their support towards the local gaming and esports industry. Prior to this, Indonesia was also successful in lobbying ASEAN countries to include esports as an exhibition sport at the 2018 Asian Games and declaring esports as a legitimate sport (winners will get medals) at the 2019 SEA Games.

Game Industry in Singapore

According to Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, the spendings of gamers in Southeast Asian countries is directly proportional to the Gross Domestic Product (GDP) per capita in each country. Countries with relatively low GDP per capita, such as Indonesia and the Philippines, have an Average Revenue per User (ARPU) of around $4-6 USD for PC games and $5-8 USD for mobile games. On the other hand, countries with higher GDP per capita, such as Malaysia and Singapore, have higher ARPU, reaching $15-20 USD for PC games and $25-60 USD for mobile games.

Singapore, for many years, has been considered the economic center or powerhouse in Southeast Asia. Although Singapore’s population is far smaller than Indonesia’s, its internet penetration rate is exponentially superior, reaching 80% of the total population. Furthermore, 60% of Singaporean internet users are classified as gamers who spend over $189 USD on games every year. English is also one of the primary languages used in Singapore, which is why Western games also have a relatively high penetration rate in the country.

The Singapore government itself has been interested in developing its gaming industry since 1995. The government has supported startups in the gaming sector while also opening and financing various research labs dedicated to gaming. They also set strict regulations, especially those related to piracy. Heavy penalties and charges were imposed to discourage people from using pirated products. As a result, foreign established gaming companies became highly interested in investing and opening offices there. Ubisoft and Electronic Arts, for instance, have opened branches in Singapore.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo. Featured image via: Unsplash.com.

Resmi Dirilis, Konsol Baru Atari VCS Mendapat Respon Negatif

Kehadiran kembali konsol legendaris Atari tentu sudah dinantikan oleh para gamer di seluruh dunia sejak pertama kali diperkenalkan pada 2018 lalu. 4 tahun berlalu, akhirnya konsol terbaru bernama Atari VCS tersebut dirilis ke pasaran.

Namun, peluncuran Atari VCS ini kelihatannya tidak sesuai harapan banyak gamer. Beberapa media yang telah mengeluarkan review terhadap konsol ini seperti IGN langsung menunjukkan alasan-alasan mengapa konsol ini menjadi kegagalan lain dari konsol baru yang ingin masuk ke pasaran.

Yang pertama adalah konsol ini tidak akan membawa game baru Atari namun memainkan 80 game-game klasik Atari dan arcade yang sudah disematkan di dalamnya. Konsol ini dikatakan mampu mendukung resolusi 4K tetapi performanya sangat buruk.

Di luar hal tersebut konsol ini difungsikan sebagai mini PC. Namun untuk menggunakan fitur ini para gamer harus memiliki flashdisk/ harddisk eksternal untuk menginstal sistem operasinya sendiri. Dari yang dikatakan IGN, Atari VCS dikatakan sudah terbukti mampu menjalankan Windows namun tidak bisa menjalankan Ubuntu.

Dan yang paling mengejutkan dari Atari VCS adalah harganya. Konsol ini ditawarkan dengan harga US$300 atau sekitar Rp4.341.000. Namun untuk harga tersebut para pemain tidak akan mendapatkan kontroler.

Sedangkan untuk mendapatkan kontroler modern dan klasiknya, para gamer harus membeli bundle seharga $400 atau sekitar Rp5.788.300. Berarti konsol tersebut berada di kisaran harga dari Nintendo Switch, Xbox Series S, dan bahkan Playstation 5 Digital.

Menjadikan Atari VCS sebagai mini PC kelihatannya bukan keputusan yang tepat (Image credit: Atari VCS)

Dengan harga yang bisa dikatakan setara dengan konsol next-gen. Atari VCS menjadi konsol yang terbilang mahal karena tujuan utamanya untuk memainkan game-game retro sebenarnya bisa dengan mudah dilakukan di PC lewat emulator.

Apalagi konsol ini bahkan masih memiliki beberapa masalah teknis untuk menjalankan game-game retro atau arcade. Salah satunya adalah masih bermasalahnya konsol ini memainkan game-game di resolusi 4K.

Bahkan grafis yang ditawarkan dari game-game retro yang dijalankan tidak lebih bagus dari emulator di PC. Sehingga, kemungkinan besar konsol Atari VCS ini akan lebih jadi barang koleksi semata — terutama lewat desain bergaya retro yang ikonik.

Seri Far Cry Dikabarkan Akan Berganti Haluan di Far Cry 7

Menjadi salah satu seri andalan dari Ubisoft, Far Cry memang terus mendapatkan game terbarunya. Layaknya franchise berumur panjang milik Ubisoft lainnya seperti Assassin’s Creed, seri Far Cry juga menderita stagnasi pada gameplay yang diusungnya.

Terutama untuk game-game setelah seri ke 3-nya yang mengulang terus formula yang telah ada. Anda menjadi seseorang yang terjebak di sebuah area baru dan dipaksa untuk mengeksplorasi dunianya guna memburu sang musuh utama. Di luar misi utama, pemain akan melakukan aktivitas sampingan seperti merebut pos penjagaan, berburu binatang untuk melakukan upgrade, dan berulang-ulang hingga akhir cerita game-nya.

Untungnya Ubisoft memberikan beberapa inovasi pada instalasi terbarunya yaitu Far Cry 6 dengan beberapa fitur baru yang membuat game-nya terlihat lebih segar dan menarik dari beberapa game sebelumnya.

Untuk seri selanjutnya di masa mendatang, yang kemungkinan besar akan melanjutkan judulnya ke Far Cry 7, Ubisoft ternyata memiliki rencana perubahan besar untuk seri game ini. Laporan ini berdasarkan dari pernyataan dari jurnalis Bloomberg Jason Schreier ketika mengisi podcast Triple Click.

Schreier memang sudah menjadi langganan mendapatkan informasi dari ‘orang dalam’ industri video game. Ia memberikan informasi bahwa Ubisoft akan mengambil arah yang sangat berbeda untuk Far Cry.

“Dari apa yang saya dengar, jika saya ingat dengan benar, mereka tengah menarget ke arah yang sangat berbeda untuk Far Cry setelah Far Cry 6,” ujar Schreier.

Sayangnya, tidak ada detail tambahan apapun mengenai rencana terhadap untuk Far Cry 7 ini. Namun melihat bahwa Ubisoft berencana untuk mengganti strateginya untuk lebih fokus ke game free-to-play, ada kemungkinan bahwa Far Cry juga akan menggunakan strategi yang sama.

Ubisoft juga perlahan-lahan membawa satu per satu seri game-nya mulai dari game shooter Hyper Scape, Tom Clancy’s The Division: Heartland, dan Tom Clancy’s Elite Squad untuk mobile.

Cukup masuk akal untuk menjadikan dunia Far Cry menjadi sebuah game free-to-play mengingat map luas yang disediakan dapat digunakan untuk berbagai aktivitas online. Sistem RPG seperti levelling, upgrade senjata dan skill, berburu dan juga crafting juga sangat sesuai diimplementasikan untuk sebuah game online.