Smart Hydroponic Technology Karya Siswa SMK Jadi Pemenang Gelaran Samsung Innovation Campus

Terus berkembangnya tren teknologi otomasi dan Internet of Things (IoT) merupakan indikator utama sedang berlangsungnya Revolusi Industri 4.0. Implikasinya sebenarnya sederhana saja: semakin banyak cabang industri yang bergantung pada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, dan itu pada akhirnya memicu kelahiran kategori pekerjaan baru yang belum pernah eksis sebelumnya.

Software developer atau data scientist mungkin adalah contoh dari sekian banyak profesi yang sedang meledak popularitasnya di era Revolusi Industri 4.0, dan kita tidak perlu terkejut melihat kurikulum pendidikan yang terus diperbarui dengan menyelipkan materi-materi seputar pengadopsian teknologi.

Selain upaya dari pihak sekolah, keikutsertaan dari pihak industri sendiri juga bakal sangat membantu mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi tren baru di dunia industri. Pemikiran seperti inilah yang pada akhirnya mendorong Samsung untuk mengadakan program Samsung Innovation Campus (SIC) di beberapa SMA dan SMK.

Mungkin sebagian besar dari kita tidak banyak yang tahu, akan tetapi program ini telah berjalan sejak bulan Januari kemarin, dan pandemi rupanya tidak mencegah pelaksanaan program sampai pada tahap finalnya. Pada kenyataannya, tahap akhirnya yang berbentuk lomba (SIC Project Competition) malah baru saja berakhir pada tanggal 5 Oktober kemarin.

Jadi dari bulan Januari, Samsung telah memberikan berbagai pelatihan di SMA dan SMK seputar coding dan programming. Materi yang diajarkan bervariasi dari bahasa pemrograman yang simpel seperti Scratch, sampai C yang kerap digunakan untuk mengembangkan video game. Bukan cuma itu, topik robotik pun juga ikut diajarkan, spesifiknya platform Arduino yang sangat fleksibel.

Materi yang Samsung berikan bukan cuma ditujukan untuk murid saja, tetapi juga para guru, dengan tujuan akhir supaya materinya dapat disinkronisasikan dengan kurikulum yang digunakan di masing-masing sekolah.

Usai menerima pembekalan selama sekitar enam bulan, peserta program di SMA dan SMK diberi waktu satu bulan untuk mengeksekusi idenya, mengaitkan teori dengan permasalahan aktual yang sedang dialami masyarakat di sekitarnya. Setelah melalui proses seleksi yang ketat, pada akhirnya terpilih empat finalis dari empat sekolah yang berbeda:

  • SMKN 1 Geger, Madiun dengan proyek Smart Hydroponic Technology (SAHYT)
  • SMK Al Huda, Kediri dengan proyek Sistem Pengairan Otomatis (Smart Irrigation System) Berbasis Arduino
  • Binus School Simprug dengan proyek 2D Platformers Arcade Game
  • Binus School Serpong dengan proyek Automatic Dispenser for Hand Sanitizer

Samsung Innovation Campus Project Competition 2020

Ada banyak kriteria penilaian yang dijadikan acuan oleh tim dewan juri yang terdiri dari DR. Ahmad Saufi selaku Direktur Kemitraan dan Penyelarasan DUDI Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Risman Adnan selaku Direktur Manajemen R&D Samsung R&D Indonesia, dan Muhammad Ramli Rahim selaku Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia. Namun yang pasti, keempat finalis ini dipilih karena idenya bisa diaplikasikan dalam skala kecil ataupun besar.

Satu komentar juri yang paling menarik kalau menurut saya datang dari Muhammad Ramli, yang pada dasarnya berharap para finalis SIC Project Competition dapat meneruskan masing-masing proyeknya menjadi bisnis yang sah tanpa dibatasi oleh pihak sekolah. Saya pun langsung teringat kebiasaan jelek sekolah-sekolah zaman dulu yang kerap mengambil alih trofi lomba hanya dengan beralasan pemenangnya mengikuti kompetisi dengan membawa nama sekolah, bukan pribadi.

Keempat finalis ini tentu punya potensi untuk berevolusi menjadi startup ke depannya. Namun impian itu otomatis bakal pupus seumpama pihak sekolah mengambil alih lisensi atas proyeknya.

Pada akhirnya, yang berhasil memenangkan gelar juara adalah proyek Smart Hydroponic Technology (SAHYT) dari SMKN 1 Geger, Madiun. Tim dari sekolah ini pada dasarnya berhasil mengembangkan pompa air otomatis, sistem pupuk otomatis, dan sistem pengontrol suhu untuk tanaman hidroponik yang semuanya dapat dipantau serta dikendalikan lewat aplikasi mobile. Masing-masing anggota tim, lengkap bersama pembimbingnya, menerima hadiah berupa Samsung Galaxy A71.

Selain itu, terdapat pula juara favorit yang dipilih berdasarkan polling yang dilakukan oleh para undangan pada sesi penjurian, dan gelar tersebut jatuh pada Sistem Pengairan Otomatis Berbasis Arduino dari SMK Al Huda, Kediri. Semuanya berhak memperoleh hadiah berupa Samsung Galaxy A21s.

Dalam menyelenggarakan program perdana SIC ini, Samsung bekerja sama dengan Prestasi Junior Indonesia (PJI), anggota Junior Achievement Worldwide, salah satu organisasi nirlaba terbesar di dunia yang berfokus untuk membekali generasi muda mengenai pekerjaan dan kewirausahaan.

Program SIC ini merupakan program berkelanjutan, dan Samsung menargetkan untuk bermitra dengan lebih banyak lagi sekolah di Indonesia ke depannya. Di samping Indonesia, SIC juga diadakan di negara-negara lain seperti Thailand, Vietnam, Rusia, Chili dan Spanyol.

Software Cascable Pro Webcam Siap Ubah Lebih dari 100 Model Kamera Menjadi Webcam

Tren menggunakan kamera biasa sebagai webcam sedang naik daun belakangan ini, apalagi mengingat satu per satu pabrikan – mulai dari Canon, Fujifilm, Panasonic, Olympus, sampai GoPro sekalipun – telah merilis software pendukung supaya masing-masing konsumennya bisa mengikuti tren tersebut tanpa perlu mengandalkan hardware tambahan macam Elgato Cam Link.

Sayangnya inisiatif dari tiap-tiap pabrikan itu masih belum bisa mengakomodasi semua pengguna, terutama mereka yang masih memakai model kamera yang sudah berumur. Saya adalah salah satu yang kurang beruntung. Kamera Fujifilm X-E2 milik saya yang sudah berusia hampir tujuh tahun rupanya sama sekali tidak didukung oleh software webcam yang ditawarkan Fujifilm.

Beruntung ada developer pihak ketiga yang mengembangkan solusi serupa macam Cascable. Mereka baru saja merilis software anyar bernama Cascable Pro Webcam. Fungsinya? Mengubah banyak kamera menjadi webcam tanpa bantuan capture card maupun hardware tambahan lainnya.

Kuncinya ada di kata “banyak” itu tadi. Tercatat ada lebih dari 100 kamera yang kompatibel dengan software ini (dan kamera saya pun termasuk). Entah itu kamera buatan Canon, Nikon, Fujifilm, Sony, Panasonic atau Olympus, asalkan ada tanda centang pada kolom “Control & Automation” di tabel kompatibilitasnya, berarti kamera tersebut bisa dialihfungsikan menjadi webcam menggunakan Cascable Pro Webcam.

Cascable Pro Webcam

Seperti yang bisa kita lihat dari begitu banyaknya kamera yang kompatibel, kelebihan Cascable Pro Webcam terletak pada fleksibilitasnya. Selain via kabel USB, pengguna juga dapat menyambungkan kameranya via Wi-Fi. Pada sejumlah kamera, pengaturan exposure-nya bahkan bisa disesuaikan selagi sesi video call atau streaming sedang berlangsung.

Aplikasi video call maupun streaming yang bisa menerima input gambar dari Cascable juga banyak, mulai dari Google Chrome, Microsoft Edge, Skype (minimal versi 8.59), Zoom (minimal versi 5.0.5), Microsoft Teams, OBS Studio, sampai Twitch Studio. Kekurangannya? Cascable Pro Webcam cuma tersedia di macOS saja.

Lebih menyebalkan lagi, software ini hanya bisa berjalan di macOS versi 10.14.4 (Catalina), sedangkan MacBook Air tua saya masih nyaman menjalankan OS X Yosemite dan saya sama sekali tidak punya niat untuk meng-update-nya demi menghindari absennya dukungan aplikasi 32-bit. Kamera dan software-nya sudah cocok, tapi sekarang giliran laptop-nya yang kelewat jadul.

Bagi yang tertarik mencoba, Cascable Pro Webcam juga menawarkan versi free trial dengan fitur-fitur yang dibatasi. Versi penuhnya bisa dibeli seharga $40, atau $30 kalau membelinya sebelum 24 Juli.

Sumber: DPReview.

Ibarat TikTok untuk Dunia Kerja, Voodle Tawarkan Kemudahan Berbagi Video Pendek dengan Transkrip Otomatis

Popularitas TikTok yang luar biasa di skala global pada dasarnya menunjukkan betapa mudahnya kita terpikat oleh format video pendek. Dalam beberapa kasus, video pendek juga efektif untuk menyampaikan pesan, sebab durasi yang singkat bakal mendorong sang pembuat video untuk mencari cara mengekspresikan maksudnya sebaik mungkin.

Sebuah startup bernama Voodle bahkan melihat potensi format video pendek di ranah bisnis. Aplikasi buatan mereka menawarkan kemudahan untuk saling bertukar video pendek antar kolega. Anda boleh saja menganggapnya sebagai TikTok-nya dunia kerja, tapi tentu praktiknya tidak sesimpel itu.

Premis yang ditawarkan Voodle sebenarnya cukup sederhana: buat akun secara gratis, gabung ke suatu tim, lalu rekam video dengan durasi maksimum 60 detik. Meski begitu, eksekusinya terbilang cukup canggih. Video yang direkam itu secara otomatis akan dibuatkan transkripnya (harus berbahasa Inggris tentu saja), dan teksnya ini pun searchable, sehingga videonya mudah dijadikan referensi ke depannya.

Berbicara kepada VentureBeat, perwakilan Voodle percaya video pendek jauh lebih efektif ketimbang sesi video conference yang sering kali memakan terlalu banyak waktu. Dibanding email atau group chat, video tentu juga bisa menyampaikan pesan yang lebih jelas karena kita bisa langsung mengetahui ekspresi wajah sekaligus nada bicara seseorang.

Voodle

Setelah videonya dibagikan, pengguna lain bebas menontonnya dengan atau tanpa transkrip, atau malah bisa juga dengan menampilkan transkripnya saja secara penuh. Playback speed-nya pun bisa diatur antara 1x, 1.5x, atau 2x layaknya mendengarkan podcast. Video juga dapat di-like dengan mengklik ikon bergambar hati, tapi sejauh ini belum ada cara lain untuk memberikan respon terhadap videonya.

Video yang dibuat menggunakan Voodle tentu juga bisa dibagikan ke aplikasi lain, macam Slack misalnya. Namun seperti yang saya bilang tadi, salah satu daya tarik utama aplikasi Voodle sendiri terletak pada transkrip yang searchable, memudahkan pencarian informasi-informasi yang dibicarakan oleh rekan-rekan satu tim dalam videonya masing-masing seandainya kita ketinggalan karena alasan tertentu.

Untuk sekarang, Voodle baru tersedia di platform iOS, atau bisa juga diakses lewat browser komputer. Catatan terakhir yang kurang begitu penting namun tetap menarik adalah, Voodle sebelumnya adalah startup yang bergerak di bidang VR training bernama Pixvana, yang pada akhirnya memutuskan untuk pivot beberapa bulan lalu.

Sumber: VentureBeat.

Fugaku Adalah Supercomputer Tercepat di Dunia yang Ditenagai Prosesor ARM

Supercomputer tercepat di dunia umumnya bertempat di Amerika Serikat atau Tiongkok, namun tidak untuk pertengahan tahun 2020 ini. Top500 baru saja mengukuhkan Fugaku, sebuah supercomputer buatan Jepang, sebagai yang tercepat; mengalahkan jawara sebelumnya, yaitu Summit milik Departemen Energi Amerika Serikat.

Fugaku adalah supercomputer milik Riken Center for Computational Science di kota Kobe, Jepang. Namun yang paling istimewa adalah komponen yang menjadi otaknya: bukan CPU Power9 bikinan IBM atau malah prosesor rancangan Intel dan AMD, melainkan system-on-a-chip (SoC) 48-core besutan Fujitsu (masih ingat merek ini?).

Kata kuncinya ada di “SoC” itu tadi, yang merujuk pada arsitektur prosesor ARM yang kita kenal selama ini sebagai prosesor smartphone. Ini merupakan pertama kalinya sebuah supercomputer yang ditenagai prosesor ARM ditetapkan sebagai yang tercepat, dan ini sejatinya juga bisa membantu kita lebih memahami rencana Apple untuk meluncurkan Mac versi ARM.

ARM sejatinya menyimpan potensi yang sangat besar di bidang komputasi, dan kalau dalam konteks supercomputer, performanya dapat betul-betul dimaksimalkan tanpa harus memperhatikan faktor seperti konsumsi daya. Fugaku pada dasarnya membuktikan bahwa ARM tidak kalah perkasa dibanding x86 maupun arsitektur prosesor lainnya.

Tentunya Fugaku tidak mengemas satu saja chipset bikinan Fujitsu tersebut, melainkan sebanyak 158.976 unit yang menghabiskan biaya sebesar $1 miliar dan waktu pengembangan selama 6 tahun. Dipadukan semuanya, Fugaku mencatatkan performa komputasi secepat 415,5 petaflop, atau sekitar 2,8 kali lebih kencang daripada supercomputer Summit itu tadi.

Juga menarik adalah bagaimana Fugaku bisa meraih pencapaian ini tanpa melibatkan kartu grafis khusus yang dirancang untuk mendongkrak kinerja komputasi berbasis AI, macam Nvidia Ampere misalnya. Meski begitu, Fugaku kabarnya sudah digunakan untuk membantu berbagai proses riset seputar COVID-19.

Guardian melaporkan bahwa Fugaku sudah menjalankan beragam simulasi terkait bagaimana virus SARS-CoV-2 menyebar via droplet di lingkup kantor dan kereta komuter, dan para ahli berharap Fugaku bisa membantu mengidentifikasi metode perawatan potensial dari sekitar 2.000 obat-obatan yang sudah tersedia, termasuk beberapa yang belum sempat diuji secara klinis.

Sumber: Engadget dan New York Times.

Tren Teknologi yang Diadopsi Berbagai Industri Selama Pandemi

Pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Beradaptasi dengan kondisi baru ini bukanlah pekerjaan mudah, dan itu dirasakan oleh hampir seluruh industri di dunia. Di saat yang sama, pandemi juga memicu pengadopsian berbagai tren teknologi di sejumlah bidang industri.

Beberapa dari perubahan ini bahkan bisa bersifat permanen dan akan terus berlanjut meski pandemi sudah berakhir. Twitter contohnya, yang belum lama ini membuat kebijakan bahwa karyawan-karyawannya boleh lanjut bekerja dari kediaman masing-masing sampai seterusnya.

Sebagian besar dari perubahan yang diterapkan mengacu pada tren digitalisasi. Digitalisasi bukanlah hal baru dan sebenarnya sudah digagaskan sejak lama di sejumlah industri. Kendati demikian, adopsinya terbilang lambat, namun pandemi pada akhirnya memaksa industri-industri untuk mengadopsinya sesegera mungkin.

CB Insights baru-baru ini merilis laporan ekstensif terkait tren-tren teknologi yang diadopsi oleh beragam industri di dunia. Secara umum, sejumlah trennya sebenarnya sudah eksis sejak sebelum pandemi, seperti misalnya tren industrial automation di bidang manufaktur. Namun sekali lagi, pandemi secara otomatis mempercepat pengadopsiannya.

Dalam beberapa kasus, pandemi juga berhasil mendemonstrasikan potensi suatu teknologi yang tadinya cuma dipandang sebelah mata. Contoh yang paling gampang adalah teknologi 3D printing, yang selama pandemi ini memegang peran penting dalam hal produksi APD (alat pelindung diri) untuk tenaga medis.

Tren di bidang pelayanan kesehatan

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Kita mulai dari bidang yang berkaitan langsung dengan pandemi itu sendiri, yakni pelayanan kesehatan alias healthcare. Sebelum pandemi, konsultasi dengan dokter via telepon atau panggilan video mungkin terbilang jarang dilakukan, tapi sekarang mau tidak mau kita harus menerapkannya.

Studi yang pernah dilakukan American Medical Association menunjukkan bahwa sekitar 75% dari sesi kunjungan ke dokter maupun IGD semestinya bisa ditangani secara efektif lewat telepon atau video call. Sebelum pandemi, mungkin banyak pihak yang mengesampingkan hal ini, namun sekarang sebagian besar akhirnya menyadari bahwa hal itu benar. Sebelum pandemi, kita mungkin tidak pernah tahu akan eksistensi layanan telemedicine.

Pandemi secara tidak langsung juga menumbuhkan mindset bahwa kita harus rutin memonitor kesehatan masing-masing, dan cara termudah untuk melakukannya adalah dengan menggunakan smartwatch atau fitness tracker. Inilah yang pada akhirnya menjelaskan mengapa penjualan smartwatch justru naik selama pandemi, setidaknya di Amerika Serikat.

Pandemi juga memicu pertumbuhan pengadopsian teknologi virtual reality (VR) di bidang kesehatan. Salah satu fungsinya adalah untuk memfasilitasi program pelatihan yang aman, semisal untuk tenaga-tenaga medis baru yang ditugaskan buat menangani pasien COVID-19. Ketimbang mengekspos mereka langsung ke lapangan, ada baiknya mereka dipersiapkan dulu melalui program pelatihan VR.

Singkat cerita, pandemi pada dasarnya membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan VR untuk mendemonstrasikan potensinya di ranah medis dan enterprise.

Tren di bidang pekerjaan secara umum

Seperti yang kita tahu, nyaris semua kantor mendadak kosong selagi masing-masing karyawannya bekerja dari rumah. Kalau bukan karena kemudahan mengakses layanan video conference, mungkin sebagian besar perusahaan bakal keteteran menugaskan karyawan-karyawannya.

Penyedia layanan video conference sendiri juga banyak berbenah seiring demand atasnya naik drastis selama pandemi. Google contohnya, yang belum lama ini memutuskan untuk menggratiskan layanan Google Meet, membuka aksesnya ke lebih banyak lagi pengguna.

Pandemi tak cuma memicu pertumbuhan pengguna sebuah layanan video conference, tapi juga mempercepat penyempurnaan teknologinya. Google Meet lagi-lagi saya pakai sebagai contoh, sebab mereka belum lama ini merilis fitur noise cancelling demi semakin memudahkan rutinitas para penggunanya. Padahal, sebelum pandemi mungkin fitur semacam ini tidak dianggap krusial.

Tren di bidang pendidikan

Pengadopsian teknologi di ranah pendidikan sebenarnya sudah cukup pesat sebelum pandemi melanda, akan tetapi COVID-19 memaksa pengadopsiannya agar lebih ngebut lagi. Anak saya yang baru menginjak usia 4 tahun harus merasakan pengalaman sekolah pertamanya secara online tidak lama lagi.

Hal ini sulit terwujud apabila tidak ada campur tangan dari para pelaku teknologi. Saya bisa bilang begitu karena platform tatap muka virtual yang digunakan oleh sekolah anak saya nantinya adalah Google Meet, dan seperti yang sudah saya singgung tadi, Meet sendiri baru digratiskan aksesnya secara menyeluruh pasca pandemi melanda.

Di sisi lain, platform penyedia online course juga melihat peningkatan konsumen yang cukup pesat. Kalau saya boleh menjawab, ini dikarenakan banyak dari kita yang memiliki banyak waktu luang, tapi tidak bisa hura-hura di luar rumah seperti biasanya. Ketimbang sia-sia, kenapa waktu luangnya tidak dialokasikan ke belajar saja (tidak harus akademik, tapi bisa juga bakat-bakat praktis), dan di situlah platform online couse menyediakan solusi.

Tren di bidang manufaktur

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Pandemi sejatinya menghadapkan industri manufaktur pada dua kondisi yang berbeda, tapi dua-duanya merugikan: menutup pabrik dan menyetop jalannya produksi, atau tetap membuka pabrik tapi dengan risiko membahayakan para karyawannya.

Di saat yang sama, pandemi pada dasarnya menciptakan alasan baru bagi pelaku industri manufaktur untuk menerapkan teknologi di bidang automation. Kalau alasan-alasan penerapan automation sebelumnya cuma perkara efisiensi atau penghematan ongkos, sekarang ada alasan kesehatan juga; berkat automation, pabrik bisa tetap buka tanpa sepenuhnya mengekspos seluruh karyawan.

Seperti yang tadi sempat saya singgung di awal, pandemi juga berhasil mendemonstrasikan potensi lebih luas dari 3D printing. Dulunya sempat digadang-gadang bakal merevolusi industri, sampai tahun lalu pun 3D printing pada kenyataannya masih masuk kategori yang sangat niche dan terbilang menarik hanya untuk kalangan hobbyist.

Kalau sebelumnya saya ditanya apa kegunaan terbesar 3D printing, mungkin saya akan menjawab untuk mempercepat proses prototyping. Namun sekarang, 3D printing terbukti berjasa besar dalam membantu mempercepat proses produksi APD. Fleksibilitas dan adaptabilitasnya dalam memenuhi demand yang tinggi adalah kunci mengapa 3D printing bisa berhasil di kondisi seperti ini.

Tren di bidang retail

Jauh sebelum pandemi melanda, sebagian besar dari kita mungkin sudah sangat familier dengan yang namanya belanja online. Meski begitu, kemungkinan besar yang masuk daftar belanja bukanlah kebutuhan sehari-hari seperti sayur, daging, telur, dan lain sebagainya.

Hal itu berubah semenjak pandemi COVID-19. Layanan online grocery kini jadi semakin banyak digunakan; mereka yang tadinya enggan, mau tidak mau akhirnya mencoba layanan online grocery karena mereka tidak berani mengambil risiko harus berbelanja sendiri di pasar atau supermarket.

Saya tidak tahu Anda bagaimana, tapi yang pasti saya sendiri melihat daftar transaksi online saya bertambah banyak dalam beberapa bulan terakhir. Saking seringnya saya belanja online, kurir ekspedisi yang biasa datang mengantar barang sampai hafal dengan saya – barang diantarkan bukan ke rumah saya, tapi ke saya langsung yang sedang jalan-jalan sore di komplek rumah.

Selain online grocery, adopsi AR dan VR di platform e-commerce juga meningkat selama pandemi. Pemicunya apa lagi kalau bukan kebutuhan akan cara untuk melihat atau mencoba produk yang hendak dibeli secara online. Gambar dan deskripsi saja tidak cukup, terkadang kita perlu mendapat gambaran terkait dimensi fisiknya secara langsung, dan itu mudah sekali disajikan lewat AR.

Produsen produk-produk kecantikan seperti L’Oreal atau Sephora juga memanfaatkan AR guna membantu para konsumennya menjajal produk secara virtual. Melihat warna lipstick yang hendak dibeli langsung terpampang di atas bibir tentu jauh lebih meyakinkan ketimbang melihat warnanya saja pada gambar produk yang tertera.

Tren di bidang layanan konsumen

Menyambung perkara transaksi online yang bertambah tadi, beberapa perusahaan juga melihat semakin pentingnya peran chatbot atau virtual assistant. Hype akan chatbot sendiri sempat redup, terbukti dari dihilangkannya fitur Discover pada Facebook Messenger, dan Discover sebelumnya adalah gerbang menuju ribuan chatbot yang ada.

Pandemi bahkan juga menempatkan chatbot di ranah medis. Beberapa organisasi kesehatan di Amerika Serikat memanfaatkan chatbot untuk memandu publik melakukan identifikasi gejala-gejala COVID-19 sendiri di rumahnya masing-masing, sehingga mereka bisa memutuskan untuk mengarantina diri sendiri tanpa perlu menyempatkan (dan mengekspos) dirinya ke rumah sakit.

Tren di bidang keuangan

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Saya yakin tidak sedikit dari kita yang memanfaatkan layanan pembayaran elektronik seperti GoPay atau Ovo hanya untuk menikmati beragam promosi menarik yang disediakan penjual makanan dan minuman. Namun semenjak pandemi, metode elektronik akhirnya kita jadikan pilihan utama atas alasan kesehatan.

Daripada harus berkontak fisik (lewat pertukaran uang), kenapa kita tidak membayar menggunakan smartphone saja? Dari situ pada akhirnya kita juga bisa menyimpulkan soal pentingnya NFC di ponsel. Yang tadinya sebatas fitur pemanis, sekarang terkesan esensial karena pandemi.

Pandemi juga membuka peluang bagi tren digital banking untuk merebut sebagian pangsa pasar industri perbankan tradisional. Berhubung banyak cabang bank yang terpaksa mengurangi jam pelayanan, calon nasabah yang hendak mendaftarkan rekening baru tentu bakal kesulitan. Lain ceritanya kalau mereka hendak mendaftar rekening bank digital, sebab semuanya bisa langsung dijalankan lewat aplikasi.

Tren di bidang keamanan

Saya yakin sebagian besar dari masyarakat Indonesia masih agak menyepelekan soal privasi dan cybersecurity. Namun semenjak pandemi, publik akhirnya mulai menyadari akan pentingnya topik tersebut.

Salah satu pemicunya adalah sederet kasus seputar celah privasi yang melanda Zoom, dan Zoom sendiri sempat menduduki puncak daftar aplikasi gratis terpopuler di Android selama beberapa waktu. Ketika sesuatu yang sangat populer diberitakan secara negatif, tentu saja nyaris semua orang mengetahui atau paling tidak mendengarnya, bukan?

Tren di bidang hiburan

Di sektor hiburan, pandemi merupakan momok buat industri olahraga, sebab semua event bergengsi terpaksa harus dibatalkan. Bukan cuma olahraga tradisional saja, ekosistem esport pun juga terganggu karena dibatalkannya banyak turnamen.

Lucunya, ketika kompetisi olahraga dan turnamen esport sama-sama dibatalkan, beberapa pihak penyelenggara olahraga justru memakai platform esport sebagai alternatif untuk menjangkau para penggemarnya. Contoh terbarunya adalah seri balapan Le Mans yang digantikan oleh balapan virtual di game rFactor 2. Bahkan balap kuda pun juga diganti dengan versi virtual yang dibuat menggunakan kombinasi CGI dan algoritma.

Di luar gaming, aktivitas streaming Netflix dan kawan-kawannya tentu juga meningkat drastis selama pandemi.

Tren di bidang layanan makanan

Tanpa harus terkejut, pandemi beserta larangan untuk makan dan minum di tempat memicu kenaikan demand atas layanan food delivery. Ini secara langsung juga berdampak pada meningkatnya tren cloud kitchen, yang sejatinya merupakan kumpulan penjual makanan dan minuman yang tidak melayani dine-in.

Di Amerika Serikat, tidak sedikit restoran yang harus memecat karyawannya pasca pandemi melanda. Namun sebaliknya, cloud kitchen justru dikabarkan bersiap untuk berekspansi lebih luas. Di Indonesia sendiri, ada Gojek yang bermitra dengan startup India untuk mewujudkan rencananya membuka 100 cloud kitchen sampai akhir tahun depan.

Sumber: CB Insights. Gambar header: Pixabay.

Bose Tinggalkan Bisnis Augmented Reality

Bose telah meninggalkan bisnis augmented reality (AR), hanya dua tahun sesudah memperkenalkan inisiatifnya pertama kali di ajang SXSW 2018. Keputusan ini dibuat bukan akibat pandemi COVID-19, tapi karena komersialisasinya tidak berjalan sesuai rencana awal Bose.

Sekadar mengingatkan, teknologi AR yang Bose kembangkan ini hanya berfokus pada aspek audio saja. Kalau biasanya AR disajikan lewat gambar hologram yang tampil bersamaan dengan lingkungan sekitar, AR versi Bose sama sekali tidak melibatkan itu. Sebagai gantinya, konten audio akan diputar ketika pengguna berada dalam skenario tertentu, seperti misalnya saat melewati sebuah restoran, atau saat berdiri di depan patung tokoh ternama.

Bose bahkan sempat memasarkan kacamata AR bikinannya sendiri yang dinamai Bose Frames, meski pada akhirnya teknologi AR tersebut juga diintegrasikan ke sejumlah headphone-nya. Namun harus diakui, sulit melihat potensi pengaplikasian teknologi AR audio-only dalam rutinitas sehari-hari. Manfaatnya tentu ada, tapi mungkin hanya untuk beberapa keperluan spesifik saja.

Bahkan AR headset yang mengombinasikan elemen audio dan visual pun masih terkesan eksperimental, bukan sesuatu yang bisa dikategorikan esensial oleh konsumen secara umum. Magic Leap adalah bukti nyatanya. Startup yang dulunya digadang-gadang bakal merevolusi AR tersebut memutuskan untuk meninggalkan ranah consumer mengalihkan fokusnya ke segmen enterprise pada bulan April lalu.

Ketimbang integrasi teknologi AR, saya yakin sebagian besar konsumen headphone akan lebih memilih integrasi noise cancelling. Mengeliminasi suara luar yang mengganggu selagi berada di transportasi umum atau di kabin pesawat tentu lebih diprioritaskan daripada mendapat informasi tambahan selagi mengunjungi museum (salah satu kegunaan yang ditawarkan teknologi AR milik Bose).

Belum diketahui bagaimana nasib perangkat Bose Frames ke depannya, namun saya menebak Bose akan segera (atau malah sudah) berhenti memasarkannya. Platform AR yang mereka sediakan untuk developer aplikasi pihak ketiga juga akan ditutup pada pertengahan Juli mendatang. Cukup disayangkan mengingat Bose sempat mengucurkan pendanaan sebesar $50 juta untuk deretan startup yang tertarik mengembangkan aplikasi buat platform AR-nya.

Sumber: Protocol.

Apple Bakal Pensiunkan iBooks Author dan iTunes U

Mungkin tidak banyak yang menyadari, akan tetapi sejak iOS 12 dirilis, aplikasi iBooks sudah resmi berganti nama menjadi Apple Books. Lain ceritanya buat aplikasi iBooks Author, yang sudah tidak pernah mendapat update sejak September 2018.

Pada kenyataannya, Apple berniat memensiunkan iBooks Author dalam waktu dekat. Per tanggal 1 Juli 2020 nanti, pengguna tak lagi bisa mengunduh iBooks Author dari Mac App Store, kecuali mereka sudah pernah mengunduhnya sebelumnya.

Alasannya bukan semata karena iBooks sudah berganti nama begitu saja, melainkan karena sebagian besar fitur yang ditawarkan iBooks Author sudah tersedia di Pages. Tidak seperti iBooks Author yang hanya tersedia di macOS, Pages bisa kita gunakan di iPad dan iPhone sekaligus. Apple juga tak lupa memberikan panduan lengkap untuk berpindah dari iBooks Author ke Pages.

Selain iBooks Author, Apple juga berencana untuk memensiunkan platform pendidikan iTunes U pada akhir tahun 2021. Alasannya dikarenakan Apple sudah menawarkan berbagai aplikasi pendidikan seperti Classroom atau Schoolwork di iPad, dan beberapa aplikasi lainnya juga sudah menawarkan fitur-fitur spesifik untuk konteks pendidikan, dan itu semua sudah umum digunakan oleh para guru beserta muridnya.

Sebagai gantinya, Apple menyarankan para pengajar untuk memigrasikan konten-kontennya dari iTunes U ke Apple Podcasts atau Apple Books. Singkat cerita, daripada harus berhadapan dengan platform khusus pendidikan, Apple percaya konsumen bakal lebih mudah membuka kategori pendidikan di aplikasi Apple Podcasts dan Apple Books. Untuk materi pembelajaran yang bersifat tertutup dan dimaksudkan buat kalangan tertentu saja, Apple menganjurkan para pengajar untuk mendistribusikannya lewat aplikasi Schoolwork.

Sumber: 9to5Mac.

Dampak Pandemi, Event IFA Tahun Ini Bakal Digelar dalam Format Baru

Satu-satunya event teknologi akbar yang sempat digelar tahun ini hanyalah Consumer Electronics Show (CES) di bulan Januari lalu. Sisanya, eventevent seperti Mobile World Congress, Google I/O, SXSW, Game Developers Conference, Apple WWDC, Computex, E3, dan masih banyak lagi, terpaksa harus dibatalkan, diundur, atau diadakan secara online akibat pandemi.

Bahkan event yang masih agak jauh penyelenggaraannya seperti IFA pun juga terkena dampak pandemi COVID-19. Penyelenggara event tahunan yang selalu dihelat di kota Berlin sekitar bulan September itu mengumumkan bahwa acara mereka tidak akan berlangsung seperti biasanya.

Ini dikarenakan keputusan pemerintah kota Berlin untuk melarang pelaksanaan acara dengan jumlah partisipan melebihi 5.000 orang sampai tanggal 24 Oktober 2020. Sebagai gantinya, IFA 2020 bakal diadakan dengan “konsep baru yang inovatif”. Spesifiknya bagaimana belum dijelaskan, sebab penyelenggaranya masih merundingkan alternatif terbaiknya.

Well, setidaknya mereka masih punya waktu yang cukup panjang untuk memikirkan konsep baru tersebut, sehingga pada akhirnya yang dimaksud konsep inovatif bukan sebatas live stream begitu saja, meski jujur sulit membayangkan format lain dari suatu event yang dilaksanakan secara online atau virtual.

Detail mengenai konsep baru pelaksanaan IFA 2020 rencananya bakal diumumkan dalam waktu dekat. Selain CES, IFA biasanya juga selalu menjadi panggung perkenalan banyak gadget dan teknologi baru. Semoga saja event ini tetap bisa terlaksana meski agak berbeda, tidak seperti MWC yang benar-benar dibatalkan.

Sumber: The Verge.

Microsoft Perbarui Aplikasi Your Phone dengan Fitur Transfer File Secara Wireless

Di era serba wireless seperti sekarang, memindahkan file dari smartphone ke komputer (atau sebaliknya) seharusnya juga bisa dilakukan dengan mudah. Definisi “mudah” sendiri pada umumnya mencakup dua hal: 1) bisa dilakukan secara wireless, dan 2) bisa menggunakan navigasi drag-and-drop.

Kabar baiknya, Microsoft dan Samsung bakal segera mewujudkan dua hal tersebut. Pada versi beta terbaru Windows 10 (yang bisa didapatkan jika sudah tergabung dalam program Windows Insider), aplikasi Your Phone telah diperbarui dengan fitur drag-and-drop file secara wireless.

Fitur ini kompatibel dengan sejumlah perangkat mobile Samsung yang dibekali fitur Link to Windows versi 1.5 (atau lebih tinggi), macam Galaxy S10, Note 10, atau S20 Series. Selama smartphone dan laptop-nya tersambung ke jaringan Wi-Fi yang sama, keduanya bisa langsung saling mentransfer foto atau file lain.

Tentunya ada beberapa batasan yang harus dicatat. Yang pertama, batas ukuran file terbesar yang bisa dipindahkan lewat metode ini adalah 512 MB. Kedua, satu sesi transfer tidak bisa meliputi lebih dari 100 file. Jadi seandainya pengguna hendak memindah ratusan foto, siap-siap saja untuk mengulangi langkahnya beberapa kali.

Semoga saja Microsoft bisa segera merilis versi anyar aplikasi Your Phone ini pada update Windows 10 selanjutnya.

Sumber: SamMobile dan Microsoft via Engadget.

Peduli Konsumen dan Himbauan Pemerintah, OPPO Gelar Kampanye #BetterAtHome

Hampir semua industri di tanah air terkena dampak pandemi COVID-19, tidak terkecuali industri smartphone. Penjualan sudah pasti menurun, dan peluncuran produk baru mau tidak mau harus dilaksanakan secara online demi menekan angka penyebaran, sesuai dengan himbauan dari pemerintah.

Salah satu pabrikan yang meluncurkan produknya secara online baru-baru ini adalah OPPO. Mulai pertengahan Maret kemarin, mereka sudah resmi memasarkan Reno3 dan A91. Pemasarannya turut disusul oleh himbauan kepada konsumen yang dikemas dalam kampanye online bertajuk #BetterAtHome.

Satu program yang paling menarik dari kampanye ini adalah layanan antar jemput perbaikan. Layanan ini dapat diakses melalui aplikasi OPPO Service atau situs resmi OPPO Indonesia, dan tujuannya tentu saja adalah supaya konsumen sebisa mungkin tetap berada di rumah, bahkan ketika ponselnya perlu dibawa ke service center sekalipun.

Ke depannya, OPPO juga akan memberikan lebih banyak kemudahan untuk konsumen lewat kampanye ini, terutama dalam hal memperoleh produk terbaru dan mendapatkan informasi perangkat secara mendetail. Lebih lanjut, OPPO juga akan memberikan beberapa tips kepada konsumennya terkait cara mengisi waktu selama tetap berada dan bekerja di kediaman masing-masing.

Selain menaati himbauan pemerintah dan menggagaskan kampanye #BetterAtHome, OPPO rupanya juga ikut andil dan berperan aktif dalam penanggulangan wabah COVID-19 di tanah air. Bekerja sama dengan J&T Express, OPPO menyumbangkan Alat Pelindung Diri (APD) kepada instansi terkait.

Total sudah ada 1.500 unit APD yang disumbangkan langsung ke Rumah Sakit Pusat (RSPAD) Gatot Subroto di Jakarta pada 19 Maret lalu. Selang dua hari kemudian, OPPO Indonesia kembali menyumbang 1.720 unit APD, 1.400 unit kacamata pelindung, 32.904 unit sarung tangan steril, dan 347.000 unit sarung tangan non-steril, yang diserahkan melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh OPPO.