Netflix Uji Kids Clips, Format Video Pendek untuk Bantu Anak-Anak Temukan Konten Baru

Netflix sedang menguji fitur baru bernama Kids Clips. Sesuai namanya, fitur ini dirancang untuk menyuguhkan video-video pendek dari koleksi konten anak-anak milik Netflix, dengan harapan supaya anak-anak bisa lebih mudah menemukan konten baru yang menarik untuk ditonton.

Pada layanan yang memiliki koleksi konten begitu masif seperti Netflix, aspek discovery memang kerap menjadi problem. Tidak jarang, pengguna malah menghabiskan lebih banyak waktu memilih ketimbang menonton filmnya, dan sering kali algoritma rekomendasinya pun tidak mampu menolong.

Kenapa harus video pendek? Kemungkinan Netflix banyak belajar dari TikTok, yang bisa dibilang sangat sukses dalam hal discovery. Menurut Netflix, format video pendek bisa membantu konsumen mengeksplorasi katalog kontennya secara “menyenangkan, cepat, dan intuitif”.

Ini bukan pertama kalinya Netflix bereksperimen dengan format video pendek. Maret lalu, Netflix memperkenalkan fitur bernama Fast Laughs; ibaratnya TikTok tapi yang isinya potongan-potongan video dari koleksi konten komedi milik Netflix, dan yang bisa ditambahkan ke watch list dengan mudah ketimbang dibubuhi komentar. Fast Laughs bahkan juga ditampilkan dalam format vertikal seperti TikTok.

Kids Clips sejatinya juga didasarkan pada premis yang serupa, akan tetapi eksekusinya sedikit berbeda. Ketimbang menggunakan format vertikal, konten Kids Clips tetap disajikan dalam format horizontal. Netflix pun juga membatasi supaya anak-anak hanya bisa menonton sebanyak 10 sampai 20 klip dalam sekali duduk (ditandai dengan angka pada ujung kanan atas layar).

Berhubung masih diuji, Kids Clips baru tersedia di beberapa negara yang menggunakan Inggris, Spanyol, dan Portugis sebagai bahasa utamanya. Sejauh ini belum ada informasi kapan Kids Clips bakal merambah negara-negara lain, dan fitur ini pun untuk sementara hanya bisa diakses melalui aplikasi Netflix di perangkat iOS saja.

Sumber: Bloomberg dan TechCrunch.

TikTok Kini Diakses oleh Lebih dari Semiliar Orang Setiap Bulan

TikTok mengumumkan pencapaian baru yang mengesankan. Per 27 September 2021 kemarin, tercatat ada lebih dari 1 miliar orang yang mengakses platform video pendek tersebut setiap bulannya. Selain Amerika Serikat, sebagian besar pengguna TikTok juga berasal dari kawasan-kawasan seperti Eropa, Brasil, dan Asia Tenggara.

1 miliar tentu bukan angka yang kecil. Sebagai perbandingan, per akhir Juni 2021 lalu, Facebook tercatat memiliki 2,9 miliar pengguna aktif bulanan. Namun yang harus kita ingat, Facebook sudah eksis selama lebih dari satu dekade.

TikTok di sisi lain baru mulai merambah pasar internasional pada tahun 2017. Pada bulan Januari 2018, TikTok tercatat memiliki 55 juta pengguna. Jumlah penggunanya terus naik menjadi 271 juta pada bulan Desember 2018, 508 juta pada Desember 2019, dan 689 juta pada Juli 2020.

Berdasarkan laporan App Annie belum lama ini, pengguna TikTok di beberapa negara rupanya juga menghabiskan lebih banyak waktu mengonsumsi konten ketimbang pengguna YouTube. Di AS misalnya, masing-masing pengguna TikTok menghabiskan rata-rata lebih dari 24 jam selama bulan Juni 2021, sementara pengguna YouTube menghabiskan rata-rata 22 jam 40 menit.

Singkat cerita, format video pendek terbukti sangat efektif untuk memikat pengguna. Kalau tidak, mustahil platformplatform sosial lain saling berlomba-lomba menghadirkan format ini ke hadapan para penggunanya. Seperti yang kita tahu, Instagram kini punya Reels, Snapchat punya Spotlight, dan YouTube punya Shorts. Semuanya jelas terinspirasi langsung oleh TikTok.

Untuk memastikan penggunanya tetap loyal, TikTok pun rajin merilis sejumlah fitur dan program baru. Beberapa bulan lalu, TikTok meluncurkan fitur bernama Jump untuk membuat koleksi kontennya jadi semakin interaktif. TikTok juga sempat menguji program yang berpotensi mengubah platform-nya menjadi LinkedIn-nya kalangan Gen Z, dan mereka juga sudah mulai merambah ranah e-commerce.

Sumber: TikTok dan Reuters. Gambar header: Solen Feyissa via Unsplash.

YouTube Shorts Kini Sudah Tersedia Secara Global

Sesuai dugaan, setelah meluncur di Amerika Serikat pada bulan Maret lalu, YouTube Shorts kini akhirnya telah tersedia secara global. Pengguna di lebih dari 100 negara, termasuk halnya Indonesia, sekarang sudah bisa menikmati koleksi video pendek yang tersedia di platform YouTube.

Layanan video pendek milik YouTube ini pertama kali hadir di India pada bulan September 2020. Dengan kata lain, YouTube butuh waktu sekitar 9 bulan untuk membawanya ke panggung global. Fun fact: perilisan global Instagram Reels juga berlangsung sekitar 9 bulan sejak awal peluncurannya di Brasil.

Shorts nantinya bakal menempati tab khusus di aplikasi YouTube, menggantikan porsi yang dulunya dihuni oleh tab Explore. Saya bilang “nanti” karena di iPhone 6S saya belum demikian meskipun aplikasinya sudah saya update ke versi yang paling baru. Pun begitu, deretan video Shorts sebenarnya sudah muncul di tab Home.

Tanpa perlu terkejut, YouTube Shorts menawarkan pengalaman kreasi sekaligus konsumsi video pendek yang sangat mirip seperti TikTok. Untuk membuat video Shorts, pengguna cukup mengklik tombol “+” di halaman utama aplikasi YouTube, lalu pilih opsi baru berlabel “Create a Short” di bawah tombol “Upload a video”.

Di situ kita juga bisa melihat bahwa Shorts sejauh ini masih berstatus beta. Hal ini mengindikasikan bahwa YouTube masih berniat untuk menambahkan lebih banyak fitur buat Shorts. Untuk sekarang, fitur-fiturnya sendiri sudah tergolong cukup lengkap, dan pengguna juga bisa menambahkan musik dari koleksi berlisensi yang tersedia.

Selagi menonton video Shorts, pengguna dapat mengusap layar ke atas atau bawah untuk berganti dari satu video ke yang lain, sama persis seperti di TikTok. Durasi videonya pun bervariasi antara 15 sampai 60 detik.

Ironisnya, TikTok belum lama ini justru menambah batasan durasi video dari satu menit menjadi tiga menit. Jadi di saat kreator TikTok tengah sibuk bereksperimen dengan video-video yang berdurasi lebih panjang, kreator YouTube justru diajak bermain-main dengan format yang lebih pendek dengan adanya YouTube Shorts.

Sumber: Mashable dan YouTube.

Lewat Program TikTok Resumes, TikTok Berniat Menjadi LinkedIn-nya Kalangan Gen Z

Melamar pekerjaan lewat sebuah video TikTok mungkin terkesan kurang profesional atau bahkan kurang sopan. Namun ada kemungkinan tren ini bakal diadopsi secara luas ke depannya. Di Amerika Serikat, TikTok baru saja meluncurkan TikTok Resumes, sebuah program yang pada dasarnya bakal menambah fungsi TikTok menjadi semacam bursa lowongan kerja.

Lewat program ini, pengguna TikTok pada dasarnya dapat mengirimkan lamaran dalam bentuk video untuk sejumlah posisi di berbagai perusahaan. Di AS misalnya, TikTok sudah menggandeng perusahaan-perusahaan ternama macam Chipotle, Target, WWE, Alo Yoga, Shopify, Contra, Movers+Shakers, dan masih banyak lagi, untuk ikut berpartisipasi dalam program ini.

Sama halnya seperti melamar pekerjaan dengan cara tradisional, di sini kandidat dianjurkan untuk menunjukkan berbagai keahlian beserta pengalamannya dengan cara sekreatif mungkin. Baru-baru ini, TikTok telah menambah durasi video maksimum untuk semua pengguna dari 60 detik menjadi 3 menit, dan itu pastinya dapat membantu kandidat untuk mengekspresikan kelebihan-kelebihannya secara lebih maksimal.

@coop.cmTiktok do your thing! Check out ➡️ #TikTokResumes #TikTokPartner #productmanagment #jobsearch #graduated

♬ original sound – Christian 🚀

Usai dibuat, video resume-nya bisa langsung diunggah ke TikTok dengan tagar #TikTokResumes, kemudian dikirim ke perusahaan-perusahaan yang membuka lowongan. Sejauh ini, sebagian lowongannya melibatkan pekerjaan-pekerjaan di bidang kreatif seperti membuat konten TikTok untuk brand maupun mengembangkan strategi media sosial.

Meski demikian, ada juga beberapa posisi yang sepintas tidak ada kaitannya sama sekali dengan bidang kreatif, seperti misalnya lowongan untuk posisi Senior Data Scientist yang dibuka oleh Shopify. Namun yang paling mencuri perhatian mungkin adalah lowongan untuk posisi “WWE Superstar” yang dibuka oleh sang raksasa media di bidang gulat profesional asal Amerika Serikat, WWE.

Juga sama seperti lowongan pekerjaan pada umumnya, program TikTok Resumes ini hanya bersifat sementara dan punya batas waktu. Di AS, program ini bakal berakhir pada tanggal 31 Juli mendatang. Bukan tidak mungkin ke depannya TikTok akan membuka program yang sama di negara-negara lain, sampai akhirnya mereka bisa dikenal sebagai LinkedIn-nya kalangan Gen Z.

Sumber: TikTok dan The Verge.

YouTube Shorts Mulai Merambah Kawasan Lain, Dimulai dari Amerika Serikat

Di titik ini, tidak ada lagi yang bisa menyangkal popularitas TikTok. Tren video pendek sebenarnya sudah ada sejak dulu, tepatnya ketika Vine masih eksis sebagai platform untuk berbagi video. Namun kalau bukan karena TikTok, saya yakin tidak akan ada yang namanya Instagram Reels maupun YouTube Shorts.

Ya, seperti yang kita tahu, baik Instagram maupun YouTube sekarang sama-sama punya semacam channel khusus untuk video-video pendek, yang jelas sekali ditujukan sebagai alternatif terhadap TikTok. Yang berbeda, Instagram Reels sudah tersedia untuk seluruh pengguna tanpa terkecuali, sedangkan YouTube Shorts sejauh ini baru tersedia di dua negara saja.

Sekadar mengingatkan, YouTube Shorts pertama kali diluncurkan pada September 2020 buat para kreator di India. Mengapa India? Well, karena TikTok sudah diblokir di negara tersebut sejak beberapa bulan sebelumnya, dan YouTube pun melihat ini sebagai peluang emas untuk menguji alternatif yang mereka persiapkan.

Seperti di TikTok, YouTube Shorts memungkinkan kreator untuk membuat video berdurasi 15 detik, lengkap dengan koleksi musik yang dapat dipilih sebagai pemanis. Bukan cuma proses kreasinya saja yang mirip, melainkan juga proses konsumsinya, sebab pengguna bisa mengusap layar secara vertikal untuk berpindah dari satu video YouTube Shorts ke yang lain.

Beberapa bulan berselang, YouTube Shorts kini sudah siap merambah lebih banyak lagi pengguna, dimulai dari Amerika Serikat. Kabar terbarunya, Shorts sekarang sudah tersedia di sana dalam status beta. Mengapa beta? Karena belum semua pengguna bisa menikmatinya, dan mungkin juga karena yang bisa membuat Shorts baru kalangan kreator terpilih saja.

Peluncuran YouTube Shorts di Amerika Serikat pada dasarnya bisa menjadi indikasi akan perilisan globalnya, meski mungkin kita masih harus menunggu lebih lama lagi, terutama kalau melihat kebiasaan YouTube meluncurkan fitur-fitur yang eksklusif untuk wilayah tertentu — YouTube TV contohnya.

Sebagai referensi, Instagram Reels perlu waktu sekitar 9 bulan sebelum dirilis secara global. Fitur ini pada awalnya cuma tersedia untuk para pengguna di Brasil saja pada bulan November 2019, sebelum akhirnya menyusul ke semua negara pada bulan Agustus 2020.

Sumber: XDA Developers.

Google Mulai Tampilkan Video Pendek dari TikTok dan Instagram pada Hasil Pencarian

Sepopuler apakah format video pendek yang dipopulerkan oleh TikTok? Cukup populer untuk mencuri perhatian Google. Baru-baru ini, Google rupanya tengah menguji fitur anyar yang akan menampilkan deretan video pendek dari TikTok maupun Instagram pada hasil pencarian di Google Search.

Deretan video pendek ini bisa ditemukan di segmen carousel dengan label “Short Videos” di laman hasil pencarian. Selain dari TikTok dan Instagram, Google turut mengagregasi konten serupa dari YouTube Shorts, Tangi, maupun Trell, kompetitor TikTok di pasar India.

Saat salah satu videonya diklik, pengguna akan dibawa ke versi web dari masing-masing platform, bukan ke aplikasinya, meskipun aplikasinya sudah ter-install di perangkat. Kemungkinan Google sengaja merancangnya sedemikian rupa agar pengguna bisa dengan cepat kembali ke Google Search setelah selesai menonton videonya.

Fitur ini berbeda dari fitur Web Stories yang Google luncurkan pada bulan Oktober lalu – yang sebelumnya juga dikenal dengan nama AMP Stories. Web Stories adalah kumpulan video pendek dari berbagai media publikasi yang menjadi mitra resmi Google, seperti misalnya Now This, Vice, Bustle, dan lain sebagainya.

Short Videos di sisi lain hanya menampilkan konten video pendek yang berasal dari platform sosial. Sejauh ini belum diketahui apakah Google punya deal khusus dengan TikTok maupun Facebook (Instagram) terkait upaya mereka menampilkan konten video pendek dari masing-masing platform pada hasil pencariannya.

Berdasarkan keterangan resmi dari Google kepada TechCrunch, fitur ini untuk sekarang masih diuji secara terbatas di perangkat mobile, dan ini berarti Anda mungkin hanya bisa menjumpai carousel Short Videos di beberapa hasil pencarian saja. Terlepas dari itu, kabar ini semestinya bisa meyakinkan kalangan kreator untuk semakin rajin membuat konten video pendek mengingat trennya memang seperti itu.

Sumber: TechCrunch. Gambar header: Depositphotos.com.

Setelah Instagram, Sekarang Snapchat pun Juga Mencoba Meniru TikTok

Tren video pendek yang dipopulerkan oleh TikTok terus bertambah populer. Saking tenarnya, Snapchat pun kini juga dibekali fitur baru yang mekanismenya begitu mirip dengan TikTok.

Fitur ini mereka namai Spotlight, dan persis seperti di TikTok, Spotlight berisikan video-video vertikal dengan durasi maksimum 60 detik. Tentu saja pengguna juga dapat menambahkan musik, sebab Snap sendiri memang sudah mengamankan lisensi dari berbagai label musik sejak Oktober lalu.

Ada beberapa hal yang sedikit membedakan Spotlight dari TikTok, utamanya terkait privasi. Pada video-video yang diunggah ke Spotlight, kita tidak akan menjumpai satu pun kolom untuk membubuhkan komentar publik, sehingga mereka yang kerap dihantui sentimen negatif warganet bisa setidaknya lebih tenang di sini.

Juga berbeda adalah bagaimana pengguna juga tetap bisa mengunggah video ke Spotlight meski status profilnya private. Berbeda dari TikTok yang mewajibkan pengguna untuk mengganti status profilnya menjadi public jika ingin videonya muncul di tab “For You”. Jadi selama pengguna memilih opsi “Spotlight” ketika hendak mengunggah video, video tersebut dipastikan bakal muncul di Spotlight.

Snap tampaknya cukup serius dalam menggagaskan Spotlight. Hal itu bisa dilihat dari kemauannya untuk membayar kreator yang kontennya viral di Spotlight. Tidak peduli berapa pun follower yang dimiliki seorang pengguna, asalkan kontennya sempat viral dan mendulang view jauh lebih banyak dari konten lain di hari tersebut, maka Snap bersedia membayar.

Snap bilang bahwa mereka sudah menyiapkan budget sebesar $1 juta untuk membayar kreator setiap harinya sampai akhir 2020. Dengan adanya insentif semacam ini, semestinya para pengguna Snapchat bakal terdorong untuk mengunggah konten Spotlight secara reguler. Sayangnya Spotlight sejauh ini baru tersedia di 11 negara saja, dan belum ada satu pun negara Asia yang termasuk.

Terlepas dari itu, Spotlight sekali lagi membuktikan bahwa keberhasilan TikTok tidak bisa dipandang sebelah mata; bahkan pencetus format Story pun sekarang mencoba meniru TikTok. Snapchat juga bukan satu-satunya yang melakukan hal itu, sebab Instagram baru-baru ini juga sudah merilis fitur serupa yang mereka namai Reels.

Sumber: The Verge dan Snap.

TikTok dan Tren Konten Edukatif yang Terus Meningkat

Hingga detik ini, saya yakin di luar sana masih banyak yang mengecap TikTok sebagai “platform alay”. Padahal, seandainya mereka mau membuka mata lebih lebar, mereka bakal melihat bagaimana TikTok sudah berevolusi menjadi platform distribusi konten yang matang dan yang menawarkan lebih dari sekadar hiburan.

Semuanya bermula pada tanggal 25 November tahun lalu, tepatnya ketika TikTok meluncurkan program #BelajarBareng guna mengajak para kreator untuk berbagi konten edukatif. Lalu tibalah pandemi COVID-19, dan semenjak pemerintah memberlakukan kebijakan PSBB, konten bertema pendidikan di TikTok pun semakin beranak pinak, demikian pengakuan dari Angga Anugrah Putra selaku Head of User & Content Operations TikTok Indonesia.

Puncaknya adalah ketika TikTok meluncurkan program #SamaSamaBelajar di bulan Mei lalu, yang sampai detik ini sudah membuahkan lebih dari 17 miliar view. Salah satu kegiatannya, yakni kompetisi #BerbagiIlmu, terbukti mendapat respon positif dan antusiasme yang cukup besar.

Guna melanjutkan tren konten edukatif tersebut, TikTok sekarang tengah mengadakan kompetisi #BerbagiSkill. Kegiatan ini akan berakhir pada tanggal 31 Juli, dan kemudian akan disambung oleh kompetisi ketiga yang bertajuk #BerbagiFakta pada tanggal 11 Agustus. Namanya kompetisi, sudah pasti ada hadiah uang bagi para pemenang, tapi uang bukanlah satu-satunya insentif yang bisa didapatkan oleh para kreator.

Di skala global, TikTok punya program Creative Learning Fund. Namun seperti yang saya bilang, ini bukan melulu soal uang. Di ranah lokal, TikTok juga sempat mengadakan semacam workshop (online via video conference) bersama kreator-kreator terpilih dengan tujuan untuk semakin membina mereka sekaligus mewadahi interaksi antar kreator supaya mereka bisa saling belajar hal baru dari sesamanya. Jadi selain menyajikan konten edukatif ke konsumen, TikTok sebenarnya juga berupaya untuk mengedukasi komunitas kreatornya.

Menurut Angga, pendidikan saat ini sudah masuk tiga besar kategori terpopuler di TikTok, membuktikan bahwa pasarnya memang ada. Subkategorinya sendiri bisa bermacam-macam, bisa sains, teknologi, DIY, life hacks, marketing, dan masih banyak lagi.

“Sebagai platform yang inklusif, siapa pun berkesempatan untuk berbagi kemampuan dan keahliannya di TikTok, dan menginspirasi pengguna lain untuk belajar dan bahkan ikut berbagi pengetahuan mereka,” jelas Angga.

Video pendek sebagai medium belajar dan mengajar

Contoh konten bertema pendidikan yang diunggah oleh Indra Azis (kiri) dan Jason Iskandar (kanan) / TikTok
Contoh konten bertema pendidikan yang diunggah oleh Indra Azis (kiri) dan Jason Iskandar (kanan) / TikTok

Lalu yang mungkin jadi pertanyaan adalah, seefektif apa format video pendek saat diperlakukan sebagai medium belajar dan mengajar? Dalam riset berjudul “What the world watched in a day” yang dilakukan Google, belajar hal baru dan menggali minat diri merupakan dua alasan terbesar untuk menonton video di samping menghibur diri. Riset itu juga menunjukkan bahwa semakin muda suatu generasi, semakin besar preferensi mereka terhadap format video pendek.

TikTok merupakan medium yang sangat pas untuk itu, dan pendapat ini diamini oleh Indra Azis, pelatih vokal kawakan yang kebetulan memang cukup populer di TikTok. “Selama puluhan tahun saya mengajar vokal, semakin muda generasinya memang semakin tidak ingin mendengar terlalu banyak teori. Mereka lebih senang yang to-the-point dan langsung terjun mencobanya,” tutur Indra.

Beliau lanjut menjelaskan bahwa video tutorial yang dia bagikan di TikTok mendapat banyak respon duet dari para penonton, dan itu secara langsung menunjukkan bahwa mereka bisa langsung mempraktikkan berbagai tips yang dia berikan. Indra juga mengaku bahwa durasi video yang singkat mendorongnya untuk lebih rajin membuat konten.

Pendapat yang tak kalah menarik datang dari Jason Iskandar, sutradara film pendek sekaligus pendiri rumah produksi Studio Antelope. Menurutnya, TikTok dan format video pendek bisa membantu para sineas untuk melatih kemampuan storytelling-nya, menyampaikan pesan yang mendalam dengan durasi yang sangat terbatas.

Durasi yang singkat tentu bakal menjadi tantangan tersendiri bagi para kreator konten bertema pendidikan, namun ini juga bisa menjadi ajang pembuktian bahwa mereka benar-benar kapabel di masing-masing profesinya. “Kalau belum bisa menjelaskan secara sederhana, berarti kita belum benar-benar menguasai soal itu,” pungkas Jason.

Gambar header: Kon Karampelas via Unsplash.

Ibarat TikTok untuk Dunia Kerja, Voodle Tawarkan Kemudahan Berbagi Video Pendek dengan Transkrip Otomatis

Popularitas TikTok yang luar biasa di skala global pada dasarnya menunjukkan betapa mudahnya kita terpikat oleh format video pendek. Dalam beberapa kasus, video pendek juga efektif untuk menyampaikan pesan, sebab durasi yang singkat bakal mendorong sang pembuat video untuk mencari cara mengekspresikan maksudnya sebaik mungkin.

Sebuah startup bernama Voodle bahkan melihat potensi format video pendek di ranah bisnis. Aplikasi buatan mereka menawarkan kemudahan untuk saling bertukar video pendek antar kolega. Anda boleh saja menganggapnya sebagai TikTok-nya dunia kerja, tapi tentu praktiknya tidak sesimpel itu.

Premis yang ditawarkan Voodle sebenarnya cukup sederhana: buat akun secara gratis, gabung ke suatu tim, lalu rekam video dengan durasi maksimum 60 detik. Meski begitu, eksekusinya terbilang cukup canggih. Video yang direkam itu secara otomatis akan dibuatkan transkripnya (harus berbahasa Inggris tentu saja), dan teksnya ini pun searchable, sehingga videonya mudah dijadikan referensi ke depannya.

Berbicara kepada VentureBeat, perwakilan Voodle percaya video pendek jauh lebih efektif ketimbang sesi video conference yang sering kali memakan terlalu banyak waktu. Dibanding email atau group chat, video tentu juga bisa menyampaikan pesan yang lebih jelas karena kita bisa langsung mengetahui ekspresi wajah sekaligus nada bicara seseorang.

Voodle

Setelah videonya dibagikan, pengguna lain bebas menontonnya dengan atau tanpa transkrip, atau malah bisa juga dengan menampilkan transkripnya saja secara penuh. Playback speed-nya pun bisa diatur antara 1x, 1.5x, atau 2x layaknya mendengarkan podcast. Video juga dapat di-like dengan mengklik ikon bergambar hati, tapi sejauh ini belum ada cara lain untuk memberikan respon terhadap videonya.

Video yang dibuat menggunakan Voodle tentu juga bisa dibagikan ke aplikasi lain, macam Slack misalnya. Namun seperti yang saya bilang tadi, salah satu daya tarik utama aplikasi Voodle sendiri terletak pada transkrip yang searchable, memudahkan pencarian informasi-informasi yang dibicarakan oleh rekan-rekan satu tim dalam videonya masing-masing seandainya kita ketinggalan karena alasan tertentu.

Untuk sekarang, Voodle baru tersedia di platform iOS, atau bisa juga diakses lewat browser komputer. Catatan terakhir yang kurang begitu penting namun tetap menarik adalah, Voodle sebelumnya adalah startup yang bergerak di bidang VR training bernama Pixvana, yang pada akhirnya memutuskan untuk pivot beberapa bulan lalu.

Sumber: VentureBeat.

OneSet Adalah Layanan Berbagi Video Khusus Penggemar Fitness

Belakangan ini calisthenics cukup populer di kalangan muda-mudi. Dan bersamaan dengan itu, Instagram dan Vine pun dibanjiri oleh video-video latihan fisik tersebut. Continue reading OneSet Adalah Layanan Berbagi Video Khusus Penggemar Fitness