Kuda Trojan Alibaba bagi Asia Tenggara

Sudah enam bulan berlalu sejak Alibaba mengakuisisi Lazada, platform ecommerce paling populer di Asia Tenggara. Sejak terbitnya berita ini, para pengamat dan kritikus mendebatkan baik tidaknya kerja sama ini bagi kedua belah pihak, bagaimana hal ini akan mempengaruhi para rival seperti MatahariMall, Tokopedia dan Orami, dan bagaimana wilayah ini nantinya akan dibanjiri oleh produk murah asal Tiongkok.

Sementara itu, para pendiri startup dan VC saling menepuk pundak masing-masing karena hal ini telah menaruh wilayah Asia Tenggara di peta persaingan global dan diharapkan bisa merangsang lebih banyak pendanaan dan exit perusahaan di masa di depan.

Namun demikian, semua orang sepertinya lupa untuk berpikir lebih jauh dari hanya observasi superfisial semata. Akuisisi Lazada oleh Alibaba lebih dari sekadar menumbuhkan GMV (gross merchandise value) ritel mereka, membuktikan bahwa Jack Ma adalah Jack Ma dan mengapa ia selalu beberapa langkah di depan dalam permainan ini. Mereka yang merayakan berita ini, khususnya yang berada di sektor ritel, mungkin akan berakhir mengigit lidah mereka sendiri.

Peter Thiel, PayPal, dan Pentingnya Distribusi

Peter Thiel mendirikan PayPal pada tahun 1998 dan membangunnya menjadi salah satu platform pembayaran terbesar di dunia dengan 145 juta pengguna aktif bulanan yang memproses hingga 9 juta transaksi per hari. PayPal menjadi perusahaan publik pada tahun 2002 dan kemudian diakuisisi oleh eBay dengan harga $1.4 milyar. Setelah tumbuh lebih besar dari eBay, PayPal kemudian memisahkan diri dari eBay pada tahun 2015 dan melakukan IPO keduanya, menjadikan perusahaan ini bernilai $46.6 milyar dan membuatnya melampaui nilai pasar eBay yang ‘hanya’ $34 milyar.

Namun demikian, tanpa eBay, PayPal mungkin tidak akan eksis hari ini. Dalam bukunya ‘Zero to One’, Peter Thiel bercerita bagaimana PayPal hampir gagal jika bukan karena keberuntungan mereka bertemu dengan apa yang kemudian akan menjadi channel distribusi terbesar mereka, mesin pertumbuhan, dan kemudian pengakuisisi: eBay.

PayPal fokus untuk menargetkan Power Seller yang dimiliki eBay — yang bertanggung jawab akan banyaknya pesanan melalui eBay — dan kemudian menambahkannya dengan membayar mereka untuk setiap pendaftaran pengguna dan undangan ke teman, secara efektif menjadikan PayPal sebagai sebuah platform pembayaran mainstream.

Tidak heran jika Peter Thiel merupakan seorang advokat yang mengutamakan distribusi, di samping membangun produk yang hebat.

“Distribusi yang buruk – bukan produk — adalah penyebab kegagalan nomor satu. Jika Anda bisa membuat satu saja channel distribusi bekerja dengan baik, Anda bisa memiliki bisnis yang hebat. Jika Anda mencoba beberapa namun tidak menguasai satu pun, Anda akan gagal.” tulis Thiel.

eBay mengakselerasi pertumbuhan PayPal karena jangkauan dan kecepatan transaksinya — pemakaian yang tinggi menjadikan perusahaan pembayaran terus berkembang. Distribusi adalah apa yang dibutuhkan Alibaba dari Lazada. Namun untuk apa? Tentu saja bukan untuk produk murah asal Tiongkok.

Di Dalam Perut Sang Raksasa

Dalam waktu yang kurang lebih bersamaan dengan akuisisi PayPal, eBay juga berusaha mendapatkan market share lebih di Tiongkok melalui investasi yang berkembang menjadi akuisisi dari perusahaan EachNet di 2002, yang pada saat itu adalah marketplace C2C terbesar di Tiongkok.

Merespon hal ini, Alibaba meluncurkan Taobao pada May 2003 yang kemudian mengalahkan EachNet dalam menjadi marketplace ecommerce C2C terbesar di Tiongkok. Dalam waktu 3-4 tahun, market share eBay di pasar C2C jatuh dari 72% ke 8% dan menyebabkan mereka kemudian mundur dari kompetisi ini sementara dominasi Taobao terus menanjak hingga mencapai lebih dari 80% pada tahun 2007.

Setelah peluncuran Taobao, Alibaba mengenalkan Alipay pada tahun 2004, sebuah platform pembayaran pihak ketiga untuk membantu memfasilitasi transaksi yang terjadi di Taobao. Saat ini, Alipay adalah platform pembayaran pihak-ketiga terbesar di Tiongkok dengan dominasi pasar sebesar 70%, memiliki lebih dari 400 juta pengguna dan memproses lebih dari 80 juta transaksi per harinya (dibandingkan PayPal yang berjumlah 9 juta).

Jika PayPal fokus kepada platform pembayaran online peer-to-peer (P2P) yang berdasarkan email dan terhubung dengan kartu kredit, Alipay terhubung dengan rekening bank dan memiliki layanan yang disesuaikan dengan pasar di Tiongkok, seperti layanan escrow.

Menurut Jack Ma, budaya Tiongkok, meskipun menghargai nilai kepercayaan dan integritas, tidak memiliki sistem yang menjaga nilai ini. Sebagai hasilnya, fitur escrow dari Alipay merupakan solusi yang tepat untuk menjembatani kurangnya kepercayaan dan menggeser perilaku konsumen ecommerce Cina dari cash-on-delivery (COD) ke mobile payment yang mendominasi 68% dari transaksi saat ini.

Memanfaatkan 400 juta penggunanya dan menjangkau platform-platform ecommerce milik Alibaba, Alipay telah tumbuh lebih dari sekadar platform pembayaran berbasis internet menjadi sebuah raksasa finansial dan banking yang juga mengancam para pemain finansial lama.

Pada tahun 2011, Alipay berpisah dari Alibaba untuk menjadi Ant Financial Services Group, yang melayani mulai dari pembayaran online, peminjaman mikro, hingga perbankan dan skor kredit. Menilai dari putaran pendanaan terakhirnya yang bernilai $4,5 miliar di awal tahun ini, perusahaan ini sekarang dihargai sebesar $60 miliar, menjadikannya perusahaan teknologi non-publik paling berharga setelah Uber.

Dengan perlengkapan perang ini, Ant Financial mencari peluang untuk berekspansi ke pasar baru dan selama beberapa waktu telah mencoba menjejakkan kakinya ke Asia Tenggara. Perusahaan ini sebenernya telah mendirikan entitas di Singapura cukup awal pada tahun 2010 namun tidak memiliki channel distribusi yang layak. Keberuntungan Ant Financial nampaknya muncul pada awal tahun ini.

Mengincar Kesempatan Pembayaran di Asia Tenggara

Dari berbagai sisi, ecommerce di Asia Tenggara sama dengan ecommerce di Tiongkok 8 tahun yang lalu. Pada tahun 2008, cash-on-delivery (COD) masih menjadi metode pembayaran yang dominan di Cina, menguasai hingga lebih dari 70% total pembayaran.

Saat ini, Asia Tenggara sangat bergantung kepada COD ketika berbelanja online, menyumbang hingga 70% dari total transaksi.

Untuk menghilangkan ketergantungan konsumen yang tinggi terhadap COD, banyak startup yang memiliki modal besar atau berasal dari konglomerat yang telah berusaha untuk menyelesaikan masalah pembayaran ini, termasuk Omise (Thailand), Doku (Indonesia), LINE Pay (Thailand), dan True Money (Thailand).

Namun demikian, meski dengan PR dan hype media yang besar, solusi asal dalam negeri ini belum bisa menggeser konsumen dari COD karena banyak dari usaha yang dilakukan ini hanyalah “teknologi demi kepentingan teknologi” semata — membangun mobil yang lebih cepat saat yang dibutuhkan adalah jalanan yang lebih banyak.

Tantangan Produk

  • Platform seperti Omise dan 2C2P hanyalah gerbang pembayaran dan tidak menawarkan solusi yang lebih baik bagi ruang C2C dan P2P yang besar yang diprediksi oleh Google dan Temasek mencapai ‘beberapa milyar dollar’. Para payment gateway ini terutama masih memproses kartu kredit dan, dengan penetrasi kartu kredit di pasar berkembang Asia Tenggara masih bernilai hanya satu digit, tidak terlalu mengatasi masalah utama yang ada. Selain itu, solusi ini juga tidak menawarkan obat dari masalah kepercayaan yang sering menghalangi transaksi C2C dan P2P — terutama escrow.
  • 2C2P dan Omise juga berisiko ditinggalkan pengguna karena tidak adanya ikatan apapun dengan pengguna akhir, yang berarti jika ada alternatif yang lebih murah dan lebih baik muncul tidak ada yang bisa menghentikan para merchant untuk beralih ke produk tersebut. Taobao mengharuskan pengguna untuk mendaftar ke Alipay, sehingga membuatnya lebih mudah untuk meyakinkan platform ecommerce non-Taobao untuk turut mengadopsi Alipay.
  • Rabbit LINE Pay, sebelumnya LINE Pay, tidak pernah menangkap jumlah market share yang dominan meski dengan asosiasinya dengan LINE, platform berkirim pesan populer yang memiliki 33 juta pengguna di Thailand. Layanan ini juga terbatas karena hanya melayani kartu kredit, lagi-lagi tidak memecahkan masalah fundamental kurangnya penetrasi kartu kredit di wilayah ini.

Tantangan Distribusi

  • Meski dengan usaha yang baik untuk memberikan konsumen dengan pilihan metode pembayaran kedua, startup fintech seperti Digio dan Deep Pocket hanya membangun dompet mobile sebelum memecahkan masalah utamanya.
  • Sangat sulit bagi dompet mobile untuk digunakan secara luas saat awareness masih sangat rendah dan pengguna tidak memiliki insentif yang kuat (biasanya finansial) untuk untuk mengadopsinya. Akuisisi pengguna kemudian menjadi mahal tanpa adanya channel distribusi yang terpaut.

Tantangan (Kurangnya) Praktik Penggunaan

  • Salah satu dompet mobile terdepan di Thailand yang dimiliki oleh Ascend, True Money, tersambung dengan bank besar di Thailand dan memiliki akses distribusi ke perusahaan-perusahaan di portfolio konglomerat CP, termasuk lebih dari 19 juta pelanggan mobile.
  • Namun demikian, True Money dilaporkan hanya memiliki 100,000 pengguna aktif bulanan dari 6 juta pengguna yang terdaftar sejak 2014. Praktik penggunaan True Money saat ini hanya terbatas pada top-up telepon seluler, top-up online game, dan pembayaran tagihan dan pembayaran di konter, biasanya di toko 7-11 yang dimiliki oleh CP.

Ecommerce merupakan penggunaan yang lebih jelas dan natural bagi dompet mobile dan karena itu True Money juga digunakan sebagai metode pembayaran di perusahaan ecommerce milik Ascend seperti WeMall dan WeLoveShopping. Namun demikian, dengan total gabungan trafik mereka yang hanya mencapai 26% dari total trafik Lazada, Ascend masih memiliki jalan yang panjang untuk mengikuti jejak Peter Thiel dan mengubah properti ecommerce mereka menjadi tempat bertumbuh bagi solusi pembayaran mereka.

Akuisisi Lazada: Strategi Kuda Trojan?

Langkah Alibaba ke Asia Tenggara tidak pernah hanya tentang menumbuhkan GMV ritel mereka. Dalam jangka panjang, bukan masalah mengalahkan rival Lazada atau mencari pasar baru di luar Tiongkok; semua ini tentang mendapatkan akses ke basis pelanggan besar di pasar yang kekurangan infrastruktur ecommerce-nya sangat mirip dengan Tiongkok pada masa permulaannya. Permainan akhir Jack Ma adalah untuk mengenalkan dan memonetisasi produk dan layanannya yang lain, dimulai dengan Alipay.

Kuda trojan Alibaba
Kuda trojan Alibaba

Mengadopsi Alipay akan berperan besar dalam pertumbuhan ecommerce di skala regional dan Lazada pada khususnya. Adopsi secara luas dari sebuah platform pembayaran nyaman yang menjembatani krisis kepercayaan antara pembeli dan penjual akan berujung kepada kenaikan transaksi secara keseluruhan seperti yang telah terlihat di Tiongkok, pasar ecommerce terbesar si dunia dalam hal penetrasi dan GMV-nya.

Berita tentang pembelian 20% saham Ascend Money, induk perusahaan True Money, oleh Alibaba yang datang hanya beberapa bulan setelah pembelian Lazada, menunjukan master plan Jack Ma bagi Asia Tenggara mulai membuahkan hasil.

Semua ini lebih dari hanya sekadar Alipay dan memfasilitasi pembayaran di marketplace. Seperti yang telah disebutkan di atas, Ant Financial, induk perusahaan Alipay, mengoperasikan seluruh ekosistem finansial digital di Tiongkok yang terdiri, namun tidak terbatas, dari: Yu’e Bao, dana bersama terbesar di Tiongkok dalam rangka investor dengan aset sebesar $108 miliar; Zhaocai Bao, sebuah platform peminjaman P2P dengan transaksi sebesar $32 miliar di tahun pertamanya; dan Sesame Credit, sebuah sistem credit-scoring yang didasarkan dari — bisa Anda tebak — data ecommerce.

Dan sektor finansial hanyalah permulaan. Jack Ma, di dalam surat bagi pemegang sahamnya di tahun 2015, mengisyaratkan banyaknya hal yang masih akan datang:

“Strategi grup Alibaba adalah untuk membangun infrastruktur ecommerce untuk masa depan. Ecommerce hanyalah langkah pertama. […] Sekitar setengah dari tenaga kerja Alibaba Grup dan perusahaan terafiliasinya, termasuk Ant Financial dan Cainiao, bekerja di area-area penting bagi ekosistem kita, termasuk logistik, finansial internet, big data, cloud computing, mobile internet, periklanan dan juga yang disebut Industri double H – Health and Happiness (bisnis kesehatan dan hiburan digital berbasis big data yang akan memerlukan 10 tahun untuk menjadi data-driven)”

Karena itu, seharusnya bukan para peritel seperti MatahariMall atau Central yang khawatir akan meningkatnya kompetisi; namun para bank, penyedia asuransi, rumah sakit dan yang lainnya yang harus bersiap menerima pecutan keras.

Sebagai kilasan apa yang mungkin akan terjadi di Asia Tenggara, kita hanya perlu melihat apa yang terjadi pada Uber baru-baru ini di Tiongkok.

Belajar dari Tiongkok atau Bagaimana Strategi Kuda Trojan Alibaba Membunuh Uber Tiongkok

“Uber tidak kalah dari Tiongkok pada tahun 2016. Mereka kalah di 2014 saat baru masuk, dan menyadarinya 2 tahun kemudian.” — Wang Di, Pengguna Quora

Alibaba, bekerja sama dengan rival lama mereka Tencent, mengadopsi strategi yang mirip di Tiongkok untuk menyingkirkan Uber. Orang luar sudah sering mendengar alasan strategi buku teks klasik “bagaimana-perusahaan-internet-asing-gagal-di-Tiongkok” seperti kurangnya pelokalan (halangan bahasa/budaya), kurangnya koneksi/guanxi, perlindungan pemerintah dan kurangnya pelaksanaan hukum IP.

Meskipun semua hal ini memiliki perannya sendiri, tidak satupun menjelaskan alasan utama mengapa Uber mengalami kegagalan di Cina.

Uber gagal karena mereka mengira bahwa persaingan mereka hanya di ruang transportasi dengan Didi. Yang tidak mereka ketahui, pemegang saham mayoritas Didi, Alibaba dan Tencent, bermain dengan peraturan yang sama sekali berbeda. Bagi Alibaba (dan Tencent), Didi bukanlah hanya aplikasi penyedia jasa transportasi; strategi Didi dan tujuan tersembunyinya adalah untuk berperan sebagai channel akuisisi scalable Alipay Wallet, versi mobile dari Alipay, serta WeChat Wallet milik Tencent, menurut jawaban brilian di situs Quora ini:

Sekitar tahun 2012, kesuksesan besar WeChat membantu banyak perusahaan IT di Tiongkok untuk menggeser fokus mereka ke pasar aplikasi mobile. Sementara itu, meski dengan beberapa suspensi, pemerintah mulai mendukung pembangunan pembayaran mobile. Semuanya telah siap bagi Tencent dan Alibaba untuk meluncurkan aplikasi pembayaran mobile mereka untuk menjadi hal yang besar. Semua, kecuali kebiasaan pengguna di Tiongkok.

Masyarakat di Tiongkok belum terlalu familiar dengan pembayaran mobile pada saat itu. Bahkan, belum ada sama sekali sebuah grup masyarakat di dunia yang secara signifikan lebih baik pada saat itu. Lebih lagi, masyarakat Tiongkok sangat berhati-hati saat melakukan proses pembayaran, dan banyak dari mereka bukanlah penggemar gadget terbaru.

Namun mereka semua menyukai diskon atau pembayaran kembali! Satu dollar yang dihemat adalah satu dollar yang dihasilkan.

Aplikasi pemanggil taksi Didi dan Kuaidi menjadi pengenalan trafik pengguna yang sempurna.

Anda bisa menggunakan Didi untuk memanggil taksi dan membayar 30 yuan secara tunai, namun jika Anda membayar taksi dengan menggunakan Tencent Wallet (diarahkan dari Didi), Anda hanya harus membayar 10 yuan. Apakah Anda bersedia untuk menghemat 20 yuan—$3 atau 4—dengan menggunakan fitur yang sudah tersedia di aplikasi tersebut? Hanya dengan memencet di sini dan di sana? Tentu saja.

Dan sekarang Anda telah tersambung dengan WeChat Wallet. Seperti yang diinginkan oleh Tencent.

Dengan Didi sebagai channel distribusi penting bagi Alipay Wallet, Alibaba berhasil mengakuisisi lebih banyak pengguna ke dalam ekosistem layanannya termasuk Taobao, Tmall, Ant Finance dan lebih banyak lagi, yang memimpin monetisasi ke seluruh produk lainnya. Uber hanya memiliki transportasi.

Tencent dan Alibaba telah menaruh jumlah uang yang sangat banyak untuk membayar subsidi pembayaran kembali ini. Terlalu banyak untuk sebuah aplikasi pemanggil taksi, namun sangat wajar jika Anda ingin menandai wilayah Anda di pasar terbesar dengan sistem pembayaran mobile yang paling terdepan di dunia.

Masa Depan Bagi Asia Tenggara

Dengan didaulatnya Asia Tenggara sebagai pasar ecommerce yang besar dan belum terjamah selanjutnya di dunia, kita akan melihat banyak pemain yang mensubsidi jalan mereka demi mencapai pertumbuhan melalui diskon dan kupon. Tidak mengherankan, kritikus sering melihat cara ini sebagai perlombaan ke bawah bagi semua pihak.

Tidak selamanya benar. Sebagaimana contoh yang telah ditunjukan Uber Cina kepada kita, hal ini hanya akan gagal bagi para perusahaan yang tidak melihat gambar yang lebih besar dan tidak mampu memonetisasi melalui set produk atau layanan yang berbeda, baik saat ini maupun di masa depan.

Dengan mempertimbangkan hal ini, seseorang bisa berargumen bahwa Alibaba mendapatkan penawaran yang baik dengan Lazada, terutama mengingat kesempatan jangka panjang yang ada di Asia Tenggara melebihi ecommerce ritel. Saham Alibaba pun mengkonfirmasi hal ini—Harga saham Alibaba melonjak naik setelah berita akuisisinya diumumkan pada 12 April dan meningkat 35% sejak saat itu (per 3 Oktober 2016).

Akuisisi Alibaba secara luas dianggap kemenangan bagi pertumbuhan ecommerce di Asia Tenggara namun berapa banyak di antara kita yang siap menghadapi fakta bahwa piala apapun yang kita dapatkan tidaklah berbentuk kuda unicorn namun mungkin kuda yang lain?


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Sheji Ho dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Analisis Prediktif Bisa Bantu Bisnis Optimalkan Banyak Hal

Pernah ada sebuah ungkapan bahwa orang yang tidak mempelajari sejarah akan mengulanginya, hal ini tentu menjadi salah satu ungkapan paling relevan dengan apa yang disebut dengan analisis prediktif. Sebuah analisis yang didasarkan dari data-data yang terkumpul untuk kemudian dianalisis dan menjadi salah satu bahan pendukung keputusan yang diambil untuk masa depan.

Tren analisis prediktif tentu satu paket dengan big data. Bagi dunia bisnis big data dan analisis prediktif bisa sangat berarti. Selain menghindari lubang kegagalan yang sama juga sebagai salah satu cara untuk mengetahui inovasi apa yang cocok untuk masa depan.

Big data dan analisis prediktif tidak hanya berperan pada mengetahui keinginan pengguna, lebih dari itu big data juga berperan memperbaiki bisnis mulai dari mengoptimalkan sesuatu yang tidak efisien. Seperti yang banyak diketahui big data dan analisis prediktif menjadi satu kesatuan yang menampung dan mempelajari data-data untuk dijadikan sebuah laporan yang bisa digunakan untuk menunjang keputusan atau inovasi selanjutnya. Untuk bisnis ini juga bisa berarti big data dan analisis prediktif mengurangi hal-hal yang tidak begitu diperlukan.

Big data dan analisis prediktif bisa menunjukkan hal-hal apa yang krusial dan sebaiknya dilakukan oleh bisnis sehingga bisnis tidak perlu meraba-raba apa yang akan dilakukan selanjutnya, seperti merencanakan sebuah fitur atau produk baru. Semua yang diinginkan, semua peluang, sudah tertuang dalam hasil dari analisis prediktif.

Hal lain yang bisa dilakukan analisis prediktif adalah memberikan gambaran mengenai kampanye yang efektif. Yang satu ini berkaitan langsung dengan konversi. Hasil konversi dan hasil apa pun di kampanye sebelumnya bisa dimanfaatkan sebagai perimbangan, koreksi dan evaluasi untuk kampanye berikutnya. Di sini big data dan analisis prediktif membantu bisnis memberikan wawasan mengenai hasil dari kampanye sebelumnya dan mungkin juga apa yang harus dilakukan dan dihindari dalam kampanye selanjutnya.

Misalnya channel pemasaran paling potensial, buzzer paling efektif, waktu paling tepat, dan beberapa hal lainnya. Big data dan analisis prediktif bisa menjadi teknologi paling krusial dalam beberapa tahun ke depan jika diimplementasikan dan didukung dengan data yang berkualitas.


Disclosure: DailySocial bekerja sama dengan Bigdata-madesimple.com untuk seri penulisan artikel tentang big data.

Menyambut Musim Diskon Online: Bagaimana Asia Tenggara Menirukan Fenomena Online Tiongkok

Bagi para pembelanja online, 11.11 telah menjadi fenomena belanja tersendiri. Acara diskon online terbesar di Tiongkok ini diprakarsai oleh raksasa ecommerce Alibaba, di mana besaran diskon dari para penjual yang berpartisipasi berkisar dari 25%-70% dan mencatat rekor $5 miliar produk terjual dalam 90 menit pertama pada tahun lalu.

Alibaba, yang memiliki marketplace online Tmall dan Taobao, berhasil menjual produk seharga $14.3 miliar selama periode diskon tahun lalu, yang ditargetkan kepada 386 juta pengguna aktif tahunan – angka yang lebih besar dari populasi di AS.

Fortune menyebut kampanye ini, cukup akurat, sebagai “Black Friday on steroids”.

Penghasilan gabungan dari Black Friday dan Cyber Monday, periode sale terbesar di Amerika Utara, berjumlah $7.54 miliar pada tahun lalu, yang walaupun mengesankan namun hanya merupakan setengah dari pemasukan Alibaba di periode penjualan yang sama.

Pendapatan Alibaba di Single's Day vs Cyber Monday di Amerika Serikat
Pendapatan Alibaba di Single’s Day vs Cyber Monday di Amerika Serikat

Latar Belakang Budaya 11.11

‘Single’s Day’ awalnya berasal dari Universitas Nanjing pada tahun 1993 di mana sekumpulan grup para orang lajang berkumpul untuk merayakan status ketidak-terikatan mereka dengan cara berbelanja. Pada tahun 2009, Jack Ma, Chairman dari Grup Alibaba, melihat potensi hal ini kemudian menciptakan acara belanja online bagi para kaum muda ini, memposisikan hari ini untuk memanjakan diri sendiri.

‘Single’s Day’ kemudian meraih pamornya dan dimonetisasi oleh Alibaba, menjadikan hari ini sebagai pertunjukan perbelanjaan online di platform marketplace mereka dan mendorong transaksi bisnis selama periode sepi di Tiongkok, antara Golden Week pada bulan Oktober dan Tahun Baru Tiongkok di bulan Januari hingga Februari. Hal ini juga pertama kali diperkenalkan saat ecommerce sedang meledak di Tiongkok, menghasilkan pertumbuhan sebesar 5,470% bagi program diskon “Double 11” selama 2009 dan 2013.

rts6cc7-1024x813

Perusahaan ini sejak saat itu telah menjadikan istilah tersebut sebagai merk dagang mereka pada Desember 2012, yang memungkinkan mereka mengambil aksi hukum terhadap outlet media yang menerima iklan dari kompetitor yang secara spesifik menggunakan istilah ini.

Diskon 11.11 juga telah mencapai ratusan juta pembelanja Tiongkok di luar kota besar seperti Beijing dan Shanghai, yang mengandalkan Taobao dan Tmall karena mereka tidak memiliki mall besar di kota mereka.

Program marketing offline yang mereka lakukan juga berkontribusi kepada kesuksesan 11.11. Dengan menghadirkan selebritas global seperti Daniel Craig dan Kevin Spacey ke acara launching-nya, Alibaba menjadikan fenomena belanja ini sebagai acara yang patut untuk dirayakan.

Untuk pertama kalinya sejak promosi 11.11 diluncurkan, Grup Alibaba telah mengumumkan bahwa acara tahun ini akan berlangsung selama 24 hari dan bukannya 24 jam. Mereka juga akan menandai acara ini dengan memperkenalkan teknologi virtual reality milik Alibaba, Buy+, yang menjanjikan pembelanja sensasi berbelanja langsung ke toko ritel melalui headset VR. Tahun ini juga akan melihat ekspansi 11.11 ke Hong Kong dan Taiwan.

Dengan kesuksesan kampanye 11.11 dari Alibaba, tidak mengherankan jika Asia Tenggara kemudian mengikuti jejak Tiongkok. Meskipun bukan untuk merayakan status-kesendirian, marketplace online besar seperti Lazada dan Moxy (sekarang dikenal sebagai Orami) telah mengadopsi kampanye 11.11 Alibaba dengan versi mereka sendiri.

lazada1111-1024x762

Pemain online berada di bawah tekanan untuk melakukan dan berpartisipasi selama periode ini karena banyak brand besar dan peritel yang mulai menawarkan diskon yang lebih besar dan lebih baik berkat modal yang lebih besar dan jumlah merchant yang lebih banyak.

Di Asia Tenggara, para marketplace menggunakan periode 11.11 sebagai tes lakmus untuk melihat seberapa baik performa mereka dibanding para kompetitor di pasar lokal.

11.11 Versi Asia Tenggara

Mulai dari merekrut tenaga kerja tambahan hingga memastikan para pembelanja mengetahui program diskon ini, marketplace menggunakan strategi media sosial hingga berbulan-bulan sebelum acara tersebut berlangsung dan mengkalkulasi prediksi stok yang ada untuk memastikan acara diskon ini sukses.

Inilah bagaimana pemain-pemain terbesar di Asia Tenggara memanfaatkan momentum 11.11:

Marketing blitz: Personalisasi sosial adalah kunci

Sebagai marketplace ecommerce terbesar di wilayah ini, Lazada telah mengadaptasi 11.11 dan mengekstensikannya dengan acara 12.12 milik mereka pada 12 Desember dan menyebutnya sebagai ‘The Online Revolution’, yang dimulai pada tahun 2012.

Lazada Thailand mencatat pertumbuhan di GMV mereka hingga $40 juta selama 10-12 Desember 2015 dan melihat kenaikan pertumbuhan partisipasi dari konsumen mereka. Lazada Thailand mencatat 300% kenaikan pesanan dibandingkan periode yang sama pada 2014.

“Di Thailand, kami melihat channel marketing yang paling sukses biasanya sangat sosial,” ujar Baptiste Le Gal, CMO Lazada Thailand. “Manajemen hubungan konsumen adalah channel utama untuk memberikan penawaran yang cocok dengan ketertarikan mereka.”

Tren konsumen pun mengalami sedikit berubahan di Thailand. Baptiste melihat bahwa barang elektronik yang biasanya menjadi kategori paling populer, telah digantikan oleh kategori yang lebih mengarah ke segmen gaya hidup seperti kesehatan & kecantikan dan peralatan rumah tangga di platform mereka.

Adopsi mobile yang tinggi di Thailand juga berkontribusi kepada prilaku konsumen saat berbelanja di Lazada.

Dengan pasar yang mengutamakan mobile berarti Lazada harus berfokus dengan aspek mobile di channel mereka dan memastikan bahwa aplikasi mobile Lazada telah optimal untuk memastikan pengalaman pengguna yang baik selama periode kampanya tersebut. Marketplace ini juga telah meluncurkan iklan ‘make your dreams come true’ di Singapura, untuk menyambut acara besar ini.

Zalora, portal fashion milik Rocket Internet, juga mengikuti formula Rocket dengan menawarkan diskon hingga 80% baik untuk 11.11 dan 12.12. Strategi marketing Zalora Indonesia untuk mempromosikan kampanye ini dilakukan dari bulan Oktober hingga ke grand finale di 12.12, dimulai dengan Zalora Great Sale yang tengah berlangsung, yang bisa digunakan para pembelanja untuk mempersiapkan mereka di acara utamanya.

“Pada tahun 2015, keseluruhan penjualan untuk 12.12 naik hingga 30 kali dibanding penjualan rata-rata di hari biasa, dengan brand yang berpartisipasi juga melihat kenaikan penjualan meski masa kampanye telah berakhir,” ujar Priyanto Lim, Head of Marketplace di Zalora Indonesia.

9695706_zalora-1212-online-fever_t82ab5e6d

Namun memberikan diskon besar saja tidaklah cukup. Zalora Indonesia mengadakan kompetisi online, menyediakan hadiah ekstra dan menggunakan endorsement selebritas di media sosial sebagai bagian dari promosi untuk menciptakan hype acara diskon besar ini. Intinya, para konsumen akan dibanjiri dengan insentif dan pemicu untuk melakukan pembelian.

Nampaknya, spekulasi bahwa brand merasa tertekan untuk berpartisipasi dan melakukan potongan biaya untuk bisa berkompetisi dengan merchant yang lain tidak mengurangi pengaruh dari kampanye ini.

“Kontra dari apa yang disebutkan di artikel tersebut, brand sangat bersedia untuk bekerja sama dengan kami karena mereka juga diuntungkan dengan ekstra trafik [yang dihasilkan],” ujar Priyanto.

Marketplace bagi perempuan, Orami fokus dengan menghasilkan konten original bertema ‘Single’s Day’ dan memanfaatkan komunitas mereka untuk menghasilkan trafik ke website dan berinteraksi dengan pembelanja dibanding melakukan kampanye promosi besar-besaran.

“Untuk mendorong interaksi media sosial, Orami juga menggunakan Facebook sebagai cara untuk menciptakan interaksi dengan pengguna melalui permainan online yang bertemakan Single’s Day,” ujar Shannon Kalayanamitr, co-founder dan CMO Orami.

Menargetkan wilayah mobile-centric

Shopee, platform belanja mobile milik Garena, merilis mega sale versi mereka untuk pertama kalinya tahun ini, menyebutnya 9.9 pada 9 September. Diuntungkan dengan pertumbuhan pesat pasar mobile yang berada di wilayah ini, platform ini menyasar para konsumen mobile-first di Thailand dengan cara merilis produk yang sudah didiskon besar-besaran secara berkala sepanjang hari untuk menjaga antisipasi konsumen mereka.

Situs website Shopee bahkan menerbitkan jadwal diskon sebelumnya sehingga pembeli dapat mengatur alarm bagi produk yang mereka incar, menciptakan mentalitas ‘ready-set-go’ bagi pembeli untuk mendorong daya saing dan membuat mereka berbelanja lebih.

Shopee-9.9-Mobile-Shopping-Day_square

Penyedia layanan niche turut berpartisipasi

11.11 juga telah menginspirasi penyedia layanan online di Asia Tenggara untuk mengikuti tren prilaku online ini.

Penyedia bahan makanan on-demand, HappyFresh Indonesia, menawarkan hingga 30% diskon untuk produk yang paling populer dalam kampanye marketing mereka tahun lalu.

489ffa98-be06-4d73-bfea-8f802dfd59ba

Dan pemain baru di sektor yang sama di Thailand, honestbee, saat ini bekerja dengan jaringan supermarket populer di Thailand, Villa Market untuk memasuki sektor ‘barang kebutuhan sehari-hari’ yang termasuk air, makanan segar dan daging. Barang-barang ini semua akan menjadi bagian dari kampanye promosi besar layanan pengiriman ini.

Ketika bahan makanan didiskon, pembeli cenderung menyimpan ‘persediaan’, terutama ketika membeli secara online dengan pilihan yang lebih luas.

“Kami melihat pola pembelian pelanggan kami untuk melihat jenis barang apa yang populer di kalangan pembeli. Sebagai contoh, pelanggan di wilayah pemukiman sering memesan air mineral dan buah segar dengan volume besar, sehingga kami harus mengantisipasi bahwa sektor ini mungkin akan mengalami lonjakan pada kampanye 11.11 kami,” ujar Piyawat Laiphithak, Marketing Manager di honestbee Thailand.

honestbee juga berencana melakukan gimmick bertema ‘Singles Day’ dengan memberikan makanan ringan seperti gummy bears dan popcorn untuk pembeli.

11.11 Logistik: Apa yang terjadi di balik layar?

Ungkapan “dibutuhkan seluruh desa untuk membesarkan seorang anak” cocok untuk diterapkan di sini, jika kita menukar anak dengan kampanye secara online skala besar. Bagaimana perusahaan ecommerce memastikan fungsi optimal selama waktu yang sibuk ini?

Bagi penyedia solusi ecommerce, aCommerce, mereka telah merencanakan sekitar dua bulan sebelumnya untuk mengakomodasi lonjakan pesanan untuk klien yang berpartisipasi dalam acara diskon ini.

“Kami meningkatkan tenaga kerja kami sebesar tiga kali melalui kontrak sementara dan menjalankan operasi 24 jam selama masa lonjakan seperti 11.11 untuk memastikan permintaan pelanggan dapat terpenuhi,” Phensiri Sathianvongnusar, COO di aCommerce Thailand menyampaikan.

Staf sementara dipekerjakan melalui agen dan mendapatkan pelatihan khusus selama 2-3 hari untuk tugas mereka sebelum acara penjualan akbar ini.

Selama periode lonjakan, aCommerce juga menggunakan platform multi-shipping untuk memanfaatkan lebih dari 20 jaringan kurir untuk memastikan bahwa pengiriman dilakukan tepat waktu, demi performa terbaik dan memastikan tidak ada penjualan yang dibatalkan, karena waktu dan kecepatan adalah hal yang paling penting selama masa kampanye.

acom-1024x462

“Inventory planning sangatlah penting untuk kampanye seperti 11.11 dan 12.12, jadi kami menggunakan data historis dari peristiwa di tahun-tahun sebelumnya untuk menentukan jenis produk apa yang cenderung populer selama periode diskon ini dan menghindari kekurangan stok,” tambah Phensiri.

Untuk para brand yang tidak berpartisipasi dalam kampanye 11.11, mereka adalah bagian dari jalur ekspress yang menjamin bahwa produk mereka masih tetap menjadi prioritas selama masa kampanye.

Sebuah liga tersendiri

Menggunakan kampanye 11.11 Tiongkok sebagai latar belakang, pasar online Asia Tenggara mengukir mega sale versi mereka sendiri yang tidak bisa dengan hanya meniru Alibaba untuk meraih kesuksesan.

Asia Tenggara berpotensi dapat melompati Tiongkok dengan ledakan pertumbuhan mobile di kawasan ini dan meningkatnya kelas menengah. Kampanye besar seperti 11.11 akan terus bertumbuh setiap tahunnya seiring dengan semakin banyaknya konsumen yang masuk ke online. Platform mobile-first seperti Shopee sudah bergerak cepat dan menangkap pasar mobile yang tengah berkembang di Asia Tenggara, mencerminkan kenaikan dari belanja mobile di Tiongkok, di mana 72% dari pembelian selama tahun lalu saat 11.11 berasal dari mobile.

Respon positif dan durasi kampanye merupakan bukti tumbuhnya antusiasme kawasan ini dengan ecommerce, mungkin merupakan indikasi positif bahwa kita beringsut menjauh dari bayang-bayang Tiongkok.


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Anutra Chatikavanij dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Menegaskan Kembali Visi BEKRAF untuk Startup Indonesia

Pada sebuah kesempatan di pagelaran Puncak Startup Pitch Day, BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) kembali menegaskan visi dan strateginya untuk tingkatkan kualitas dan kuantitas industri ekonomi kreatif lokal. Disampaikan Wakil Kepala BEKRAF Ricky Joseph Pesik, sebagai lembaga setingkat kementerian yang masih sangat baru, ada beberapa tantangan yang saat ini coba dipatahkan. BEKRAF masuk ke wilayah yang sedang menjadi tren dengan pemahaman yang berbeda, tak lain seputar startup di Indonesia.

Bagi BEKRAF startup merupakan sebuah paradigma baru, dikatakan sebagai versi yang lebih eksklusif dari UMKM yang umum dikenal sebelumnya. Nilai eksklusif tersebut didukung adanya model bisnis dan pendekatan yang lebih modern, terlebih kebergantungannya dengan unsur digital. Ada dua aspek yang begitu mendominasi perbedaan tersebut, yakni startup memiliki financial engineering (terkait dengan funding, valuasi dan sebagainya) dan dihadapkan langsung dengan persaingan global (internet membuat sekat persaingan menjadi kabur).

Langkah strategis yang dirilis BEKRAF sebagai lembaga pemerintahan

Tepatnya ada 16 sub-sektor ekonomi kreatif yang ditangani oleh BEKRAF, yang terbagi ke dalam 6 fungsi. Dengan berbagai keterbatasan tentu akan memakan waktu yang sangat lama untuk mengusung suksesi di seluruh bidang. Dari fakta tersebut BEKRAF menyadari bahwa diperlukan sinergi dengan stakeholder lain yang memiliki lini sama dengan tujuan tersebut. BEKRAF mencoba menjadi lembaga penghubung anter kementerian untuk bersama-sama membangun ekosistem startup Indonesia.

Dalam kesempatan pertemuan ini juga hadir para perwakilan dari berbagai deputi yang ada di tubuh BEKRAF. Dari Deputi Riset, Edukasi, dan Pengembangan hadir Abdur Rohim Boy Berawi menyampaikan tentang bagaimana pendekatan berbasis edukasi dan riset menjadi komponen penting untuk merealisasikan ekosistem startup nasional. Saat ini pihaknya mengaku tengah berfokus pada penyusunan data, untuk dapat memetakan berbagai aspek dan kebutuhan pengembangan industri secara tepat. Visinya ke open data, dan saat ini tengah bekerja sama dengan BPS (Badan Pusat Statistik).

Sebagai langkah mengakselerasi pengumpulan data tersebut, BEKRAF kini memiliki sebuah aplikasi survei bernama BISMA (BEKRAF Information System Mobile Application). Selain itu pihaknya tengah gencar bekerja sama dengan kampus-kampus ternama sebagai pusat peneliti ekonomi. Selain itu di Deputi Akses Permodalan, Badan Ekonomi Kreatif yang diwakili Fadjar Hutomo turut memaparkan visinya. Program yang paling ingin ditonjolkan adalah HIVI (How to Invest In).

Aplikasi mobile dinilai menjadi medium persebaran informasi yang tepat oleh BEKRAF
Aplikasi mobile dinilai menjadi medium persebaran informasi yang tepat oleh BEKRAF

Program HIVI bertujuan untuk memberikan akses sekaligus edukasi kepada investor yang berminat melakukan investasi ke industri kreatif nasional. Sebagian besar isunya saat ini adalah kurangnya informasi terkait dengan jalur investasi, kesenjangan tersebut yang ingin diminimalkan. BEKRAF menyadari betul, bahwa dengan APBN yang dimilikinya, hampir tak mungkin dilakukan pendanaan langsung. Dari situ pendekatan yang diambil adalah strategi sebagai “mak comblang”.

Beberapa pagelaran diadakan bekerja sama dengan pemodal ventura, baik lokal maupun internasional. Pendekatan kepada angel investor pun terus digencarkan. Sehingga mampu membantu startup untuk melakukan scale-up mengimbangi inovasi yang dirilisnya. Pihaknya juga menyadari betul, bahwa investasi melalui perbankan memiliki kompleksitas dan banyak berbenturan dengan aturan yang berlaku. Sebagai konwledge based economy, suntikan pendanaan dianggap perlu untuk mendorong perkembangannya.

Dukungan bagi startup yang bersifat langsung

Dukungan yang dapat dinikmati langsung untuk operasional startup nyatanya juga dibutuhkan. Menanggapi hal ini, seperti disampaikan Direktur Fasilitasi Infrastruktur TIK Muhammad Neil El Himam, BEKRAF akan memberikan dukungan berupa infrastruktur fisik dan infrastruktur TIK. Infrastruktur fisik akan berupa bangunan seperti co-working space yang mendukung insan kreatif berkarya. Sedangkan infrastruktur TIK mencakup kebutuhan seperti hosting, software dan sebagainya. Menjadi concern karena software legal untuk produktivitas masih menjadi kendala secara umum di lanskap startup Indonesia.

Pemasaran turut menjadi hal yang ingin dibenahi oleh BEKRAF. Menhariq Noor selaku Kasubdit Pasar Segmen Bisnis dan Pemerintahan menyampaikan bahwa isu yang ada saat ini adalah ketidaksesuaian “kemasan” produk yang sebenarnya mampu memberikan nilai lebih terhadap suatu produk dan layanan. Oleh karenanya branding dan packaging akan banyak diupayakan pengembangannya. Hal ini selaras dengan unsur HKI yang semestinya menjadi prioritas sebuah industri kreatif.

Menurut Ari Juliano Gema selaku Deputi Fasilitasi HKI dan Regulasi, HKI seharusnya menjadi ciri khas ekonomi kreatif. Pendaftaran HKI dan sertifikasi produk menjadi program yang terus digencarkan. Tahun ini ditargetkan adanya 1000 pendaftaran HKI dan 5000 sertifikasi produk. Mendukung langkah ini, aplikasi pengetahuan Biima dikembangkan, untuk mendampingi kanal konsultasi yang bersifat langsung. Memerangi pembajakan juga menjadi langkah antisipatif yang sedang terus digencarkan.

Industri butuh kepastian, lebih dari sekedar perencanaan

Ketika masuk ke ranah praktik, maka upaya yang “terasa” akan lebih bermakna dalam mendukung kegiatan industri kreatif. Berlaku sebagai garda terdepan pemerintah, BEKRAF harus mampu memetakan regulasi, memberikan solusi dan pilihan, mana yang sifatnya mendukung dan mana yang akan merusak stabilitas. Pada dasarnya kita dihadapkan pada sebuah sistem ekonomi dari kultur internet. Orang banyak bilang sebagai sharing economy, ada pula yang menyebutnya sebagai optimized economy. Definisinya sama, yakni bagaimana perekonomian dapat terdorong dengan perkembangan digital yang ada saat ini.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

5 Alasan Lazada Mengakuisisi RedMart

Spekulasi yang muncul akhir pekan lalu bahwa Lazada, online marketplace terdepan di Asia Tenggara, yang dikabarkan ingin mengakuisisi startup online grocery asal Singapura, Redmart seharga $30-40 juta, telah terkonfirmasi. Lazada, yang baru mendapat suntikan dana segar sebesar $1 miliar dari Alibaba, sebelumnya tidak dikenal dengan kebiasaan mengadopsi model dengan aset berat; bahkan mereka secara aktif mencoba berubah menjadi model marketplace sepenuhnya, khususnya setelah akuisisi Alibaba.

Lalu mengapa perusahaan yang satu ini kemudian ingin mengakuisisi sebuah peritel bahan makanan online? ecommerceIQ membagi beberapa kemungkinan alasannya:

1. Bergabung dengan arena baru yang sedang berkembang

Elektronik, kesehatan & kecantikan, pakaian, kebutuhan rumah tangga, Lazada menawarkan semua kategori ini, kecuali barang yang mudah rusak/bahan makanan.

Bahan pangan online telah hadir di Amerika Utara sejak tren Dot-com namun baru akhir-akhir ini menjadi populer melalui model on-demand, pertama kali dikenalkan oleh Instacart dan sejak saat berkembang dengan kehadiran Google dan Postmates yang memenuhi ruang ini.

Sektor bahan makanan offline di Singapura bernilai dengan estimasi sebesar SG$5.5 miliar pada 2014, sementara ritel bahan makanan online diperkirakan berharga SG$120 juta dan hanya menyusun 1-2% dari seluruh pasar bahan makanan di Singapura. Hal ini menunjukan bahwa semakin banyak pekerja profesional dan keluarga yang rela mengeluarkan uang untuk mendapati kenyamanan bahan makanan mereka dikirimkan ke pintu depan mereka.

Dari semua negara Asia Tenggara, Singapura memiliki penetrasi internet tertinggi dan kemampuan berbelanja terbesar, menjadikan pasar ini paling siap untuk model bisnis seperti ini. ECOMScape: Singapore menunjukan banyaknya pemain, baik dari tradisional peritel bahan makanan offline maupun pemain online murni, yang turut bergabung di sektor e-grocery ini dengan harapan bisa mendapatkan bagian di pasar online ini.

Landscape E-Commerce Food Grocery Singapura
Lanskap E-Commerce Food Grocery Singapura
Lanskap E-Commerce Ritel Singapura
Lanskap E-Commerce Ritel Singapura

“Strategi untuk memasuki ruang ini adalah mencari pemain lokal yang telah menunjukan traksi dan membeli mereka untuk mendapatkan pijakan yang kuat dan kita akan melihat banyak (kejadian) seperti itu,” ujar Vinnie Lauria, Founding Partner dari Golden Gate Ventures, yang telah berinvestasi di marketplace seperti Carousell dan penjual bahan makanan online Redmart.

Dengan mengakuisisi Redmart, Lazada akan turut masuk ke dalam kompetisi bahan makanan online yang sudah sengit namun dengan reputasi yang terjamin dan Alibaba di sudut mereka, mereka memiliki kemampuan untuk mengurangi kerugian operasional Redmart dan menjadi pemain baru yang kuat. Akuisisi Redmart oleh Lazada sebenernya menyelamatkan startup tersebut untuk berakhir menjadi Webvan selanjutnya, pionir penjual bahan makanan online yang membakar uang terlalu cepat.

“Sebagai bagian dari strategi pertumbuhan kami, kami selalu mencari cara untuk melayani konsumen kami lebih baik dengan menambahkan kategori-kategori produk baru dan memperbaiki penawaran layanan kami,” komentar Maximilian Bittner, Group CEO Lazada, tentang akuisisi ini.

Dengan pendekatan multi-kategori, akuisisi Redmart ini akan memungkinkan Lazada untuk memaksimalkan pendapatan per pengguna Redmart untuk melebihi penjualan bahan makanan yang sering dicirikan oleh margin yang tipis.

2. Lelong, lelong!

Asia Tenggara sangat menyukai penawaran yang bagus dan tidak heran bahwa Redmart diam-diam menempatkan menaruh diri mereka di pasaran setelah laporan kerugian operasional sebesar $21 juta pada 2015 dan kewajiban perusahaan yang dinilai sebesar $125 juta muncul pada awal tahun ini. Terdengar juga rumor bahwa pada awal tahun ini Redmart berusaha mendapatkan suntikan dana baru sebesar $100 juta namun belum ada konfirmasi apapun. $30-40 juta bukan lah harga yang buruk bagi startup yang telah mendapatkan pendanaan lebih dari $59 juta dari Softbank, Garena dan didukung oleh selebritas tech seperti co-founder Facebook, Eduardo Saverin.

Lazada dengan percaya diri melakukan akuisisi ini karena tahu mereka bisa mengoptimalkan biaya operasional dengan memanfaatkan armada mereka sendiri untuk melakukan pengiriman melalui LEX. Sebagai perbandingan dengan kompetitor mereka, Honestbee dan HappyFresh, model bisnis Redmart bekerja cukup baik:

Sumber: Tech In Asia
Sumber: Tech In Asia

3. Distribusi lebih lanjut untuk Alipay

Pilihan pembayaran Redmart saat ini meliputi PayPal dan kartu kredit. Tidak akan lama sebelum Lazada mengimplementasikan Alipay di situs mereka dan memungkinkan para pembelanja untuk membayar bahan makanan mereka melalui Alipay. Bahan pangan adalah gerbang yang tepat untuk membuat pengguna ketagihan untuk melakukan pembelanjaan online — dibutuhkan semua orang dan memiliki harga rata-rata yang cukup rendah. Seperti Alibaba yang memanfaatkan Didi di Cina untuk membuat penggunanya mendaftarkan diri ke Alipay Wallet dengan mensubsidi pesanan taksi, mereka akan menggunakan bahan pangan dari Redmart untuk menarik masyarakat di Asia Tenggara bergantung dengan Alipay.

Ant Financial, perusahaan di balik Alipay telah melakukan beberapa langkah untuk melancarkan ekspansi global mereka dan memastikan bahwa metode pembayaran tersebut tersebar di seluruh Asia Tenggara. Perusahaan ini telah memiliki partnership dengan banyak perusahaan, termasuk Concardis, Ingenico, Wirecard dan Zapper di Eropa, First Data dan Verizone di Amerika Utara dan Paysbuy dan Counter Services di Asia Tenggara.

Alipay adalah sistem pembayaran dan transfer uang online terbesar di Cina dengan lebih dari 450 juta pengguna aktif. Tidak akan lama atau terlalu sulit bagi Jack Ma untuk mengeluarkan Kuda Trojan-nya.

4. Mendapatkan tenaga kerja e-commerce

Tantangan SDM bukanlah konsep yang baru bagi perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara. Dengan mengakuisisi Redmart, Lazada mendapatkan 200 pegawai in-house secara instan yang sudah terlatih di bidang khusus ecommerce. Kemampuan mengakuisisi bakat yang memiliki pengetahuan luas dan terampil akan memudahkan Lazada untuk mengekspansi ecommerce kategori bahan pangan secara cepat di negara Asia Tenggara lainnya di mana Lazada berada selain Singapura. Indonesia, Thailand, Filipina dan Malaysia mempunyai pengeluaran konsumen untuk makanan dan minuman tidak beralkohol yang masing-masing sebesar $130.2 miliar, $63.3 miliar, $51.3 miliar dan $25 miliar (Agriculture Canada). Dan selain itu…

5. Amazon segera hadir di Asia Tenggara

Raksasa ecommerce asal AS, Amazon akhirnya mengumumkan rencana mereka memasuki Asia Tenggara via Singapore pada Q1 2017 dan Lazada perlu menjaga keunggulan kompetitif mereka. Amazon telah memulai Amazon Prime dengan versi yang telah disesuaikan di Cina agar mampu berkompetisi lebih baik dengan Alibaba dan kemungkinan besar juga akan memperkenalkan layanan eksklusif yang sama di Asia Tenggara yang membuat konsumen mereka di AS sangat loyal kepada marketplace ini — seperti Amazon Fresh dan Amazon Prime.

Amazon Fresh diluncurkan pada tahun 20o7 dan saat ini berada di 17 pasar. Pembelanja hanya butuh membayar $14.99 per bulan untuk layanan ini namun membutuhkan keanggotaan Amazon Prime — sebuah layanan yang masih belum direplikasi Lazada untuk penggunanya.

“Standar bagi ritel bahan makanan sangat tinggi. Supermarket dan penjual bahan pangan adalah salah satu peritel yang terbaik di dunia.” Ajay Kava, Vice-President dari Amazon Fresh, menyampaikan kepada The Daily Telegraph.

“Kami percaya bahwa kunci dari kesuksesan jangka panjang Amazon Fresh adalah untuk menggabungkan harga yang murah, pilihan yang beragam, metode pengiriman yang cepat dan pengalaman pengguna yang dikenal dan dicintai oleh para pengguna Amazon.”

Biarkan penajaman pisau dapur ini dimulai.

Mari menajamkan pisau untuk perang e-commerce yang lebih besar tahun depan
Mari menajamkan pisau untuk perang e-commerce yang lebih besar tahun depan


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Cynthia Luo dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Revolusi Strategi Pemasaran dengan Big Data

Dewasa ini big data bisa memiliki banyak peran dalam memajukan bisnis. Salah satunya adalah dengan mengubah bagaimana cara bisnis mengkonversi pelanggannya. Seperti banyak ditulis sebelumnya big data adalah inti dari teknologi untuk memahami lebih jauh kebutuhan pengguna. Ini juga yang akhirnya dimanfaatkan untuk membantu meningkatkan dan mengubah cara-cara konversi pengguna.

Big data tidak hanya membantu atau mengoptimalkan sebuah bisnis untuk memahami pelanggan, big data lebih dari itu. Big data merevolusi cara-cara bisnis memandang pelanggan. Termasuk cara baru untuk memasarkan. Tentu semuanya disesuaikan untuk menjangkau lebih banyak dan lebih personal pelanggan-pelanggan dari bisnis.

Revolusi big data dalam bisnis dimulai dari bagaimana big data mengubah, tepatnya menaikkan posisi data dalam bisnis. Data sekarang banyak dipandang sebagai sebuah aset yang harus dimanfaatkan dan harus dijaga. Tentu yang paling utama dan langsung bersinggungan dengan bisnis adalah data pelanggan. Baik itu data pribadi, sejarah transaksi, hingga minat seorang pelanggan terhadap sebuah produk. Termasuk juga waktu yang tepat untuk mengirim kampanye, desain, dan lain sebagainya.

Setelah itu bisnis mulai memanfaatkan big data untuk mengetahui lebih lanjut pertimbangan-pertimbangan dalam melakukan strategi marketing. Hasil analisis dari big data bisa menghasilkan sebuah wawasan yang berguna untuk menghasilkan sebuah strategi marketing yang tepat sasaran. Misalnya dengan mempertimbangkan keterkaitan, minat, atau sejarah transaksi dari pelanggan. Semua dibaca, semua disimpan, dan disimpulkan untuk menghasilkan sebuah strategi yang lebih matang dan revolusioner untuk meningkatkan tingkat konversi pengguna.

Terdengar mudah memang, tapi dalam prakteknya banyak menemui kendala. Seperti kesesuaian dan keakuratan data hingga kevalidan data. Big data, sama seperti teknologi lainnya, membawa bisnis ke level selanjutnya.


Disclosure: DailySocial bekerja sama dengan Bigdata-madesimple.com untuk seri penulisan artikel tentang big data.

Tahap-tahap yang Perlu Diperhatikan dalam Merencanakan “Social Media Campaign”

Yang perlu dipahami saat mulai terlibat dalam campaign media sosial adalah batasan. Tidak ada yang menjamin cuitan pertama Anda tentang sebuah tema social media campaign di Twitter adalah titik awal kampanye Anda aktif, sebab belum tentu juga hashtag yang Anda buat langsung tersebar cepat bagai virus. Begitu pula dengan ujung dari campaign, tak ada jaminan seberapa lama bahasan yang Anda bawa ke lini masa akan berakhir.

Satu hal yang pasti adalah para marketers pasti ingin kampanyenya tersebar tepat sasaran. Di manapun mereka mengeksekusinya, yang terpenting adalah kemantapan dalam persiapan, baik dari sisi timeline, tagar (hashtag), dan tools. Banyak yang bilang pengelolaan tiga aspek ini terhitung cukup sulit, karena masa-masa persiapan ini adalah fase penentu keberhasilan sebuah social media campaign.

Konsep timeline, tagar, dan tools yang lebih tertata tentu akan memudahkan Anda dalam mempersiapkan social media campaign dan penataan tersebut mesti dimulai dari penentuan goal atau tujuan campaign. Tentukan arah yang ingin Anda sasar secara terukur menggunakan Key Performance Indicator (KPI).

Setelah arah tujuan sudah jelas, sekarang waktunya untuk merancang lini waktu perjalanan kampanye. Di tahap ini, Anda perlu menentukan awal dan akhir dari masa kampanye. Ya, memang tadi sudah disebutkan bahwa social media campaign memiliki batasan yang buram. Itu adalah sifat alamiah dari sebuah campaign. Meskipun demikian, Anda tetap perlu memberi garis start dan finish untuk campaign untuk membantu content writer Anda mengelolanya.

Selanjutnya adalah membuat campaign hashtag atau tagar (tanda pagar). Hashtag yang Anda buat harus menjual namun tidak terdengar sedang ‘berjualan’. Pilihlah hashtag yang bisa ‘cair’ dengan mudah di medium maya. Dengan kata lain, tagar yang Anda buat sebaiknya berisi kata-kata yang sering terdengar di telinga masyarakat media sosial.

Yang terakhir, tahap yang tak kalah penting ialah menentukan social media management tools. Diibaratkan pertempuran medan perang, tahap ini adalah saat para prajurit memilih senjata setelah membuat strategi. Jadi, pilihlah senjata terbaik untuk campaign Anda.

Salah satu yang secara spesifik dapat mendukung social media campaign Anda ialah ombaQ, sebuah tools media sosial yang mampu mengkategorikan post yang di-share di media sosial. Di menu content insight-nya, Anda dapat melakukan filtering pada label yang bisa Anda tentukan sendiri. Label itu nantinya bisa Anda lihat performance-nya dan pada akhirnya Anda bisa melihat apakah social media campaign Anda sudah sesuai tujuan atau belum.


Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh ombaQ.

Tentang Startup yang Bakar Duit dan yang Disebut “Bisnis Beneran”

Startup scene di Indonesia semakin intense beberapa tahun terakhir ini. Berbagai jenis perusahaan digital bermunculan dengan bermacam model bisnis, dibarengi dengan berseliweran Venture Capital yang nongol, entah dari luar negeri maupun lokal.

Bisnis dan kegiatan yang berputar di perusahaan-perusahaan startups ini, juga semakin berkembang. Ada media yang khusus meliput tentang startup, perusahaan pembuat software khusus startup, hingga juga bisnis coworking space yang klien-kliennya adalah perusahaan startup.

Masih teringat jelas kehebohan ketika Tokopedia mendapatkan pendanaan 100 juta dollar di tahun 2014? Barusan juga MatahariMall dapet segitu, tapi sekarang ngga heboh-heboh amat 🙂

Well, belakangan ini — Ada Gojek yang barusan dapet 550 juta dollar, kemudian FoodPanda yang stop beroperasi karena disinyalir kehabisan uang. Semakin hari semakin banyak berita tentang startup A yang dapet pendanaan sekian juta dolar, dan startup B yang tiba-tiba harus tutup karena berbagai alasan; kehabisan dana, atau berencana untuk pivot ke bisnis yang lain.

Dan beberapa hari lalu; saya tergelitik membaca sebuah status facebook yang entah kenapa nongol di linimasa saya; yang kira-kira begini:

“Semakin banyak bisnis startup yang terbukti kayak judi, mendingan bisnis riil saja”

— otomatis membuat saya berpikir keras; errrrr…

Lalu saya ingat lagi sih tentang teman yang mengomentari tentang startup dengan membandingkan bisnis dia sendiri; “Ya kalau aku bisnis riil gini beda sih itungannya, harus untung beneran..”

Hmm. Sepertinya cukup banyak miskonsepsi di masyarakat — yang menganggap bahwa bisnis startup itu lawan kata dari bisnis riil atau beneran. Artinya, bisnis startup ya bukan bisnis beneran, alias bisnis palsu a.k.a abal-abal.

Kalau dilihat dari asal-katanya, startup bisa diartikan sebagai “baru mulai”. Artinya ya semua bisnis yang barusan saja mulai (walaupun ini relatif, tapi cukup banyak yang sepakat bahwa sebelum 3 tahun bisa jadi patokan).

Nah saya mau mencoba menjelaskan tentang perbandingan antara startup dengan “bisnis beneran”. Agar memudahkan, mari kita bayangkan sebuah analogi perbandingan antara sebuah situs e-commerce atau virtual mall, dengan mall “beneran”, dengan tokoh fiktif Amir dan Umar — dalam perspektif valuasi perusahaan.

Cerita Amir

Amir adalah anak seorang konglomerat. Bapaknya mempunyai bisnis properti sukses dan terbiasa membangun perumahan, perkantoran serta pusat perbelanjaan. Setiap hari jumat, Bapak Amir selalu mengajak Amir untuk pergi main golf. Berikut pembicaraan mereka:

Bapak: “Amir, sudah saatnya kamu mengikuti jejak Bapak di bisnis properti. Cobalah kamu beli salah satu tanah dari perusahaan keluarga kita dengan harga dan kamu bangun sesuatu di atasnya. Nanti Bapak kasih modalnya.”

Jadilah Amir bikin mall.

Ideation & Building Stage

Karena Bapaknya kaya raya, maka Amir bisa mengalokasikan dana Rp 125M buat bikin mall tersebut. Hal yang pertama dilakukan Amir adalah membeli tanah untuk membangun Mall tersebut. Dibutuhkan 10,000 m2 (1 hektar) bidang tanah yang terletak di area strategis. Harga pasarannya sebenarnya per m2 adalah Rp 4jt/m2 — akan tetapi karena Amir membeli tanah dari perusahaan Bapaknya, maka dia mendapat harga murah, cuman Rp 2.5jt/m2.

Dengan 2.5jt/m2, maka cukup Rp 25M saja untuk membeli tanah yang dibutuhkan. Sampai disini, uang Amir masih tersisa Rp 100M di bank, dan valuasi perusahaan sudah seketika naik menjadi Rp 140M (cash 100M + nilai aset tanah 40M).

Dengan 100M tersisa, Amir mulai membangun Mall yang dia rencanakan. Berbagai kanal alokasi dana terkucur — dari konsultan bangunan, kontraktor, hingga tim manajemen dan marketing yang dia sewa. Butuh waktu 1 tahun kira-kira hingga Mall tersebut mulai dibangun, dengan biaya total Rp 75M.
Selama pembangunan, tim marketing Amir juga sudah beroperasi, mereka telah mulai menawarkan kepada pemilik bisnis — pemilik restoran, pemilik merek fesyen, optik, coffee shop, dan department store. Oh ya, tidak ketinggalan bioskop. Beberapa merek dan kategori bisnis seperti department store, bioskop dan brand yang sangat kuat dan ada di mana-mana disebut sebagai Anchor tenants.

Product/Market Fit & Growth Hack

Satu tahun kemudian, ketika sudah siap beroperasi, belum banyak penyewa, tetapi sudah ada beberapa anchor tentant. Mereka mau masuk ke dalam Amir Mall dan membuka gerai, karena ditawarkan harga yang sangat murah — bahkan hingga gratis sama sekali. Kenapa? Karena dengan mereka masuk, Mall sudah mulai beroperasi dan bisa menarik pengunjung. Bagi bisnis Mall, anchor tenants ibarat MVP (Minimum Viable Products).

Seminggu sebelum hari pembukaan, dipasang iklan di semua media hingga seluruh penduduk kota tahu tentang Amir Mall. It’s the talk of the town. Semua orang tertarik untuk datang mengunjungi Mall baru tersebut. Para pemilik bisnis yang sebelumnya sudah ditawari space, baik yang sudah menyewa maupun belum — oleh tim marketing diundang kembali sebagai tamu VIP.

Pada hari pembukaan, pengunjung berjubel, dan para tamu VIP a.k.a calon penyewa sebagian besar langsung menandatangani kontrak untuk menyewa space di Amir Mall. Launchingnya sukses besar!

Seminggu setelah Mall beroperasi, Amir mengajak meeting para manajemen dan mengundang konsultan untuk menghitung valuasi bisnis dia sekarang. Ternyata space yang disewakan di Mall tersebut sudah terisi sebesar 80% pada minggu pertama; 20% untuk anchor tenant, dan 60% oleh tenant baru yang baru saja mendaftar.

Monetization

Pada tahun pertama, Amir hanya menarik sewa sebesar Rp 8jt /m2 per tahun saja (belum termasuk service charge, listrik, dsb) — sedangkan space yang ditawarkan sebesar 10,000 m2 (ada 4 lantai dengan tiap lantainya seluas 2,500m2). Artinya, pada tahun pertama, pendapatan sewa bersih Amir Mall tercatat sebesar Rp 48M.

Konsultan kemudian menghitung dengan detil semua aset yang dimiliki Amir Mall sekarang. Nilai tanah bangunan ternyata sudah naik drastis karena begitu Amir Mall dibangun, maka tanah-tanah disekitarnya naik harga. Sekarang nilai tanah sudah mencapai Rp 6jt /m. Artinya, tanah Amir senilai Rp 60M. Kemudian nilai bangunan ditaksir senilai Rp 60M juga. Rugi sih, karena pembangunannya mencapai Rp 75M, tetapi nilai taksiran memang tidak akan sama dengan nilai riilnya.

Valuation

Untuk valuasi bisnis Mall sendiri ternyata pihak konsultan menyarankan metode sederhana = total nett revenue x 5 tahun, karena diprediksi dalam 5 tahun bisnis ini akan berjalan lancar. Untuk gaji karyawan dan pengeluaran lain dihitung Rp 1M per bulan, atau Rp 12M per tahun. Karena patokan yang ada adalah gross revenue sebesar Rp 48M / tahun, maka total per tahun dihitung laba bersih adalah sebesar Rp 36M.

Sampai disini, valuasi bisnis Amir Mall adalah sebesar:
Tanah Bangunan (10,000m2) = Rp 120M
Dana tunai di Bank = Rp 25M
Valuasi bisnis (5 tahun x Rp 36M) = Rp 180M
Total = Rp 325M.

Wow, fantastik! Dalam 2 tahun, modal (bapaknya) Amir sebesar Rp 125M telah berkembang sebesar 2.6 x lipat! Amir hari itu pulang dengan bangga. Malam itu dia punya jadwal untuk makan malam bersama Bapaknya, dan situlah dia menceritakan pada sang Bapak bahwa dia telah sukses membangun bisnisnya.

Sang Bapak mendengarkan dengan seksama, sambil menepuk bahu Amir;
“Hebat nak, teruskan ya..”
..tapi Amir merasa bahwa respon dari Bapak sungguh datar..

Cerita Umar

Sore sebelum Amir pulang, sang Bapak sebenarnya nongkrong di salah satu anchor tenant, sebuah coffeeshop berlogo warna hijau di Amir Mall. Dia ingin melihat bagaimana hasil kerja anaknya. Bapak Amir duduk sendirian sambil melihat orang ramai lalu lalang. Karena coffeeshop ini berada di dekat pintu masuk, dia juga bisa melihat di seberang jalan; sebuah pembangunan sebuah gedung bertingkat yang sepertinya baru saja dimulai.

Umar, baru saja mendarat dari Singapore — dia datang untuk menghadiri acara pernikahan teman lama, tetapi karena belum jam check-in maka dia mampir di Mall tersebut. Dia masuk ke coffeeshop pertama paling dekat dengan pintu masuk, dan mencari tempat duduk.

“Boleh ikut duduk di sini Pak? Kebetulan meja semua penuh dan sepertinya Bapak sendirian..”

Bapak Amir sedikit kaget, lalu mendongak sambil melihat pemilik suara serta menjawab: “Oh, silahkan..”

“Luar biasa ya Pak, perkembangan kota ini. Ini mall masih baru ya? Ramai banget ya?” sembari Umar menarik kursi dan menghempaskan badannya.

“Iya, baru saja dibuka seminggu lalu.” jawab Bapak Amir, sembari memperhatikan penampilan anak muda ini. Sepertinya seumuran anaknya, tapi berpenampilan lebih kasual. Kaos oblong, jeans dan sepatu kets; tidak seperti anaknya si Amir, yang berkemeja rapi kemana-mana.

“Oh, kalau di seberang sana, Mall juga ya pak? Kayaknya baru dibangun juga dan tadi sempat lihat ada papan namanya — sepertinya bakal jadi pusat perbelanjaan juga tuh.” kata Umar.

“Sepertinya sih begitu. Dan di ujung jalan di sebelah sana juga bakal ada Mall baru. Sepertinya jalan ini bakal dipenuhi dengan pusat perbelanjaan nantinya.” jawab Bapak Amir.

“Wah, kalau sepanjang jalan Mall semua, trus persaingan jadi ketat sekali dong pak? Kalau ngga salah pertumbuhan penduduk kota ini hanya 5% per tahunnya padahal. Kuenya ngga nambah yang mau makan tambah banyak dong ?” kata Umar.

“Hehehe maaf pak, saya sok tahu nih kayaknya. Kenalkan dulu Pak, nama saya Umar. Kebetulan dulu juga kecil di kota ini.” lanjut Umar, merasa lancang.

“Nama saya Kamirun mas, biasa dipanggil Pak Amir. Kebetulan saya juga punya anak seumuran dengan Anda, namanya Amir juga. Cuman, kalau saya dipanggil Amir — ejaan Indonesia, kalau anak saya, huruf vokalnya A & I nya itu diucapkan kayak mirip film seri jaman saya dulu it — The A-Team.”

Mereka lalu berjabat tangan.

Bapak Amir lalu meneruskan; “Oh, memang — persaingan semakin ketat, tetapi target pasar dari pusat perbelanjaan-pusat perbelanjaan ini bukan hanya dari penduduk kota lho. Semakin ramai jalan ini, maka akan semakin menarik orang dari kota-kota lain juga. Nah, karena semakin ramai, maka harga tanah juga naik. Artinya selain dari business profit, juga ada capital gain yang signifikan setiap tahunnya karena pertumbuhan nilai properti.”.

Lalu dia menjelaskan panjang lebar tentang model bisnis bikin pusat perbelanjaan, dan bagaimana ketika bisnis rugi, aset properti nilainya tetap naik dan secara keseluruhan bisnis ini ngga akan rugi. Bapak Amir juga dengan bersemangat menceritakan bagaimana Ciputra dan taipan bisnis lain yang bergerak di properti, dan masuk sebagai orang-orang terkaya di Indonesia.

Walau tidak secara langsung berkata tentang apa bisnis dia, Umar bisa menangkap bahwa bisnis Bapak Amir ini juga properti karena dia tahu sekali luar dalam tentang bisnis tersebut. Karena Bapak Amir juga bisa menyebutkan dengan detil mengenai Mall ini, Umar juga menebak bahwa mall tempat mereka berada sekarang juga milik dia, atau paling tidak milik anggota keluarganya.

“Wah, nantinya jadi kayak Orchard Rd gitu dong ya Pak jalan ini? isinya mall semua.” tukas Umar.

“Nah, betul itu, Anda pernah ke sana?” tanya Bapak Amir.

“Lumayan sering sih pak, paling tidak sebulan sekali. Kebetulan baru saja mendarat dari sana ini, ada meeting berturut-turut selama beberapa hari di Singapur minggu ini.”

“Wah, hebat juga Anda. Kerja atau bisnis?” tanya Bapak Amir penasaran.

“Kebetulan saya bisnis juga pak, yaa masih baru jalan sekitar 3 tahun ini. Kalau orang bilang, masih startup,” jawab Umar.

“Bisnis bidang apa mas? Kok sampai meeting-meeting di Singapur? Ekspor impor?” pak Amir semakin penasaran.

“Bukan Pak. Saya sekarang ini mengelola marketplace digital. Mungkin mirip dengan Mall sih, tapi tidak ada wujud fisiknya sama sekali. Semuanya digital, dan hanya transaksi ya hanya bisa dilakukan di internet. Ada orang yang jual barang disitu, lalu ada yang berminat beli. Nah, bisnis saya ini mempertemukan kedua pihak tersebut. Misal ada orang yang mau jual buku langka karangan Enid Blyton yang ditandatangani penulis langsung — padahal dia tidak punya toko buku; maka orang ini jualan di marketplace saya, dan ketemu oleh peminat yang mau beli.”

Ideation & Building Stage

Gantian kini Umar bercerita panjang lebar tentang marketplace yang dia kelola. Bermula dari meninggalnya Ayah Umar 3 tahun yang lalu yang tidak mewariskan banyak uang, tapi satu ruangan penuh dengan buku-buku koleksi almarhum.

“Saya masih ingat sekali isi surat warisan Ayah saya pak. Ini saya bahkan punya copy digitalnya” ujar Umar, sambil menunjukkan layar tabletnya, setelah beberapa kali klik untuk membuka sebuah file.

Umar, anakku satu-satunya.
Maafkan ayahmu yang tidak bisa meninggalkan warisan berupa harta maupun tanah yang berharga, karena Ayah yakin kamu bisa mendapatkan harta atau membeli tanah sendiri dengan hasil keringat dan otakmu yang encer itu.
Tapi yang Ayah tinggalkan jauh lebih berharga; ilmu pengetahuan dan kebajikan. Jendela-jendela menuju pelosok dunia. Lorong-lorong menuju balik ruang otak para cendekiawan.
Untukmu, Ayah wariskan perpustakaan pribadiku. Didalamnya terdapat ratusan, mungkin ribuan buku-buku pilihan, yang bahkan banyak ditandatangani langsung penulisnya.
Pergunakanlah warisanku ini dengan caramu sendiri, agar kamu bisa menguasai duniamu.

“Setelah pemakaman, 3 hari berikutnya saya habiskan untuk mulai menyortir koleksi buku Ayah saya. Saya masih belum tahu mau diapakan dengan seluruh buku ini. Ya memang sih, ini sumber ilmu pengetahuan dan jendela dunia. tapi setelah saya cek, hampir seluruh bukunya ada dijual di Amazon, dan kalau yang buku-buku lama, sudah ada copy digitalnya di internet dan bisa di unduh gratis. Pusing saya pak, bingung mau diapain.” Umar meneruskan.

“Lalu Anda apakan semua warisan buku-bukunya mas?” Bapak Amir bertanya sambil dia menerawang — dia sendiri belum terpikir tentang warisan yang ingin dia tinggalkan. Terbayang wajah keluarganya; anaknya, Amir, lalu orang-orang yang bakal benar-benar kehilangan kalau dia tidak ada, kemudian tak lupa juga wajah-wajah para pecundang yang dalam hati akan kegirangan kalau dia meninggal.

“Saya jual pak..” Umar menjawab dengan singkat dengan intonasi datar.
“Pertimbangan saya; yang pertama — saya tidak punya kemampuan mengelola perpustakaan. Saya jarang di rumah, dan perpustakaan pribadi Ayah saya adalah ruangan yang paling jarang saya masuki. Dan walaupun hobi saya membaca, tapi saya juga suka bepergian sehingga membawa-bawa buku-buku berat dalam ransel saya sepertinya bukan pilihan bagus.” kata Umar, sambil menunjuk ke tas ransel dia.

“Pertimbangan berikutnya, karena seluruh isi buku yang ada di perpustakaan Ayah, sekarang bisa saya dapatkan di gawai saya. Saya bisa membacanya kapan saja. Jadi buku-buku koleksi Ayah sebenarnya ngga ada gunanya kalau saya pakai sendiri.” Umar menjelaskan.

“Anda jual ke mana itu mas?” Bapak Amir bertanya, setengah penasaran setengah jengah — dia membayangkan kalau suatu hari nanti warisan yang dia berikan ke keluarga tidak dirawat, tapi dijual begitu saja.

“Tadinya saya iklankan di koran, tapi tidak laku. Saya coba tawarkan ke toko-toko buku, malah saya diketawain karena mereka juga mati-matian jualan buku. Trus saya coba tawarkan ke forum-forum online, itu lumayan pak — laku karena ternyata banyak juga kolektor buku yang berminat. Saya waktu itu sudah jual belasan buku koleksi dengan nilai jutaan rupiah. Sampai akhirnya kena kasus buku sudah saya kirim, duitnya ngga sampai ke saya.” ujar Umar.

“Kok bisa? Bukannya kalau jualan gitu nunggu duitnya dikirim dulu baru barangnya dikirim ya?”

“Nggak pak. Orang juga ngga mau metode gitu, makanya ada bisnis namanya rekening bersama atau rekber. Semacam escrow gitu sih kalau istilah bank. Cuman ini ternyata rekbernya bermasalah, pembeli udah transfer ke rekber, saya udah kirim bukunya, eh duitnya ngga ditransfer ke saya.” jelas Umar

“Lho kok gitu? Ngga dilaporin ke polisi?”

“Udah sih. Kasusnya udah rame tuh Pak, coba cari saja di Google tentang kasus itu pak. Udah ketangkep sih, dan mau nyicil mengganti rugi. Tapi ya gitu kan trus ribet ngurusnya, jadi kapok saya pake rekber dan jualan di forum lagi.”

“Trus, dijual kemana?” Bapak Amir mulai sudah mulai hilang jengahnya. Dia mulai memahami isi surat wasiat Bapak Umar — bahwa beliau mempercayakan warisannya untuk dipergunakan sesuai cara Umar sendiri. Jadi tidak ada kewajiban Umar juga buat terus menyimpan buku-buku berharga itu.

Product/Market Fit & Growth Hack

“Saya akhirnya coba bikin situs sendiri pak, khusus buat jualan buku-buku edisi kolektor. Namanya BukuLapuk.com. Semua buku saya foto dan saya kasih resensi singkat, juga saya kasih profil penulis serta link langsung ke penulisnya. Nah, setiap penulis itu saya kontak, mention atau tag di media sosial mereka. Karena deskripsi tentang mereka itu saya bikin unik dan lucu, dan buku yang dijual sudah tidak terbit lagi, maka rata-rata penulis itu akan share di akun mereka sendiri. Jadilah banyak orang yang datang berkunjung, dan akhirnya beli buku di situs saya.” lanjut cerita Umar.

“Bentar-bentar mas, katanya tadi bisnisnya marketplace? Kok ini jualan buku? Bedanya sama buku toko buku online kayak Garukmedia itu apa ya?” potong Bapak Amir.

“Iya pak, tadinya kan emang toko buku lama dan yang saya jual sendiri. Tapi di situ saya juga mengelola forum khusus buat peminat buku-buku antik. Nah, lama-lama ternyata terbentuk forum jual beli barang-barang antik antar sesama anggota. Akhirnya saya fasilitasi untuk memudahkan orang buat jualan barang antik, dan juga memudahkan orang-orang untuk melihat-lihat jualannya, sekalian pembayarannya juga saya urusi Pak. Jadilah BukuLapuk.com itu marketplace khusus buku langka dan barang-barang antik yang pertama,” jelas Umar.

“Kalau yang jualan buku saya sih paham mas. Tapi kalau marketplace itu, dapat untungnya darimana ya? Apa anda mengenakan komisi dari setiap barang yang dijual?” Bapak Amir penasaran bertanya.

Scale

“Nggak pak. Selama 3 tahun terakhir semuanya gratis. Transaksi jual beli kita fasilitasi tanpa bayar sedikitpun. Yang penting jumlah anggotanya semakin banyak, dan terbentuk ekosistem. Kalau dari awal dikenakan komisi, mana ada yang mau jual barang di tempat saya Pak. Dengan cara begini, 3 tahun berdiri kami sudah mencatat terjadi lebih dari 1 juta penjual Pak,” Umar menjelaskan.

“Lho, mana bisa begitu? Pasti kan banyak biaya yang dikeluarkan juga — apalagi dengan 1jt+ anggota, saya yakin butuh banyak SDM untuk mengelolanya kan?” tanya Bapak Amir.

“Sebenarnya beberapa bulan pertama, itu relatif sedikit sekali biaya yang saya keluarkan sih Pak, itu nutup dari biaya penjualan buku-buku Ayah saya. Sampai kemudian total penjual jumlahnya hingga seribuan lebih, saya mulai kewalahan menangani komplain pembeli yang nakal, atau penjual yang rewel. Yang jualan siapa, barangnya dikirim ke mana, komplainnya ke saya. Pusing saya Pak waktu itu..”

“Dan Anda tidak mengenakan komisi sedikitpun? Ngga juga penjual dikenakan biaya perbulan? Lalu bagaimana untungnya?”

“Nah, Pak. Memang jika dibandingkan dengan bisnis konvensional seperti Mall yang Bapak ceritakan ini misalnya — ada beberapa perbedaan, tetapi sebenarnya juga banyak benang merah yang sama juga. Kalau Bapak tadi cerita kalau buat bikin Mall itu butuh investasi besar diawal, untuk membeli tanah dan bangunan dengan arsitektur yang bagus, itu tujuannya buat apa Pak?”

“Lho ya biar orang-orang pada datang dong. Kalau banyak pengunjung, nanti dia kan lihat-lihat barang yang ada di Mall ini, atau datang ke restoran, atau ke coffeeshop kayak kita ini. Orang belanja, nanti pemilik toko dapat untung, dan kita kenakan biaya sewa. Kan jelas tuh bisnisnya, duitnya darimana — ngga kayak bisnis Anda ini..”

Monetization

“Saya jelas tidak berencana membuat yayasan non-profit pak, tapi dengan banyaknya transaksi yang terjadi sekarang, BukuLapuk.com sekarang mendapatkan keuntungan dari orang yang ingin produknya tertampil di depan calon pembeli. Dengan cara ini, penjual memiliki kemungkinan lebih besar produknya laku. Kami menyebutnya sebagai premium user. Mereka ini bisa memilih metode komisinya ke BukuLapuk.com — mau bayar setiap kata kunci yang di cari oleh calon pembeli, atau memberikan komisi setiap produknya laku.”

“Wah, bisa begitu ya? Sekarang berapa transaksi itu tiap bulannya mas? Hmmm.. kalau 1 juta penjual, rata2 jualan 2x barang saja perbulan, berarti udah ada 2 juta transaksi ya tiap-tiap bulannya? Kalau kira-kira harga barang antik pasti lebih dari Rp 200 ribu kan, misal ini rata-rata Rp 250,000 berarti total transaksi sebulannya Rp 500,000 x 1 juta; jadi 500 miliar sebulan mas?”

“Kira-kira segitu bener pak. Lebih dikit sih, tapi angkanya ngga meleset-meleset banget kok.”

“Lalu berapa penjual yang menjadi premium user? Pastinya orang lebih suka barangnya laku, jadi lebih banyak orang yang jadi premium user ya? Separonya lebih gitu?”

“Ngga Pak. Lebih banyak penjual yang masih merasa sayang harus memberikan komisi atau bayar tiap kata kunci. Jadi, cuman 5% saja kira-kira yang jadi premium user. Nah tapi, karena dari 5% ini otomatis bisa jualan lebih laris, maka kira-kira 20% transaksi itu adalah dari premium user yang memberikan komisi ke kita.”

“Jadi ada Rp 100M transaksi yang kasih komisi ya? Itu komisinya berapa persen?” sembari Bapak Amir memakai kacamatanya dan dia mulai membuka situs BukuLapuk.com, langsung klik menuju bagian “FAQ Penjual”.

Walaupun sudah berumur, tetapi untuk masalah teknologi, Bapak Amir tidak pernah mau ketinggalan. Beliau langsung bisa menemukan bagian ketentuan dan syarat menjadi premium user di BukuLapuk.com — dan sejenak kemudian, setelah mulutnya komat-kamit membaca beberapa paragraf yang ada, dia menggebrak meja!

“Gila! 5% komisi, berarti Anda bisa dapat 5M perbulan lebih ya? Berarti lebih besar dari bisnis Mall punya anak saya ini dong!”

Beberapa pengunjung meja sebelah sontak kaget dan menengok ke arah mereka. Umar juga setengah kaget, apalagi Bapak Amir — yang barusan menyadari kalau dia berkata terlalu kencang.

“Eh maaf, maaf..” sambil tangannya membentuk isyarat permintaan maaf kepada orang-orang disekitarnya.

“Tapi beneran Mas, saya ngga ngira kalau bisnis digital atau startup bisa untung sebanyak itu. Pantesan kok saya baca di situs-situs kayak TengsinAsia gitu, ada aja berita pendanaan sampai ratusan juta dolar — itu sebenernya duitnya itu buat apa dan ngapain gitu lho. Lha wong sudah jalan sendiri, berprofit gitu kenapa kok harus ada investor? Mending dikelola sendiri kan Mas..” lanjut Bapak Amir

“Analoginya begini sih pak; tadi kan Bapak cerita tentang Capital Gain dari bisnis properti atau pusat perbelanjaan. Kan naiknya nilai tanah tergantung dari ramainya lokasi tersebut — atau lebih tepatnya lagi, lembaga appraisal resmi yang menilai sebuah properti akan menggunakan referensi dari transaksi jual-beli tanah di dekat lokasi tersebut. Kalau misalnya kita beli tanah di sebuah lokasi dengan harganya Rp 3 juta/m2, tapi tahun depan ternyata tanah di sebelahnya persis nilainya sudah jadi Rp 6 juta/m2, otomatis kan nilai tanah kita kan juga dinilai naik..”

“Iya itu benar, tapi hubungannya apa ya?” Bapak Amir tidak sabar memotong.

“Kalau di startup; ketika terjadi pendanaan, artinya ada saham yang diperjualbelikan. Dana yang masuk ditukar dengan sebagian dari saham perusahaan tersebut. Nah, katakanlah misalnya yang dijual pada saat seed funding adalah 10% saham dan dibeli dengan harga 1 juta dolar, berarti kan nilai keseluruhan perusahaan atau valuasinya adalah 10 juta dolar kan.. Padahal bisa saja awalnya startup itu dibangun dengan modal dengkul dan otak saja.”

“Wah, itu perusahaan Anda dihargai segitu mas?”

“Bukan Pak, ini contoh saja kok..” Umar merendah.

“Lho itu terus uangnya buat apa? Bukannya perusahaannya sudah untung ya?”

“Belum Pak, itu kan dibuat untung baru-baru saja. Tiga tahun pertama kan seperti saya bilang tadi, semua gratis tis buat seluruh pengguna.”

“Maksudnya dibuat untung gimana? Ya kan niatnya memang cari untung kan? Saya kok ngga paham ya..”

Valuation

“Begini pak.. Memang mungkin saja sejak baru ribuan saja anggota, kita sudah bisa memungut komisi atau biaya per bulan. Tapi dengan begitu, pertumbuhan anggotanya pasti melambat. Udah gitu, bisa saja ada orang dengan ide yang sama bisa meniru dan kemudian membuat layanan yang sama persis walau beda nama — dan digratiskan. Kalau begitu kan berarti nyari untung kecepetan sama saja dengan bunuh diri Pak,“ jelas Umar.

“Nah, pendanaan dari Venture Capital itu untuk biaya marketing dan operasional untuk terus menambah lagi jumlah anggota dan transaksi yang ada, sampai pada titik dimana terbentuk ekosistem dimana setiap anggota ini benar-benar membutuhkan BukuLapuk.com sebagai media jualan dan mencari barang mereka. Kalau sudah begitu — baru deh bisa mulai cari duit dari situ.” sambung Umar.

“Kemudian, pada saat pendanaan berikutnya, atau biasa disebut series A, B dan seterusnya, disini founder sudah mulai jual sebagian dari saham ditukar dengan cash. Atau, paling tidak mendapatkan gaji atau bonus yang nilainya signifikan. Ngga ada aturan baku dalam pendanaan, tapi kebanyakan setiap pendanaan itu akan membuat nilai perusahaan naik 10x lipat atau lebih — dimana Founder kehilangan 10–20% tetapi total nilai dari saham yang dia pegang naik berkali-kali lipat,” Umar kembali menjelaskan.

“Hmmm.. jadi sebenernya mirip ya dengan bisnis Mall ya. Kalau bikin Mall kan modal gede dulu buat bikin gedungnya biar orang pada datang, begitu buka langsung ramai — langsung dapet duit. Kalau startup digital; mulai dari kecil dulu, modal gedenya dibutuhkan ketika semakin banyak orang yang datang, biar terus tambah ramai. Sama-sama nilai perusahaannya bertambah kalau pengunjung, pembeli dan penjualnya semakin banyak..,” kata Bapak Amir.

“Nah, bedanya Pak, bisa dikatakan bahwa marketplace kayak BukuLapuk.com punya saya ini, atau saingan saya TukuPidio.com — dulunya ini emang cuma forum tempat orang jual beli DVD film, trus berkembang jadi marketplace juga — itu potensi pertumbuhannya hampir tidak terbatas, atau istilahnya scalable,“ sambung Umar.

“Maksudnya scalable gimana ya?”

“Gini Pak. Misalnya Amir Mall ini, kalau sudah penuh seluruh space-nya, trus gimana? Atau ketika libur panjang dan parkiran di bawah penuh, apa yang bisa dilakukan?”

“Ya sudah memang kapasitasnya segitu. Pasti ada limitasinya lah. Trus misalnya memang sudah full capacity, ya rencananya bikin Mall lagi dong..” jawab Bapak Amir.

“Itu namanya repeatable, tapi ngga scalable. Kalau marketplace digital, tidak ada limitasinya Pak. Saya bisa punya jutaan penjual dan pembeli. Tidak dibatasi oleh besarnya gedung atau lebarnya tempat parkir. Nah kalau idealnya, memang bisnis startup digital itu harus punya 3 sifat — 2 yang tadi itu yaitu scalable dan repeatable, terus satu lagi: profitable.”

“Hmm ya, paham sekarang. Wah sekarang nilai perusahaan dan saham Anda di BukuLapuk sudah jutaan dolar ya mas?” Bapak Amir mengangguk-angguk kagum, sembari memperhatikan Umar yang sudah beberapa kali melirik jam tangannya.

“Baik Pak, senang sekali berkenalan dengan Bapak. Saya harus pergi sekarang tampaknya. Kapan-kapan kita ketemu lagi ya Pak..” Umar pamit kepada Bapak Amir.

“Wah, saya yang harus berterim kasih. Bisa saya minta no telpnya untuk kapan-kapan saya ajak ngobrol lagi?”

Mereka kemudian bertukar nomor telepon, dan Umar berlalu. Bapak Amir kemudian pulang ke rumah, karena dia juga sudah berjanji untuk bertemu anaknya.

Epilog

Ada beberapa tahap yang sebenarnya sama-sama ditempuh pada cerita Amir dan Umar, yaitu Ideation, Building Stage, Product/Market Fit, Growth Hack, dan Monetization. Bedanya, pada bisnis konvensional seperti bikin Mall, tidak ada tahap Scale.

Tidak ada bisnis yang tidak berisiko. Dan tidak semua orang cocok terjun dalam bisnis; baik “bisnis beneran” atau “bisnis startup” (iya, dikasih tanda petik maksudnya nyindir orang-orang yang bikin dikotomi antara keduanya).
Dan tidak pernah ada jalan yang mudah untuk berhasil di bisnis. Realitasnya, hanya sebagian kecil bisnis yang berhasil. Apalagi bisnis startup digital. Contoh cerita sukses diatas ya karena memang yang dipilih yang bagian suksesnya. Yang gagal lebih banyak.

Angkat topi, dan angkat jempol buat seluruh founder startup yang sudah mulai menjalankan bisnisnya. Bagi yang belum dan baru akan — hitung bener-bener segala aspek; dan jangan percaya-percaya banget sama motivator. Ambil yang masuk akal dan logis saja — karena belum tentu yang ngasih nasehat motivasi juga pernah mengalaminya.

Buatlah startup dengan memecahkan masalah yang benar-benar ada.

The real entrepreneur is a problem solver, not a money hunter.

If you already found your problems big enough to be solved, then go, do it, build your startup with everything you got. With all your heart, tears and blood. It’s gonna be worth it. Been there, done that.


Disclosure: Tulisan tamu ini dibuat oleh Andy Fajar Handika dan dipublikasi ulang melalui penyuntingan atas izin penulisnya. Sumber aslinya bisa diakses di sini.

Andy adalah CEO Kulina, situs pesan katering online. Kulina memecahkan masalah makan sehari-hari yang mahal di kota besar karena tingginya harga sewa space bagi restoran, dengan menawarkan langganan katering makan siang terjangkau di Jakarta mulai dari Rp 20.000/porsi.

Tantangan Manajemen Proyek di Era Big Data

Manajemen proyek selalu membawa segenggam tantangan dalam setiap pelaksanaannya. Beberapa tahun terakhir bisnis digital tumbuh secara signifikan, demikian duga dengan manajemen proyek. Menjadi lebih rumit. Di sisi lain perkembangan teknologi memberikan dampak positif, seperti hadirnya banyak perangkat lunak yang mampu memudahkan dalam pengelolaan proyek dan manajemen data. Salah satu pendekatan teknologi yang paling populer untuk ini adalah big data. Meski demikian proyek-proyek yang menggunakan big data tidak lepas dari permasalahan dan tantangan. Justru tantangannya semakin bervariasi.

Contoh pertama tantangan dari proyek yang menggunakan big data adalah kepastian investasi. Sebelum menjalankan sebuah proyek sudah pasti menyusun anggaran-anggaran yang diperlukan. Salah satunya adalah anggaran penerapan teknologi, big data contohnya. Penerapan teknologi big data ini tidak bisa dikatakan murah, untuk itu harus dipastikan mendapatkan lampu hijau saat di awal proyek. Bukan perkara mudah untuk berinvestasi kepada sesuatu yang belum pasti. Itulah mengapa hal ini masuk kategori tantangan.

Tantangan lainnya ada di bagian ulasan proyek. Tantangan ini sering dijumpai di perusahaan-perusahaan besar yang melakukan pengerjaan proyek serang berkelanjutan dalam rentang waktu yang berdekatan. Untuk masalah ini sebenarnya solusinya bisa diselesaikan dengan perangkat lunak manajemen proyek, tetapi sangat tergantung dengan kualitas perangkat lunak yang digunakan.

Selanjutnya tantangan yang biasa muncul ada di pembagian tugas. Ini sangat penting terutama bagi bisnis dengan anggota tim terbatas. Pembagian porsi tugas harus juga disesuaikan dengan jadwal. Di titik ini sangat dibutuhkan seorang manajer proyek yang sangat mengerti kondisi di lapangan. Termasuk memilih orang yang tepat untuk mengerjakan sebuah tugas. Ini kaitannya dengan kemampuan dan efisiensi waktu pengerjaan proyek.

Ketiga tantangan sebelumnya mungkin terlihat menjadi tantangan secara umum bagi sebuah proyek, tetapi di proyek-proyek yang menggunakan big data tantangan tersebut sering kali muncul. Salah satu yang mungkin muncul dari proyek manajemen big data adalah pengelolaan dokumentasi dan manual.

Dengan big data sejatinya permasalahan-permasalahan ini bisa dengan mudah diatasi, namun tantangannya ada di poin distribusi dan menghubungkan sumber yang tepat kepada orang-orang yang terlibat dengan tugas-tugas tertentu.

Disclosure: DailySocial bekerja sama dengan Bigdata-madesimple.com untuk seri penulisan artikel tentang big data.

 

Awasi Awan Agar Bisnis Terus Jalan

Selaras dengan ide-ide kreatif dari startup yang bermunculan di dekade ini, teknologi yang tercipta pun terlihat semakin menukik perkembangannya. Cloud computing atau sistem komputasi awan adalah salah satu yang terhitung banyak membantu stabilitas dan keberlanjutan bisnis-bisnis rintisan.

Dalam pemanfaatan fasilitas cloud computing, ada sebuah kegiatan yang mestinya tidak luput dari to-do list para technologist di perusahaan startup, yakni cloud monitoring. Metode yang satu ini bisa jadi syarat wajib agar bisnis startup yang dijalankan tidak berhenti di tengah jalan.

Memang, ada banyak faktor yang membuat startup bertahan, dari mulai konsep inovatif dan solutif yang ditawarkan sampai pengelolaan sumber daya manusia. Cloud monitoring menjadi krusial bagi keberlanjutan bisnis ketika kita semua tahu bahwa keamanan teknologi tak ubahnya ancaman di zaman 2.0 ini.

Cloud monitoring merupakan tahapan penting setelah Anda menemukan cloud vendor yang ‘berjodoh’ dengan usaha Anda. Layanan yang dijanjikan sejak awal oleh vendor memang sudah sepatutnya diawasi agar semua masih sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Oleh sebabnya, cloud monitoring adalah hal yang dapat menjunjung tinggi transparansi tersebut, dan penting untuk memiliki kemampuan-kemampuan utama berikut.

1. Service monitoring

Kesibukan Anda tidak perlu terganggu lagi oleh kekhawatiran terhadap sistem komputasi awan yang terserang ancaman selama implementasi service monitoring dapat dilakukan dengan mudah.

Pilihlah jasa cloud yang membuat Anda dapat secara otomatis melakukan monitoring terhadap penyebaran yang terjadi, termasuk dalam server dan database. Dengan begini, Anda akan dimudahkan dalam melacak dan mengumpulkan log file, dan memperoleh insight statistik yang dapat digunakan untuk pemanfaatan sumber daya dalam cloud.

2. Site monitoring

Tidak cukup hanya dengan memahami ketersediaan ukuran dalam aplikasi cloud, perangkat cloud monitoring yang Anda sewa juga harus diperkuat dengan kemampuan pelacakan pada situs Anda.

Pastikan layanan cloud yang telah sepakat bekerja sama dengan Anda menyediakan perhitungan statistik tentang status aplikasi situs. Hal ini akan lebih baik bila didukung dengan peringatan yang diberikan bila terjadi ancaman atau insiden keamanan pada aplikasi Anda.

3. Transactional monitoring

Apapun solusi yang ditawarkan startup Anda kepada masyarakat, transaksi sudah barang tentu terjadi di dalamnya. Kepercayaan konsumen Anda bergantung di pada sistem ini. Karena itu, perlu diyakinkan bahwa tahapan-tahapan dalam bertransaksi bekerja optimal sesuai dengan rangkaiannya (seperti initial authentication, database calls, middleware steps, dan lainnya) dengan layanan cloud yang handal.

Setidaknya, tiga jenis pemantauan ini adalah kemampuan yang tak boleh luput dalam perhatian startup dalam memilih cloud service. Pasalnya, mengawasi awan kini adalah salah satu ketentuan utama agar bisnis terus berjalan.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh Alibaba Cloud.